KONSEP KEPEMIMPINAN TUNGKU NAN TIGO SAJARANGAN
DAN MASALAH PENERAPANNYA
DALAM RANGKA
KEMBALI KE
NAGARI
Mochtar Naim
K |
ONSEP kepemimpinan tripartit TTS
(Tungku nan Tigo Sajarangan, Tali nan Tigo Sapilin) seperti yang dikenal dalam
masyarakat Minangkabau selama ini berkait langsung dan serasi dengan sistem
kemasyarakatannya yang egaliter dan demokratis, dan karenanya mengenal pembagian
kerja dengan tugas yang dibagi-bagi secara fungsional. Karena sifatnya yang
egaliter dan demokratis itu maka pengambilan keputusan tidaklah dilakukan oleh
orang seorang seperti yang berlaku dalam sistem kemasyarakatan yang bersifat
feodal, ataupun diktatorial-totaliter, tetapi melalui proses musyawarah dari
unsur-unsur kepemimpinan yang bersifat setara tetapi saling melengkapi dan
saling membutuhkan itu.
Yang namanya pemimpin itu berada bersama dan di tengah-tengah rakyatnya.
Derjatnya sama dengan rakyat yang dipimpinnya. Dalam me-laksanakan tugas-tugas
kepemimpinannya dia hanya “ditinggikan seran-ting dan didahulukan
selangkah.” Dia dihormati bukan
karena pangkat atau darah dan keturunannya tetapi karena kualitas
kepemimpinannya. Karena kepemimpinan terbagi menurut fungsi masing-masing maka
di luar bidang fungsinya dia bukanlah imam tetapi makmum.
Lagi pula, pemimpin di Minangkabau tidaklah kebal terhadap kesalahan dan
terhadap hukum. Tidak ada istilah seperti di Barat: “The King can do no wrong;” yang pemimpin bisa berbuat
sekehendaknya. Seperti di dunia Melayu lainnya, di Minangkabau pun juga berlaku
ungkapan: “Raja adil raja disembah, raja lalim raja disanggah.” Yang disembah
itu pada hakikatnya adalah adilnya, dan benarnya, bukan rajanya itu sendiri. Ini
juga tercermin dari ungkapan lainnya: “Kamanakan barajo ka mamak, mamak barajo ka panghulu, panghulu barajo ka nan bana, nan bana badiri
sandirinyo.” Jelas
bahwa yang raja di Minangkabau itu pada hakikatnya bukanlah orang tetapi
nan bana itu. Ujung dari semua yang
benar itu tiada lain adalah yang memiliki kebenaran yang mutlak yang berdiri
sendirinya itu, yaitu Allah swt.
Namun, dari sisi lain, seperti juga di tingkat kerajaan sendiri, yang
namanya raja atau pemimpin itu tidaklah satu, tetapi tiga, artinya tiga dalam
satu kesatuan kepemimpinan tripartit atau TTS itu. Di tingkat kerajaan, ada Raja
Alam, ada Raja Adat, dan ada Raja Ibadat. Masing-masing dengan fungsinya yang
terlihat dari predikatnya itu sendiri. Raja Alam yang didahulukan selangkah dan
ditinggikan seranting dari kedua lainnya (primus inter pares) mengatur kerajaan ke dalam dan
menjaga hu-bungan dengan dunia luar. Raja Adat mengatur adat dan seluk-beluk
adat, dan raja ibadat mengatur hal-hal yang berkaitan dengan
agama.
Di tingkat nagaripun juga demikian. TTSnya berbentuk tiga serang-kai:
Ninik Mamak, Alim Ulama dan Cerdik Pandai. Ninik Mamak, berkaitan dengan adat
dan hubungan ke dalam di dalam kaum dan suku dan keluar di dalam nagari dan
antar nagari. Alim Ulama, sebagaimana namanya, berkaitan dengan “kitab,” artinya
agama, sementara Cerdik Pandai dengan kecendekiaannya, yang akal dan buah
pikirannya diperlu-kan oleh masyarakat.
