[ac-i] Fw: Lekra dan Politik Sastra.pdf [1 Attachment]
- Original Message - From: sandalista 1789 To: ultimus bandung Sent: Monday, March 15, 2010 2:05 PM Subject: Lekra dan Politik Sastra.pdf Sampai jumpa di Bandung, saya hanya sebagai pendengar kok ! salam hangat putu oka sukanta (pos)
Re: [ac-i] Penghargaan Prestasi dan Dedikasi bidang Sastra/Penulisan bagi BMI/Mantan BMI Hong Kong
Ini ide yang sangat baik dan patut direalisasikan. Saya mendukung. salam hangat putu oka sukanta. - Original Message - From: bonarine To: artculture-indonesia@yahoogroups.com Sent: Saturday, March 06, 2010 7:53 PM Subject: [ac-i] Penghargaan Prestasi dan Dedikasi bidang Sastra/Penulisan bagi BMI/Mantan BMI Hong Kong Penghargaan Prestasi dan Dedikasi bidang Sastra/Penulisan bagi BMI/Mantan BMI Hong Kong Selain sumbangan berupa devisa, Buruh Migran Indonesia (BMI) juga memiliki andil besar dalam bidang Budaya, termasuk Pariwisata. Selama ini kita kenal adanya buruh yang juga bekarya sebagai seniman, termasuk di antaranya sebagai penulis/sastrawan. Di dalam bidang penulisan, ada BMI-HK yang kemudian kembali ke tanah air dan hidup sebagai penulis/motivator (Eni Kusuma, Banyuwangi). Eni dipandang sebagai sosok yang mampu menginspirasi, terlebih bagi sesama BMI/mantan BMI. Etik Juwita, mulai jadi cerpenis ketika masih bekerja di Hong Kong, salah satu cerpennya yang pernah dimuat Jawa Pos berjudul Bukan Yem terpilih dan masuk 20 Cerpen Terbaik Indonesia 2008 versi Pena Kencana. Karena ketrampilannya menulis, Tania Rosandini (Malang), bahkan kemudian alih pekerjaan dari pekerja rumah tangga (di Hong Kong) menjadi jurnalis Radar Taiwan (di Taiwan). Ada beberapa BMI-HK yang juga bekerja sebagai koresponden tetap dan penulis lepas untuk media cetak yang terbit di Indonesia. Terbentuknya komunitas/organisasi seni di kalangan buruh migran asal Indonesia di Hong Kong seperti: Forum Lingkar Pena, Sanggar Budaya, Sekar Bumi, dan lain-lain yang tidak hanya terlibat dalam acara-acara di kalangan BMI, melainkan juga berpartisipasi dalam acara-acara kesenian antarbangsa menunjukkan bahwa mereka layak disebut juga sebagai Duta Bangsa di bidang Budaya/Pariwisata. Para BMI/Mantan BMI-HK juga telah menunjukkan sumbangan yang nyata terhadap pemberdayaan bangsanya melalui penguatan/peningkatan program memasyarakatkan tradisi baca/tulis di kampung halaman mereka, seperti yang dibangun oleh Maria Bo Niok (Wonosobo, Jawa Tengah) dengan rumah baca Istana Rumbia-nya. Di Jawa Timur ada juga kelompok belajar seperti yang dibangun oleh Nadia Cahyani (Magetan) dkk. Mereka, para BMI/Mantan BMI-HK berprestasi/berdedikasi itu telah menunjukkan bahwa kepergian mereka bukan hanya untuk mengentaskan diri dan keluarga mereka dari berbagai persoalan. Mereka ternyata telah menunjukkan kepedulian yang luar biasa terhadap masyarakat di sekitarnya. Oleh karena itulah, memberikan dukungan kepada mereka dalam bentuk penghormatan/penghargaan –betapa pun kecil nilai nominalnya—sebagai bentuk dukungan terhadap prestasi, dedikasi, konsistensi mereka adalah penting. Penting untuk lebih menginspirasi seluruh anak negri ini, bukan hanya sesama BMI/Mantan BMI. Forum Budaya Buruh Migran Indonesia (FBBMI) menggagas pemberian penghargaan bagi BMI/Mantan BMI-HK yang berprestasi, berdedikasi, dan konsisten terkait bidang penulisan/sastra dalam rangka ikut memeringati Hari Buruh Sedunia (1 Mei) 2010. Penghargaan direncanakan diberikan dalam bentuk piagam, piala, dan sejumlah uang. Penghargaan diberikan untuk: [1] Organisasi Penghargaan Prestasi dan Dedikasi bidang Sastra/Penulisan Bagi BMI/Mantan BMI Hong Kong 2010 diberikan kepada sebanyak-banyaknya 3 organisasi yang: [a] Berkedudukan di HK baik resmi (memiliki legalitas formal) maupun tidak resmi (informal) [b] Menunjukkan aktivitas yang secara langsung maupun tidak langsung merupakan bagian dari upaya pemberdayaan diri/lingkungan melalui kegiatan membaca dan/atau menulis [c] lolos seleksi [2] Perorangan Penghargaan Prestasi dan Dedikasi bidang Sastra/Penulisan Bagi BMI/Mantan BMI Hong Kong diberikan kepada sebanyak-banyaknya 5 orang yang: [a] berstatus sebagai BMI-HK/Mantan BMI-HK [b] menunjukkan prestasi/dedikasi/konsistensi dalam bidang penulisan fiksi/nonfiksi. [c] lolos seleksi [3] Buku Penghargaan Prestasi dan Dedikasi bidang Sastra/Penulisan Bagi BMI/Mantan BMI Hong Kong diberikan untuk sebanyak-banyaknya 10 buah buku yang: [a] merupakan hasil karya BMI-HK/Mantan BMI-HK [b] dapat berupa buku fiksi/nonfiksi [c] lolos seleksi Catatan: [1] Ini masih berupa keinginan [2] Tim Sleksi akan dibentuk kemudian [3] Mohon masukan, doa restu, dll [4] kontak: forumburuhmig...@gmail.com nabone...@yahoo.com
[ac-i] PENYAMBUNG PERSAHABATAN Dng. Putra putri.HR.Bandaharo
Para pembaca yang baik, Kami sangat ingin menyambung tali persahabatn dengan putra putri Bung Hr. Bandaharo / Banda Harahap, sang penyair. Tak seorang berniat pulang, walau mati menanti. Jika diantara pembaca ada yang bisa membantu mengubungkan kami, atau jika putra putri Bung Banda berkenan, silakan hubungi kami: Ny. Tuty Martoyo, Tlp. 021 7995122, Hp. 081289477765, aatau Putu Oka Sukanta, Tlp.021 4891938 Hp.08129186589. Terimakasih atas kebaikan hati Anda. salam hangat putu oka e-mail.poska...@indosat.net.id
Re: [ac-i] Musik etnik Bali
Bung Gede Wayan Susana, Saya mau beli satu keping. Bagaimana caranya? Kalau bisa dikirim, silakan dikirim ke alamat saya: Putu Oka Sukanta, Jl. Balai Pustaka I no.8 Rawamangun, Jakarta 13220. HP.08129186589. Salam putu oka - Original Message - From: I Wayan Gede Susana To: artculture-indonesia@yahoogroups.com Sent: Sunday, January 03, 2010 2:33 PM Subject: [ac-i] Musik etnik Bali saya dan temen2 seniman musik bali telah menciptakan sebuah musik etnik bali dimana seruling sebagai alat utamanya kedalam sebuah cd, bagi temen2 yang ingin mendengarkan atau yang ingin membantu memasarkan silahkan hubungi hp saya wayan gede susana 081802602789. terimakasih.
[ac-i] Buku LOBAKAN sudah terbit [1 Attachment]
SUDAH TERBIT Buku antologi cerita pendek LOBAKAN dari 12 pengarang berbagai generasi, laki-laki perempuan, warga Indonesia dan asing, dengan tema Tragedi Kemanusiaan 1965/66 di Bali. Lobakan adalah pelita tradisional rakyat Bali sebagai penerang jalan di kegelapan. Daftar Isi. Kata Pengantar I Gusti Agung Ayu Ratih Ketika berbicara tentang Bali, orang pada umumnya tidak menghubungkan pulau itu dengan tragedy, apalagi pembantaian. Bali adalah tempat para dewata bersemayam, perempuan melenggang bak bidadari dari pematang sawah terrasering, pantai menjulur laut biru kehijauan, suaka bagi mereka yang penat dan gelisah. Tak banyak yang pernah mendengar bahwa di balik seluruh keindahan dan keunikan Bali menyimpan sejarah kelam tentang pemberantasan orang-orang yang dianggap anggota atau simpatisan PKI di penghujung 1965. 1. Pemburu Buaya / Dyah Merta .ia seperti melihat ribuan kunang-kunang terbang ke angkasa beserta pekikan dan debam tubuh dijatuhkan ke sungai. Tak berapa lama tubuh-tubuh itu mulai mengalir di sungai... 2. Silsilah Merah / Fati Soewandi Merelakannya.?Tidak, aku tidak rela. Aku tidak sanggup! Itu berarti aku harus menghapus semua kenangan dan ingatanPadahal hanya kenangan dan ingatan itu yang aku punya untuk melewatkan episode kelam dalam hidupku kini. 3. Bantiran / Gde Aryantha Soethama Duapuluh tahun kemudian,desa Jampi ramai oleh keluarga orang-orang yang dibantai. Mereka mencari tulang belulang untuk diaben Sesajen diletakkan di tengah sawah yang sebulan lalu panen kedele 4. Kakek Perak / Happy Salma Kakek Perak, aku sayang Kakek. Aku bangga menjadi cucumu! Kakek Perak yang berhati lapang, yang telah memaafkan masa lalunya, dan telah berdamai dengan hal-hal yang tak terduga di dalam hidupnya ini. 5. Laki laki Tua yang Ingin Mati / Kadek Sonia Piscayanti ..Jantungnya berdegup kencang. Nalurinya mengatakan lari. Lari kemana? Sungai? Pura? Kuburan? Lari! 6. Mangku Mencari Doa di Daerah Jauh / Martin Aleida Begitulah, suatu pagi, ayah Mangku diseret ke tepi lubang, tengkuknya dihantam linggis, dan bersama jasad petani senasib, dia ditimbuni di lubang besar iitu, tanpa doa, konon pula airmata. 7. Bocah di Balik Pintu / May Swan Tidak, aku tidak akan kembali ke Bali, apa pun alasannya..Sebuah adegan menjelma di benaknya, kepala manusia lepas dari badan, ketika ditatap, ternyata itu bukan wajah ayahnya. Itu wajahnya sendiri 8. Cerita Galuh dan Wayan / Ni Komang Ariani Sudah lama Galuh mendengar suara-suara yang tidak ia ketahui sembernya. Suara-suara itu terdengar begitu lirih, namun Galuh yakin suara-suara itu sungguh ada.. 9. Pidato / Putu Fajar Arcana Bapak-Bapak salah tangkap Mulut saya lalu seperti terkunci. Saya tidak mampu mengatakan hal lain... 10 Menjelang Tidur Kupadamkan Lampu ./ Putu Fajar Arcana, Di bulan Desember, hujan hampir setiap hari mengguyur kota. Pada malam yang pekat, aku diciduk, tepatnya digiring ke sebuah gudang peninggalan Belanda.. 