ini pendapat teman saya luthfi assyaukanie:
Munculnya kelompok-kelompok "sempalan" sebetulnya sesuatu yang lumrah di dalam Islam. Pada masa-masa awal sejarah Islam, ada ratusan kelompok keagamaan yang biasa dikenal dengan sebutan "mazhab." Dalam Islam ada dua jenis mazhab utama, yakni mazhan dalam teologi dan mazhab dalam fikih. Sebelum abad ke-10 M, kedua jenis mazhab ini tumbuh dengan subur, tanpa ada larangan dari lembaga atau otoritas agama. Sejarah Islam mengenal banyak sekali mazhab teologi, seperti Khawarij, Murji'ah, Syi'ah, Asy'ariyah, Mu'tazilah, dan Maturidiyah. Sebagian mazhab-mazhab ini memiliki banyak pengikut dan sebagian lain hanya sedikit. Sebelum mazhab Sunni mendominasi kehidupan kaum Muslim, semua mazhab itu bisa hidup, saling berinteraksi dan bertukar pandangan dalam perdebatan-perdebatan ilmiah. Namun setelah mazhab Sunni mendominasi sejak abad ke-10 itu, mazhab-mazhan teologi diperangi dengan cara memusuhi dan mengecamnya. Para ulama Sunni seperti al-Juwaini dan al-Ghazali menciptakan formula teologis yang intinya menganggap sesat (dhalal) mazhab-mazhab yang tidak sejalan dengan mazhab Sunni. Adapun mazhab-mazhab dalam fikih, khususnya yang mendukung teologi Sunni, dibiarkan berkembang pesat. Sejak abad ke-10 itu, mazhab-mazhab teologi lambat-laun mati. Hanya Syi'ah yang bisa bertahan sampai sekarang dan memiliki cukup banyak pengikut, khususnya di Iran. Mazhab Sunni yang menguasai sebagian besar wilayah Islam tidak pernah lagi mentolerir jika ada kelompok-kelompok keagamaan yang memiliki pandangan berbeda, khususnya dalam masalah-masalah teologis seperti ketuhanan, kenabian, dan kitab suci. Siapa saja yang berani memiliki pandangan berbeda akan langsung dicap sesat. Para ulama Sunni juga membuat aturan-aturan yang dapat memberikan sanksi berat terhadap pendiri mazhab baru. Jika kekeliruannya dianggap belum terlalu menyimpang, maka paling disuruh bertobat, tapi jika dianggap sudah sangat jauh, maka harus dipenjara dan kalau perlu dibunuh. Istilah "kelompok sempalan" atau "aliran sesat" yang digunakan oleh MUI, merupakan warisan lama mazhab Sunni, ketika mereka berusaha membendung munculnya mazhab-mazhab baru. Siapa saja yang berusaha mendirikan kelompok dengan ajaran yang berbeda dari doktrin mainstream maka akan dianggap sesat dan keluar dari Islam. Karena alasan inilah, MUI memusuhi dan mencap sesat kelompok Ahmadiyah dan Salamullah. Dengan alasan yang sama, mereka kini menghakimi al-Qiyadah al-Islamiyah. Sikap mengejek dan memusuhi orang yang mengaku Nabi adalah cermin dari ketidakpercayaan diri (pede). Kalau umat Islam pede, mengapa harus khawatir agama ini terancam; bukankah Islam dijamin oleh Allah sebagai agama yang benar sampai hari kiamat? Mengapa harus risau jika ada agama atau aliran-aliran baru yang muncul? Saya percaya, aliran-aliran atau kelompok-kelompok agama itu akan mengikuti seleksi alam. Siapa yang mampu bertahan dengan tuntutan zaman, dia akan survive, tapi jika tidak, maka akan mati dengan sendirinya. Jadi, tidak usah repot-repot meminta polisi untuk membubarkan kelompok ini atau kelompok itu. Biarkan saja, jika mereka mampu menyediakan sesuatu yang cocok bagi manusia, dia akan hidup, jika tidak, dia akan lenyap sendiri. At 06:14 AM 11/2/2007 +0000, you wrote: >sesama sesat ya wajar saling mendukung. > >Nugroho Dewanto ><<mailto:ndewanto%40mail.tempo.co.id>[EMAIL PROTECTED]> wrote: > > >Ulil Abshar-Abdalla <<mailto:ulil99%40yahoo.com>[EMAIL PROTECTED]> wrote: > > > Salam, > > > Tampaknya Islam sebagaimana diwakili oleh > > > lembaga-lembaga ortodoks seperti NU, Muhammadiyah, MUI > > > dan juga Depag (jangan lupa, ini adalah lembaga negara > > > yang mestinya menegakkan sikap netral) mengandung > > > kelemahan mendasar: yaitu gagal menegakkan prinsip > > > toleransi dan kebebasan keyakinan terhadap > > > kelompok-kelompok yang dalam standar doktrin mereka > > > dianggap sesat, seperti Ahmadiyah