Oleh: *ASWADI MUNIR *(Pengurus BK3AM, Jakarta)


*KETIKA *saya pulang kekampung minggu lalu, saya bertandang kerumah saudara
yang masih punya anak usia balita. Sebagaimana layaknya tamu, saya
disuguhkan kopi dan sepiring goreng pisang. Karena sudah lama tidak
berjumpa, kami *maota *kian kamari, mulai dari nostalgia masa kecil sampai
kepada lonjakan harga pupuk dan racun tanaman yang tidak seimbang dengan
harga hasil pertanian yang jadi tumpuan periuk nasi dia sekeluarga.



Sedang asyiknya kami *maota*, tiba-tiba anaknya yang baru kelas satu SD
datang menghampiri ayahnya sambil berkata “Pa, besok saya perlu uang untuk
membayar zakat fitrah disekolah” kata sang anak dengan bahasa Indonesia
berlogat kampung saya. Sang *Papa *menjawab dengan bahasa Indonesia juga
tapi dengan logat yang sama, bahkan kentara sekali kalau dia jarang
berbahasa Indonesia yang baik dan benar “Berapa kamu perlu uangnya? A,
mintaklah sama mama kamu, ada uang sama dia itu”.



Saya kaget mendengar dialog anak dan bapak ini, bukan kaget dengan isi
dialognya, tapi saya sangat kaget dengan bahasa yang mereka pakai. Mereka
tidak lagi mamakai bahasa minang, tapi justru memakai bahasa indonesia.
Tadinya saya ingin menanyakan kepada saudara saya ini, kenapa kok tidak
mamakai bahasa kampong lagi, tapi takut dia tersinggung, rasa heran itu
saya simpan dalam hati.



Masih dengan rasa penasaran yang dalam, saya lalu mengadakan observasi
kecilkecilan keliling kampung, ternyata fenomena ini sudah menjalar
keseluruh kampung, bahkan kekampung-kampung yang lain, mungkin juga sudah
terjadi dihampir seluruh nagari di sumbar ini, dimana bahasa sehari-hari
didalam keluarga tidak lagi memakai bahasa minang, tapi sudah memakai
bahasa Indonesia berlogat nagari masing-masing.



Terus terang, sebagai anak minang, saya sangat prihatin melihat fenomena
ini. Betapa tidak, walaupun saya bukan ahli budaya minang. Tapi
sepengetahuan saya, nilai-nilai filosofi budaya minang itu tersembunyi
didalam bahasa minang itu sendiri. Apalagi budaya minang sangat
mengandalkan budaya tutur daripada budaya tulis. Mulai dari pepatah
petitih, gurindam, sambah manyambah dan lainnya, hampir semuanya tersimpan
dalam budaya tutur tadi.



Dalam hati saya bertanya, bagaimana generasi tua bisa mentransfer
nilai-nilai budaya minang yang begitu tinggi kalau generasi mudanya tidak
pandai berbahasa minang karena dari kecil mereka tidak dibiasakan
memakainya dalam percakapan sehari-hari? Dan saya juga belum menemukan
jawaban, kenapa para keluarga muda minang ini tidak membiasakan
anak-anaknya berbahasa minang? Gejala apa ini?



Mungkin para ahli budaya atau ahli bahasa bisa mencarikan jawabannya. Yang
jadi pertanyaan berikutnya. Kalau fenomena ini dibiarkan tanpa ada yang
mengingatkan bahayanya, bagaimana nasib Minangkabau ini dimasa mendatang?

Apakah kita akan membiarkan budaya Minangkabau ini menjadi fosil yang hanya
akan dikenang sebagai peninggalan sejarah masa lalu, dimana generasi
mudanya sudah terasing dan tercabut dari akar budayanya sendiri?



Selain pemakaian bahasa minang yang sudah terpinggirkan dari rumah tangga
para keluarga muda. Penamaan nama-nama kampung dan nagari juga tidak
menjadi perhatian para kepala daerah. Kenapa pemda-pemda di sumbar tidak
mengembalikan nama-nama kampung dan nagari kenama-nama aslinya.



Coba anda lihat dipapanpapan nama instansi, kita akan menemukan nama-nama
kampuang, nagari dan kecamatan yang tidak lagi memakai lafal bahasa minang.
Kalumbuk, kenapa tidak kalumbuak? Cingkaring, kenapa tidak Cingkariang?
Padang Sibusuk? Kenapa tidak Padang Sibusuak? Padang Lawas, kenapa tidak
Padang Laweh?

Sebagai contoh. Padahal, nenek moyang kita tatkala menamakan suatu nagari,
tidaklah sembarangan. Dari setiap nama itu tersimpan sejarah yang melatar
belakangi lahirnya nagari-nagari tersebut. Akankah sejarah tersebut akan
hilang ditelan masa karena ketidak pedulian kita?



Untuk itu, kalau kita memang merasa bangga menjadi orang minang dan ingin
terus akan mempertahankan dan mewariskan nilai-nilai budaya minang ini
kepada generasi penerus, diperlukan upaya kerja sama semua pihak dalam
melestarikannya. Pemerintah daerah bisa memulai dengan mengembalikan
namanama nagari dan kampung kenama aslinya. Para pendidik, cendekiawan,
media massa bisa memulai kampanye kembali berbahasa minang dan para
keluarga muda kembali membiasakan dengan memakai bahasa ini sebagai bahasa
pengantar sehari-hari. Agar peringatan nenek moyang kita yang berbunyi *Jalan
diasak urang lalu, cupak diganti urang panggaleh dan adat diubah urang nan
datang*, tidak sampai terjadi. ***



Opini Harian Haluan, Hal. 5 | Jum’at 18 Januari 2013

-- 
*
*
*Wassalam

*
*Nofend St. Mudo
36Th/Cikarang | Asa Nagari Pauah Duo Nan Batigo - Solok Selatan
Tweet: @nofend <http://twitter.com/#!/@nofend> | YM: rankmarola
*

-- 
-- 
.
* Posting yg berasal dari Palanta RantauNet, dipublikasikan di tempat lain 
wajib mencantumkan sumber: ~dari Palanta R@ntauNet 
http://groups.google.com/group/RantauNet/~
* Isi email, menjadi tanggung jawab pengirim email.
===========================================================
UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi:
- DILARANG:
  1. E-mail besar dari 200KB;
  2. E-mail attachment, tawarkan di sini & kirim melalui jalur pribadi; 
  3. One Liner.
- Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di: 
http://forum.rantaunet.org/showthread.php?tid=1
- Tulis Nama, Umur & Lokasi disetiap posting
- Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dlm melakukan reply
- Untuk topik/subjek baru buat email baru, tdk mereply email lama & mengganti 
subjeknya.
===========================================================
Berhenti, bergabung kembali, mengubah konfigurasi/setting keanggotaan di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/



Kirim email ke