*
Namun, itu dahulu, ketika unsur luar belum masuk, kecuali unsur Islam
yang datang melengkapi dan memberi ruh keagamaan kepada sebuah sistem sosial
yang tadinya semata berupa ajaran etika sosial yang mengambil paradigmanya
kepada hukum-hukum alam. Islam menekan-kan kepada hubungan yang harmonis secara
vertikal ke atas dengan Tuhan dan secara horizontal samping menyamping dengan
sesama manusia. Dengan dilandaskannya konsep kepemimpinan TTS kepada adat yang telah bersenyawa
dengan syarak itu maka sistem kepemim-pinannya berpedoman kepada Al Quran dan
Hadits di samping juga kepada hukum-hukum alam yang tidak lain adalah
sunnatullah itu sendiri.
Ketika Belanda masuk, Jepang masuk dan kemerdekaanpun diku-mandangkan,
sendirinya masuk pulalah unsur-unsur baru dari luar. Kon-sep kepemimpinan
tripartit TTS mulai mendapat saingan dan tantangan-tantangan baru. Sementara,
sejarah menghendaki, Minangkabau yang tadinya berbentuk kerajaan, ditelan oleh
sejarah dengan terjadinya Perang Paderi di awal abad ke 19. Namun sistem
bernagari berlanjut dengan ritma dan dinamikanya pula sampai dihidupkannya
nagari kembali hari ini.
Nagari seperti yang kita kenal sekarang dengan sendirinya tidak lagi
murni seperti sebelum penjajahan masuk. Nagari telah mengalami akul-turasi
dengan unsur-unsur yang dari luar itu. Masih di zaman Belanda sekalipun, walau
Belanda tidak ikut memerintah sampai ke tingkat Naga-ri, namun Kepala Nagari
mendapat pisuluik (besluit) dari pemerintah Belanda. Mereka
digaji oleh pemerintah dan mendapat tanda jasa bagi yang loyal kepada pemerintah
Belanda. Dalam mengurus Nagari, Kepala Nagari lalu dibantu oleh Dubalang dan
perangkat lainnya, sementara di samping itu ada Kerapatan Nagari yang semuanya
terdiri dari penghulu-penghulu suku. Karena Kepala Nagari adalah juga penghulu
suku maka pemerintah nagari memiliki fungsi ganda, ke bawah mewakili pemerintah
gubernemen dan ke atas mewakili rakyat dari nagari
bersangkutan.
Dalam masyarakat yang sudah tidak lagi mandiri dan berdiri sendiri tetapi
telah menjadi bahagian dari sistem pemerintahan yang terstruktur secara
hirarkis-vertikal sejak masa penjajahan dahulu itu, maka terjadilah dualisme
pemerintahan dan sekaligus kepemimpinan. Ada pemerintahan formal yang bercorak
nasional dan berjenjang secara hirarkis-vertikal ke tingkat pusat, di mana
Sumatera Barat menjadi bahagian yang integral daripadanya, dan ada pemerintahan
adat secara informal di tingkat nagari. Sampai dengan dileburnya pemerintahan
nagari menjadi pemerintahan desa yang seragam untuk seluruh Indonesia di zaman
Orde Baru, peme-rintahan nagari memiliki kedua unsur formal dan informal itu.
Dalam arti, secara formal, kepala nagari atau wali nagari adalah wakil
pemerin-tahan nasional di tingkat nagari; sementara secara informal, kepala
nagari adalah juga pemimpin informal di nagarinya. Rata-rata kepala nagari,
khususnya di zaman Belanda sampai kepada awal masa kemerdekaan, adalah pemimpin
informal bergelar penghulu di nagarinya.
Dengan pemerintahan nagari yang berfungsi ganda itu, kedudukan dan peran
dari TTS cukup menonjol. Yang mengisi jabatan di Kerapatan Nagari, DPRN, dsb. di
nagari, adalah dari unsur kepemimpinan TTS tersebut. Tetapi masih di bagian awal
dari zaman kemerdekaan ini, kecuali unsur TTS juga mulai muncul dan dimunculkan
unsur bundo kanduang dan bahkan pemudanya. Tujuannya terutama untuk menda-patkan
dukungan moral dan representasi yang merata dari berbagai lapisan masyarakat.
Apalagi peranan bundo kanduang dan pemuda di masa revolusi kemerdekaan memang
tidak kecil, bahkan menonjol.
Di zaman berdesa di masa Orde Baru, paradigma kepemimpinan di tingkat
desa tidak lagi ditekankan kepada pertimbangan ada tidaknya unsur TTS itu
berperan, tetapi terutama kepada faktor loyalitas kepada pemerintah. Tidak lagi
dipersyaratkan bahwa yang diangkat jadi Kepala Desa (Kades) harus dari unsur TTS
tetapi dari mereka yang memiliki loyalitas kepada pemerintah yang di atas itu.
