Assalamu'alaikum wr. wb.
 
Manolah mamak Muchtar Naim (ampun jo maaf dek karano luo jo gala mamak).
Pertama kamanakan akan bertanya lebih dulu, sejak kapan sih konsep TTS ini berjalan di Minang
secara efektif? Kalau ada yang menyebut sejak ada "tigo rajo", rasanya kita terpaksa mempertanyakan
efektifitas sistim itu, dikarenakan konsep nagari justru lebih dulu tumbuh dan berkembang sebelum
adanya "rajo nan tigo" tersebut, dimana konsep dasar nagari ialah:
 
"kamanakan barajo ka mamak,
mamak barajo ka pangulu,
pangulu barajo ka nan bana".
 
Dalam implementasi tiada lain adalah "kerapatan pangulu" yang berjalan, sekarang lebih populer dengan
"kerapatan adat nagari". Seingat saya justru konsep TTS ini dipopulerkan post prri sebagai langkah
membangkitkan kembali masyarakat. Konsep TTS tidak sepenuhnya jelek, namun dalam hemat saya
mengandung representasi yang kurang adil, karena bagaimanapun akhir akan memerlukan siapa jadi
"selected ulama" dan selected "cadiak pandai". Seperti yang telah mamak sebutkan sendiri, sangat
sukar menentukan siapa yang pantas dianggap "ulama" dan "cadiak pandai" itu, idealnya dan sangat
mungkin dilakukan ialah menjadikan semua niniak-mamak itu ulama sekaligus cadiak pandai.
 
Hemat saya biarkan dua jenis ini sebagai pemberi masukan atau source person, sementara keputusan
tetap pada kerapatan ninik-mamak/penghulu nagari. Konsep TTS hanyalah pelipur lara bagi niniak-mamak
yang mungkin inferior dalam beberapa hal. Sementara itu yang dinamakan ulama dan cadiak pandai,
biarkan juga berkembang menjadi dewasa, untuk itu dibutuhkan kebebasan berfikir dan berpendapat.
Membuat masyarakat berfikir, berbeda pendapat dan mencari solusi terbaik, setidaknya bisa dimulai dari
pemilihan wali nagari secara langsung oleh segenap anak nagari, sebaiknya juga mengikutkan anak
nagari yang berada di rantau (ada yang berani mulai?).
 
Minangkabau sudah lama memang membutuhkan empowerment dari para ninik-mamak ini, representasi
dari kaum lewat penghulu sudah jelas, tinggal bagi kaum yang penghulunya masih terlipat, terobosan untuk
reperesentasi ad hoc perlu diintrodusir, atau jangan-jangan sudah jalan. Empowerment lewat nagari, salah
satu yang perlu dilakukan ialah membuat access atas informasi, terutama bagi yang jadi niniak-mamak.
 
Sekian dahulu, mohon maaf kalau ada kata yang menyinggung.
 
Salam
 
 
Basri Hasan St. Bagindo Nagari
 

 

 

KONSEP KEPEMIMPINAN TUNGKU NAN TIGO SAJARANGAN

DAN MASALAH PENERAPANNYA DALAM RANGKA

KEMBALI KE NAGARI

 

Mochtar Naim

 

 

 

K

ONSEP kepemimpinan tripartit TTS (Tungku nan Tigo Sajarangan, Tali nan Tigo Sapilin) seperti yang dikenal dalam masyarakat Minangkabau selama ini berkait langsung dan serasi dengan sistem kemasyarakatannya yang egaliter dan demokratis, dan karenanya mengenal pembagian kerja dengan tugas yang dibagi-bagi secara fungsional. Karena sifatnya yang egaliter dan demokratis itu maka pengambilan keputusan tidaklah dilakukan oleh orang seorang seperti yang berlaku dalam sistem kemasyarakatan yang bersifat feodal, ataupun diktatorial-totaliter, tetapi melalui proses musyawarah dari unsur-unsur kepemimpinan yang bersifat setara tetapi saling melengkapi dan saling membutuhkan itu.

