Iya, Nuhun Kang Wandy...
semoga apa yang disampaikan oleh Kang Wandy bisa membuka dan menambah wawasan para pejalan yang mampir di warung KI ini.. :-)
 
ng...
sekarang kalo Kang Wandy mendapat undangan Tahlilan, apakah akan memenuhi undangan tersebut? Kalo iya, apa tujuannya? Kalo engga, bagaimana cara menampiknya mengingat biasanya yang mengundang adalah pribadi yang dekat dengan kita, misalnya tetangga, teman kerja, atau saudara, dlsb... :-)

lalu, jika, ini jikalau, Kang Wandy mendapat kabar ada yang meninggal dunia dan Kang Wandy 'perlu' berkunjung kepada keluarganya dengan alasan, misalnya menyampaikan 'turut berduka cita' atau menunjukan simpati, dan ternyata Kang Wandy baru bisa datang kepada keluarga tersebut pas ketika mereka sedang mengadakan tahlilan, apakah Kang Wandy akan ikut gabung ato gimana?
 
Mohon maaf, dua pertanyaan di atas tidak usah dijawab jika Akang tidak berkenan. Bukan apa-apa, karena sebenarnya pertanyaan tersebut datang dari orang2 yang sering 'curhat' ke saya, dan kebanyakan yang 'seprinsip' dengan Akang, tetapi tidak tau cara mengaplikasikannya.
Kalau saya sendiri, ketika beberapa tahun belakangan ikut ngaji pada seorang Kyai, dan mendapat kesimpulan tentang tahlilan ini (tetapi dasarnya lain dengan yang kang Wandy kemukakan), saya juga menjadi tidak begitu rajin menghadiri tahlilan.
 
salam
:-)
 
 
On 7/20/06, Ari <[EMAIL PROTECTED]> wrote:

Nuhun kang Wandy yang sudah bersusah payah mengumpulkan dalil dalil dari berbagai sumber, mudah mudahan mebuka mata, hati dan ikiran kita untuk menyadari kesalahan kesalahan kita selama ini...

Salam
Ari




At 04:39 PM 7/20/2006, you wrote:
Nuhun Kang Ramdan atas perhatosanana.. :)

Hal utama yang melanggar syariah dalam acara tahlilan kematian
adalah Berkumpul di rumah keluarga si mati dan memakan hidangan yang
disediakan oleh keluarga si mati.

Beberapa Dalilnya diantaranya adalah Hadits berikut,

Berkata Abdullah bin Ja'far tatkala datang khabar bahwa Ja'far
telah terbunuh, Rasulullah SAW bersabda: "Bikinkanlah makanan untuk
keluarga Ja'far karena telah datang kepada mereka hal yang
menyibukkan mereka" (HR Asy-Syafie dan Ahmad).

Jadi justru seharusnya yang menyediakan makanan adalah tetangga
untuk keluarga yang kena musibah kematian, bukan yang terkena
musibah menyediakan makanan buat orang yang datang.

Hadits yang diriwayatkan imam Ahmad dari Jabir bin Abdullah Al
Bajali dengan sanad yang shohih: "Adalah kami (para sahabat)
menganggap bahwa berkumpul di rumah ahli mayyit dan mereka
menyediakan makanan sesudah mayyit dimakamkan adalah
termasuk perbuatan meratap".

Hadits diatas menerangkan bahwa berkumpul dan menghidangkan makanan
dalam upacara kematian di rumah ahli mayyit adalah termasuk meratap
yang dilarang (diharamkan) oleh agama.

Riwayat lain menerangkan: Bahwa Jarir datang kepada Umar ra, lalu
Umar bertanya: "Adakah mayyit kalian diratapi? Dia menjawab: Tidak,
lalu bertanya juga: Adakah orang-orang berkumpul di keluarga mayyit
dan membuat makanan? Dia menjawab: ya, maka Umar berkata: "Yang
demikian adalah ratapan". (Al Mugni Ibnu Qudamah zuz 2 hal 43).

Berdasarkan dalil2 tersebut, maka jumhur ulama berpendapat bahwa
berkumpul di rumah ahli mayyit dan makan-minum yang disediakan oleh
keluarga mayyit adalah perbuatan bid'ah yang tidak sesuai dengan
sunnah.

