Lina Dahlan <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
   
          Tidak secara keseluruhan akidah Ahmadiyah sama dengan mayoritas umat 
Islam Indonesia. Karena itulah ada cap 'sesat' yang diberikan MUI 
sebelumnya kepada Ahmadiyah. Buat apa ada kesepakatan 12 butir kalo 
memang akidahnya sudah sama?? Anda pula jangan menutup-nutup fakta 
adanya perbedaan dong. Perbedaan itu cuma harus disikapi dengan
dewasa dan adil. Itu saja.


  .

 
                         
Kamis, 17 Januari 2008
Opini
Mencegat Kebebasan, Memaksakan Keyakinan

Achmad Munjid
KANDIDAT DOKTOR BIDANG RELIGIOUS STUDIES, TEMPLE UNIVERSITY, 
PHILADELPHIA, AMERIKA SERIKAT

Nestapa yang harus kembali ditanggung kelompok Ahmadiyah di Indonesia 
adalah sinyal kritis betapa ruang kebebasan beragama di Tanah Air 
yang belakangan menyempit kini telah menjepit eksistensi kaum 
minoritas. Peristiwa kekerasan Manislor menggambarkan secara vulgar 
betapa ambigunya "aturan main" kita dalam soal kebebasan beragama, 
betapa lemahnya sistem penegakan hukum kita. Sekaligus betapa tak 
berdayanya posisi kelompok minoritas begitu konflik pecah. 

Meski dengan gagah konstitusi kita menjamin kebebasan individu untuk 
memeluk dan mempraktekkan keyakinan masing-masing, dalam kenyataan, 
kelompok-kelompok tertentu justru bebas memaksakan keyakinan diri 
mereka atas orang lain. Karena itu, penanganan kasus Ahmadiyah ini 
akan menjadi indikator penting bagi prospek pengaturan relasi 
antarkelompok agama dalam kehidupan berbangsa. Ia perlu kita kawal 
bersama, karena di sini hakikat demokrasi sedang dipertaruhkan.

Memaksakan keyakinan

Untuk mengatasi kemelut Ahmadiyah yang tampak kian pelik, sejumlah 
tokoh muslim, termasuk Menteri Agama Maftuh Basyuni sejak 2006, 
mengusulkan agar kaum Ahmadi keluar saja dari Islam dan membentuk 
agama baru. Sebab, Ahmadiyah dianggap telah menyimpang terlalu jauh 
dari prinsip-prinsip Islam. Dalam kalimat yang lebih terus terang, 
kalau masih mau mengaku Islam, segeralah bertobat. Tinggalkan doktrin 
Ahmadiyah yang "sesat" dan ikuti ajaran Islam (arus utama) yang 
"benar". Kalau tidak, jangan lagi mengaku-ngaku Islam. 

Argumen semacam itu mengandung sejumlah cacat mendasar. Pertama, atas 
dasar apa kita secara sepihak bisa mengklaim berhak memaksakan 
identitas suatu kelompok yang mereka sendiri tidak mau terima? 
Terlebih lagi, ini adalah identitas agama yang bersifat sangat 
pribadi dan fundamental. Memeluk, mendefinisikan, mempraktekkan, 
termasuk menyebarkan keyakinan adalah hak asasi setiap orang yang tak 
bisa dihalang-halangi ataupun dipaksa-paksa. Jika dipraktekkan, 
justru penonislaman Ahmadiyah inilah contoh pelanggaran kebebasan 
beragama yang sesungguhnya.

Kedua, jika dicermati, usul membuat agama baru tersebut sebetulnya 
lebih merupakan siasat politik "mengeluarkan duri dalam daging", 
untuk melucuti kekuatan posisi tawar pihak yang dilemahkan. Bukankah 
memaksa secara sepihak agar kaum Ahmadi menyandang identitas non-
Islam sebetulnya adalah upaya penyingkiran agar "mereka" secara tegas 
bukan lagi bagian dari "kita"? Dengan demikian, begitu timbul 
perkara, kedua belah pihak akan berhadapan sebagai "orang lain", 
dengan si mayoritas berdiri gagah perkasa, sedangkan si minoritas 
nglimpruk tanpa daya. 

Kita mafhum, itulah yang terjadi di Pakistan, terutama sejak 1974. 
Dengan menyandang predikat non-Islam, dalam cukup banyak kasus, kaum 
Ahmadi bahkan diseret ke pengadilan "hanya" karena membaca syahadat, 
bismillah, atau sekadar mengucap "assalamualaikum" (Antonio 
Gualtieri, 2004: 140). Karena klaim serupa, di Afrika Selatan jenazah 
penganut Ahmadiyah dilarang dikubur dalam kompleks pemakaman muslim. 
Jika penonislaman itu mau kita adopsi, situasi lebih buruk sangat 
mungkin bisa terjadi di Indonesia. 

Ketiga, kecuali klaim bahwa Mirza Ghulam Ahmad (MGA) adalah Imam 
Mahdi (Messiah) dan nabi "tanpa syariah"--klaim kenabian ini bahkan 
ditolak oleh Ahmadiyah Lahore--aspek fundamental doktrin Ahmadiyah 
sebetulnya bisa dikatakan relatif serupa dengan mayoritas Islam 
Sunni. Rukun Islam dan rukun iman mereka sama, dengan kecenderungan 
fikih pada mazhab Hanafi. Mereka berpedoman kepada kitab suci Al-
Quran dan menjadikan Muhammad SAW sebagai teladan utama. Tidak benar 
mereka menganggap Tadzkirah sebagai kitab suci. Meski isinya mereka 
yakini diturunkan Allah kepada MGA, Tadzkirah tidaklah berposisi 
memodifikasi, apalagi menggantikan Al-Quran (Yohanan Friedmann, 2003: 
137-40). Betapapun, bagi saya, ketaksediaan mereka bermakmum salat 
kepada seorang imam non-Ahmadi adalah bentuk keangkuhan teologis yang 
berimplikasi serius dalam relasi sosiologis dengan umat Islam lain. 
Tapi menonislamkan kaum Ahmadi secara sepihak adalah tindakan semena-
mena yang secara doktriner tak cukup berdasar.

