Terima Kasih Mak Sati atas tanggapannya dan senang sekali bertemu dengan sosok yang amat dekat dengan perpust.
 
1. Pola pendidikan di Indo, memang harus ditinjau kembali.  
Suka atau tidak suka, faktor lingkungan memang signifikan dalam pembentukan masyarakat baca.  Lingkungan rumah (seperti pengalaman Uni Rahima) dan lingkungan sekolah. Hal tersebut harus sama2 kita sepakati dahulu.
 
2. Meskipun ada masalah ekonomi, tetapi orang tua memotivasi si anak, maka si anak akan kreatif mencari bacaan entah dari perpust, pinjam teman, dan lain. Tetapi mungkin jika diteliti persentasenya belum tentu besar.
Di Jakarta sendiri pun masih banyak anak2 jadi pengamen jalanan. Kapan mereka membaca? cari uang bagi mereka lebih asik dan penting.  Jangankan membaca, lha sekolah pun sudah tidak menjadi prioritas lagi buat mereka.
 
3. Mendirikan perpust memang tidak bisa hanya dengan seonggok buku, itu benar sekali dan saya sangat setuju sekali. Tetapi jika seonggok buku itu pun tidak ada, lalu dengan apa kita bisa memotivasi mereka untuk menjadi masyarakat baca?
Katakanlah Jakarta marak dengan VCD ilegal dan porno, acara2 televisi yang ditonton oleh anak2 belum cukup usia, anak usia sekolah sudah canggih menggunakan handphone, nongkrong di Mal, masalah narkoba yang tinggi, tetapi kenapa kualitas SDM nya masih lebih lumayan? Karena sarana baca membaca sudah sangat memadai. Toko buku tersebar di setiap wilayah, perpust ada dimana-mana, dan yang lebih menyenangkan adalah tingkat pertumbuhan Taman Bacaan Anak yang terus meningkat.
Kenapa Taman Bacaan Anak bisa meningkat?
1. karena pada dasarnya anak2 suka membaca
2. karena Taman Bacaan sifatnya gratis dan tersebar di pelosok, ini sangat membantu orang tua..
Dan yang lebih membahagiakan lagi, tingginya jumlah donatur buku2 anak di Jakarta. Tadinya saya juga tidak menyangka, tetapi kenyataannya memang banyak orang2 usia dewasa yang mau berbagi dengan menyumbangkan berkardus2 buku untuk disebar ke Taman2 Bacaan itu tadi.
Dan hal ini masih terus dan terus berlangsung.
 
Saya sendiri tidak tahu apakah sudah ada penelitian ilmiah mengenai hal tersebut di atas.
 
Jadi kalau pun saya mengeluh, ini lebih kepada poin ke 1 di atas. Karena kita ketergantungan dengan kurikulum. Maaf saja, guru2 nya pun juga bisa dibilang kurang kreatif dalam membawa anak2 ke dunia buku.  Beberapa tahun belakangan malahan kok menambah limbah kertas dengan melakukan latihan soal langsung di buku cetak? sehingga adik2 kelas tidak mungkin lagi menerima lungsuran dari kakaknya. Sangat inefisiensi. tiap tahun beli buku baru, outputnya segitu2 aja.
 
Sekedar info, menurut Asia Week, Juni 2000, dari 77 universitas multidisiplin di Asia, Australia, dan New Zealand : peringkat uni di Indo : UI 61, UGM 68, UNDIP 73, dan UNAIR 76.
Sedangkan untuk science & technology, dari 39 univ, ITB berada di peringkat ke 21.
 
 
Wass.
"C"
 
----- Original Message -----
...Mendirikan perpustakaan tidak cukup dengan menyediakan seonggok buku dan media komunikasi lainnya. Diperlukan tempat dan SDM yang akan mengurus perpustakaan ini, disamping duit. Walau Anda membawa segudang buku tapi Anda atau masyarakat kampung Anda tidak mampu menyediakan tiga komponen lainnya itu, ya, nggak bakalan jadi tuh usaha Anda.
 
...Jika Anda mengeluhkan perhatian pemerintah, keluhan Anda sudah lagu klasik. Keluhan Anda tidak bakalan punya arti apa-apa, kecuali kalau Anda kelak pulang dan jadi decision maker di Sumbar ini.

Kirim email ke