Assalamu'alaium wr.wb.

Bung Andrinof, kita sering mendengar para Da'I atau Khatib menyampaikan bahwa 
Bencana Alam ( musibah )adalah merupakan Peringatan , Ujian dan Adzab  yang 
diturunkan Allah SWT dan sudah tertulis sebelumnya.di Lauful Mahfud .  
Peringatan, Ujian dan Adzab itu diturunkan Allah sesuai dengan tingkatan 
pelanggaran umat manusia atas perintah2 dan larangan Allah SWT.  Adzab adalah 
tingkat kemarahan Allah SWT yang baru diturunkan kepada umat manusia karena 
Peringatan2 dan Ujian belum juga cukup untuk dipedulikan/diperhatikan.

Kisah -kisah berbagai bencana pada masa nabi-nabi acap kita dengar dari para 
Da'I atau kita baca sendiri didalam Al Qur'an dan selalu ada kaitannya dengan 
pelanggaran2 umat manusia dijamannya termasuk kerusakan moral dan akhlak. Apa 
secara kebetulan, hampir semua bencana yang terjadi di Tanah Air kita ada 
kaitannya dengan pelanggaran2 terhadap perintah dan larangan Allah SWT  , 
seperti Korupsi, melanggar sumpah, berkhianat, dusta, pembunuhan, perzinahan, 
pornografi, perjudian ,minuman keras, Narkoba, illegal loging...dst yang 
semakin marak dewasa ini?  

Saya kira menuntut atau mengembangkan ilmu  juga diperintahkan Allah SWT bukan? 
Mencari harta sebanyak2nya juga dianjurkan tetapi yang halal dan tayyib, bukan 
dengan cara KKN?   Tapi itu juga dilanggar tidak diperhatikan manusia. Titik 
berat tugas para Da'I saya pikir adalah memperbaiki iman ,akhlak dan moral. 
Sedangkan pengembangan ilmu Pengetahuan dan Teknologi  adalah titik berat tugas 
para Cendekiawan Muslim, Namun keduanya harus bersinergi , saling mengisi, 
sebaiknya bukan saling menyalahkan.

Wassalam dan maaf bilo ndak suai.

Asmardi Arbi 70, Kampai, Tangsel.



From: Andrinof A Chaniago 
Sent: Friday, December 23, 2011 9:11 AM
To: RantauNet@googlegroups.com 
Subject: [R@ntau-Net] Bencana Alam Bukan Adzab!


Padang Ekspres, 19 Desember 2011



Beriman (yang Berkualitas)

Paska Bencana

Oleh Andrinof A Chaniago

Anggota Dewan Pakar Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Pusat



Semenjak Peristiwa Gempa 30 September 2009 (PG 30S09), ancaman bencana alam, 
terutama tsunami, telah menjadi bahan yang digemari oleh sejumlah pendakwah dan 
pemimpin yang ingin merangkap sebagai ulama. Namun, yang patut mulai 
disayangkan dalam menggunakan ancaman bencana sebagai wacana untuk mengajak 
orang meningkatkan keimanan adalah munculnya cara beriman yang tidak menjunjung 
akal sekaligus tanpa landasan dalil naqli yang tepat dari Al-Qur’an maupun 
Hadist. Cara yang tidak menjunjung akal sehat dan tanpa landasan dalil naqli 
yang tepat tadi jelas tampak dengann makin gencarnya sejumlah tokoh mewacanakan 
bancana alam seperti gempat dahsyat dan tsunami sebagai adzab dari Allah SWT. 

Perhatikanlah pesan yang tertulis di spanduk dengan bunyi berikut ini, 
“Menghimbau warga masyarakat  agar selalu meningkatkan keimanan dan ketakwaan 
dalam mengurangi risiko bencana dan adzab Allah SWT.” Pesan ini memang tidak 
secara tegas menyebut bencana sebagai adzab Allah dan juga tidak menekankan 
arti keimanan dan ketaqwaan dalam pada kegiatan memperbanyak ibadah zikir, 
membaca Al-Qur’an, membaca Asma’ul Husnah dan memperbanyak mengerjakan 
shalat-shalat sunnah. Tetapi, jika dihubungkan dengan program kegiatan 
mobilisasi kegiatan keagamaan yang dilakukan pemerintahan daerah dan isi 
khotbah-khotbah sejumlah pendakwah di Sumbar, khususnya di Kota Padang,  pesan 
spanduk tadi jelas akan memperkuat wacana yang memaknai bencana alam sebagai 
adzab Allah. Mungkin sekali, seandainya saat ini dilakukan survei kepada warga 
Sumbar atau Kota Padang, sebagian besar umat yang belum pernah menggali dalil 
naqli maupun dalil aqli tentang bencana yang bisa dikategorikan sebagai adzab 
akan percaya bahwa G30S09 Sumbar dan Tsunami Aceh Desember 2004 adalah adzab 
dari Allah. 

