[Keuangan] Kursus Teknik Investigative Reporting

2009-11-24 Terurut Topik siti nurasiah


KURSUS TEKNIK PELIPUTAN INVESTIGASI
26 – 30 Januari 2010

Investigative
reporting adalah salah satu genre dalam jurnalisme dimana si reporter
memakai metode tertentu guna membuktikan kesalahan seseorang atau
sekelompok orang. Karya investigasi awal dipelopori Ida Tarbell
(1857–1944) dari majalah McClure’s Magazine.
Pada 1902, Tarbell menurunkan serial laporan tentang monopoli
perusahaan Standard Oil Company. Laporan tersebut, belakangan dijadikan
buku, mendorong Mahkamah Agung Amerika Serikat memerintahkan perusahaan itu 
dibagi dua. 

Dalam “The Elements of Journalism” (April 2001) karya Bill Kovach dan Tom 
Rosenstiel, investigative reporting merupakan
artikulasi dari elemen kelima jurnalisme yang bertugas “memantau
kekuasaan dan menyambung lidah mereka yang tertindas.” Praktiknya
sinonim dalam kerangka ikut menegakkan demokrasi. Si penulis berhasil
menunjukkan siapa yang salah, siapa yang melakukan pelanggaran hukum,
yang seharusnya jadi terdakwa, dalam suatu kejahatan publik yang
sebelumnya dirahasiakan.

Pelatihan ini dirancang untuk memahami
sejarah, prosedur dan elemen dari liputan khusus tersebut. Peserta akan
belajar dari studi-studi kasus korupsi yang dibawakan oleh instruktur.
Peserta juga belajar cara pengamatan serta teknik-teknik atau
metodologi reportase investigasi, serta bagaimana menuliskan hasil
liputannya.
Kursus
diadakan 10 sesi dengan frekuensi setiap hari dua sesi (pukul
10.00-12.00 dan 13.00-15.00), termasuk satu sesi dengan pembicara tamu.
Tempat di kantor Yayasan Pantau, Jalan Raya Kebayoran Lama 18 CD, Jakarta 
Selatan.


INSTRUKTUR

George Junus Aditjondro
– peneliti kawakan, sejak 1980-an terlibat dalam aktivisme lingkungan
dan hak-hak masyarakat terpinggirkan secara politik terutama di Papua
Barat, Timor Leste dan Aceh. Pada 1990-an meneliti harta-harta keluarga
Soeharto. Pada 1996, di Universitas  Newcastle, Australia,
mengembangkan matakuliah sosiologi korupsi dan sosiologi
gerakan-gerakan kemerdekaan pasca kolonial. Pada 2000-an, aktivismenya
disalurkan di Sulawesi. Kini mukim di Yogyakarta dan pengajar tamu di 
Universitas Sanata Dharma.

Hermien Y Kleden – Wakil redaktur eksekutif Majalah Tempo.
Pada 2009 mendapatkan penghargaan SK Trimurti Award atas
“konsistensinya menyebarkan kebebasan informasi di tempatnya bekerja. 


PEMBICARA TAMU

Hendri Saparini – Ekonom Universitas Indonesia, direktur Econit, yang kritis 
terhadap kebijakan politik ekonomi pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono.

Otto Syamsuddin Ishak – Sosiolog Universitas Syah Kuala, Banda Aceh
 dan ketua harian CORDOVA, lembaga swadaya masyarakat
yang didirikan pada 1990. Ia peneliti hak-hak asasi manusia dari
Imparsial. Buku-bukunya, antara lain, Dari Maaf ke Panik Aceh (tiga
serial), Peristiwa Idi Cut, Aceh: Dari tragedi ke impunitas (2001),
serta kumpulan kolom Bandar: Refleksi tentang Aceh (2005).


SYARAT DAN BIAYA

Peserta
diutamakan wartawan yang sudah bekerja minimal 3 tahun. Bisa juga
penulis yang punya minat khusus terhadap jenis reportase ini. Ia pun
tak terbatas untuk para aktivis yang pekerjaan di lembaganya
sehari-hari berurusan dengan isu-isu korupsi, kejahatan hak asasi manusia,  
maupun isu pertambangan atau kerusakan lingkungan. Biaya kursus Rp 2,5  juta. 


PESERTA

Peserta
dibatasi 20 orang untuk memudahkan lalu-lintas diskusi dalam kelas.
Peserta diharapkan mengirim biodata agar instruktur bisa mengenal
background masing-masing. Peserta juga diminta mempelajari dan membaca
materi kursus dan mengerjakan tugas berupa latihan pengamatan, riset
internet serta membuat outline. 


WAKTU 

Dari 26 hingga 30 Januari 2010. Setiap hari berisi dua sesi, 10.00 – 12.00 dan 
13.00 – 15.00, dengan jeda makan siang satu jam. 


TEMPAT

Yayasan Pantau, Jl. Raya Kebayoran Lama 18 CD, Jakarta Selatan 12220. 
Telp: 021 – 722 1031/ Fax: 021 – 722 1055.


Informasi lebih lanjut sila hubungi:



Siti Nurrofiqoh 
Program Officer 
P a n t a u
Jl. Raya Kebayoran Lama
No 18 CD Jakarta Selatan 12220
Telp/Fax. 021
 722-1031/021- 7221055
Website. www.pantau.or. id
Mobile. 0813 82 460 455 – 0817 644 8477


  Lebih Bersih, Lebih Baik, Lebih Cepat - Rasakan Yahoo! Mail baru yang 
Lebih Cepat hari ini! http://id.mail.yahoo.com

[Non-text portions of this message have been removed]



Re: [Keuangan] AIG and Systemic Risk: Memang Tak Mudah Melakukan Bail-Out

2009-11-24 Terurut Topik Wahyoe Soedarmono


Yang diperlukan tentunya adalah kebijakan manajemen kredit perbankan 

yang bersifat counter-cyclical, yaitu pengetatan saat ekonomi sangat 

bagus - dan pelonggaran saat ekonomi memburuk.

Setidaknya ada dua mekanisme agar manajamen kredit (kapital) tdk pro-siklis. 
Penelitian saya untuk perbankan di Indonesia sejak 2004-2007 menggunakan 
monthly data, menunjukkan bahwa bank-bank besar dan bank yang lebih terikat 
dengan aktivitas pasar finansial cenderung mengurangi modal saat ekonomi turun 
(sehingga meningkatkan alokasi kredit) dan meningkatkan modal saat ekonomi naik 
(untuk berjaga-jaga terhadap risiko kredit di saat boom). 

Konsolidasi bank-bank kecil dan penguatan disiplin pasar menjadi penting. Di 
Indonesia, pasar finansial sudah mulai bekerja dengan baik untuk mendisiplinkan 
bank agar risk management tidak procyclical. Tetapi, BI nampaknya belum memulai 
memikirkan penguatan market discipline ini sampai dengan 2010. 

Salam,


Wahyoe Soedarmono
PhD candidate, specialised in Banking  Corporate Finance
Teaching Assistant at the Department of Economics
Université de Limoges, France



--- On Mon, 11/23/09, Poltak Hotradero hotrad...@gmail.com wrote:

From: Poltak Hotradero hotrad...@gmail.com
Subject: Re: [Keuangan] AIG and Systemic Risk: Memang Tak Mudah  Melakukan  
Bail-Out
To: AhliKeuangan-Indonesia@yahoogroups.com
Date: Monday, November 23, 2009, 10:54 PM







 



  



  
  
  At 12:23 PM 11/24/2009, you wrote:



Resiko kredit sangat mudah mengalami underestimasi, karena bersifat 

pro-cyclical.

Ketika ekonomi sedang bagus, maka portofolio kredit akan kelihatan 

bagus-bagus sehingga resiko terlihat lebih kecil dari sebenarnya.  Di 

saat ekonomi bagus, bank pun dapat dengan lebih mudah menggalang dana 

- mulai dari right issue sampai dengan penerbitan obligasi dan subdebt.



Sementara pada saat ekonomi terganggu - maka dengan cepat kredit yang 

asalnya kelihatan bagus, menjadi terlihat jelek (dan biasanya menjadi 

jelek secara menyuluruh)- - dan provisi/pencadangan di level perbankan 

akan meningkat.   Padahal semakin tinggi provisi, maka semakin kecil 

juga ruang yang tersedia bagi perbankan untuk memperbaiki profil 

portofolio mereka.  Padahal justru di keadaan seperti itulah paling 

sulit untuk melakukan penggalangan dana -- mau right issue harga 

sahamnya langsung jeblok dan bisa-bisa nggak laku...  mau terbitkan 

obligasi -- bunganya malah bisa jadi lebih tinggi dari seharusnya -- 

mau terbitkan subdebt -- bisa lebih nggak mungkin lagi.



Bank memang selalu dalam posisi ekstreme -- pas ekonomi bagus banjir 

duit -- tetapi pas ekonomi jelek, bukan cuma duitnya seret (karena 

ditarik nasabah) -- tetapi kredit yang sudah disalurkan pun bisa 

macet, padahal modal makin cekak...



Yang diperlukan tentunya adalah kebijakan manajemen kredit perbankan 

yang bersifat counter-cyclical, yaitu pengetatan saat ekonomi sangat 

bagus - dan pelonggaran saat ekonomi memburuk.



