*Pangantar:
Katiko menulis artikel ko, sempat pulo muncul kacurigaan, jangan-jangan
Minangkabau kini memang pernah dapek pangaruah dari Yunani di Jaman
Alexander Agung. Sebab, banyak urang Minang nan jadi pemikir. Cuma, cara
berkembangnyo babeda. Silahkan simak kaduo tulisan di bawah bagi nan baminat
menadiskusikan.
Salam,
Andrinof A Chaniago (46)

Yunani Kuno dan Minangkabau*
Oleh Andrinof A Chaniago
*Pengajar di Universitas Indonesia*
 Tulisan ini dimuat di TERAS UTAMA Padang Ekspres beberapa minggu lalu.

Antara kehidupan Yunani Kuno dan Minangkabau, terdapat jarak waktu pemisah
lebih dari duapuluh abad lamanya. Melihat pencapaian luar biasa dari bangsa
Yunani Kuno, juga bukan hal yang setara untuk membandingkannya dengan
Minangkabau yang hanyalah sebuah suku bangsa diantara duaratusan suku bangsa
di Indonesia. Tetapi, jika melihat sejarah tokoh-tokoh pemikir terkemuka
berikut warisan karya-karya pemikir dari kedua masyarakat  ini, kita akan
menemukan sesuatu yang relevan untuk dibandingkan.
Sama dengan sikap hidup individu orang Minangkabau, masyarakat Yunani Kuno
menyukai kehidupan yang bebas dan merdeka. Selain itu, keduanya dikenal
dengan masyarakat yang haus akan pengetahuan.
Sebagian orang Yunani Kuno juga suka merantau. Namun, di sini mulai tampak
perbedaan mereka dengan orang Minang. Orang-orang Yunani Kuno pergi merantau
karena sebagian besar tanah mereka gersang dan tandus. Dengan demikian,
motif orang-orang Yunani Kuno pergi merantau semata-mata untuk ekonomi.
Semenara bagi orang Minang, merantau bukan semata-mata untuk tujuan ekonomi,
melainkan juga untuk belajar hidup, sebagaimana bisa kita lihat dari
beberapa pepatah Minang.
Tanah di wilayah fisik-geografis orang Minang adalah tanah yang subur,
karena memiliki lahan lapisan vulkanik yang luas dan memiliki bukit-bukit
yang ditumbuhi tanaman lebat yang membuat bukit-bukit itu sebagai
"prasarana" irigasi alami bagi lahan pertanian di dataran rendah. Dari
sumber air yang berasal dari ruas pegunungan Bukit Barisan itu, bukan saja
padi dan tanaman palawija yang tumbuh sehat, tetapi juga bermanfaat untuk
membesarkan ternak hewan dan membudidayakan ikan air tawar. Bahkan, dengan
sumber air yang datang dari pegunungan itu yang kemudian ditampung oleh
Danau Maninjau dan Danau Singkarak, daerah ini menjadi tempat produksi
listrik yang biaya produksinya hanya seperlima dari listrik yang diproduksi
oleh sistem pembangkit batu bara ataupun gas. Selain itu, sejalan dengan
watak ekspansionis modal, beberapa sumber air alami di Sumbar itupun menjadi
sumber produksi air kemasan yang populer dengan nama air mineral.
Di jaman Orde Baru, para penguasa pemerintahan di Sumbar, yang sering sekali
mengklaim bertindak untuk dan atas nama masyarakat penganut kebudayaan
Minangkabau, secara terang-terangan mengingkari kekayaan alam yang
dianugerahkan Tuhan tadi. Mereka dengan tanpa beban mengatakan, "Daerah kita
miskin. PAD kita kecil. Kita tidak punya minyak seperti Provinsi Riau atau
deposit tambang lain seperti di Kalimantan atau Papua." Ungkapan seperti ini
tidak lain dimaksudkan untuk mengajak masyarakat mendukung Pemda meminta
"kemurahan hati" Pemerintah Pusat agar mengucurkan dana lebih besar untuk
Sumbar. Karena itu pula, masyarakat Sumbar harus menunjukkan dukungan yang
besar kepada Golkar yang ketika itu merupakan alat hegemoni kekuasaan
Pemerintah Pusat.
Begitulah cara elite-elite politik Sumbar di jaman Orba memandang kekayaan
alam Sumbar. Arti kekayaan alam pun dipersempit menjadi ketersediaan deposit
tambang sambil menutup mata terhadap harta yang luar biasa nilai potensinya,
seperti perbukitan, gunung-gunung, sungai-sungai, danau-danau dan
pantai-pantai yang memberikan akses mudah untuk memanfaatkan sumber-sumber
alam di atas dan di dalamnya. Padahal, pengukuran kekayaan harus dimulai
