Bung Andrinof, terima kasih atas kolom ini. Dari acara pulang kampung sesekali, 
saya mendapat tiga kesan: 1) tak banyak lagi warga masyarakat yang ketakutan 
terhadap ancaman bencana alam, khususnya ancaman tsunami di kota Padang, dan 
siap menerima nasib bila bencana itu datang; 2) walau Pemerintah Daerah sudah 
memberikan petunjuk teknis mitigasi bencana alam, namun latihan jarang 
dilakukan; 3). koordinasi melembaga antara sesama pemimpin masyarakat dan 
dengan jajaran pemerintahan dalam mitigasi bencana sangat lemah, karena semua 
sibuk dengan urusan masing-masing.
Oleh karena itu dapat diperkirakan bila bencana itu datang - mudah-mudahan 
jangan terjadi hendaknya - korban yang akan jatuh amat banyak. 
Walaupun demikian, sukar dibantah bahwa Sumatera Barat memang menyandang banyak 
masalah moral dan sosial, sedangkan usaha untuk menanganinya oleh jajaran 
kepemimpinan masyarakat sendiri, selain kurang intensif juga kurang efektif. 
Masyarakat Sumatera Barat telah, sedang, dan akan terus berubah, tanpa arah, 
dan tanpa kendali, umumnya ke arah yang tidak kita inginkan. Dalam hubungan ini 
tafsiran bahwa bencana alam merupakan adzab Allah swt dapat difahami, sebagai 
bentuk kekhawatiran yang amat sangat terhadap kemerosotan moral dan ikatan 
sosial.
Saya dapat memahami timbulnya tafsiran demikian, yang sesungguhnya dapat 
didayagunakan oleh para pemimpin masyarakat untuk memotivasi masyarakat utk 
memperbaiki diri dan utk bersiap menghadapi bencana, sesuai dengan sabda Ilahi 
dalam Al Quran s. Ar Ra'd ayat 11 bahwa Allah tak akan mengubah nasib suatu 
bangsa jika bukan bangsa itu sendiri yang mengubahnya.
Tapi, siapa dan dimanakah para pemimpin masyarakat Sumatera Barat itu sekarang 
ini ? Wallahua'lam bissawab.
Wassalam,
SB.
Saafroedin Bahar. Taqdir di tangan Allah swt, nasib di tangan kita.

-----Original Message-----
From: Andrinof A Chaniago <andri...@gmail.com>
Sender: rantaunet@googlegroups.com
Date: Fri, 23 Dec 2011 09:11:29 
To: <RantauNet@googlegroups.com>
Reply-To: rantaunet@googlegroups.com
Subject: [R@ntau-Net] Bencana Alam Bukan Adzab!

Padang Ekspres, 19 Desember 2011



Beriman (yang Berkualitas)

Paska Bencana

Oleh Andrinof A Chaniago

*Anggota Dewan Pakar Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Pusat*



Semenjak Peristiwa Gempa 30 September 2009 (PG 30S09), ancaman bencana
alam, terutama tsunami, telah menjadi bahan yang digemari oleh sejumlah
pendakwah dan pemimpin yang ingin merangkap sebagai ulama. Namun, yang
patut mulai disayangkan dalam menggunakan ancaman bencana sebagai wacana
untuk mengajak orang meningkatkan keimanan adalah munculnya cara beriman
yang tidak menjunjung akal sekaligus tanpa landasan dalil naqli yang tepat
dari Al-Qur’an maupun Hadist. Cara yang tidak menjunjung akal sehat dan
tanpa landasan dalil naqli yang tepat tadi jelas tampak dengann makin
gencarnya sejumlah tokoh mewacanakan bancana alam seperti gempat dahsyat
dan tsunami sebagai adzab dari Allah SWT.

Perhatikanlah pesan yang tertulis di spanduk dengan bunyi berikut ini,
“Menghimbau warga masyarakat  agar selalu meningkatkan keimanan dan
ketakwaan dalam mengurangi risiko bencana dan adzab Allah SWT.” Pesan ini
memang tidak secara tegas menyebut bencana sebagai adzab Allah dan juga
tidak menekankan arti keimanan dan ketaqwaan dalam pada kegiatan
memperbanyak ibadah zikir, membaca Al-Qur’an, membaca Asma’ul Husnah dan
memperbanyak mengerjakan shalat-shalat sunnah. Tetapi, jika dihubungkan
dengan program kegiatan mobilisasi kegiatan keagamaan yang dilakukan
pemerintahan daerah dan isi khotbah-khotbah sejumlah pendakwah di Sumbar,
khususnya di Kota Padang,  pesan spanduk tadi jelas akan memperkuat wacana
yang memaknai bencana alam sebagai adzab Allah. Mungkin sekali, seandainya
saat ini dilakukan survei kepada warga Sumbar atau Kota Padang, sebagian
besar umat yang belum pernah menggali dalil naqli maupun dalil aqli tentang
bencana yang bisa dikategorikan sebagai adzab akan percaya bahwa G30S09
Sumbar dan Tsunami Aceh Desember 2004 adalah adzab dari Allah.

