Ibu Rulita..
Bicara pluralisme, Alquran saja memberikan pengakuan keselamatan terhadap non muslim. Sebagai contoh, dalam surat 2:62 Alquran tanpa pandang bulu memberikan jaminan keselamatan. Agama tidak menjadi persoalan, selama manusia tersebut : 1. Beriman kepada Allah (monoteisme), 2. Berbuat baik, dan 3. Iman terhadap hari akhir. Adapun kemudian banyak persyaratan tambahan yang diberikan oleh para mufassir tidak lebih sebagai catatan kaki saja. Cukup bagi saya berargumentasi dengan pendekatan literal serta didukung pandangan ulama semisal rasyid ridho dan abdul hamid hakim. Persoalan anda tidak setuju dan berkeyakinan bahwa Islam lah satu-satunya jalan keselamatan itu pun bagian dari pluralisme yang sangat saya hargai. Karena saya yakin, anda pun berpijak pada sumber yang dapat dipertanggungjawabkan sehingga saya tidak perlu mengatakan bahwa anda tidak cerdas dalam memahami Alquran. Adapun soal fatwa, dalam posting sebelumnya saya memang hanya ingin menyampaikan pengertian yang sangat sederhana. Maksud saya, sudah lah tidak perlu pusing-pusing. Mau setuju MUI ya silahkan, mau setuju Gus Dur juga silahkan. Mau setuju Ahmadiyah monggo tapi kalo tidak setuju jangan "berpikir" apalagi bertindak anarkis. Tapi anda mengajak saya membahas lebih jauh. Boleh juga lah kita berdiskusi, kawan.... Persoalan mengenai fatwa tidak hanya -sebagaimana anda katakan- pada otoritas dan kompetensi pemberi fatwa serta daya akseptansi ummat. Menurut saya, metodologi istinbath hukum yang dilakukan kalangan ulama MUI juga seharusnya diuji kembali. Apakah metode Qiyasul Hukmi sebagai metode andalan mazhab syafe'i dalam tradisi fikih klasik yang selama ini digunakan MUI masih layak dipertahankan? Sementara problematika yang dihadapi disiplin ilmu fikih semakin kompleks sesuai dengan perkembangan zaman. Misalnya, apakah kita akan mempertahankan konsep pelarangan prilaku homoseksual didasari qiyas terhadap ummat luth (kaum sodom)? Atau memang fikih harus didukung dengan ra'yu yang komprehensif dengan disokong disiplin ilmu pengetahuan yang berkaitan. Misalnya, adakah kajian ilmu pengetahuan yang bisa membuktikan bahwa homo seksual itu memang bersifat kodrati dan tidak bisa dihindari atau disembuhkan (karena memang bukan penyakit). Dan apakah MUI juga asal qiyas saja untuk mengharamkan prilaku seksual dengan melihat bangsa sodom atau memang MUI sudah melakukan kajian literatur bahwa bangsa sodom hanya sekedar mencari "alternatif" atau memang sudah kodrat yang tidak bisa dihindarkan. Dalam masalah theologi, untuk menentukan sebuah sekte dalam islam dikatakan menyimpang, apakah MUI berpijak pada Qur'an dan bisa berpikir obyektif diatas semua golongan atau hanya mendasarkan fatwanya sebatas dari kriteria sesat yang diwariskan secara turun temurun oleh kelompok ahlu sunnah wal jama'ah yang dipelopori Abu Hasan Al-Asyari dan Abu Mansyur Al-Maturidi? Bagaimana nanti jika Wahabi yang menjadi mayoritas? Atau Syiah? Atau sekte lainnya? Kita akan melihat bagaimana NU, Muhammadiyah akan mengalami nasib yang sekarang dialami ahmadiyah, syiah atau lainnya yang selama ini dianggap sesat. Disini layak kita menguji obyektifitas para ulama yang tergabung di MUI. Sudahkah bisa melepaskan diri dari keberpihakan terhadap aliran yang dianutnya. Bicara Otoritas dalam islam ini lebih menarik. Saya akan ambil ilustrasi dari sebuah kasus. Kebetulan Tadi pagi ada seseorang yang berkonsultasi ke saya soal hukum Islam. Adiknya kabur karena tidak mau dinikahkan dengan laki-laki