Anjing abu ireng pasti pindah gawang lagi...

dan
"Apakah sanak saudara dan kerabat serta teman teman anda mendapat perlakuan
tidak baik dari masyarakat Indonesia "
+++++++

Kolom TEMPO, 30 Mei 1981



FATWA NATAL, UJUNG DAN PANGKAL

Oleh: KH. Abdurrahman Wahid



KASUS "Fatwa Natal" dari Majelis Ulama Indonesia ternyata menghebohkan juga. 
Lembaga itu didesak agar "mencabut peredaran" fatwa yang melarang kaum 
muslimin untuk menghadiri perayaan keagamaan golongan agama lain.



Ini sungguh merepotkan, hingga orang sesabar dan sebaik Buya Hamka sampai 
meletakkan jabatan sebagai ketua umum MUI. Emosi pun mudah terganggu 
mendengarnya, kemarahan gampang terpancing, dan kesadaran lalu hilang di 
hadapannya: yang tinggal cuma sumpah serapah.



Padahal, masalahnya kompleks. Sebagai kumpulannya para ulama, bolehkah MUI 
menggunakan terminologi dan pengertian yang lain dari apa yang diikuti para 
ulama umumnya? Kalau tidak boleh, bukankah sudah logis kalau MUI 
mengeluarkan fatwa seperti itu, karena memang masih demikianlah pengertian 
para ulama sendiri? Kalau boleh, lalu terminologi dan pengertian apakah yang 
harus dipergunakan oleh MUI?



Jadi, ternyata pangkal persoalan belum ditemukan pemecahannya. Ia menyangkut 
penetapan wewenang membuat penafsiran kembali banyak prinsip keagamaan yang 
sudah diterima sebagai bagian inheren dari sistem berpikir keagamaan kaum 
muslimin.



Lembaga seperti MUI, yang memang dibuat hanya sekadar sebagai penghubung 
antara pemerintah dan umat pemeluk agama Islam (itu pun yang masih merasa 
memerlukan kontak ke luar), sudah tentu sangat gegabah untuk diharapkan 
dapat berfungsi demikian. Ia hanyalah sebuah pusat informasi yang memberikan 
keterangan tentang umat kepada pemerintah dan maksud pemerintah kepada kaum 
muslimin.



Tidak lebih dari itu. Kalau lebih, mengapa ia dirumuskan sebagai "tidak 
bersifat operatif dan tidak memiliki jenjang vertikal dengan Majelis-majelis 
Ulama di daerah? Kalau ia dikehendaki mampu merumuskan sendiri pedoman 
pengambilan keputusan atas nama umat Islam, mengapakah bukan tokoh-tokoh 
puncak tiap organisasi Islam yang dijadikan "perwakilan" di dalamnya?



Main Mutlak-mutlakan Itu tadi tentang pangkal persoalannya: tidak jelasnya 
status keputusan yang dikeluarkan MUI, di mana titik pijak berpikirnya, dan 
kepada siapakah ia selalu harus berbicara (supaya jangan selalu babak belur 
dicaci maki pihak yang terkena).



Bagaimana halnya dengan ujung persoalan "Fatwa Natal"? Apakah lalu akan 
keluar fatwa tidak boleh pacaran dengan gadis beragama lain, lalu fatwa sama 
sekali tidak boleh pacaran? Apakah menganggukkan kepala kalau bertemu gadis 
juga dimasukkan ke dalam kategori pacaran? Bagaimana pula tersenyum (baik 
malu-malu ataupun penuh harapan)? Bolehkah, nanti anak saya bersekolah satu 
bangku dengan murid lain yang beragama Budha? Bagaimana kalau ada tamu 
Hindu, haruskah saya banting pecahkan gelas bekas ia meneguk minuman yang 
saya suguhkan (walaupun mungkin gelas pinjam dari orang lain)? Dan 
seterusnya, dan seterusnya.



Kalau tidak ada keinginan menetapkan ujung persoalannya, jangan-jangan nanti 
kita tidak boleh membiarkan orang Kristen naik taksi yang di kacanya 
tertulis kaligrafi Arab berbunyi Bismillahirrahmanirrahim. Alangkah 
pengapnya udara kehidupan kita semua, kalau sampai demikian!



Tetapi, mencari ujung itu juga tidak mudah, karena ia berangkat dari 
seperangkat postulat yang main mutlak-mutlakan dalam pemikiran keagamaan 
kita.



Yang celaka kalau pemeluk agama-agama lain juga bersikap eksklusif seperti 
itu. Salah-salah, si muslim nakal bisa mengalami nasib sial: sudah 
mencuri-curi perginya melihat perayaan Natal (takut dimarahi MUI), sesampai 
di tempat perayaan itu diusir oleh penjaga pintu pula.



Karenanya, mengapakah tidak kita mulai saja mengusulkan batasan yang jelas 
tentang wilayah "kajian" (atau keputusan, atau pertimbangan, atau entah apa 
lagi) yang baik dipegangi oleh MUI? Mengapakah tidak masalah-masalah dasar 
yang dihadapi bangsa saja. Bagaimana merumuskan kemiskinan dari sudut 
pandangan agama, bagaimana mendorong penanganan masalah itu menurut 
pandangan agama, bagaimana meletakkan kedudukan upaya penanganan kemiskinan 
(haram, halal, mubah, makruh, sunahkah?) oleh berbagai lembaga di bawah? 
Bagaimana pula kaum muslimin seyogianya bersikap terhadap ketidakadilan, 
terhadap kebodohan?



Jawabannya tentulah harus terperinci dan konkret, jangan cuma sitiran satu 
dua hadis tentang kewajiban belajar hingga ke liang kubur saja. Nah, 
kapankah akan ada kejelasan tentang ujung dan pangkal kasus "Fatwa Natal", 
yang juga berarti ujung dan pangkal MUI sendiri?



------------------------------------

Post message: prole...@egroups.com
Subscribe   :  proletar-subscr...@egroups.com
Unsubscribe :  proletar-unsubscr...@egroups.com
List owner  :  proletar-ow...@egroups.com
Homepage    :  http://proletar.8m.com/Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/proletar/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/proletar/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    proletar-dig...@yahoogroups.com 
    proletar-fullfeatu...@yahoogroups.com

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    proletar-unsubscr...@yahoogroups.com

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/

Kirim email ke