saya sangat tertarik isi email nofairdi,  boleh dong sedikit saya tambahi 
berdasarkan pengalaman pribadi saya apa lagi saya bangga jadi wanita berdarah 
minang .... tegar, tabah dan paling utama bertanggung jawab terhadap keluarga 
itulah perempuan Minang.... di lingkungan saya sendiri saya perhatikan 
janda-janda baik itu janda cerai mati atau janda cerai hidup  tapi tetap tegar 
dalam mencari nafkah untuk anak - anak mereka....  didikan itu yang diterima 
dari ibu mereka... perempuan minang mampu bertangung jawab .... kita lihat 
banyak kaum laki - laki dari minang yang setelah bercerai (hidup) meninggalkan 
anak - anak mereka begitu saja tanpa ada rasa tanggung jawab dari mereka karena 
adat Matriakat yang ada di Minang bahwa setiap anak -anak berada dipihak ibu 
kalau terjadi perceraian .... hal  ini mengakibatkan banyak anak - anak yang 
ditinggalkan begitu saja oleh sibapak tanpa  ada tanggung jawab dari bapak 
tersebut.... walau dalam persidangan perceraian
 sekalipun ditentukan berapa biaya yang harus dikeluarkan oleh si bapak untuk 
anak  - anak tsb tapi itu hanya. tinggal janji diatas kertas (Banyak hal ini 
terjadi ), Tapi perempuan Minang bukanlah perempuan cengeng yang meratapi nasib 
mereka... mereka bangkit dan tegar tuk hadapi hidup ini.

Tidak ada kebudayan Minang kabau (matrilineal) yang mendidik anak perempuannya 
kelak jadi seorang ibu rumah tangga  yang berkuasa kepada suaminya tetapi 
bertanggung jawab  iya.. lagi pula saya setuju kalau rumah orang tua diberikan 
ke anak perempuan ... dan anak laki - laki menjaga supaya rumah itu tetap aman 
dan terlindung dari segala pihak yang mungkin saja berniat buruk terhadap rumah 
tsb.

menjadi Perempuan Minang bagaikan induk ayam yang  mengais tanah mencari cacing 
untuk makan  anak- anak nya.... setelah anak-anaknya makan baru  si induk 
makan.... 

jadi  cengeng, manja ,malas, otoriter dan mati karancak-an bukan lah tipe 
perempuan Minang..... salut tuk  desni intan suri.... salaam


________________________________
From: Nofiardi <nofia...@pec-tech.com>
To: Rantau <RantauNet@googlegroups.com>
Sent: Thu, December 3, 2009 8:09:14 AM
Subject: [...@ntau-net] Kekuasaan Wanita Minang = Menjajah Pria

 
Kekuasaan Wanita Minang = Menjajah Pria
oleh: Desni Intan Suri
 
Dunia Perempuan| Rabu, 02/12/2009 22:21 WIB

Suatu kali aku dan suami berkenalan dengan seorang pria yang bukan dari daerah
Sumbar. Dalam pembicaraan kami yang menceritakan daerah masing-masing ia
memberikan pendapat dan kesannya terhadap wanita minang kabau. Kesan dan
pendapatnya itu membuatku terkaget-kaget. 

“Gimana mas rasanya punya istri orang minang?” kata si pria ini
pada suamiku. Suamiku sempat bingung menjawabnya, tapi dijawabnya juga “
yaa..rasanya ya ..rasa punya istri…” kata suamiku sambil tertawa. 