Penulis berharap hasil survei itu tidak demikian. Namun, seandainya survei 
menunjukkan anggapan itu memang sudah terjadi pada sebagian kalangan saja, 
kalaupun tidak pada sebagian besar umat, maka sudah saat ini kita membedah 
wacana bencana yang dimaknai sebagai adzab itu dengan serius. Mengapa demikian?

Ancaman tsunami telah menjadi wacana yang menutup pikiran umat untuk beriman 
dengan ilmu. Kalaupun belum bisa dikategorikan membodohi umat, wacana yang 
dikembangkan oleh pemimpin pemerintahan dan sejumlah pendakwah tentang tsunami 
cenderung membawa umat kepada pada situasi makin tertinggal dari umat dan 
bangsa lain dalam menjalani kehidupan di dunia dengan segala konsekuensinya. 

Tayangan-tayangan gambar berita televisi jelas menunjukkan betapa gempa dan 
tsunami Jepang 2011 tidak kalah dahsyatnya dengan gempa dan tsunami yang 
dialami warga Aceh NAD pada Desember 2004. Namun, dengan menggunakan akal yang 
sudah diwujudkan di dalam sistem, teknologi dan kesadaran warga berkat hasil 
sosialisasi yang sistematis, jumlah korban jiwa dari gempa dan tsunami Jepang 
hanya sekitar 20.000 jiwa. Sementara tsunami yang melanda Aceh tahun 2004 
dengan jumlah warga yang tinggal di kawasan pantai yang dilanda bencana tsunami 
lebih sedikit dibanding Jepang, jumlah korban jiwanya melebihi 200.000, atau 
lebih dari sepuluh kali lipat dari korban tsunami Jepang.

Gempa dan tsunami adalah sunnatullah yang seharusnya dipelajari dengan ilmu 
pengetahuan, bukan dihadapi dengan keimanan buta yang merupakan cara beriman 
yang tidak sesuai dengan sunnah Rasul. Hadist Nabi jelas mengingatkan bahwa 
tidak berguna beriman kalau tidak dengan ilmu. Sementara, di dalam Al-Qur’an 
berulang-ulang diingatkan agar kita berpikir, agar kita berakal, agar kita 
merenung dan agar kita meneliti kerajaan langit dan bumi ciptaan Allah. Belum 
lagi hadist-hadist yang menyuruh umat agar menuntut ilmu dan menggunakan ilmu 
untuk kebahagiaan dunia dan akhirat.

Membiarkan, apalagi ikut membuat, umat memaknai suatu gejala alam dengan 
menutup minat pada ilmu pengetahuan jelas akan membawa umat kepada kerugian 
yang nyata. Jika kita yang bermukim di kawasan-kawasan rawan bencana tidak 
berusaha mempelajari hukum-hukum pergerakan alam tentu kita tidak bisa 
meminimalisasi dampak yang mengancam jiwa dan harta hasil jerih payah kita 
akibat dari kejadian alami itu. Malahan, karena kita tidak memiliki sistem an 
teknologi yang diperlukan, sementara ada bangsa lain yang memiliki, kita 
terpaksa menjadi bangsa penerima belas kasihan.

Oleh karena itu, menyebarkan wacana yang memaknai bencana akibat pergesekan 
besar lempengean bumi, semburan panas dari perut  bumi dan sebagainya berikut 
gerak fisika yang ditimbulkannya, sebagai  adzab, jelas membawa orang beriman 
tanpa mendatangkan manfaat. Di satu sisi, orang yang menelan wacana ini mungkin 
makin percaya pada kekuasaan Allah melalui bumi dan langit ciptaanNya. Tetapi, 
di sisi lain, umat yang beriman seperti ini akan kehilangan kesempatan untuk 
hidup lebih lama dan lebih aman, karena kesempatan itu memang diberikan Allah 
lewat ilmu pengetahuan. Patut direnungkan juga, apabila cara mengajak beriman 
seperti ini mengakibatkan ratusan ribu orang kehilangan kesempatan itu, 
bagaimana pertanggungjawabannya kelah di hadapan Allah.

Para pemimpin politik dan pemerintahan, dan para pendakwah, janganlah 
menggunakan ukuran yang keliru dalam memperlihatkan kemajuan keimanan umat. 
Peningkatan kualitas keimanan bukanlah dari makin banyaknya orang yang 
menitikkan air mata karena khusuk berzikir dan membaca asma’ul husnah, makin 
ramainya ibu-ibu berkumpul dalam majelis taklim, makin banyaknya anak-anak 
sekolah mengikuti pesantren kilat, dan sebagainya. Ukuran yang lebih penting 
dalam kemajuan kualitas iman adalah membuat penerapan rukun iman makin ditopang 
oleh penggunakan akal sehat dan ilmu yang bermanfaat bagi orang banyak. 