            Yang namanya pemimpin itu berada bersama dan di tengah-tengah rakyatnya. Derjatnya sama dengan rakyat yang dipimpinnya. Dalam me-laksanakan tugas-tugas kepemimpinannya dia hanya “ditinggikan seran-ting dan didahulukan selangkah.”  Dia dihormati bukan karena pangkat atau darah dan keturunannya tetapi karena kualitas kepemimpinannya. Karena kepemimpinan terbagi menurut fungsi masing-masing maka di luar bidang fungsinya dia bukanlah imam tetapi makmum.

            Lagi pula, pemimpin di Minangkabau tidaklah kebal terhadap kesalahan dan terhadap hukum. Tidak ada istilah seperti di Barat: “The King can do no wrong;” yang pemimpin bisa berbuat sekehendaknya. Seperti di dunia Melayu lainnya, di Minangkabau pun juga berlaku ungkapan: “Raja adil raja disembah, raja lalim raja disanggah.” Yang disembah itu pada hakikatnya adalah adilnya, dan benarnya, bukan rajanya itu sendiri. Ini juga tercermin dari ungkapan lainnya: “Kamanakan barajo ka mamak, mamak barajo ka panghulu, panghulu barajo ka nan bana, nan bana badiri sandirinyo.” Jelas bahwa yang raja di Minangkabau itu pada hakikatnya bukanlah orang tetapi nan bana itu. Ujung dari semua yang benar itu tiada lain adalah yang memiliki kebenaran yang mutlak yang berdiri sendirinya itu, yaitu Allah swt.     

            Namun, dari sisi lain, seperti juga di tingkat kerajaan sendiri, yang namanya raja atau pemimpin itu tidaklah satu, tetapi tiga, artinya tiga dalam satu kesatuan kepemimpinan tripartit atau TTS itu. Di tingkat kerajaan, ada Raja Alam, ada Raja Adat, dan ada Raja Ibadat. Masing-masing dengan fungsinya yang terlihat dari predikatnya itu sendiri. Raja Alam yang didahulukan selangkah dan ditinggikan seranting dari kedua lainnya (primus inter pares) mengatur kerajaan ke dalam dan menjaga hu-bungan dengan dunia luar. Raja Adat mengatur adat dan seluk-beluk adat, dan raja ibadat mengatur hal-hal yang berkaitan dengan agama.

            Di tingkat nagaripun juga demikian. TTSnya berbentuk tiga serang-kai: Ninik Mamak, Alim Ulama dan Cerdik Pandai. Ninik Mamak, berkaitan dengan adat dan hubungan ke dalam di dalam kaum dan suku dan keluar di dalam nagari dan antar nagari. Alim Ulama, sebagaimana namanya, berkaitan dengan “kitab,” artinya agama, sementara Cerdik Pandai dengan kecendekiaannya, yang akal dan buah pikirannya diperlu-kan oleh masyarakat.

*

           

            Namun, itu dahulu, ketika unsur luar belum masuk, kecuali unsur Islam yang datang melengkapi dan memberi ruh keagamaan kepada sebuah sistem sosial yang tadinya semata berupa ajaran etika sosial yang mengambil paradigmanya kepada hukum-hukum alam. Islam menekan-kan kepada hubungan yang harmonis secara vertikal ke atas dengan Tuhan dan secara horizontal samping menyamping dengan sesama manusia. Dengan dilandaskannya konsep kepemimpinan  TTS kepada adat yang telah bersenyawa dengan syarak itu maka sistem kepemim-pinannya berpedoman kepada Al Quran dan Hadits di samping juga kepada hukum-hukum alam yang tidak lain adalah sunnatullah itu sendiri.

            Ketika Belanda masuk, Jepang masuk dan kemerdekaanpun diku-mandangkan, sendirinya masuk pulalah unsur-unsur baru dari luar. Kon-sep kepemimpinan tripartit TTS mulai mendapat saingan dan tantangan-tantangan baru. Sementara, sejarah menghendaki, Minangkabau yang tadinya berbentuk kerajaan, ditelan oleh sejarah dengan terjadinya Perang Paderi di awal abad ke 19. Namun sistem bernagari berlanjut dengan ritma dan dinamikanya pula sampai dihidupkannya nagari kembali hari ini.

