Assalammualaikum WR WB buya HMA dan Datuk Endang yth. Terimakasih banyak atas 
penjelasan buya dan datuk yang luar biasa. Selama ini adat bagi hanifah tidak 
di dapat dari teori tapi menjadi bahagian dari kehidupan se hari2 terutama 
ketika di kampung. Kalau di tanya buku apa yang di baca ?? Hanifah tidak bisa 
jawab. Kalau tidak keberatan satu lagi pertanyaan penting yang akan hanifah 
ajukan, yaitu TIDAK BISAKAH ORANG MINANG BERFIKIR MELEBIHI NAGARI? Hanifah 
ingin buya bercerita bgm cara buya tetap ber adat walau buya sudah menjadi 
bagian dari propinsi bahkan negara. Dari pengamatan dengan mata telanjang 
ketika di kampung, orang rantau yang sukses sering kesulitan beradaptasi 
sehingga sering ada jarak antara rantau dan ranah. Apa mungkin krn pengaruh 
budaya rantau yang umumnya membedakan orang dari sudut pandang harta dan 
kekuasaan, sementara di ranah menganggap semua orang sama. Entahlah. Hanifah 
tunggu jawaban buya dan datuk. Terimakasih banyak atas
 perhatian buya dan datuk. Wass. Hanifah

Datuk Endang wrote: 
> Buya HMA dan Bunda Hanifah yth. 
>    
>  Penjelasan Buya sebenarnya telah terang menjelaskan tentang adat dan 
> korelasinya dengan budaya pertanian. Kalau boleh saya menambahkan pendapat 
> karena topik ini cukup menarik. 
>    
>  Satu hal yang patut dipahami bila adat memang berawal dari kebiasaan yang 
> tumbuh di dalam masyarakat, terwariskan karena memang kebiasaan itu dianggap 
> baik dilanjutkan oleh anak keturunan, terasah menurut waktu, perubahan 
> kondisi, aktivitas masyarakat, dan ”geografi”. Sehingga adat yang sampai pada 
> kita saat ini adalah telah tertempa melalui zaman; tak lekang karena panas, 
> tak lapuk karena hujan. Karenanya ”adat” adalah ”pakaian” bagi masyarakat, 
> yang telah sesuai potongan dan ukurannya. Tidak kebesaran, tidak kekecilan, 
> tetapi pas; sehingga nyaman dipakai. 
>    
>  Terkait dengan geografi, sehingga simbolisasi seperti : luhak tanah datar – 
> airnya jernih ikannya jinak buminya dingin; luhak agam – airnya keruh ikannya 
> liar buminya hangat; luhak lima puluh koto – airnya manis ikannya jinak 
> buminya pun demikian juga. Hal ini sedikit banyak mempengaruhi perilaku 
> masyarakatnya sehingga tentunya juga mempengaruhi tatacara dalam beradat. 
> Walaupun demikian bagi orang Minang di tiga luhak maupun di rantau, baik di 
> pegunungan maupun di pesisir, mengenal satu ikatan adat yang disebut ”adat 
> nan sabatang panjang”. Yang dimaksud di antaranya adalah ikatan garis 
> matrilineal, berjalan di nan 4, persumandanan, dan lain-lain. Hal ini hanya 
> dapat terjadi karena di masa lampau saban waktu para penghulu kita berkumpul 
> dan bermufakat di bukit Marapalam untuk memutuskan hukum-hukum yang berlaku
>  sealam Minangkabau. 
>    
>  Posisi ”adat nan sabatang panjang” ini dalam sumber hukum adat kita terdapat 
> 2 pendapat : pertama, merupakan ”adat nan sabana adat”, serta kedua, 
> merupakan ”adat nan diadatkan”. Pendapat kedua karena memandang hanya Al 
> Qur-an dan Al Hadits saja yang merupakan ”adat nan sabana adat”. 
>    
>  Resiko meninggalkan adat nan sabatang panjang adalah ”hilanglah Minangnya”. 
>    
>  Selain masalah geografi, aktivitas ’ekonomi’ masyarakat juga sedikit banyak 
> mempengaruhi pembentukan adat. Karena basis ekonomi masyarakat Minangkabau 
> ini dahulu adalah bertani, tentunya lambang-lambang pertanian juga mewarnai 
> simbolisasi adat. Seperti contoh secara fisik : bangunan rangkiang merupakan 
> kelengkapan bagi rumah gadang, termasuk pendefinisian sawah-ladang, dll. 