Tidak sedikit dari unsur TTS tidak terlibat atau bahkan tidak terpakai selama
masa Orde Baru karena loyalitasnya yang diragukan.
Peran dan kedudukan dari TTS kembali menonjol justeru dengan semangat
Kembali ke Nagari, dengan diberlakukannya UU Otonomi Daerah di zaman Reformasi
sekarang ini. Dengan UU Otda No. 22
dan 25 th 1999 ini pemerintahan terendah setingkat desa yang memiliki ciri-ciri
kekhasan tersendiri seperti nagari di Sumatera Barat ini dimungkin-kan untuk
kembali dihidupkan jika masyarakat adat bersangkutan meng-inginkannya.
Masyarakat di Sumatera Barat ternyata mengambil peluang seperti yang diberikan
oleh UU Otda itu. Setelah melalui persiapan-persi-apan yang cukup panjang,
sekarang rata-rata nagari telah kembali ke sistem Nagari, dan Desa hilang,
kecuali di daerah Mentawai yang tetap dengan sistem Desa, karena Mentawai secara
kultural bukanlah bahagian dari wilayah adat dan budaya Minangkabau.
Namun dengan konsep Kembali ke Nagari dan dengan pengaktu-alisasian
kembali konsep kepemimpinan TTS itu, sejumlah permasalahan muncul. Pertama, mengenai pendefinisian kembali
dari unsur TTS itu sendiri. Tidaklah susah untuk mengidentifikasi unsur Ninik
mamak di Nagari, karena ninik mamak itu jelas atributnya secara adat. Tetapi
apakah ninik mamak itu harus penghulu yang diangkat dalam suku? Bagaimana dengan
nagari yang penghulu sukunya sudah lama terbenam dan tidak atau belum berganti?
Ada banyak nagari-nagari di Sumatera Barat sekarang ini yang tidak lagi ada
penghulunya, walau ninik mamak dalam kaum ataupun suku tetap ada. Tetapi ninik
mamak yang bukan penghulu itupun definisi maupun identifikasinya juga kabur.
Dalam sebuah kaum ataupun suku, bisa ada tetapi juga bisa tidak diketahui secara
pasti siapa sesungguhnya yang diakui sebagai ninik mamak itu. Belum lagi untuk
mengatakan bahwa tidak sedikit dari ninik mamak yang penghulu juga ikut
merantau, sementara juga ada gejala bahwa yang di-angkat jadi penghulu itu
adalah orang berpangkat yang pejabat tetapi bisa saja tidak mengerti dengan adat
dan seluk beluk adat itu. Rata-rata dari penghulu yang pejabat ini tidak tinggal
di kampung tetapi di kota-kota di Sumbar ataupun di rantau. Gejala lain yang juga muncul sejak masa
Orde Baru yang lalu ialah bahwa ternyata gelar datuk ini juga bisa dihadiahkan
kepada orang-orang yang bukan Minangkabau karena dianggap pejabat yang berjasa,
raja di seberang sana, dsb. Nyaris di zaman awal Orde Baru dulu bahkan ada uknum
etnik Cina dan Batak yang kebetulan beragama Kristen mau diberi gelar datuk pula
meniru cara di Malaysia.
Lalu, dalam Kerapat Adat Nagari (KAN) model sekarang ternyata tidak semua
dari unsur adat bergelar datuk, di samping di KAN juga duduk unsur
non-ninik-mamak, bahkan bundo kanduang, dsb.
Kedua, bagaimana duduk-tegaknya
dengan munculnya unsur “bun-do kanduang” yang tadinya berada di garis belakang
dalam kaum di rumah masing-masing, yang berfungsi sebagai amban puruak, sekarang juga tampil dan
ditampilkan sebagai unsur kepemimpinan di nagari? Apakah setiap wanita yang
telah berumur dan berkeluarga adalah bundo kanduang, ataukah hanya sejumlah
tertentu yang aktif dalam berbagai kegiatan dalam masyarakat saja? Ataukah juga
terutama hanya isteri-isteri pejabat saja yang duduk di Dharmawanita dsb?
Bagaimana lalu kaitannya dengan konsep TTS itu, apakah mereka ada di dalam, di
luar atau di sampingnya? Begitu juga halnya dengan unsur “pemuda,” yang juga
diikutsertakan dalam kepemimpinan di nagari, terutama untuk duduk di BPRN
ataupun lainnya.
