*1. Yang menjadi pertanyaan dalam diri saya adalah: mengapa TAK SEORANGPUN
YANG BERASAL` DARI RANAH MINANG ?
Bukankah adat Minangkabau justru menyuruh kita agar ber-'alam talambang jadi
guru' yang bisa diartakan secara canggi agar anak-anak Minang menjadi jagoan
ilmu fisika, kimia, biologi dan teknologi tinggi ?

2. Apa karena kita tidak menciptakan suasana lingkungan yang memungkinkan
tumbuh dan berkembangnya 'industri otak' seperti yang pernah disampaikan
oleh Prof Dr Emil Salim ?

3. Perlukah topik penyediaan dukungan beasiswa ini kita masukkan ke dalam
Draft 17 Kesepakatan Bersama Kongres Kebudayaan Minangkabau ?
*
Pak Saaf dan dunsanak di palanta nan ambo hormati.

Bukan ambo hendak menggurui Bapak bapak, ibu ibu atau dunsanak sapalanta nan
alah mengetahui permasalahannyo, tapi ambo cuma maulang ulang kaji lamo
satantangan permasalahan nan disampaikan pak Saaf

Nan partamo sumbernyo tantu dari kondisi/kesehatan/pendidikan ibunyo
sendiri; selanjutnyo sangat tergantung dari makanan nan diberikan pada saat
anak berusia  bayi/pemakaian ASI eksklusif dan asupan makanan/gizibalita.

Penyebab dari luar iolah lingkungan masyarakat. Nan iko mungkin kito bisa
mancontoh nan alah dikarajokan oleh urang gaek gaek awak nan barasa dari
nagari Koto Gadang (dianggap sukses dalam bidang pendidikan) sarupo nan ambo
kutipkan dari wikipedia sbb:

*Koto Gadang merupakan nagari/desa yang paling banyak melahirkan sarjana di
Indonesia[rujukan?]. Sejak zaman penjajahan hingga sekarang,
keluarga-keluarga di Koto Gadang tetap mengutamakan pendidikan kepada
anggota keluarganya. Kalau masyarakat daerah lain di Minangkabau merantau
umumnya untuk berdagang, maka masyarakat Koto Gadang merantau untuk menuntut
ilmu pengetahuan.

Tahun 1856, dari 28 Sekolah Desa dengan masa belajar tiga tahun yang berdiri
di berbagai nagari di Sumatera Barat, satu terdapat di nagari Koto Gadang.

Menurut laporan Steinmetz, sejak didirikan, ada 416 murid Sekolah Desa.
Namun hanya 75 orang yang selesai. Selebihnya putus di tengah jalan, karena
menikah atau lantaran berbagai sebab lain.
Steinmetz menilai, kemajuan paling pesat tampak pada anak-anak Agam terutama
dari Koto Gadang yang rajin dan cerdas.

Kesadaran menuntut ilmu di Koto Gadang dimulai di awal abad-20 ketika
pembaharuan dimasukkan oleh laras Koto Kadang, Jahja Datoek Kajo (bertugas
dari tahun 1894-1912) yang meramalkan bahwa hanya melalui pendidikan, corak
kehidupan dapat didatangkan ke Koto Gadang.

Dengan perencanaan yang sistematis dan dengan sistem kepemimpinan yang
kharismatik, Jahja Datoek Kajo mendorong setiap anak lelaki dan perempuan
pergi ke sekolah.

Sekolah untuk anak laki-laki didirikan di tahun 1900, dan di tahun 1912
didirikan pula sekolah yang terpisah untuk anak-anak gadis Koto Gadang.

Sebuah badan tersendiri yang dinamai studiefonds (dana pelajar) didirikan
untuk mengumpulkan dana dari orang kampung guna mengirim anak-anaknya
melanjutkan studi di Jawa, dan bahkan di negeri Belanda.

Menurut laporan di Soeara Kemadjuan Kota Gedang (1916), demi kepentingan
pendidikan, para orang tua yang waktu itu berpenghasilan rata-rata 15 gulden
per bulan, sanggup membayar uang sekolah anaknya yang mencapai 5 gulden per
bulan.

Sebelum ada Hollands Inlandsche School (HIS), Sekolah Dasar tujuh tahun
dengan bahasa pengantar Belanda, dan Meer Uitgebreid Lager Onderwojs (MULO)
berdiri awal tahun 1900, sudah banyak anak Minang bersekolah ke STOVIA,
sekolah tinggi kedokteran di Jakarta, atau NIAS di Surabaya, terutama
anak-anak Koto Gadang.
Menurut data tahun 1926, dokter lulusan STOVIA asal Minang berjumlah 32
orang.

Semangat menuntut ilmu ini diteruskan sampai sekarang di Koto Gadang, yang
akibatnya praktis setiap orang kampung di Koto Gadang melek huruf, pintar
membaca dan menulis, serta pintar-pintar bahasa Belanda.
Makanya jangan heran, tahun 1917, dari 2.415 penduduk, sebanyak 1.391 orang
di antaranya sudah bekerja, antara lain 297 orang jadi amtenar dan 31 orang
menjadi dokter.

Penelitian yang dilakukan Mochtar Naim menunjukkan, di antara 2.666 orang
yang berasal dari Koto Gadang di

tahun 1967: 467 atau 17,5 persen merupakan lulusan universitas.
Di antaranya 168 (orang menjadi dokter, 100 orang jadi insinyur, 160 orang
jadi sarjana hukum, dan kira-kira 10 orang doktorandus ekonomi dan
bidang-bidang ilmu kemasyarakatan lainnya.

Kemudian di tahun 1970, 58 orang lagi lulus universitas. Jadi, dengan 525
orang lulusan universitas (tidak termasuk mereka yang bergelar sarjana
muda),

Koto Gadang yang punya penduduk kurang dari 3.000 tak terkalahkan barangkali
oleh desa mana saja, bahkan tidak oleh masyarakat-masyarakat yang telah maju
lainnya di dunia.*

-- 
.
Posting yg berasal dari Palanta RantauNet ini, jika dipublikasikan ditempat 
lain wajib mencantumkan sumbernya: ~dari Palanta r...@ntaunet 
http://groups.google.com/group/RantauNet/~
===========================================================
UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi:
- DILARANG:
  1. Email besar dari 200KB;
  2. Email attachment, tawarkan disini & kirim melalui jalur pribadi; 
  3. One Liner.
- Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/web/peraturan-rantaunet
- Tulis Nama, Umur & Lokasi pada setiap posting
- Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dalam melakukan reply
- Untuk topik/subjek baru buat email baru, tidak dengan mereply email lama 
===========================================================
Berhenti, bergabung kembali serta ingin merubah konfigurasi/settingan 
keanggotaan di: http://groups.google.com/group/RantauNet/subscribe

Kirim email ke