> Secara ekonomi : ukuran-ukuran pajak atau zakat juga menggunakan sukatan 
> padi. Secara pituah adat : senantiasa melambangkan kesejahteraan dan 
> kemakmuran, seperti : padi masak, jaguang maupiah, taronak bakambang biak, 
> dst. 
>    
>  Namun dengan adanya diversifikasi aktivitas masyarakat, seperti misalnya 
> perdagangan, pertambangan, perikanan, jasa, dll; timbangan tani ”dikonversi” 
> ke dalam ”aktivitas baru” itu. Seperti misalnya ketentuan bagi hasil dari 
> aktivitas jasa pelabuhan adalah sama dengan aktivitas pertanian (dapat dibaca 
> Dt. Sangguno Dirajo, dll). Dengan kata lain, mungkin ini yang dimaksud Buya 
> dengan istilah ”fleksibilitas” dari adat. Sehingga dapat dikatakan : 
> ”timbangan tani” (ukua jo jangko) adalah ”akar budaya” masyarakat 
> Minangkabau. 
>    
>  Bila kita lihat, posisi masyarakat agraris adalah ”subsisten”, maksudnya, 
> kebutuhan kehidupan dapat dicukupi dari ketersediaan alam. Dengan modal tanah 
> selupak maka mereka bisa terjamin ketersediaan proteinnya selama semusim. 
> Namun untuk mencukupi gizi dan protein lainnya (sesuai perhatian Dr. 
> Abraham), mereka harus mencari sumber-sumber lainnya, biasanya melalui 
> aktivitas peternakan, perikanan, dan perkebunan. Belakangan ketika pertanian 
> berkembang sebagai suatu rantai produsen-konsumen, maka muncul pula aktivitas 
> perdagangan. Pada masa lampau beberapa atau seluruh aktivitas itu dapat 
> dilakukan oleh satu orang, sehingga belum dikenal pembagian profesi. Dari 
> buku M. Radjab dapat dibaca usaha pembukaan jalan antara lain melalui rodi 
> dari pesisir ke pedalaman pada masa Perang Paderi itu bertujuan untuk 
> memudahkan
>  pergerakan petani untuk mengantarkan hasil panennya ke Padang. Dari buku 
> Kamus Minangkabau karya Dr. Gusti Asnan juga dijelaskan ”jalan dagang”, 
> terbentuk tiga penjuru dari pesisir ke pedalaman. Dengan kata lain, perubahan 
> dan diversifikasi aktivitas masyarakat juga tidak mengakibatkan terbentuknya 
> ”budaya atau adat baru”, sejak dari zaman dahulunya. Zaman berubah musim 
> baganti, nan pusaka begitu saja. 
>    
>  Bila memang pada saat sekarang ini ada kekhawatiran bila adat akan berubah 
> karena timbangan teknologi, globalisasi, dll; saya kira Buya sudah memberikan 
> contoh yang bagus tentang Jepang dan beberapa negara modern lainnya; dimana 
> adat-budaya dapat lestari dan secara serasi tumbuh bersama kemajuan 
> sosial-ekonomi lainnya. Sehingga ”tuah” itulah yang perlu kita pelajari. 
> Apalagi tidak hanya adat, tapi juga agama/keyakinan tetap harus teguh, sesuai 
> dengan falsafah : adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah. 
>    
>  Saya tidak menampik bila persoalan ini sebenarnya terfokus kepada kehidupan 
> masyarakat Minangkabau di rantau, sehingga memang perlu dicari formulasi adat 
> ”baru” bagi masyarakat di perantauan khususnya; apalagi bila falsafah ”orang 
> Minang (di rantau) berpagar adat”, sudah dirasakan kurang cukup. 
>    
>  Pak Saaf, saya baru memperoleh buku Dobbin itu, dan baru membaca sampai bab 
> I. Secara sekilas memang penulis berusaha untuk detail dan teliti, namun 
> tetap masih ada saja kesalahan, seperti misalnya posisi Luhak Agam berada di 
> atas khatulistiwa, letak Merapi di tenggara Singgalang, dlsb. Namun 
> pendekatan awalnya cukup menarik, terutama menautkan aspek ”geografi”. Nanti 
> saya sambung lagi. 
