Thread "Tidak mau bicara sama KROCO" berkembang
menjadi kemana-mana di mailing-list f35. Bahkan 
menghasilkan sub-threads 'SONTOLOYO' dan 'Hati
Nurani'. Anehnya pembicaraan menjadi kemana-mana
yang menyangkut tokoh-tokoh di luar tokoh awal dalam
"Tidak mau bicara sama KROCO". Isinya tak lain 
adalah ledek-ledekan tak ada hasil, selain memper-
tegas pertentangan dan permusuhan.

Di mail-list lain seperti FID, malah berkembang men-
jadi pengajian mengasyikkan antara Ustadz dan
Santrinya. Padahal maksud pertama thread awal itu
adalah mempermasalahkan sikap 'arogansi intelektual'
atau 'arogansi akademis' seorang guru besar kepada
penelepon maupun 'mitra' telewicara dalam suatu acara
dialog di suatu media elektronik, yang sangat mungkin
'pemirsanya' juga mencakup kalangan akademisi, 
bahkan dalam disiplin ilmu yang sama.

Pendapat atau pertanyaan tersirat itu muncul pada diri
saya, karena dewasa ini banyak para guru besar atau
setidaknya doktor, tetap mencantumkan gelar akademik
sebagai pelengkap nama untuk menaikkan 'nilai' terten-
tu dalam berwacana, namun dengan serta merta menu-
runkan martabatnya. Misalnya petikan pernyataan 
seorang profesor berikut yang kebetulan juga dari UI
yang menempatkan dirinya sebagai pengamat sosial
dan budaya:

"Jangankan masyarakat biasa, saya sendiri ikut
bingung membaca atau mendengar berita dari media
cetak dan elektronik", ujar Prof. Hardjana (Kompas,
14/6-2001, hal 6). Bukankah terasa ada ungkapan 
'kesombongan' dari ungkapan tersebut?  Maklum dalam
pikiran saya, masih menganggap 'profesor' itu adalah
guru besar yang gelar akademiknya bukan karena
belajar dan lulus dalam suatu ujian (seperti doktor,
master ataupun sarjana, kecuali gelar-gelar kehormatan dan pembelian tentunya..;={).) 
melainkan diakui oleh
almamater-nya dan disetujui oleh pemerintah serta tak
lepas pula dari dunia akademisi 'intenasional'.

Untuk diakui sebagai seorang guru besar atau
mahaguru, tentunya menghasilkan sesuatu 'karya ilmiah'
yang lurus dalam rel-keilmuan dan profesinya sebagai
'guru'. Prestasi akademis yang sangat pas adalah
'tulisan' pendukung keilmuannya. Paling tidak karya
mandiri keilmuan itu dikenal oleh civitas academica
tempat para guru besar itu berkarya (kiprah juga boleh
ding). Sayang saya belum banyak tahu hasil-hasil karya
para guru besar itu, selain aturan perundangan bahwa
seorang 'doktor' (dulu sih boleh dari sarjana atau mas-
ter) berhak menjadi profesor setelah berpangkat 
IVb dan mengumpulkan 1000 point (KUM) kegiatan
Tri Dharma Perguruan Tinggi. Dari 1000 itu proporsi
Dharma Pendidikannya sekurang-kurangnya 33.3%,
Penelitian maksimum 33.3% dan Pengabdian Pada
Masyarakat, yang penting ada! (minimum 1 point) 
dalam 1 tahun akademik.

Masalahnya kalau kemudian para profesor dan doktor-2
itu merendahkan diri hanya sebagai 'pengamat' dan
pemerhati masalah-masalah generik, kan lucu
ya mencantumkan gelar-gelarnya di tempat umum?
Contoh Prof. Hardjana di atas merupakan salah satu
fakta yang mlintir. Beliau menganggap dirinya lebih
dari orang kebanyakan di kawasan umum (wong terjadi 
dalam suatu diskusi "Masalah Disintegrasi dan Keber-
pihakan Pers") dengan mitra wicara seorang wartawan
senior. Lucu kan dalam acara itu jelas beliau kalah
mumpuni dibanding si wartawan senior dalam dunia
Pers, orang menyatakan diri sebagai Pengamat Sosial
dan Budaya, kok?

Apakah hal-hal demikian tidak menimbulkan disinfor-
masi juga. Seperti beberapa hari yang lalu ketika 
Bung Indra Piliang menyatakan asal disiplin ilmu seo-
rang temannya yang dari 'Metalurgi' tetapi melakukan
penelitian 'salak pondoh'? Untung teman yang disebut
memberikan klarifikasi, namun ungkapan yang belum
dilengkapi latar belakang dan 'judul' informatif kan dapat
menjadikan orang bertanya-tanya, "apa hubungannya
metalurgi dengan sosiologi salak pondoh?".

Olehnya itu, anggap saja semua pembicaraan dewasa
ini hanyalah Pembicaraan KROCO-SONTOLOYO yang
kadang lepas dari Hati Nurani... (Nurani itu nama
bojoku rek... hahahaa). Mending mencermati petani-2
semangka di Jepang yang mengulang sukses percoba-
an 20 tahun yang lalu dengan SEMANGKA KOTAK-nya
karena menjadikan praktis dalam transportasi dan
didukung oleh kenyataan sekarang, bahwa dengan
teknologi refrigerasi mekanis sederhana, orang jualan
semangka tidak perlu irisan utuh kulit-putihan-merah
dari keratan semangka, cukup dijajakan yang siap
santap pada 'bento-trays' terpajang rapih di estalase-2
'Fresh-food' di supermarket atau YAOYA (Kompas
hari ini, 15/6-2001).

    Ki Denggleng Pagelaran
--------------------------


...........Menuju Indonesia yang Demokratis dan Berkeadilan............
Untuk bergabung atau keluar dari Milis, silakan anda lakukan sendiri
Bergabung: [EMAIL PROTECTED]
Keluar: [EMAIL PROTECTED]

->Cake, parcel lebaran & bunga2 natal? Di sini, http://www.indokado.com<--

Kirim email ke