11. Seonggok Daging Beku / Putu Fajar Arcana, Aku membaca peristiwa itu dalam sebuah catatan tulisan tangan yang dibuat Ayah pada masa-masa akhirnya di penjara.Sayangnya dalam catatan itu sama sekali tidak dituliskan mengapa Ayah sampai dijebloskan ke dalam penjara. 12. Made Jepun / Putu Oka Sukanta Kemana kakakmu?. Kan sudah di Balaibanjar. Bapakmu?. Juga sudah di Balaibanjar. Ibumu?. Mengantar makanan ke Balaibanjar. . Kamu juga seharusnya ditahan., kata lelaki itu dengan tegas mengejutkan Made Jepun. Kamu kan Gerwani. 13. Ia Menangis di Depan Televisi / Putu Oka Sukanta Ya. Semua itu keponakan saya. Di PNI banyak keponakan, di PKI juga banyak keponakan. Mereka bergiliran minta tolong kepada saya, membuat tiang bendera, mengangkut barang-barang waktu pindah rumah. Waktu PKI bikin keramaian saya jadi kemanan. Waktu PNI membuat drama saya juga jadi keamanan...Maka sejak hari itu ia diberi tugas mengangkut mayat-mayat bergeletakan di sebelah timur Taman Pahlawan untuk dikuburkan.. 14., Kerbau Bertanduk Emas / Putu Oka Sukanta Setelah upacara selesai, I Plutut menghampiri tamu yang menyaksikan upacara tersebut. Merinding bulu romanya karena orang-orang yang disebut sebagai algojo oleh iparnya ternyata hadir. 15. Warisan / Putu Satria Kusuma Tidak ayah. Aku tidak mau bersembunyi lagi. Biarlah mereka menangkapku, yang penting aku bisa melepas rinduku menggendong Kadek bantah Wayan Guru. 16., Dadong / Sunaryono Basuki KS Dalam doanya ia selalu berterimakasih kepada Hyang Widhi sebab telah diberi-Nya hidup. Dia juga memintakan maaf orang-orang yang telah membunuh keluarganya. 17..,Nyanyian yang Melintasi Pesisir sampai ke Bukit / Sunaryono Basuki KS Sekarang pasanglah telinga baik-baik. Tidakkah kau dengar suara nyanyian itu? Melengking nyaring bagai suara angin, mendayu-dayu bagai suara gesekan biola, kadang meratap bagai dua batang kayu yang bergesekan karena angin. Tidakkah kau dengar suara ratapan di
Re: [ac-i] INFO PENERBITAN BUKU
Mas Didik yb, Soalnya file ada di disket kecil yang sudah tak bisa dibuka. Ada hardcopynya, dan saya minta tolong teman untuk diketik ulang, sambil saya koreksi dikit. Kalau sudah selesai diketik, saya kirimkan kepada mas Jali. salam putu oka - Original Message - From: Ahmad Jalidu To: artculture-indonesia@yahoogroups.com Sent: Thursday, March 19, 2009 1:24 AM Subject: Re: [ac-i] INFO PENERBITAN BUKU Wah.. salam hormat Pak.. Jika berkenan, saya tunggu filenya supaya saya bisa baca-baca dulu pak... Siapa tahu nanti kita bisa kerjasama... SAlam Didik Adi Sukmoko (Jali) --- On Tue, 17/3/09, Putu Oka Sukanta poska...@indosat.net.id wrote: From: Putu Oka Sukanta poska...@indosat.net.id Subject: Re: [ac-i] INFO PENERBITAN BUKU To: artculture-indonesia@yahoogroups.com Date: Tuesday, 17 March, 2009, 6:38 AM Bung Ini tawaran yang menggiurkan. Saya akan kirim novel saya yang sudah pernah diterbitkan di majalah Minggu Pagi pada tahun 1964. Kebetulan saya berhasil menemukan majalah tsb. sesudah saya dipulangkan dari penjara di akhir th.70. Sekarang sedang saya tik ulang. Siapa tahu Bung berminat. salam Putu Oka Sukanta Jl. Balai Pustaka I No.8 Jakarta 13220. HP.08129186589 - Original Message - From: Ahmad Jalidu To: Seni BUdaya ; rumah cabaca ; Hendro Darsono ; Argo Hartono ; IACI ; media jogja ; Sri Kuncoro ; Benni ; Fina Ludwig ; penulisbestseller@ yahoogroups. com ; Akhmad Santoso ; Komunitas Sendangmulyo ; Sony Set ; Salahudin` SM ; hery sudiyono ; pojok teater ; Ngobrolin Teater ; Prihati Puji U. ; marina wardaja ; Agung Wijaya ; woroworosenikita@ yahoogroups. com Sent: Monday, March 16, 2009 2:38 AM Subject: [ac-i] INFO PENERBITAN BUKU ANDA MENULIS BUKU Terbitkan Karya Anda!!! Sebuah Penerbit Indie dari Jogjakarta menunggu tawaran naskah Anda untuk bermacam kategori : a.. Fiksi Indonesia b.. Fiksi Klasik Dunia (terjemahan) c.. Sosial Budaya Nusantara (diutamakan budaya Jawa) d.. Islam dan Panduan Ibadah e.. Seni, ketrampilan dan Hoby f.. Sejarah dan Politik g.. Panduan Bisnis h.. Psikologi Populer dan pengembangan diri i.. Panduan teknik Komputer j.. Panduan Kesehatan Keluarga dan Anak Pastikan Karya Anda menarik dan memiliki nilai unggul sehingga Anda dan kami sama-sama sepakat bahwa naskah Anda layak diterbitkan… Mari.. berkembang bersama dan bersama mengembangkan diri dan bangsa Indonesia melalui buku-buku spektakuler dan bermutu… Kirim naskah Anda dalam bentuk soft copy berformat Ms Word dan PDF ke : gardab...@gmail. com atau kirim hardcopy ke : Penerbit GARDAWACA u/p : Didik Adi Sukmoko Karangmalang A-10B, Catur Tunggal, Depok, Sleman Yogyakarta. HP 08562856610 Kami menunggu karya Anda!!! Didik Adi Sukmoko Pemimpin Umum Get your new Email address! Grab the Email name you've always wanted before someone else does! -- New Email addresses available on Yahoo! Get the Email name you've always wanted on the new @ymail and @rocketmail. Hurry before someone else does!
Re: [ac-i] INFO PENERBITAN BUKU
Bung Ini tawaran yang menggiurkan. Saya akan kirim novel saya yang sudah pernah diterbitkan di majalah Minggu Pagi pada tahun 1964. Kebetulan saya berhasil menemukan majalah tsb. sesudah saya dipulangkan dari penjara di akhir th.70. Sekarang sedang saya tik ulang. Siapa tahu Bung berminat. salam Putu Oka Sukanta Jl. Balai Pustaka I No.8 Jakarta 13220. HP.08129186589 - Original Message - From: Ahmad Jalidu To: Seni BUdaya ; rumah cabaca ; Hendro Darsono ; Argo Hartono ; IACI ; media jogja ; Sri Kuncoro ; Benni ; Fina Ludwig ; penulisbestsel...@yahoogroups.com ; Akhmad Santoso ; Komunitas Sendangmulyo ; Sony Set ; Salahudin` SM ; hery sudiyono ; pojok teater ; Ngobrolin Teater ; Prihati Puji U. ; marina wardaja ; Agung Wijaya ; woroworosenik...@yahoogroups.com Sent: Monday, March 16, 2009 2:38 AM Subject: [ac-i] INFO PENERBITAN BUKU ANDA MENULIS BUKU Terbitkan Karya Anda!!! Sebuah Penerbit Indie dari Jogjakarta menunggu tawaran naskah Anda untuk bermacam kategori : a.. Fiksi Indonesia b.. Fiksi Klasik Dunia (terjemahan) c.. Sosial Budaya Nusantara (diutamakan budaya Jawa) d.. Islam dan Panduan Ibadah e.. Seni, ketrampilan dan Hoby f.. Sejarah dan Politik g.. Panduan Bisnis h.. Psikologi Populer dan pengembangan diri i.. Panduan teknik Komputer j.. Panduan Kesehatan Keluarga dan Anak Pastikan Karya Anda menarik dan memiliki nilai unggul sehingga Anda dan kami sama-sama sepakat bahwa naskah Anda layak diterbitkan… Mari.. berkembang bersama dan bersama mengembangkan diri dan bangsa Indonesia melalui buku-buku spektakuler dan bermutu… Kirim naskah Anda dalam bentuk soft copy berformat Ms Word dan PDF ke : gardab...@gmail.com atau kirim hardcopy ke : Penerbit GARDAWACA u/p : Didik Adi Sukmoko Karangmalang A-10B, Catur Tunggal, Depok, Sleman Yogyakarta. HP 08562856610 Kami menunggu karya Anda!!! Didik Adi Sukmoko Pemimpin Umum -- Get your new Email address! Grab the Email name you've always wanted before someone else does!
Re: [ac-i] Sitoyen Saint-Jean: Antara Hidup Dan Mati
Buku ini bisa dibeli dimana Bung? salam putu oka - Original Message - From: abdul kohar ibrahim To: artculture-indonesia@yahoogroups.com Sent: Thursday, December 25, 2008 5:26 PM Subject: [ac-i] Sitoyen Saint-Jean: Antara Hidup Dan Mati Sitoyen Saint-Jean: Antara Hidup Dan Mati Novel oleh A.Kohar Ibrahim http://16j42.multiply.com/ SITOYEN SAINT-JEAN : ANTARA HIDUP DAN MATI Novel A.Kohar Ibrahim Penerbit : Yayasan Titik Cahaya Elka, Batam, Kepri, 2008. ISBN 987-979-25-8704-3 ISI Pengantar Penerbit Sepatah Kata Hudan Hidayat * I Sitoyen II Servis Urgen III Bidadara Bidadari IV Terowongan Maut : Kemenangan Hidup * Catkas tentang Penulis Catkas: Keterangan *
[ac-i] TITIAN
Para pembaca yang budiman, Telah saya siarkan 13 cerpen dari 13 pengarang yang termuan dalam buku TITIAN. Masih ada beberapa cerpen dari beberapa pengarang yang sama tidak disiarkan, tkarena saya merasa sudah cukup apa yang telah disiarkan sebagai bahan perkenalan. Jika menginginkan bukunya, silakan hubungi Penerbit Koekoesan, Jl. KH.Ahmad Dahlan V/10 Kukusan Depok 16425 Indonesia Tlp. 62 21 78893410. Penerbit ini juga yang menerbitkan kumpulan puisi Surat Bunga Dari Ubud /putu oka sukanta. Terimakasih saya sampaikan kepada pembaca yang telah menulis komentar terhadap cerpen-cerpen yang telah disiarkan. Semoga di lain kesempatan kita bisa bertemu lagi. salam hangat putu oka sukanta.