Pemaknaan bencana alam, seperti gempat dahsyat dan tsunami, sebagai adzab 
selama ini jelas tidak bisa dicocokkan dengan isi Al-Qur’an yang menceritakan 
turunnya adzab Allah kepada sejumlah kaum di jaman nabi-nabi. Adzab itu memang 
ada, tetapi jelas berbeda dengan bencana gempa dan tsunami yang dialami umat 
dalam beberapa tahun terakhir ini. Gempa dan tsunami itu tidak bisa disamakan 
dengan adzab Allah yang diturunkan kepada kaum ‘Ad di jaman Nabi Nuh, kepada 
pengikut Fir’aun di jaman Nabi Musa, kepada kaum Samud atau kepada kaum Lut. 
Meski adzab itu diberikan dengan menggunakan kekuatan alam, seperti angin 
kencang (kaum ‘Ad), hujan batu (kaum Lut), hujan mahalebat ditambah semburan 
air dari perut bumi, petir (kaum Samud), selain laut yang terbelah, semuanya 
bukan dalam bentuk pergerakan alam yag berupa mukzizat yang tidak bisa 
dijelaskan dengan akal manusia. Semuanya itu berbeda dengan gempa bumi atau 
tsunami yang dijadikan oleh sejumlah pemimpin dan pendakwah sebagai tanda-tanda 
datangnya adzab Allah, bahkan ada yang langsung mengatakan itu adalah adzab 
Allah. 

Kriteria kaum yang mendapat adzab dengan kekuatan alam yang tidak terjangkau 
pikira manusia itu juga jelas disebutkan di dalam Al-Qur’an, yakni mereka yang 
melakukan kezaliman, atau perbuatan yang melampaui batas (lihat QS Al-Qasas: 
59, dan Saba’ 17). Semua adzab itu juga dalam rangka Alllah menolong 
Rasul-Rasulnya yang hampir putus asa menghadapi orang-orang musyrik, fasik, 
kafir dan munafik yang perbuatannya sudah melampaui batas.

Masyarakat Nanggro Aceh Darussalam (NAD) dan masyarakat Sumatera Barat jelas 
jauh dari kriteria orang-orang yang patut mendapat adzab seperti itu. Di 
samping itu, gempa dan tsunami jelas adalah gejala alam yang bisa dijelaskan 
dengan ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan tentang gejala alam yang logis ini 
telah dijadikan oleh bangsa-bangsa lain, seperti Jepang, untuk menggunakan akal 
mereka lebih lanjut  guna menghasilkan teknologi pendeteksi gempa dan tsunami, 
dan ilmu manajemen bencana yang membuat mereka bisa mengurangi 90 persen korban 
jiwa apabila ilmu itu tidak dimiliki dan diterapkan. Apakah kita mau membiarkan 
umat kita hanya memiliki kemampuan menyelematkan diri 10 persen seperti yang 
terjadi di Aceh, atau yang memiliki kemampuan sebaliknya seperti di Jepang, 
dengan kemampuan menyelamatkan diri 90 persen? Pilihan ini banyak bergantung  
kepada para cara pemimpin dan pendakwah mengajak orang beriman setelah umat 
mengalami bencana alam.

  


-- 
.
* Posting yg berasal dari Palanta RantauNet, dipublikasikan di tempat lain 
wajib mencantumkan sumber: ~dari Palanta R@ntauNet 
http://groups.google.com/group/RantauNet/~
* Isi email, menjadi tanggung jawab pengirim email.
===========================================================
UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi:
- DILARANG:
1. E-mail besar dari 200KB;
2. E-mail attachment, tawarkan di sini & kirim melalui jalur pribadi; 
3. One Liner.
- Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di: 
http://forum.rantaunet.org/showthread.php?tid=1
- Tulis Nama, Umur & Lokasi disetiap posting
- Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dlm melakukan reply
- Untuk topik/subjek baru buat email baru, tdk mereply email lama & mengganti 
subjeknya.
===========================================================
Berhenti, bergabung kembali, mengubah konfigurasi/setting keanggotaan di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/

-- 
.
* Posting yg berasal dari Palanta RantauNet, dipublikasikan di tempat lain 
wajib mencantumkan sumber: ~dari Palanta R@ntauNet 
http://groups.google.com/group/RantauNet/~
* Isi email, menjadi tanggung jawab pengirim email.
===========================================================
UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi:
- DILARANG:
  1. E-mail besar dari 200KB;
  2. E-mail attachment, tawarkan di sini & kirim melalui jalur pribadi; 
  3. One Liner.
- Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di: 
http://forum.rantaunet.org/showthread.php?tid=1
- Tulis Nama, Umur & Lokasi disetiap posting
- Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dlm melakukan reply
- Untuk topik/subjek baru buat email baru, tdk mereply email lama & mengganti 
subjeknya.
===========================================================
Berhenti, bergabung kembali, mengubah konfigurasi/setting keanggotaan di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/

Kirim email ke