CiKEAS Raja-raja Sawit Berburu Laba

2007-06-21 Terurut Topik Sunny
http://www.gatra.com/artikel.php?id=105496


Raja-raja Sawit Berburu Laba


Bisnis keluarga Sudono Salim belum mati. Setelah mengenyam laba gede di 
industri hilir, Salim ingin merambah lagi industri hulu. Tiga perusahaannya 
memiliki 85.500 hektare kebun sawit di Sumatera Selatan, Kalimantan Timur, dan 
Kalimantan Tengah.

Kembalinya Grup Salim ke ladang sawit seiring dengan melesatnya harga CPO 
dunia. Dalam waktu setahun, harga CPO di pasaran internasional melonjak dari 
US$ 450 per ton pada pertengahan 2006 menjadi US$ 726 per ton pada Mei tahun 
ini. Dengan lonjakan harga ini, kocek Grup Salim pun kian menggembung, lantaran 
sebagian besar CPO asal Indonesia dipasarkan di luar negeri.

Tak pelak, gelar baru raja sawit kini disandang Anthony Salim. Dari sisi 
kepemilikan lahan, pada saat ini Grup Salim melesat di urutan pertama. Namun 
Fransiscus Welirang (Franky), Vice President Director PT Indofood Sukses Makmur 
Tbk, membantah bahwa Salim kini memiliki kebun sawit terluas di Indonesia. 
Salim cuma punya 35.000 hektare kebun sawit, ungkapnya.

Franky menunjuk kelompok usaha lain, yakni Raja Garuda Mas milik konglomerat 
Sukanto Tanoto, sebagai pengoleksi lahan sawit terbesar. Grup Sinar Mas juga 
dikatakan memiliki lahan sawit hingga 350.000 hektare lebih. Sedangkan kebun 
sawit milik PT Astra Agro ditaksir mencapai 200.000 hektare.

Tiga kelompok usaha yang disebut Franky itu memang termasuk raja-raja sawit 
yang kini berjaya. Di samping itu, turut bermain pula keluarga Sampoerna, Grup 
Bakrie, dan Tunas Baru Lampung. Segelintir perusahaan pengolah sawit itu 
menguasai seperenam dari total luas perkebunan sawit di Indonesia yang mencapai 
4,1 juta hektare.

Kondisi tersebut mendongkrak harga produk hilir berbahan baku CPO, terutama 
minyak goreng. Meski begitu, pengusaha sawit di Indonesia makin gencar 
membanjiri pasar CPO dunia.

Dengan angka produksi sebesar itu, Indonesia bakal menjadi pemasok terbesar CPO 
di dunia. Pangsa pasar minyak sawit mentah Indonesia diprediksi mencapai 44,4%, 
mengalahkan Malaysia yang diperkirakan menguasai 41,2% pangsa pasar, atau 
memproduksi 16 juta ton CPO. Jika digabung, Indonesia dan Malaysia menguasai 
85% pasar CPO dunia dari total produksi tahun ini yang diproyeksikan tumbuh 
4,1% menjadi 38,7 juta ton.

Sayang, produksi CPO yang melimpah tidak membuat rakyat sejahtera. Sebaliknya, 
harga minyak goreng yang menjadi turunan produk CPO makin mengimpit fakir 
miskin. Di beberapa tempat, harga eceran minyak goreng sudah menembus batas 
psikologis Rp 10.000 per kilogram, dari harga normal Rp 6.500 per kilogram.

Anggota Komisi VI DPR-RI, Aria Bima, mencurigai adanya praktek oligopoli yang 
mengarah ke kartel oleh produsen CPO kelas kakap. Ia terang-terangan menyebut 
lima perusahaan top kelapa sawit dari hulu ke hilir. Mereka yang dituding 
antara lain London Sumatera dan Indofood, Sinar Mas, Bakrie Sumatera 
Plantation, dan Minamas. Ada kongkalikong pemain kartel dan pembuat 
kebijakan, ungkap Aria Bima usai rapat dengar pendapat di DPR, Senin lalu.

Sebelumnya, dugaan oligopoli yang mengarah ke kartel juga dilontarkan Ketua 
Komisi Pengawas Persaingan Usaha, Syamsul Maarif. Namun Syamsul belum bersedia 
menyebut nama perusahaan yang disinyalir melakukan persekongkolan tidak sehat 
itu. Kami masih melakukan pemeriksaan, ujar Syamsul berkelit.

Nah, untuk mengurai gejala oligopoli, pemerintah sudah menyiapkan jurus baru. 
Menteri Pertanian Anton Apriyantono sepakat, tidak boleh lagi ada monopoli 
penguasaan lahan oleh segelintir orang. Karena itu, pemerintah akan membatasi 
kepemilikan lahan sawit. Satu perusahaan tidak boleh memiliki lebih dari 
100.000 hektare lahan, kata Anton.

Jurus itu sekaligus memacu perkembangan kebun rakyat. Pada saat ini, menurut 
Anton, petani kelapa sawit kekurangan dana untuk meningkatkan produktivitas.

Heru Pamuji, Anthony, dan Mukhlison S. Widodo
[Laporan Utama, Gatra Nomor 32 Beredar Kamis, 21 Juni 2007] 



[Non-text portions of this message have been removed]



CiKEAS Pemerintah Akan Jual Aset Damri

2007-06-21 Terurut Topik Sunny
Refleksi: Bagusnya obral supaya cepat laku.

http://www.gatra.com/artikel.php?id=105306


Pemerintah Akan Jual Aset Damri


Jakarta, 14 Juni 2007 00:40
Pemerintah kini sedang menegosiasikan untuk menjual aset Perusahaan Umum Damri 
(Djawatan Angkutan Motor Republik Indonesia) untuk menutup defisit perusahaan 
tersebut.

Saat ini sedang kita negosiasikan untuk menjual aset mereka, kata Deputi 
Menteri Negara BUMN Bidang Usaha Logistik dan Pariwisata, Harry Susetyo 
Nugroho, di Jakarta, Selasa (12/6).

Perum Damri mengalami kinerja yang terus memburuk yang mengakibatkan perusahaan 
tersebut tidak mampu membayar gaji karyawan.

Bahkan jaminan hari tua karyawan juga terancam tidak dapat dibayarkan. Sampai 
saat ini berbagai opsi penghematan terus dilakukan termasuk mengurangi rute dan 
operasional di Jakarta.

Kini hanya rute ke Bandara Soekarno-Hatta yang dipertahankan karena dinilai 
masih menguntungkan.

Harry tidak mengatakan secara detail soal deadline atau tenggat waktu 
negosiasi mengingat hingga kini gaji karyawan Damri belum dibayar sampai tujuh 
bulan.

Belum tahu ini, pokoknya sekarang sedang proses, katanya.

Pihaknya juga belum menerapkan tarif atau harga taksiran soal sejumlah aset 
perusahaan umum itu yang akan dijual.

Kita akan proses secepatnya, katanya.

Senin (11/6), Forum Peduli Nasib Karyawan Damri berdemo di depan Kantor 
Kementerian Negara BUMN menuntut pembatalan penjualan aset perusahaan.

Mereka menuntut Menteri Negara BUMN agar segera memerintahkan Direksi Damri 
untuk membayarkan upah para karyawan yang belum dbayar selama tujuh bulan.

Demonstran mengatakan, dalam rapat dengan Komisi IX DPR-RI beberapa waktu lalu, 
telah disetujui dana talangan untuk pembayaran gaji karyawan Damri akan 
diambilkan dari APBN-Perubahan 2007. [EL, Ant] 


[Non-text portions of this message have been removed]



CiKEAS Disekap di Panti, 24 Bocah seperti Mayat Hidup

2007-06-21 Terurut Topik Sunny
http://www.indopos.co.id/index.php?act=detail_cid=290945

Kamis, 21 Juni 2007,

Video film Bisa dilihat:
 
http://news.sky.com/skynews/video/fullscr?videoRef=http://skynews-clips.videoloungetv.com/public/skynews/latest/flash/iraqorphanscbs_p8926.flv


Disekap di Panti, 24 Bocah seperti Mayat Hidup 



BAGHDAD - Pemandangan mengerikan kemarin terlihat di sebuah panti untuk 
anak-anak dengan kebutuhan khusus yang berada di Baghdad, Iraq. Puluhan 
anak-anak dibiarkan kelaparan berhari-hari sehingga kurus kering. Beberapa di 
antara mereka terikat di tempat tidur dengan pandangan mata seolah-olah 
menunggu kematian. 

Penemuan Panti Al Hanan yang dikelola pemerintah Iraq itu terjadi secara 
kebetulan pekan lalu. Ketika itu, pasukan gabungan AS dan Iraq sedang mencari 
anggota Al Qaidah di Baghdad. Betapa terkejutnya mereka ketika menemukan 24 
bocah laki-laki yang sebagian besar telanjang. Kondisi mereka sungguh 
memprihatinkan. Tak sedikit di antara mereka berbaring di lantai belepotan 
kotoran mereka sendiri dan dikerumuni lalat. 

Mereka (tentara gabungan) melihat puluhan tubuh yang terbaring di tanah. 
Semula dikira sudah meninggal. Namun, ketika salah seorang tentara melemparkan 
bola basket, seorang anak menggerakkan kepala dan melihat ke arah bola. Saat 
itulah, mereka yakin bahwa anak-anak itu masih hidup, tutur Serka Mitchell 
Gibson dari militer AS. Anak-anak itu langsung dievakuasi dan dibawa ke rumah 
sakit setempat. 