“Bukan, maksud saya beristrikan wanita minang gimana rasanya? Katanya
ngotot. Akupun tergoda untuk menimpalinya “ maksudnya rasa apanya nih
pak..jelaskanlah..” kataku. Dia tersenyum dan tetap mengarahkan
pandangannya kesuami ku : “ setahu saya wanita minang itu sangat dominan
dalam rumah tangga…bahkan kesannya seperti kaum pria dijajah saja. Adat
minang kabau saja sudah menampakkan hal itu. Tak heran watak wanitanya menjadi
berkuasa seperti itu.. Saya merasa adat minang kesannya seperti membuang anak
laki-laki. Coba saja lihat, secara rohaniah yang memiliki rumah adalah wanita
,kaum pria hanya menumpang. Kalau sudah menjadi suami ,kedudukannyapun lemah
sebagai seorang bapak dari anaknya, yang memutuskan kehidupan anaknya terutama
dalam masalah perkawinan justru adik laki-laki istrinya.Masyarakat minang itu
juga menganut sistim matriakat yang mana kekuasaan terletak ditangan Ibu atau
wanita.hm…ini benar-benar bikin wanita diatas angin. Dalam keluarga saya
ada dua orang yang sempat beristrikan orang minang ,dua-duanya berakhir dengan
perceraian dengan didahului pertengkaran demi pertengkaran. Istri-istri mereka
sangat dominan bahkan terkesan tidak menghargai suami. “. 

Aku segera ingat dengan teman karibku Nirita yang baru saja dua hari yang lalu
curhat datang kerumah. Nirita adalah teman kecilku sejak disekolah dasar. Garis
nasib kemudian berbeda jauh diantara kami. Aku sekarang berstatus Ibu rumah
tangga yang berwiraswasta, sedangkan ia adalah seorang Manager Public Relation
dan marketing di sebuah hotel berbintang. Ia meminta saranku ketika ia merasa
harus mengakhiri kehidupan perkawinanya dengan Syaiful yang dulunya juga adalah
teman satu perguruan tinggi denganku. “Dia lamban sekali ..aku bosan
mendorongnya terus,dia maunya mengembangkan dunia tulis menulisnya padahal
diakan sarjana tehnik mesin..apalah yang akan dapat dari dunia tulis
menulis..aku udah susah-susah cariin kerjaan bergengsi buat dia ..eh
dicuekin..maunya dia apa? Hasil tulis menulisnya cuma cukup beli korek
kuping..tak lebih..!". 

Aku juga ingat dengan Lulu anak bibiku. Sampai umurnya mencapai 53 tahun saat
ini, tak ada minatnya sedikitpun untuk berumah tangga. Sekarang ia bekerja
disebuah stasiun televisi swasta di Australia. Ketika kami semua mencoba-coba
menyodorkan ‘calon” padanya, semua dijawabnya dengan kata-kata
” Ngga level…!”. Sampai saat ini, ia masih merasa bahwa
levelnya adalah lebih tinggi dari pria manapun yang diperkenalkan padanya.
Akhirnya kami menyerah dan membiarkan ia memilih kehidupannya sendiri. 

Dirumah aku termenung-menung sendiri memikirkan kalimat-kalimat
“dakwaan” dari pria kenalan baru kami tadi sewaktu diperhelatan
kenalan suamiku. Kuhubung-hubungkan semua ini. Kucoba pula mengoreksi diriku
sendiri, apakah aku bersikap seperti yang ia sebutkan itu kepada suamiku
sendiri?. Pikiranku itu terbaca oleh suamiku. Ia tersenyum-senyum menggodaku .
“ Tersinggung ni yeee… dibilang penjajah… katanya
tergelak-gelak. “ Tidak juga…cuma mencoba koreksi diri
saja…” kataku kalem mencoba menutupi perasaanku sebenarnya..
Suamiku manggut-manggut sambil menepuk-nepuk punggungku
“tenang…tenang..aku ngga merasa dijajah kok….” Katanya
memperlebar senyumnya . 