>    
>  Demikian terlebih terkurang Buya dan Bunda mohon dimaafkan, apalagi di hari 
> baik dan bulan baik ini. Minal aidin wal faidzin. 
>    
>  Wassalam, 
>  -datuk endang --- On Sat, 10/4/08, H Masoed Abidin bin Zainal Abidin Abdul 
> Jabbar <[EMAIL PROTECTED]> wrote: 
>  Alaikum salam Warahmatullahi wa barakatuh, Ananda Iffah Yth, Bahwa orang 
> Minang dahulu adalah petani itu amat benar. Keadaannya sama dengan orang 
> Jepang, Thailand, Melayu Malaysia, atau juga pada masyarakat emigran Amerika 
> dari Belanda atau Perancis atau Inggris itu, pada mulanya adalah petani. 
> Mereka-mereka juga adalah petani, dan petani dan petani dan mereka juga hidup 
> dalam tatanan kebiasaan (adat) yang dibuat oleh leluhur mereka yang juga 
> sebagai petani, sebagai satu "kesepakatan" yang dijaganya dengan baik. Jepang 
> umpamanya sebagai negara petani di awalnya, tapi mereka teguh dengan adat 
> istiadatnya, sehingga sampai sekarang mereka bisa juga maju sebagai negara 
> industri, mereka sangat menghargai waktu (sebagai hasil survey 1980) dan 
> mereka bisa kuasai dunia sampai kini. Di zaman globalisasi seperti sekarang, 
> dan Jepang juga pernah mengalami reformasi besar-besaran (ingat
>  Meiji Restorasi ???), namun mereka tidak mencerabutkan diri dari akar 
> budayanya, seperti menghormati orang tua, dan menyayangi sesama, rajin 
> bekerja, dan sangat menghormati waktu, sampai sekarang. Jadi budayanya ya 
> tetap tetap saja sebagai dahulu, walau kemajuan zaman telah berubah kepada 
> beberapa periode, dari petani ke perang, ke samurai, ba jibaku, harakiri, 
> menjaga marwah sampai hari ini. Sesungguhnya adat itu berlaku sepanjang 
> bangsa itu ada, selama bangsa itu mengerti akan adat istiadatnya, dan 
> menjaganya dengan memakainya dalam hubungan kekerabatan, tata pergaulan, 
> secara komprehensif bulat (kaffah). Kembali ke Minangkabau, adat budaya 
> Minangkabau itu fleksibel, artinya adaik babuhue sintak, syarak babuhue mati 
> . Buya pernah katakan, bahwa ketika syarak tidak dihormati dalam perilaku 
> masyarakat Minangkabau, maka sebenarnya adat mereka menjadi rapuh. 
> Sebaliknya, ketika adatnya kukuh kuat dipakai, maka pelaksanaan
>  syarak menjadi sangat baik. Adat dan syarak itu memberi motivasi dalam hidup 
> orang Minangkabau. Lihat saja kini, apakah orang awak masih teguh dengan 
> adatnya dan kuat dengan syaraknya. Kasat mata ananda bisa menjawabnya 
> sendiri. Jadi yang salah bukan adat budaya Minangkabau itu. Barangkali yang 
> salah itu ada pada beberapa orang Minangkabau yang ada kini kurang suka 
> memakaikan adat budayanya. Setidak-tidaknya tidak seteguh orang Batak, orang 
> Jawa, orang Makassar Bugis, orang Ternate Tidore bahkan orang Ambon sendiri. 
> Ada yang salah menurut buya, sekali lagi hanya menurut buya , kita selalu 
> berusaha mengubah adat budaya kita untuk menyesuaikan dengan perkembangan 
> zaman. Kenapa tidak dibalik.. ??? Umpamanya, bahwa orang Minangkabau mestinya 
> teguh dengan nilai-nilai adat budayanya agar dia dapat menatap berbagai 
> perubahan zaman, dengan kebanggaan adat budaya Minangkabau yang luhur itu? 