----

Sedangkan fatwa2 dari ulama madzhab Syafie yang berkaitan dengan
acara tersebut adalah sbb:

1. Di dalam kitab Fiqh I'anatut Talibin telah dinyatakan,

"Ya, apa-apa yang dilakukan oleh orang yaitu berkumpul di rumah
keluarga mayat dan dihidangkan makanan untuk perkumpulan itu, ia
adalah termasuk bid'ah mungkarat (bid'ah yang diingkari agama). Bagi
orang yang memberantasnya akan diberi pahala." (I'anatut Talibin,
syarah Fathul Mu'in : juz 2, hal 145)

2. Imam Syafie sendiri tidak menyukai amalan berkumpul di rumah
kematian sepertimana yang telah dikemukakan di dalam kitab al-Umm
(Kitab Karangan Imam Syafi'I yang masyhur) :

"Aku tidak suka akan mat'am yaitu berkumpul (di rumah keluarga
mayat) meskipun di situ tiada tangisan kerana hal tersebut malah
akan menimbulkan kesedihan." (As-Syafie al-Umm : juz 1; hal 24)

3. Selanjutnya di dalam kitab I'anatut Talibin juga disebutkan
lagi, "Dan perkara yang sudah menjadi kebiasaan yaitu keluarga mayat
menghidangkan makanan untuk para undangan yang berkumpul, adalah
satu perkara bid'ah yang tidak disukai agama (Islam). Hal ini
samalah seperti berkumpul di rumah keluarga kematian itu sendiri
karena terdapat hadits sahih yang telah diriwayatkan oleh Jarir r.a
yang berkata, "Kami menganggap bahwa berkumpul di rumah keluarga
kematian yang menghidangkan makanan untuk jamuan para hadirin adalah
sama dengan hukum niyahah (meratapi mayat) yaitu haram." (I'anatut
Talibin, juz 2, hal 146)

4. Pengarang kitab I'anatut Talibin juga mengambil keterangan sahih
di dalam kitab Bazzaziyah yaitu,
"Dan hal itu dibenci, menyelenggarakan makanan pada hari pertama
(kematian), hari ketiga, sesudah seminggu dan juga memindahkan
makanan ke tanah kubur secara bermusim-musim." (I'anatut Talibin,
juz 2, hal 146)

5. Di dalam kitab Fiqh Mughnil Muhtaj disebutkan:

"Adalah, keluarga kematian yang menyediakan makanan dan orang ramai
berkumpul di rumahnya untuk menjamu, merupakan bid'ah yang tidak
disunatkan, dan di dalam hal ini Imam Ahmad telah meriwayatkan
hadits yang sahih daripada Jarir bin Abdullah, berkata, "Kami
menganggap bahwa berkumpul di rumah keluarga kematian dan keluarga
tersebut menghidangkan makanan untuk menjamu para hadirin, adalah
sama hukumnya seperti niyahah (meratapi mayat) yaitu haram."
(Mughnil Muhtaj, juz1, hal 26)

6. Di dalam kitab Fiqh Hasyiyatul Qalyubi dinyatakan, "Syeikh ar-
Ramli berkata, "Di antara bid'ah yang mungkarat (yang tidak
dibenarkan agama), yang dibenci apabila diamalkan sebagaimana yang
telah diterangkan di dalam kitab ar-Raudhah, yaitu apa-apa yang
telah dilakukan oleh orang yang dinamakan "kifarah" dan hidangan
makanan yang disediakan oleh tuan rumah kematian untuk jamuan orang
yang berkumpul di rumahnya sesudah kematian, serta penyembelihan di
tanah kubur." (Hasyiyatul Qalyubi, juz 1, hal 353)

7. Di dalam kitab Fiqh karangan imam Nawawi yaitu kitab al-Majmu'
syarah Muhazab, menyebutkan, "Penyedian makanan yang dilakukan oleh
keluarga kematian dan berkumpulnya orang yang ramai di rumahnya,
adalah tidak ada nasnya sama sekali, yang jelasnya semua itu adalah
bid'ah yang tidak disunatkan." (an-Nawawi, al-Majmu' syarah Muhazab,
juz 5, hal 286)

8. Pengarang kitab I'anatut Talibin juga turut mengambil keterangan
di dalam kitab al-Jamal syarah al-Minhaj yang berbunyi seperti
berikut, "Dan di antara bid'ah mungkarat yang tidak disukai ialah
sesuatu perkara yang sangat biasa diamalkan oleh individu yaitu
majlis menyampaikan rasa duka cita (kenduri arwah), berkumpul dan
membuat jamuan majlis untuk kematian pada hari keempat puluh, bahkan
semua itu adalah haram." (I'anatut Talibin, juz 2, hal 145-146)