Tetapi seperti yang terjadi saat Great Depression -- kita tidak 

pernah tahu kapan dan di mana batas ekonomi memburuk dan akan sampai kapan



Arsip Milis AKI online, demi kenyamanan Anda semua

http://www.mail-archive.com/ahlikeuangan-indonesia@yahoogroups.com

=

Perhatian :

- Untuk kenyamanan bersama, dalam hal me-reply posting, potong/edit ekor 
posting sebelumnya

- Diskusi yg baik adalah bila saling menghormati pendapat yang ada. Anggota 
yang melanggar tata tertib millis akan dikenakan sanksi tegas

- Saran, kritik dan tulisan untuk blog silahkan 
ahlikeuangan-indonesia-ow...@yahoogroups.com  




  MARKETPLACE
  
  
Parenting Zone: Your community resource for family and home 
  
  

  

  
  Switch to: Text-Only, Daily Digest • Unsubscribe • Terms of Use




   

  
  
  



 




 

  .


   





 



  






  

[Non-text portions of this message have been removed]



[Keuangan] Trs: [LISI] FW: Testimoni Sri Mulyani: Saya tak mau dibui (Senjakala Para Ekonom Neoliberal?)

2009-11-24 Terurut Topik prastowo prastowo




- Pesan Diteruskan 
Dari: arif.hars...@t-online.de arif.hars...@t-online.de
Kepada: temu_eropa temu_er...@yahoogroups.com; JKI 
jaringan-kerja-indone...@googlegroups.com; LISI l...@yahoogroups.com; 
indonesia_damai indonesia_da...@yahoogroups.com
Terkirim: Sel, 24 November, 2009 14:32:17
Judul: [LISI] FW: Testimoni Sri Mulyani: Saya tak mau dibui (Senjakala Para 
Ekonom Neoliberal?)

  

http://www.inilah. com/berita/ politik/2009/ 11/24/184553/ testimoni-
sri-mulyani- saya-tak- mau-dibui/

INILAH.com,
24.11.2009

Testimoni Sri Mulyani: Saya Tak Mau Dibui

INILAH.COM, Jakarta - Ada pengakuan menarik soal sikap Menteri Keuangan
Sri Mulyani terhadap kasus Bank Century. Bahwa, dalam kapasitas sebagai
pengambil keputusan pengucuran dana Century, dia tidak mau dipenjara.
Karena itu, Sri Mulyani mengungkapkan bahwa dia telah ditipu.
Pengakuan Sri Mulyani ini diungkapkan oleh Johan Silalahi dari Negarawan
Center dalam diskusi Chat after lunch di FX Plasa, Senayan, Jakarta,
Selasa (24/11).

''Saya sampaikan ke temen-temen media, bahwa pengakuan dari Sri Mulyani
sudah keluar. 
Saya kutip itu dan saya sampaikan di situ secara terbuka. Yaitu, dalam
kasus Bank Century ini dia tidak tahu. Tepatnya, dia tertipu. Sri
Mulyani sendiri sudah pernah ditanya oleh seorang pejabat negara, dalam
kasus Century: kamu mau dipenjara atau tidak?''

Nah, menurut Johan, saat itulah muncul pengakuan dari Sri Mulyani bahwa
dia tak mau dipenjara. Karena itu, muncul pengakuan bahwa dia (Sri
Mulyani) merasa ditipu dalam pengambilan keputusan bail out kasus Bank
Century oleh Bank Indonesia.

''Itulah yang mesti dipertanyakan, kenapa orang seperti Sri Mulyani,
yang dikenal sangat taat azas, bahkan untuk urusan uang Rp 20 miliar
saja bisa sangat teliti, tiba-tiba menjadi begitu tidak prudent-nya
dalam memutuskan pengucuran dana Rp 6,7 triliun,'' kata Johan.
Ditambah lagi, pengucuran itu dilakukan pada hari Minggu. ''Ini
benar-benar aneh. Pengucuran dana dilakukan di luar hari kerja,'' kata
Johan.

Karena itu, Johan menyebut bahwa kasus Bank Century adalah skandal
kenegaraan. ''Ini arahnya sudah jelas, bahwa yang harus bertanggung
jawab adalah Menteri Keuangan sebagai Ketua Komite Stabilitas Sistem
Keuangan, dan Boediono sebagai Gubernur Bank Indonesia ketika itu,''
kata Johan.

Diskusi yang digelar oleh Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia ini,
dipandu oleh dosen FE-UI, Taufik Bahaudin. 
Selain Johan, staf pengajar ekonomi UI, Berly Martawardaya, juga sepakat
dengan Johan. 
Bahwa, terjadi rekayasa dalam kasus Bank Century. ''Sebab, dari kacamata
akademisi, jelas sekali ada standar untuk menentukan Bank Gagal yang
berimplikasi sistemik,'' katanya.

Artinya, apa yang tejadi pada bail-out Century, terlalu banyak indikasi
penyimpangan. Terutama yang berkaitan dengan kebijakan penentuan
pemberian dana talangan.
Irman Putra Sidi, pengamat hukum tata negara, yang juga hadir dalam
diskusi sebagai pembicara, sudah jelas alur dari kasus Bank Century ini.

''Kemarin, ada dua peristiwa penting yang menunjukkan pada kita bahwa
memang terjadi skandal di dalam tata kenegaraan kita. Yaitu, sikap
Demokrat yang tiba-tiba mendukung Hak Angket. Yang kedua, yaitu pidato
Presiden SBY, khususnya soal Bank Century. Di situ sudah jelas, bahwa
sikap Presiden terhadap dana Century adalah menyebut dana itu sebagai
dana haram,'' katanya.
Artinya, kasus Century ini akan terus bergulir. Karena itu, Firman
melihat:''Jika alurnya mulus, maka jelas bahwa Hak Angket akan terus
bergulir. Ada ketidaklaziman di tubuh pemerintahan karena adanya kasus
Bank Century itu. 
Sekali lagi, kalau alurnya mulus, maka sudah jelas bahwa arah Hak Angket
adalah impeachment terhadap Menteri 
Keuangan dan Gubernur BI saat itu. Maka, kita tinggal menunggu saja
untuk memiliki Wakil Presiden yang baru,'' kata Irman.[ims]

***





  Akses email lebih cepat. Yahoo! menyarankan Anda meng-upgrade browser ke 
Internet Explorer 8 baru yang dioptimalkan untuk Yahoo! Dapatkan di sini! 
http://downloads.yahoo.com/id/internetexplorer

[Non-text portions of this message have been removed]



Re: [Keuangan] Trs: [LISI] FW: Testimoni Sri Mulyani: Saya tak mau dibui (Senjakala Para Ekonom Neoliberal?)

2009-11-24 Terurut Topik Tigor J. Siagian
Ah... Muncul lagi Johan Silalahi...
Walau mungkin akan disanggah dengan flaw Ad hominem... Apakah kredibel ya 
ucapan org yg jelas2 memfabrikasi survey?

Apakah ini tanda2 sekuel 'back with vengeance'? Semakin banyak yg jump into the 
wagon... 

Cape deh...
Sent using BlackBerry® 9000
Powered by Telkomsel

-Original Message-
From: prastowo prastowo sesaw...@yahoo.com
Date: Wed, 25 Nov 2009 09:55:46 
To: keuangan milisAhliKeuangan-Indonesia@yahoogroups.com
Subject: [Keuangan] Trs: [LISI] FW: Testimoni Sri Mulyani: Saya tak mau dibui 
(Senjakala Para Ekonom Neoliberal?)





- Pesan Diteruskan 
Dari: arif.hars...@t-online.de arif.hars...@t-online.de
Kepada: temu_eropa temu_er...@yahoogroups.com; JKI 
jaringan-kerja-indone...@googlegroups.com; LISI l...@yahoogroups.com; 
indonesia_damai indonesia_da...@yahoogroups.com
Terkirim: Sel, 24 November, 2009 14:32:17
Judul: [LISI] FW: Testimoni Sri Mulyani: Saya tak mau dibui (Senjakala Para 
Ekonom Neoliberal?)

  

http://www.inilah. com/berita/ politik/2009/ 11/24/184553/ testimoni-
sri-mulyani- saya-tak- mau-dibui/

INILAH.com,
24.11.2009

Testimoni Sri Mulyani: Saya Tak Mau Dibui

INILAH.COM, Jakarta - Ada pengakuan menarik soal sikap Menteri Keuangan
Sri Mulyani terhadap kasus Bank Century. Bahwa, dalam kapasitas sebagai
pengambil keputusan pengucuran dana Century, dia tidak mau dipenjara.
Karena itu, Sri Mulyani mengungkapkan bahwa dia telah ditipu.
Pengakuan Sri Mulyani ini diungkapkan oleh Johan Silalahi dari Negarawan
Center dalam diskusi Chat after lunch di FX Plasa, Senayan, Jakarta,
Selasa (24/11).

''Saya sampaikan ke temen-temen media, bahwa pengakuan dari Sri Mulyani
sudah keluar. 
Saya kutip itu dan saya sampaikan di situ secara terbuka. Yaitu, dalam
kasus Bank Century ini dia tidak tahu. Tepatnya, dia tertipu. Sri
Mulyani sendiri sudah pernah ditanya oleh seorang pejabat negara, dalam
kasus Century: kamu mau dipenjara atau tidak?''