[ac-i] T.Iskandar A.S dari TITIAN
Sepasang Jejak Telanjang T.Iskandar A.S. KULIK elang hanya menegaskan kelengangan Meunasah Cot Bak U, ketika aku tiba di kampung kelahiranku itu. Ini bukan lagi kelengangan sebuah desa kecil karena keterasingan dan keterbelakangannya. Niscaya Cot Bak U telah ditinggalkan penghuninya karena bahaya instan yang mengancam mereka. Dari atas bukit kecil, yang memisahkan Cot Bak U dengan jalan raya, aku menatap ke bawah. Biasanya, dari sana sudah terlihat kehidupan: asap dari dapur rumah-rumah, anak-anak yang berlarian atau menggiring kerbau ke air, perempuan-perempuan yang menampi beras, atau laki-laki yang duduk-duduk di rangkang 1.) Hari telah lohor, tapi mana suara azan yang biasa terdengar dari meunasah? 2) Aku terkesiap. Ikut pergi jugakah nenekku? Apa kataku pada seluruh keluarga, jika aku gagal membawanya ke Jakarta? Berkali-kali Bang Manyak mengutus anak buahnya untuk menjeput Nenek. Namun Nenek menolak meninggalkan kampung halaman dan rumah warisannya. Sebelum hari raya, Nenek sudah harus bersama kita di sini, dan kita mencium lututnya, kata Abang Manyak melepas keberangkatanku dari Bandara Cengkareng, tiga hari lalu, atau sekitar sebulan setelah kesepakatan damai RI-GAM ditandatangani di Helsinki, Finlandia. Nenek yang kritis dan sudah lama mencemaskan kami sekeluarga. Kalau ia bukan cucu Teungku Ulee Karang, ulama yang berpengaruh sampai di luar Aceh, yang menyerukan bantuan dan dukungan kepada RI pada awal kemerdekaan, ia tentu sudah lama 'diambil' oleh salah-satu pihak yang bersengketa. Celakanya, ia seperti abai akan bahaya yang dapat menimpanya. Ia tak mau diajak pindah ke Jakarta atau Medan. Biarkan aku mati di tempatku lahir, katanya selalu. Sedari menapak dari jalan raya aku telah curiga. Jalan setapak menuju ke bukit sudah mulai ditembusi pucuk-pucuk rumput teki dan ilalang. Kampungku memang berpenduduk jarang, tapi inilah satu-satunya jalan pintas terpendek ke jalan raya. Jadi mustahil tak ada seorang pun merasa perlu melintasinya - jika tidak terjadi sesuatu yang gawat atas Cot Bak U. Turun dari bukit, aku mendengar serentetan tembakan di kejauhan. Aku terhenti kaget, tetapi segera terdorong maju oleh jalan yang menurun. Seekor kerbau yang ditinggalkan pemiliknya mendongakkan kepalanya, kemudian melenguh. Sekawanan induk ayam berkotek-kotek memanggil anak-anaknya agar datang berlindung di bawah kepakan sayapnya. Percuma. Seekor elang yang bermata nyalang, yang sedari tadi mengintip dari ketinggian, mendadak menukik. Ia dengan secepat kilat menyambar seekor anak ayam yang tercecer. Induknya memburu hendak mencegah. Sia-sia. Ia memang berhasil menyelamatkan Si Bungsu, tapi binatang pemangsa itu berbalik sasaran. Dua anaknya yang lain berhasil dibawanya terbang. Aku terpana. Perlambang apa ini? Aku makin khawatir akan nasib Nenek. Melintasi lapangan sepak bola, aku masih terngiangi oleh gelak-tawa anak-anak yang ceria bermain bola. Tapi lapangan yang pernah menyumbang seorang pemain nasional sepak bola untuk Persiraja Banda Aceh ini sudah mulai dipenuhi ilalang. Tiang-tiang gawangnya terjengkang. Selepas lapangan sepak bola, aku menemukan meunasah kosong - hanya menyisakan bagian dari salawat Marhaban, marhaban, jaddam husaini, lagu puji pada Nabi Muhammd saat perayaan maulid 3) , dalam ingatan masa kecilku. Meunasah telah doyong ke arah kiblat -- apa pula artinya ini? Aku tadinya ingin salat lohor, tapi sumur dan kolam wuduknya telah dipenuhi sampah. Tumpukan rumah di kampung kami tak ada pembatas yang tegas - pagar, atau apa - tapi semua tahu batas-batas milik masing-masing. Rumah-rumah bertiang tinggi itu rata-rata sudah reyot, dan terlantar sejak ditinggalkan penghuninya. Aku melaluinya satu per satu, melintas di antara rumah-rumah, atau melalui kolong-kolongnya. Semua tanpa penghuni - begitu jugakah rumah nenekku? Menghampiri rumah Nenek, aku terkesiap melihat di bubungan rumahnya bertengger sekawanan burung pemakan bangkai. Pertanda burukkah ini? Aku mendoakan sebaliknya. Di tangga rumah aku terhenti. Rumah ibu dari ibuku ini sama lapuknya dengan yang lain, dan juga sama kotornya. Tak terurus. Pasti sudah lama ditinggalkan. Aku mencium bau anyir. Bau apa itu? Aku berharap itu anyir darah tikus atau kucing. Tapi aku tak bisa membohongi logikaku: Karena vokalitasnya, Nenek dituduh sebagai anggota, bahkan pemimpin, Inong Balee.3) Bulu kudukku berdiri. Aku hendak pergi. Tapi segera aku ingat pesan Abang Manyak: mati atau hidup, Nenek harus ditemukan. Dengan memberanikan diri, aku menaiki tangga rumah panggung, yang membekaskan tapak-tapak sepatu dan sepasang jejak kaki telanjang di lapisan debu yang tebal. Ini pertanda bangunan tua ini sudah lama ditinggalkan, tapi ada yang kemudian datang. Aku yakin, Nenek tak bisa berlama-lama meninggalkan rumah warisan orangtuanya itu. Ia sesekali akan menjenguknya, diam-diam. Sepasang jejak kaki telanjang
[ac-i] Yonathan Rahardjo dari TITIAN
Kampung Kebun Pisang Yonathan Rahardjo KEBUN pisang yang permai. Di sini kita saling pandang dengan damai. Di sela pohon-pohon pisang yang memberi kenyamanan hati, kita saling tatap mata tanpa mengharap lain tersemai. Rani.., kita adalah sebuah teka-teki berada di tempat ini. Kita kesatuan berpadu dengan bisik-bisik daun, dahan dan batang pisang yang tegak berpadan dengan kata tak terucap. Hati kita saling sapa mengisyaratkan bagian dari mereka, alam yang senantiasa mengelukan undangan persahabatan.. Di sini, kita berdiri berpelukan terlindungi pohon-pohon ramah memagar dengan kenyamanan. Tidak ada mata yang sanggup menembus dan memandang bahkan untuk mengintip. Kebun pisang yang luas, di sini kita dapat menambahkan hari-hari makin panjang. Sayang petang keburu datang. Akankah kita tetap di sini untuk menusuk malam dengan percumbuan? Tidak, kita harus segera pulang. Makhluk penunggu kebun pisang ini akan datang, tidak rela kediamannya kita rebut dari dingin malam. Ia masih butuh malam gelap, senyap dan sunyi. Sedang kita pun mesti berangkat mengaji. Dalam gelap kita berjingkat, menyusuri tanah berserak daun kering. Gemerisiknya adalah musik menawan, sebuah simfoni bila kita tetap melangkah tanpa takut dengan tubuh saling memeluk. Entah mengapa, kita melihat pohon-pohon ini merupakan bayangan menakutkan. Gemeresak daun yang membelai dahan dan batang memperingatkan supaya kita lebih cepat angkat kaki. Ayo cepat, ayo cepat, ada sesuatu terpendam yang akan muncul di tanah ini. Sebuah irama yang tidak dapat dimengerti, segera menjadi kenyataan tak terbantahkan. ** Kami segera berlari keluar dari kebun pisang, bergandeng tangan mempercepat langkah. Kadang kami hampir menabrak pohon pisang yang tak tampak ketika kami saling pandang untuk saling memastikan. Langkah kami makin cepat, daun kering di atas tanah memberi irama lain, sedangkan yang paling kuat bunyi daun di dahan. Kami tidak dapat menahan diri bahwa telinga kami menjadi penampungan dari orkestra tanda-tanda bahaya, agar kami terus berlari... Di depan sana adalah kampung di mana Rani tinggal setiap hari. Malam ini kampung itu begitu menjadi dekat di hati. Kami ingin segera sampai. Namun sayang sekali kaki tak cepat sampai menjejaki. Aku dan Rani terus berlari. Dahan pohon dengan daun-daunnya tiba-tiba melambai-lambai kencang. Kami terus berlari dan berlari menjauh dari lambaian. Serupa tangan-tangan saling bertautan, mereka memeluk kami. Kami meronta-ronta melawan tarikan pelukan mereka. Kami kalah. Pada saat yang sama pohon-pohon pisang roboh, tertuju pada aku dan Rani. Kami tertimbuni. Namun kami terhisap daun kering yang membusuk menyatu dengan tanah basah akibat air hujan. Kami terhisap masuk tanah. Gelap. ** Dalam gelap aku melihat Rani di sampingku. Ia bercahaya terang, kontras dengan kegelapan kami. Rani menjadi lebih cantik, berkilau laksana permata dunia yang satu-satunya pernah kulihat di depan mata. Mempesona. Putih seperti salju, terang bagai matahari. Ia bukan lagi Rani yang setiap hari kucumbui, namun Rani yang berpuluh kali lebih jelita. Aku tahu ia adalah Rani-ku yang kukenal selama ini, namun kini sudah menjadi bidadari. Bidadari cantik ini menatapku dengan lembut, tersenyum. Aku terpesona, tidak berdaya oleh kesempurnaannya. Ia terlalu mempesona. Aku hanya sanggup menatapnya dengan tergeming. Kehangatan senyum sorga Rani tidak memengaruhiku untuk mendapatkan kehangatan mengusir dingin menjalar... Bergetar seluruh tubuhku, menggigil. Aku tak sanggup lagi harus mendekat padanya dan memberi salam manis seperti biasa dan kecupan cinta. Aku terpaku membeku di depan Rani-ku sendiri. Rani yang denganku saling menyayangi dalam hari-hariku. Rani yang terjerembab dalam hisapan kebun pisang bersama-sama dengan tubuhku, sudah menjelma menjadi begitu luar biasa, sedang aku... Aku tak sanggup lagi mengidentifikasi seperti apa wujudku... Aku alihkan perhatianku dari Rani sebagai matahari di depanku, menuju tangan dan lenganku sendiri... Hitam... Lumut tumbuh di sana-sini. Badan... Juga tumbuh lumut. Hitam, coklat, hijau... Tumbuh saling membelit, berkelindan, lembab, basah. Aku tak sanggup lagi mengenali diri sendiri. Rani telah menjadi bidadari, sedang aku.. Kuraba wajahku dengan kedua tanganku yang gemetar. Darah, nanah busuk,.. bau sangat menyengat. aku muntah. Pingsan. Gelap. ** Dalam gelap aku hanya sanggup berteriak-teriak tanpa suara. Mulut tersekap, lidah kelu, kerongkongan tersekat. Aku hidup dalam gelap. Tak lagi sanggup melihat sedikit gurat cahaya. Kekosongan hitam menguasai. Aku tak sanggup berdefinisi, tanpa cahaya penerang, aku berada di bawah timbunan gunung tanah, jelmaan pohon pisang sebagai daratan kuat dan liat. Aku tidak tahu lagi hendak apa. Cuma satu yang aku rasakan,
[ac-i] Ada Juga
3.Ada juga. Los Angeles hollywood santa barbara kulihat pengemis mencari kehangatan manusia diantara dedaunan berganti warna ada juga di Amerika. Santa Barbara, okt.2000 3. Here Too Los Angeles, hollywood santa barbara I see beggars seeking human warmth Among the leaves of changing colors Here too, in America. Santabarbara, oct,2000 Translated by Sylvia Tiwon 4. Dingin Vancouver. kuintip dingin Vancouver dari celah tirai dan kutempelkan tangan memberi salam pagi ternyata lebih dingin rusuk penjara Tangerang yang menggigit sampai ke sumsum, penghinaan kemanusiaan lebih tajam dari salju suara gagak menyambut remang pagi bersahutan bukan isyarat kematian walau di Bangladesh, Sri Lanka, melantunkan kemiskinan gagak Vancouver mengundang mata terbuka jendela lalu lintas wacana membiarkan dinding dilukis beragam nuansa lantas, di mana temanku aborigin itu buldozer putih meratakan peradabannya di dompetku, kusimpan sebuah pusaka: mengapa ? vancouver, okt 2000 4.Cold in Vancouver From cracks in the blinds I spy upon Vancouver's cold And stick out my hand in morning greeting Colder still were the prison ribs of Tangerang That bit to the bone; the slight against Humanity sharper yet than snow The call of crows greet the morning's thinning gloom They do not sighnal death In Bangladesh, Sri Lanka they sing the poor But Vancouver's crows call eyes to open A window on which dicourse travels Allowing nuances ta paint the walls in many colours Where then is my aborigine friends? His civilization levelled By bulldozers of white In my wallet, I keep an heirloom: Why? Vancouver, Oct 2000 Translated by Sylvia Tiwon.
