Di Teluk Bayur Samsu bertemu dengan anak-anak muda yang hendak merantau ke Jawa 
baik untuk bersekolah maupun untuk mengadu untung dengan berdagang. Sekalipun 
ketika itu perjalan ke Jawa sulit, harus diskrening dan jadwal kapal tidak 
tentu, jumlah mereka yang hendak naik kapal tidak berkurang. Malah rasa 
tertekan karena "dijajah" tentara dari Jawa semakin mendorong mereka untuk 
meninggalkan kampung halamannya . Ketika itu perjalanan darat Padang-Jakarta  
sama sekali belum mungkin. Penerbangan Padang-Jakarta yang dilayani Garuda dua 
kali dalam sepekan dengan pesawat DC-4 Corvair dan DC-3 Dakota hanya bisa 
digunakan oleh kalangan terbatas.   

Merantau nyaris merupakan ritual pendewasaan bagi anak-anak Minang yang 
tercermin dari adagium: 

Keratau madang di hulu
Berbuah berbunga belum
Merantau bujang dahulu
Di rumah beguna  belum.

Dan itu ritual itu tentunya bukannya tanpa rasa sakit dan kegamangan. Banyak 
nyanyian bahkan ratapan yang tak terucapkan ratusan ribu anak-anak Minang 
tatkala harus meninggalkan kampung halaman, tepian mandi, ayah bunda, sanak 
saudara, teman sepermainan dan kekasih tercinta demi masa depan. Bahkan tidak 
sedikit yang hanya berbekal seadanya. Berakit rakit ke hulu. Berenang-renang ke 
tepian. Bersakit sakit dahulu. Bersenang-senang kemudian.

Kegamangan anak-anak muda yang akan merantaukan itu digambarkan dengan apik 
pada bait-bait  Lagu "Kelok Ampek Puluh Ampek" ciptaan Masrul Mamuja 
(terjemahan bebas dalam Bahasa Indonesia) sebagai berikut.

Di Teluk Bayur ku termenung
Ku lepas pandang berkeliling
Terbayang rantau yang hendak ku hadang
Entah di mana badan nanti menumpang
Jatuh berberderai air mata.

Samsu dan isterinya menumpang kapal kecil berebendera Panama yang mampir di 
setiap pelabuhan di pesisir barat Sumatra: Kroe, Enggano dan Bengkulu. Seperti 
penumpang-penumpang lainnya, mereka tidur beralas tikar di dek yang beratapkan 
terpal. Selama di perjalananan si Samsu hampir tidak bangun-bangun. Goyangan 
kapal kekiri dan kekanan membelah ombak membuat dia pusing dan mengeluarkan isi 
perutnya. Untung si Kiah yang walaupun mulai berbadan dua masih bisa bangun 
untuk antri mengambil air minum  dan nasi yang dimakan dengan rendang jarieng 
dan rendang tambusu masakan mande si Samsu. Catu dari kapal berupa sardencis 
rebus tidak pernah lagi diambil si Kiah karena mencium baunya saja sudah 
membuat perut si Samsu bergolak.

Setelah tersiksa selama tujuh hari tujuh malam kapal yang mereka tumpangi tiba 
di Pelabuhan Tanjung Priok tengah malam tetapi baru merapat di pagi hari untuk 
menurunkan penumpang. Keadaan tersebut  menyebabkan si Samsu sempat memulihkan 
kondisi badannya sehingga waktu hendak turun dari kapal dirinya mulai segar 
kembali. Di dermaga si Samsu melihat  si Buyung sahabat yang hampir seperti 
saudara kandungnya sudah menunggu sambil tertawa sehingga giginya yang putih 
sangat kentara dengan kulitnya yang hitam.

Dengan menggunakan dua buah delman Samsu, si Kiah dan si Buyung meninggalkan 
Pelabuhan Tamjung Priuk. Ingin buru-buru tiba di rumah yang dicarikan si Buyung 
di Galur, maklum sudah hampir tiga pekan "berpuasa" menyebabkan si Samsu tidak 
sabar melihat jalan delman yang terseok-seok membawa orang dan koper besi dan 
barang-baran bawaan lainnya. "Kok bendi tuan jalannya lambat benar," ujar si 
Samsu dengan logat Minang yang medok. "Kuda saya capek", jawab kusir delman. 
"Mana capek", jawab si Samsu dengan meradang. "Jalan bendi tiga mengga tiga  
mengga tuan bilang capek" lanjutnya dengan gusar.

Akhirnya sampai juga mereka di rumah kontrakan yang cukup bersih dan mungil 
itu. "Beristirahat lah kalian dahulu" ujar si Buyung. "Nanti malam aden akan 
kemari dengan si Icih bini den.
 
Jakarta dalam tahun 1959 bukanlah Jakarta yang glamour dan malah sering 
dijuluki sebagai "big village" alias kampung besar. Di jalan-jalan, termasuk 
jalan-jalan protokol  masih berseliweran becak dan delman. Juga ada trem kota 
menyusuri jalan raya dari Jatinegara, Senen dan Pintu Besi, di sini bercabang 
ke Jembatan Merah dan Jakarta Kota. Juga ada jalur Kota - Tanah Abang. Trem 
kota itu kadang-kadang beriring-iringan dengan Bus PPD yang waktu itu bercat 
kuning yang sarat dengan penumpang. Yang agak berduit naik oplet. Jalan lingkar 
dalam, termasuk jembatan Semanggi belum ada. Gedung-gedung jangkung juga belum 
ada. Hotel Indonesia baru dibangun tahun 1962. Kegiatan malam orang berduit 
terpusat di Hotel Des Indes di kompleks Duta Merlin saat ini dan Wisma 
Nusantara di Harmoni.

Di Jakarta ini si Samsu dan Isterinya meleburkan diri untuk bertahan hidup dan 
berkembang bersama perantau-perantau Minang lainnya. Ada yang berhasil dan ada 
yang tidak. Si Buyung, Si Samsu dan si Kiah termasuk yang memiliki gen 
orang-orang Minang "mainstream": ulet, hemat dan mempunyai kemampuan untuk 
beradaptasi dengan lingkungan barunya. Mereka ini lah yang bisa bertahan sampai 
saat ini di pasar-pasar tradisional di Jakarta dan Botabek. 


Catatan: Berdasarkan hasil Sensus Penduduk tahun 1981, 10% dari 6,5 juta 
penduduk DKI berasal dari Sumatera Barat. 

Selesai

Darwin Bahar, Depok September 2002


-- 
.
Posting yg berasal dari Palanta RantauNet ini, jika dipublikasikan ditempat 
lain wajib mencantumkan sumbernya: ~dari Palanta r...@ntaunet 
http://groups.google.com/group/RantauNet/~
===========================================================
UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi:
- DILARANG:
  1. Email besar dari 200KB;
  2. Email attachment, tawarkan disini & kirim melalui jalur pribadi; 
  3. One Liner.
- Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/web/peraturan-rantaunet
- Tulis Nama, Umur & Lokasi pada setiap posting
- Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dalam melakukan reply
- Untuk topik/subjek baru buat email baru, tidak dengan mereply email lama 
===========================================================
Berhenti, bergabung kembali serta ingin merubah konfigurasi/settingan 
keanggotaan di: http://groups.google.com/group/RantauNet/subscribe

Kirim email ke