Penulis berharap hasil survei itu tidak demikian. Namun, seandainya survei
menunjukkan anggapan itu memang sudah terjadi pada sebagian kalangan saja,
kalaupun tidak pada sebagian besar umat, maka sudah saat ini kita membedah
wacana bencana yang dimaknai sebagai adzab itu dengan serius. Mengapa
demikian?

Ancaman tsunami telah menjadi wacana yang menutup pikiran umat untuk
beriman dengan ilmu. Kalaupun belum bisa dikategorikan membodohi umat,
wacana yang dikembangkan oleh pemimpin pemerintahan dan sejumlah pendakwah
tentang tsunami cenderung membawa umat kepada pada situasi makin tertinggal
dari umat dan bangsa lain dalam menjalani kehidupan di dunia dengan segala
konsekuensinya.

Tayangan-tayangan gambar berita televisi jelas menunjukkan betapa gempa dan
tsunami Jepang 2011 tidak kalah dahsyatnya dengan gempa dan tsunami yang
dialami warga Aceh NAD pada Desember 2004. Namun, dengan menggunakan akal
yang sudah diwujudkan di dalam sistem, teknologi dan kesadaran warga berkat
hasil sosialisasi yang sistematis, jumlah korban jiwa dari gempa dan
tsunami Jepang hanya sekitar 20.000 jiwa. Sementara tsunami yang melanda
Aceh tahun 2004 dengan jumlah warga yang tinggal di kawasan pantai yang
dilanda bencana tsunami lebih sedikit dibanding Jepang, jumlah korban
jiwanya melebihi 200.000, atau lebih dari sepuluh kali lipat dari korban
tsunami Jepang.

Gempa dan tsunami adalah sunnatullah yang seharusnya dipelajari dengan ilmu
pengetahuan, bukan dihadapi dengan keimanan buta yang merupakan cara
beriman yang tidak sesuai dengan sunnah Rasul. Hadist Nabi jelas
mengingatkan bahwa tidak berguna beriman kalau tidak dengan ilmu.
Sementara, di dalam Al-Qur’an berulang-ulang diingatkan agar kita berpikir,
agar kita berakal, agar kita merenung dan agar kita meneliti kerajaan
langit dan bumi ciptaan Allah. Belum lagi hadist-hadist yang menyuruh umat
agar menuntut ilmu dan menggunakan ilmu untuk kebahagiaan dunia dan akhirat.

Membiarkan, apalagi ikut membuat, umat memaknai suatu gejala alam dengan
menutup minat pada ilmu pengetahuan jelas akan membawa umat kepada kerugian
yang nyata. Jika kita yang bermukim di kawasan-kawasan rawan bencana tidak
berusaha mempelajari hukum-hukum pergerakan alam tentu kita tidak bisa
meminimalisasi dampak yang mengancam jiwa dan harta hasil jerih payah kita
akibat dari kejadian alami itu. Malahan, karena kita tidak memiliki sistem
an teknologi yang diperlukan, sementara ada bangsa lain yang memiliki, kita
terpaksa menjadi bangsa penerima belas kasihan.

Oleh karena itu, menyebarkan wacana yang memaknai bencana akibat pergesekan
besar lempengean bumi, semburan panas dari perut  bumi dan sebagainya
berikut gerak fisika yang ditimbulkannya, sebagai  adzab, jelas membawa
orang beriman tanpa mendatangkan manfaat. Di satu sisi, orang yang menelan
wacana ini mungkin makin percaya pada kekuasaan Allah melalui bumi dan
langit ciptaanNya. Tetapi, di sisi lain, umat yang beriman seperti ini akan
kehilangan kesempatan untuk hidup lebih lama dan lebih aman, karena
kesempatan itu memang diberikan Allah lewat ilmu pengetahuan. Patut
direnungkan juga, apabila cara mengajak beriman seperti ini mengakibatkan
ratusan ribu orang kehilangan kesempatan itu, bagaimana
pertanggungjawabannya kelah di hadapan Allah.

Para pemimpin politik dan pemerintahan, dan para pendakwah, janganlah
menggunakan ukuran yang keliru dalam memperlihatkan kemajuan keimanan umat.
Peningkatan kualitas keimanan bukanlah dari makin banyaknya orang yang
menitikkan air mata karena khusuk berzikir dan membaca asma’ul husnah,
makin ramainya ibu-ibu berkumpul dalam majelis taklim, makin banyaknya
anak-anak sekolah mengikuti pesantren kilat, dan sebagainya. Ukuran yang
lebih penting dalam kemajuan kualitas iman adalah membuat penerapan rukun
iman makin ditopang oleh penggunakan akal sehat dan ilmu yang bermanfaat
bagi orang banyak.