            Nagari seperti yang kita kenal sekarang dengan sendirinya tidak lagi murni seperti sebelum penjajahan masuk. Nagari telah mengalami akul-turasi dengan unsur-unsur yang dari luar itu. Masih di zaman Belanda sekalipun, walau Belanda tidak ikut memerintah sampai ke tingkat Naga-ri, namun Kepala Nagari mendapat pisuluik (besluit) dari pemerintah Belanda. Mereka digaji oleh pemerintah dan mendapat tanda jasa bagi yang loyal kepada pemerintah Belanda. Dalam mengurus Nagari, Kepala Nagari lalu dibantu oleh Dubalang dan perangkat lainnya, sementara di samping itu ada Kerapatan Nagari yang semuanya terdiri dari penghulu-penghulu suku. Karena Kepala Nagari adalah juga penghulu suku maka pemerintah nagari memiliki fungsi ganda, ke bawah mewakili pemerintah gubernemen dan ke atas mewakili rakyat dari nagari bersangkutan.

            Dalam masyarakat yang sudah tidak lagi mandiri dan berdiri sendiri tetapi telah menjadi bahagian dari sistem pemerintahan yang terstruktur secara hirarkis-vertikal sejak masa penjajahan dahulu itu, maka terjadilah dualisme pemerintahan dan sekaligus kepemimpinan. Ada pemerintahan formal yang bercorak nasional dan berjenjang secara hirarkis-vertikal ke tingkat pusat, di mana Sumatera Barat menjadi bahagian yang integral daripadanya, dan ada pemerintahan adat secara informal di tingkat nagari. Sampai dengan dileburnya pemerintahan nagari menjadi pemerintahan desa yang seragam untuk seluruh Indonesia di zaman Orde Baru, peme-rintahan nagari memiliki kedua unsur formal dan informal itu. Dalam arti, secara formal, kepala nagari atau wali nagari adalah wakil pemerin-tahan nasional di tingkat nagari; sementara secara informal, kepala nagari adalah juga pemimpin informal di nagarinya. Rata-rata kepala nagari, khususnya di zaman Belanda sampai kepada awal masa kemerdekaan, adalah pemimpin informal bergelar penghulu di nagarinya.

            Dengan pemerintahan nagari yang berfungsi ganda itu, kedudukan dan peran dari TTS cukup menonjol. Yang mengisi jabatan di Kerapatan Nagari, DPRN, dsb. di nagari, adalah dari unsur kepemimpinan TTS tersebut. Tetapi masih di bagian awal dari zaman kemerdekaan ini, kecuali unsur TTS juga mulai muncul dan dimunculkan unsur bundo kanduang dan bahkan pemudanya. Tujuannya terutama untuk menda-patkan dukungan moral dan representasi yang merata dari berbagai lapisan masyarakat. Apalagi peranan bundo kanduang dan pemuda di masa revolusi kemerdekaan memang tidak kecil, bahkan menonjol.

            Di zaman berdesa di masa Orde Baru, paradigma kepemimpinan di tingkat desa tidak lagi ditekankan kepada pertimbangan ada tidaknya unsur TTS itu berperan, tetapi terutama kepada faktor loyalitas kepada pemerintah. Tidak lagi dipersyaratkan bahwa yang diangkat jadi Kepala Desa (Kades) harus dari unsur TTS tetapi dari mereka yang memiliki loyalitas kepada pemerintah yang di atas itu. Tidak sedikit dari unsur TTS tidak terlibat atau bahkan tidak terpakai selama masa Orde Baru karena loyalitasnya yang diragukan.

            Peran dan kedudukan dari TTS kembali menonjol justeru dengan semangat Kembali ke Nagari, dengan diberlakukannya UU Otonomi Daerah di zaman Reformasi sekarang ini.  Dengan UU Otda No. 22 dan 25 th 1999 ini pemerintahan terendah setingkat desa yang memiliki ciri-ciri kekhasan tersendiri seperti nagari di Sumatera Barat ini dimungkin-kan untuk kembali dihidupkan jika masyarakat adat bersangkutan meng-inginkannya. Masyarakat di Sumatera Barat ternyata mengambil peluang seperti yang diberikan oleh UU Otda itu. Setelah melalui persiapan-persi-apan yang cukup panjang, sekarang rata-rata nagari telah kembali ke sistem Nagari, dan Desa hilang, kecuali di daerah Mentawai yang tetap dengan sistem Desa, karena Mentawai secara kultural bukanlah bahagian dari wilayah adat dan budaya Minangkabau.