Kondisi itu jauh berbeda dengan keadaan para pengelolanya. Dapur kantor panti 
asuhan tersebut penuh dengan makanan, lemarinya pun dijubeli pakaian. 
Ironisnya, tak ada yang diberikan kepada anak asuh. Semua digunakan untuk 
pengelola. Saya sangat marah kepada mereka (pengelola panti). Saya harus 
berusaha sekuat tenaga untuk menahan diri tidak menghajar mereka, kata Kapten 
Benjamin Morales, yang bergabung dalam tim penyelamat panti asuhan itu. 

Pihak rumah sakit sempat khawatir anak-anak itu tak bisa bertahan hidup. 
Kondisi mereka sangat parah. Saking lemahnya, mereka tidak bisa menggerakkan 
tubuh. Kami harus memegangi kepala mereka untuk sekadar memastikan bahwa mereka 
bisa merespons. Itu pun hanya berupa gerakan bola mata, lanjut Morales. 

PM Iraq Nuri Al Maliki langsung merespons temuan tersebut. Dia memerintah anak 
buahnya untuk menahan pengelola panti asuhan. Dia juga berjanji menyelidiki 
kasus itu dan menghukum mereka yang bersalah. Namun, kabar yang beredar 
belakangan menyebutkan, hanya dua penjaga panti asuhan yang ditangkap. Beberapa 
pengelola melarikan diri dan sebagian kecil masih menjalankan panti asuhan 
tersebut. (afp/any)




[Non-text portions of this message have been removed]



CiKEAS Stop saja pengiriman TKI

2007-06-21 Terurut Topik Sunny
Refleksi: Kalau distop pengiriman TKI bisa menyebabkan para petinggi negara,  
partai politik dan tokoh agama kekurangan uang saku. Apakah Anda sebagai 
pemilih dalam pemilu tidak merasa kasihan terhadap mereka yang kekurangan uang 
saku?

http://www.harianterbit.com/artikel/fokus/artikel.php?aid=22344


Stop saja pengiriman TKI

  Tanggal:  20 Jun 2007 
  Sumber:  Harian Terbit 



JAKARTA - Berbagai kasus penyiksaan baik secara fisik mau pun psikologis yang 
dialami Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Malaysia tak urung membuat Kepala Badan 
Nasional Penempatan dan Perlindungan TTKI Jumhur Hidayat berang. 

Stop saja pengiriman TKI ke Malaysia, jika Pemerintah Malaysia tidak mau 
membuka diri untuk memperbaiki kondisi buruh migran di negara tersebut, tambah 
Jumhur di Jakarta, Selasa malam.

Menurut Jumhur, selain mendapat siksaan fisik oleh majikan seperti yang dialami 
Ceriyati -- TKW asal Brebes yang lari dari lantai 15 apartemen majikannya 
karena tak tahan disiksa -- banyak pula TKI kita menderita secara psikologis. 
Contohnya, TKI Nirmala Bonat, persidangannya hampir 3 tahun hingga kini belum 
selesai.

Persidangan ini menjadi berlarut-larut jelas karena pemerintah Malaysia tidak 
memberikan prioritas untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi buruh migran, 
tambahnya.

Sementara itu, Ceriyati, 34 thn, PRT asal Brebes, Selasa, memberikan keterangan 
kepada aparat kepolisian Sentul, Kuala Lumpur, atas penyiksaan yang dilakukan 
oleh majikannya, Ivone Siew. 

Ia didampingi Atase Tenaga Kerja, Teguh H Cahyono, dan Kepala Satgas 
Perlindungan dan Pelayanan WNI di KBRI Kuala Lumpur mengadukan siksaan yang 
dilakukan majikannya selama empat setengah bulan di sebuah apartemen Sentul, 
Kuala Lumpur. 

Menurut Jumhur, kalau penyiksaan baik secara fisik mau pun psikologis terus 
diderita TKI/TKW yang bekerja di Malaysia, ''Ya.. dengan terpaksa pengiriman 
kita stop.''

Jumhur menyadari dampak positip dari pengiriman 3,8 juta TKI ke luar negeri 
sebenarnya cukup besar karena dapat mengurangi pengangguran sekaligus 
meningkatkan kesejahteraan TKI dan keluarga serta menghasilkan devisa cukup 
besar bagi negara.

Tahun lalu, tambah Jumhur, devisa yang dihasilkan oleh pengiriman TKI ke luar 
negeri sekitar 9 miliar dolar AS atau Rp 80 triliun.

Ini angka cukup besar di luar migas. Tapi kita tidak hanya menginginkan 
perolehan devisa tapi juga ada jaminan bahwa TKI yang kerja di luar negeri itu 
dapat hidup dengan tenang dan damai, ujar Jumhur.

Langkah apa yang akan diambil dalam waktu dekat ini? Jumhur mengatakan pertama 
kita akan melakukan sistem pencegahan dengan menerapkan tes psikologi bagi 
majikan yang akan mempekerjakan TKI di Malaysia,

Kita berharap dengan menerapkan sistem tes psikologi, user yangmempekerjakan 
TKI benar-benar sehat secara fisik dan mental sehingga kasus penyiksaan 
terhadap TKI tidak terulang lagi.

Sementara Direktur Migran Care Anis Hidayah mendesak pemerintah Indonesia dan 
Malaysia berbicara lebih serius untuk mencegah agar kasus Ceriyati dan Nirmala 
Bonat tidak terulang kembali. 

Anis mengatakan, mencuatnya kasus Ceriyati menunjukkan bahwa upaya yang 
dilakukan pemerintah Indonesia dan Malaysia gagal untuk mencegah agar kasus 
Nirmala Bonat tidak terulang lagi. 

Anis menjelaskan, kedua pemerintah selama ini tidak pernah menjadikan suatu 
kasus sebagai pelajaran untuk mencegah agar penyiksaan tidak terjadi. 

Saya yakin, masih banyak kasus serupa yang tidak muncul dipermukaan, kata 
Anis. 

Seharusnya, kata Anis, ketika kasus Nirmala mencuat secara luas maka dijadikan 
momentum bagi kedua negara untuk memperbaiki sistem penempatan dan penerimaan, 
pemenuhan hak-hak dan kewajiban TKI dan majikan secara terbuka. 

Kini setelah kasus berulang, masih tidak ada yang bisa menjamin, baik 
perusahaan jasa TKI, agensi di Malaysia, majikan dan kedua pemerintah bahwa 
kasus seperti itu tidak akan terulang. 

Ini bukti pemerintah tidak serius, sementara diyakini pembantu rumah tangga 
adalah jenis pekerjaan yang paling rentan, kata Anis. 

Sementara MoU yang dibuat Indonesia dan Malaysia tidak bisa menjadi acuan hukum 
untuk menindak pihak-pihak yang melanggar perjanjian kerja. 

Anis juga mendesak pemerintah RI tidak hanya tergantung pada penegakan hukum 
yang dilakukan pengadilan Malaysia. 

Dalam kasus Nirmala Bonat, majikan masih bisa bebas meskipun dengan uang 
jaminan, sementara sang TKI masih harus menanti penyelesaian hukum yang 
berlarut-larut di mahkamah (pengadilan). 

Dia juga mendesak pemerintah Indonesia dan Malaysia memasukkan majikan yang 
bersalah ke dalam daftar hitam dan dilarang merekrut TKI lagi. (lam/ant)


[Non-text portions of this message have been removed]



CiKEAS Pacitan mulai bangkit membangun

2007-06-21 Terurut Topik Sunny
Refleksi: Penduduk Pacitan sangat beruntung. Siapa yang dilahiran di Pacitan, 
tentunya bangga sekali.

http://www.harianterbit.com/artikel/rubrik/artikel.php?aid=2


Pacitan mulai bangkit membangun
  Tanggal :  18 Jun 2007 
  Sumber :  Harian Terbit 


Oleh Haryono Suyono



MINGGU lalu Bupati Pacitan, Ir. H. Suyono, sempat mengadakan kunjungan ke 
D.Radio di Jakarta untuk memenuhi undangan berbincang-bincang tentang 
pembangunan di Kabupaten yang dipimpinnya. Perbincangan santai itu dilakukan 
bersama Prof. Dr. Haryono Suyono dan Dr. Rohadi Hariyanto, M.Sc. dari DNIKS dan 
yayasan Damandiri dengan pembawa acara Dra. Riri Wijaya, presenter senior D 
Radio. Pembicaraan penuh selama satu jam itu diisi dengan tema Pacitan 
Membangun, khususnya dalam bidang sumber daya manusia yang diarahkan pada 
pendidikan, pengembangan wirausaha dan pengentasan kemiskinan.
Pacitan yang berada diantara gunung dan lautan Hindia itu merupakan salah satu 
kabupaten yang relatif terisolasi di Jawa Timur bagian barat selatan dengan 
penduduk sekitar 560.000 jiwa. Penduduk umumnya bekerja dalam bidang pertanian 
dan perikanan kelautan. Pacitan merupakan daerah dipinggir pantai dan 
berbatasan dengan kabupaten Ponorogo, Jawa Timur, di sebelah utara, serta 
Wonogiri, Jawa Tengah, disebelah barat. Pacitan yang terpencil telah banyak 
menghasilkan anak bangsa dengan karier yang cukup menggembirakan. Diantara 
tokoh yang dilahirkan atau dibesarkan di kabupaten ini antara lain adalah ahli 
atom Prof. Dr. Baiquni, Wakil Ketua DPA, Sulasikin Murpratomo, Menko Kesra dan 
Taskin, Haryono Suyono, dan terakhir Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono.