pilihan orang tuanya. Tapi si bapak ngotot untuk menikahkan anaknya dengan laki-laki tersebut meskipun anaknya tidak setuju dan tidak ada saat akad nikah. Si bapak bersikukuh bahwa sebagai seorang bapak, ia memiliki hak untuk menikahkan putrinya meskipun putrinya tidak hadir dan tidak setuju. Dan pihak KUA mengamini pernyataan si bapak. Terjadilah sebuah pernikahan sementara anak tak kunjung pulang. Bagaimana dengan status perkawinan tersebut? Bagaimana jika putri si bapak tanpa sepengetahuan sang bapak menikah dengan laki-laki pilihannya? Lantas mereka datang ke ulama dan meminta fatwa kepada ulama? Jika ulama yang didatangi anak dan bapak berbeda, misalnya si bapak datang ke ulama yang bermazhab Syafi'i akan mengatakan perkawinan yang pertama sah dan perkawinan yang kedua batal. Karena dalam mazhab syafi'i seorang bapak berstatus wali mujbir sehingga berhak menikahkan anak perempuannya tanpa persetujuan si anak. Sementara si anak datang ke ulama dan si ulama bermazhab Hanafi maka akan mengatakan bahwa perkawinan yang pertama tidak sah dan perkawinan yang kedua lah yang sah. Karena dalam mazhab hanafi seorang perempuan berhak menikahkan dirinya sendiri tanpa persetujuan orang tua. Fatwa ulama mana yang mau dilaksanakan? Disinilah kita benar-benar harus bisa memahami dengan betul konsep otoritas dalam Islam. Secara teknis dalam "membaca" teks suci; Ulama, siapapun dia, tetaplah ada dalam posisi reader bukan author. Seharusnya, sebagai seorang reader harus cukup tahu diri untuk tidak perlu melakukan klaim bahwa otoritas ada di tangan mereka. Saya setuju bahwa fatwa yang berkaitan dengan persoalan publik haruslah dilakukan secara kolektif. Tapi tetap saja klaim kebenaran itu tidak boleh terjadi. Apa yang dilakukan para ulama terdahulu cukup baik. Sikap saling menghargai antara satu ulama dengan ulama yang lain sangat dijaga. Apabila seluruh ulama bersepakat mereka baru akan menyampaikan bahwa fatwa tersebut telah disepakati oleh seluruh ulama. Tapi jika ada sebagian kecil bahkan satu ulama tidak setuju mereka akan menyampaikan bahwa fatwa tersebut disepakati oleh sebagian besar ulama tapi ada seorang ulama atau sebagian kecil yang berpandangan berbeda dan mereka sampaikan apa yang menjadi argumentasinya. Dengan demikian, publik bebas memilih dan perpecahan bisa diminimalisir karena tokh Cuma berbeda pandangan saja, bukan "saya benar, kamu salah". Coba deh cermati sejenak literatur Islam Klasik. Nah, karena MUI tidak membuka ruang itu, dan MUI belum terwakili oleh semua aliran pemikiran dalam islam, maka apa yang dilakukan Gus Dur sebenarnya ada dalam porsi ini. Sebagai penyeimbang terhadap fatwa MUI agar MUI tidak dijadikan satu-satunya kiblat bagi masyarakat. Tindakan anarkis yang terjadi selama ini bukanlah dilakukan oleh segelintir orang. Ataupun jika memang dilakukan segelintir orang juga tidak bisa dijadikan pembenaran untuk melakukan tindakan kriminal semisal pembakaran, penganiyaan dan tindakan intimadasi lainnya. Tetap saja di sana ada hak asasi yang dilanggar. Apakah atas nama iman dan keyakinan kepada Tuhan kita menutup mata dari tindakan anarkis? Justru iman seperti apa jika kita sanggup mengatakan hal yang demikian adalah hal yang wajar? Surga macam apa yang bisa dibeli dengan kekerasan dan penganiyaan terhadap sesama manusia? Tuhan mana yang perlu dibela? Jangan-jangan umat umat islam sudah terjangkit penyakit membahayakan yang bernama otoritarianisme beragama. Apa yang terjadi dengan MUI Cirebon dan MUI Banten