            Namun dengan konsep Kembali ke Nagari dan dengan pengaktu-alisasian kembali konsep kepemimpinan TTS itu, sejumlah permasalahan muncul. Pertama, mengenai pendefinisian kembali dari unsur TTS itu sendiri. Tidaklah susah untuk mengidentifikasi unsur Ninik mamak di Nagari, karena ninik mamak itu jelas atributnya secara adat. Tetapi apakah ninik mamak itu harus penghulu yang diangkat dalam suku? Bagaimana dengan nagari yang penghulu sukunya sudah lama terbenam dan tidak atau belum berganti? Ada banyak nagari-nagari di Sumatera Barat sekarang ini yang tidak lagi ada penghulunya, walau ninik mamak dalam kaum ataupun suku tetap ada. Tetapi ninik mamak yang bukan penghulu itupun definisi maupun identifikasinya juga kabur. Dalam sebuah kaum ataupun suku, bisa ada tetapi juga bisa tidak diketahui secara pasti siapa sesungguhnya yang diakui sebagai ninik mamak itu. Belum lagi untuk mengatakan bahwa tidak sedikit dari ninik mamak yang penghulu juga ikut merantau, sementara juga ada gejala bahwa yang di-angkat jadi penghulu itu adalah orang berpangkat yang pejabat tetapi bisa saja tidak mengerti dengan adat dan seluk beluk adat itu. Rata-rata dari penghulu yang pejabat ini tidak tinggal di kampung tetapi di kota-kota di Sumbar ataupun di rantau.  Gejala lain yang juga muncul sejak masa Orde Baru yang lalu ialah bahwa ternyata gelar datuk ini juga bisa dihadiahkan kepada orang-orang yang bukan Minangkabau karena dianggap pejabat yang berjasa, raja di seberang sana, dsb. Nyaris di zaman awal Orde Baru dulu bahkan ada uknum etnik Cina dan Batak yang kebetulan beragama Kristen mau diberi gelar datuk pula meniru cara di Malaysia.

            Lalu, dalam Kerapat Adat Nagari (KAN) model sekarang ternyata tidak semua dari unsur adat bergelar datuk, di samping di KAN juga duduk unsur non-ninik-mamak, bahkan bundo kanduang, dsb.

            Kedua, bagaimana duduk-tegaknya dengan munculnya unsur “bun-do kanduang” yang tadinya berada di garis belakang dalam kaum di rumah masing-masing, yang berfungsi sebagai amban puruak, sekarang juga tampil dan ditampilkan sebagai unsur kepemimpinan di nagari? Apakah setiap wanita yang telah berumur dan berkeluarga adalah bundo kanduang, ataukah hanya sejumlah tertentu yang aktif dalam berbagai kegiatan dalam masyarakat saja? Ataukah juga terutama hanya isteri-isteri pejabat saja yang duduk di Dharmawanita dsb? Bagaimana lalu kaitannya dengan konsep TTS itu, apakah mereka ada di dalam, di luar atau di sampingnya? Begitu juga halnya dengan unsur “pemuda,” yang juga diikutsertakan dalam kepemimpinan di nagari, terutama untuk duduk di BPRN ataupun lainnya.

            Ketiga, siapa sesungguhnya, dan kriteria apa yang diberikan kepada unsur Alim Ulama itu, khususnya di Nagari? Apakah imam-khatib, qadhi-bilal, dan yang berperan dalam kegiatan keagamaan lainnya, oto-matis adalah ulama atau alim-ulama? Seperti juga dengan penghulu tadi, mereka yang dikualifikasikan sebagai ulama itu sekarang juga banyak yang keluar dari kampung dan bertebaran di kota-kota, baik dalam menjalan-kan fungsi dan profesinya sebagai ulama maupun bergerak di berbagai bidang kegiatan seperti yang lain-lainnya.