Karena penduduk Pacitan umumnya miskin dan tingkat pendidikannya rendah, 
pemerintah daerah menaruh perhatian yang tinggi terhadap bidang pendidikan. 
Bekerja sama dengan Yayasan Damandiri dewasa ini mulai dikembangkan pendidikan 
untuk anak usia dini (PAUD) untuk merangsang anak-anak dan orang tua menaruh 
perhatian yang tinggi terhadap bidang pendidikan. Pengembangan PAUD ini 
sekaligus dikaitkan dengan pengembangan Pos Pemberdayaan Keluarga atau Posdaya 
di Desa Pucangsewu, Punung dan di kota Pacitan. Dengan dukungan pemerintah 
pusat sedang ditingkatkan pendidikan formal bagi warga umumnya, dan pelatihan 
ketrampilan bagi warga kurang mampu khususnya. Dengan usaha keras itu tingkat 
partisipasi pendidikan dasar telah mencapai hampir 100 persen, sekolah menengah 
pertama lebih dari 76 persen, namun pada tingkat pendidikan menengah atas masih 
rendah. Untuk mengatasi kemungkinan pengangguran karena ketrampilan yang 
terbatas, seperti di daerah lainnya, maka Pemerintah Daerah sedang berusaha 
menyeimbangkan fasilitas pendidikan menengah pertama dan menengah atas kearah 
pendidikan kejuruan, termasuk peningkatan kemampuan produksi dari bahan-bahan 
kayu lokal yang bahan bakunya tersedia di daerah Pacitan.

Dalam bidang ekonomi, kabupaten Pacitan mengembangkan pasar keluar, termasuk 
pengiriman produk rakyat ke Jakarta, melalui jalur utara Ponorogo dan Madiun. 
Kearah barat melalui Wonogiri dan Surakarta. Jaringan yang relatif baru 
menghubungkan Pacitan dengan DI Yogyakarta yang bisa ditempuh dengan mobil atau 
bus dalam waktu sekitar dua jam. Untuk bangkit dan menjebol Pacitan dari 
isolasi, pemerintah daerah dengan dukungan pemerintah pusat sedang 
mempersiapkan jalan tembus lintas Selatan menyusur pantai kearah timur melalui 
kabupaten Trenggalek, dan kabupaten lainnya di Jawa Timur. Jalan tembus ini 
akan memperkuat arus produk dari Pacitan ke pasar yang lebih luas.

Agar anak-anak muda putus sekolah mampu menyerap kesempatan kerja yang relatif 
langka atau menciptakan kesempatan kerja secara mandiri, pemerintah sedang 
menyiapkan pembangunan Balai Latihan Kerja (BLK) yang cukup besar di kabupa-ten 
Pacitan. Disamping itu, bekerja sama dengan Yayasan Damandiri dan Universitas 
Sebelas Maret Surakarta, pada dua buah SMA di Pacitan, siswa-siswa yang berasal 
dari keluarga kurang mampu diberikan pelajaran ketrampilan dan dititipkan pada 
pengusaha agar mampu menyerap ketrampilan dan sekaligus siap mandiri. Dalam 
pembicaraan santai melalui D Radio itu Bupati Ir. H. Suyono mengharapkan agar 
program ini dapat diperluas ke SMA-SMA lain di Pacitan sehingga keseimbangan 
antara sekolah menengah umum dan sekolah kejuruan dapat dipercepat dan 
anak-anak muda di Pacitan segera dientaskan.

Untuk mengantisipasi tumbuhnya industri lokal yang memerlukan tenaga listrik 
yang lebih besar, dan sekarang banyak tergantung dari pasokan yang tidak lancar 
dari daerah lain, kabupaten Pacitan sedang membangun dua pembangkit tenaga 
listrik dengan kapasitas 2 kali 300 MW. Apabila pembangunan ini selesai 
diharapkan industri-industri kecil dapat memperoleh aliran listrik secara 
teratur tanpa harus mengalami pemadaman yang menjengkelkan.

Sementara itu, untuk memberi kesempatan kerja yang luas kepada penduduk pada 
umumnya, pemerintah daerah membantu peternak dan petani dengan pendekatan yang 

CiKEAS Watu Gatheng, Bisa 'Bim-salabim' [intermezzo]

2007-06-21 Terurut Topik Sunny
http://www.metrobalikpapan.co.id/berita/index.asp?IDKategori=82id=79442

  Kamis, 21 Juni 2007


  Watu Gatheng, Bisa 'Bim-salabim'  

  Di selatan makam Mataram Kotagede, ada Kampung Dalem. Di tengah kampung 
terdapat bangunan kuno relatif kecil. Di dalamnya terdapat tiga benda keramat. 
Yakni Watu Gilang, Watu Gatheng dan Genthong. Menurut jurukunci Makam 
Hastorenggo Hastono Suprapto, dalem (rumah) itu direnovasi pada 1934. Menurut 
para sepuh, dulu berbentuk pendopo terbuka. Berumur sekitar lima abad, 
kondisinya amat rusak. Tapi masih ada bekas bentengnya, katanya. 
  Bentuk Watu Gilang mendekati segi empat, berukuran sekitar 1,5 meter 
persegi, tinggi 60 cm. Salah satu tepinya cekung seukuran dahi manusia. Menurut 
cerita, bekas benturan dahi Ki Ageng Mangir Wanabaya. Sengaja dibenturkan 
Panembahan Senopati saat Ki Ageng Mangir menyembah. Jenazah menantu ini juga 
dimakamkan di Kotagede. Tapi separuh badan berada di luar tembok, separuhnya 
lagi di dalam. Sebab selain kerabat keraton, dia juga musuh raja. Dianggap 
musuh karena Ki Ageng Mangir memberontak terhadap Mataram. Selain emoh 
menyampaikan upeti, Ki Ageng mangir meminta daerahnya dilepas dari Mataram 
sebagai tanah merdeka. 

  Karena Ki Ageng Mangir dikenal sakti, Panembahan Senapati menyusun taktik 
: menugasi Gusti Ayu Pembayun menyamar jadi pengamen dan mengaku anak janda 
dusun Kasihan. Keduanya akhirnya jatuh cinta dan berumahtangga. Ketika hamil, 
akhirnya Nyi Pembayun mengaku jati dirinya. Meski sempat kaget dan marah, Ki 
Ageng Mangir bersedia menghadap Panembahan Senapati. Watu Gatheng berwarna 
kuning keemasan berjumlah tiga biji. Merupakan mainan putera Panembahan 
Senapati bernama Raden Rangga. Tiga batu tersebut dipercaya memiliki kekuatan 
gaib. Ada yang bisa melihat, ada pula yang tak bisa. Genthong atau tempat 
menampung air, dipercaya milik Ki Juru Mertani, penasihat Panembahan Senapati. 
Terbuat dari batu, berfungsi tempat air wudhu. Menurut Hastono, lima lekukan 
yang terdapat pada sisi luar gentong tersebut, dipercaya sebagai bekas sentuhan 
jari-jari Raden Rangga yang juga dikenal sakti.(mol) 
 
 


[Non-text portions of this message have been removed]



CiKEAS Membebaskan Sebel Sial Para Sukerta

2007-06-21 Terurut Topik Sunny
http://www.metrobalikpapan.co.id/berita/index.asp?IDKategori=82id=79443

  Kamis, 21 Juni 2007

  Membebaskan Sebel Sial Para Sukerta  
  Tradisi Ruwatan di Jawa, Bali dan Sunda 
 

  Ruwatan hingga sekarang masih lestari jadi tradisi dalam masyarakat Jawa. 
Bahkan juga dilakukan di Jawa Barat dan Bali. Upacara sakral ini dimaksud untuk 
menolak bala, bahaya atau malapetaka. Di Jawa, mereka yang digolongkan rentan 
kena bahaya disebut sebagai sukerta. Dan harus diruwat kalau tidak ingin 
menjadi 'mangsa' Batara Kala, dewa raksasa yang bengis dan menakutkan. 
  MEREKA yang masih memegang kepercayaan pentingnya tradisi ruwatan 
meyakini, orang yang diruwat akan terhindar dari bala sepanjang hidupnya. 
Berapa banyak orang yang dimasukkan di dalam kelompok sukerta? Pujangga 
Ronggowarsito dalam kitab Pustaka Raja Purwa menyebutkan orang sukerta ada 136 
macam. Kitab Centini hanya menyebutkan 19 macam. Kitab Manik Maya dan Pakem 
Pengruwatan Murwakala sama-sama menyebutkan orang sukerta ada 60 macam. 

  Sedang Serat Murwakala menyebutkan sebanyak 147 macam. Mereka yang 
disebut sebagai penyandang sukerta sebagaimana yang tertera di dalam kitab 
Pustaka Raja Purwa, di antaranya anak ontang-anting yaitu anak tunggal, 
kedhana-kedhini yakni dua saudara kakak-beradik laki-laki dan perempuan, kembar 
anak lahir bersamaan dalam sehari baik sama-sama lelaki maupun sama-sama 
perempuan, dhampit anak kembar lelaki dan perempuan, gondhang kasih anak kembar 
yang satu berkulit putih dan satunya berkulit hitam. Tawang gantungan kembar 
lahirnya selisih beberapa hari juga tergolong sebagai sukerta. 

  Sukera lainnya adalah sakrendha anak lahir bersamaan sehari, dua atau 
lebih, dalam satu bungkus. Wungkus, anak yang lahir dalam keadaan terbungkus, 
wungkul anak yang lahir tanpa ari-ari atau placenta. Anak berkalung usus, yang 
dinlai luwes memakai busana apa saja, juga anak sukerta yang disebut tiba 
sampir. Tiba ungker anak lahir yang terbelit usus, maupun lahir tidak menangis 
dikategorikan sukerta. 