Nah, menurut Johan, saat itulah muncul pengakuan dari Sri Mulyani bahwa
dia tak mau dipenjara. Karena itu, muncul pengakuan bahwa dia (Sri
Mulyani) merasa ditipu dalam pengambilan keputusan bail out kasus Bank
Century oleh Bank Indonesia.

''Itulah yang mesti dipertanyakan, kenapa orang seperti Sri Mulyani,
yang dikenal sangat taat azas, bahkan untuk urusan uang Rp 20 miliar
saja bisa sangat teliti, tiba-tiba menjadi begitu tidak prudent-nya
dalam memutuskan pengucuran dana Rp 6,7 triliun,'' kata Johan.
Ditambah lagi, pengucuran itu dilakukan pada hari Minggu. ''Ini
benar-benar aneh. Pengucuran dana dilakukan di luar hari kerja,'' kata
Johan.

Karena itu, Johan menyebut bahwa kasus Bank Century adalah skandal
kenegaraan. ''Ini arahnya sudah jelas, bahwa yang harus bertanggung
jawab adalah Menteri Keuangan sebagai Ketua Komite Stabilitas Sistem
Keuangan, dan Boediono sebagai Gubernur Bank Indonesia ketika itu,''
kata Johan.

Diskusi yang digelar oleh Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia ini,
dipandu oleh dosen FE-UI, Taufik Bahaudin. 
Selain Johan, staf pengajar ekonomi UI, Berly Martawardaya, juga sepakat
dengan Johan. 
Bahwa, terjadi rekayasa dalam kasus Bank Century. ''Sebab, dari kacamata
akademisi, jelas sekali ada standar untuk menentukan Bank Gagal yang
berimplikasi sistemik,'' katanya.

Artinya, apa yang tejadi pada bail-out Century, terlalu banyak indikasi
penyimpangan. Terutama yang berkaitan dengan kebijakan penentuan
pemberian dana talangan.
Irman Putra Sidi, pengamat hukum tata negara, yang juga hadir dalam
diskusi sebagai pembicara, sudah jelas alur dari kasus Bank Century ini.

''Kemarin, ada dua peristiwa penting yang menunjukkan pada kita bahwa
memang terjadi skandal di dalam tata kenegaraan kita. Yaitu, sikap
Demokrat yang tiba-tiba mendukung Hak Angket. Yang kedua, yaitu pidato
Presiden SBY, khususnya soal Bank Century. Di situ sudah jelas, bahwa
sikap Presiden terhadap dana Century adalah menyebut dana itu sebagai
dana haram,'' katanya.
Artinya, kasus Century ini akan terus bergulir. Karena itu, Firman
melihat:''Jika alurnya mulus, maka jelas bahwa Hak Angket akan terus
bergulir. Ada ketidaklaziman di tubuh pemerintahan karena adanya kasus
Bank Century itu. 
Sekali lagi, kalau alurnya mulus, maka sudah jelas bahwa arah Hak Angket
adalah impeachment terhadap Menteri 
Keuangan dan Gubernur BI saat itu. Maka, kita tinggal menunggu saja
untuk memiliki Wakil Presiden yang baru,'' kata Irman.[ims]

***





  Akses email lebih cepat. Yahoo! menyarankan Anda meng-upgrade browser ke 
Internet Explorer 8 baru yang dioptimalkan untuk Yahoo! Dapatkan di sini! 
http://downloads.yahoo.com/id/internetexplorer

[Non-text portions of this message have been removed]




[Non-text portions of this message have been removed]



Trs: Bls: [Keuangan] Trs: [LISI] FW: Testimoni Sri Mulyani: Saya tak mau dibui (Senjakala Para Ekonom Neoliberal?)

2009-11-24 Terurut Topik prastowo prastowo






Mungkin bukan soal Johan Silalahinya, tetapi benarkah testimoni SMI ini? Jika 
ini benar, maka akan makin benderang masalahnya. Soal sistemik atau tidak, 
kawan2 di milis ini sudah lebih ahli dan akurat untuk membahasnya, tetapi yang 
jadi soal adalah apakah keputusan ini sistemik sudah sesuai dg koridor yang ada?
Benar bahwa keputusan itu selalu berisiko, dan ini risiko pemimpin (bukan 
sekedar manajer). Dalam situasi krisis, yang berdaulat adalah ia yang berani 
ambil keputusan. Jika itu dipermasalahkan, semoga menjadi pembuka transparansi 
dan diskusi ruang publik. Yang perlu dikawal adalah kemungkinan dagang sapi dlm 
angket DPR.

Bung Tigor juga bisa membaca di situ, bahwa ada satu ekonom UI dan ahli hukum 
yang berpendapat sama. Apa pun itu, babak baru rasanya sudah dimulai, kita 
nantikan saja.

salam,


pras





Dari: Tigor J. Siagian t.siag...@gmail.com
Kepada: prastowo prastowo sesaw...@yahoo.com; Milis Keuangan 
AhliKeuangan-Indonesia@yahoogroups.com
Terkirim: Sel, 24 November, 2009 18:00:32
Judul: Re: [Keuangan] Trs: [LISI] FW: Testimoni Sri Mulyani: Saya tak mau dibui 
(Senjakala Para Ekonom Neoliberal?)

Ah... Muncul lagi Johan Silalahi...
Walau mungkin akan disanggah dengan flaw Ad hominem... Apakah kredibel ya 
ucapan org yg jelas2 memfabrikasi survey?

Apakah ini tanda2 sekuel 'back with vengeance'? Semakin banyak yg jump into the 
wagon... 

Cape deh... 
Sent using BlackBerry® 9000
Powered by Telkomsel


From: prastowo prastowo sesaw...@yahoo.com 
Date: Wed, 25 Nov 2009 09:55:46 +0800 (SGT)
To: keuangan milisAhliKeuangan-Indonesia@yahoogroups.com
Subject: [Keuangan] Trs: [LISI] FW: Testimoni Sri Mulyani: Saya tak mau dibui 
(Senjakala Para Ekonom Neoliberal?)
  



***

Akses email lebih cepat. Yahoo! menyarankan Anda meng-upgrade browser ke 
Internet Explorer 8 baru yang dioptimalkan untuk Yahoo! Dapatkan di sini! 
http://downloads. yahoo.com/ id/internetexplo rer

[Non-text portions of this message have been removed]




Dapatkan nama yang Anda sukai! 
Sekarang Anda dapat memiliki email di @ymail.com dan @rocketmail.com.


  Lebih aman saat online. Upgrade ke Internet Explorer 8 baru dan lebih 
cepat yang dioptimalkan untuk Yahoo! agar Anda merasa lebih aman. Gratis. 
Dapatkan IE8 di sini! 
http://downloads.yahoo.com/id/internetexplorer/

[Non-text portions of this message have been removed]



Re: Trs: Bls: [Keuangan] Trs: [LISI] FW: Testimoni Sri Mulyani: Saya tak mau dibui (Senjakala Para Ekonom Neoliberal?)

2009-11-24 Terurut Topik Poltak Hotradero
At 09:11 AM 11/25/2009, you wrote:




Mungkin bukan soal Johan Silalahinya, tetapi benarkah testimoni SMI 
ini? Jika ini benar, maka akan makin benderang masalahnya.

Bagaimana jika Johan Silalahi salah?
Bagaimana kalau Johan Silalahi salah baca?
Bagaimana kalau dokumennya salah?
Bagaimana kalau wartawannya yang salah ngutip?  (dan ini sering 
terjadi di situs tsb.)
Bagaimana kalau wartawannya mengambil kesimpulan sendiri?

Untuk setiap jika -- selalu ada jika lainnya.

Soal sistemik atau tidak, kawan2 di milis ini sudah lebih ahli dan 
akurat untuk membahasnya, tetapi yang jadi soal adalah apakah 
keputusan ini sistemik sudah sesuai dg koridor yang ada?
Benar bahwa keputusan itu selalu berisiko, dan ini risiko pemimpin 
(bukan sekedar manajer). Dalam situasi krisis, yang berdaulat adalah 
ia yang berani ambil keputusan. Jika itu dipermasalahkan, semoga 
menjadi pembuka transparansi dan diskusi ruang publik. Yang perlu 
dikawal adalah kemungkinan dagang sapi dlm angket DPR.

Bung Tigor juga bisa membaca di situ, bahwa ada satu ekonom UI dan 
ahli hukum yang berpendapat sama. Apa pun itu, babak baru rasanya 
sudah dimulai, kita nantikan saja.


Saya kenal dengan Berly - dan saya tahu arah-nya dia di Indef.

Masalahnya, apakah Berly benar-benar memperoleh semua informasi 
secara cukup dan memperoleh informasi yang benar secara utuh?  Apakah 
semua tersaji secara kontekstual?

(BPK punya informasi lebih lengkap - tetapi tidak kontekstual -- 
masak iya nolong bank setengah-setengah?  Menolong bank secara 
setengah-setengah itu justru lebih berbahaya - karena signalling yang 
terjadi adalah ketidak cukupan resources pemerintah dalam mem-bail 
out suatu bank).  Sekali suatu suatu bail out terjadi -- harus sampai 
tuntas.  Itu sebabnya Citigroup, AIG, GMAC di-bail out sampai 
beberapa ronde...  Dalam kasus Citigroup malah sampai tiga kali...)

Kita di sini berhadapan dengan information cascading -- di mana 
kesimpulan dan tindakan dicapai lewat informasi yang tidak utuh.





