berarti bapak saya hebat .... beliau telah membeli buku-buku sastra waktu
saya kelas 5 SD, seperti salah asuhan, siti nurbaya, habis gelap terbilah
terang, karya buya hamka tentang cerita 25 nabi (sisanya saya lupa), ada
karya buya hamka yang seru dan mengharu biru, sampai saya menangis (lupa
namanya). sebelumnya beliau membeli telah membeli buku-buku lima sekawan
sewaktu saya kelas 4 SD.

Dulu, membaca karya sastra, bacanya harus pelan-pelan agar saya mengerti.

Sayangnya, sampai sekarang, hanya ersimpan habis gelap terbitlah terang,
yang sisanya hilang ama orang, atau minjam ga dikembaliin :(

Terus terang, buku habis gelap terbitlah terang, pada saat saya membaca
adalah buku paling membosankan dari pada karangan yang lain.

Ada juga buku sastra yang tidak boleh dibaca oleh anak yang belum cukup umur
karena terlalu vulgar.

Setelah saya besar, saya tanya kenapa membeli buku sastra ?, kata beliau,
beliau baca di buku pelajaran ada nama-nama buku tersebut, jadi saya
dibeliin.

aa.35.dj.f

2008/11/19 budhi bahroelim <[EMAIL PROTECTED]>

>
> Kedua, pelajaran sastra. Lihat artikel di bawah yang saya cuplik dari
> Kompas hari ini. Tidak ada buku sastra yang jadi bahan bacaan wajib di
> sekolah-sekolah Indonesia! Berjuta-juta anak bangsa tumbuh dewasa tanpa
> pernah membaca dan mencoba memahami ide-ide besar yang ada di benak
> bapak-bapak dan ibu-ibu penulis dan pendiri bangsa. Sehingga mereka
> kehilangan sumber inspirasi dan sulit membangun kepedulian
> untuk berpikir kemana bangsa ini akan mereka bawa di masa yang akan datang.
> Celakanya mereka juga jadi tidak suka membaca - karena tidak dibimbing
> bagaimana memahami ide-ide yang dikemukakan dalam karya sastra - akhirnya
> mereka lebih suka menonton acara TV yang tidak mendidik. Lebih celaka lagi,
> mereka tidak tahu kalau apa yang mereka
> saksikan di TV itu cuma umpan untuk menaikkan rating. Berbicara soal
> membaca, bukankah ayat pertama dalam Alquran adalah perintah membaca?
> Ketika menyampaikan wahyu pertama, Jibril tidak meminta Rasulullaah untuk
> mengulangi kata-kata yang diucapkannya. Tapi menyuruh membaca!
>
> Saya sendiri bisa jadi termasuk generasi ini, karena saya sekolah di jaman
> Order Baru. Setahun yang lalu, saya membaca buku surat-surat Kartini dalam
> bahasa Inggris. Rasanya saya tidak pernah membaca "Habis gelap terbitlah
> terang" semasa saya kecil. Ketika saya telusuri surat-surat tersebut, saya
> sungguh terhenyak. Bagaimana bisa seorang Kartini, perempuan Jawa yang hidup
> di masa penjajahan Belanda di akhir abad ke-19, dipingit dalam lingkungan
> adat aristokrat Jawa yang ketat dan hanya menempuh pendidikan dasar Belanda,
> bisa menulis demikian tangkas dan artikulatif. Terlebih lagi, ide-idenya
> jelas dan bernas. Pertanyaan-pertanyaannya masih relevan. Walau setiap tahun
> kita merayakan Hari Kartini, sudahkah kita menyelami pemikirannya? Tahukah
> anak-anak kita cita-cita Kartini yang mereka lagukan? Apakah cita-citanya
> hanya sebatas mengenakan baju daerah? Meski kita sudah lebih 60 tahun
> merdeka, tapi pemikiran Kartini masih relevan untuk
> dipelajari dan diperjuangkan. Itu baru dari Kartini saja, belum lagi
> Soekarno, Hatta, sastrawan balai pustaka, pujangga baru, St. Sjahrir,
> Pramoedya dan banyak lagi yang lainnya.
>
> Di sekolah-sekolah kita pelajaran ilmu sosial dan ilmu bahasa
> direduksi menjadi hapalan sehingga dipandang sebelah mata. Pelajaran
> tentang nilai-nilai luhur, semangat kebangsaan dan sebagainya yang mestinya
> terserap dari mempelajari karya sastra dari penulis-penulis besar bangsa
> kita sendiri dicoba diganti dengan materi seperti PMP (entah apa namanya
> sekarang) yang penuh dengan instruksi dan
> penggambaran benar salah yang sulit diaplikasikan di dunia yang fana ini.
> Meski tingkat pendidikan kita jauh lebih baik sekarang dari pada masa
> pra-kemerdekaan, meski kita punya lebih banyak rumah sakit dan dokter, punya
> lebih banyak insinyur, sarjana hukum dan sebagainya,
> tetapi kita tidak mampu menandingi lompatan yang dibuat bangsa-bangsa lain,
> bahkan negeri jiran sekalipun!
>
> Bayangkan kerugian bangsa kita karena generasi muda Indonesia menghabiskan
> 12 tahun masa pendidikan dasar dan menengah mereka hanya untuk menghapal dan
> sedikit sekali berlatih untuk berpikir. Mungkin saya berlebihan, karena
> tidak semua yang diajarkan di sekolah itu jelek, tapi rasanya kita semua
> sepakat, menghapal sejarah dan ilmu bahasa bukanlah terjemahan dari
> 'mencerdaskan kehidupan bangsa' yang
> kita cita-citakan. Lebih baik terlambat untuk mulai membaca karya sastra
> dan berani menginterpretasikan sejarah - daripada tidak sama sekali.
>
> Salam
> Sutan Mangkuto Sati
> (35, Den Haag)
>
> <http://www.kompas.com/read/xml/2008/11/17/20103551/perlu.paradigma.baru.dalam.pengajaran.sastra>

--~--~---------~--~----~------------~-------~--~----~
=============================================================== 
UNTUK DIPERHATIKAN:
- Wajib mematuhi Peraturan Palanta RantauNet, mohon dibaca & dipahami! Lihat di 
http://groups.google.com/group/RantauNet/web/peraturan-rantaunet
- Tulis Nama, Umur & Lokasi anda pada setiap posting
- Dilarang mengirim email attachment! Tawarkan kepada yg berminat & kirim 
melalui jalur pribadi
- Dilarang posting email besar dari >200KB. Jika melanggar akan dimoderasi atau 
dibanned
- Hapus footer & bagian tdk perlu dalam melakukan reply
- Jangan menggunakan reply utk topik/subjek baru
=============================================================== 
Berhenti, kirim email kosong ke: [EMAIL PROTECTED] 
Daftarkan email anda yg terdaftar pada Google Account di: 
https://www.google.com/accounts/NewAccount?hl=id
Untuk dpt melakukan konfigurasi keanggotaan di:
http://groups.google.com/group/RantauNet/subscribe
===============================================================
-~----------~----~----~----~------~----~------~--~---

Kirim email ke