Esok paginya ketika aku sedang menyiapkan sarapan pagi keluarga, aku didatangi
Ranti tetangga baru kami. Ia baru dua bulan menngontrak rumah sebelah kiri
rumah kami. Ia seorang wanita minang berasal dari Padang panjang.. Begitu dia
tahu aku juga orang minang, hampir tiap hari dia main kerumah kami. Katanya ia
bekerja disebuah perusahaan muliti nasional . Waktu baru berkenalan kami sempat
heran ,katanya dia sudah mempunyai suami dan tiga orang anak, tapi kok dirumah
itu yang keliatan hanya dia saja. Baru kemudian kami paham setelah ia
menceritakan kehidupan rumah tangganya kepadaku. ‘ Suamiku pengangguran
tingkat tinggi..sudah masuk tahun kelima sekarang..ada teman yang nawarin kerja
padaku dijakarta ini,gajinya cukup besar..yaa daripada anak-anakku ngga makan
aku terima pekerjaan itu…, di Padang udah susah cari kerja sementara
anak-anakkan perlu makan dan biaya sekolah..sekarang dia yang ngurusin
anak-anak aku kerja..,harus ada salah satu kami bertindak kalau mau
bangkit…ya kan Des?aku akan mencari peluang kerja buat dia disini , baru
setelah itu memungkin bagi kami untuk kumpul lagi…”katanya waktu
itu. 

Aku memandang kepergian Ranti dari balik jendela dapur. Ia hanya datang untuk
mengembalikan piringku sebelum pergi kekantornya. Kemarin kuisi nasi uduk
bikinanku untuknya. Pikiranku dipenuhi dengan beberapa pertanyaan dan
menerawang kemana-mana. Apakah wanita minang seperti Ranti juga disebut sebagai
seorang wanita yang dominan?. Apakah keluhan yang disampaikan Nirita atau Lulu
padaku dulu mewakili pola watak wanita minang kabau secara keseluruhannya?.
Apakah benar adat minangkabau yang matriakat membuat wanita minang kabau
membabi buta memburu kesetaraan gender?. Apakah hak dan kekuasaannya yang
diberikan kepada mereka dalam adat membuat mereka menjadi melemahkan kedudukan
pria sebagai pendamping hidup mereka?. 

Kalau menelusuri kehidupan kekeluargaan orang minang sendiri memang adat minang
seperti sudah melahirkan watak perantau bagi pria minang, dan watak bundo
kanduang bagi wanita minang.Kaum laki-laki diminang, dianggap sebagai kaum yang
“menumpang” dirumah gadang. Rumah yang sesungguhnya bagi kaum
laki-laki minang adalah Surau. Dari kecil mereka sudah diajar mengaji dan
belajar silat berpindah-pindah dari satu surau/tempat ke lainnya. Namun inipula
yg kemudian menjadi sumber dinamika pria minang untuk menjadi
pengembara/perantau . 

Sebaliknya untuk kaum wanita minang telah diberikan sebuah kekuasaan dalam
kepemimpinan dan tanggung jawab yang besar untuk mereka. Kekuasaan dan tanggung
jawab yang besar dimulai dari sebuah mitos mengenai seorang pemimpin wanita
yang disebut Bundo Kanduang. Sebetulnya banyak pendapat mengenai asal muasal
sosok Bundo Kanduang ini. Tapi dalam cerita /kaba cindua mato ada bahagian yang
menyebutkan bahwa keberadaan Bundo kanduang sama dengan awal adanya alam ini.
Jangan salah pengertian dengan kata” alam” disini. Alam dalam
bahasa kiasan minang bukan berarti sejak jaman Adam dan Hawa ada, tapi alam
disini berarti sebuah wilayah kekuasaan. Jadi dalam cerita/kaba cindua mato
keberadaan Bundo kanduang itu diawali dari sebuah kerajaan yang dipimpinnya.
Nah, dalam kepemimpinan Bundo Kanduang ia dikenal sebagai seorang pemimpin yang
arif dan bijaksana dan mempunyai tingkat kharisma yang sangat tinggi diantara
bawahan dan penghuni rumah gadang yaitu Istana pagaruyung dulunya. Ia disegani
dan sangat dihormati karena kepiawaian serta kecerdasan dalam buah pikirannya
untuk mengelola tanah pusako dan memimpin semua yang tinggal dalam rumah gadang
tersebut. 

