Bung Asnawi, semoga bung tidak terjebak dengan pluralisme ala Karl Rehner yang cenderung dianut gereja vatikan saat ini, yang mengindoktrinasikan bahwa kebenaran doktrinal itu tidak "mono" tetapi "plural", sehingga kebenaran iman juga terdapat di agama lain. Juga semoga tidak terkontaminasi dengan pluralisme John Hick yang mewarnai beberapa gereja protestan selama ini yang malah lebih universalis. Sehingga pada prinsipnya kedua pandangan tadi membiaskan "truth claim" masing-masing agama!
Pluralitas itu natural, tetapi esensi kebenaran itu tetap tunggal. Tunggal bagi siapa? Tentu tunggal bagi Sang Pencipta. Dan, kebenaran mana yang paling benar? Jawabannya hanya pada konsistensi iman kita terhadap iman kita sendiri, ya sebuah kejujuran spiritual. Karena pluralitas itu alami, maka saya tidak heran kalau bung juga punya pandangan sendiri tentang fatwa, juga tentang MUI. Presupoisisinya berbeda dan pasti paradigmanya juga berbeda. Persoalannya bukan pada makna etimologinya, justru pada makna praktisnya, bahkan legitimasinya! Memang fatwa tidak mempunyai kekuatan hukum positif, bahkan menurut Yusuf Qardhawi bukan hukumnya yang eksistensial, tetapi justru pada fungsi dan efek sosiologisnya. Fatwa itu sebenarnya hanya mengeksplanasikan hukum syara' atas pertanyaan umat sebagai jawaban atas pertanyaan krusial baik individual maupun kolektif. Persoalannya hanya pada kompetensi dan otoritas pemberi fatwa, serta aseptansi umat terhadap fatwa. Saya melihat aseptansinya umat terhadap fatwa MUI sangat positif dan masih legitimatif. Sadar atau tidak, pada situasi apapun, kapanpun, dan dimanapun, fatwa dibutuhkan umat untuk mendapatkan referensi mengenai soal-soal rumit yang belum jelas dan belum dipahami. Dan, karena persoalannya agamis maka ulamalah yang harus mengeksplanasikannya. Namun jika secara individual masing-masing ulama berfatwa tentu akan menjadi sporadis, maka dibutuhkan suatu forum secara institusional untuk merumuskan problematika umat secara bersama-sama. Dan tentu sudah tahu, bahwa suatu forum pasti didalamnya ada argumentasi, diskusi, dan perdebatan bahkan sintetis. Itu lumrah, normal, wajar dan alami. Saya pikir para ulama di MUI bukanlah orang-orang bodoh, mereka masih mempunyai reasoning power untuk mengkaji sesuatu. Mereka punyai dalil-dalil argumentatif yang tidak sembarangan mengambil rujukan maupun konsep-konsep yang bersifat yurisprudensial. Kalaupun fatwa itu menimbulkan kontroversi, itupun wajar, karena fenomena bipolaritas (2 kutub) akan selalu ada: like and dislike, konservatif dan liberal, dan semacamnya! Tapi, apakah dengan adanya kontroversi harus bersikap antipati. Bersebrangan pemikiran bukanlah berarti antipati, tetapi sebuah konsistensi dengan pendirian yang terus digulirkan dalam proses waktu (jaman), dan sangat bergantung sampai sejauh mana pendirian kontroversial itu diapresiasi oleh umat! Ditelan jaman atau malah menelan jaman. Dan itu hak setiap orang bersikap kontroversi. Soal fatwa itu memunculkan efek perilaku yang arogan dari seseorang atau kelompok terhadap suatu komunitas tertentu, ya memang selalu ada efeknya, tetapi khan tidak bisa digeneralisasi, hanya beberapa gelintir orang yang berperilaku semacam itu khan tidak bisa disimpulkan begitu, bisa-bisa menjadi kesimpulan yang menyesatkan, karena secara induksipun tidak proporsional. Soal MUI Cirebon dan MUI Banten bersikap dingin dengan fatwa MUI itupun tidak bisa digeneralisasi, karena secara sosiologis tidak ada efek simultan dan efek multiplier yang bergulir berkesinambungan yang merambat ke MUI-MUI di daerah lain. Soal ahmadiyah tidak diundang untuk klarifikasi, itupun MUI punya alasan tersendiri, karena akan berbenturan dengan umat yang secara mayoritas berpendapat ahmadiyah itu sesat! Mengapa harus diundang, wong umat Islam sejagat tahu koq kalau ahmadiyah itu inkar sunnah, literatur tentang ahmadiyah dimanapun esensinya sama, ya sebuah recognisi belaka terhadap kenabian Mirza Ghulam Ahmad! Dan segudang literatur masak tidak terbaca satupun oleh MUI, mustahil itu dilakukan MUI yang harus mengkaji masalah tanpa memahami