bukan untuk menggeneralisir bahwa fatwa MUI Pusat tidak memiliki pengaruh di daerah. Bukan itu yang ingin saya sampaikan. Tapi saya hanya ingin menegaskan bahwa dari kalangan ulama sendiri pun ada yang mengabaikan fatwa tersebut dan dengan demikian masyarakat tidak perlu ragu-ragu untuk memilih fatwa yang mana. Soal MUI di daerah-daerah lain diam, dalam tradisi hukum Islam sikap demikian bukan berarti setuju dengan fatwa MUI Pusat. Tapi diam adalah sikap TAWAQUF, dimana masyarakat diberikan kebebasan untuk memilih Selanjutnya, jangan terlalu emosi sampai salah ketik, bukan Fikih Lintas Umat, Mas.. tapi Fikih Lintas Agama..hehehehe... Sabar dulu, sabar.. jangan terburu-buru mengambil kesimpulan, jangan menggeneralisir (aduuuuh... sapa tuh yang ternyata melakukan kesalahan berfikir...hehehehe) bahwa fikih lintas agama itu mencoba mengintegrasikan fikih Islam dengan fikih agama lain. Sudah baca bukunya belum? Kalo dilihat dari cara anda menilai nampaknya belum dibaca tuh. Tapi memang karena anda terlalu cerdas, saking cerdasnya cukup memahami LAKUM DINUKUM WALIYADIN selesai semua persoalan pluralisme dalam islam! Hehehehe... Sedikit catatan, dari cara anda berargumentasi, jelas sekali bagaimana anda konsisten dalam kaidah berpikir paripatetik. Sekedar mengingatkan, jangan sampai terjebak dengan tradisi berpikir paripatetik dalam memahami Islam. Karena tradisi tersebut bukan warisan murni Islam. Tapi warisan Yunani....;) ;) Tradisi berpikir Islam mungkin ya Ushul Fikih itu. Salam, Asnawi Ihsan _____ From: ppiindia@yahoogroups.com [mailto:[EMAIL PROTECTED] On Behalf Of Rulita Damayanti Sent: Saturday, December 15, 2007 9:58 PM To: ppiindia@yahoogroups.com Subject: FW: RE: [ppiindia] Re: Kata Gus Dur: Presiden nurut sama MUI ----- Original Message ----- Subject: RE: [ppiindia] Re: Kata Gus Dur: Presiden nurut sama MUI Date: Fri, 14 Dec 2007 18:12:43 From: Rulita Damayanti <rulita_dm2000@ <mailto:rulita_dm2000%40yahoo.co.uk> yahoo.co.uk> To: <[EMAIL PROTECTED] <mailto:ppiindia%40yahoogroups.com> s.com> Bung Asnawi, semoga bung tidak terjebak dengan pluralisme ala Karl Rehner yang cenderung dianut gereja vatikan saat ini, yang mengindoktrinasikan bahwa kebenaran doktrinal itu tidak "mono" tetapi "plural", sehingga kebenaran iman juga terdapat di agama lain. Juga semoga tidak terkontaminasi dengan pluralisme John Hick yang mewarnai beberapa gereja protestan selama ini yang malah lebih universalis. Sehingga pada prinsipnya kedua pandangan tadi membiaskan "truth claim" masing-masing agama! Pluralitas itu natural, tetapi esensi kebenaran itu tetap tunggal. Tunggal bagi siapa? Tentu tunggal bagi Sang Pencipta. Dan, kebenaran mana yang paling benar? Jawabannya hanya pada konsistensi iman kita terhadap iman kita sendiri, ya sebuah kejujuran spiritual. Karena pluralitas itu alami, maka saya tidak heran kalau bung juga punya pandangan sendiri tentang fatwa, juga tentang MUI. Presupoisisinya berbeda dan pasti paradigmanya juga berbeda. Persoalannya bukan pada makna etimologinya, justru pada makna praktisnya, bahkan legitimasinya! Memang fatwa tidak mempunyai kekuatan hukum positif, bahkan menurut Yusuf Qardhawi bukan hukumnya yang eksistensial, tetapi justru pada fungsi dan efek sosiologisnya. Fatwa itu sebenarnya hanya mengeksplanasikan hukum syara' atas pertanyaan umat sebagai jawaban atas pertanyaan krusial baik individual maupun kolektif. Persoalannya hanya pada kompetensi dan otoritas pemberi fatwa, serta aseptansi umat terhadap fatwa. Saya