  Anak lahir prematur adalah sukerta disebut jempina. Lahir di perjalanan, 
atau margana juga sukerta. Beberapa sukerta lain adalah wahana anak yang lahir 
di tengah keramaian, julungwangi anak yang lahir di saat matahari terbit, 
julungsungsang anak yang lahir pas tengah hari, julungsarab anak lahir 
menjelang matahari terbenam, julungpujud anak lahir pas saat matahari terbenam. 
Penyandang predikat sukerta lainnya: sekar sepasang yakni dua perempuan 
bersaudara, uger-uger lawang dua laki-laki bersaudara, pancuran kapit sendhang 
tiga bersaudara, pertama lelaki, kedua perempuan, ketiga lelaki, sendhang kapit 
pancuran, tiga bersaudara, pertama perempuan, kedua lelaki, ketiga perempuan, 
saromba empat lelaki bersaudara. Sarimpi empat perempuan bersaudara juga 
sukerta. Kemudian pancaputra lima lelaki bersaudara, pancaputri lima perempuan 
bersaudara, pipilan lima bersaudara, empat perempuan dan satu lelaki, padangan 
lima bersaudara, empat lelaki dan satu perempuan, siwah anak yang lemah mental. 
Anak berkulit hitam legam juga termasuk sukerta disebut kresna. Sukerta lainnya 
adalah wungle anak berkulit bule, walika orang kerdil, bungkul - orang yang 
berbadan bongkok sejak lahir, dhengkak orang yang berdada serdih, butun orang 
berpunggung bersih dan wujil orang yang cebol. Di dalam kitab lainnya 
disebutkan pula sejumlah penyandang sukerta lainnya. Di antaranya orang yang 
merobohkan dandang (tempat menanak nasi), orang yang mematahkan tempat menumbuk 
jamu (dari batu), orang yang mematahkan gandik (alat penumbuk jamu), sampai 
orang yang berdiri di tengah-tengah pintu, maupun yang duduk melamun dan 
bertopang dagu. 

  Penyandang sukerta yang telah diruwat oleh sang dalang dengan mementaskan 
wayang kulit dalam lakon yang khusus, diyakini akan terbebas dari malapetaka 
karena lepas dari kejaran Batara Kala. Lantas, siapa gerangan Batara Kala yang 
sangat ditakuti oleh sebagian masyarakat Jawa? Di dalam kitab-kitab pewayangan 
disebutkan Batara Kala merupakan dewa raksasa buah perkawinan Batara Manikmaya 
yang dikenal juga dengan sebutan Batara Guru dengan Dewi Umayi. Karena suatu 
hal, Dewi Umayi berubah menjadi dewi raksasa bernama Batari Durga. Setelah 
dilahirkan Batara Kala langsung membuat keributan dan memporakporandakan 
Jonggring Saloka tempat bersemayamnya para dewa. Tidak hanya itu saja. Selain 
mengamuk karena menuntut tahta di kayangan, Batara Kala juga bermaksud untuk 
memperkosa Dewi Sri, isteri Batara Wisnu. Guna menghindar dari buruan Batara 
Kala, Dewi Sri sampai menyelamatkan diri ke mayapada. 

  Nafsu birahi Batara Kala begitu membara dan tak bisa dipadamkan lagi. Ia 
terus memburu Dewi Sri. Tapi Dewi Sri tetap berhasil menyelamatkan diri. Dalam 
kondisi mabuk kepayang seperti itulah tiba-tiba Batari Durga, ibu kandungnya 
sendiri, muncul. Batara Kala sudah gelap mata. Ia sudah tidak dapat lagi 
membedakan antara ibunya dengan Dewi Sri. Karena perempuan 

CiKEAS Orang Kecil Cuma Bermimpi Keadilan

2007-06-21 Terurut Topik Sunny
Refleksi:  Kalau dalam bermimpi dimimpikan bisikan suara: Janganlah membuat 
mimpimu hanya mimpi kosong  [don't make your life an empty dream],  apakah 
mimpi demikian bisa menjadi inspirasi dan motor perubahan untuk kehidupan 
berkeadilan? 

http://www.pontianakpost.com/berita/index.asp?Berita=Opiniid=139105

  PONTIANAK POST ONLINE  
 
  Kamis, 21 Juni 2007


  Orang Kecil Cuma Bermimpi Keadilan 
  Oleh : Mahmudi Asyari 

  Above the law, kata itulah yang mungking sangat tepat untuk menggambarkan 
prilaku (oknum) anggota TNI (Marinir) beberapa waktu lalu yang menimbaki rakyat 
sipil tak berdaya. Akibatnya, empat nyawa rakyat yang nota bene Warganegara 
Republik Indonesia (WNI) melayang sia-saia, hanya karena dianggap melanggar apa 
yang oleh TNI AL diklaim sebagai miliknya. Tindakan sejumlah anggota Marinir 
tersebut semakin, menguatkan image bahwa, kebiasaan bertindak di atas hukum 
masih sukar dihilangkan. 

  Kasus tersebut di tambah beberapa kasus sebelumnya seperti panganiayaan 
anak kecil di komplek Lippo Cikarang Bekasi oleh sejumlah anggota Garnisum Ibu 
Kota, hanya karena dituduh mengambil sebilah papan proyek di sana. Beberapa 
kasus tersebut sudah cukup memberikan gambaran betapa masih banyak oknum 
prajurit yang merasa era sekarang masih seperti era Orde Baru di mana tentara 
tidak terjamah hukum. 

  Memang sangat sukar merubah sesuatu yang masih mendarah daging, terlebih 
sampai sekarang masih ada keistimewaan hukum di mana anggota TNI tidak bisa 
dijerat dengan hukum publik, meskipun kejahatan dan pelanggaran yang dilakukan 
di luar konteks kejahatan dan pelanggaran kepada sesama anggota dan di dalam 
konteks operasi militer. Hal itu merupakan kendala bagi Polri untuk bertindak 
lebih jauh. Akibatnya, perasaan above the (public) law masih terpatri dalam 
diri prajurit. Bukti yang paling anyar dari tindakan itu adalah penimbakan 
rakyat beberapa waktu lalu itu. 

  Oleh karena banyaknya kasus yang melibatkan oknum TNI tidak jelas proses 
hukumnya, banyak pihak seperti Hendardi menuntut agar kasus penimbakan itu 
diproses dalam jurisdiksi peradilan umum. Alasannya adalah bahwa jika diproses 
dalam peradilan militer tidak akan jelas nasibnya dan para pelaku cenderung 
berpotensi bebas. Di samping, bisa saja perkara itu tidak sampai ke pengadilan 
apabila Perwira Penyerah Perkara (PPP) tidak bersedia melanjutkan kasus 
tersebut ke dalam proses hukum (pengadilan). 

  Apa yang diusulkan Hendardi memang sangat baik dan memang sudah 
semestinya semua warganegara diperlakukan sama kedudukannya di muka hukum 
(equality before the law) agar semua pihak merasa mendapatkan keadilan dan agar 
tidak satu kelas dari warganegara yang merasa kebal hukum. Namun, untuk menuju 
ke sana masih jauh dari harapan, mengingat RUU Peradilan Militer yang sekarang 
masih dalam pembahasan masih dihambat dari sana sini. Termasuk Menteri 
Pertahanan Juwono Sudarsono yag seorang sipil ikut keberatan manakala prajurit 
TNI diadili di lingkungan Peradilan Umum. Alasannya, PU belum siap, karena 
lebih cenderung memihak kepada orang-orang kaya yang sanggup menyewa pengacara 
mahal. Itu, menurut saya apolegetik, mengingat salama ini atas dasar kekuasaan 
dan kekuatan mereka sulit dijerat hukum. Apakah itu, tidak sama dengan 
orang-orang kaya? Bedanya jika yang satu mengeluarkan uang, satunya 
mengeluarkan ancaman. Itu saja bedanya. 

  Berkaitan itu, jika TNI memang benar-benar mau mendukkung proses 
demokrasi dan penegakan hukum harus mulai mengamandemen peraturan yang 
menetapkan bahwa hanya Mahkamah Militer yang bisa mengadili prajurit. Mahkamah 
Militer memang harus tetap dipertahankan, hanya saja kasus-kasus yang ditangani 
tidak bersifat menyeluruh seperti yang berlaku selama ini. Sehingga kasus-kasus 
yang melibatkan oknum (tidak terstruktur) harus dikeluarkan dari jurisdikasinya 
agar keadailan benar-benar milik semua wargenegara. Jika tidak demikian, maka 
anggota TNI akan tetap elitis dan merasa bebas berbuat sekehendak hatinya tanpa 
menghiraukan hukum dan rasa keadilan. 

  Menurut saya, kasus-kasus yang harus tetap di bawah jurisdiksi Mahkamah 
Militer adalah kasus-kasus kejahatan oleh prajurit terhadap sesama prajurit dan 
kejahatan atau pelanggaran yang dilakukan dalam melaksanakan perintah operasi. 
Jika jurisdikasi Mahkamah Militer kelak bisa dibatasi ke dalam dua hal 
tersebut, maka kejahatan seperti pemerasan, penyerangan seperti di Jawa 
Timur-jika dilakukan oknum-dan kejahatan lainnya harus diproses di Pengadilan 
Sipil sehingga proses hukumnya bisa diawasi oleh publik. Jika proses penuntutan 
dialihkan ke Pengadilan Sipil, merupakan suatu keniscayaan bagi Polisi untuk 
melakukan penyelidikan dan penyidikan seperti yang mereka lakukan kepada rakyat 
sipil. 

  Pada tahap awal, bantuan dari Polisi Militer (PM) mutlak diperlukan untuk 
mendukung proses hukum yang melibatkan oknum TNI. Akan tetapi, iklmi penundukan 
terhadap hukum sipil harus terus didorong 

CiKEAS Menanti Pers sebagai Penyelamat

2007-06-21 Terurut Topik Sunny
http://www.pontianakpost.com/berita/index.asp?Berita=Opiniid=139027

Rabu, 20 Juni 2007



Menanti Pers sebagai Penyelamat
Oleh Heriyanto


Ada semacam asumsi bahwa perkembangan pers berpengaruh pada kehidupan 
demokrasi. Kalimat ini klasik, memang. Namun sangat berarti. Sebab ada banyak 
harapan pers menjadi semacam penyelamat atas sesuatu yang sudah buruk. 

