Dear Ida,

Saya sendiri terus terang terkejut menyaksikan berbagai akrobatik logika yang 
dipertontonkan teman-teman yang selama ini tampak begitu gigih mendukung 
kebebasan dan melawan intervensi negara ke dalam ranah pribadi warganya, 
termasuk juga menentang RUU APP, tetapi kini ternyata menjadi jelas bagi saya 
siapa mereka ini sesungguhnya. Tak punya konsistensi, tak berprinsip, hebat 
berasionalisasi demi menjustifikasi kesewenang-wenangan. 

Tak kalah mengejutkan adalah bahwa ternyata mereka ini adalah pendukung 
"pendekatan keamanan" yang persis dengan apa yang selama ini diterapkan Orde 
Baru: demi keamanan, maka kebebasan boleh diberangus. demi keamanan, boleh 
dibuat aturan represif yang menindas warga.

Dan lucunya, ketika ini saya ungkapkan, saya lalu dicap sebagai akademisi 
idealis tanpa empati, cuma mengunggulkan logika tanpa melihat realitas. Dengan 
kata lain, saya dipaksa untuk menerima begitu saja "realitas" yang berbentuk 
segala aturan yang mewajibkan "integrasi" bagi para warga pendatang, yang 
membenarkan pelarangan terhadap budaya pendatang yang dianggap tak kompatibel 
dengan budaya "indigenous", yang membenarkan legitimasi penerapan aturan hukum 
di atas landasan mayoritas lawan minoritas, dll.

Saya cuma bisa bereaksi dengan cara: ha ha ha ha ha ha ha! secara keras-keras 
saking lucunya sekaligus tragisnya situasi para "pejuang HAM" yang selama ini 
sibuk menentang berbagai pemaksaan aturan keislaman dan militerisme di 
Indonesia.

manneke


-----Original Message-----

> Date: Fri Nov 24 09:25:01 PST 2006
> From: "idakhouw" <[EMAIL PROTECTED]>
> Subject: [mediacare] Budaya indigeneous - Re: Belanda Berencana Larang Jilbab
> To: mediacare@yahoogroups.com
>
> Saya tentu saja terkagum-kagum pada kemajuan2 yang saya lihat di
> Belanda, Eropa, atau negara2 maju lainnya yang memang kalau
> dibandingkan Indonesia banyak jauh tertinggal.
>  
> Namun kekaguman itu tidak membuat saya shock berkepanjangan, bila ada
> kebijakan pemerintah yang memang tidak tepat, kenapa tidak akui dan
> nilai terus terang bahwa memang tidak tepat? 
> 
> Meminjam perbandingan yg dipakai Manneke, logika peraturan anti burqa
> itu kan persis logika RUU APP yang mengatur dress code perempuan.
> Kenapa terhadap RUU APP banyak dari kita berani vokal (yg saya setujui
> dalam hal ini), tapi tidak terhadap pemerintah Belanda? Di sini saya
> melihat gejala shock-nya sekian banyak orang2 Indonesia yg tinggal di
> negara2 maju. 
> 
> (sedikit melenceng) :
> Mengenai perbandingan dengan pendatang dari 'dunia ketiga' lain,
> sedikit banyak saya perhatikan juga beberapa teman/kenalan (misalnya
> yang dari India), yg bila dibandingkan dengan yg dari Indonesia (maaf,
> kebetulan saya sering sekali ketemu tipe yang shock berkepanjangan),
> orang2 India (yg saya kenal) ini sikapnya jauh bisa lebih percaya diri
> sebagai orang India. 
> 
> Sikap seperti ini -sayangnya- tidak sering saya temukan di kalangan
> orang Indonesia pendatang; misalnya hal yg makin sering saya temukan:
> orang2 Indonesia suka 'ikut senang' negerinya diolok2 (perhatikan kata
> DIOLOK-OLOK) orang lain. Sikap seperti itu tidak saya temukan pada
> kenalan2 orang India 
> 
> Itu sebabnya saya bertanya2 apakah mentalitas demikian dari orang2
> Indonesia ini buah sukses penguasa penjajah Indonesia
> memelihara/mengkondisikan the so-called inlandersmentaliteit.....  
> 
> Ida Khouw

Kirim email ke