[budaya_tionghua] Re:Rinto Re: SBKRI: Selayang pandang (Menyongsong UU Kewarganegaraan yang Baru).....apa kiatnya?

2006-03-13 Terurut Topik ChanCT
Kalau boleh saya ikut nimbrung, memberikan sedikit pendapat, ya. Untuk 
dipikirkan bersama:
1. Lebih baik kita tidak mempersoalkan munculnya SBKRI ditahun 58 ada tidak 
latar belakang CIA. Katakanlah itu muncul dari pemerintah RI sendiri saja;

2. Bagaimanakah sebaiknya kita memperlakukan jutaan etnis Tionghoa yang sudah 
hidup ratusan tahun di Nusantara ini? Sebanyak mungkin bisa diperlakukan 
sebagai warganegara Indonesia atau sebanyak mungkin dijadikan warganegara asing 
(Tiongkok)? Pertentangan pendapat ini, semula pejuang-kemerdekaan RI telah 
menetapkan jawaban pertama, yaitu menghendaki sebanyak mungkin etnis Tionghoa 
menjadi warganegara Indonesia, dengan prosedur yang paling sederhana. UU 
Kewarganegaraan tahun 46 telah menetapkan berasaskan ius Soli, tempat kelahiran 
yang menentukan seseorang sebagai warganegara Indonesia. Dan yang dijalankan 
adalah stelsel pasif, artinya, semua etnis Tionghoa yang lahir di Indonesia 
dinyatakan otomatis menjadi warganegara Indonesia, kecuali menggunakan hak 
repudiatie yang diberi waktu 2 tahun untuk menolak warganegara Indonesia dan 
menjadi warganegara Tiongkok, atau setelah dewasa mengajukan penolakan 
warganegara Indonesia dan menyatakan menjadi warganegara Tiongkok.

Tapi, pihak pemerintah Tiongkok Nasionalis ketika itu yang berasaskan ius 
Sanguinus, berkeras mengklaim etnis Tionghoa, orang-orang yang berdarah 
Tionghoa juga sebagai warganegara Tiongkok. Dan adanya sementara pejabat 
pemerintah RI yang juga berkeinginan lebih banyak etnis Tionghoa menjadi 
nasing, maka keputusan UU No.3 tahun 46 itu selalu dimentahkan kembali, dan 
akhirnya dikeluarkan UU No.62 tahun 58 itu, yang menuntut etnis Tionghoa lebih 
dahulu memilih menjadi warganegara Indonesia, diberlakukan stelsel aktif. Jadi, 
etnis Tionghoa di Indonesia baru menjadi warganegara Indonesia setelah maju 
kedepan pengadilan negeri dan mendapatkan SBKRI!

PM Zhou En-lai yang mewakili RRT dalam perundingan Dwi Kewarganegaraan 
RI-RRT, sudah dengan tegas menyatakan: sepenuhnya menyerahkan kebijaksanaan 
pada Pemerintah RI untuk menetapkan siapa yang diharuskan memilih kembali 
kewarganegaraan Indonesia, dan sepenuhnya memberikan hak pada setiap etnis 
Tionghoa untuk menentukan pilihannya. Bahkan secara tidak resmi, PM Zhou 
menganjurkan etnis Tionghoa menjadi warganegara Indonesia, yang baik-baik yang 
patuh dan mentaati UU pemerintah RI. Jadi, saat itu, Pemerintah Tiongkok juga 
sudah tidak berkeras mengklaim etnis Tionghoa sebagai warganegara Tiongkok 
lagi, sepenuhnya menyerahkan kebijaksanaannya pada pemerintah RI!

Banyak masalah yang timbul dengan diberlakukannya stelsel aktif, 
diharuskannya etnis Tionghoa lebih dahulu maju kedepan pengadilan negeri untuk 
mendapatkan SBKRI. Karena semua oarang dari golongan etnis Tionghoa segera 
berubah menjadi asing, sebelum mendapatkan SBKRI! Pemerintah RI tidak 
memperhitungkan begitu banyaknya, jutaan orang harus maju seketika kedepan 
pengadilan negeri baru bisa jadi warganegara RI, dalam waktu berapa lama baru 
bisa selesai. Dan selama peralihan yang berkepanjangan, tentu bisa timbul 
persoalan seperti hak-milik tanah, dimana sebagai orang asing tidak berhak 
memiliki tanah. Terjadilah persengketaan tanah perkebunan kopi di Bali milik 
etnis Tionghoa yang seketika dianggap orang asing. 