Re: Bls: Trs: Bls: [Keuangan] Trs: [LISI] FW: Testimoni Sri Mulyani: Saya tak mau dibui (Senjakala Para Ekonom Neoliberal?)

2009-11-24 Terurut Topik Poltak Hotradero
At 10:11 AM 11/25/2009, you wrote:


Betul Bang Poltak,
Maka biarkan saja jika menjadi kata penghubung 
bagi proses ini, entah apa nanti hasil akhirnya, 
sebaiknya kita tidak a priori, baik kita pro 
atau kontra. Mengapa PD akhirnya mendukung? 
karena nalar publik ke sana, lalu lebih baik 
tidak melawan nalar publik ataukah alasan lain? Ini jg harus jelas.

Soal Berly, itu juga sah-sah saja Anda 
mengatribusi demikian, meski kita berharap 
diskursus lebih pada argumennya apa, bukan siapa 
Berly ( konon 'correlation but not causation', 
Berly bicara itu mungkin terkait bahwa dia orang 
Indef, tapi tak serta merta karena ia orang Indef harus bicara demikian ).

Lha, saya membahas mengenai Berly lebih pendek daripada komentar anda.


Tadi pagi di 68H, ada wawancara jg dg Hendri 
Saparini dan Firdaus Jaelani ( LPS ). Saya kira 
tetap akan ada kejutan-kejutan, termasuk 
pertanyaan Henri, bagaimana dg kebijakan LPS 
soal pengucuran Rp 2 T (cmiiw) usai Perppu tidak 
disetujui DPR, apa landasan hukumnya? Ini saya 
kira jg persoalan yg patut didiskusikan lebih lanjut.


Saya kira, yang sering luput dari perhatian 
adalah Apa yang terjadi kalau LPS tidak menolong 
Bank Century?  Apakah ada jaminan bahwa masyarakat tetap tenang?

Tidakkah dibiarkan kolapsnya suatu bank akan 
memunculkan pertanyaan lanjutan dalam benak 
masyarakat:   Who's next?  Siapa lagi yang akan dibiarkan kolaps?

Pertanyaan tersebut tidak relevan dengan keadaan 
Bank Century (entah itu bank busuk atau tidak)-- 
tetapi menjadi sangat relevan dengan bank-bank 
lainnya yang dalam posisi limbung.  Setidaknya ada 23 bank lainnya.

Bila Bank Century ditolong - maka pertanyaan 
Who's Next? tidak bermakna lagi -- dan itu 
berarti 23 bank lain dalam keadaan selamat...




[Keuangan] Perdebatan tentang Century di Facebook

2009-11-24 Terurut Topik Poltak Hotradero
Ini potongan debat saya dengan Martin Panggabean.




Poltak Hotradero
Saya TIDAK sependapat.

Keputusan ekonomi adalah SELALU keputusan sulit. Tapi memang 
keputusan HARUS diambil.

Penyelesaian secara hukum bisa saja dilakukan tanpa harus ada yang 
mundur. Apalagi posisi Menteri Keuangan yang memang prioritas 
tanggung jawabnya terkait pelaksanaan Anggaran Negara

Keputusan LPS membail out Bank Century adalah keputusan yang BENAR

Apa yang terjadi kalau LPS tidak menolong Bank Century? Apakah ada 
jaminan bahwa masyarakat tetap tenang? Siapa yang mampu menjamin? Di 
tengah harga SUN saja anjlok 30%...? Di tengah capital flight USD 5 
Milyar? Di tengah ekspor yang jeblok?

Tidakkah dibiarkan kolapsnya suatu bank akan memunculkan pertanyaan 
lanjutan dalam benak masyarakat: Who's next? Bank mana lagi yang 
akan dibiarkan kolaps?

Pertanyaan tersebut tidak relevan dengan keadaan Bank Century (entah 
itu bank busuk atau tidak)-- tetapi menjadi sangat relevan dengan 
bank-bank lainnya yang dalam posisi limbung. Setidaknya ada 23 bank lainnya.

Bila Bank Century ditolong - maka pertanyaan Who's Next? tidak 
bermakna lagi -- dan itu berarti 23 bank lain terselamatkan...



Martin Panggabean
Lha poltak, kalau kamu memamg bilang bank busuk, kenapa musti 
diselamatkan? Argumentasimu mengandalkan pd isyu TIMING yg tdk tepat 'kan?
Juga, reaksi masyarakat tdk bisa kamu prediksi. Jangan2 mereka 
berfikir: hebat pemerintah kita percaya diri jd memang ekonomi kita 
kuat  masy tdk perlu kuatir. Bisa saja begitu reaksinya 'kan?
Bagaimana kalau faktanya KSSK tau bhw biayanya 6.5tn tapi krn takut 
tdk bisa dijusl ke DPR maka diperhalus jd cuma 650bio ug toh nanti 
membengkak jd 6.5tn? Ini artinya sengaja berbohong. Kalo sdh 
berbohong, maka century jd tdk layak diselamatkan dong...
Terakhir, keputusan menyelamatkan itu buksn isyu ekonomi, tapi ranah 
politik jd ada tanggung-jawab politik. Jd keputusan politik diambil 
dgn info ekonomi yg menyesatkan. Ya salah dong...




@Martin: coba kita lihat apa yang terjadi pada krisis tahun lalu.

Inggris tidak pernah mengalami bank rush sejak tahun 1870 - tetapi 
tahun 2008 terjadi rush di Northern Rock. Itu masih ditambah dengan 
rush di Bank RBS, yang likuiditasnya terancam habis dalam hitungan 
jam. Padahal itu semua sudah pakai garansi BOE.

Lalu kita lihat juga apa yang terjadi pada Bank of East Asia di Hong 
Kong, yang di-rush bulan September 2008 hanya karena penyebaran pesan SMS.

Apa iya, nasabah bank di Indonesia sedemkian tenangnya? Ternyata 
tidak. Kita yang di pasar modal tahu beberapa bank dalam tekanan 
besar akan likuiditas. Bisa dilihat dari lapkeu akhir tahun 2008, 
dibandingkan dengan posisi Q2 dan Q3 2008. Dan ini juga berarti 
bank-bank yang lebih kecil pun mengalami tekanan.

Hanya perlu sedikit pemicu sebelum rush terjadi. Dalam kasus Bank of 
East Asia cuma diperlukan pesan SMS.

Saya TIDAK PERCAYA kalau dibilang nasabah umum di Indonesia lebih 
pandai atau lebih rasional daripada nasabah di Inggris ataupun Hong 
Kong. Kalau mereka lebih percaya, lantas kenapa mayoritas tenor 
deposito di perbankan kita cuma 1-3 bulan saja?

Dan bila rush bisa terjadi di Inggris atau Hong Kong -- APA ALASANNYA 
tidak bisa terjadi di Indonesia?



@Martin : Tentang biaya bail out, akan menjadi relatif. Dalam situasi 
yang tidak menentu -- harga SUN saja mengalami swing sedemikian 
hebatnya. CDS Indonesia bulan September 2008 melonjak sampai 10x 
lipat dari posisi Januari 2008.

Apa iya ongkos diperkirakan secara persis pada keadaan yang bergerak 
sekian standard deviasi??

Di Amerika saja para pengambil keputusan tidak mampu secara persis 
memprediksi berapa dana untuk menyelamatkan Citigroup dan AIG. 
Tingkat kerugian di Amerika saja melonjak dari USD 300 Billion 
menjadi hampir USD 1 Trillion

Saya tidak bisa bayangkan berapa dana talangan LPS akan membengkak 
bila 23 bank mengalami rush... Padahal kita tahu berapa besar kemampuan LPS.

Bila Rp. 6,7 Trilyun bisa menghentikan rush -- maka itu adalah biaya 
yang SANGAT MURAH dibandingkan total asset perbankan nasional. Anda 
tahu kan angkanya berapa...



[Keuangan] Karakter Perbankan tidak sesuai pasal 33 UUD 45

2009-11-24 Terurut Topik dyahanggitasari
Menurut Mubyarto (2004), orientasi perbankan kita memang ironis. Di satu pihak, 
usaha-usaha kecil lari ke rentenir dengan membayar bunga tinggi. Tetapi, di 
pihak lain, kelompok masyarakat ekonomi kuat menyimpan uang mereka di bank 
dalam bentuk deposito dengan harapan menerima bunga menarik. Para pelepas 
uang dan deposan menikmati pendapatan bunga tinggi. Sebaliknya, kelompok usaha 
kecil dan menengah harus membayar bunga tinggi kepada masyarakat ekonomi kuat 
tersebut.  
Itulah karakter kegiatan perbankan dalam sistem ekonomi individualis-liberal 
yang jelas tidak sesuai dengan pasal 33 UUD 1945. 


Ironi Penanganan Bank Century
Batam Pos. Selasa, 01 September 2009
Augustinus Simanjuntak
Dosen Fakultas Ekonomi UK Petra, Surabaya.

DI tengah semakin jauhnya orientasi perbankan kita dari visi pemberdayaan 
ekonomi rakyat (kredit bagi usaha kecil dengan suku bunga rendah), pemerintah 
justru selalu bersikap protektif terhadap bank-bank yang pengelolaannya 
bermasalah. Kali ini, pola kesalahan dalam kasus penggelontoran dana BLBI ke 
bank-bank bermasalah pada 1998 diduga terjadi pula dalam upaya penyelamatan 
Bank Century.