melihat aseptansinya umat terhadap fatwa MUI sangat positif dan masih legitimatif. Sadar atau tidak, pada situasi apapun, kapanpun, dan dimanapun, fatwa dibutuhkan umat untuk mendapatkan referensi mengenai soal-soal rumit yang belum jelas dan belum dipahami. Dan, karena persoalannya agamis maka ulamalah yang harus mengeksplanasikannya. Namun jika secara individual masing-masing ulama berfatwa tentu akan menjadi sporadis, maka dibutuhkan suatu forum secara institusional untuk merumuskan problematika umat secara bersama-sama. Dan tentu sudah tahu, bahwa suatu forum pasti didalamnya ada argumentasi, diskusi, dan perdebatan bahkan sintetis. Itu lumrah, normal, wajar dan alami. Saya pikir para ulama di MUI bukanlah orang-orang bodoh, mereka masih mempunyai reasoning power untuk mengkaji sesuatu. Mereka punyai dalil-dalil argumentatif yang tidak sembarangan mengambil rujukan maupun konsep-konsep yang bersifat yurisprudensial. Kalaupun fatwa itu menimbulkan kontroversi, itupun wajar, karena fenomena bipolaritas (2 kutub) akan selalu ada: like and dislike, konservatif dan liberal, dan semacamnya! Tapi, apakah dengan adanya kontroversi harus bersikap antipati. Bersebrangan pemikiran bukanlah berarti antipati, tetapi sebuah konsistensi dengan pendirian yang terus digulirkan dalam proses waktu (jaman), dan sangat bergantung sampai sejauh mana pendirian kontroversial itu diapresiasi oleh umat! Ditelan jaman atau malah menelan jaman. Dan itu hak setiap orang bersikap kontroversi. Soal fatwa itu memunculkan efek perilaku yang arogan dari seseorang atau kelompok terhadap suatu komunitas tertentu, ya memang selalu ada efeknya, tetapi khan tidak bisa digeneralisasi, hanya beberapa gelintir orang yang berperilaku semacam itu khan tidak bisa disimpulkan begitu, bisa-bisa menjadi kesimpulan yang menyesatkan, karena secara induksipun tidak proporsional. Soal MUI Cirebon dan MUI Banten bersikap dingin dengan fatwa MUI itupun tidak bisa digeneralisasi, karena secara sosiologis tidak ada efek simultan dan efek multiplier yang bergulir berkesinambungan yang merambat ke MUI-MUI di daerah lain. Soal ahmadiyah tidak diundang untuk klarifikasi, itupun MUI punya alasan tersendiri, karena akan berbenturan dengan umat yang secara mayoritas berpendapat ahmadiyah itu sesat! Mengapa harus diundang, wong umat Islam sejagat tahu koq kalau ahmadiyah itu inkar sunnah, literatur tentang ahmadiyah dimanapun esensinya sama, ya sebuah recognisi belaka terhadap kenabian Mirza Ghulam Ahmad! Dan segudang literatur masak tidak terbaca satupun oleh MUI, mustahil itu dilakukan MUI yang harus mengkaji masalah tanpa memahami permasalahan! Soal fiqih lintas umat, ini juga kebablasan bung, masak kita tidak terlalu cerdas untuk memaknai LAKUM DIINUKUM WAALIYAADIIN. Islam tidak menolak kebersamaan, toleransi dan ukhuwah dengan umat lain, tapi harus dibedakan dong ini kebersamaan sosial atau kebersamaan ritual. Integrasi iman itu tidak mungkin, integrasi fiqih juga tidak mungkin, buat fiqih koq coba-coba! (he...he... lagi pakai bahasa iklan minyak kayu putih). Kita tahu ada yang namanya ukhuwah wathoniyah, dan memang kita harus bersama-sama membangun negeri ini dengan umat lain, tapi bukan berarti kebersamaannya kebablasan sampai over dosis. Bagi saya Islam itu satu-satunya kebenaran, itu truth claim saya, dan itu hak saya berpendirian semacam itu, maka saya akan bersikap kontroversi jika ada yang berpendapat Islam hanya salah satu kebenaran. Sehingga kebenaran yang hakiki tidak