[ac-i] dari sebuah sudut.
Dari sebuah sudut. Sebuah produk termasuk produk seni, ketika ia sudah dilepas ke pasar maka pasar / konsumen berhak untuk menilainya, sesuai dengan kriteria yang diembannya: produk itu bisa dimasukkan ke comberan jika dianggap racun, bisa disimpan kalau diperhitungkan pada suatu waktu diperlukan, bisa dimaki, dipuja dan lain sebagainya sesuai dengan hak konsumen. Pendapat tsb akan dihormati selama tidak mengkaitkan dengan masalah pribadi penciptanya yang tidak ada kaitannya dengan apa yang sedang dibahasnya. Adalah dua hal yang berbeda, membahas tulisan, dan membahas perihal lain yang tidak ada urusannya dengan tulisan tsb.Ini pendapat saya, yang orang boleh setuju dan boleh tidak setuju. Saya membacanya, saya merenungkannya, pendapat siapa saja, orang yang bersimpati atau tidak bersimpati, sesuai dengan hak saya untuk menolak atau menerimanya. Keterbatasan setiap individu dalam menyelami, dan memahami karya seni atau produk lainnya, adalah manusiawi dan tidak ada yang mutlak dalam kehidupan ini.Kebenaran itu sendiri berpihak dan relatif subyektif. Oleh karena itu mari kita terus bekerja, mari kita mencoba mengurangi keterbatasan yang manusiawi itu. Selamat bekerja keras Bung. salam putu oka - Original Message - From: [EMAIL PROTECTED] To: Putu Oka Sukanta Sent: Sunday, November 23, 2008 1:35 PM Subject: Dokument Komentar AA (Kopie)
[ac-i] Suprijadi Tomodihardjo dari TITIAN
FIR DAN SIS Soeprijadi Tomodihardjo SEJAK September lalu pada acara Hari Raya Idulfitri sebenarnya telah terdengar omongan dari mulut ke mulut tentang diri Sisbandi. Fir agak khawatir sesuatu telah terjadi pada diri lelaki itu, namun selama ini belum sempat dia menengoknya di rumahnya. Dan tiba-tiba Sis muncul kembali di kedai langganannya tanpa diduga. Begitu Fir mendekat ke tempat duduknya, Sis menatapnya hanya sekejap lalu berpaling ke samping, kanan dan kiri ganti-berganti. Apatis. Raut layu wajah yang sayu. Tak ada tanda-tanda Sis mengenalnya. Dingin yang mencengangkan. Perlu apa Sis? Ada soal apa? tanya Fir. Soal... entah, soal saya... mau entah. Fir geleng kepala menatapnya. Itu bukan jawaban dan pasti bukan kelakar, sebab Sis mengucap dengan bibir gemetar, senyum terkulum tanpa ceria. Namun Fir coba bertanya apakah dia masih mengenalnya, dan Sis tampak ngah-ngoh seperti orang bodoh. Tidak. Dia tidak bodoh. Setidaknya pernah tamat SMA sebelum 1965 meski kemudian patah kuliah jurusan Sinologi di UI. Kini agaknya ada yang onstel pada jaringan syaraf otaknya. Tersendat-sendat. Seperti gerigi arloji yang lepas dari asnya. Fir baru percaya omongan orang, dia bukan saja jadi pelupa tapi sudah benar-benar demens: d-é-m-è-n-s! Sungguh keterlaluan, pikir Fir. Seusianya tentu belum waktu lelaki itu mengidap gangguan ingatan. Semula Fir tak melihatnya sedang makan, sebab pada jam itu para pelanggan berkerumun menanti luang kursi. Kebanyakan mereka adalah pegawai rendah perkantoran di seputar Wiener Platz yang sedang istirahat setengah jam saja buat makan siang. Gudzel si pemilik kedai, buru-buru memanggil Fir di kassa ketika Sis bengong tak ada uang di kantong setelah melahap kebab1). Fir percaya, dia tak akan menyelonong tanpa bayar sesudah perutnya kenyang. Dia bilang pada Gudzel, lelaki itu cuma lupa koceknya saat meninggalkan rumah. Sebagai kawan tentu saja Fir menanggungnya. Gudzel percaya karena dia sahabatnya. Fir menggandengnya keluar. Di pinggir tempat parkir dia berpura tanya siapa namanya. Fir merasa nelangsa ketika mendengar jawabnya. Bahkan nama sendiri Sis lupa. Tak ada senyum melingkar pada wajahnya. Wajah kosong seorang lelaki yang kehilangan kemudi diri. Fir sendiri sering lupa nama orang, bahkan nama besar semisal almarhum mantan presiden Prancis sebelum Chaque Chirac pada petak-petak segi-empat sebuah halaman teka-teki silang. Tetapi Sisbandi tak ubahnya dengan Firman, dua-duanya pseudonym, tempat mereka mengubur indikasi diri berupa segumpal stigma: Gestapu-PKI. Seperti Pater Wisanggeni yang menjelma Saman dalam roman Ayu Utami. Seorang pater yang terlibat gerakan perlawanan petani karet ketika kebun mereka ditebang pemodal multi-nasional yang mengubahnya jadi perkebunan kelapa sawit. Sis tentu bukan jenis Saman yang melarikan diri hingga Singapura, New York, Manhattan, sebagai buron preman bayaran. Dia cuma dongkolan mahid2) yang kabur-kanginan menyusul Fir sampai di Westfalia Utara di mana mereka meminta suaka. Fir mulai sadar dan khawatir akan simtoma serupa di masa depan dirinya. Sebab dia dan Sis hampir sebaya, juga kian pelupa dan sama-sama orang buangan. Perihal membina keluarga hanya dalam satu hal saja mereka berbeda: Fir adalah Firman yang sempat menikah sedangkan Sis tetap jejaka tua. Setelah pertemuan singkat di kedai itu Fir mengantar Sis pulang karena lelaki itu tak tahu lagi di mana rumahnya. Malam itu Fir coba menelepon Sis. Didengarnya suara hampa seorang kawan lama yang tak tahu lagi siapa dirinya, Halo. Siapa situ? Ya Sis, aku Firman, suami Rukmi. Kamu Sisbandi bukan? Siapa Firman? Siapa... Ah, masak lupa? Bukankah aku yang mengantarmu pulang tadi siang? Emm mm. Siapa? Pulang ke mana? Lupa pasti bukan bakatnya. Namun trauma, keterasingan dan kekosongan dalam hidupnya di luar Tanahair selama puluhan tahun, telah menguras tandas telaga bawah sadarnya, tetes demi tetes. Kamu siapa? ulang Sis. Aku Kala Srenggi! Ingat bukan? Kala Srenggi! cetus Fir jengkel. Hus! dengus istri Fir. Orang sakit kok digodain. Kasihan dong! Bolpen dan kertas siap ya? lanjutnya. Oke, tulis yang benar: kosong dua dua kosong tiga - lima tiga satu kosong lima. Aku ulangi ya, kosong...dua...dua...kosong...tiga- lima...tiga...satu...kosong...lima. Jadi, tinggal ngebel saja. Kalau kau mau, silakan nginap, kami tak keberatan asal seadanya. Fajar bisa menjemputmu kapan saja. Fajar? Siapa Fajar? Kian jengkel Fir meladeninya: Tulis ya, Fajar itu anakku! Masak lupa? Waktu kecil kau suka meniumangnya... Bermenit-menit Fir menunggu. Telepon genggam hampir dibungkam ketika didengarnya lagi suara Sisbandi, Halo. Siapa situ? Ya, ini aku lagi Sis, bapaknya Fajar! Kok masih tanya! Fajar? Siapa Fajar? Sudahlah Sis, selamat tidur. Lain kali aku menelepon lagi. Fir tak sabar lagi lalu membungkam telepon genggamnya. Ganti istrinya menegurnya, Enggak bisa terus begitu! Mesti mendapat perawatan dokter. Sebaiknya
[ac-i] Melintas sepintas
1.Melintas sepintas. dari bui ke hawaii tak bisa diukur langkah kaki masih tersisa rasa perih dera ekor pari dikejar bawah sadar dalam mimpi bukit-bukit hawaii disemangati terang lampu malam hari aroma kamboja bunga hawaii disambut getar suaraku bergema menantang pilihan manusia hawaii tak pernah terbayangkan dari bui nafas kita menyatu berembus melaju membongkar sekat manusia - hawaii. Lincoln House, Sept 2000 Brief Crossing From jail to Hawaii the footsteps are imeasurable slashes from the sting-ray's tail yet lurk in dreams my subconscious flushes out the hill of hawaii alive in the lamplit night the scent of Hawaii'fringipani my voice reverberates among them to challenge the choice of men Hawaii-in jail I never once imagined you our breaths- now as one-blow forward to pull down the walls men build. Lincoln House, Sept.2000 Translated by Sylvia Tiwon.