Sebagaimana diberitakan, pemerintah lewat Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) 
terpaksa menyuntikkan dana (bailout) Rp 6,77 triliun ke Bank Century dengan 
dalih force majeure untuk menghindari dampak sistemis penyakit akut bank itu 
terhadap stabilitas perbankan nasional. Jadi, betapa baiknya sikap pemerintah 
terhadap pemilik bank bermasalah yang selama ini hanya mementingkan untung 
sebesar-besarnya ketimbang ikut program pengentasan kemiskinan dan membantu 
usaha kecil/menengah.


Menurut Mubyarto (2004), orientasi perbankan kita memang ironis. Di satu pihak, 
usaha-usaha kecil lari ke rentenir dengan membayar bunga tinggi. Tetapi, di 
pihak lain, kelompok masyarakat ekonomi kuat menyimpan uang mereka di bank 
dalam bentuk deposito dengan harapan menerima bunga menarik. Para pelepas 
uang dan deposan menikmati pendapatan bunga tinggi. Sebaliknya, kelompok usaha 
kecil dan menengah harus membayar bunga tinggi kepada masyarakat ekonomi kuat 
tersebut.


Itulah karakter kegiatan perbankan dalam sistem ekonomi individualis-liberal 
yang jelas tidak sesuai dengan pasal 33 UUD 1945.


Dugaan Penyimpangan


Suntikan dana ke Bank Century seharusnya mengikuti prinsip-prinsip pemberian 
kredit dalam dunia perbankan, terutama prinsip kehati-hatian. Jika prinsip itu 
tidak dijalankan oleh LPS, pemberian bailout tersebut patut dicurigai sebagai 
tindakan yang berindikasi korupsi.


Aneh, UU Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan mewajibkan semua bank 
berhati-hati dalam memberikan pinjaman. Namun, LPS malah tidak hati-hati dalam 
memberikan bailout ke Bank Century. LPS seharusnya sejak awal menerapkan the 
five C's of credit analysis terhadap Bank Century sebagai debitor yang 
membutuhkan dana tala­ngan. Artinya, LPS harus meneliti character (kejujuran 
pemilik bank), collateral (jaminan utang bank), capital (modal bank), capacity 
(kemampuan mengelola bank), dan condition of economy sebelum bailout diberikan.


Sayang, prinsip itu rupanya tidak diterapkan oleh LPS. Padahal, dalam proses 
hukum Bank Century, pemilik Bank Century Robert Tantular dan beberapa pejabat 
Bank Century di Surabaya telah ditetapkan sebagai terdakwa atas tuduhan 
penggelapan dana nasabah. Bahkan, manajemen Bank Century telah terlibat dalam 
memasarkan produk reksadana PT Antaboga Delta Sekuritas (ADS), yang jelas-jelas 
dilarang dalam pasal 10 UU Perbankan tentang batasan jenis-jenis usaha yang 
boleh dilakukan oleh bank.


Artinya, dari segi the five C's of credit analysis, Bank Century sebenarnya 
tidak layak sama sekali mendapatkan dana talangan dari LPS. Tetapi, LPS justru 
mengucurkan dana sampai Rp 6,77 triliun ke bank itu. Ironis, bukan? Akibatnya, 
menurut anggota Komisi XI DPR Dradjad Wibowo, penyelamatan Bank Century malah 
berpotensi merugikan negara Rp 4,5 triliun hingga Rp 5 triliun pada 2011, saat 
LPS melepas kepemilikannya (Jawa Pos, 30/8).


Belajar dari kasus BLBI 1998, LPS seharusnya justru lebih hati-hati dalam 
memberikan bantuan ke bank bermasalah saat krisis. Alasan pemerintah memberikan 
bailout agar penyakit Bank Century bisa berdampak sistemis terhadap perbankan 
nasional sebenarnya tidak cukup kuat. Publik hanya menuntut kejujuran 
pemerintah tentang bank yang bermasalah dan yang tidak atau bank yang patut 
ditalangi dan yang tidak patut.


Karena itu, jika bailout sebesar triliunan rupiah tersebut ternyata tidak 
kembali ke negara, kasus tersebut tidak bisa lagi hanya dilihat dari aspek 
utang piutang antara LPS dengan Bank Centruty. Patut diduga pemberian suntikan 
ke Bank Century berindikasi korupsi (criminal act by contract). 


Pertanyaannya, ke mana saja larinya dana bailout itu?






Re: [Keuangan] Karakter Perbankan tidak sesuai pasal 33 UUD 45

2009-11-24 Terurut Topik Poltak Hotradero
At 01:40 PM 11/25/2009, you wrote:

Deposito bunganya menarik?  Yang bener ajaSedang bercanda ya?

Dan jangan lupa, bahwa setiap deposito dipungut pajak bunga 20%.
Ke mana pajak itu mengalir?  Untuk pembiayaan pembangunan.


Masalah dengan usaha kecil di Indonesia adalah banyak dari mereka 
yang tidak bankable.  Tidak tercatat dan tidak terdaftar, tidak punya 
surat izin, tidak bisa bikin business plan, tidak ngerti manajemen 
keuangan, dll.

Masak iya bank menyalurkan uang masyarakat ke bisnis yang demikian?

Kalau usaha kecil bisa tercatat dan terdaftar, punya surat izin, bisa 
bikin business plan, dan tahu prinsip-prinsip manajemen keuangan --- 
bank-bank itu akan REBUTAN untuk memberi kredit.


BTW, anda sendiri sudah pernah terpikir untuk mendidik para UKM...?
Apa yang sudah anda kerjakan untuk mereka?




Menurut Mubyarto (2004), orientasi perbankan kita memang ironis. Di 
satu pihak, usaha-usaha kecil lari ke rentenir dengan membayar 
bunga tinggi. Tetapi, di pihak lain, kelompok masyarakat ekonomi 
kuat menyimpan uang mereka di bank dalam bentuk deposito dengan 
harapan menerima bunga menarik. Para pelepas uang dan deposan 
menikmati pendapatan bunga tinggi. Sebaliknya, kelompok usaha kecil 
dan menengah harus membayar bunga tinggi kepada masyarakat ekonomi 
kuat tersebut.
Itulah karakter kegiatan perbankan dalam sistem ekonomi 
individualis-liberal yang jelas tidak sesuai dengan pasal 33 UUD 1945.

Ironi Penanganan Bank Century
Batam Pos. Selasa, 01 September 2009
Augustinus Simanjuntak
Dosen Fakultas Ekonomi UK Petra, Surabaya.

DI tengah semakin jauhnya orientasi perbankan kita dari visi 
pemberdayaan ekonomi rakyat (kredit bagi usaha kecil dengan suku 
bunga rendah), pemerintah justru selalu bersikap protektif terhadap 
bank-bank yang pengelolaannya bermasalah. Kali ini, pola kesalahan 
dalam kasus penggelontoran dana BLBI ke bank-bank bermasalah pada 
1998 diduga terjadi pula dalam upaya penyelamatan Bank Century.

Sebagaimana diberitakan, pemerintah lewat Lembaga Penjamin Simpanan 
(LPS) terpaksa menyuntikkan dana (bailout) Rp 6,77 triliun ke Bank 
Century dengan dalih force majeure untuk menghindari dampak sistemis 
penyakit akut bank itu terhadap stabilitas perbankan nasional. Jadi, 
betapa baiknya sikap pemerintah terhadap pemilik bank bermasalah 
yang selama ini hanya mementingkan untung sebesar-besarnya ketimbang 
ikut program pengentasan kemiskinan dan membantu usaha kecil/menengah.



Re: [Keuangan] Karakter Perbankan tidak sesuai pasal 33 UUD 45

2009-11-24 Terurut Topik mr_w4w
Karakter ekonomi pasar liberal justru terbalik tuh 

Finance 101 tentang alokasi reources: Capital/resource akan mengalir ke 
project/asset yg memberikan expected return/risk tertinggi. 

Itu yg di sebut ekonomi yg effisien.

Yg menyebabkan ineffisien alokasi kapital bisanya masalah HUKUM: PROPERTY RIGHT 
protection dan contract enforceability.

Mungkin yg punya duit takut duitnya di kemplang wong contract susah di enforce.

Just My 2 cents,
Sent from my AXIS Worry Free BlackBerry® smartphone

-Original Message-
From: dyahanggitasari dyahanggitas...@yahoo.com
Date: Wed, 25 Nov 2009 06:40:57 
To: AhliKeuangan-Indonesia@yahoogroups.com
Subject: [Keuangan] Karakter Perbankan tidak sesuai pasal 33 UUD 45

Menurut Mubyarto (2004), orientasi perbankan kita memang ironis. Di satu pihak, 
usaha-usaha kecil lari ke rentenir dengan membayar bunga tinggi. Tetapi, di 
pihak lain, kelompok masyarakat ekonomi kuat menyimpan uang mereka di bank 
dalam bentuk deposito dengan harapan menerima bunga menarik. Para pelepas 
uang dan deposan menikmati pendapatan bunga tinggi. Sebaliknya, kelompok usaha 
kecil dan menengah harus membayar bunga tinggi kepada masyarakat ekonomi kuat 
tersebut.  
Itulah karakter kegiatan perbankan dalam sistem ekonomi individualis-liberal 
yang jelas tidak sesuai dengan pasal 33 UUD 1945. 


