[budaya_tionghua] Re:Rinto Re: SBKRI: Selayang pandang (Menyongsong UU Kewarganegaraan yang Baru).....apa kiatnya?
Kalau boleh saya ikut nimbrung, memberikan sedikit pendapat, ya. Untuk dipikirkan bersama: 1. Lebih baik kita tidak mempersoalkan munculnya SBKRI ditahun 58 ada tidak latar belakang CIA. Katakanlah itu muncul dari pemerintah RI sendiri saja; 2. Bagaimanakah sebaiknya kita memperlakukan jutaan etnis Tionghoa yang sudah hidup ratusan tahun di Nusantara ini? Sebanyak mungkin bisa diperlakukan sebagai warganegara Indonesia atau sebanyak mungkin dijadikan warganegara asing (Tiongkok)? Pertentangan pendapat ini, semula pejuang-kemerdekaan RI telah menetapkan jawaban pertama, yaitu menghendaki sebanyak mungkin etnis Tionghoa menjadi warganegara Indonesia, dengan prosedur yang paling sederhana. UU Kewarganegaraan tahun 46 telah menetapkan berasaskan ius Soli, tempat kelahiran yang menentukan seseorang sebagai warganegara Indonesia. Dan yang dijalankan adalah stelsel pasif, artinya, semua etnis Tionghoa yang lahir di Indonesia dinyatakan otomatis menjadi warganegara Indonesia, kecuali menggunakan hak repudiatie yang diberi waktu 2 tahun untuk menolak warganegara Indonesia dan menjadi warganegara Tiongkok, atau setelah dewasa mengajukan penolakan warganegara Indonesia dan menyatakan menjadi warganegara Tiongkok. Tapi, pihak pemerintah Tiongkok Nasionalis ketika itu yang berasaskan ius Sanguinus, berkeras mengklaim etnis Tionghoa, orang-orang yang berdarah Tionghoa juga sebagai warganegara Tiongkok. Dan adanya sementara pejabat pemerintah RI yang juga berkeinginan lebih banyak etnis Tionghoa menjadi nasing, maka keputusan UU No.3 tahun 46 itu selalu dimentahkan kembali, dan akhirnya dikeluarkan UU No.62 tahun 58 itu, yang menuntut etnis Tionghoa lebih dahulu memilih menjadi warganegara Indonesia, diberlakukan stelsel aktif. Jadi, etnis Tionghoa di Indonesia baru menjadi warganegara Indonesia setelah maju kedepan pengadilan negeri dan mendapatkan SBKRI! PM Zhou En-lai yang mewakili RRT dalam perundingan Dwi Kewarganegaraan RI-RRT, sudah dengan tegas menyatakan: sepenuhnya menyerahkan kebijaksanaan pada Pemerintah RI untuk menetapkan siapa yang diharuskan memilih kembali kewarganegaraan Indonesia, dan sepenuhnya memberikan hak pada setiap etnis Tionghoa untuk menentukan pilihannya. Bahkan secara tidak resmi, PM Zhou menganjurkan etnis Tionghoa menjadi warganegara Indonesia, yang baik-baik yang patuh dan mentaati UU pemerintah RI. Jadi, saat itu, Pemerintah Tiongkok juga sudah tidak berkeras mengklaim etnis Tionghoa sebagai warganegara Tiongkok lagi, sepenuhnya menyerahkan kebijaksanaannya pada pemerintah RI! Banyak masalah yang timbul dengan diberlakukannya stelsel aktif, diharuskannya etnis Tionghoa lebih dahulu maju kedepan pengadilan negeri untuk mendapatkan SBKRI. Karena semua oarang dari golongan etnis Tionghoa segera berubah menjadi asing, sebelum mendapatkan SBKRI! Pemerintah RI tidak memperhitungkan begitu banyaknya, jutaan orang harus maju seketika kedepan pengadilan negeri baru bisa jadi warganegara RI, dalam waktu berapa lama baru bisa selesai. Dan selama peralihan yang berkepanjangan, tentu bisa timbul persoalan seperti hak-milik tanah, dimana sebagai orang asing tidak berhak memiliki tanah. Terjadilah persengketaan tanah perkebunan kopi di Bali milik etnis Tionghoa yang seketika dianggap orang asing. Kedua, tidak memperhitungkan begitu banyaknya, jutaan etnis Tionghoa yang tergolong miskin, yang hidup sebagai petani seperti dikenal Cina-Bentengdi