Karena itu, saya sepakat dengan argumen Buya Hamka dalam Peladjaran 
Agama Islam (1956: 196-8) bahwa aktifnya kelompok seperti Ahmadiyah 
di Tanah Air hendaknya lebih menjadi "cemeti" buat para ulama dan dai 
dalam meningkatkan kualitas ilmu, kepemimpinan, dan komunikasi mereka 
dengan umat, untuk berlomba menunaikan kebajikan. 

Posisi negara

Jika dilihat secara terisolasi, boleh jadi fatwa "sesat" Majelis 
Ulama Indonesia adalah perkara biasa-biasa saja. Di berbagai belahan 
dunia muslim, otoritas lain, baik individu maupun lembaga, telah lama 
dan berulang melakukan hal yang sama dalam menanggapi kasus 
Ahmadiyah. Tapi, dalam konteks kehidupan bangsa kita sekarang, fatwa 
"sesat" MUI itu menjadi problem mendasar yang tak bisa dibiarkan.

Semua orang paham bahwa meskipun MUI dibentuk oleh pemerintah 
Soeharto, ia adalah organisasi (sebetulnya bukan, karena tidak punya) 
massa yang berada di luar struktur hukum dan produknya sama sekali 
tidak punya otoritas hukum. Tapi, bahkan Presiden Susilo Bambang 
Yudhoyono sendiri dalam Rapat Kerja Nasional MUI November 2007 terang-
terangan menyatakan bahwa dalam menangani isu aliran sesat, 
pemerintah akan memohon fatwa MUI sebagai landasan bagi aparat negara 
untuk bertindak. 

Pada kenyataannya, menurut laporan SETARA Institute mengenai 
kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia pada 2007, itulah 
yang terjadi. Fatwa MUI adalah rujukan yang paling sering dipakai 
kepolisian untuk menangkapi, menahan, dan membiarkan tindakan 
kekerasan atas pihak yang dicap sesat. Tak mengherankan jika kelompok-
kelompok tertentu pun kemudian merasa mendapat pembenaran untuk 
melakukan kekerasan. 

Jika ketakjelasan prosedur hukum ini tidak segera dibenahi, 
pembubaran MUI seperti diusulkan Gus Dur dan sejumlah ormas lain 
memang beralasan. Tapi, jika penyelesaian kasus Ahmadiyah ini hendak 
didudukkan dalam bingkai kehidupan beragama yang sehat secara 
menyeluruh, menurut saya, institusi antidemokratis yang lebih 
mendesak untuk digugat adalah Badan Koordinasi Pengawas Agama dan 
Kepercayaan (Bakor Pakem). 

Lembaga "militeristik" yang dibentuk pada 1984 dan terdiri atas 
anasir kejaksaan, kepolisian, Departemen Agama, dan tentara menurut 
berbagai tingkat pemerintahan ini memang dirancang oleh rezim Orde 
Baru sebagai satuan pengintai keyakinan. Di mata rezim otoriter, 
setiap warga memang dianggap selalu berpotensi menjadi ancaman 
negara. Jelas, lembaga ini bertentangan, terutama dengan Pasal 28-E 
dan 29 (1) Undang-Undang Dasar 1945 tentang Hak Kebebasan Beragama. 
Selama masih ada Bakor Pakem, kelompok minoritas apa saja akan rentan 
terhadap represi, baik dari pihak negara maupun kelompok mayoritas.

Dalam negara demokrasi, setiap orang paham bahwa keyakinan adalah 
urusan amat pribadi yang bukan hanya tidak boleh dicampuri, tapi juga 
harus dijamin pelaksanaannya oleh negara. Tapi bagaimana mungkin 
warga memiliki jaminan kebebasan beragama jika ternyata negara berhak 
menentukan keyakinan mana yang benar dan mana yang sesat untuk 
dihukum? Bahkan pada Abad Pertengahan, lembaga Inkuisisi Gereja 
Katolik pada akhirnya gagal menertibkan aliran-aliran yang dianggap 
sesat meski telah menghabisi jutaan nyawa. Lagi pula, jika dalam hal 
keyakinan yang sangat bersifat pribadi ternyata warga negara bisa 
dipaksa, bagaimana sektor kehidupan sosial yang lain hendak dikelola? 

Di tengah arus lalu lintas kehidupan sosial yang kian mengalir deras, 
intens, beragam, dan kompleks, yang kita perlukan adalah kesiapan 
hidup bersama "siapa saja" secara adil, sederajat, dan bermartabat. 
Karena itu, kita membutuhkan tatanan sosial yang terbuka dan 
menjunjung tinggi prinsip-prinsip demokrasi. Hanya dengan demikian 
potensi masing-masing pribadi bisa teraktualisasi dan persoalan 
bersama bisa diatasi secara optimal. Negara tidak perlu terlalu repot 
merecoki wilayah keyakinan yang sesungguhnya bukan menjadi urusannya, 
sedangkan kewenangan utamanya sendiri malah terbengkalai.



       
---------------------------------
Looking for last minute shopping deals?  Find them fast with Yahoo! Search.

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke