Rabu, 29 Oktober 2008 http://www.padangekspres.co.id/content/view/21723/55/

Oleh : Marzul Veri, Ketua DPD Knpi Sumatera Barat

Dari judul di atas ada kesan kontraproduktif dari semangat yang digelegarkan
pada saat sumpah pemuda 80 tahun yang lalu. Satu sisi sumpah pemuda
mengisyaratkan akan kejelasan identitas kebangsaan/ nasionalisme, bukan
primodialisme dalam konteks ini Minangkabau. Apalagi dari jajak pendapat
yang lansir media melihat kecendrungan menguatnya primodialisme pemuda
ketimbang nasionalisme. 

Ini dinyatakan melalui indikator semakin kuatnya konflik ditingkat lokal
yang berlatar belakan kepentingan kelompok, ras dan suku. Nah, dalam konteks
ini ternyata mendefenisikan nasionalisme dalam konteks situasi, ruang dan
waktu saat ini lebih rumit dan bernuansa kompleksitas dibandingkan dengan
saat sumpah pemuda dikumandangkan. Jadi saat ini nasionalisme bukan sekedar
kesamaan sejarah, budaya da agama saja, tapi dalam konteks hari ini
pemahaman nasionalisme melampau hal-hal tersebut. 

Dikonteks lain menempatkan nasionalisme vis a vis dengan primodialisme
menjadi persoalan tersendiri. Karena ada persoalan nasionalisme yang
dikontruksi baru oleh pemegang kekuasaan. Nasionalisme sepertinya menjadi
narasi besar yang seolah-olah diterjemahkan dengan semangat patriotisme
padahal di dalamnya dibungkus dengan semangat manipulatif. 

Apalagi jika nasionalisme dihadapkan atau disandingakan dengan globalisme,
ini akan menjadi kajian yang lebih rumit lagi. Parahnya dalam
peristiwa-peristiwa khas, nasionalisme diproduksi dengan beragam rasa isu
oleh  publik dengan bantuan kapitalisme media yang tanpa rasa berdosa
membumbui setiap isu sehingga publik yang lugu mudah tersulut emosi
primitifnya. 

Menarik apa yang torehkan Kuntowijoyo dalam cara transformasi kesadaran
nasionalisme yang dilakukan oleh orang-orang terpelajar Indonesia. Kunto
membagi pada dua aras, yaitu idealis dan realis. Gerakan idealis adalah
gerakan kultural yang menganggap perubahan cara berpikir lah yang penting
dalam kehidupan kemasyarakatan, perubahan cara berpikir akan menimbulkan
kesadaran akan nasib bangsa yang terjajah. 

Orang-orang yang bergerak dalam garis idealis mendirikan sekolah-sekolah dan
media pendidikan rakyat lainnya. Dilain pihak gerakan realis melihat bahwa
keterbelakangan bangsa Indonesia  diakibatkan oleh struktur sosial yang
disebabkan olah kolonialisme Belanda yang menindas bangsa Indonesia. 

Mereka ingin merubah struktur sosial bangsa Indonesia dari bangsa tertindas
menjadi bangsa yang punya kekuatan, dari bangsa yang terjajah menjadi bangsa
yang merdeka. Pikiran Kunto senyatanya memberikan pemahaman yang dalam dan
tajam; bagaimana memposisikan nasionalisme dalam alam fikir orang Indonesia.
Semangat ini tentunya mendobrak sekat-sekat ortodoksi kesukuan, agama,
ideologi, tradisi, budaya dan lain-lain. 

Persoalan yang muncul kemudian adalah, sebagaimana diungkap di atas,
ternyata dalam pergantian rezim, nasionalisme dipatahkan maknanya sesuai
dengan alur dan kepentingan penguasa. Seolah-olah nasionalisme menjadi
"kepercayaan baru" yang membunuh keragaman yang ada. Budaya monokulturisme
menjadi berhala baru, terutama semasa rezim Soeharto sebagai wujud dari cita
rasa nasionalisme saat itu. Pembangunan-isme, sentralisasi dan
pengaburan-pengaburan nilai lain menjadi sesuatu kewajaran saat itu. 