            Keempat, yang lebih sukar lagi diidentifikasi, khususnya di Nagari, siapa sesungguhnya yang dikategorikan sebagai cadiak pandai itu? Apa ukuran dan kriterianya? Apakah hanya sekadar asumsi warga masyarakat saja bahwa seseorang itu dianggap cadiak pandai karena dia bersekolah tinggi atau karena pandai berbicara dan mengeluarkan pendapat? Jika demikian, apakah setiap sarjana adalah cadiak pandai? Bukankah banyak sarjana yang tidak cadiak pandai ataupun cendekiawan, sementara tidak sedikit pula orang yang sekolahnya tidak tinggi tetapi dia berperan sebagai cadiak pandai ataupun cendekiawan sesungguhnya? Sedikit sarjana yang tinggal di kampung, sementara sarjana yang memilih jadi pegawai negeri di kota, karena abdi pemerintah, dan periuk nasinya tergantung pada pemerintah, lalu tidak bisa dan tidak mungkin berfikir kritis dan independen sebagai laiknya cendekiawan. Di zaman Orde Baru, sarjana yang bungkem dan tidak bersuara itu tidak hanya di kantor-kantor pemerintah tetapi bahkan di lingkungan perguruan tinggi sekalipun.  Di Sumbar sekarang ada ribuan sarjana, ada sekian S2 dan sekian pula S3 dan bahkan profesornya. Tetapi kenapa yang bersuara dan mengeluarkan pendapatnya bagi kepentingan masyarakat hanya segelintir kecil saja, dan cenderung orangnya hanya itu ke itu juga?

                        Dan kelima, bagaimana dan di mana letaknya kelompok birokrasi, khususnya para pejabat pemerintah, sivil maupun militer, dalam kaitannya dengan kepemimpinan TTS itu, yang sejak kemerdekaan ini justeru menempati posisi terdepan dalam sistem kepemimpinan dalam masyarakat? Dalam sistem pemerintahan yang cenderung etatik dan bahkan otokratik, adakah tempat sesungguhnya bagi TTS itu untuk berperan? Dan dalam konteks Kembali ke Nagari sekarang ini adakah tempat bagi para pejabat itu untuk berperan?

 

*

 

            Ada banyak hal dan masalah yang berkaitan dengan konsep TTS ini yang harus diklarifikasikan. Sejauh ini kita baru banyak berfikir pada level teoretis, konseptual dan ideal-normatif. Kita belum cukup meng-gagaskan mengenai aspek implementasi dan pemakaian serta pemasang-annya dalam struktur kepemimpinan dalam masyarakat secara riel dan aktual, khususnya dalam masyarakat Nagari dalam rangka semangat Kembali ke Nagari sekarang ini dan sekaligus dalam rangka menghidup-kan kembali konsep TTS itu.

            Orang-orang dari perguruan tinggi, dari lembaga-lembaga peneliti-an, dari organisasi-organisasi professi yang berkaitan dengan TTS itu -- seperti LKAAM, MUI, ICMI, dsb --, dan perorangan sekalipun, perlu secara bersungguh-sungguh memikirkan konsep TTS ini yang diimple-mentasikan dalam rangka Kembali ke Nagari itu. Bagi orang luar konsep TTS ini masih kabur. Tetapi tidak kurangnya juga oleh sebagian besar warga masyarakat sendiri, yang di kampung, apalagi yang di rantau. ***

           

 

 

 

Batipuah Baruah, 7 Juli 2003

 

 

----- Original Message -----
From: "Mochtar Naim" <[EMAIL PROTECTED]>
To: <[EMAIL PROTECTED]>
Cc: <[EMAIL PROTECTED]>
Sent: Monday, July 14, 2003 6:54 AM
Subject: [RantauNet.Com] tulisan ttg TTS untuk dibahas bersama

>
>  
>
> __________________________________
> Do you Yahoo!?
> SBC Yahoo! DSL - Now only $29.95 per month!
>
http://sbc.yahoo.com

Kirim email ke