> Buya mungkin tidak setuju,
>  ketika kita harus mempreteli adat budaya Minangkabau agar tidak disebut 
> ketingalan zaman. Tetapi buya akan berkata cobalah pakai adat budaya 
> Minangkabau itu, sehingga zaman yang berubah itu dapat berkata, alangkah kuat 
> dan indahnya adat budaya Minangkabau ini. Ananda Iffah harus juga 
> bertanya-tanya, Apakah adat budaya Minangkabau menghalangi anak Minangkabau 
> itu untuk maju? Apakah adat budaya Minangkabau melarang anak Minangkabau 
> untuk bernikah kahwin dengan etnis dan bangsa-bangsa lainnya? Apakah adat 
> budaya Minangkabau itu melarang seseorang untuk mencintai orang lain, 
> menghormati adat budaya orang lain, dan hanya berbangga diri dengan milik 
> mereka saja? Apakah adat budaya Minangkabau yang menghormati suku ibunya, 
> menghapuskan nasab ayahnya? Apakah gelar adat di Minangkabau menjadikan orang 
> Minangkabau terhina memakainya? Sebab gelaran itu ada pada semua bangsa di 
> dunia? Berpuluh pertanyaan akan lahir ananda
>  Iffah. Mungkin juga di antaranya tentang tanah ulayat yang ananda Iffah 
> risaukan itu. Bila umpamanya adat budaya Minangkabau tidak meletakkan hak 
> tanah ulayat pada wewenang kaum, atau kaum ibu dalam garis matrilineal, dan 
> menyamakannya dengan harta pusaka lainnya yang boleh di bagi menurut faraid, 
> apakah Iffah masih punya tanah dan bumi Minangkabau tempat kembali. Mungkin 
> jadi, setiap gadang balega, atau setiap seorang ayah meninggal, maka tanah 
> ulayatnya telah berpindah dan berpindah tangan, dan berpindah penguasaan, dan 
> akhirnya menjadi milik orang lain. Mungkin bukan etnis Minangkabau. Indah 
> sekali pengaturan hak ulayat sebagai pusaka tinggi itu. Apakah penataan adat 
> budaya Minangkabau seperti itu, disiapkan hanya untuk keluarga masyarakat 
> petani????? Wallahu a'lamu bis-shawaab. Iffah lah yang merenungkannya. 
> Akhirnya buya berkata menurut kaedah adat budaya Minangkabau yang luhur, 
> basilang kayu dalam tungku di sinan api
>  mangko iduik. Selamat Idul Fitri. Id Mubarrak, Taqabbalallahu minna wa 
> minkum. Taqabbal ya Karim, Wassalam, Buya HMA di baliek Ngarai Sianok. Suku 
> Piliang, Bergelar Majo Kayo, umur 73 + 1 bln + 23 hari 
>  2008/10/4 hanifah daman < [EMAIL PROTECTED] > 
>  Assalammualaikum WR WB buya HMA yth. Buya, hanifah mau tanya apa beoar 
> budaya minang di rancang untuk petani? Seperti yg dinyatakan oleh p saaf. 
> Hanifah bingung bukankah adat kita berbuhul sintak. Bukankah dalam ABSSBK 
> yang jadi pedoman Alquran ?? Makasih atas perhatian buya. Wass 
> 


      

--~--~---------~--~----~------------~-------~--~----~
=============================================================== 
UNTUK DIPERHATIKAN:
- Wajib mematuhi Peraturan Palanta RantauNet, mohon dibaca & dipahami! Lihat di 
http://groups.google.com/group/RantauNet/web/peraturan-rantaunet
- Tulis Nama, Umur & Lokasi anda pada setiap posting
- Dilarang mengirim email attachment! Tawarkan kepada yg berminat & kirim 
melalui jalur pribadi
- Dilarang posting email besar dari >200KB. Jika melanggar akan dimoderasi atau 
dibanned
- Hapus footer & bagian tdk perlu dalam melakukan reply
- Jangan menggunakan reply utk topik/subjek baru
=============================================================== 
Berhenti, kirim email kosong ke: [EMAIL PROTECTED] 
Daftarkan email anda yg terdaftar pada Google Account di: 
https://www.google.com/accounts/NewAccount?hl=id
Untuk dpt melakukan konfigurasi keanggotaan di:
http://groups.google.com/group/RantauNet/subscribe
===============================================================
-~----------~----~----~----~------~----~------~--~---

Kirim email ke