Kedua, tidak memperhitungkan begitu banyaknya, jutaan etnis Tionghoa yang 
tergolong miskin, yang hidup sebagai petani seperti dikenal Cina-Bentengdi 
Tanggerang, diperkebunan Lampung dan Kalimantan, yang nelayan di 
Bagansiapi-api, buruh tambang timah di Bangka Belitung, tidak akan mungkin 
diminta datang kekota mengurus SBKRI. Lha, surat lahir, surat kawin saja mereka 
tidak pernah punya, kok! Lalu, orang-orang seperti ini mau diperlakukan sebagai 
orang asing, bukan warganegara Indonesia lagi, sekalipun sudah hidup ratusan 
tahun, turun temurun entah berapa generasi sudah?!

Ketiga, dengan ketentuan stelsel aktif, orang harus maju kedepan pengadilan 
negeri untuk dapat SBKRI lebih dahulu, terjadilah kenyataan adanya warganegara 
Indonesia yang lebih dahulu dan belakangan. Padahal, deengan UU tahun 46, 
setiap orang menjadi warganegara Indonesia dalam waktu bersamaan, menghindari 
adanya Indonesia asli dan non-asli. Dan, yang terjadi seharusnya pengalaman 
bung Rinto itu, cukup dengan surat Lahir membuktikan dirinya sebagai 
Warganegara Indonesia, kecuali dia menggunakan hak repudiatie, menolak 
kewarganegaraan Indonesia untuk menjadi warganegara asing. Jadi tidak 
membedakan yang etnis Tionghoa dengan yang dikatakan pribumi, sama-sama 
dilahirkan di Indonesia dan bersamaan waktu menjadi warganegara Indonesia yang 
sah. Itulah orang Indonesia asli!

Yah, mudah-mudahan perubahan UU Kewarganegaraan yang anti-diskriminasi 
rasial itu bisa cepat menyelesaikan masalah SBKRI yang dikriminatif dan sangat 
tidak menguntungkan persatuan bangsa Indonesia itu. 

Salam,
ChanCT
  - Original Message - 
  From: Nasir Tan 
  To: 

Re: [budaya_tionghua] Re:Rinto Re: SBKRI: Selayang pandang (Menyongsong UU Kewarganegaraan yang Baru).....apa kiatnya?

2006-03-13 Terurut Topik Rinto Jiang
Chan CT menulis:

2. Bagaimanakah sebaiknya kita memperlakukan jutaan etnis Tionghoa yang 
sudah hidup ratusan tahun di Nusantara ini? Sebanyak mungkin bisa 
diperlakukan sebagai warganegara Indonesia atau sebanyak mungkin 
dijadikan warganegara asing (Tiongkok)? Pertentangan pendapat ini, 
semula pejuang-kemerdekaan RI telah menetapkan jawaban pertama, yaitu 
menghendaki sebanyak mungkin etnis Tionghoa menjadi warganegara 
Indonesia, dengan prosedur yang paling sederhana. UU Kewarganegaraan 
tahun 46 telah menetapkan berasaskan ius Soli, tempat kelahiran yang 
menentukan seseorang sebagai warganegara Indonesia. Dan yang dijalankan 
adalah stelsel pasif, artinya, semua etnis Tionghoa yang lahir di 
Indonesia dinyatakan otomatis menjadi warganegara Indonesia, kecuali 
menggunakan hak repudiatie yang diberi waktu 2 tahun untuk menolak 
warganegara Indonesia dan menjadi warganegara Tiongkok, atau setelah 
dewasa mengajukan penolakan warganegara Indonesia dan menyatakan menjadi 
warganegara Tiongkok.

Tapi, pihak pemerintah Tiongkok Nasionalis ketika itu yang 
berasaskan ius Sanguinus, berkeras mengklaim etnis Tionghoa, orang-orang 
yang berdarah Tionghoa juga sebagai warganegara Tiongkok. Dan adanya 
sementara pejabat pemerintah RI yang juga berkeinginan lebih banyak 
etnis Tionghoa menjadi nasing, maka keputusan UU No.3 tahun 46 itu 
selalu dimentahkan kembali, dan akhirnya dikeluarkan UU No.62 tahun 58 
itu, yang menuntut etnis Tionghoa lebih dahulu memilih menjadi 
warganegara Indonesia, diberlakukan stelsel aktif. Jadi, etnis Tionghoa 
di Indonesia baru menjadi warganegara Indonesia setelah maju kedepan 
pengadilan negeri dan mendapatkan SBKRI!



Rinto Jiang:

Bung Chan, ada beberapa point yang harus ditambahkan.