9. Selanjutnya, pengarang kitab tersebut juga mengambil lagi
keterangan daripada kitab Tuhfatul Muhtaj syarah al-Minhaj yang
berbunyi, "Sesuatu yang sangat dibiasakan oleh seseorang dengan
menghidangkan makanan untuk mengundang orang ramai ke rumah keluarga
kematian merupakan bid'ah yang dibenci sebab ada hadits yang telah
diriwayatkan oleh Jarir yang berkata, "Kami (para sahabat nabi
Sallallahu `alaihi wasallam) menganggap bahwa berkumpul di rumah
keluarga kematian dan keluarga tersebut menghidangkan makanan untuk
majlis itu adalah sama dengan hukum niyahah yaitu haram." (I'anatut
Talibin, juz 2, hal 145-146)

10. Pengarang kitab tersebut mengambil lagi fatwa dari mufti mazhab
Syafie, Ahmad Zaini bin Dahlan,

"Dan tidak ada keraguan sedikit pun bahwa mencegah umat daripada
perkara bid'ah mungkarat ini sama seperti halnya menghidupkan sunnah
nabi Sallallahu `alaihi wasallam. Mematikan bid'ah seolah-olah
membuka pintu kebaikan seluas-luasnya dan menutup pintu keburukan
serapat-rapatnya karena orang lebih suka memaksa-maksa diri mereka
berbuat hal-hal yang akan membawa kepada sesuatu yang haram."
(I'anatut Talibin, juz 2, hal 145-146)

11. Dan di dalam kitab Fiqh Ala Mazahibil Arba'ah menyatakan, "Dan
di antara bid'ah yang dibenci agama ialah sesuatu yang dibuat oleh
individu yaitu menyembelih hewan-hewan di tanah kubur tempat mayat
di tanam dan menyediakan hidangan makanan yang diperuntukkan bagi
mereka yang datang bertakziah." (Abdurrahman al-Jaza'iri, al-Fiqhu
Ala Mazahibil Arba'ah, juz 1, hal 539)

Demikianlah di antara pendapat-pendapat para ulama Syafi'iyah
berkenaan selamatan atau kenduri arwah. Mereka telah
bersepakatbahawa amalan tersebut adalah bid'ah mungkarat atau bid'ah
yang dibenci.

Sedangkan untuk kegiatan mengirim pahala bacaan kepada si mati,
ulama Syafi'iyah telah bersepakat dan mempunyai satu pandangan yang
teguh yaitu mengirimkan pahala bacaan al-Qur'an kepada si mati
adalah tidak akan sampai kepada si mati atau roh yang dikirimkan.

Di bawah ini adalah sebagian daripada pendapat ulama Safi'iyah yang
berkaitan dengan amalan tersebut. Pendapat-pendapat ini telah
diambil dari kitab-kitab tafsir, kitab-kitab fiqh dan kitab-kitab
syarah hadits.

1. Pendapat Imam Syafie rahimahullah.

Imam Nawawi menyebutkan di dalam kitabnya, Syarah Muslim:

"Adalah, bacaan al-Qur'an (yang pahalanya dikirimkan kepada mayat),
maka pendapat yang masyhur dalam mazhab Syafie ialah amalan tersebut
tidak akan sampai kepada mayat. Sebagai dalilnya, imam Syafie dan
para pengikutnya mengambil daripada firman Allah SWT (yang
artinya), "Dan seseorang itu tidak akan memperoleh melainkan pahala
daripada daya usahanya sendiri."

Serta dalam sebuah sabda Nabi Sallallahu `alaihi wasallam yang
bermaksud, "Apabila manusia telah meninggal dunia, maka terputuslah
segala amal usahanya kecuali tiga daripada amalnya, sedekah jariah,
ilmu yang dimanfaatkan dan anak (lelaki atau perempuan) soleh yang
berdoa untuk simati" (an-Nawawi, Syarah Muslim : juz 1 hal; 9)

Kemudian  imam Nawawi di dalam kitab Taklimatul Majmu', Syarah
Muhazzab juga mengatakan:

"Adalah membaca al-Qur'an dan mengirimkannya sebagai pahala untuk
seseorang yang mati dan menggantikan sembahyang untuk seseorang yang
mati atau sebagainya adalah tidak sampai kepada mayat yang
dikirimkan menurut Jumhurul Ulama dan imam Syafie." Keterangan ini
telah diulang beberapa kali oleh imam Nawawi di dalam kitabnya,
Syarah Muslim. (as-Subuki, Taklimatul Majmu', Syarah Muhazzab: juz
10, hal; 426)

Menggantikan sembahyang untuk si mati maksudnya adalah menggantikan
sembahyang yang telah ditinggalkan oleh si mati semasa hidupnya.