[ac-i] Bungalow Ubud
12.Bungalow Ubud. Di sini selain kamboja, ada lain bunga dilumat pengembara Entah dicatat dewa, ditonton bidadari mereka asyik meluluhkan diri. Bali menggelar dua pintu serupa gang tembus ke sorga dan neraka. Ubud, 15 Oct. 20054 12. Ubud bungalow here, as well as frangipani, are other flowers trodden into the ground by visitors i don't know if they're noted by the gods, watched by angels they enjoy crushing themselves. bali proffers two matching doors pathways to heaven and to hell. Ubud 15 Okt 2004 Translated by Vern Cork 13. Di angkasa Kusimpan setangkai bunga dari Ubud, walau semalam sorang sobat berkomentar, You are always not at home. Dalam senyumku, aku berbisik aku memang sedang mencari rumah sampai ke sudut-sudut dunia, karena belum menemukan rumah karena belum mempunyai rumah Di angkasa di atas pulau Bali menuju Jakarta, rumah yang dicari-cari matahari menembus jendela, buih riap pantai awan, berlapis-lapis kesenyapan khayali Tapi memang di sinilah aku berumah Kurogoh dari saku kembang kamboja yang kubawa dari Ubud, sudah layu tanpa jiwa Bali - Jakarta, 18 Okt 2004. 13. In space i keep a flower from ubud yet last night a friend commented you are always not at home. smiling, i whisper actually i am seeking a place to live anywhere on earth as i have never yet found a place as i have never yet owned a place in the sky above bali heading for jakarta, seeking a home the sun shines through the window, clouds, in layers of imaginary silence but this is where i have a house i pull from my pocket the frangipani i brought from ubud, it's already limp, soul-less Bali-Jakarta 18 Oct. 2004 translated by Vern Cork Meniti Titik Benua
[ac-i] cuplikan SURAT BUNGA DARI UBUD.putu oka sukanta
10.Bunga. Di depan pintu lift ada kotak asbak, bersimpuh setangkai bunga aku mengangguk ketika ia senyum. Mau ikut sarapan? Tidak tuan,saya bertugas menyambut tamu yang baru bangun, yang mau tidur, yang mau sarapan seperti tuan., yang baru datang mencari kamar yang akan pergi meninggalkan kami Di meja makan telah menanti matahari dan bunga berlomba menyapa, selamat pagi tuan, silakan memilih, Ada bubur, siomay, jus, roti, salad atau nasi gurih Aku tersenyum mengganggukkan kepala melepas pandang ke kuping yang diganti bunga di sela-sela hidangan berjejer berbagai bunga seperti geisha Setelah kenyang, aku pun masuk ke kamar kecil yang luas lebih luas dari kamar tidur anakku Caca, di atas kloset bersimpuh setangkai bunga yang tidak pernah menutup hidung Aku tidak bisa menghindar dari sapaan bunga, dicubit rasa malu, kikuk, terasa diperangkap rekayasa Maya Ketika kuambil bunga diatas asbak ia berkata lembut,jangan tuan kami santapan dewa-dewa yang sedang kutunggu sejak lama. aku rindu sekali kepadanya Aku menemaninya sampai senja tidak juga datang para dewa ia layu rindu tersiksa, aku makan malam ke Casaluna. Ubud 12 Okt.2004 10. flower by the door of the lift is an ashtray, a flower kneels i nod as she smiles will you have breakfast with me? no sir, my job is to greet guests who have just woken, want to sleep, want to have breakfast like you, are looking for a room or are checking out at table the sun and flowers are waiting competing to greet me, good morning sir. please choose we have rice porridge, siomay, juice, bread, salad or fragrant rice i smile and nod my head turn to look at the ear with its hanging flower beside the food are rows of flowers like geisha after eating my fill, i go to the roomy toilet biigger than my daughter caca's bedroom on top of the cistern is a flower which never holds its nose i can't get away from the greetings of flowers pinched by embarassment, discomfort, feeling trapped illusion/maya when i take the flower from the ashtray she says softly, don't sir we're breakfast for the gods whom i've been long awaiting. i miss them so. i accompany them till dusk but they still haven't come she is limp with hurt longing, i'll have dinner at casaluna. Ubud 12 Oct. 2004 Translated by Vern Cork
[ac-i] Cerpen Putu Oka dari TITIAN
Harumi Putu Oka Sukanta SETIAP aku lewat di depannya, pasti aku terhenti. Tidak hanya sejenak, seringkali bermenit menit. Aku memandanginya. Memperhatikan seluruh tubuhnya yang bergoyang pelahan-lahan mengikuti irama musik alam yang mengayunkannya. Musik alam itu digesek oleh dedaunan tetumbuhan yang memayunginya. Aku menghirup aroma tubuhnya. Aroma yang berembus dari napasnya. Juga dari pori-pori tubuhnya. Dari rambutnya bergerai. Aku berdiri berlama-lama di depannya. Terasa seperti ada aroma mistis yang menyelesup ke dalam kantong udara paru-paruku. Tidak hanya aromanya yang terasa menyelusup tetapi ada enerji mengalir menghangatkan tubuh, kekuatan gaib kayali. Kutarik nafas dalam-dalam, menghirup dalam-dalam aromanya, napasnya yang mengalirkan kehangatan tubuhnya. Oiii, segar, aku berbisik sendiri. Aku belum puas, aku mengangkat kedua tangan, menyorongkan ke depan hendak memeluknya. Jangan disentuh, Nak. Terdengar suara entah dari mana datangnya. Aku memang tidak hendak memeluknya, tetapi hanya ingin tertular auranya. Suara itu tidak kupedulikan. Karena aku memang tidak akan menyentuhnya. Kedua telapak tangan aku hadapkan ke pipinya. Sesaat kemudian kualihkan ke bagian tubuhnya yang lain, ke dadanya yang bergoyang meliuk. Ke pinggangnya. Tetapi beberapa saat kemudian tanganku beralih ke atas. Terasa di bagian dadanya inilah kekuatannya berpusat. Sedangkan aroma wangi yang mistis itu berembus keluar dari seluruh sosok tubuhnya. Kedua telapak tanganku bergerak di luar keinginanku mendekat dan menjauh dari dadanya tanpa kendali. Kekuatan apa yang menghidupkan tanganku? Aku bertanya, tapi tak ada yang menjawab. Tak ada siapa-siapa di sekelilingku. Keheningan memukauku tanpa mampu menyadarinya. Tanganku lebih cepat lagi bergerak, sekarang tidak hanya mendekat dan menjauh dari dadanya tetapi telapak tanganku menghadap tubuhku dengan gerakan juga mendekat dan menjauh dari dadaku sendiri. Aku memejamkan mata. Aku terbawa oleh aura magnitnya, gerakan tanganku tanpa kendali. Kepalaku bergerak bergoyang berputar-putar. Ahhh wanginya. Hangat. Kuhirup dalam-dalam lagi aroma itu. Kemudian aku melangkah meninggalkanya. Aku tidak tahu siapa namanya, dan sepertinya aku tidak punya keinginan untuk mengetahui namanya. Aku lebih suka memberikan nama menurut keinginanku sendiri. Maka aku beri nama ia, Harumi. Ia tinggal di rumah Ibu Sri, di sebuah rumah sederhana menghadap gunung . Matahari pagi menyiramkan kehangatannya pada pekarangan belakang rumah Ibu Sri. Aku tidak tahu mengapa orang-orang mengatakan itu rumah Ibu Sri, bukan rumah Pak Made, seorang lelaki yang juga berdiam di rumah tersebut. Pak Made, kata orang lagi, beristrikan Bu Ketut, adik Bu Sri. Tetapi rumah itu terkenal sebagai rumah Bu Sri, seorang perempuan yang pada pandangan pertama kami bertemu telah memancarkan kewibaan dari sinar matanya. Boleh Nak. Silakan masuk melihat-lihat. Begitu sapanya ketika pertama kali aku minta izin masuk ke pekarangan rumahnya. Aku menjawabnya dengan senyum dan anggukan kepala. Dan di antara tetumbuhan yang rimbun itulah aku bertemu dengan Harumi. Pada pertemuan pertama pandangan kami dipertemukan oleh aroma tubuhnya. Aku terkesima. Kami saling menyapa dengan senyum dan bahasa mata. Pada saat kunjungan pertamaku, aku melangkah lewat di depannya, tetapi langkahku terhentikan beberapa langkah sesudah melewatainya oleh aroma wangi yang belum pernah tercium sebelumnya. Aku menolehnya, mencari-cari dari mana aroma itu datang. Aku berdiri memaling-malingkan muka. Apa yang kau cari, Nak? tanya Bu Sri yang tanpa sepengetahuanku berdiri di antara tetumbuhan lain, memperhatikan gerak gerikku. Ada aroma yang menyapa saya, Bu. Ya, ia ada di dekatmu. Aku mencari-carinya. Yang kucari itu tersenyum, sapaan lembut. Aku melangkah mendekatinya, tanpa kata-kata. Aromanya semakin menderas menyentuhku. Aku menciumnya dalam-dalam aroma yang memancar dari sekujur tubuhnya dalam kedekatan yang berjarak. Ibu boleh saya menumpang untuk berjemur? aku bertanya tersipu-sipu untuk mengalihkan rasa malu yang tertangkap basah. Oh tentu saja boleh. Ini kan rumah dalam hati tanpa pintu. Tanpa pintu Bu? Rumah dalam hati Bu? Ya, karena kami bangun dengan ketulusan, terbuka untuk siapa saja yang datang membawa kejujuran. Aku terdiam dan bertanya sendiri, apakah aku datang dengan keculasan, maka Bu Sri bilang begitu? Aku merasa datang dengan kepolosanku. Tanpa syak wasangka, apa lagi pamrih. Apa artinya itu Bu? Tentu Nak bisa memahami apa yang Ibu maksud. Masuklah. Duduk di mana saja maunya, sambil menjemur tubuhmu. Matahari adalah sahabat kami yang menghidupi kami semua penghuni rumah ini. Ketika ia datang pagi, ia memberikan kehangatannya untuk mendorong tubuh kita lebih kuat. Di senja hari, ketika ia mau masuk ke peraduannya ke balik gunung, ia memberikan rona merahnya yang semakin lembut, seolah memperingatkan kita bahwa
[ac-i] Pranita Dewi dari TITIAN