dengan kemudahan mendapatkan barang-barang dan jasa kebutuhan pokok, mulai
dari makanan, pakaian, pendidikan, dan kesehatan? Kalau di daerah-daerah
lain masyarakatnya membutuhkan usaha yang panjang dan modal lebih besar
untuk mendapatkannya, sementara di Sumbar secara rata-rata lebih mudah,
bukankah berarti itu kekayaan Sumbar?
Merantau yang bukan semata-mata karena dorongan kelangkaan kekayaan lokal
bagi masyarakat Sumbar tadi seharusnya menambah modal untuk membuat
masyarakat yang menetap di Sumbar lebih makmur sejahtera dibanding rata-rata
daerah di Indonesia. Dengan kesejahteraan itu pula Sumbar seharusnya
berkembang sebagai pusat pengembangan ilmu pengetahuan karena bisa menjadi
sumber insentif bagi para tokoh intelektualnya untuk terus berkarya di tanah
asalnya sendiri seperti yang terjadi pada kaum intelektual Yunani Kuno.
Tetapi, di sinilah letak perbedaan lain antara Minangkabau dan Yunani Kuno.
Kaum pemikir Yunani Kuno tidak perlu pergi merantau untuk menghasilkan
karya-karya ilmu pengetahuan mereka. Sementara calon-calon intelektual
Minang, harus merantau untuk menjadi pemikir kelas nasional atau
internasional, baik untuk mendapatkan sumber-sumber pengetahuan baru maupun
untuk menjadikan ilmunya bisa digunakan oleh masyarakat. Akibatnya, di
Minangkabau sendiri tidak pernah lahir temuan-temuan penting atau
gagasan-gagasan filosofis yang besar. Sebaliknya, para pemikir Yunani Kuno
cukup menyerap pengetahuan yang berasal dari Mesir Kuno dan Babylonia, yang
dibawa para pedagang dari kedua negeri tersebut. Pengetahuan dari luar
tersebut menjadi bahan untuk diolah dan dikembangkan lebih lanjut di tanah
Yunani Kuno sendiri. Proses seperti itulah yang dilalui Anaximandros,
Anaximenes, Phytagoras, Xenophanes, Anaxagoras, Gorcias, Socrates, Plato,
Aristoteles dan sebagainya. Proses seperti itulah pula yang membuat lahirnya
beberapa pengetahuan baru di Yunani Kuno yang menjadi dasar pengembangan
ilmu  dan peradaban Eropa, bahkan dunia.
Para pemikir Yunani Kuno tadi adalah peletak dasar nilai-nilai kearifan dan
ilmu pengetahuan yang mempengaruhi kehidupan nyata masyarakat dunia
berabad-abad hingga kini. Dan, yang juga perlu dicatat, mereka bukan
perantau yang menemukan nilai-nilai peradaban dan hukum-hukum ilmu
pengetahuan di luar negeri leluhurnya, melainkan manusia-manusia yang
membangkitkan masyarakat dan membangun monumen-monumen peradaban di negeri
mereka sendiri yang gersang itu, sebelum karya-karya mereka itu menyebar
pengaruhnya ke berbagai negeri luar. Pertanyaan yang muncul dalam melihat
"proses menjadi" para pemikir Minang adalah, dengan karakter yang sama-sama
suka berpikir dan suka hidup merdeka serta sama-sama haus pengetahuan dengan
masyarakat Yunani Kuno, mengapa masyarakat Minang tidak melahirkan sebagian
tokoh-tokoh intelektualnya di tanahnya sendiri?
Jawaban valid atas pertanyaan di atas tentu tidak mudah disodorkan
secepatnya. Tetapi, melihat potret saat ini dan kondisi sebelumnya,
jangan-jangan jawaban itu kita temukan bersamaan dengan perbedaan berikutnya
antara masyarakat Yunani Kuno dan Minangkabau. Masyarakat Yunani Kuno
memberikan penghormatan yang tinggi kepada para pemikir dengan menempatkan
mereka hanya sedikit di bawah dewa-dewa mereka. Karya-karya mereka dan
ucapan-ucapan mereka begitu didengar oleh masyarakat. Sementara, di
Minangkabau, bisa jadi para pemikir kurang dihormati dibanding para
penguasa, politisi dan pengusaha, terlebih dengan mereka yang menyandang dua
status dari dari tiga status itu sekaligus. Setidak-tidaknya suasana ini
terasa sejak Orde Baru hingga sekarang, dimana sumber kebenaran lebih banyak
dipercayakan kepada penguasa, politisi dan pengusaha, sebagaimana tampak
dalam perlakukan-perlakuan yang diberikan pada acara seremonial, di media
massa maupun di tempat-tempat umum. Mudah-mudahan jawaban sementara saya ini
keliru. Mohon maaf lahir dan bathin.***