Ironi Penanganan Bank Century
Batam Pos. Selasa, 01 September 2009
Augustinus Simanjuntak
Dosen Fakultas Ekonomi UK Petra, Surabaya.

DI tengah semakin jauhnya orientasi perbankan kita dari visi pemberdayaan 
ekonomi rakyat (kredit bagi usaha kecil dengan suku bunga rendah), pemerintah 
justru selalu bersikap protektif terhadap bank-bank yang pengelolaannya 
bermasalah. Kali ini, pola kesalahan dalam kasus penggelontoran dana BLBI ke 
bank-bank bermasalah pada 1998 diduga terjadi pula dalam upaya penyelamatan 
Bank Century.


Sebagaimana diberitakan, pemerintah lewat Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) 
terpaksa menyuntikkan dana (bailout) Rp 6,77 triliun ke Bank Century dengan 
dalih force majeure untuk menghindari dampak sistemis penyakit akut bank itu 
terhadap stabilitas perbankan nasional. Jadi, betapa baiknya sikap pemerintah 
terhadap pemilik bank bermasalah yang selama ini hanya mementingkan untung 
sebesar-besarnya ketimbang ikut program pengentasan kemiskinan dan membantu 
usaha kecil/menengah.


Menurut Mubyarto (2004), orientasi perbankan kita memang ironis. Di satu pihak, 
usaha-usaha kecil lari ke rentenir dengan membayar bunga tinggi. Tetapi, di 
pihak lain, kelompok masyarakat ekonomi kuat menyimpan uang mereka di bank 
dalam bentuk deposito dengan harapan menerima bunga menarik. Para pelepas 
uang dan deposan menikmati pendapatan bunga tinggi. Sebaliknya, kelompok usaha 
kecil dan menengah harus membayar bunga tinggi kepada masyarakat ekonomi kuat 
tersebut.


Itulah karakter kegiatan perbankan dalam sistem ekonomi individualis-liberal 
yang jelas tidak sesuai dengan pasal 33 UUD 1945.


Dugaan Penyimpangan


Suntikan dana ke Bank Century seharusnya mengikuti prinsip-prinsip pemberian 
kredit dalam dunia perbankan, terutama prinsip kehati-hatian. Jika prinsip itu 
tidak dijalankan oleh LPS, pemberian bailout tersebut patut dicurigai sebagai 
tindakan yang berindikasi korupsi.


Aneh, UU Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan mewajibkan semua bank 
berhati-hati dalam memberikan pinjaman. Namun, LPS malah tidak hati-hati dalam 
memberikan bailout ke Bank Century. LPS seharusnya sejak awal menerapkan the 
five C's of credit analysis terhadap Bank Century sebagai debitor yang 
membutuhkan dana tala­ngan. Artinya, LPS harus meneliti character (kejujuran 
pemilik bank), collateral (jaminan utang bank), capital (modal bank), capacity 
(kemampuan mengelola bank), dan condition of economy sebelum bailout diberikan.


Sayang, prinsip itu rupanya tidak diterapkan oleh LPS. Padahal, dalam proses 
hukum Bank Century, pemilik Bank Century Robert Tantular dan beberapa pejabat 
Bank Century di Surabaya telah ditetapkan sebagai terdakwa atas tuduhan 
penggelapan dana nasabah. Bahkan, manajemen Bank Century telah terlibat dalam 
memasarkan produk reksadana PT Antaboga Delta Sekuritas (ADS), yang jelas-jelas 
dilarang dalam pasal 10 UU Perbankan tentang batasan jenis-jenis usaha yang 
boleh dilakukan oleh bank.


Artinya, dari segi the five C's of credit analysis, Bank Century sebenarnya 
tidak layak sama sekali mendapatkan dana talangan dari LPS. Tetapi, LPS justru 
mengucurkan dana sampai Rp 6,77 triliun ke bank itu. Ironis, bukan? Akibatnya, 
menurut anggota Komisi XI DPR Dradjad Wibowo, penyelamatan Bank Century malah 
berpotensi merugikan negara Rp 4,5 triliun hingga Rp 5 triliun pada 2011, saat 
LPS melepas kepemilikannya (Jawa Pos, 30/8).


Belajar dari kasus BLBI 1998, LPS seharusnya justru lebih hati-hati dalam 
memberikan bantuan ke bank bermasalah saat krisis. Alasan pemerintah memberikan 
bailout agar penyakit Bank Century bisa berdampak sistemis terhadap perbankan 
nasional sebenarnya tidak 

Bls: [Keuangan] Karakter Perbankan tidak sesuai pasal 33 UUD 45

2009-11-24 Terurut Topik prastowo prastowo
Lho, yg mempropagandakan dan mengasumsikan pentingnya proteksi atas property 
right itu siapa ya?
Bukankah ini paradoks sejak kelahiran liberalisme, antara 'personal right' dan 
'property right'. Kesamaan dlm hak2 personal pada saat yang sama akan 
dihadapkan pada kenyataan ketimpangan pada hak atas kepemilikan.

salam





Dari: mr_...@yahoo.com mr_...@yahoo.com
Kepada: AhliKeuangan-Indonesia@yahoogroups.com
Terkirim: Sel, 24 November, 2009 23:06:32
Judul: Re: [Keuangan] Karakter Perbankan tidak sesuai pasal 33 UUD 45

Karakter ekonomi pasar liberal justru terbalik tuh 

Finance 101 tentang alokasi reources: Capital/resource akan mengalir ke 
project/asset yg memberikan expected return/risk tertinggi. 

Itu yg di sebut ekonomi yg effisien.

Yg menyebabkan ineffisien alokasi kapital bisanya masalah HUKUM: PROPERTY RIGHT 
protection dan contract enforceability.

Mungkin yg punya duit takut duitnya di kemplang wong contract susah di enforce.

Just My 2 cents,
Sent from my AXIS Worry Free BlackBerry® smartphone

-Original Message-
From: dyahanggitasari dyahanggitas...@yahoo.com
Date: Wed, 25 Nov 2009 06:40:57 
To: AhliKeuangan-Indonesia@yahoogroups.com
Subject: [Keuangan] Karakter Perbankan tidak sesuai pasal 33 UUD 45

Menurut Mubyarto (2004), orientasi perbankan kita memang ironis. Di satu pihak, 
usaha-usaha kecil lari ke rentenir dengan membayar bunga tinggi. Tetapi, di 
pihak lain, kelompok masyarakat ekonomi kuat menyimpan uang mereka di bank 
dalam bentuk deposito dengan harapan menerima bunga menarik. Para pelepas 
uang dan deposan menikmati pendapatan bunga tinggi. Sebaliknya, kelompok usaha 
kecil dan menengah harus membayar bunga tinggi kepada masyarakat ekonomi kuat 
tersebut.  
Itulah karakter kegiatan perbankan dalam sistem ekonomi individualis-liberal 
yang jelas tidak sesuai dengan pasal 33 UUD 1945. 


Ironi Penanganan Bank Century
Batam Pos. Selasa, 01 September 2009
Augustinus Simanjuntak
Dosen Fakultas Ekonomi UK Petra, Surabaya.

DI tengah semakin jauhnya orientasi perbankan kita dari visi pemberdayaan 
ekonomi rakyat (kredit bagi usaha kecil dengan suku bunga rendah), pemerintah 
justru selalu bersikap protektif terhadap bank-bank yang pengelolaannya 
bermasalah. Kali ini, pola kesalahan dalam kasus penggelontoran dana BLBI ke 
bank-bank bermasalah pada 1998 diduga terjadi pula dalam upaya penyelamatan 
Bank Century.


Sebagaimana diberitakan, pemerintah lewat Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) 
terpaksa menyuntikkan dana (bailout) Rp 6,77 triliun ke Bank Century dengan 
dalih force majeure untuk menghindari dampak sistemis penyakit akut bank itu 
terhadap stabilitas perbankan nasional. Jadi, betapa baiknya sikap pemerintah 
terhadap pemilik bank bermasalah yang selama ini hanya mementingkan untung 
sebesar-besarnya ketimbang ikut program pengentasan kemiskinan dan membantu 
usaha kecil/menengah.


Menurut Mubyarto (2004), orientasi perbankan kita memang ironis. Di satu pihak, 
usaha-usaha kecil lari ke rentenir dengan membayar bunga tinggi. Tetapi, di 
pihak lain, kelompok masyarakat ekonomi kuat menyimpan uang mereka di bank 
dalam bentuk deposito dengan harapan menerima bunga menarik. Para pelepas 
uang dan deposan menikmati pendapatan bunga tinggi. Sebaliknya, kelompok usaha 
kecil dan menengah harus membayar bunga tinggi kepada masyarakat ekonomi kuat 
tersebut.


Itulah karakter kegiatan perbankan dalam sistem ekonomi individualis-liberal 
yang jelas tidak sesuai dengan pasal 33 UUD 1945.


Dugaan Penyimpangan


Suntikan dana ke Bank Century seharusnya mengikuti prinsip-prinsip pemberian 
kredit dalam dunia perbankan, terutama prinsip kehati-hatian. Jika prinsip itu 
tidak dijalankan oleh LPS, pemberian bailout tersebut patut dicurigai sebagai 
tindakan yang berindikasi korupsi.