9. Gerimis Merelakan Kau Pergi Pranita Dewi AMBARAWA, 31 Desember 2003 Gerimis jatuh lagi. Aku selalu teringat hari kemarin saat matahari tiada pernah aku lihat lagi belakangan ini. Dengan rasa gamang aku melepasmu untuk pergi jauh. Aku tak tahu adakah tujuan yang pasti ketika gerimis yang kulihat bukan gerimis yang dulu lagi? Pada setiap bulirnya tampak jelmaan langit yang hampir runtuh. Matahari sudah cukup umur memanasi dunia. Matahari telah lelah dan kini matahari ingin terus-menerus berada di pembaringan agar tak seorang pun dapat melihatnya lagi. Matahari telah bosan untuk memberikan secarik sinar. Semesta gelap dalam gerimis. Itulah sebabnya Tuhan pun kini mengutus hujan untuk menggantikan matahari itu. Hujan? Tapi bukan hujan yang kulihat melainkan gerimis yang mengais sepi. Lorong-lorong basah rata dengan tanah. Juga atap-atap rumahku yang bocor. Hingga aku betah untuk menetap di hunian ini. Hunian? Ya, aku kini berada di sebuah ruang entah berukuran berapa untuk mencari jati diriku yang sebenarnya. Kau yang senantiasa berada di sampingku seolah ingin menyelamatkanku dari dingin malam dengan hangat tubuhmu. Kau kira aku dingin dengan keadaan seperti ini? Tidak, tubuhku tidak dingin, tapi hatiku sekarang mungkin sudah beku. Namun kau yang berambutkan kelam masih saja ingin menyelamatkanku dari dingin gerimis malam ini. Kau begitu baik padaku. Aku pun tak tahu apa yang harus kukatakan padamu tentang tubuhku yang sebenarnya? Tubuhku tidak dingin tapi hatiku telah beku oleh ucapanmu kemarin. Kipas angin yang selalu berputar kini diam seolah tak bernyawa. Mati! Di remang kaca yang biasanya hanya memantulkan satu wajah saja, kini mencerminkan dua wajah. Kau dan aku. Gerimis semakin mencekam. Malam bertambah kelam dengan desahan pohon palem. Kau tertawa lugu. Tapi tidak! Kau tidak tertawa namun hanya tersenyum sambil memandangiku. Kau yang bertubuh kekar memakai kaos yang sudah pasti terlalu besar untuk kugunakan. Kurasa setelah hampir setahun aku bersamamu, menjalin hubungan denganmu, dan telah sekian kali menguji cintamu, aku yakin kau adalah laki-laki terakhir bagiku. Kau akan pergi esok ketika aku tak tahu apakah esok hari akan gerimis atau cerah. Aku tak bisa menduga apa yang akan terjadi esok. Semoga kau tak jadi pergi, itu harapanku dalam hati. Hanya dalam hati karena bibirku tak sanggup meluncurkan kata-kata yang membuatmu ragu untuk berangkat pergi. Ini sudah hari kedua aku menginap di tempat ini tapi tidak untuk ketiga karena esok kau akan bergegas untuk meninggalkanku sendiri dalam gerimis. Tak ada lagi yang akan menemaniku, tak ada lagi tubuh yang mencoba untuk menghangatiku dari dingin malam. Ini hari terakhir aku bersamamu karena esok pasti tidak lagi. Kau terlihat sangat bahagia atas kepergian esok, namun itu nestapa bagiku. Malam ini malam perpisahan. Aku mencoba untuk membuat malam ini betul-betul menjadi malam yang tak terlupakan untukmu, juga untukku. Seraya menikmati lagu yang terus mengalunkan nada-nada sendu, kita asyik berdansa mengiringi semua nyanyian alam. Hanya kita berdua, kau dan aku. Aku tak menghiraukan sedikit pun hal yang terjadi di luar dan aku tak boleh menghiraukan hal itu. Di ruangan ini hanya ada kau dan aku, bahkan semut pun kurasa sungkan untuk datang bertamu malam ini. Mungkin di luar sedang ada berbagai macam kejadian, ada lalu lintas yang macet, ada kecelakaan, tapi malam ini punya kita. Biarlah kita menikmatinya. Hanya kau dan aku. Kita saling berpandang tak jemu. Sedetik kemudian aku tak tahu apa yang kau lakukan terhadapku. Tiba-tiba tubuhku telah tergelepar di ranjang, kurasa aku tak akan menyesal melakukan itu setelah setahun bersamamu. Bukankah malam ini hanya milik kita berdua? Bahkan serangga malam pun tak sanggup mengganggu. Karena aku tahu kau akan pergi esok, kurasa aku harus menghadiahkanmu sesuatu yang sangat berarti bagiku. Aku menghadiahkanmu milikku yang paling berharga setelah setahun aku selalu bersamamu. Esok kau akan pergi. Malam bertambah dingin. Gerimis masih berjatuhan, walau tadinya tampak terhenti sejenak. Pohon-pohon kedinginan. Kita hangat di sini. Namun aku tidak sanggup merasakan penderitaan yang dialami pohon-pohon di luar sana. Kasihan pohon-pohon itu, mereka harus berjuang sendiri untuk melawan dingin dan mereka harus mempertahankan hidup mereka sendiri. Aku mencoba bercakap denganmu, walau aku tahu kita sedang menikmati percintaan yang belum usai. Kau memelukku erat sambil tersenyum mendengar apa yang aku ucapkan. Mungkin kau selalu memikirkan pertanyaan-pertanyaan lugu yang meluncur dari mulutku. Kita adalah mahluk yang beruntung di antara semua mahluk ciptaan-Nya. Namun masih banyak juga manusia yang merasa tidak puas dengan apa yang ia miliki, ia selalu saja menuntut hal yang
Re: [ac-i] DR.KEITH FOULCHER,Kata Pengantar pada SURAT BUNGA DARI UBUD
Putu Satri, bagaimana kelanjutan penerbitan buku Tragedi Bali 1965/66. Sudah ada berapa cerpen terkumpul yang tidak melalui saya/ Tolong donk dipikirkan soal naskahnya. Dana untuk mencetak saya usahakan di Jakarta. Salam untuk Ole dan Sonia. salam putu oka - Original Message - From: putu satria kusuma To: artculture-indonesia@yahoogroups.com Sent: Tuesday, November 11, 2008 7:50 PM Subject: Re: [ac-i] DR.KEITH FOULCHER,Kata Pengantar pada SURAT BUNGA DARI UBUD Selamat atas peluncuran ini. Dengan sastra, ditulis apa yang belum dibaca dan apa yang tidak boleh dibaca dan apa yang coba dihilangkan oleh penguasa . Salam: Putu Satria Kusuma --- On Tue, 11/11/08, putu oka sukanta [EMAIL PROTECTED] wrote: From: putu oka sukanta [EMAIL PROTECTED] Subject: [ac-i] DR.KEITH FOULCHER,Kata Pengantar pada SURAT BUNGA DARI UBUD To: [EMAIL PROTECTED], artculture-indonesia@yahoogroups.com Cc: [EMAIL PROTECTED] Date: Tuesday, November 11, 2008, 7:34 AM SURAT BUNGA DARI UBUD, adalah kumpulan puisi Putu Oka Sukanta, dalam bahasa Indonesia dan Inggris, diterbitkan oleh Penerbit Koekoesan, disukung oleh Institut For Global Justice. Penerjemah puisi : Keith Foulcher, Sylvia Tiwon, Kaja McGoan, dan Vern Cork. Buku TITIAN dan SURAT BUNGA DARI UBUD, diluncurkan tgl. 7 nop. 2008. di Goethe Institut Jakarta Setelah kata Pengantar, akan disajikan puisi-puisianya berturut-turut, kalau tidak ada halangan mulai besok. Salam hangat dan selamat membaca Putu Oka Sukanta KATA PENGANTAR Kumpulan Puisi SURAT BUNGA DARI UBUD Putu Oka Sukanta. Para pembaca puisi-puisi Putu Oka Sukanta akan menemukan bahwa ada banyak hal yang bisa dinimati dan direfleksikan dalam kumpulan puisi-puisinya yang menandai 70 tahun kepenyairannya. Terbagi dalam 4 bagian, Surat Bunga dari Ubud terdiri dari 71 sajak, ditulis antara tahun 1999 hingga 2007, dan beragam mulai dari yang personal sampai politis, atau nexus dari keduanya. Yang tersunting disini dalam bahasa puisi adalah perenungan terhadap kehidupan pribadi sang penyair, pengalaman-pengalam annya dan hubungannya dengan orang lain, dan pandangan-pandangan nya terhadap peristiwa-peristiwa penting yang terjadi di kehidupan sosial dan politik di Indonesia pada tahun-tahun awal di abad ke-21. Nada kumpulan puisi ini beragam sebagaimana inspirasi-inspirasi untuk sajak-sajak itu sendiri. Ada kalanya suasana hati dalam puisi itu gelap dan putus asa, pada saat yang lain lebih optimis, bahkan terkadang terkesan bermain-main dan menyindir secara halus. Tetapi kumpulan puisi ini secara keseluruhan tidak jauh dari kegelisahan yang membingkai semua karya-karya Putu Oka pada tahun-tahun terakhir ini, sebuah komitmen yang menegaskan pada prinsip-prinsip martabat kemanusiaan. Pada puisi-puisi ini, dan juga pada sebagian besar karyanya yang lain, kita selalu sadar akan kepekaan sang penyair akan pelanggaran paling mendasar terhadap kebutuhan kemanusiaan yang paling mendasar ini, baik yang terjadi di kehidupan pribadinya ataupun di kehidupan sesama warga negara. Sebagian besar dari kumpulan ini diliputi oleh derita akan kepedihan rasa kehilangan: masa lalu yang hilang, dan mereka yang menjadi bagian darinya, kehilangan kemesraan dalam perjuangan keseharian untuk tetap bertahan, kehilangan hidup dan komunitas dalam bencana alam dan malapetaka sosial yang melanda Indonesia selama periode yang dipantau oleh sang penyair. Kehilangan masa lalu menjadi bagian dari perasaan sang penyair menjelang tua yang dipicu oleh perpisahannya dengan beberapa sahabat yang tidak akan pernah bertemu lagi (Perkawanan dengan Z. Afif, Bung Agam), tetapi itu juga berkembang menjadi pengalaman kehilangan yang dini, dan kebutuhan untuk memulihkan perasaan untuk tetap bertahan hidup dihadapan perpisahan yang kekal (Anita di hari hari kemudian, Munir, Kulihat kamu ada di sini, Yang Hilang dari perpisahan). Ada kesan kepedihan akan kehilangan sebuah tempat (Aku kangen kampung halaman) dan dendam yang melekat atas kehilangan seluruh dekade kehidupan sang penyair dibawah kondisi penahanan politis dan efeknya yang berkelanjutan (Pencipta Kerangkeng Kemanusiaan, Wajah Salemba 66-76, Patung Liberty). Kehilangan kemesraan membingkai peristiwa-peristiwa keputus-asaan diri saat romantika cinta berlalu (Semakin Sering, Gelak Tawa, Kuda binal), meskipun masa suram kejadian itu bertebaran di sepanjang kumpulan puisi ini, menjadi kehadiran cinta yang lebih dalam, cinta dari keluarga yang menabahkan dan menjadi sumber kekuatan atas eksistensi sang penyair (Jiwa Bunga, Dua Perempuan). Yang lebih sulit untuk dilepaskan adalah dahsyatnya rasa kehilangan akan kehidupan yang disebabkan oleh bencana alam (Aceh, dukamu duka dunia) dan Indonesia yang menangisi masyarakat dan nilai-nilainya
[ac-i] Jangan Sekarang
Cuplikan SURAT BUNGA DARI UBUD,Putu Oka Sukanta 7. Jangan sekarang cemas memacu jantung kuda liar kutunggang dalam kendali memanjat tebing kematian sepanjang malam dalam kesendirian. Kutarik nafas panjang berulangkali menentramkan gelisah, keliaran membentur kebuntuan bunga yang merekah pagi tadi telah jatuh di pangkuan rumput mulai dimandikan embun ah, jangan kau bawa aku ke setra, jangan malam ini, ketika sendiri. Cemas memacu jantung lari antara 190 /110 Kutarik nafas panjang berulangkali Leluhurku di khayangan, aku masih mau menulis puisi. Ubud, 15 Okt.2004. Setra= kuburan 9. not now. fear makes the heart beat faster I put reins on a wild horse and scale the cliffs of death all night long in my aloneness. I keep on drawing deep breaths to still the fear the wild ride ends in deadlock the flowers that bloomed this morning lying now in the lap of the grass are washed in the cool of the night ah, don't take me to the graveyard tonight, not tonight, when I'm all alone. fear makes the heart beat faster running at 190 over 110 I keep on drawing deep breaths You ancestral spirits looking down on me now, there is still some poetry I have to write. Ubud. 15 Oct 2004 Translated by Keith Foulcher
Re: [ac-i] Re: mencari ilustrator untuk buku anak2
Coba hubungi Sdr. Salim di 021 7496531. Setahu saya ia banyak melakukan hal tsb. salam putu oka - Original Message - From: mediacare To: aci ; media-jogja Sent: Sunday, November 16, 2008 3:54 PM Subject: [ac-i] Re: mencari ilustrator untuk buku anak2 Ada yang minat? - Original Message - From: Aimee To: [EMAIL PROTECTED] Sent: Friday, November 14, 2008 2:18 PM Subject: [bizzcomm] (help)mencari ilustrator untuk buku anak2x halo members, saya butuh ilustrator untuk buku anak2x, please email saya : [EMAIL PROTECTED] thanks