Bulan Agustus 1974 Presiden Richard Nixon mengundurkan diri setelah dua 
wartawan Washington Post Bob Woodward dan Carl Bernstein membongkar kasus 
Watergate di mana Nixon terlibat di dalamnya. Publik Amerika geger. Presiden ke 
37 AS yang malang itu lengser dari jabatannya sebagai presiden, bukan karena 
demonstrasi atau impeachmen parlemen, melainkan karena laporan pers. Suatu yang 
buruk telah terselamatkan. Saya tahu kisah ini setelah menonton film All The 
President's Men yang secara rinci cerita soal skandal Watergate. 

Pers Indonesia pasca Orde Baru memeroleh kebebasannya: sesuatu yang berbeda 
dibanding masa orde baru di mana pers terkungkung ancaman sensor dan bredel. 
Kini pers berkembang pesat. Ratusan media tumbuh. Pers berani mengkritisi 
kebijakan pemerintah tanpa rasa takut. Walau tentu saja belum sekaliber 
terbongkarnya skandal Watergate. Dulu wartawan Indonesia bisa sewaktu-waktu 
terancam penjara bila berita yang ditulis dianggap menentang pemerintah. Kini 
mereka berani membuat berita yang pada masa orde baru sangat sensitif 
sekalipun. 

Bukankah kini memilih berita layaknya memilih makanan? Berbagai pilihan 
disuguhkan. Kita bebas memilih berita kuliner sampai berita soal politik atau 
kriminal. Kita bisa baca berita yang ditulis secara lembut sampai yang ditulis 
keras dan pedas. Sarapan pagi kita ditemani berita soal korupsi, ilegalloging, 
sampai pembunuhan. 

Pers Indonesia berkembang, benarkah ini sekaligus menandakan makin 
berkualitasnya kehidupan demokrasi di Indonesia? Dan bila kita yakin tujuan 
demokrasi adalah kesejahteraan rakyat, apakah peningkatan kuantitas berita 
membawa implikasi makin meningkatnya kesejahteraan rakyat? 

Semestinya iya. Tapi bisa juga tidak. Saya hendak mengatakan, kebebasan pers 
ini idealnya membawa perubahan mendasar dalam kehidupan berbangsa dan 
bernegara. Sebut saja misalnya perbaikan kesejahteraan rakyat. Namun bicara 
sesuatu yang ideal akan menyerempet utopia: mimpi. Dengan kata lain, 
peningkatan kesejahteraan yang diharapkan itu mungkin saja hanya sekadar mimpi. 

Ada pernyataan, jurnalisme hadir bersama tujuannya. Bill Kovach dan Tom 
Rosentiel dalam buku Sembilan Elemen Jurnalisme menyebut tujuan jurnalisme 
adalah menyediakan informasi yang dibutuhkan warga agar mereka bisa hidup 
merdeka dan mengatur diri mereka sendiri. Menurut Kovach manusia membutuhkan 
berita karena naluri dasar-- yang disebut sebagai naluri kesadaran. Dengan 
informasi itu manusia tahu dunia luar. 

Orang bebas tahu siapa yang layak untuk jadi gubernurnya: siapa yang pahlawan 
dan siapa yang penjahat. Orang perlu tahu amankah daerah yang ia tempati dan 
apa saja potensi-potensi yang bisa dikembangkan. Orang perlu tahu 
kebijakan-kebijakan pemerintah, juga butuh informasi bencana alam atau sekadar 
berita tentang harga minyak goreng. Orang juga perlu dapatkan informasi soal 
pendidikan, lapangan pekerjaan, atau soal kecil macam tempat wisata yang 
menarik. 

Pengetahuan itu memberi rasa aman, membuat mereka bisa merencanakan dan 
mengatur hidup mereka. Bila rakyat mampu memberdayakan diri mereka 
kesejahteraan hidup bisa ditingkatkan. Merdeka dan bisa mengatur diri sendiri 
secara bebas itulah inti demokrasi. Dalam negara yang otoriter kemerdekaan dan 
kebebasan sangat sulit didapat. Pada titik inilah sesungguhnya peran media 
dibuktikan. Dan asumsi kita terjawab meski masih menyisakan sedikit ragu. 

Ini sisi keraguan itu: meski sudah mendapatkan kebebasannya, seringkali media 
di Indonesia lupa bahwa mereka bertanggung jawab pada publik. Media terjebak 
pada korporasi yang tujuannya semata keuntungan dan melupakan untuk apa mereka 
hadir. 

Sebagian media mungkin tidak dekat dengan rakyat kecil. Sebagian lain mungkin 
lebih dekat dengan penguasa dan sibuk melayani pemerintah ketimbang mereka yang 
diperintah (warga). Bila hal ini yang lebih dominan, maka satu kesimpulan soal 
utopia tadi menjadi kenyataan. Bahwa media memang tak mampu berperan dalam 
membangun demokrasi apalagi peningkatan kesejahteraan rakyat. 

Dan orang boleh menggugat: pers ada tetapi mengapa pada kenyataannya masih 
banyak rakyat yang belum terberdayakan dan masih banyak pula yang belum 
sejahtera; mengapa korupsi makin banyak; mengapa pula masih banyak rakyat yang 
termarjinalkan? 

Padahal media tidak seperti perusahaan tahu, krupuk, atau rokok yang tujuan 
utamanya keuntungan. Media adalah sebuah institusi yang punya tanggungjawab 
untuk mencerdaskan publik, memberikan informasi yang bergizi, dan sekali-kali 
menjadi watchdog pemerintah. Mata hati pers pada nurani. Seperti memilih 
makanan, media semestinya memberikan 

CiKEAS Ternyata, Kita Tidak Terdidik Peduli Lingkungan!

2007-06-21 Terurut Topik Sunny
http://www.kaltengpos.com/berita/index.asp?Berita=Opiniid=28451

  Jumat, 15 Juni 2007



  Ternyata, Kita Tidak Terdidik Peduli Lingkungan!
  (Refleksi Hari Lingkungan Hidup Sedunia; 5 Juni)
  Oleh : MM. Roziqin S.Si *) 

  Siapa yang menyangka? Ketika panas siang menyengat di Pulau Sulawesi dan 
Kalimantan, justru di pulau Jawa diterjang banjir, dan begitu juga sebaliknya, 
ketika di Jawa kering, hamparan manikam Pulau Kalimantan malah diterjang banjir 
bandang. Air bermuntahan menenggelamkan setiap yang tumbuh, lumpur menyergap 
setiap yang bergerak, belum lagi kayu bergelontoran menerjang setiap yang 
tersisa. Dalam sekejap, surga di Borneo berubah menjadi neraka ratap dan sesal. 

  Pola iklim makin tak menentu. Saat sebagian wilayah nusantara kering 
kerontang karena kemarau, dibelahan wilayah lainnya malah air bah.cuaca panas 
pun bisa turun hujan, sementara mendung tak selalu hujan. Kondisi iklim seperti 
ini yang disebut iklim ekstrem, yaitu iklim yang menyimpang dari kondisi 
normal. Iklim ekstrem ini sudah terdeteksi sejak awal tahun 1990-an, dimana 
terjadi musim kering berkepanjangan selama periode kemarau diikuti curah hujan 
berintensitas tinggi pada periode berikutnya. Dan kondisi ini makin mencolok 
sejak tahun 1997 hingga sekarang. 

  Semua pola perubahan ini tak lepas dari pola regional kawasan sekitar 
benua maritim Indonesia. Perubahan suhu di Samudra Pasifik dan Samudra Hindia 
yang naik turun bergantian, sehingga hal ini membuka peluang menghadirkan cuaca 
tak menentu dan iklim ekstrem di kawasan Indonesia. Suhu yang berubah di kedua 
kawasan itu menyebabkan perubahan arah angin, karena angin akan mengalir 
ketempat bertekanan rendah/ suhunya lebih dingin. Bila angin itu membawa awan 
maka hujan turun, dan bila kering maka panaslah yang melanda. Nah, jika suhu 
naik turun secara acak maka panas dan hujan pun akan datang tanpa bisa di ramal 
(Winarso, P.A., BMG, 2006). 

  Disisi lain, perubahan pola iklim ekstrim dengan siklus yang tidak 
menentu ini juga disebabkan oleh meningkatnya suhu rata-rata dipermukaan bumi 
(Anggadireja, J.T., BPPT, 2006). Peristiwa ini disebut pemanasan global (Global 
Warming). Akar permasalahan bencana adalah manusia. manusia seringkali 
menghadirkan iklim ekstrim ini. Seringkali kita tak sadar bahwa kita telah 
memanfaatkan energi secara tidak ramah. Penggunaan listrik berbahan bakar 
fosil, kendaraan bermotor, AC, pembakaran hutan, adalah contoh bagaimana kita 
ini menghasilkan emisi yang memicu peningkatan konsentrasi gas rumah kaca di 
atmosfer. Akibatnya suhu bumi makin panas karena pemanasan global. Padahal 
hutan adalah green-belt (sabuk pelindung) yang menetralisir angin, suhu, emisi, 
dan iklim ekstrem. 

  Pemanasan global akhirnya membawa dampak terjadinya perubahan iklim yang 
mempengaruhi kehidupan bumi. Eksploitasi lingkungan yang berlebihan yang 
menyebabkan ketidakstabilan dan anomali atmosfer, sehingga penyimpangan mudah 
terjadi. Padahal penyimpangan sedikit saja mengakibatkan bencana, sehingga 
perubahan iklim ini merupakan ancaman serius. Krisis pangan karena kekeringan, 
rusaknya infrastruktur karena banjir, pulau-pulau yang tenggelam dan rusaknya 
daerah pesisir karena peningkatan permukaan laut merupakan dampak perubahan 
iklim tersebut. Kemudian diikuti dengan peningkatan kasus penyakit tropis, dan 
punahnya beberapa spesies flora dan fauna karena tak mampu beradaptasi. 
Bayangkan kerugian yang harus kita tanggung!!! 