2008/10/18 Nofend Marola <[EMAIL PROTECTED]>

>
>
> Sabtu, 18 Oktober 2008 | 10:56 WIB
>
> PALEMBANG, SABTU--Pengaruh kebudayaan Yunani dan tokoh Raja Alexander Agung
> atau Iskandar Zulkarnain menyebar luas sampai ke wilayah Nusantara.
> Beberapa
> bukti mengenai pengaruh kebudayaan Yunani itu tampak dalam bahasa, abjad,
> filsafat, arsitektur, mata uang koin, dan dalam berbagai hikayat.
>
> Demikian kesimpulan dalam seminar internasional tentang Iskandar Zulkarnain
> di Hotel Novotel Palembang, Jumat (17/10),l yang diselenggarakan oleh
> Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata.
>
> Di Sumatera Selatan juga dikenal mitos mengenai Iskandar Zulkarnain yang
> dimakamkan di Bukit Siguntang. Dalam mitos tersebut, Iskandar Zulkarnain
> disamakan dengan Panglima Sigentar Alam.
>
> Menurut pakar filologi, Henri Chambert-Loir, Iskandar Zulkarnain yang hidup
> sekitar tiga ratus tahun sebelum Masehi baru dikenal secara luas dalam
> sastra Melayu pada abad ke-15 Masehi. Nama Iskandar Zulkarnain diadopsi
> secara lokal karena kuatnya pengaruh Yunani sampai ke Asia.
>
> Sebagai catatan, Iskandar Zulkarnain, yang merupakan raja Macedonia,
> melakukan penaklukan sampai ke wilayah India. Kemasyhurannya sebagai
> penakluk dan raja yang adil bijaksana tersebar sampai ke Asia Tenggara.
>
> Henri mengungkapkan, masing-masing budaya lokal di Nusantara membuat cerita
> mengenai Iskandar Zulkarnain sesuai versinya sendiri. Dalam cerita
> Minangkabau, misalnya, Iskandar Zulkarnain dikisahkan sebagai orang yang
> menurunkan raja-raja di Melayu.
>
> "Di Malaka, hikayat Iskandar Zulkarnain dibacakan kepada para prajurit dan
> bangsawan untuk mengobarkan semangat berperang. Saat itu, tahun 1511,
> Malaka
> dikepung Portugis," kata Henri.
>
> Menurut Henri, hikayat mengenai Iskandar Zulkarnain dikenal di Nusantara
> bersamaan dengan meluasnya ajaran Islam. Hal itu disebabkan, dalam Al-
> Quran
> surat Al-Kahfi disebutkan sepintas mengenai sosok Iskandar Zulkarnain.
>
> Iskandar disebutkan sebagai orang yang berjasa mempertemukan kebudayaan
> barat dan timur. Iskandar juga disebut sebagai tokoh yang adil dan
> bijaksana.
>
> Henri menjelaskan, hikayat mengenai Iskandar Zulkarnain diduga merupakan
> hikayat dalam bahasa Arab yang diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu.
>
> "Tidak ada kaitan sejarah antara Iskandar Zulkarnain dan Melayu karena
> keduanya terpaut jarak dan waktu yang sangat jauh. Iskandar Zulkarnain
> sampai ke Melayu dalam bentuk tradisi sastra atau hikayat," katanya.
>
> Pengaruh kuat di Asia
>
> Arkeolog Potitsa Grigorakou-Parnassos mengutarakan, pengaruh kebudayaan
> Hellenisme (pertemuan budaya Yunani dan budaya Timur) memiliki pengaruh
> kuat
> di Asia yang dibuktikan dari hasil penggalian arkeologi.
>
> Pengaruh budaya Hellenisme menimbulkan era pencerahan di Asia. Dari hasil
> penggalian itu ditemukan bahwa bahasa Yunani telah digunakan secara luas di
> wilayah Asia sebagai bahasa resmi sebelum masuknya Islam di kawasan itu.
>
> Iskandar Zulkarnain juga membangun 70 kota dengan nama Alexandria di daerah
> yang ditaklukkannya. Sebanyak sembilan di antaranya berada di wilayah
> paling
> timur dari wilayah kerajaan Iskandar Zulkarnain, yaitu Afghanistan,
> Uzbekistan, Tadzikistan, dan Pakistan. (WAD)
>
> Sumber : Kompas Cetak
>
> http://www.kompas.com/read/xml/2008/10/18/10562564/kuatnya.pengaruh.budaya.y
> unani.di.nusantara
>
>
> >
>

--~--~---------~--~----~------------~-------~--~----~
=============================================================== 
UNTUK DIPERHATIKAN:
- Wajib mematuhi Peraturan Palanta RantauNet, mohon dibaca & dipahami! Lihat di 
http://groups.google.com/group/RantauNet/web/peraturan-rantaunet
- Tulis Nama, Umur & Lokasi anda pada setiap posting
- Dilarang mengirim email attachment! Tawarkan kepada yg berminat & kirim 
melalui jalur pribadi
- Dilarang posting email besar dari >200KB. Jika melanggar akan dimoderasi atau 
dibanned
- Hapus footer & bagian tdk perlu dalam melakukan reply
- Jangan menggunakan reply utk topik/subjek baru
=============================================================== 
Berhenti, kirim email kosong ke: [EMAIL PROTECTED] 
Daftarkan email anda yg terdaftar pada Google Account di: 
https://www.google.com/accounts/NewAccount?hl=id
Untuk dpt melakukan konfigurasi keanggotaan di:
http://groups.google.com/group/RantauNet/subscribe
===============================================================
-~----------~----~----~----~------~----~------~--~---

Kirim email ke