Pemaknaan bencana alam, seperti gempat dahsyat dan tsunami, sebagai adzab
selama ini jelas tidak bisa dicocokkan dengan isi Al-Qur’an yang
menceritakan turunnya adzab Allah kepada sejumlah kaum di jaman nabi-nabi.
Adzab itu memang ada, tetapi jelas berbeda dengan bencana gempa dan tsunami
yang dialami umat dalam beberapa tahun terakhir ini. Gempa dan tsunami itu
tidak bisa disamakan dengan adzab Allah yang diturunkan kepada kaum ‘Ad di
jaman Nabi Nuh, kepada pengikut Fir’aun di jaman Nabi Musa, kepada kaum
Samud atau kepada kaum Lut. Meski adzab itu diberikan dengan menggunakan
kekuatan alam, seperti angin kencang (kaum ‘Ad), hujan batu (kaum Lut),
hujan mahalebat ditambah semburan air dari perut bumi, petir (kaum Samud),
selain laut yang terbelah, semuanya bukan dalam bentuk pergerakan alam yag
berupa mukzizat yang tidak bisa dijelaskan dengan akal manusia. Semuanya
itu berbeda dengan gempa bumi atau tsunami yang dijadikan oleh sejumlah
pemimpin dan pendakwah sebagai tanda-tanda datangnya adzab Allah, bahkan
ada yang langsung mengatakan itu adalah adzab Allah.

Kriteria kaum yang mendapat adzab dengan kekuatan alam yang tidak
terjangkau pikira manusia itu juga jelas disebutkan di dalam Al-Qur’an,
yakni mereka yang melakukan kezaliman, atau perbuatan yang melampaui batas
(lihat QS Al-Qasas: 59, dan Saba’ 17). Semua adzab itu juga dalam rangka
Alllah menolong Rasul-Rasulnya yang hampir putus asa menghadapi orang-orang
musyrik, fasik, kafir dan munafik yang perbuatannya sudah melampaui batas.

Masyarakat Nanggro Aceh Darussalam (NAD) dan masyarakat Sumatera Barat
jelas jauh dari kriteria orang-orang yang patut mendapat adzab seperti itu.
Di samping itu, gempa dan tsunami jelas adalah gejala alam yang bisa
dijelaskan dengan ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan tentang gejala alam
yang logis ini telah dijadikan oleh bangsa-bangsa lain, seperti Jepang,
untuk menggunakan akal mereka lebih lanjut  guna menghasilkan teknologi
pendeteksi gempa dan tsunami, dan ilmu manajemen bencana yang membuat
mereka bisa mengurangi 90 persen korban jiwa apabila ilmu itu tidak
dimiliki dan diterapkan. Apakah kita mau membiarkan umat kita hanya
memiliki kemampuan menyelematkan diri 10 persen seperti yang terjadi di
Aceh, atau yang memiliki kemampuan sebaliknya seperti di Jepang, dengan
kemampuan menyelamatkan diri 90 persen? Pilihan ini banyak bergantung  kepada
para cara pemimpin dan pendakwah mengajak orang beriman setelah umat
mengalami bencana alam.

-- 
.
* Posting yg berasal dari Palanta RantauNet, dipublikasikan di tempat lain 
wajib mencantumkan sumber: ~dari Palanta R@ntauNet 
http://groups.google.com/group/RantauNet/~
* Isi email, menjadi tanggung jawab pengirim email.
===========================================================
UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi:
- DILARANG:
  1. E-mail besar dari 200KB;
  2. E-mail attachment, tawarkan di sini & kirim melalui jalur pribadi; 
  3. One Liner.
- Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di: 
http://forum.rantaunet.org/showthread.php?tid=1
- Tulis Nama, Umur & Lokasi disetiap posting
- Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dlm melakukan reply
- Untuk topik/subjek baru buat email baru, tdk mereply email lama & mengganti 
subjeknya.
===========================================================
Berhenti, bergabung kembali, mengubah konfigurasi/setting keanggotaan di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/

-- 
.
* Posting yg berasal dari Palanta RantauNet, dipublikasikan di tempat lain 
wajib mencantumkan sumber: ~dari Palanta R@ntauNet 
http://groups.google.com/group/RantauNet/~
* Isi email, menjadi tanggung jawab pengirim email.
===========================================================
UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi:
- DILARANG:
  1. E-mail besar dari 200KB;
  2. E-mail attachment, tawarkan di sini & kirim melalui jalur pribadi; 
  3. One Liner.
- Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di: 
http://forum.rantaunet.org/showthread.php?tid=1
- Tulis Nama, Umur & Lokasi disetiap posting
- Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dlm melakukan reply
- Untuk topik/subjek baru buat email baru, tdk mereply email lama & mengganti 
subjeknya.
===========================================================
Berhenti, bergabung kembali, mengubah konfigurasi/setting keanggotaan di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/

Kirim email ke