  Kebakaran Hutan dan Lahan 

  PP Nomor 4 Tahun 2001 mengatur tentang Pengendalian Kerusakan dan atau 
Pencemaran Lingkungan Hidup yang Berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan atau 
Lahan. Dan secara eksplisit dituangkan dalam BAB IV pasal 11  Setiap orang 
dilarang melakukan kegiatan pembakaran hutan dan atau lahan dan pasal 12  
Setiap orang berkewajiban mencegah terjadinya kerusakan lingkungan hidup yang 
berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan selanjutnya pada pasal 20  
Setiap orang yang mengakibatkan terjadinya kebakaran hutan dan atau lahan wajib 
melakukan pemulihan dampak lingkungan hidup. Peraturan yang ditetapkan dan di 
tanda tangani oleh Presiden RI Abdurrahman Wahid tersebut mengisyaratkan betapa 
pentingnya untuk menjaga kualitas lingkungan hidup, sebagai sampling dalam hal 
ini tentang kebakaran lahan. Sebagai alasan utamanya adalah menurun atau bahkan 
rusaknya baku mutu tanah mineral dari kondisi semula. Hal ini dapat dilihat 
melalui beberapa parameter sebagai tolok ukur intensitas kerusakan yang 
diakibatkan, seperti : Sifat Fisik Tanah (struktur tanah, tingkat porositas, 
bobot isi, kadar air, penetrasi tanah, konsistensi tanah), Sifat Kimia Tanah 
(C-organik, N total, nitrat, amonia, fosfat, pH, konduktifitas), Sifat Biologi 
tanah (Carbon mikro organisme, respirasi, metabolic quotien, Total 
mikroorganisme, total fungsi). Kerugian semacam inilah yang selayaknya menjadi 
perhatian bersama agar tidak terulang hal-hal yang sifatnya merugikan 

CiKEAS Kenapa Mesti Halal?

2007-06-21 Terurut Topik Sunny
Refleksi: Kalau miskin dan perut keroncong, apakah halal/haram perlu menjadi 
persoalan sorga/neraka?

http://www.pontianakpost.com/berita/index.asp?Berita=Opiniid=138986

Selasa, 19 Juni 2007


Kenapa Mesti Halal?


RIBUT-RIBUT mengenai persoalan sertifikasi halal tentu saja tidak ada habisnya. 
Ada yang pro dan ada yang kontra. Yang pro mengemukakan alasan bahwa sebagai 
negara dengan mayoritas penduduk muslim terbesar, sudah semestinya 
memperhatikan dengan sungguh-sungguh masalah halal dan haram. Adapun yang 
kontra mengemukakan alasan bahwa sertifikat halal ini bukan bersifat wajib dan 
tentu saja akan merugikan perusahaan, karena untuk mendapatkannya, harus 
mengeluarkan sejumlah uang untuk membiayai LP-POM MUI (Majelis Ulama Indonesia) 
melakukan penelitian sampai tertibnya sertifikat halal. 

Tentu masih segar dalam ingatan kita, kira-kira tiga tahun lalu, salah satu 
perusahaan bumbu masak terkenal yang ketahuan di ragukan kehalalnya, terpaksa 
menarik produknya dari pasar, meminta maaf, dan penjualan langsung merosot 
tajam, yang paling merugikan tentulah menurunnya kepercayaan konsumen. Image 
yang dibangun dengan susah payah, terhapus dalam sehari. Berdasarkan 
pengalaman, akan butuh waktu lama untuk memulihkan keadaan. Meskipun bersifat 
intangible, kepercayaan merupakan aset yang terbesar bagi perusahaan. 

Perlu diketahui, persaingan bisnis dewasa ini dapat dikategorikan sebagai 
pertarungan pembentukan kepercayaan di mata konsumen. Perusahaan yang unggul 
dimata konsumen adalah yang memiliki kepekaan sosial. Salah satu caranya, 
dengan mendapatkan Sertifikat Halal yang merupakan syarat mutlak untuk 
mencantumkan label halal pada setiap produk yang dihasilkan. Meskipun 
penerapannya dianggap sebagai cost, pada dasarnya hal itu tidak akan mengurangi 
laba, bahkan merupakan investasi jangka untuk meraih tambahan keuntungan di 
masa mendatang. Keuntungan lain, perusahaan dapat menjalankan bisnisnya secara 
aman dan nyaman. 

Memang, masalah halal dan haram adalah kepercayaan umat Islam, bukan 
kepercayaan seluruh penduduk Indonesia. Tetapi, persoalan halal tentu saja 
bukan hanya perkara mengandung babi atau tidak, tetapi banyak yang lainnya. 
Sampai saat ini, jangankan perusahaan mau untuk memberi label halal, untuk 
mencantumkan komposisi bahan-bahan suatu produk pun belum tentu jujur. Malah, 
banyak produk yang sebenarnya berbahaya bagi kesehatan tidak dicantumkan dalam 
labelnya bahkan disembunyikan. Seperti mengandung formalin, menambahkan bahan 
pewarna tekstil, bahan karsiogenik penyebab kanker dan sebagainya, yang apabila 
dikonsumsi dalam jangka panjang dapat menjadi maut, tentu produk tersebut akan 
diharamkan juga oleh agama. 

Selain makanan, dalam industri kosmetik dan farmasi banyak produk yang di 
ragukan ke halalnya. Ada kosmetik yang dibuat dari placenta manusia, mengandung 
khamar (alkohol) dan sebagainya. Untuk obat, coba lihat komposisinya, kalau 
bukan bidangnya tentu kita tidak tahu apa yang terkandung didalamnya. Celakanya 
sebagian besar obat tidak menyertakan label halal. Contoh yang paling mudah _ 
meski tidak semua _ yaitu obat yang berbentuk kapsul. Kebanyakan kapsul 
tersebut bungkusnya terbuat dari gelatin yang terbuat dari tulang babi. 

Di sinilah pentingnya sertifikat halal, adalah agar dapat menentramkan batin 
yang mengkonsumsinya. Dengan adanya sertifikat halal, jelas bahwa produk 
tersebut dijamin sehat dan aman untuk dikonsumsi. Cara ini bukan hanya 
melindungi konsumen yang mayoritas muslim saja, tetapi juga non muslim 

Sayangnya sampai saat ini, sebagian besar konsumen yang mayoritas muslim dalam 
membeli produk hanya melihat kedaluarsa, kemasan bagus dan harga murah. 

Tentu saja lambat laun diharapkan, konsumen muslim untuk lebih peduli terhadap 
produk halal. Kelak, perusahaan-perusahaan juga akan patuh kalau konsumen 
muslimnya menuntut, atau minimal memboikot dengan cara tidak membeli. tetapi 
sebaliknya, kalau masih juga cuek, ya mau bilang apa.** 

Darmanto SE 

Pelaksana pada Bank BTN Cabang Pontianak 


[Non-text portions of this message have been removed]



CiKEAS Dihadiahkan Arloji Original Piala Dunia FIFA

2007-06-21 Terurut Topik kabarindonesia
Koran Online www.KabarIndonesia.com berhasrat untuk memberikan 
hadiah berupa Arloji Original Piala Dunia FIFA kepada siapa saja 
yang mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan di bawah ini. Semua hadiah 
yang akan diberikan dijamin original tulen, jadi bukannya berupa 
kloningan atau pun barang palsu. 

Pertanyaan yang tercantum di bawah ini sebenarnya tidaklah sukar 
untuk bisa dijawab. Kami percaya dengan bantuan dari Mbah Google 
(baca: Internet); siapa saja pasti akan mampu menjawabnya dengan 
baik. Jadi untuk ini tidaklah dibutuhkan pengetahuan khusus seperti 
yang dimiliki oleh para pakar ataupun para Gibol (Gila Bola). 
Cobalah pengetahuan dan IQ anda, sebab untuk menjawab pertanyaan-
pertanyaan kuis disini tidaklah sukar !

Disamping itu tidak dipungut biaya dalam bentuk apapun juga, jadi 
benar-benar gratisan tulen ! Persyaratan sepenuhnya bisa dibaca di :
http://www.kuis-bola.blogspot.com/

Apabila anda mengalami kesulitan untuk membuka Blog tersebut ataupun 
masih ada hal-hal yang kurang jelas harap hubungi kami per email:
[EMAIL PROTECTED]

Pertanyaan yang harus dijawab:
1. Pada tgl 21 Mei 1904 FIFA didirikan di kota ?
A. Paris
B. Roma
C. Berlin
 
2. Piala Dunia FIFA yang pertama pada tahun 1930 diadakan di:
A. Argentina
B. Uruguay
C. England
 
3. Piala Dunia pada tahun 2010 akan diadakan di:
A. Mesiko
B. Italy
C. Afrika Selatan
 
4. Kata Bola dalam bahasa Indonesia diserap dari bahasa:
A. Itali
B. Portugis
C. Spanyol
 
5. Siapa pencetak gol terbanyak dalam kejuaraan dunia FIFA ?
A. Ronaldo
B. Maradona
C. Pele

6. Siapa pendiri PSSI (Persatuan Sepak bola Seluruh Indonesia) pada 
tahun 1930
A. Soekarno
B. Ir. Soeratin Sosrosoegondo
C. W.R. Soepratman
 
7. Pemain terbaik FIFA 2006 yang mendapatkan hadiah Bola Emas Adidas
A. Zinedine Zidane
B. Ronaldo
C. Beckham
 
8. Negara Asia pertama mana yang masuk putaran final Piala Dunia 
1938 ?
A. Korea
B. Jepang
  C. Hindia-Belanda (Indonesia)

9. Peringkat Juara Piala Dunia yang menjadi juara terbanyak
A. England
B. Jerman
C. Brasil
 
10. Piala FIFA Jules Rimet melambangkan Dewa Kemenangan Yunani:
A. Hercules
B. Adidas
C. Nike

Blog:http://www.kuis-bola.blogspot.com/ 
Email:  [EMAIL PROTECTED]

Today big news..!!! Let's see here 
www.kabarindonesia.com










CiKEAS Rise in radiation exposure leads to warning

2007-06-21 Terurut Topik Sunny
http://www.iht.com/articles/2007/06/19/arts/snradio.php


 

Rise in radiation exposure leads to warning 
By Roni Caryn Rabin

Wednesday, June 20, 2007 

 
Advances in radiology have radically transformed medical practice, with CT 
scans and nuclear medicine exams providing physicians with the ability to 
quickly pinpoint internal bleeding, diagnose kidney stones or confirm 
appendicitis, assess thyroid function and identify and open blockages in the 
blood vessels to the heart.