Tanggerang, diperkebunan Lampung dan Kalimantan, yang nelayan di Bagansiapi-api, buruh tambang timah di Bangka Belitung, tidak akan mungkin diminta datang kekota mengurus SBKRI. Lha, surat lahir, surat kawin saja mereka tidak pernah punya, kok! Lalu, orang-orang seperti ini mau diperlakukan sebagai orang asing, bukan warganegara Indonesia lagi, sekalipun sudah hidup ratusan tahun, turun temurun entah berapa generasi sudah?! Ketiga, dengan ketentuan stelsel aktif, orang harus maju kedepan pengadilan negeri untuk dapat SBKRI lebih dahulu, terjadilah kenyataan adanya warganegara Indonesia yang lebih dahulu dan belakangan. Padahal, deengan UU tahun 46, setiap orang menjadi warganegara Indonesia dalam waktu bersamaan, menghindari adanya Indonesia asli dan non-asli. Dan, yang terjadi seharusnya pengalaman bung Rinto itu, cukup dengan surat Lahir membuktikan dirinya sebagai Warganegara Indonesia, kecuali dia menggunakan hak repudiatie, menolak kewarganegaraan Indonesia untuk menjadi warganegara asing. Jadi tidak membedakan yang etnis Tionghoa dengan yang dikatakan pribumi, sama-sama dilahirkan di Indonesia dan bersamaan waktu menjadi warganegara Indonesia yang sah. Itulah orang Indonesia asli! Yah, mudah-mudahan perubahan UU Kewarganegaraan yang anti-diskriminasi rasial itu bisa cepat menyelesaikan masalah SBKRI yang dikriminatif dan sangat tidak menguntungkan persatuan bangsa Indonesia itu. Salam, ChanCT - Original Message - From: Nasir Tan To:
Re: [budaya_tionghua] Re:Rinto Re: SBKRI: Selayang pandang (Menyongsong UU Kewarganegaraan yang Baru).....apa kiatnya?
Chan CT menulis: 2. Bagaimanakah sebaiknya kita memperlakukan jutaan etnis Tionghoa yang sudah hidup ratusan tahun di Nusantara ini? Sebanyak mungkin bisa diperlakukan sebagai warganegara Indonesia atau sebanyak mungkin dijadikan warganegara asing (Tiongkok)? Pertentangan pendapat ini, semula pejuang-kemerdekaan RI telah menetapkan jawaban pertama, yaitu menghendaki sebanyak mungkin etnis Tionghoa menjadi warganegara Indonesia, dengan prosedur yang paling sederhana. UU Kewarganegaraan tahun 46 telah menetapkan berasaskan ius Soli, tempat kelahiran yang menentukan seseorang sebagai warganegara Indonesia. Dan yang dijalankan adalah stelsel pasif, artinya, semua etnis Tionghoa yang lahir di Indonesia dinyatakan otomatis menjadi warganegara Indonesia, kecuali menggunakan hak repudiatie yang diberi waktu 2 tahun untuk menolak warganegara Indonesia dan menjadi warganegara Tiongkok, atau setelah dewasa mengajukan penolakan warganegara Indonesia dan menyatakan menjadi warganegara Tiongkok. Tapi, pihak pemerintah Tiongkok Nasionalis ketika itu yang berasaskan ius Sanguinus, berkeras mengklaim etnis Tionghoa, orang-orang yang berdarah Tionghoa juga sebagai warganegara Tiongkok. Dan adanya sementara pejabat pemerintah RI yang juga berkeinginan lebih banyak etnis Tionghoa menjadi nasing, maka keputusan UU No.3 tahun 46 itu selalu dimentahkan kembali, dan akhirnya dikeluarkan UU No.62 tahun 58 itu, yang menuntut etnis Tionghoa lebih dahulu memilih menjadi warganegara Indonesia, diberlakukan stelsel aktif. Jadi, etnis Tionghoa di Indonesia baru menjadi warganegara Indonesia setelah maju kedepan pengadilan negeri dan mendapatkan SBKRI! Rinto Jiang: Bung Chan, ada beberapa point yang harus ditambahkan. Stelsel pasif menjadi stelsel aktif memang satu intrik politik, untuk menjebak orang Tionghoa di Indonesia tidak otomatis mendapat kewarganegaraan Indonesia. Sebenarnya, kondisi politik masa itu juga panas, di mana ada tarik menarik