memang tidak ada gunanya mempersoalkan ke profesoran ismail sunny.
karena dia memperalat ke akademisannya untuk tujuan politik pribadinya.
sama seperti ada orang yang memperalat dan membawa isu agama untuk tujuan
politik.  tidak usah dipersoalkan agamanya.  lebih baik mempersoalkan siapa
sih ismail sunny ini ?  track of record nya dalam bidang politik bisa
ditelusuri.  kalau keakademisannya yah nggak usah ditelusuri, sama seperti
keakademisan prof jimly a. mereka ini adalah masuk grup profesor yang
merangkap alat politikus.  rekannya prof sarlito ingat kasus ita, affan
ghaffar, amir santoso, andi malarangeng dan masih banyak lagi, termasuk
banyak yang ngantri mau ikutan. 


ridwan 

----------------------------------------------------------------------------
---
At 07:19 AM 6/15/01 +0700, you wrote:
>Thread "Tidak mau bicara sama KROCO" berkembang
>menjadi kemana-mana di mailing-list f35. Bahkan 
>menghasilkan sub-threads 'SONTOLOYO' dan 'Hati
>Nurani'. Anehnya pembicaraan menjadi kemana-mana
>yang menyangkut tokoh-tokoh di luar tokoh awal dalam
>"Tidak mau bicara sama KROCO". Isinya tak lain 
>adalah ledek-ledekan tak ada hasil, selain memper-
>tegas pertentangan dan permusuhan.
........................................................
>
>Pendapat atau pertanyaan tersirat itu muncul pada diri
>saya, karena dewasa ini banyak para guru besar atau
>setidaknya doktor, tetap mencantumkan gelar akademik
>sebagai pelengkap nama untuk menaikkan 'nilai' terten-
>tu dalam berwacana, namun dengan serta merta menu-
>runkan martabatnya. Misalnya petikan pernyataan 
>seorang profesor berikut yang kebetulan juga dari UI
>yang menempatkan dirinya sebagai pengamat sosial
>dan budaya:
>
>"Jangankan masyarakat biasa, saya sendiri ikut
>bingung membaca atau mendengar berita dari media
>cetak dan elektronik", ujar Prof. Hardjana (Kompas,
>14/6-2001, hal 6). Bukankah terasa ada ungkapan 
>'kesombongan' dari ungkapan tersebut?  Maklum dalam
>pikiran saya, masih menganggap 'profesor' itu adalah
>guru besar yang gelar akademiknya bukan karena
>belajar dan lulus dalam suatu ujian (seperti doktor,
>master ataupun sarjana, kecuali gelar-gelar kehormatan dan pembelian
tentunya..;={).) melainkan diakui oleh
>almamater-nya dan disetujui oleh pemerintah serta tak
>lepas pula dari dunia akademisi 'intenasional'.
>
>Untuk diakui sebagai seorang guru besar atau
>mahaguru, tentunya menghasilkan sesuatu 'karya ilmiah'
>yang lurus dalam rel-keilmuan dan profesinya sebagai
>'guru'. Prestasi akademis yang sangat pas adalah
>'tulisan' pendukung keilmuannya. Paling tidak karya
>mandiri keilmuan itu dikenal oleh civitas academica
>tempat para guru besar itu berkarya (kiprah juga boleh
>ding). Sayang saya belum banyak tahu hasil-hasil karya
>para guru besar itu, selain aturan perundangan bahwa

>
>Masalahnya kalau kemudian para profesor dan doktor-2
>itu merendahkan diri hanya sebagai 'pengamat' dan
>pemerhati masalah-masalah generik, kan lucu
>ya mencantumkan gelar-gelarnya di tempat umum?
>Contoh Prof. Hardjana di atas merupakan salah satu
>fakta yang mlintir. Beliau menganggap dirinya lebih
>dari orang kebanyakan di kawasan umum (wong terjadi 
>dalam suatu diskusi "Masalah Disintegrasi dan Keber-
>pihakan Pers") dengan mitra wicara seorang wartawan
>senior. Lucu kan dalam acara itu jelas beliau kalah
>mumpuni dibanding si wartawan senior dalam dunia
>Pers, orang menyatakan diri sebagai Pengamat Sosial
>dan Budaya, kok?
>
>Apakah hal-hal demikian tidak menimbulkan disinfor-
>masi juga. Seperti beberapa hari yang lalu ketika 
>Bung Indra Piliang menyatakan asal disiplin ilmu seo-
>rang temannya yang dari 'Metalurgi' tetapi melakukan
>penelitian 'salak pondoh'? Untung teman yang disebut
>memberikan klarifikasi, namun ungkapan yang belum
>dilengkapi latar belakang dan 'judul' informatif kan dapat
>menjadikan orang bertanya-tanya, "apa hubungannya
>metalurgi dengan sosiologi salak pondoh?".
>
>Olehnya itu, anggap saja semua pembicaraan dewasa
>ini hanyalah Pembicaraan KROCO-SONTOLOYO yang
>kadang lepas dari Hati Nurani... (Nurani itu nama
>bojoku rek... hahahaa). Mending mencermati petani-2
>semangka di Jepang yang mengulang sukses percoba-
>an 20 tahun yang lalu dengan SEMANGKA KOTAK-nya
>karena menjadikan praktis dalam transportasi dan
>didukung oleh kenyataan sekarang, bahwa dengan
>teknologi refrigerasi mekanis sederhana, orang jualan
>semangka tidak perlu irisan utuh kulit-putihan-merah
>dari keratan semangka, cukup dijajakan yang siap
>santap pada 'bento-trays' terpajang rapih di estalase-2
>'Fresh-food' di supermarket atau YAOYA (Kompas
>hari ini, 15/6-2001).
>
>    Ki Denggleng Pagelaran
>--------------------------
>



...........Menuju Indonesia yang Demokratis dan Berkeadilan............
Untuk bergabung atau keluar dari Milis, silakan anda lakukan sendiri
Bergabung: [EMAIL PROTECTED]
Keluar: [EMAIL PROTECTED]

->Cake, parcel lebaran & bunga2 natal? Di sini, http://www.indokado.com<-- 

Kirim email ke