Ini salah satu pandangan saya, saya posting
sekitar minggu lalu di RN (rangmudo kalu nggak salah)
:
3. Januari lalu, ketika saya 'nyepi' sebulan di
kampung, saya sudah memboyong beberapa kardus buku2 cerita anak2 dan
majalah. Rencananya saya mau buka Taman Bacaan di sana. Tetapi
ketika saya survai ke lapangan, mereka mengatakan bahwa anak2 di sana tidak
sempat membaca karena sepulang sekolah mereka harus langsung ke
sawah.
Saya sedih. Rendah sekali minat baca.
Di sisi lain, saya pikir, apa iya mereka sudah harus bekerja di bawah umur
karena membantu ekonomi keluarga?
Karena saya merasa momennya belum pas, maka Taman
Bacaan itu urung saya buat.
Padahal anak2 itu adalah SDM kita di masa
mendatang, apa jadinya kalau mereka tidak 'melek buku'?
Belum tentu mereka punya TV di rumah, tidak pula
membaca buku...
Info yang saya terima, kualitas SD di Matur
termasuk yg rendah pula!!!
Kalau sudah rendah mutu dari SD, bagaimana mereka
bisa 'keep up' di jenjang berikut2nya?
-----
Masalah utama sebenarnya : pola pendidikan di Indo
tidak mengajak kita untuk berpikir kreatif dan inovatif dengan menggali
ilmu melalui buku, tetapi hanya : mendengar, menyalin, dan menghapal.
Itu saja.
Kalau ada anak2 yg suka membaca, pasti lah karena
ada rangsangan dari lingkungan terdekatnya, yaitu keluarga. Ini sangat
bisa dipastikan.
Saya pernah ngeliat sendiri di Pameran Buku IKAPI,
Istora Senayan, beberapa bulan yg lalu. Seorang anak merengek2 minta
dibelikan buku cerita. Tetapi ibunya malah membentak, seolah2 si anak tidak
akan membacanya di rumah dan anak itu hanya lapar mata
saja.
Aneh kan? kenapa mereka nggak ke pameran furniture
saja di JCC?
Seperti yg saya tulis di email terdahulu, memang
di Aussie kita diajarkan dan dirangsang untuk pergi ke perpus dan menjadikan
perpus itu tempat amat penting. Karena di sana segala
pengetahuan ada.
Oleh karena ada kebutuhan, maka fasilitas, sarana
dan prasarananya pun lengkap. Suasana cozy and comfy jelas ada di
sana.
Kualitas pustakawannya juga top banget. Sangat
menguasai seluk beluk buku dan sangat membantu kita yang repot
mencari2.
Kita free of charge lho di semua perpust
nya. Cuma bayar foto copy aja, itu juga dengan menggunakan mesin
fotocopy yang ada coin nya.
Sebenernya pada dasarnya anak2 suka
membaca.
Di Jakarta saja yang serba ada, masih banyak lho
yang nggak 'melek buku'. Tetapi karena fasilitas toko bukunya banyak
di mana2, masih tercover dengan itu. Apalagi ada internet
kan.
Kenapa di Sumbar terjadi penurunan
kualitas?
1. Coba hitung berapa jumlah
toko buku di Padang saja? di Bukittinggi saja?
2. Berapa jumlah buku tersedia
di sana? Sampai seberapa kecepatan buku2nya update?
3. Kalau tidak dari toko buku,
bagaimana dengan kualitas perpus?
Saya masuk ke perust Pascasarjana Uni. Andalas, ya
ampunnn......PARAHHHHH!!!!
Nggak ngerti lah gimana di tingkat strata
satu nya.
Kondisi di atas kan untuk asumsi semua masyarakat
mampu membeli buku.
Tetapi bagaimana dengan yang sekian puluh persen
dengan tingkat ekonomi kurang mampu?
Untuk bayar SPP, seragam, dan text book saja
terkadang harus minjam sana dan sini, lalu mana pula ada saving untuk
membeli buku2? Pemerintah nggak kasih subsidi untuk buku2, kecuali buku2
tertentu aja.
Jadilah mereka lebih mementingkan : selesaikan
sekolah secepatnya (yg penting lulus) lalu cari uang!
Maka, perpust yang seharusnya mengakomodasi
kekurangan bahan bacaan pun jadi tidak tersentuh.
Karena ya orientasinya hanya satu : cari
uang!
sulit lah menyalahkan, mungkin karena memang taraf
hidup yang belum sejahtera. Tetapi yang sejahtera pun udah keburu
terkontaminasi dengan kebiasaan tidak membaca.
Ada simpal kausal antara tingkat kesejahteraan - kualitas pengajaran (=kurikulum) -
tingkat persebaran buku - kualitas SDM. Ini
logika saya, jadi memang masalah ekonomi menjadi
faktor.
Rendahnya itu semua, maka rendah pula kualitas
rata2, makanya VCD ilegal yang murah daripada sepotong buku pun akan lebih
laris.
Tapi saya yakin, bila tingkat baca tinggi,
kualitas berpikir meningkat, maka penggunaan narkoba dan VCD porno pun akan
turun.
Solusinya : nggak usah nunggu pemerintah yg lagi
ribet masalah pesawat dan Hambali, kita gotong royong aja bangun perpust
atau taman bacaan dengan mencari donatur baik dari dalam dan luar negeri
untuk Sumbar.
Fisiknya kan bisa pakai bangunan yang udah
ada.
Mungkin ada Bapak2 dan Ibu2 yang punya
akses untuk hal ini?
Masalah nyontek sih, masalah nasional bahkan dunia
hahahaa....Tapi kalau yg dicontek tesis sih, emang ada juga
yaaa...
Kenapa sedikit penulis?
Ini ada quotationnya orang bule : If you don't read, don't write.
Emang bener lho, kalau kita kurang baca, nggak
bakal mampu nulis kok. Saya yg doyan nulis juga ngerasain ini.
Akhirnya terpaksa harus berhenti nulis sesaat, dan cari ilham sebanyak2nya
lewat buku.
Btw, orang minang jagonya : mengecek....hehehehe...