Sehingga nasionalisme bukan menjadi alat pemersatu, tapi nasionalisme
menjadi mesin penghancur dalam kurun waktu yang lama. Alhasil nasionalisme
menghilangkan bahkan membunuh optimisme dalam berbangsa. Yang ada hanya
pseduo nasionalisme yang dibungkus dalam baju-baju indah kebhinekaan.
Sayangnya, kejeniusan dan prospektif kepemudaan yang saat oktober 1928
dikumandangkan menjadi teror yang menakutkan ditangan penguasa
otoritarianisme. 

Kaum Muda Minang Merekonstruksi Ingatan 

Tanggal 28 Oktober setiap tahun diperingati sebagai hari sumpah pemuda.
Tahun ini sudah yang kedelapan puluh kali diperingati, artinya ia selalu
dikenang dan dirayakan. Kegelisahan yang muncul bagaimana sewajarnya
diperingati kebangkitan ini ditengah krisis mentsunami jagad ini. 

Bagaimana kita memaknai prinsip persatuan, persamaan, kesetaraan dan
kemerdekaan ditengah kondisi bangsa yang carut marut? Ditambah lagi kondisi
prinsip tersebut hari ini sudah mengalami defisit masif dan dimana posisi
pemuda? Titik ini ingin menyampaikan bagaimana mengkontruksi ingatan atas
semangat kebangkitan agar masa depan dilihat dalam lingkar semangat
kepemudaan? 

Disadari pertarungan saat diantar bangsa bukan lagi/sekedar pertarungan
daerah/kota/provinsi atau penguasaan wilayah teritori secara fisik namu lbih
jauh pertarungan hari ini sudah masuk pada wilayah penaklukan ideologi.
Penaklukan ideologi ini bukan hanya sekedar bagaimana idelogi-ideologi atau
negara-negara kuat mempengaruhi negara-negara kecil tapi penaklukan
dilakukan secara hegemonik dan massif sehingga negara kecil masuk dalam
kerangkeng negara besar. 

Pertarungan ideologis ini senyatanya menyadarkan akan makna pertarungan
global yang sedang terjadi sekarang dengan menguatnya kembali kekuatan blok
timur dengan China sebagai ikon hari ini menunjukkan bahwa the end of
ideology Francis Fukuyama tidak kontekstual lagi. 

Pemuda baik secara teori dan praktek  merupakan penuntun  yang mendasar bagi
setiap gerakan pembebasan contoh sumpah pemuda. Pemuda sepanjang sejarah
mengajarkan akan pentingan transformasi bahkan revolusi. Perubahan ini
terjadi Karena pemuda mengerti azas  masyarakat tempat mereka hidup, dan
mengerti kekuatan pendorong yang menggerak-kan perkembangan sosial ekonomi
masyarakat tersebut. Dengan  kata lain, sejarah memunculkan kepermukaan akan
peran sejati pemuda di tanah air ini. 

Mencerna apa yang terjadi saat itu memberikan pemahaman dan hikmah yang
besar, bahwa   Pemuda hadir sebagai kekuatan penaklukan ideologi dominan.
Artinya pemuda melakukan tindakan pembebasan manusia yang diarahkan pada
usaha  yang sadar  untuk merombak tatanan masyarakat, untuk mengatasi
sebuah keadaan  di mana manusia didominasi oleh kekuatan politik yang  buta
dan mulai menggurat nasib dengan  tangannya  sendiri. 

Aksi  pembebasan  yang sadar ini tidak  dapat dijalankan  secara efektif,
dan  tentunya tidak dapat berhasil,  jika  pemuda  belum menyadari dan
mengenal lingkungan sosial tempatnya hidup, mengenal  kekuatan  sosial yang
harus dihadapinya. 

Disisi lain pemuda juga memiliki kekuatan untuk mendobrak tatanan nilai
feodal dalam memperjuangkan kepentingan kelas bawah dan sekaligus memainkan
perannya dalam mendorong agar terciptanya tatanan sosial yang lebih
demokratis serta memungkinkan terciptanya ruang bagi masyarakat untuk
berpartisipasi dalam sisitem kekuasaan. 