antara orang Tionghoa yang masih setia ke negeri leluhur dan orang Tionghoa nasionalis Indonesia. Ada salah kaprah di kalangan orang Tionghoa yang masih setia ke negeri leluhur bahwa bila mereka memilih berkewarganegaraan Tiongkok, pemerintah Beijing akan membela mereka sewaktu mereka diperlakukan tidak adil oleh pemerintah Indonesia. Ini salah, karena mereka tidak berniat untuk pulang ke Tiongkok, mereka ingin tetap tinggal di Indonesia, namun ingin berkewarganegaraan asing, ini tentu saja suatu yang riskan. Bagi saya, bila saya ingin pulang ke Tiongkok, saya akan mengambil WN RRT, sebaliknya, bila ingin terus berdomisili di Indonesia, tentu saja akan mengambil WNI. Masalahnya yah itu, mayoritas orang Tionghoa pra-1959 tinggal di desa-desa paling banter kota kabupaten yang tidak ada pengadilan negerinya, dengan pengetahuan hukum yang minim, mustahil mereka dapat mengikuti arus politik yang cepat itu. Juga, stelsel pasif menjadi stelsel aktif ini dikarenakan ada pejabat pemerintah yang menginginkan orang2 Tionghoa jangan otomatis diberikan status WNI, biar mereka tetap berstatus asing dan akibatnya usaha2 mereka dapat dinasionalisasikan karena merupakan usaha asing. Satu lagi, klaim nasionalis KMT atas kewarganegaraan orang Tionghoa di Indonesia tidak pernah dilayani oleh pemerintah Sukarno, karena Sukarno menganggap KMT dekat dengan Barat. Ini makanya, setahun setelah RRT diproklamasikan oleh Mao Zedong, tahun 1950 Indonesia menjadi salah satu negara yang mengakui kemerdekaan RRT. Padahal saat itu, RRT baru diakui oleh puluhan negara. Rinto Jiang .: Forum Diskusi Budaya Tionghua dan Sejarah Tiongkok :. .: Kunjungi website global : http://www.budaya-tionghoa.org :. .: Untuk bergabung : http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua :. .: Jaringan pertemanan Friendster : [EMAIL PROTECTED] :. Yahoo! Groups Links * To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua/ * To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] * Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/
[budaya_tionghua] Re:Rinto Re: SBKRI: Selayang pandang (Menyongsong UU Kewarganegaraan yang Baru).....apa kiatnya?
Oom Chan, Saya juga bingung dengan kebijakan kewarganegaraan yang diterapkan oleh RI pasca UU No.3/1946 yang berasas ius soli dan stelsel passif. Logikanya, apabila sebuah aturan lama dirasakan tidak akomodatif, menimbulkan kekacauan maka aturan baru dibentuk. Tetapi nyatanya, pemberlakuan UU No.3/1946 tidak menimbulkan masalah, paling tidak sebesar penerapan UU No.62/1958. terlebih lagi pada saat orde baru melaksanakan UU No.62/1958 dengan konsekuen menurut Harry Tjan Silalahi. Pemerintah pasca reformasi, terutama pada saat Yusril Izra Mahendra menjabat menteri malah menyalahkan Mao Zedong. Sedangkan Yusril ini profesor dan ahli hukum. Padahal, PM Chou En Lai telah menunjukan itikad baik dan tidak lagi mengklaim etnis Tionghoa di Indonesia sebagai warganegara Tiongkok. PM Chou menyerahkan seluruh mekanisme dan keinginan dari pemerintah RI yang ia kira akomodatif karena pemimpinnya Soekarno. Syukur sekarang ini sedang diupayakan pembenahan UU Kewarganegaraan. Saya lihat Pak Slamet Efendy Yusuf, Beni H. Karman sangat terbuka. Terlebih lagi pada saat Ibu Nursyahbani masuk Panja. Mahfud MD pun sangat revolusioner pemikirannya. Mordaya Poo agak bingung. Beruntung masih ada Rudyanto Chen, Tionghoa Bangka dari Fraksi PDI-P yang jadi anggota Pansus kewarganegaraan. Semoga UU Kewarganegaraan kita nanti bisa lebih akomodatif. Sekalipun, tampaknya ius sanguinis