menjadi tunggal lagi. Salam RDM --- Asnawi Ihsan <asnawiihsan@ <mailto:asnawiihsan%40gmail.com> gmail.com> wrote: > > Saya juga mau ikut nimbrung nih......... > > Yang namanya fatwa, dalam tradisi hukum islam hanya > mengikat kepada si > pemberi fatwa itu sendiri, peminta fatwa dan > individu atau masyarakat yang > setuju terhadap fatwa itu. Hanya sebatas itu > kekuatan hukum dari fatwa. > Fatwa bukan termasuk hukum positif yang mengikat. > Dalam hal presiden mau > ikut dan nurut dengan fatwa ini bisa dimengerti > karena MUI didirikan oleh > negara dan siapapun yang duduk dalam kursi presiden > seharusnya memang tunduk > dan terikat terhadap fatwa tersebut. Bukankah bisa > jadi pemerintah lah yang > minta fatwa ke MUI? Masalah baru muncul apabila > fatwa itu oleh negara > dijadikan dasar untuk melakukan tindakan hukum atau > fatwa itu oleh kelompok > masyarakat yang setuju terhadap fatwa MUI dijadikan > pembenaran untuk > melakukan tindakan main hakim sendiri seperti apa > yang dilakukan abdul > hariss umarella beserta kelompoknya terhadap > kelompok lain yang memiliki > cara berbeda dalam berislam. > > Kalau orang semisal Gus Dur dan kawan-kawan dari > islam liberal berang, > menurut saya bisa sangat dimengerti. Karena untuk > mengeluarkan sebuah fatwa, > MUI seringkali mengabaikan dialog yang seimbang. > Seperti yang dialami > kawan-kawan Paramadina saat MUI mengeluarkan fatwa > melarang peredaran buku > fikih lintas Agama (FLA), sama sekali tidak ada > dialog yang dilakukan oleh > MUI ke Paramadina. Dalam kasus ahmadiyah pun menurut > pengakuan kawan > ahmadiyah mereka tidak pernah diajak berdialog oleh > MUI. > > Selain itu, di dalam tubuh MUI pusat itu sendiri > memang hanya diisi oleh > orang-orang yang cenderung sama dari sisi pemikiran. > Misalnya saja KH. > Ma'ruf Amin, Prof. Dr. Ali Musthofa Ya'kub (Pakar > di bidang Hadis), Prof. > Dr. Huzaemah T Yanggo (Pakar hukum Islam), mereka > adalah intelektual Islam > yang berbeda metodologi dengan Gus Dur atau alm. > Nurcholish Madjid misalnya > dalam menyikapi berbagai persoalan umat. Ada baiknya > memang MUI lebih > membuka diri terhadap pemikir Islam yang berbeda > garis pemikiran dengan MUI > Pusat agar lebih cermat lagi dalam mengeluarkan > sebuah fatwa. > > Ketika dulu MUI Pusat mengeluarkan fatwa melarang > paham pluralisme dalam > Islam, oleh MUI cabang Kota Cirebon itu ditanggapi > dingin. Kebetulan Ketua > MUI cirebon saat itu Almarhum Habib Muhammad bin > Yahya adalah seorang ulama > yang moderat. Ketika didatangi ormas-ormas Islam > agar MUI Cirebon > menindaklanjuti fatwa MUI Pusat tersebut dengan > enteng sang habib menjawab, > "itu kan fatwa MUI Pusat, bukan sikap MUI Cirebon". > Nampaknya beliau ingin > mengingatkan bahwa fatwa itu tidak mengikat kecuali > kepada pemberi fatwa, > peminta fatwa dan siapa yang setuju dengan fatwa > itu. Maka, bagi kita yang > tidak setuju dengan fatwa itu, ya kita abaikan saja > fatwa MUI itu. Tokh > tidak ada kewajiban bagi kita untuk mematuhi fatwa > itu. Termasuk juga > Ahmadiyah dan kelompok-kelompok lain yang dianggap > sesat oleh MUI. > > > Salam, > > Asnawi Ihsan > __________________________________________________________ Sent from Yahoo! Mail - a smarter inbox http://uk.mail. <http://uk.mail.yahoo.com> yahoo.com __________________________________________________________ Sent from Yahoo! Mail - a smarter inbox http://uk.mail. <http://uk.mail.yahoo.com> yahoo.com [Non-text portions of this message have been removed]