Salam sejahtera... At 19:55 18-03-2002 -0800, "elang gunung" wrote:
Beberapa pernyataan Anda cukup menarik untuk dibicarakan di sini. Boleh saya tahu bagaimana Anda bisa sampai pada simpulan -sementara ?- demikian ? >semuanya harus serba militer. siswa sd/smp/sma mesti >pake seragam (ala militer), Siswa-siswi di Jepang pun sampai sekarang begitu, tapi lihat bagaimana peran mereka dalam pecaturan ekonomi dunia. Para calon raja Inggris pun musti masuk angkatan bersenjata, bahkan Pangeran Andrew menjadi pilot heli tempur dalam Perang Malvinas dan sempat memegang peran sebagai umpan peluru musuh. Saya kira ini mengenai budaya dasar / nilai-nilai asli suatu bangsa, bukan ideologi yang diterapkan oleh pemerintahnya. >contohnya liat aja adik-adik pramuka kita atau >paskibraka kita. mangkanya mutu siswa/siswinya sama >seperti seorang prajurit. Militerisme tidak sama dengan kedisiplinan. Romawi bisa berjaya karena militernya berdisiplin. Romawi runtuh, karena para komandan legiunnya kemudian menggunakan prajuritnya untuk saling rebut kekuasaan. >yang mau melakukan semua >kegiatannya asal ada yang nyuruh bukan berdasarkan >inisiatif sendiri, katakan disiplin mereka itu bukan >disiplin keilmuan tapi disiplin militer...he he he... Pola pikir prajurit tidak sesederhana yang Anda pikir. Secara sederhana, tugas tamtama (Kopka s/d Prada) adalah menjalankan perintah. Peran perwira (Letda ke atas) sebagai perencana dan pemberi perintah, sementara bintara (semua tingakatan sersan) adalah pengawas pelaksanaan perintah. Itu semua harga mati. Kalau Anda berada dalam lingkungan pegawai sipil, yang -maaf- kurang mengenal kedisiplinan, melawan -dalam artian negatif- atasan 3 tingkat ke atas bisa dilakukan. Dalam lingkungan militer, melawan prajurit yang berada satu tingkat saja di atas, bisa berujung pada tamparan. Satu hal jelas : dunia militer dan dunia sipil berbeda. Namun penerapannya dalam lingkungan lain, bisa merupakan hal yang menguntungkan, bisa sebaliknya. Semuanya bergantung pada budaya dan nilai-nilai yang dimiliki. >kalo sudah seperti itu muncul pemberontakan dari >mereka-mereka yang punya inisiatif. Boleh saja berprakarsa (to initiate -> initiative), namun dalam tataran yang logis dan bijak, bukan dengan menyatakan orang lain salah dan saya benar. Semuanya berdasarkan hal sederhana : santun dan menghargai orang lain, tidak perduli ke atas atau ke bawah. >saking beratnya >pendidikan yang mereka dapet, akhirnya mereka nyari >yang ringan-ringan misalnya nge-band. Memangnya kalau nge-"band" tidak mengandung kedisiplinan, yang berbau militer ? Bagaimana Rolling Stone -misalnya- bisa tetap berjaya, kalau Si Dower Mick Jagger tidak menanggap dirinya sama dengan anggota lain ? >Indonesia banyak sekali seniman bukan teknokrat. Memangnya kenapa dengan seniman ? Tiongkok di masa silam diwarnai dengan puisi, namun lihat bagaimana besarnya peran mereka dalam percaturan dunia. >Indonesia kan seharusnya lebih bisa berdiskusi, karena >yang diwariskan leluhur kita kan gotong royong. Gotong-royong, memang iya, namun atas 'kesadaran', bukan dengan berdiskusi dulu, membentuk pansus dan sebagainya. Makanya kita mudah dijajah, entah oleh ras asing, entah oleh orang sendiri...yang ada di Senayan sono ! ;) Sharif Dayan di Palembang PS: ini belum "off topic", kah ? * Gunadarma Mailing List ----------------------------------------------- * Archives : http://milis-archives.gunadarma.ac.id * Langganan : Kirim Email kosong ke [EMAIL PROTECTED] * Berhenti : Kirim Email kosong ke [EMAIL PROTECTED] * Administrator: [EMAIL PROTECTED]