The downside is that Americans are being exposed to record amounts of ionizing 
radiation, the most energetic and potentially hazardous form of radiation.

According to a new study, the per-capita dose of ionizing radiation from 
clinical imaging exams in the United States increased almost 600 percent from 
1980 to 2006. In the past, natural background radiation was the leading source 
of human exposure; that has been displaced by diagnostic imaging procedures, 
the authors said.

This is an absolutely sentinel event, a wake-up call, said Dr. Fred Mettler 
Jr., principal investigator for the study, by the National Council on Radiation 
Protection. Medical exposure now dwarfs that of all other sources.

The study, financed by the federal government, is to be published by early next 
year. It found a particularly sharp rise in the number of CT scans - to 62 
million in 2006, from 3 million in 1980. Though CTs make up only 12 percent of 
all medical radiation procedures, they deliver almost half of the estimated 
collective dose of radiation exposure in the United States. A CT scan exposes 
patients to far more radiation than a standard X-ray, and multislice CT 
scanners deliver higher doses of radiation than single-slice scanners.

Nuclear medicine exams increased to 18.1 million in 2006, from 6.4 million in 
1980. They represent almost a quarter of the estimated collective radiation 
dose, with cardiac studies making up most of the dose.

X-rays have been classified as carcinogens by the World Health Organization, 
the Centers for Disease Control and Prevention, and the National Institute of 
Environmental Health Sciences, because studies have shown that exposure causes 
leukemia and cancers of the thyroid, breast and lung.

Yet with the exception of mammography, scans remain largely unregulated. (The 
Food and Drug Administration regulates manufacturers of equipment but does not 
inspect facilities, which are licensed by states. Radiation doses for 
mammography are limited by federal law.) Radiation doses for the same procedure 
can vary drastically, as different machines in the hands of different 
practitioners deliver doses that vary by as much as a factor of 10, experts say.

Radiologists say they do not want to scare people away from having scans and 
exams when necessary, but they want patients - as well as physicians - to 
carefully evaluate the benefits and risks of each scan or exam, make sure the 
procedure is appropriate and keep track of cumulative exposure levels. 
Full-body CT scans should be avoided unless there is a good medical reason.

We're not saying you shouldn't have X-rays or CT scans - they're wonderful, 
they've totally revolutionized the practice of medicine, said Dr. E. Stephen 
Amis Jr., a former president of the American College of Radiology who is 
chairman of radiology at Albert Einstein College of Medicine and Montefiore 
Medical Center in New York. But if you go into the emergency room with 
recurrent pain and get a CT scan every time you show up, that's not good. Use a 
little common sense.

Studies of atomic bomb survivors in Japan found a statistically significant 
increase in cancer at high levels of exposure - 50 millisieverts, about 16 
times the current annual average for Americans from medical exams. But that 
figure is controversial; it is not clear that lower levels of radiation 
exposure are safe. Nor would it be unusual for a patient to exceed this level, 
according to a recent paper from the American College of Radiology.

It is worth noting that many CT scans and nuclear medicine studies have 
effective dose estimates in the range of 10 to 25 mSv for a single study, and 
some patients have multiple studies; thus it would not be uncommon for a 
patient's estimated exposure to exceed 50 mSv, the paper said, adding that 
the International Commission on Radiological Protections has reported that CT 
doses can indeed approach or exceed levels that have been shown to result in an 
increase in cancer.

A single CT scan of the abdomen, body or spine can expose a patient to 10 mSv, 
according to the American College of Radiology patient information Web site 
(www.radiologyinfo.org, see Safety). Mammography, on the other hand, delivers 
only 0.7 mSv, and a bone-density scan is only 0.01 mSv.

There are several steps patients can take to protect themselves, and they 
should not be shy about asking questions, doctors and other experts say.

They can always inquire of the referring physician, 'Is 

CiKEAS Malaysia's homesick revolutionary

2007-06-21 Terurut Topik Sunny
http://www.atimes.com/atimes/Southeast_Asia/IF22Ae01.html

June 22, 2007 


Malaysia's homesick revolutionary
By Andrew Symon 


SINGAPORE - Malaysia is gearing up to celebrate half a century of independence, 
but the multi-ethnic country is arguably still not at peace with the often 
turbulent history that led to the end of British colonial rule. 

Resurrecting those controversies is the latest bid by Chin Peng, the onetime 
leader of the Malayan Communist Party (MCP), to return to Malaysia. The 
ethnic-Chinese former rebel, who now lives in exile in Thailand, finally gets 
his day in court on Friday. 

Once described as the most wanted man in the British Empire, and now at 83 
years of age the last of the great post-World War II revolutionary leaders in 
Southeast Asia, Chin Peng led a full-scale guerrilla war against British and 
Commonwealth forces in the late 1940s and 1950s and thereafter a decades-long 
ideological struggle against Malaysia's new indigenous rulers in Kuala Lumpur. 

On Friday, his lawyers will make his latest challenge to the Malaysian High 
Court in Kuala Lumpur and argue that the government's enduring refusal to allow 
him to return represents a breach of the peace accord the two sides signed in 
1989, which ended nearly 40 years of an on-and-off armed struggle between the 
MCP and the central government. 

Since 2005, Chin Peng's efforts to challenge the government in court and the 
2003 publication of his acclaimed memoirs, My Side of History, have galvanized 
a reassessment of the past hostilities and the status of the minority Chinese 
in Malaysian society that are unsettling present-day politics. 

In 1959, the new state of Malaya (Malaysia came into being in 1963 with the 
addition of the British crown colonies of Sarawak and Sabah on Borneo island 
and Singapore, in what was a short-lived membership until 1965) was cast in the 
context of the war with Chin Peng's communist movement. 

The British called it the Emergency for political and economic reasons - 
calling it a war would have meant increased insurance claims. At the conflict's 
height in the early 1950s, it drew in 100,000 British, Commonwealth and local 
soldiers, airmen and police who hunted and engaged several thousand guerrillas 
in the jungles of peninsular Malaysia. 

Controversies from the conflict still linger. How should the Malayan communists 
be viewed in historical context? Were they simply ethnic-Chinese terrorists 
following Moscow's and then Beijing's revolutionary line? Or were they in fact 
nationalists and patriots who enjoyed more broad support across racial lines 
than portrayed by state-sanctioned history? 

How important to the country's political development was a secular Malay 
left-wing movement - a sensitive question given the strength of Islam in 
society and politics in Malaysia? And did the MCP's fight push the British to 
grant independence earlier than otherwise to a conservative United Malays 
National Organization-led (UMNO) coalition, which has dominated Malaysian 
politics ever since? 

Neo-colonial creation 

Britain's transferring power to a non-communist coalition removed the risk of 
increasing local support for the MCP, while also ensuring that its colonial 
commercial and military interests would be guaranteed by the new state. 

No one can be allowed to depict the Malayan War as a spontaneous nationalist 
uprising, Malcolm McDonald, the commissioner general of the United Kingdom in 
Southeast Asia, advised London in 1954. He said Britain should affirm that the 
Malayan insurgents are primarily alien forces acting under alien instructions. 

Ooi Kee Beng, a Malaysia specialist at Singapore's Institute of Southeast Asian 
Studies, told Asia Times Online that accepting Chin Peng back to Malaysia would 
mean allowing for a much broader perspective though which to understand 
Merdeka [independence] and the world in the waning years of colonialism. 

Chin Peng's person challenges the neat history propagated by the government 
since 1957. A view that the British were willing to work with the alliance and 
not with the MCP carries the germ of the concept that the alliance government 
was to an extent a neo-colonial creation. 

Ooi, author of a new biography on post-independence Malaysian politician Ismail 
Rahman, The Reluctant Politician: Tun Dr Ismail and His Time, says admitting 
that Merdeka was a more complicated process than the official version portrays 
has been slow in coming. And revisionist history can be complicated by race 
issues as they are in other aspects of Malaysian life and politics. 

The government does not want to run the risk that the MCP - which was largely 
Chinese - will be described as anti-colonial and nationalistic, said Ooi. At 
the same time, it will mean that one has to consider Chinese-Malaysians in the 
1950s to be fighting for independence alongside the Malaysia as represented by 
UMNO. 

The fear lies in the fact that the Merdeka compact, where 

CiKEAS Border control / Publishing for peace

2007-06-21 Terurut Topik Sunny
http://www.haaretz.com/hasen/spages/873572.html


  Border control / Publishing for peace 
 
  By Akiva Eldar

 
 
  If someone had told Eitan Livni while he was still alive that his 
daughter would one day write an article for an Arab newspaper stating that the 
homeland, the little land of Israel, the one between the Mediterranean Sea 
and the Jordan River, should be turned into a homeland for two states, Israel 
and Palestine, the veteran of the Irgun pre-state underground militia would 
have sent the messenger for a psychiatric examination. If Ariel Sharon, the 
foreign minister's political father, had read in Asharq Al Awsat that his 
protege had converted from belief in unilateralism to preaching negotiations, 
he would have sent his sons to have a heart-to-heart talk with her. 

