Dede,

Terima kasih untuk salam yang sudah disampaikan.

Karena kini menjadi pembaca, alias konsumen, saya hanya heran kenapa
majalah sekaliber Tempo menulis berdasarkan KEYAKINAN dan bukannya
FAKTA. Keyakinan yang diperoleh dari polisi?

salam
Farid Gaban


--- In ppiindia@yahoogroups.com, Nugroho Dewanto <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
>
> 
> Mas Farid,
> 
> Anda lebih tahu dari saya, sejak dulu Tempo tak pernah kehilangan
> daya kritis terhadap polisi.
> 
> Banyak perilaku buruk polisi sudah diberitakan. Tapi kalau polisi
sekali waktu
> benar, ya kita akuilah.
> 
> Dalam pengungkapan terorisme, Tempo juga tak selalu sejalan dengan
polisi.
> Ingat cerita dokumen arab pegon dari Solo tempo hari? Berita Tempo
secara
> diametral bertentangan dengan berita The Straits Times Singapura yang
> semata bertumpu pada dokumen, dengan sedikit saja konfirmasi dan
verifikasi.
> 
> Salam Anda akan saya sampaikan kepada Arif Zulkifli Cs yang
> nota bene murid-murid Anda juga.
> 
> 
> 
> 
> At 04:07 PM 6/25/2007, you wrote:
> 
> >Dede,
> >
> >Kapan ya kira-kira Tempo bisa menulis dengan sedikit lebih kritis
> >terhadap polisi?
> >
> >Dujana DIYAKINI...
> >Yang terang, ia DIYAKINI menempati posisi istimewa...
> >
> >(siapa yang meyakini?)
> >
> >Zarkasih alias Nuaim juga punya pengalaman internasional yang luas.
> >
> >(siapa mengatakan? Polisi atau hasil investigasi Tempo?)
> >
> >salam buat teman-teman di Tempo,
> >Farid Gaban
> >
> >--- In <mailto:ppiindia%40yahoogroups.com>ppiindia@yahoogroups.com, 
> >Nugroho Dewanto <ndewanto@> wrote:
> > >
> > >
> > >
> > > Abu Dujana dan Teror yang Menyelinap
> > >
> > > KADANG kala, kemudaratan besar muncul dari mimpi yang luhur.
> > >
> > > Di Kamboja, tiga dekade silam, tepatnya pada 1979, Pol Pot
> > > menancapkan sebuah pancang raksasa. Dari sebuah titik nol itu,
ia dan
> > > kawan-kawan Khmer Merahnya mau menguburkan masa lalu yang korup,
> > > busuk, dan kotor. Membangun masyarakat baru yang adil-makmur, dengan
> > > kelas buruh taninya yang bebas dari segala eksploitasi.
> > >
> > > Di Afganistan, pada 1996, Kabul jatuh ke tangan Taliban. Sejak itu,
> > > Taliban yang berkuasa tak mengalihkan pandangannya dari satu model:
> > > masyarakat islami, lepas dari Barat yang materialistis, egoistis,
> > > eksploitatif, dan hedonistis. Membebaskan masyarakat Afganistan dari
> > > penyakit-penyakit sosial, buah peradaban kapitalistis modern, seraya
> > > mengembalikan nilai-nilai lama. Dan itu bisa ditempuh melalui jalan
> > > apa pun: dari yang sifatnya superfisial hingga yang fatal.
> > >
> > > Maka, di Afganistan, Taliban cepat memerangi para penentang ide itu,
> > > menggerakkan polisi moralnya untuk mengawasi perempuan membungkus
> > > tubuhnya baik-baik, melarang perempuan kuliah di universitas, dan
> > > memaksa lelaki memelihara jenggot. Di Kamboja, Khmer Merah
mendirikan
> > > panggung mengerikan atau killing fields--tempat mereka membantai
> > > orang yang tidak sehaluan atau yang dianggap menghalangi niat luhur
> > > itu. Dan di Indonesia, di Bali, sekelompok orang meledakkan klub
> > > malam pada 2002, menewaskan 202 orang turis dan warga sendiri.
Lantas
> > > berturut-turut giliran Hotel Marriott (2003), Kedutaan Besar
> > > Australia (2004), dan Bali lagi (2005).
> > >
> > > Memang mereka bukan Khmer Merah yang sebentar lagi akan diadili di
> > > Kamboja, dan mungkin tak persis sama dengan Taliban yang masih
> > > bergerilya di Afganistan Selatan. Yang menyatukan mereka hanyalah