Ketiga, siapa sesungguhnya, dan
kriteria apa yang diberikan kepada unsur Alim Ulama itu, khususnya di Nagari?
Apakah imam-khatib, qadhi-bilal, dan yang berperan dalam kegiatan keagamaan
lainnya, oto-matis adalah ulama atau alim-ulama? Seperti juga dengan penghulu
tadi, mereka yang dikualifikasikan sebagai ulama itu sekarang juga banyak yang
keluar dari kampung dan bertebaran di kota-kota, baik dalam menjalan-kan fungsi
dan profesinya sebagai ulama maupun bergerak di berbagai bidang kegiatan seperti
yang lain-lainnya.
Keempat, yang lebih sukar lagi
diidentifikasi, khususnya di Nagari, siapa sesungguhnya yang dikategorikan
sebagai cadiak pandai itu? Apa ukuran dan
kriterianya? Apakah hanya sekadar asumsi warga masyarakat saja bahwa seseorang
itu dianggap cadiak pandai karena dia bersekolah tinggi atau karena pandai
berbicara dan mengeluarkan pendapat? Jika demikian, apakah setiap sarjana adalah
cadiak pandai? Bukankah banyak sarjana yang tidak cadiak pandai ataupun
cendekiawan, sementara tidak sedikit pula orang yang sekolahnya tidak tinggi
tetapi dia berperan sebagai cadiak pandai ataupun cendekiawan sesungguhnya?
Sedikit sarjana yang tinggal di kampung, sementara sarjana yang memilih jadi
pegawai negeri di kota, karena abdi pemerintah, dan periuk nasinya tergantung
pada pemerintah, lalu tidak bisa dan tidak mungkin berfikir kritis dan
independen sebagai laiknya cendekiawan. Di zaman Orde Baru, sarjana yang bungkem
dan tidak bersuara itu tidak hanya di kantor-kantor pemerintah tetapi bahkan di
lingkungan perguruan tinggi sekalipun.
Di Sumbar sekarang ada ribuan sarjana, ada sekian S2 dan sekian pula S3
dan bahkan profesornya. Tetapi kenapa yang bersuara dan mengeluarkan pendapatnya
bagi kepentingan masyarakat hanya segelintir kecil saja, dan cenderung orangnya
hanya itu ke itu juga?
Dan kelima, bagaimana dan di mana letaknya
kelompok birokrasi, khususnya para pejabat pemerintah, sivil maupun militer,
dalam kaitannya dengan kepemimpinan TTS itu, yang sejak kemerdekaan ini justeru
menempati posisi terdepan dalam sistem kepemimpinan dalam masyarakat? Dalam
sistem pemerintahan yang cenderung etatik dan bahkan otokratik, adakah tempat
sesungguhnya bagi TTS itu untuk berperan? Dan dalam konteks Kembali ke Nagari
sekarang ini adakah tempat bagi para pejabat itu untuk
berperan?
*
Ada banyak hal dan masalah yang berkaitan dengan konsep TTS ini yang
harus diklarifikasikan. Sejauh ini kita baru banyak berfikir pada level
teoretis, konseptual dan ideal-normatif. Kita belum cukup meng-gagaskan mengenai
aspek implementasi dan pemakaian serta pemasang-annya dalam struktur
kepemimpinan dalam masyarakat secara riel dan aktual, khususnya dalam masyarakat
Nagari dalam rangka semangat Kembali ke Nagari sekarang ini dan sekaligus dalam
rangka menghidup-kan kembali konsep TTS itu.
Orang-orang dari perguruan tinggi, dari lembaga-lembaga peneliti-an, dari
organisasi-organisasi professi yang berkaitan dengan TTS itu -- seperti LKAAM,
MUI, ICMI, dsb --, dan perorangan sekalipun, perlu secara bersungguh-sungguh
memikirkan konsep TTS ini yang diimple-mentasikan dalam rangka Kembali ke Nagari
itu. Bagi orang luar konsep TTS ini masih kabur. Tetapi tidak kurangnya juga
oleh sebagian besar warga masyarakat sendiri, yang di kampung, apalagi yang di
rantau. ***
Batipuah Baruah, 7 Juli
2003
>
>
> __________________________________
> Do you Yahoo!?
> SBC Yahoo! DSL - Now only $29.95 per month!
> http://sbc.yahoo.com