Stelsel pasif menjadi stelsel aktif memang satu intrik politik, untuk 
menjebak orang Tionghoa di Indonesia tidak otomatis mendapat 
kewarganegaraan Indonesia. Sebenarnya, kondisi politik masa itu juga 
panas, di mana ada tarik menarik antara orang Tionghoa yang masih setia 
ke negeri leluhur dan orang Tionghoa nasionalis Indonesia. Ada salah 
kaprah di kalangan orang Tionghoa yang masih setia ke negeri leluhur 
bahwa bila mereka memilih berkewarganegaraan Tiongkok, pemerintah 
Beijing akan membela mereka sewaktu mereka diperlakukan tidak adil oleh 
pemerintah Indonesia. Ini salah, karena mereka tidak berniat untuk 
pulang ke Tiongkok, mereka ingin tetap tinggal di Indonesia, namun ingin 
berkewarganegaraan asing, ini tentu saja suatu yang riskan. Bagi saya, 
bila saya ingin pulang ke Tiongkok, saya akan mengambil WN RRT, 
sebaliknya, bila ingin terus berdomisili di Indonesia, tentu saja akan 
mengambil WNI. Masalahnya yah itu, mayoritas orang Tionghoa pra-1959 
tinggal di desa-desa paling banter kota kabupaten yang tidak ada 
pengadilan negerinya, dengan pengetahuan hukum yang minim, mustahil 
mereka dapat mengikuti arus politik yang cepat itu.

Juga, stelsel pasif menjadi stelsel aktif ini dikarenakan ada pejabat 
pemerintah yang menginginkan orang2 Tionghoa jangan otomatis diberikan 
status WNI, biar mereka tetap berstatus asing dan akibatnya usaha2 
mereka dapat dinasionalisasikan karena merupakan usaha asing.

Satu lagi, klaim nasionalis KMT atas kewarganegaraan orang Tionghoa di 
Indonesia tidak pernah dilayani oleh pemerintah Sukarno, karena Sukarno 
menganggap KMT dekat dengan Barat. Ini makanya, setahun setelah RRT 
diproklamasikan oleh Mao Zedong, tahun 1950 Indonesia menjadi salah satu 
negara yang mengakui kemerdekaan RRT. Padahal saat itu, RRT baru diakui 
oleh puluhan negara.


Rinto Jiang



.: Forum Diskusi Budaya Tionghua dan Sejarah Tiongkok :.

.: Kunjungi website global : http://www.budaya-tionghoa.org :.

.: Untuk bergabung : http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua :.

.: Jaringan pertemanan Friendster : [EMAIL PROTECTED] :. 
Yahoo! Groups Links

* To visit your group on the web, go to:
http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua/

* To unsubscribe from this group, send an email to:
[EMAIL PROTECTED]

* Your use of Yahoo! Groups is subject to:
http://docs.yahoo.com/info/terms/
 




[budaya_tionghua] Re:Rinto Re: SBKRI: Selayang pandang (Menyongsong UU Kewarganegaraan yang Baru).....apa kiatnya?

2006-03-13 Terurut Topik odeon_cafe
Oom Chan, 

Saya juga bingung dengan kebijakan kewarganegaraan yang diterapkan 
oleh RI pasca UU No.3/1946 yang berasas ius soli dan stelsel passif. 

Logikanya, apabila sebuah aturan lama dirasakan tidak akomodatif, 
menimbulkan kekacauan maka aturan baru dibentuk. 

Tetapi nyatanya, pemberlakuan UU No.3/1946 tidak menimbulkan 
masalah, paling tidak sebesar penerapan UU No.62/1958. terlebih lagi 
pada saat orde baru melaksanakan UU No.62/1958 dengan konsekuen 
menurut Harry Tjan Silalahi. 

Pemerintah pasca reformasi, terutama pada saat Yusril Izra Mahendra 
menjabat menteri malah menyalahkan Mao Zedong. Sedangkan Yusril ini 
profesor dan ahli hukum. 

Padahal, PM Chou En Lai telah menunjukan itikad baik dan tidak lagi 
mengklaim etnis Tionghoa di Indonesia sebagai warganegara Tiongkok. 
PM Chou menyerahkan seluruh mekanisme dan keinginan dari pemerintah 
RI yang ia kira akomodatif karena pemimpinnya Soekarno. 

Syukur sekarang ini sedang diupayakan pembenahan UU Kewarganegaraan. 
Saya lihat Pak Slamet Efendy Yusuf, Beni H. Karman sangat terbuka. 
Terlebih lagi pada saat Ibu Nursyahbani masuk Panja. Mahfud MD pun 
sangat revolusioner pemikirannya. Mordaya Poo agak bingung. 
Beruntung masih ada Rudyanto Chen, Tionghoa Bangka dari Fraksi PDI-P 
yang jadi anggota Pansus kewarganegaraan. 