Mencari Jalan Pulang 

Minangkabau senyatanya merupakan laboratorium anak manusia dalam membangun
kepribadian dan karakter kebangsaan. Minangkabau adalah etalase kehidupan
demokrasi di Indonesia sejak dulu kala. Minangkabau, sedikit bernostalgia,
memproduksi kaum muda progresif dan terlibat aktif memikirkan perjalanan
bangsa. Minangkabau tidak melahirkan intelektual karbit, tapi kaum
intelektual Minang adalah, meminjam Vaclav Havel, nurani bangsa. 

Dengan demikian, intelektual Minang mampu menjeritkan anti penggusuran,
mereka tidak sekedar membela kaum miskin, tapi mengingatkan kepada penguasa
akan keambrukkan bangsa jika mereka tidak mampu lagi medeteksi detak-detak
kemiskinan. 

Intelektual, sekali menurut Havel, orang yang membaktikan hidupnya untuk
berpikir demi kemaslahatan publik, melihat persoalan masyarakat dalam kontek
yang lebih luas, berani memikul tanggungjawab sosial secara menyeluruh,
itulah panggilan profesionalisme kaum intelektual. Jadi intelektual, menurut
Sindhunata,  tidak hanya kaum menggunakan pikirannya secara luas, tapi juga
berpihak pada nilai-nilai universal. Semangat itulah yang mencerminkan
pikiran-pkiran intelektual Minangkabau tempo dulu. 

Bercermin dari cuplikan diatas, sudah saatnya pemuda kembali kepada
orisinalitas peran dan posisi dalam interaksi kehidupan sehari-hari. Dan
kaum tua mengambil peran sebagai penja kearifan dan kesederhanaan. Nah,
dalam konteks ini jika kaum tua masih bersigegas diri, dalam berkompetensi
dengan kaum muda, maka itu tak obahnya sebagai upaya "pembunuhan'
karakterter Minangkabau itu sendiri. Ini bukan berarti bahwa kaum muda tidak
mau berkompetisi dengan kaum tua, tapi ini hanya sekedar mengingatkan bahwa
karakter kerelaan adalah juga bagian penting dari putaran sejarah bangsa dan
negara ini. 

Terakhir Kaum muda Minang tidak mesti harus terjebak pada kompetisi
simbolik, kadang-kadang sedikit manipulatif di media, tapi perlawanan anak
muda muda Minang adalah perjuangan bagaimana mengambil peran-peran strategis
dinegeri ini. Maka jika ini dilakukan maka bukanlah sebuah mimpi ataui
utopia "Minangkabau:Republik kaum Muda". Akhirnya kejayaan orang Minang
menjadi sesuatu yang nyata adanya. *** 


--~--~---------~--~----~------------~-------~--~----~
=============================================================== 
UNTUK DIPERHATIKAN:
- Wajib mematuhi Peraturan Palanta RantauNet, mohon dibaca & dipahami! Lihat di 
http://groups.google.com/group/RantauNet/web/peraturan-rantaunet
- Tulis Nama, Umur & Lokasi anda pada setiap posting
- Dilarang mengirim email attachment! Tawarkan kepada yg berminat & kirim 
melalui jalur pribadi
- Dilarang posting email besar dari >200KB. Jika melanggar akan dimoderasi atau 
dibanned
- Hapus footer & bagian tdk perlu dalam melakukan reply
- Jangan menggunakan reply utk topik/subjek baru
=============================================================== 
Berhenti, kirim email kosong ke: [EMAIL PROTECTED] 
Daftarkan email anda yg terdaftar pada Google Account di: 
https://www.google.com/accounts/NewAccount?hl=id
Untuk dpt melakukan konfigurasi keanggotaan di:
http://groups.google.com/group/RantauNet/subscribe
===============================================================
-~----------~----~----~----~------~----~------~--~---

Kirim email ke