> > > keyakinan bahwa dunia harus diubah secara drastis.
> > >
> > > Dunia tempat kita berteduh menyimpan banyak ketidakadilan. Tapi
> > > itulah dunia yang tidak pernah sepi dari eksperimen mendirikan
> > > masyarakat yang ideal serta menyingkirkan segala hal yang dianggap
> > > busuk. Dari penyelidikan selama ini, pelakunya bisa siapa saja, bisa
> > > berpenampilan sangar, bisa lemah lembut. Ia ada di antara kita
dengan
> > > aneka profesi, dari tukang jahit, tukang servis elektronik, hingga
> > > guru mengaji. Dan tentang Abu Dujana serta Zarkasih--dua tokoh
> > > penting organisasi Jamaah Islamiyah--yang membedakan mereka dari
> > > anggota masyarakat lain adalah hal yang bersembunyi dalam
pikirannya:
> > > mereka orang yang hidup dengan mimpi luar biasa itu.
> > >
> > > Abu Dujana atau Ainul Bahri dikenal sebagai orang yang baik dan
> > > santun. "Dia juga pendiam dan sabar," kata pamannya. Tapi polisi
> > > punya catatan lain. Dujana diyakini ikut merancang Bom Bali I dan
> > > menjalani latihan militer di Afganistan. Pengalaman internasionalnya
> > > pun luas: ia pernah menjadi instruktur di Peshawar, Pakistan, dan di
> > > Mindanao, Filipina Selatan. Dujana pandai berbahasa Inggris dan
Arab.
> > > Yang terang, ia diyakini menempati posisi istimewa setelah kematian
> > > Azahari Husin dalam suatu tembak-menembak dua tahun lalu.
> > >
> > > Zarkasih alias Nuaim juga punya pengalaman internasional yang luas.
> > > Tiga tahun ia menjadi instruktur di Afganistan dan melatih di
> > > Mindanao, Filipina Selatan. Sepulang ke Indonesia, ia menjadi salah
> > > satu sesepuh Jamaah Islamiyah. Belakangan, Zarkasih terpilih sebagai
> > > Amir Darurat Jamaah Islamiyah di Asia Tenggara. Sama dengan Dujana,
> > > oleh tetangganya di Ngaglik, Sleman, Zarkasih dikenal sebagai
> > > pedagang roti yang ramah.
> > >
> > > Mungkin kita dapat meraba situasi macam apa yang diciptakan dan
> > > kemudian dihadapi Abu Dujana, Zarkasih, dan kawan-kawan. Sekelompok
> > > orang berhasil menemukan akar keangkaramurkaan, lalu segalanya
> > > berhenti di situ. Mereka menumpahkan segenap kesalahan dan keburukan
> > > di muka bumi ini pada hal itu, sehingga tak ada lagi ruang buat
> > > mengetahui kesalahan sendiri. Padahal dunia tidak akan berubah
> > > seandainya kita juga tidak pintar mengkritik diri sendiri. Buku
> > > biografi Imam Samudra, Aku Melawan Teroris, bisa bercerita banyak
> > > untuk menjelaskan fenomena ini.
> > >
> > > Kini banyak pujian ditujukan kepada tim antiteror kepolisian,
setelah
> > > dua pentolan jaringan Jamaah Islamiyah Asia Tenggara, Abu Dujana dan
> > > Zarkasih, dapat ditangkap. Tentu saja ini merupakan kemajuan hebat
> > > dibanding saat pertama kali Indonesia menghadapi teror bom, tahun
> > > 2002. Ya, setelah Bom Bali II, 2005, polisi berhasil menangkap
> > > beberapa tokoh penting Jamaah Islamiyah.
> > >
> > > Dan sejauh ini, polisi juga telah membuktikan bahwa perang melawan
> > > teroris bukan saja perang menaklukkan, tapi juga menyadarkan.
> > > Persuasi melalui kerabat dekat dan tokoh lokal karismatis
mungkin tak
> > > akan berarti bagi sosok seperti Abu Dujana dan Zarkasih. Namun
itulah
> > > instrumen yang efektif mengembalikan mereka yang terbuai mimpi bahwa
> > > hidup lebih baik setelah musuh dilumpuhkan.
> > >
> > > (Opini Majalah Tempo, Senin 18 Juni 2007)
> > >
> > >
> > >
> > > [Non-text portions of this message have been removed]
> > >
> >
> >
> 
> 
> 
> [Non-text portions of this message have been removed]
>


Kirim email ke