Untuk selanjutnya dengan berjalannya waktu Bundo kanduang kemudian dijadikan
sebuah limbago yang menajdi panggilan untuk golongan kaum wanita minang
kabau.Dalam hal ini wanitapun telah ditetapkan untuk mempunyai beberapa
tanggung jawabnya terhadap rumah gadang dan tanah pusako dikampung halaman .
Perlu ditekankan disini, bahwa yang diberikan kepada wanita adalah “hak
tanggung jawab “ bukan kekuasaan. Artinya istilah “matriakat yang
berarti “ibu yang berkuasa” sudah ditinggalkan. Sedangkan hak
tanggung jawab yang dibebankan ke pada kaum wanita minang tersebut diantaranya
yang inti adalah : 
1.Sebagai untuk menarik garis keturunan yang disebut sebagai sistim garis
keturunan ibu atau matrilineal 
2.Sebagai yang bertanggung jawab atas kepemilikan rumah gadang 
3.Sebagai yang bertanggung jawab atas sumber ekonomi seperti sawah,ladang
,tanah garapan dll 
4.Sebagai tempat penyimpanan hasil ekonomi dengan pepatah “umbun puruak
pegangan kunci,umbun puruak alunan bunian” maksudnya wanita adalah
sebagai pemegang kunci ekonomi harta pusako 
5.Sebagai penanggung jawab dalam pengaturan rumah tangga dan menentukan baik
buruknya jalan roda rumah tangga. Disini wanita yang berfungsi sebagai Ibu
dianggap sangat berpengaruh dalam pembentukan watak manusia . Ini terlihat
dalam pepatahnya : “ Kalau karuah aie dihulu, sampai kamuaro karuah
juo.Rintiak anaknyo,turunan atok ka palimbahan”. 
6.Sebagai penanggung jawab pemeliharaan harta pusako, anak dan kemenakan. 

Jelaslah sudah, dari tanggung jawab yang diberikan adat kepada kaum wanita
disini membuat kaum wanita minang kabau dituntut untuk menjadi
cerdas,cerdik,pandai dan berilmu pengetahuan yang tinggi. Sedangkan kaum pria
yang dianggap sebagai kaum yang “menumpang” secara tak langsung
pula mempengaruhi nilai tingginya harga diri mereka dikampung halaman sendiri.
Contohnya saja dalam memproduktivitaskan tanah pusako wanita dan laki-laki
boleh berdampingan mengolahnya. Namun begitu ada hasilnya, kaum wanita
boleh-boleh saja langsung memakan hasilnya tersebut ditengah rumah bersama
keluarganya. Sebaliknya kaum laki-laki akan menitipkannya dulu dilumbung rumah
gadang. Adalah sebuah harga diri bagi kaum pria memakan hasil itu kalau tidak
terpaksa betul. Kaum pria malah memantangkan diri mengambil haknya,karena
mereka lebih merasa mempunyai harga diri bila hidup dari hasil jerih payah
sendiri. 

Perbedaan yang tajam ini membuat kaum pria mengembara mencari kesuksesan dan
keberhasilan dalam hidupnya sendiri. Sementara tampuk tanggung jawab di kampung
halaman jatuh ketangan wanita. Hal inilah yang membuat kaum wanita minang
terkenal dengan sikapnya sebagai pekerja keras. Tidak mau hanya berpangku
tangan atau berleha-leha saja walau ia sudah mempunyai harta sekalipun. Jiwa
bisnis wanita minangpun sangat tinggi,karena dengan tanggung jawab yang
diberikan pada mereka dalam mengatur roda perekomonian tanah pusako membuat
mereka harus cerdik dan pandai dalam perdagangan. 