2. Al-Haitami di dalam kitabnya, al-Fatawa al-Kubra al-Fiqhiyyah,
berkata:

"Bagi seseorang mayat, tidak boleh dibacakan kepadanya apa-apa pun
berdasarkan keterangan yang mutlak dari ulama Mutaqaddimin
(terdahulu) yaitu bacaan-bacaan yang disedekahkan kepada si mati
adalah tidak akan sampai kepadanya karena pahala bacaan tersebut
hanya pembacanya saja yang menerima. Pahala yang diperoleh dari
hasil suatu amalan yang telah dibuat oleh amil (orang yang beramal)
tidak boleh dipindahkan kepada orang lain berdasarkan sebuah firman
Allah yang berbunyi, "Dan manusia tidak memperolehi kecuali pahala
dari hasil usahanya sendiri."  (Al-Haitami, al-Fatawa al-Kubra al-
Fiqhiyah : juz 2, hal; 9)

3. Imam Muzani (Murid Imam Syafi'i), di dalam Hamisy al-Umm, juga
berkata:

"Rasulullah Sallallahu `alaihi wasallam telah memberitahu
sebagaimana yang telah diberitakan dari Allah bahawa dosa seseorang
akan menimpa dirinya sendiri seperti halnya sesuatu amal yang telah
dikerjakan adalah hanya untuk  dirinya sendiri bukan untuk orang
lain dan ia tidak dapat dikirimkan kepada orang lain." (Catatan kaki
al-Umm as-Syafie : juz 7, hal ; 269)

4. Imam al-Khazin di dalam tafsirnya mengatakan,

"Dan yang masyhur di dalam mazhab Syafie adalah bahwa bacaan al-
Qur'an (yang pahalanya dikirimkan kepada mayat) adalah tidak dapat
sampai kepada mayat yang dikirimkan" (Al-Khazin, al-Jamal : Juz 4,
hal ; 236)

5. Di dalam tafsir Jalalain telah disebutkan seperti berikut,

"Maka seseorang tidak akan memperolehi pahala sedikit pun dari hasil
usaha orang lain." (Tafsir Jalalain : juz 2, hal ; 197)

6. Ibnu Katsir di dalam tafsirnya, Tafsirul Qur'anil Azim telah
menafsirkan surah an-Najm ayat 39 sebagai berikut:

"Yaitu sebagaimana dosa seseorang tidak boleh menimpa atas orang
lain begitu juga halnya seseorang manusia juga tidak bisa memperoleh
pahala melainkan dari hasil usaha amalannya sendiri. Dan daripada
surah an-najm ayat 39 ini, Imam Syafie r.a dan para ulama yang
mengikutnya telah mengambil kesimpulan bahwa, pahala bacaan yang
dikirimkan kepada mayat adalah tidak akan sampai kepadanya karena
amalan tersebut bukan daripada hasil usahanya sendiri. Oleh sebab
itu, Rasulullah Sallallahu `alaihi wasallam tidak pernah
menganjurkan umatnya agar mengamalkan pengiriman tahlil. Baginda
juga tidak pernah memberikan bimbingan tersebut dalam nas atau
berupa isyarat di dalam hal tersebut. Tidak juga di kalangan para
sahabat ada yang melakukan amalan tersebut, dan sekiranya amalan
tersebut memang satu amalan yang digalakkan, tentunya mereka telah
mengamalkannya terlebih dahulu, karena amalan untuk mendekatkan diri
kepada Allah ada batasan-batasan nas yang terdapat di dalam al-
Qur'an dan sunnah Rasul Sallallahu `alaihi wasallam dan tidak boleh
dipalingkan dengan qias-qias atau pendapat-pendapat ulama."

Demikian yang saya ketahui Kang Ramdan, dan hal2 seperti diatas ini
telah saya konfirmasikan kepada Ustadz dimana saya melakukan kajian
agama, dan beliau pun mem-benarkannya.

Wassalam


__._,_.___

Ilmu merupakan harta abstrak titipan Allah Subhanahu wata'ala kepada seluruh manusia yang akan bertambah bila terus diamalkan, salah satu pengamalannya adalah dengan membagi-bagikan ilmu itu kepada yang membutuhkan.
Janganlah sombong dengan ilmu yang sedikit, karena jika Allah Subhanahu wata'ala berkehendak ilmu itu akan sirna dalam sekejap, beritahulah orang yang tidak tahu, tunjukilah orang yang minta petunjuk, amalkanlah ilmu itu sebatas yang engkau mampu.





YAHOO! GROUPS LINKS




__,_._,___

Kirim email ke