[ac-i] DVD:DAMPAK SOSIALTRAGEDI KEMANUSIAAN 1965/66
MENYEMAI TERANG DALAM KELAM Tragedi kemanusiaan 1965-1966, menyisakan tidak hanya luka bathin tapi juga sisa-sisa pergulatan untuk tetap menjadi manusia di bawah penindasan militerisme sebagai ujung tombak Orde Baru. Sketsa-sketsa percik terang orang yang ditahan, dikejar-kejar dan mereka yang ditinggalkan oleh orang tuanya, suaminya, istrinya, karena dipenjarakan atau dibunuh. Seorang penyair mempertanyakan kepada jendral-jendral tentang keabsahan sejarah yang mengandung fitnah. Saksi mata bercerita tentang fitnah Tarian Harum Bunga dan Congkel Mata di Lubang Buaya. Lukakah bathin seorang anak perempuan yang mencari bapaknya dari tempat tahanan ke tempat lainnya, lantas dipertontonkan dengan penyiksaan tahanan sampai terkencing-kencing ? Kisah singkat seorang ibu yang mengetahui suaminya sudah ditangkap dan dia sendiri termasuk daftar orang yang akan dibunuh, menggelandangkan diri dari satu kota ke kota lainnya, agar bisa tetap hidup dan mengurus anaknya, kini telah menjadi manusia baru. Seorang pekerja film dalam rangka menghindarkan diri dari penangkapan terpaksa menjadi gelandangan agar dapat bertahan hidup sampai sekarang ini. Seorang intelektual telah bertahan hidup selama suaminya dipenjarakan dan berhasil eksis. Tampak juga bagaimana seorang petugas Lubang Buaya memberikan indoktrinasi kepada anak-anak kecil. Pengakuan salah seorang anak DN. Aidit yang bertemu dengan Letjen (Purn) Sarwo Edhi Wibowo, juga diungkapkan dalam film ini. Masih banyak kisah-kisah lainnya seperti paparan seorang sejarahwan dan praktisi hukum. SOWING THE LIGHT IN THE DARK The tragedy of Humanity 1965-1966, not just living the deep inner wound, it also left many struggles to keep on living as human under military oppression as the New Order's instruments. Sparks of sketches of man and woman arrested, pursued and they who were left by the parents, husbands, wives as they imprisoned or killed. A poet questioning the generals about this country's slandered history. An eye-witness telling the lie behind Tarian Harum Bunga (The Nude Dance) ang Congkel Mata at Lubang Buaya. How deep a small girl's inner wound who was searching her father from one cell to another and had to watch prisoners being tortured till urinated ? A woman's story who knew that her husband already arrested and she herself was included in the list to be killed ran for life and her beloved child. Now she is a new human being. A confession from DN Aidit's son when he met Letjen Sarwo Edhi Wibowo and what was said in that event. And manymore. PEREMPUAN YANG TERTUDUH Bercerita tentang salah satu peristiwa yang terjadi dalam sejarah Indonesia, yang patut diteliti dari banyak hal, karena disitulah kita bisa melihat ada titik krisis dalam membangun Nation Building sebagai Indonesia. Selama ini sejarah Indonesia banyak ditulis dari tokoh laki-laki dan saksi laki-laki. Sementara kita lihat banyak saksi perempuan yang juga banyak cerita dan tutur mengenai peristiwa dan kejadian pada waktu '65 khususnya, kalau kita bicara tentang '65 THE ACCUSED WOMAN Telling about the '65 Affair was an incident in Indonesia's history which supposedly to be researched properly from any aspects, as within the incident we could examine, there were crisis point in Nation Building as Indonesia. So far, Indonesian story have been written by men and from men witnesses. While we could see, many women's witnesses who had many stories and narratives in regard the affair and incident '65, if we talk about the '65 Affair. TUMBUH DALAM BADAI Adalah kisah beberapa anak yang berjuang hidup dalam tekanan diskriminasi secara struktural karena orang tua mereka menjadi korban Tragedi Kemanusiaan 1965/66. Mereka pantang menyerah, tumbuh dalam berbagai kondisi untuk bertahan hidup dan mengembangkan dirinya menjadi manusia baru. Diantara mereka adalah Wangi Indria, dalang wayang kulit yang juga penari dan penyanyi di Indramayu. Dia anak salah seorang dalang wayang kulit yang pada zaman Orde Baru menjadi tahanan politik. Bondan Nusantara, anak Ibu Kadariah, seorang primadona ketoprak Jogja tahun 60-an, yang ditahan beberapa tahun. Juga muncul dua anak dari Bali, selain Nani Nurahman, seorang putri jendral Soetoyo yang diabadikan sebagai Pahlawan Revolusi. GROWING IN THE STORM Is about the struggle of those people whose their parents have been victims of the tragedy in 1965/66 and until today still experience discrimination from different sides. However, they refuse to give up, in fact, they grow under these difficult circumstances and develop to new human beings.One of them is Wangi IndrIa, a Wayang Kulit puppeteer and also a dancer and singer from Indramayu. Her father, also a puppeteer, was a political prisoner during the New Order. Bondan Nusantara, the son of Ibu Kadariyah, a prima donna of Javanese theatre from Jogja in the 60's. Nani Nurahman the daughter of General Soetoyo, who will always be remembered as a national
[ac-i] Martin Aleida dari TITIAN
5. Mangku Mencari Doa di Daratan Jauh Martin Aleida MANGKU tak sudi mati di tanah tumpah darahnya, Bali. Tidak! Hidup terlalu menyesakkan, hingga dia bersumpah lebih baik mati di daratan yang jauh. Tak pernah dia bayangkan jasadnya akan diantar ke kayangan bersama api ngaben yang meliuk. Suatu kematian terhormat yang buatnya adalah angan-angan yang jauh panggang dari api. Tetapi, dia yakin, mati sekadar diantar selantun doa tentulah mungkin. Dan itu sudah jauh lebih mulia dibandingkan dengan kematian yang merenggut nyawa ayahnya. Orang tua itu dibunuh karena menerima tanah cuma-cuma dari organisasi tani yang dituduh merampas tanah tuan tanah dan membagi-bagikannya kepada petani tak bertanah seperti dia. Malang tak bisa ditampik. Huru-hara politik menggelegar. Bali berdarah. Hukum rimba direbut orang-orang yang dirasuki roh leak. Tuan tanah, yang menjadi korban landreform, melihat matahari baru menyingsing untuk memukul balik, merebut kembali tanah mereka. Begitulah, suatu pagi, ayah Mangku diseret ke tepi lubang, tengkuknya dihantam linggis, dan bersama jasad petani senasib, dia ditimbuni di lubang besar itu, tanpa doa, konon pula airmata. Tanah ayahnya kembali kepada pemilik semula. Di tempat lain, dalam huru-hara paling bengis itu, anak-anak menyertai ayah mereka ke dalam lubang. Mangku mujur. Air mata kanak-kanaknya menyelamatkannya dari maut. Dan pemilik tanah membiarkan si kecil menempati gubuk orang tuanya. Dia bekerja sebagai pembantu di rumah tuan tanah itu. ** Siang seterik ini, duduk beristirahat di lindung bayang sulur-sulur daun, Mangku menebarkan pandang ke daratan menghampar. Dia melihat bayang-bayang masa kecilnya, bermain di tegalan, sementara ayah dan ibunya menggarap lahan dengan gairah petani sejati. Bayang-bayang itu kemudian mengabur dalam benaknya dan menjadi kenangan hitam yang ingin dia tanam dalam-dalam. Selamanya. Dia mimpi tentang hari tuanya di daratan yang baru dan jauh, serta pulang ke kayangan dengan sebuah doa. Mangku tak selesai sekolah dasar, tapi dia tahu ada daratan yang bernama Lampung, di mana orang Bali membangun hidup baru tanpa meninggalkan adat dan kebiasaan. Dia ingin mati di sana dengan diantar sebuah doa. Doa yang sederhana dari orang-orang Bali sejati. Sejak lama dia pelan-pelan mengumpulkan keterangan tentang Sumatera, daratan yang menjadi kembang impiannya itu, termasuk peta jalan raya yang lumayan lengkap. Peta itu dia peroleh dari seorang teman, kernet bus jarak jauh. Dia juga menyimpan kliping berita dan artikel dari koran bekas yang dia pulung di pasar. Tetapi, peta itulah yang paling menyita minatnya. Saban malam, menjelang tidur, dia membentangkan penunjuk jalan itu di lantai, selebar-lebarnya. Seperti seekor semut dia menyusuri jalan darat yang menghubungkan tempat tinggalnya dengan tanah berbukit-bukit di Lampung. Menggunakan mistar, entah berapa kali sudah dia menarik garis lurus dari desanya ke pelabuhan Bakauheni. Seribu dua ratus kilometer! Ah.! Biasanya, dia lantas ditenggelamkan angan-angan penuh tanya, berapa lama jarak itu akan dia tempuh dengan merayap dari satu titik perhentian ke titik yang lain. Angan-angan yang biasanya berkesudahan dengan tidur yang lelap semalaman. Sering pula dia bayangkan betapa gentar hatinya nanti di atas ferry yang akan membawanya menyeberangi Selat Bali. Kemudian, seribu kilometer sesudah itu, dia akan menjelajah hamparan air yang memisahkan buntut Sumatera dengan pangkal Jawa. Hatinya gentar, karena yang akan dia arungi adalah anak samudera, bukan secercah air seluas kali di belakang rumah tuannya. Tetapi, sebuah doa lebih dahsyat dari gelombang. Jarak daratan dan laut apalah artinya untuk tekad yang siap mati. Mangku berbulat hati untuk berangkat dengan bekal yang dia tabung bertahun-tahun: seekor anjing Kintamani jantan dan seekor kera. Jantan pula. Uang kontan ala kadarnya. Tas kulit imitasi, berisi dua pasang pakaian dan dua lembar sarung. Dua caping kepala. Dua pasang sandal jepit. ** Sebesar apa, setinggi mana pun dia menyundul langit, dalam kegelapan malam begini, Gunung Agung bukan apa-apa. Lereng, apalagi puncaknya, tak tampak. Gelap semesta. Selepas berdoa bagi keselamatan dirinya, dan kedua hewan sahabatnya, perlahan Mangku menguakkan pintu. Dia persilakan anjing Kintamani melangkahi bendul lebih dulu. Sesudah itu, barulah dia keluar menggendong kera, sementara tas jinjing menggantung di tangannya. Angin menyapu bahunya, juga punggung anjing dan kera yang menyertainya. Begitulah pengembaraan itu dimulai tanpa pamit kepada majikannya. Tidak kepada siapa pun. Ini bukan pelampiasan dendam terhadap tuan tanah yang telah merebut kembali tanah yang beberapa tahun dikuasai ayahnya. Tetapi, buat Mangku sendiri, yang ingin mati dengan terhormat, tidak enak rasanya tinggal di rumah tuan tanah itu. Sungguh tak enak! Rasanya seperti beribu pasang mata yang terus-menerus mengawasi kalau-kalau dia
[ac-i] Linda Christanty: Sungai