Walaupun pada catatan pada Badan Pusat Statistik Sumbar masih menunjukkan angka
keterlibatan wanita dilapangan kerja masih dbawah angka pria, namun yang
terlibat membuka lapangan kerja sendiri atau berwiraswasta lebih banyak
dilakukan oleh kaum wanita di Sumbar. Diantaranya banyak yang membuka lapangan
kerja dibidang kewanitaan yang berbentuk makanan, kerajinan tangan,jahit
menjahit dll. Waktu kami baru-baru ini pulang kampung, kami melewati kawasan
pasar kotobaru yang kebetulan sedang ada “hari Pasar”. Perjalanan
kami sedikit terkena macet dengan keramaian pasar tersebut. Uniknya pasar ini
adalah, para pedagangnya semua didominasi oleh kaum perempuan. Hampir setiap
sudut kami lihat yang menawarkan beragam sayuran dan rempah-rempah dapur adalah
rata-rata para wanita. Namun catatan BPS juga menyatakan bahwa angka putus
sekolah lebih banyak terdapat pada prosentase untuk kaum pria . Artinya,
semakin masuk kedalam jaman modern semakin terlihatlah kesadaran kaum wanita 
minangkabau
untuk tampil lebih cerdas dan berilmu pula. 

Dari kenyataan-kenyataan yang ada ini, bisa ditarik kesimpulan bahwa adat
minang kabau bukan bertujuan untuk membentuk wanita bersikap otoriter atau
berkuasa melebihi kekuasaan kaum pria apalagi meletakkan posisi kaum pria
dibelakang kaum wanita. Adat minang kabau selama ini sesungguhnya mengajarkan
dan mendidik dua gender ini untuk bisa tampil dalam kekuatan mereka
masing-masing dengan kepribadian yang kokoh untuk mampu hidup diatas kaki
sendiri tanpa mengemis-ngemis apalagi bersikap culas,licik dalam memperjuangkan
kehidupannya sendiri. Wanita minangkabau dengan tanggung jawab yang dibebankan
pada mereka membuat mereka bisa memahami sifat kepemimpinan yang arif dan
bijaksana. Sebaliknya kaum pria yang lebih diberikan kesempatan mengembara atau
merantau membuat mereka tampil sebagai kaum yang kenyang akan pengalaman hidup
hingga mereka lebih ahli menyelami dan mengukur kehidupan itu sendiri untuk
target keberhasilan mereka. 

Seharusnya memang begitu. Tapi sebuah tata aturan dalam kehidupan yang
dirancang manusia tidak semuanya akan bisa tertata dengan lancar dan rapi
sesuai yang dikehendaki. Ada saja yang melenceng dari aturan yang sebenarnya.
Dalam hal ini rasanya aneh bila kita menyalahkan adat,karena sebuah adat tentu
lahir dari tata aturan yang tujuannya adalah untuk sebuah kebaikan. Sebuah
egolah yang merusak tata aturan tersebut. Ego tersebut akan tampil tidak hanya
dari bersendirian dari kedua gender ini karena mereka saling kait mengait untuk
membuat ego tersebut berkembang menjadi sikap individualistis yang saling
menyalahkan. Wanita yang berkuasa karena berada pada sistim matriakat akan
mempergunakan egonya untuk membelakangi kaum pria. Sebaliknya kaum pria yang
merasa hidup dengan wanita matriakat dalam kekuasaan berharta ,akan
mempergunakan kesempatan pula untuk bermalas-malasan dengan hanya duduk
menopang dagu memakan harta istri/wanita. Sikap dari kedua gender ini akan
melahirkan ego yang ditindas dan menindas. 

Maka tak ada salahnya kalau aku merasa terdorong untuk mengupas masalah
ini,karena disebabkan begitu kentalnya darah minang melekat pada diriku. Dan
dengan jujur kusampaikan bahwa watak wanita minang yang terbentuk dari adatnya
adapula melekat dalam diriku. Aku yakin, semua wanita minang yang merasa
mempunyai darah minang yang kental mengalir pada dirinya akan merasakan hal
yang sama denganku. Dan dengan jujur pula aku sampaikan bahwa akupun pernah
melalui masa “transisi” berumah tangga dalam menselaraskan
kehidupan kami, agar tetap seimbang. Perbedaan pandangan dan prinsip hidup
pernah terbagi dua antara kami suami istri karena berasal dari adat dan budaya
yang berbeda. Aku dari minang, suamiku dari Jawa. Namun ini bukanlah masalah
adat, tapi adalah dari “ego” kita masing-masing. Aku yakin, sikap
Nirita,Lulu maupun Ranti juga lahir karena ego bukan karena adat. Adat memang
membentuk wanita minang menjadi sosok yang kuat,tegas dan mandiri. Tapi adat
tidak mengolah mereka menjadi sosok yang merasa lebih benar dan jauh dari
timbang rasa. Ada kalanya memang wanita minang harus terpaksa tampil lebih dulu
seperti yang dilakukan Ranti. Sikap mandiri darah minangnya membuat ia tampil
sebagai pengambil keputusan disaat kehidupan sudah menuntut untuk adanya sebuah
keputusan. Sebaliknya sikap Nirita dan Lulu adalah sikap keras dan tegas yang
lebih mencondongkan ego,sehingga timbullah kesalah pahaman dalam keterlanjuran
sikap berkuasa bagi wanita minang itu sendiri disini. Mungkin keruwetan buhul
perkawinan dua orang saudara kenalan baru kami diperhelatan dua hari yang lalu
juga begitu adanya. 