masih tetap dipegang sebagai asas primer. Hanya saja penekanan kategori asli dan tidak asil akan dihapus. Jadi semua orang yang lahir di Indonesia dinyatakan WN asli. Tapi UU Kewarganegaraan ini belum tentu menyelesaikan semua masalah. Kalau aturan pelaksana di tingkat lebih bawah mulai dari PP sampe kelurahan tidak diubah. Kalau catatan sipil masih pake UU Belanda yang membagi 3 golongan penduduk menurut etnisitas tidak dicabut maka problem kewarganegaraan ini masih akan berlanjut. Sub-Rosa II --- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, ChanCT [EMAIL PROTECTED] wrote: Kalau boleh saya ikut nimbrung, memberikan sedikit pendapat, ya. Untuk dipikirkan bersama: 1. Lebih baik kita tidak mempersoalkan munculnya SBKRI ditahun 58 ada tidak latar belakang CIA. Katakanlah itu muncul dari pemerintah RI sendiri saja; 2. Bagaimanakah sebaiknya kita memperlakukan jutaan etnis Tionghoa yang sudah hidup ratusan tahun di Nusantara ini? Sebanyak mungkin bisa diperlakukan sebagai warganegara Indonesia atau sebanyak mungkin dijadikan warganegara asing (Tiongkok)? Pertentangan pendapat ini, semula pejuang-kemerdekaan RI telah menetapkan jawaban pertama, yaitu menghendaki sebanyak mungkin etnis Tionghoa menjadi warganegara Indonesia, dengan prosedur yang paling sederhana. UU Kewarganegaraan tahun 46 telah menetapkan berasaskan ius Soli, tempat kelahiran yang menentukan seseorang sebagai warganegara Indonesia. Dan yang dijalankan adalah stelsel pasif, artinya, semua etnis Tionghoa yang lahir di Indonesia dinyatakan otomatis menjadi warganegara Indonesia, kecuali menggunakan hak repudiatie yang diberi waktu 2 tahun untuk menolak warganegara Indonesia dan menjadi warganegara Tiongkok, atau setelah dewasa mengajukan penolakan warganegara Indonesia dan menyatakan menjadi warganegara Tiongkok. Tapi, pihak pemerintah Tiongkok Nasionalis ketika itu yang berasaskan ius Sanguinus, berkeras mengklaim etnis Tionghoa, orang- orang yang berdarah Tionghoa juga sebagai warganegara Tiongkok. Dan adanya sementara pejabat pemerintah RI yang juga berkeinginan lebih banyak etnis Tionghoa menjadi nasing, maka keputusan UU No.3 tahun 46 itu selalu dimentahkan kembali, dan akhirnya dikeluarkan UU No.62 tahun 58 itu, yang menuntut etnis Tionghoa lebih dahulu memilih menjadi warganegara Indonesia, diberlakukan stelsel aktif. Jadi, etnis Tionghoa di Indonesia baru menjadi warganegara Indonesia setelah maju kedepan pengadilan negeri dan mendapatkan SBKRI! PM Zhou En-lai yang mewakili RRT dalam perundingan Dwi Kewarganegaraan RI-RRT, sudah dengan tegas menyatakan: sepenuhnya menyerahkan kebijaksanaan pada Pemerintah RI untuk menetapkan siapa yang diharuskan memilih kembali kewarganegaraan Indonesia, dan sepenuhnya memberikan hak pada setiap etnis Tionghoa untuk menentukan pilihannya. Bahkan secara tidak resmi, PM Zhou menganjurkan etnis Tionghoa menjadi warganegara Indonesia, yang baik- baik yang patuh dan mentaati UU pemerintah RI. Jadi, saat itu, Pemerintah Tiongkok juga sudah tidak berkeras mengklaim etnis Tionghoa sebagai warganegara Tiongkok lagi, sepenuhnya menyerahkan kebijaksanaannya pada pemerintah RI! Banyak masalah yang timbul dengan diberlakukannya stelsel aktif, diharuskannya etnis Tionghoa lebih dahulu maju kedepan pengadilan negeri untuk mendapatkan SBKRI. Karena semua oarang dari golongan etnis Tionghoa segera berubah menjadi asing, sebelum mendapatkan SBKRI! Pemerintah RI tidak memperhitungkan begitu banyaknya, jutaan orang harus maju seketika kedepan pengadilan negeri baru bisa jadi