4. S u n g a i Linda Christanty BELUM lama ini ia mendengar sungai itu akan ditimbun. Sebuah permukiman baru akan dibangun di atasnya. Pendayung rakit akan kehilangan pekerjaan. Air akan kehilangan salah satu alirannya. Banjir akan menggenangi lebih banyak daratan. Masa silamnya juga akan terkubur di bawah sana. Sungai itu mengalir di muka rumah masa kanak-kanaknya. Airnya tampak tenang kehijauan. Riak hanya muncul ketika rakit melaju. Tapi di musim hujan, air sungai keruh kecoklatan. Arus menderas. Gemuruhnya menembus dinding-dinding rumah yang terbuat dari anyaman bambu. Ia sering duduk di ambang pintu yang terbuka, menghadap ke arah sungai itu. Kaki-kakinya yang mungil menjejak tangga kayu yang hitam berlumut. Ia memandangi apa yang setiap hari hadir di saat ia terjaga maupun lelap, yang sama sekali tak menyuguhkan hal-hal ajaib dan luar biasa. Namun, ia senang dan takjub memandang wujud sungai di saat tenang maupun gelisah. Di musim kemarau, amis lumpur yang bangkit dan dibawa angin dari tubuh sungai itu terasa hangat di penciumannya. Ia jadi merindukan apa yang ia sama sekali tak tahu, ketika sesuatu yang sunyi di dalam dirinya tiba-tiba menjelma rasa sedih. Suatu hari, selagi ia menikmati pemandangan ini, Fatima mondar-mandir di belakangnya sambil menggendong Mina. Semula ia masih mendengar bujukan-bujukan manis Fatima agar putrinya segera tidur. Setelah itu senandung-senandung. Ketika rengek Mina tak lagi terdengar, Fatima mulai menghiburnya dengan dongeng dan cerita. Dan ia tak pernah bosan mendengar kisah yang sama. Ia memang tak punya hiburan lain. Tiap pagi Fatima menyeberangi sungai ini dengan rakit sewaan. Ia mencuci pakaian para penghuni rumah-rumah besar di seberang sungai dan memperoleh upah setiap minggu. Kadangkala ia membantu memasak untuk pesta-pesta mereka dan membawa pulang sedikit makanan ke rumah. Sebelum bekerja, Fatima menitipkan ia dan Mina pada tetangga mereka, seorang perempuan paruh baya. Sebelah mata perempuan itu buta. Bola mata kirinya yang putih pernah mengejar-ngejarnya dalam mimpi. Namun, ia tak pernah menceritakan mimpi-mimpinya kepada Fatima. Ia merasa bersalah dan takut. Perempuan itu baik sekali, selalu memberi kue-kue yang dibelinya dari penjual keliling. Onde-onde, nagasari, atau kue lapis. Semua yang ia suka. Suatu kali perempuan itu memperlihatkan kepadanya sebilah keris yang sudah berkarat. Ini bekas-bekas darah. Peninggalan embah saya, untuk keselamatan. Dulu ia tentara Kerajaan Mataram, katanya, bangga, tertawa dan memamerkan gusinya yang merah karena gambir sirih. Sesudah itu, keris pun disimpan kembali di bawah kasur tipis, yang di atasnya Mina biasa tidur nyenyak setelah lelah mengobrak-abrik seisi kamar perempuan tersebut dengan riang. Ketika ia dewasa, ia menjadi iba kepada perempuan itu. Mataram yang dbayangkannya bukan masa silam yang menyenangkan. Salah seorang sultan bahkan membunuh musuhnya dengan cara mencekik si musuh sampai mati dengan tangannya sendiri. Dan kematian bisa datang dari perasaan curiga, bukan bukti-bukti. ** Saat ia belajar di sekolah dasar, tiap pagi ia dan Fatima berangkat bersama ke seberang sungai. Kadang-kadang, ia takut rakit terbalik dan seluruh penumpang di atasnya tenggelam. Di pagi hari rakit begitu sesak dari sisi ke sisi. Keteledoran kecil bisa menyebabkan malapetaka. Ia tak bisa berenang dan karena itu, ia sangat cemas. Dulu pernah ada rakit terbalik. Ia mengetahui kemalangan tadi dari cerita Fatima. Seorang nenek meninggal, karena tak bisa berenang. Orang-orang gagal menyelamatkan nenek itu, karena sungai begitu keruh dan arus begitu deras sehabis banjir. Berjam-jam kemudian seorang perenang hebat dari kampungnya berhasil menemukan tubuh nenek yang telah menggembung dan bersalut lumpur. Orang-orang membicarakan kecelakaan ini berhari-hari, lalu keadaan kembali seperti semula. Orang-orang mulai kurang berhati-hati. Rakit tetap penuh di pagi atau sore hari, di saat arus tenang maupun deras. Namun, selain rasa cemas yang kadang-kadang muncul, ia merasa senang meluncur di atas rakit. Seperti berada di atas sesuatu dan akan menaklukkan sesuatu. Di sekolah ia tak pernah diperlakukan ramah oleh teman-teman sekelasnya yang tinggal di rumah-rumah besar itu, tetapi di atas rakit ini ia mempunyai dunianya sendiri. Ia merasa seperti seorang laksmana yang memimpin sebuah armada dan pendayung rakit adalah salah satu prajuritnya. Sesekali Fatima pulang bersamanya bila pekerjaan tak banyak. Tapi di atas rakit mereka jarang bicara. Mereka jadi dua orang yang tak saling kenal. Fatima asyik melamun, sedangkan ia tertegun-tegun memandangi air. Rakit menyibak air, sementara ikan sapu-sapu yang menguasai sungai tampak berenang-renang mengikuti rakit. Ia membayangkan dirinya sebagai seekor ikan. Berenang,
[ac-i] Puisi dikutip dari SURAT BUNGA DARI UBUD
SURAT BUNGA DARI UBUD, kumpulan puisi Putu Oka Sukanta, penerbit Koekoesan atas dukungan Institut Global Justice Jakarta. Diluncurkan tgl. 7 Nop. 2008, di Goethe Haus Jakarta. Mulai hari ini akan disiarkan satu persatu puisi dari buku tsb. 1. Surat Bunga dari Ubud Tak ada perangko buat mengirim kutempel bunga di pojok amplop Yang terhormat Dunia aku tumbuh warna-warni dari darah pelukis yang dibantai harumku seharum namanya Ubud 13 Okt.2004 Flower letter from Ubud. There is no stamp to post it Iuse a blossom on the envelope Dear honourable world I have grown many colours From the blood of murdered artists My fragrance is that of their names. Flower Translated by. Vern Cork
[ac-i] Untuk Mbak Rita Sri Hastuti
Mba Rita, saya praktik di Jl. Balai Pustaka I/8 Rawamangun. Taman Sringanis di Bogor semakin banyak dimanfaatkan oleh berbagai kalangan. Saya senang. Mampir ya kalau sedang lewat di sekitar kami. sampai jumpa putu oka sukanta - Original Message - From: Rita Sri Hastuti To: artculture-indonesia@yahoogroups.com Sent: Tuesday, November 11, 2008 11:28 PM Subject: Re: [ac-i] Salam kenal Salam kenal juga. Apa kabar Dokar? Mudah-mudahan masih ingat Rita Sri Hastuti ex-Majalah Zaman. Apa kabar Pak Putu? Praktik di mana sekarang? masih berkebun tanaman obat-obatan? Jon Sigit dan Lidya, SD Tarki mana? saya Tarki Barito -Rita Sri Hastuti Majalah MaestroNews --- On Tue, 11/11/08, Jon Sigit [EMAIL PROTECTED] wrote: From: Jon Sigit [EMAIL PROTECTED] Subject: Re: [ac-i] Salam kenal To: artculture-indonesia@yahoogroups.com Date: Tuesday, November 11, 2008, 2:42 PM Ya, Lyd, gue Jon ex Tarqi 66. Lu kan Lydia CALEG Partai ntar kalo jadi Senator inget AMPEjon ya . selalu, sgt jon'66 08, lydia poetrie [EMAIL PROTECTED] com wrote: From: lydia poetrie [EMAIL PROTECTED] com Subject: Re: [ac-i] Salam kenal To: artculture-indonesi [EMAIL PROTECTED] com Date: Monday, November 10, 2008, 11:34 PM Hello, Salam kenal untuk mas Kartono, mas Putu. Apa ini Jon ex Tarqis SD ? Salam Budaya, L.Poetrie --- On Fri, 7/11/08, Jon Sigit [EMAIL PROTECTED] com wrote: From: Jon Sigit [EMAIL PROTECTED] com Subject: Re: [ac-i] Salam kenal To: artculture-indonesi [EMAIL PROTECTED] com Date: Friday, 7 November, 2008, 1:00 PM Beda2 tipis lah, kan makin tuwa makin berminyak ! --- On Thu, 11/6/08, Kartono Mohamad [EMAIL PROTECTED] net.id wrote: From: Kartono Mohamad [EMAIL PROTECTED] net.id Subject: Re: [ac-i] Salam kenal To: artculture-indonesi [EMAIL PROTECTED] com Date: Thursday, November 6, 2008, 9:14 PM 14 hari lebih dulu atau belakangan? Sent from my BlackBerry® powered by Sinyal Kuat INDOSAT From: putu oka sukanta [EMAIL PROTECTED] net.id Date: Fri, 7 Nov 2008 09:19:43 +0700 To: artculture-indonesi [EMAIL PROTECTED] com Subject: Re: [ac-i] Salam kenal selisih 14 hari sama saya pak. salam pos - Original Message - From: [EMAIL PROTECTED] net.id To: artculture-indonesi [EMAIL PROTECTED] com Sent: Sunday, November 02, 2008 8:29 AM Subject: [ac-i] Salam kenal Kartono Mohamad Nama panggilan: Tono, Kartono, Dokar Profesi: dokter Tanggal lahir: 13 Juli 1939 (sudah tua kan?) E-mail: [EMAIL PROTECTED] net.id -- New Email names for you! Get the Email name you've always wanted on the new @ymail and @rocketmail. Hurry before someone else does!
[ac-i] Untuk Bung Teguh Ostenrik
Bung Teguh yb, Silakan datang ke praktik saya, nanti kita lihat bersama, apa yang bisa dilakukan untuk memperbaiki keluhan tsb. Sampai jumpa dan salam putu oka - Original Message - From: Teguh Ostenrik To: artculture-indonesia@yahoogroups.com Sent: Sunday, November 09, 2008 9:32 PM Subject: Re: [ac-i] Salam kenal Hallo Bung Oka, setiap saya latihan Tai Chi, dan pas jurus nendang ke depan, kok tulang belakang saya bunyi klethek-klethek ya? Apakah masih bisa diperbaikin dengan kupunktur? Salam TO On 11/7/08 9:19 AM, putu oka sukanta [EMAIL PROTECTED] wrote: selisih 14 hari sama saya pak. salam pos - Original Message - From: [EMAIL PROTECTED] To: artculture-indonesia@yahoogroups.com Sent: Sunday, November 02, 2008 8:29 AM Subject: [ac-i] Salam kenal Kartono Mohamad Nama panggilan: Tono, Kartono, Dokar Profesi: dokter Tanggal lahir: 13 Juli 1939 (sudah tua kan?) E-mail: [EMAIL PROTECTED]
Re: [ac-i] Semarak KAMIS Delapanpuluhan di Angkringan YUK
Salam kenal, Saya membaca informasi Anda tentang Pemutaran film tahun delapan puluhan. Apakah Anda berminat dengan film dokumenter? Saya dengan Lembvaga Kreatifitas Kemanusiaan memproduksi 3 film dokumenter dengan tema Dampak Sosial Tragedi Kemanusiaan 1965/66. Kalau berminat silakan kirim fax ke 021 47860766, kepada lembaga tsb diatas. Nanti saya sarankan supaya lembaga Anda mendapat kiriman film-film tsb. salam putu oka sukanta. - Original Message - From: Iwan Pribadi To: artculture-indonesia@yahoogroups.com ; media jogja ; mediacare mediacare Sent: Tuesday, June 03, 2008 7:40 PM Subject: [ac-i] Semarak KAMIS Delapanpuluhan di Angkringan YUK Bulan Juni 2008 ini, Angkringan YUK yang beralamat di Jl. Sawit Blok I No. 3 Sawitsari, Condongcatur, Yogyakarta, akan mengadakan acara Semarak Kamis Delapanpuluhan, yang berisi pemutaran Film-film Tahun 80-an. Menampilkan : 1. Gundala Putra Petir (Teddy Purba) 5 Juni 2008, jam 20:00 WIB 2. Sundel Bolong (Suzanna) 12 Juni 2008, jam 20:00 WIB 3. Surga Dunia di Pintu Neraka (Merriam Belina) 19 Juni 2008, jam 20:00 WIB 4. Gita Cinta dari SMA (Rano Karno) 26 Juni 2008, jam 20:00 WIB Mari-mari hadirilah berbondong-bondong... Angkringan YUK teh, hotspot, semuanya...!!! Jl. Sawit Blok I No. 3 Sawitsari Condongcatur Sleman DIY --