dan, terakhir, > > > al-Qiyadah al-Islamiyah. > > > > > > Islam seperti ini, dalam jangka panjang, sangat tidak > > > kondusif bagi pelaksanaan suatu prinsip pokok yang > > > dikehendaki oleh konstitusi kita, yaitu kebebasan > > > beragama dan keyakinan. Selama kalangan ortodoks > > > cenderung memakai doktrin "penyesatan" untuk > > > menyingkirkan lawan-lawan doktrinal mereka, maka > > > toleransi yang "genuine" tidak akan pernah > > > terselenggara dalam kehidupan sehari-hari masyarakat > > > Indonesia. > > > > > > Meskipun NU dan Muhammadiyah selama ini dianggap > > > sebagai ormas Islam yang moderat dan toleran, tetapi > > > kedua lembaga ini mengalami keterbatasan doktrinal > > > yang sangat mendasar. Begitu sampai kepada > > > doktrin-doktrin pokok yang mereka percayai, kedua > > > ormas itu gagal menerapkan prinsip toleransi, dan > > > mulai memakai metode "ekskomunikasi" dan > > > penyesatan--tindakan yang jelas berlawanan dengan > > > prinsip toleransi dan kebebasan beragama/keyakinan > > > yang merupakan fondasi negara modern. > > > > > > Prinsip kebebasan beragama sebagaimana dikehendaki > > > oleh konstitusi kita mengandaikan bahwa seseorang > > > tidak bisa dipaksa untuk memeluk suatu keyakinan dan > > > agama yang tidak tidak sesuai dengan kata hati mereka. > > > Prinsip harus dihormati dalam dua level sekaligus: > > > pertama, level antar-agama, di mana seseorang tidak > > > bisa dipaksa untuk memeluk agama tertentu; kedua, > > > level intra-agama, di mana seseorang, setelah memeluk > > > agama tertentu, tidak bisa dipaksa untuk mengikuti > > > tafsir, mazhab atau sekte tertentu dalam agama > > > tersebut. Memeluk agama dan, setelah itu, mazhab atau > > > sekte adalah wilayah kebabasan masing-masing individu. > > > > > > Oleh karena itu, pernyataan MUI dan Depag bahwa mereka > > > yang menganut sekte sesat harus kembali ke "jalan yang > > > lurus" jelas bertentangan dengan prinsip kebebasan > > > keyakinan, dan "ipso facto" juga bertentangan dengan > > > spirit konstitusi negara kita. > > > > > > Islam sebagaimana diwakili oleh kalangan "arus utama", > > > sebagaimana kita lihat dalam sikap NU dan Muhammadiyah > > > selama ini terhadap sekte-sekte atau mazhab pemikiran > > > yang mereka anggap sesat, tidak mampu mengangkat > > > dirinya ke level "universal" sebagaimana dikehendaki > > > oleh prinsip modern mengenai kebabasan beragama ini. > > > > > > Selama doktrin penyesatan dan, lebih buruk lagi, > > > pengkafiran tetap dipakai oleh agama-agama besar > > > seperti Islam, prinsip kebebasan keyakinan akan selalu > > > mengalami ancaman. > > > > > > Segala bentuk tafsir, mazhab, sekte dan aliran > > > haruslah diberikan ruang yang seluas-luasnya dalam > > > konteks negara modern yang mendasarkan diri pada > > > prinsip kebebasan beragama. Dengan mengatakan ini, > > > saya tidak mengingkari hak ormas-ormas Islam seperti > > > NU dan Muhammadiyah untuk mengkritik sekte atau mazhab > > > yang dianggap sesat dalam Islam serta memberikan > > > peringatan kepada anggotanya agar menghindari sekte > > > itu. Apa yang dilakukan oleh NU dan Muhammadiyah, dan > > > didukung oleh Depag, sudah melampaui tahap kritik, dan > > > mulai masuk ke wilayah yang lebih berbahaya, yaitu > > > menghendaki agar ruang kebebasan bagi sekte-sekte yang > > > dianggap "sesat" itu ditutup sama sekali, dengan > > > menganjurkan mereka agar kembali ke "agama arus > > > utama". > > > > > > Dengan kata lain, sikap NU dan Muhammadiyah dalam > > > menghadapi kasus al-Qiyadah al-Islamiyah saat ini sama > > > sekali tidak memadai. > > > > > > Ulil > > > > > > Ulil Abshar-Abdalla > > > Department of > > > Near Eastern Languages and Civilizations > > > Harvard University > >Send instant messages to your online friends ><http://uk.messenger.yahoo.com>http://uk.messenger.yahoo.com > >[Non-text portions of this message have been removed] > > [Non-text portions of this message have been removed]