Akhir kata, memang tuntutan untuk kesetaraan gender atau emansipasi atau apalah
namanya haruslah dikaji ulang.Bila tuntutan itu ternyata menimbulkan sebuah
kesombongan, sikap menguasai dan merasa harus melebihi kaum pria atau bahkan
yang lebih parah lagi adalah merendahkan dan melecehkan martabat kaum
pria,tentulah ini sudah salah pemahamannya. Artinya, bila ia seorang wanita
lajang iapun harus memahami batas-batas pergaulannya yang tidak merusak
norma-norma kaedah dirinya sendiri sebagai wanita. Baik itu batas dalam
memperoleh pendidikan, lapangan kerja maupun sebuah kekuasaan. Bila ia seorang
istri, tentulah yang pertama yang menjadi panutan dan tempat ia bersepakat
adalah suami sendiri.Walaupun pendidikan, kedudukan atau penghasilannya lebih
memadai dari sang suami adalah suatu kewajiban utama baginya untuk tetap berada
dibelakang suaminya. Selayaknyalah ia harus terlebih dahulu mendengar dan
bertindak sesuai arahan suami kecuali bila keadaan tidak memungkinkan lagi
untuk berbuat demikian. Semoga tulisan ini dapat menjadi pedoman diriku
sendiri, teman2ku wanita maupun pria, baik yang berdarah minang maupun bukan. 

Kuala Lumpur , 21 November 2009 
referensi : dari buku2 karangan Zuriati dan Amir M.S serta blog2 di internet
serta hasil pandangan pribadi. 
*) ditulis dalam catatan pada FB oleh Desni Intan Suri
 
http://www.padangmedia.com/?mod=artikel&j=2&id=250
 
The above message is for the intended recipient only and may contain 
confidential information and/or may be subject to legal privilege. If you are 
not the intended recipient, you are hereby notified that any dissemination, 
distribution, or copying of this message, or any attachment, is strictly 
prohibited. If it has reached you in error please inform us immediately by 
reply e-mail or telephone, reversing the charge if necessary. Please delete the 
message and the reply (if it contains the original message) thereafter. Thank 
you. 


      
--~--~---------~--~----~------------~-------~--~----~
.
Posting yg berasal dari Palanta RantauNet ini, jika dipublikasikan ditempat 
lain wajib mencantumkan sumbernya: ~dari Palanta r...@ntaunet 
http://groups.google.com/group/RantauNet/~
===========================================================
UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi:
- DILARANG:
  1. Email besar dari 200KB;
  2. Email attachment, tawarkan disini & kirim melalui jalur pribadi; 
  3. One Liner.
- Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/web/peraturan-rantaunet
- Tulis Nama, Umur & Lokasi pada setiap posting
- Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dalam melakukan reply
- Untuk topik/subjek baru buat email baru, tidak dengan mereply email lama 
===========================================================
Berhenti, kirim email kosong ke: rantaunet-unsubscr...@googlegroups.com 
Untuk melakukan konfigurasi keanggotaan di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/subscribe
-~----------~----~----~----~------~----~------~--~---

Kirim email ke