Semoga UU Kewarganegaraan kita nanti bisa lebih akomodatif. 
Sekalipun, tampaknya ius sanguinis masih tetap dipegang sebagai asas 
primer. Hanya saja penekanan kategori asli dan tidak asil akan 
dihapus. Jadi semua orang yang lahir di Indonesia dinyatakan WN 
asli. 

Tapi UU Kewarganegaraan ini belum tentu menyelesaikan semua masalah. 
Kalau aturan pelaksana di tingkat lebih bawah mulai dari PP sampe 
kelurahan tidak diubah. Kalau catatan sipil masih pake UU Belanda 
yang membagi 3 golongan penduduk menurut etnisitas tidak dicabut 
maka problem kewarganegaraan ini masih akan berlanjut. 


Sub-Rosa II


--- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, ChanCT [EMAIL PROTECTED] wrote:

 Kalau boleh saya ikut nimbrung, memberikan sedikit pendapat, ya. 
Untuk dipikirkan bersama:
 1. Lebih baik kita tidak mempersoalkan munculnya SBKRI ditahun 58 
ada tidak latar belakang CIA. Katakanlah itu muncul dari pemerintah 
RI sendiri saja;
 
 2. Bagaimanakah sebaiknya kita memperlakukan jutaan etnis Tionghoa 
yang sudah hidup ratusan tahun di Nusantara ini? Sebanyak mungkin 
bisa diperlakukan sebagai warganegara Indonesia atau sebanyak 
mungkin dijadikan warganegara asing (Tiongkok)? Pertentangan 
pendapat ini, semula pejuang-kemerdekaan RI telah menetapkan jawaban 
pertama, yaitu menghendaki sebanyak mungkin etnis Tionghoa menjadi 
warganegara Indonesia, dengan prosedur yang paling sederhana. UU 
Kewarganegaraan tahun 46 telah menetapkan berasaskan ius Soli, 
tempat kelahiran yang menentukan seseorang sebagai warganegara 
Indonesia. Dan yang dijalankan adalah stelsel pasif, artinya, semua 
etnis Tionghoa yang lahir di Indonesia dinyatakan otomatis menjadi 
warganegara Indonesia, kecuali menggunakan hak repudiatie yang 
diberi waktu 2 tahun untuk menolak warganegara Indonesia dan menjadi 
warganegara Tiongkok, atau setelah dewasa mengajukan penolakan 
warganegara Indonesia dan menyatakan menjadi warganegara Tiongkok.
 
 Tapi, pihak pemerintah Tiongkok Nasionalis ketika itu yang 
berasaskan ius Sanguinus, berkeras mengklaim etnis Tionghoa, orang-
orang yang berdarah Tionghoa juga sebagai warganegara Tiongkok. Dan 
adanya sementara pejabat pemerintah RI yang juga berkeinginan lebih 
banyak etnis Tionghoa menjadi nasing, maka keputusan UU No.3 tahun 
46 itu selalu dimentahkan kembali, dan akhirnya dikeluarkan UU No.62 
tahun 58 itu, yang menuntut etnis Tionghoa lebih dahulu memilih 
menjadi warganegara Indonesia, diberlakukan stelsel aktif. Jadi, 
etnis Tionghoa di Indonesia baru menjadi warganegara Indonesia 
setelah maju kedepan pengadilan negeri dan mendapatkan SBKRI!
 
 PM Zhou En-lai yang mewakili RRT dalam perundingan Dwi 
Kewarganegaraan RI-RRT, sudah dengan tegas menyatakan: sepenuhnya 
menyerahkan kebijaksanaan pada Pemerintah RI untuk menetapkan siapa 
yang diharuskan memilih kembali kewarganegaraan Indonesia, dan 
sepenuhnya memberikan hak pada setiap etnis Tionghoa untuk 
menentukan pilihannya. Bahkan secara tidak resmi, PM Zhou 
menganjurkan etnis Tionghoa menjadi warganegara Indonesia, yang baik-
baik yang patuh dan mentaati UU pemerintah RI. Jadi, saat itu, 
Pemerintah Tiongkok juga sudah tidak berkeras mengklaim etnis 
Tionghoa sebagai warganegara Tiongkok lagi, sepenuhnya menyerahkan 
kebijaksanaannya pada pemerintah RI!
 
 Banyak masalah yang timbul dengan diberlakukannya stelsel 
aktif, diharuskannya etnis Tionghoa lebih dahulu maju kedepan 
pengadilan negeri untuk mendapatkan SBKRI. Karena semua oarang dari 
golongan etnis Tionghoa segera berubah menjadi asing, sebelum 
mendapatkan SBKRI! Pemerintah RI tidak memperhitungkan begitu 
banyaknya, jutaan orang harus maju seketika kedepan pengadilan 
negeri baru bisa jadi