Aneh, UU Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan mewajibkan semua bank 
berhati-hati dalam memberikan pinjaman. Namun, LPS malah tidak hati-hati dalam 
memberikan bailout ke Bank Century. LPS seharusnya sejak awal menerapkan the 
five C's of credit analysis terhadap Bank Century sebagai debitor yang 
membutuhkan dana tala­ngan. Artinya, LPS harus meneliti character (kejujuran 
pemilik bank), collateral (jaminan utang bank), capital (modal bank), capacity 
(kemampuan mengelola bank), dan condition of economy sebelum bailout diberikan.


Sayang, prinsip itu rupanya tidak diterapkan oleh LPS. Padahal, dalam proses 
hukum Bank Century, pemilik Bank Century Robert Tantular dan beberapa pejabat 
Bank Century di Surabaya telah ditetapkan sebagai terdakwa atas tuduhan 
penggelapan dana nasabah. Bahkan, manajemen Bank Century telah terlibat dalam 
memasarkan produk reksadana PT Antaboga Delta Sekuritas (ADS), yang jelas-jelas 
dilarang dalam pasal 10 UU Perbankan tentang batasan jenis-jenis usaha yang 
boleh dilakukan oleh bank.


Artinya, dari segi the five C's of credit analysis, Bank Century sebenarnya 
tidak layak sama sekali mendapatkan dana talangan dari LPS. Tetapi, 

[Keuangan] Re: Perdebatan tentang Century di Facebook (bag. II)

2009-11-24 Terurut Topik oka
Intinya keputusan yang menurut bung Poltak (PH) maha sulit itu telah dilakukan. 
Mempertanyakan kenapa keputusan itu diambil, tidak ada gunanya, toh jarum jam 
tak bisa diputar ulang, kan?

Kalo kita baca notulen KKSK yang sudah beredar, dengan asumsi notulen itu 
benar, dan anyway tak ada yang tahu persis apa yang terjadi pada rapat itu, 
selain yang ada diruangan itu, bukan? nampak benar bahwa sikap konservatisme 
dan extra hati2-lah yang dikedepankan BI. Sebagi bank central, BI sama sekali 
tak mau mengambil resiko sekecil apapun. karena, debat mengenai apakah Century 
dapat dimasukkan kedlam bank berdampak sistemik, cukup tajam. Alasan BI, yang 
dilaporkan dalam notulen itu, hanya semata2 mempertimbangkan aspek pysikologis, 
mirip seperti apa yg disampaikan PH diforum ini berkali-kali.

Rupanya para pengambil keputusan di KKSK, sepakat dengan sikap extra hati2 BI, 
untuk menyelamatkan Century. Mungkin juga karena pada saat itu, perkiraan biaya 
yang diajukan cuma 650bio. PS. sebagai banker, yang memang dilatih untuk 
bersikap konservatif, saya sungguh mengerti dan memahami, kenapa harus opsi 
penyelamatan yang harus diambil.jadi bagi saya keputusan itu ngak maha-maha 
sulit banget deh, wong cuma 650 bio untuk menghindari sistemic risk, 
sangat-sangat murah.

Nah jika sekarang ternyata bahwa ongkosnya kemudian membengkak menjadi 6,7T, 
alias 10 kali lipat dari perkiraan semula. Maka, menurut saya justru ini yang 
perlu kita telusuri. Apakah ada informasi yang sengaja ditutupi pada saat 
pengambilan keputusan? apakah ada ketidak akuratan pengolahan data? dan sederet 
apakah lainnya yang relevan jelas bukan kesalahan kecil jika dalam suatu 
rapat yang membahas nasib negara ada data ngawur yang dijadikan pijakan.

Sayang, perdebatan hanya berkutat soal sistemic atau bukan sistemicatau 
sengaja? supaya selsih antara 6,7T-650Bio tidak diributkan? soal setelah duit 
6,7 digelontorkan Pemerintah cq LPS, lari kemana tuh duit, saya kok juga ngak 
perduli. Bukan karena saya deposan disana... ngak lah... tapi kalo Anda punya 
duit di Bank yang hampir ditutup, ngak mungkin Anda nyimpan uang disana, ketika 
bank itu diselematkan kan? lagian itu haknya deposan kok? mau Sampurna, mau 
keluarga pejabat, mau kerabat siapa ajangak bisa dihalangi untuk narik 
duitnya.

Audit BPK pun nampaknya cuma menyoroti, kecurangan2 atau miss management 
century tapi bagaimana itu sampai tidak termonitor BI sampai bertahun2, 
mestinya merupakan objective dari audit itu... kesengajaan? kalalaian? ketidak 
sempurnaan system? atau apa? 

Ada anggota millis ini yang karyawan BI. Saya juga banker dan tak ada maksud 
saya mendiskreditkan BI. Saya percaya karyawan BI bageur-bageur, soleh-soleh... 
jadi mestinya ini ketidaksengajaan karena ketidaksempurnaan sistem. Secara 
individual tak ada yang salah.





--- In AhliKeuangan-Indonesia@yahoogroups.com, Poltak Hotradero hotrad...@... 
wrote:

 Poltak Hotradero
 
 @Ismed: Mengenai telusuran ke mana dana mengalir dan ke siapa -- 
 silahkan dilakukan. Toh bisa diadakan audit forensik.
 
 TETAPI bahwa pejabat publik di sektor keuangan di saat itu memang 
 HARUS mengambil keputusan (dan keputusan itu MAHA SULIT) -- maka 
 HARUS dibedakan antara keputusan penyelamatan sistem keuangan 
 nasional dengan isi Bank Century itu sendiri. Keduanya terpisah.
 
 (Itu sebabnya mengapa saya tidak setuju dengan pendapat anda tentang 
 Ibu Ani dan Pak Boediono)
 
 Bila tidak, maka yang terjadi adalah preseden buruk di masa depan. 
 Kenapa? Karena tidak akan ada pejabat negara lagi yang berani membail 
 out bank. Mereka akan RAGU. Dan ini SANGAT BERBAHAYA.
 
 Great Depression tahun 1930-an terjadi karena hal ini, yaitu saat 
 Federal Reserve RAGU untuk membail out bank pertama yang kolaps. Apa 
 yang kemudian terjadi? SEMBILAN RIBU BANK kolaps semasa Great Depression...
 
 Sialnya, di Indonesia bank cuman ada 300-an...





Bls: [Keuangan] Re: Perdebatan tentang Century di Facebook (bag. II)

2009-11-24 Terurut Topik prastowo prastowo
Bli Oka,
Saya setuju, perdebatan sistemik atau tidak sistemik memang bercabang, masing2 
punya argumen, karena dampak ini tak terukur tapi bisa dibayangkan. Saya setuju 
kita fokus ke soal hukum, kriteria untuk menyebut sistemik apa, lalu 
landasannya apa, harus jelas. Lalu kenapa amandemen aturan2 dibuat tiba2 
(terkesan dipaksakan), bahkan konon ada kucuran Rp 2,2 T usai Perppu ditolak? 
(ini fakta, bukan opini). Sulit - atau maha sulit sekalipun - rasanya tetap tak 
boleh abai pada landasan hukum. Mana ada jabatan bebas risiko dan netral? tidak 
ada, terlebih jabatan ini adalah jabatan politik, dan keputusannya ya politis.
Implikasinya ya membengkaknya kucuran uang itu. jangan2 ini akibat kesalahan 
sistemik yang dilakukan otoritas yg selama ini tak melakukan fungsi kontrol 
secara baik. Kesalahan sistemik dalam mengambil keputusan soal dampak sistemik, 
artinya yang membuat rush dan panic adalah otoritas yg tak mempunyai posisi 
hegemonik.

salam





Dari: oka oka.wid...@indosat.net.id
Kepada: AhliKeuangan-Indonesia@yahoogroups.com
Terkirim: Sel, 24 November, 2009 23:19:12
Judul: [Keuangan] Re: Perdebatan tentang Century di Facebook (bag. II)

  
Intinya keputusan yang menurut bung Poltak (PH) maha sulit itu telah dilakukan. 
Mempertanyakan kenapa keputusan itu diambil, tidak ada gunanya, toh jarum jam 
tak bisa diputar ulang, kan?

Kalo kita baca notulen KKSK yang sudah beredar, dengan asumsi notulen itu 
benar, dan anyway tak ada yang tahu persis apa yang terjadi pada rapat itu, 
selain yang ada diruangan itu, bukan? nampak benar bahwa sikap konservatisme 
dan extra hati2-lah yang dikedepankan BI. Sebagi bank central, BI sama sekali 
tak mau mengambil resiko sekecil apapun. karena, debat mengenai apakah Century 
dapat dimasukkan kedlam bank berdampak sistemik, cukup tajam. Alasan BI, yang 
dilaporkan dalam notulen itu, hanya semata2 mempertimbangkan aspek pysikologis, 
mirip seperti apa yg disampaikan PH diforum ini berkali-kali.

Rupanya para pengambil keputusan di KKSK, sepakat dengan sikap extra hati2 BI, 
untuk menyelamatkan Century. Mungkin juga karena pada saat itu, perkiraan biaya 
yang diajukan cuma 650bio. PS. sebagai banker, yang memang dilatih untuk 
bersikap konservatif, saya sungguh mengerti dan memahami, kenapa harus opsi 
penyelamatan yang harus diambil.jadi bagi saya keputusan itu ngak maha-maha 
sulit banget deh, wong cuma 650 bio untuk menghindari sistemic risk, 
sangat-sangat murah.