permasalahan! Soal fiqih lintas umat, ini juga kebablasan bung, masak kita tidak terlalu cerdas untuk memaknai LAKUM DIINUKUM WAALIYAADIIN. Islam tidak menolak kebersamaan, toleransi dan ukhuwah dengan umat lain, tapi harus dibedakan dong ini kebersamaan sosial atau kebersamaan ritual. Integrasi iman itu tidak mungkin, integrasi fiqih juga tidak mungkin, buat fiqih koq coba-coba! (he...he... lagi pakai bahasa iklan minyak kayu putih). Kita tahu ada yang namanya ukhuwah wathoniyah, dan memang kita harus bersama-sama membangun negeri ini dengan umat lain, tapi bukan berarti kebersamaannya kebablasan sampai over dosis. Bagi saya Islam itu satu-satunya kebenaran, itu truth claim saya, dan itu hak saya berpendirian semacam itu, maka saya akan bersikap kontroversi jika ada yang berpendapat Islam hanya salah satu kebenaran. Sehingga kebenaran yang hakiki tidak menjadi tunggal lagi. Salam RDM --- Asnawi Ihsan <[EMAIL PROTECTED]> wrote: > > Saya juga mau ikut nimbrung nih......... > > Yang namanya fatwa, dalam tradisi hukum islam hanya > mengikat kepada si > pemberi fatwa itu sendiri, peminta fatwa dan > individu atau masyarakat yang > setuju terhadap fatwa itu. Hanya sebatas itu > kekuatan hukum dari fatwa. > Fatwa bukan termasuk hukum positif yang mengikat. > Dalam hal presiden mau > ikut dan nurut dengan fatwa ini bisa dimengerti > karena MUI didirikan oleh > negara dan siapapun yang duduk dalam kursi presiden > seharusnya memang tunduk > dan terikat terhadap fatwa tersebut. Bukankah bisa > jadi pemerintah lah yang > minta fatwa ke MUI? Masalah baru muncul apabila > fatwa itu oleh negara > dijadikan dasar untuk melakukan tindakan hukum atau > fatwa itu oleh kelompok > masyarakat yang setuju terhadap fatwa MUI dijadikan > pembenaran untuk > melakukan tindakan main hakim sendiri seperti apa > yang dilakukan abdul > hariss umarella beserta kelompoknya terhadap > kelompok lain yang memiliki > cara berbeda dalam berislam. > > Kalau orang semisal Gus Dur dan kawan-kawan dari > islam liberal berang, > menurut saya bisa sangat dimengerti. Karena untuk > mengeluarkan sebuah fatwa, > MUI seringkali mengabaikan dialog yang seimbang. > Seperti yang dialami > kawan-kawan Paramadina saat MUI mengeluarkan fatwa > melarang peredaran buku > fikih lintas Agama (FLA), sama sekali tidak ada > dialog yang dilakukan oleh > MUI ke Paramadina. Dalam kasus ahmadiyah pun menurut > pengakuan kawan > ahmadiyah mereka tidak pernah diajak berdialog oleh > MUI. > > Selain itu, di dalam tubuh MUI pusat itu sendiri > memang hanya diisi oleh > orang-orang yang cenderung sama dari sisi pemikiran. > Misalnya saja KH. > Ma'ruf Amin, Prof. Dr. Ali Musthofa Ya'kub (Pakar > di bidang Hadis), Prof. > Dr. Huzaemah T Yanggo (Pakar hukum Islam), mereka > adalah intelektual Islam > yang berbeda metodologi dengan Gus Dur atau alm. > Nurcholish Madjid misalnya > dalam menyikapi berbagai persoalan umat. Ada baiknya > memang MUI lebih > membuka diri terhadap pemikir Islam yang berbeda > garis pemikiran dengan MUI > Pusat agar lebih cermat lagi dalam mengeluarkan > sebuah fatwa. > > Ketika dulu MUI Pusat mengeluarkan fatwa melarang > paham pluralisme dalam > Islam, oleh MUI cabang Kota Cirebon itu ditanggapi > dingin. Kebetulan Ketua > MUI cirebon saat itu Almarhum Habib Muhammad bin > Yahya adalah seorang ulama > yang moderat. Ketika didatangi ormas-ormas Islam > agar MUI Cirebon > menindaklanjuti fatwa MUI Pusat tersebut dengan > enteng sang habib menjawab, > "itu kan fatwa MUI Pusat, bukan sikap MUI Cirebon". > Nampaknya beliau ingin > mengingatkan bahwa fatwa itu tidak mengikat kecuali > kepada pemberi fatwa, > peminta fatwa dan siapa yang setuju dengan fatwa > itu. Maka, bagi kita yang > tidak setuju dengan fatwa itu, ya kita abaikan saja > fatwa MUI itu. Tokh > tidak ada kewajiban bagi kita untuk mematuhi fatwa > itu. Termasuk juga > Ahmadiyah dan kelompok-kelompok lain yang dianggap > sesat oleh MUI. > > > Salam, > > Asnawi Ihsan > __________________________________________________________ Sent from Yahoo! Mail - a smarter inbox http://uk.mail.yahoo.com