Nah jika sekarang ternyata bahwa ongkosnya kemudian membengkak menjadi 6,7T, 
alias 10 kali lipat dari perkiraan semula. Maka, menurut saya justru ini yang 
perlu kita telusuri. Apakah ada informasi yang sengaja ditutupi pada saat 
pengambilan keputusan? apakah ada ketidak akuratan pengolahan data? dan sederet 
apakah lainnya yang relevan jelas bukan kesalahan kecil jika dalam suatu 
rapat yang membahas nasib negara ada data ngawur yang dijadikan pijakan.

Sayang, perdebatan hanya berkutat soal sistemic atau bukan sistemic atau 
sengaja? supaya selsih antara 6,7T-650Bio tidak diributkan? soal setelah duit 
6,7 digelontorkan Pemerintah cq LPS, lari kemana tuh duit, saya kok juga ngak 
perduli. Bukan karena saya deposan disana... ngak lah... tapi kalo Anda punya 
duit di Bank yang hampir ditutup, ngak mungkin Anda nyimpan uang disana, ketika 
bank itu diselematkan kan? lagian itu haknya deposan kok? mau Sampurna, mau 
keluarga pejabat, mau kerabat siapa ajangak bisa dihalangi untuk narik 
duitnya.

Audit BPK pun nampaknya cuma menyoroti, kecurangan2 atau miss management 
century tapi bagaimana itu sampai tidak termonitor BI sampai bertahun2, 
mestinya merupakan objective dari audit itu... kesengajaan? kalalaian? ketidak 
sempurnaan system? atau apa? 

Ada anggota millis ini yang karyawan BI. Saya juga banker dan tak ada maksud 
saya mendiskreditkan BI. Saya percaya karyawan BI bageur-bageur, soleh-soleh. 
.. jadi mestinya ini ketidaksengajaan karena ketidaksempurnaan sistem. Secara 
individual tak ada yang salah.

--- In AhliKeuangan- Indonesia@ yahoogroups. com, Poltak Hotradero hotrad...@. 
.. wrote:

 Poltak Hotradero
 
 @Ismed: Mengenai telusuran ke mana dana mengalir dan ke siapa -- 
 silahkan dilakukan. Toh bisa diadakan audit forensik.
 
 TETAPI bahwa pejabat publik di sektor keuangan di saat itu memang 
 HARUS mengambil keputusan (dan keputusan itu MAHA SULIT) -- maka 
 HARUS dibedakan antara keputusan penyelamatan sistem keuangan 
 nasional dengan isi Bank Century itu sendiri. Keduanya terpisah.
 
 (Itu sebabnya mengapa saya tidak setuju dengan pendapat anda tentang 
 Ibu Ani dan Pak Boediono)
 
 Bila tidak, maka yang terjadi adalah preseden buruk di masa depan. 
 Kenapa? Karena tidak akan ada pejabat negara lagi yang berani membail 
 out bank. Mereka akan RAGU. Dan ini SANGAT BERBAHAYA.
 
 Great Depression tahun 1930-an terjadi karena hal ini, yaitu saat 
 Federal Reserve RAGU untuk membail out bank pertama yang kolaps. Apa 
 yang kemudian 

Re: Bls: [Keuangan] Karakter Perbankan tidak sesuai pasal 33 UUD 45

2009-11-24 Terurut Topik mr_w4w
Saya ngga ngerti maksud nya,

Tapi yg jelas harus dibedakan antara personal/social liberal dan ekonomi/pasar 
liberal.

Coba ikut kuis ini deh, nanti ngerti maksud saya :
www.theadvocates.org/quiz.html 

Sent from my AXIS Worry Free BlackBerry® smartphone

-Original Message-
From: prastowo prastowo sesaw...@yahoo.com
Date: Wed, 25 Nov 2009 15:17:06 
To: AhliKeuangan-Indonesia@yahoogroups.com
Subject: Bls: [Keuangan] Karakter Perbankan tidak sesuai pasal 33 UUD 45

Lho, yg mempropagandakan dan mengasumsikan pentingnya proteksi atas property 
right itu siapa ya?
Bukankah ini paradoks sejak kelahiran liberalisme, antara 'personal right' dan 
'property right'. Kesamaan dlm hak2 personal pada saat yang sama akan 
dihadapkan pada kenyataan ketimpangan pada hak atas kepemilikan.

salam





Dari: mr_...@yahoo.com mr_...@yahoo.com
Kepada: AhliKeuangan-Indonesia@yahoogroups.com
Terkirim: Sel, 24 November, 2009 23:06:32
Judul: Re: [Keuangan] Karakter Perbankan tidak sesuai pasal 33 UUD 45

Karakter ekonomi pasar liberal justru terbalik tuh 

Finance 101 tentang alokasi reources: Capital/resource akan mengalir ke 
project/asset yg memberikan expected return/risk tertinggi. 

Itu yg di sebut ekonomi yg effisien.

Yg menyebabkan ineffisien alokasi kapital bisanya masalah HUKUM: PROPERTY RIGHT 
protection dan contract enforceability.

Mungkin yg punya duit takut duitnya di kemplang wong contract susah di enforce.

Just My 2 cents,
Sent from my AXIS Worry Free BlackBerry® smartphone

-Original Message-
From: dyahanggitasari dyahanggitas...@yahoo.com
Date: Wed, 25 Nov 2009 06:40:57 
To: AhliKeuangan-Indonesia@yahoogroups.com
Subject: [Keuangan] Karakter Perbankan tidak sesuai pasal 33 UUD 45

Menurut Mubyarto (2004), orientasi perbankan kita memang ironis. Di satu pihak, 
usaha-usaha kecil lari ke rentenir dengan membayar bunga tinggi. Tetapi, di 
pihak lain, kelompok masyarakat ekonomi kuat menyimpan uang mereka di bank 
dalam bentuk deposito dengan harapan menerima bunga menarik. Para pelepas 
uang dan deposan menikmati pendapatan bunga tinggi. Sebaliknya, kelompok usaha 
kecil dan menengah harus membayar bunga tinggi kepada masyarakat ekonomi kuat 
tersebut.  
Itulah karakter kegiatan perbankan dalam sistem ekonomi individualis-liberal 
yang jelas tidak sesuai dengan pasal 33 UUD 1945. 


Ironi Penanganan Bank Century
Batam Pos. Selasa, 01 September 2009
Augustinus Simanjuntak
Dosen Fakultas Ekonomi UK Petra, Surabaya.

DI tengah semakin jauhnya orientasi perbankan kita dari visi pemberdayaan 
ekonomi rakyat (kredit bagi usaha kecil dengan suku bunga rendah), pemerintah 
justru selalu bersikap protektif terhadap bank-bank yang pengelolaannya 
bermasalah. Kali ini, pola kesalahan dalam kasus penggelontoran dana BLBI ke 
bank-bank bermasalah pada 1998 diduga terjadi pula dalam upaya penyelamatan 
Bank Century.


Sebagaimana diberitakan, pemerintah lewat Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) 
terpaksa menyuntikkan dana (bailout) Rp 6,77 triliun ke Bank Century dengan 
dalih force majeure untuk menghindari dampak sistemis penyakit akut bank itu 
terhadap stabilitas perbankan nasional. Jadi, betapa baiknya sikap pemerintah 
terhadap pemilik bank bermasalah yang selama ini hanya mementingkan untung 
sebesar-besarnya ketimbang ikut program pengentasan kemiskinan dan membantu 
usaha kecil/menengah.


Menurut Mubyarto (2004), orientasi perbankan kita memang ironis. Di satu pihak, 
usaha-usaha kecil lari ke rentenir dengan membayar bunga tinggi. Tetapi, di 
pihak lain, kelompok masyarakat ekonomi kuat menyimpan uang mereka di bank 
dalam bentuk deposito dengan harapan menerima bunga menarik. Para pelepas 
uang dan deposan menikmati pendapatan bunga tinggi. Sebaliknya, kelompok usaha 
kecil dan menengah harus membayar bunga tinggi kepada masyarakat ekonomi kuat 
tersebut.


Itulah karakter kegiatan perbankan dalam sistem ekonomi individualis-liberal 
yang jelas tidak sesuai dengan pasal 33 UUD 1945.


Dugaan Penyimpangan


Suntikan dana ke Bank Century seharusnya mengikuti prinsip-prinsip pemberian 
kredit dalam dunia perbankan, terutama prinsip kehati-hatian. Jika prinsip itu 
tidak dijalankan oleh LPS, pemberian bailout tersebut patut dicurigai sebagai 
tindakan yang berindikasi korupsi.


Aneh, UU Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan mewajibkan semua bank 
berhati-hati dalam memberikan pinjaman. Namun, LPS malah tidak hati-hati dalam 
memberikan bailout ke Bank Century. LPS seharusnya sejak awal menerapkan the 
five C's of credit analysis terhadap Bank Century sebagai debitor yang 
membutuhkan dana tala­ngan. Artinya, LPS harus meneliti character (kejujuran 
pemilik bank), collateral (jaminan utang bank), capital (modal bank), capacity 
(kemampuan mengelola bank), dan condition of economy sebelum bailout diberikan.


Sayang, prinsip itu rupanya tidak diterapkan oleh LPS. Padahal, dalam proses 
hukum Bank Century, pemilik Bank Century Robert Tantular dan beberapa pejabat 
Bank