  But Tzipi Livni is very proud of her first piece in an Arab paper with 
broad print and Internet exposure. She suggests seeing the content of her 
commentary, which was published on Monday, as the Israeli response to the Arab 
peace initiative; not just a rote, obligatory response, but rather a specific 
outline for peace that presents the Israeli positions on each one of the issues 
addressed by the Arab initiative. 

  Livni notes that the article was sent to the paper a few days before the 
military coup that led to the dismantling of the Palestinian unity government. 
The separation of forces between Fatah and Hamas that eliminated the three 
Quartet conditions adds weight to Livni's plan. But when Hamas and a gang of 
thieves rule in Gaza and the West Bank is controlled by the Israel Defense 
Forces and Jewish settlers it is unclear how her outline can be translated into 
practice. Given the gloomy political climate in Palestine and Israel, even the 
declaration of principles (DOP) to promote the Bush vision being formulated in 
the offices of Secretary of State Condoleezza Rice is unlikely to suffer the 
fate of previous such documents and will probably not remain on paper only. 


 
 

   
  Nevertheless, Livni's article is a keeper. In it, the foreign minister 
corrects the impression implied in her earlier statements that she is demanding 
that Arab League members open embassies in Israel (normalization) and leave the 
resolution of the conflict (withdrawal) for better times. She writes that the 
Arab and Muslim world can serve as a catalyst for Israeli-Palestinian 
reconciliation by promoting parallel steps in advance of the regional 
conciliation that will give the nations of the Middle East concrete indications 
regarding the benefits to be gained from peace in the region. 

  Livni explained yesterday in a phone conversation that in order to 
generate public support for hard-to-digest concessions, the Israelis and the 
Palestinians must begin tasting the fruits of peace in the early stages of the 
process. She proposes, therefore, that each step forward in the negotiating 
process be accompanied by a step toward the normalization of ties. 

  In contrast to the principle in the Arab initiative stipulating Israel's 
withdrawal from all territories conquered during the war that began on June 5, 
1967, Livni proposes the following formula: The international border between 
Israel and a permanent Palestinian state shall be agreed upon through 
negotiations on the basis of UN Security Council Resolution 242. 

  Livni argues that it is impossible to turn the clock back to June 4, 
1967, because there was no Palestinian state at the time and no link between 
the West Bank and the Gaza Strip. From the Palestinians' perspective, the 
half-full part of the cup is that Israel's foreign minister is willing to begin 
negotiations on the basis of a resolution that stipulates that Israel is not 
permitted to retain territory acquired by force. The half-empty part is that 
Livni's formula returns them to the early stages of the negotiations with Ehud 
Barak, before the Camp David summit, the Taba talks and the Clinton plan. 

  Livni is enlisting Res. 242 for the border issue, whereas the Arab League 
enlisted UN General Assembly Resolution 194 on the refugee issue. She chose to 
overlook this resolution (which is non-binding) and suggests that the 
Palestinian state that is to be established in the territories will address the 
Palestinian people's claim (not right!) to return. It draws a straight line 
from the Palestinian refugees who need to find a haven in their state and the 
Holocaust refugees and Jews expelled from Arab countries, who found a haven in 
the State of Israel. 

  Since the Arab initiative stipulates that the resolution of the refugee 
problem must be agreed on with Israel, the Arabs can interpret Livni's 
statements as constituting consent to resolving the problem within the borders 
of Palestine and opposition to the refugees' return to Israel. 

  While emphasizing that there is no alternative to direct dialogue 

CiKEAS Indonesian Muslims say violence not allowed in Islam

2007-06-21 Terurut Topik Sunny
http://www.theglobeandmail.com/servlet/story/RTGAM.20070621.windomuslims0621/BNStory/International/home


Indonesian Muslims say violence not allowed in Islam
ADHITYANI ARGA 

Reuters



June 21, 2007 at 6:42 AM EDT

JAKARTA - Only 2 per cent of Indonesian Muslims believe their religion allows 
violence against non-Muslims, a survey showed on Thursday, but organizers said 
the figure was still a worry in the country of 220 million.

The survey by private pollster Indo Barometer and the Wahid Institute revealed 
that 93 per cent of Muslims in the world's most populous Muslim nation believe 
Islam does not allow militancy.

A majority of Muslims said terrorism, violence, violent acts towards 
non-Muslims and using violence to fight vice is not allowed in Islam, it said.

But it said, the survey also shows there is a group of people that could 
potentially be recruited to use violence against others on behalf of religion.

Over 1,000 Indonesian Muslims from across Indonesia's 33 provinces were 
interviewed for the poll in May.

The Wahid Institute was founded by former Indonesian president Abdurrahman 
Wahid to promote plural and peaceful Islam. Earlier this month, it co-hosted an 
international meeting of religious leaders to denounce the Holocaust denial.

Indonesia is the world's fourth most populous country, 85 per cent of whom 
follow Islam, giving the Asian archipelago the largest Muslim population of any 
nation in the world.

While the vast majority of Indonesia's Muslims are relatively moderate, there 
has been an increasingly vocal militant minority and political pressure for 
more laws that are in line with hard-line Muslim teachings.

More than half of people interviewed said bombing attacks by militants are 
still a threat to Indonesia, which has witnessed a string of deadly attacks in 
recent years blamed on Southeast Asian militant group Jemaah Islamiah (JI).

Jemaah Islamiah is an armed movement backing the creation of an Islamic 
superstate linking Muslim Indonesia and Malaysia, and Muslim areas in the 
Philippines and Thailand.

In the past, it has co-operated closely with al-Qaeda's global anti-Western 
campaign, but in recent years many in Jemaah Islamiah have focused more on the 
regional struggle.

Indonesia arrested two top JI leaders this month, dealing a blow to Islamic 
militants in the country, but experts believe they are still capable of 
mounting attacks.

It also showed that nearly 98 per cent believed the curriculum of Islamic 
boarding schools, or pesantrens, is not responsible for the radical ideas of 
militants.

Indonesia has about 14,000 pesantrens, the vast majority of them being moderate 
and venerated, having educated many of the country's Muslim elite.

They also form the backbone of the 40-million-member Nahdlatul Ulama, 
Indonesia's biggest moderate Muslim group that accounts for 12,000 of the 
registered schools.

The schools have been blamed for encouraging fundamentalism and Indonesian 
authorities have said they would monitor them as part of efforts to fight 
militant violence.

Two Muslim militants, Amrozi and and Mukhlas, who have been sentenced to death 
for the 2002 Bali nightclub bombings, studied at the Al-Mukmin Islamic school. 
The Brussels-based International Crisis Group has branded the school the Ivy 
League of militants.


[Non-text portions of this message have been removed]



CiKEAS A restructured PLO

2007-06-21 Terurut Topik Sunny
Published in Cairo by AL-AHRAM established in 1875
21 - 27 June 2007
Issue No. 850

http://weekly.ahram.org.eg/2007/850/op31.htm

A restructured PLO
Without an organisation capable of representing all Palestinians, both in the 
occupied territories and the diaspora, the future can comprise little beyond 
internecine conflict, writes Azmi Bishara 



The US and its Western followers revealed what democratisation of the Arab 
world actually means to them when they rejected the results of the Palestinian 
legislative elections and instead began an economic boycott. The result was 
escalating internecine violence fuelled by the lure of money.

The Mecca Agreement between Fatah and Hamas to form a unity government opened 
the horizon for a unified Palestinian strategy that would include the 
restructuring of the Palestinian Liberation Organisation (PLO) and that would 
compel Arab governments to face their obligations to press for an end to the 
blockade against the Palestinian people and for the implementation of The Hague 
ruling on the separating wall. Some pro-settlement Palestinians believed that 
the Mecca Agreement was aimed at containing Hamas and that since Hamas had 
agreed in principle then all that remained was to name Hamas's price. They 
thought a haggling process would drag on as the new Fatah-Hamas partnership 
stumbled from one crisis to the next while at the same time negotiations and 
communications would be conducted through diplomatic channels aimed at a 
permanent solution and these would require discussions between members of the 
unity government. There was, therefore, room for political action.

But the US and Israel were dead set against the Mecca Agreement. They saw it as 
a defeat for the forces within the Palestinian Authority (PA) in which they had 
invested such high hopes, one being that they would turn against Arafat. These 
forces, it is now apparent, accepted the agreement not because they liked it 
but because others in the PA felt that they could not take on Hamas in Gaza. 
The Mecca Agreement, then, was a way to put off the inevitable confrontation 
against Hamas. In the interval the PA would have to be funded through its 
executive branch while the presidency, the security agencies and the 
relationship between the two would have to be strengthened in preparation for 
the next elections or the next showdown. The US, meanwhile, knowing that to 
boycott the president of the unity government would drive Fatah closer towards 
embracing that government, came up with the notion of holding theoretical 
talks, as Israeli Prime Minister Ehud Olmert termed them, over a permanent 
solution so that people would get used to hearing certain ideas -- the 
hypothetical relinquishment of the right to return and the hypothetical 
renunciation of Jerusalem as the capital of a Palestinian state. As long as 
everything was couched hypothetically it would be possible to keep a unity 
government intact with people in it advocating such ideas until they became 
perfectly normal.

In spite of the Mecca accord, on the very day of the 59th commemoration of the 
nakba -- the establishment of the state of Israel in 1948 and the consequent 
dispossession of hundreds of thousands of Palestinians -- a Palestinian shot 
another Palestinian in Gaza. But this was nothing compared to what happened 
next. In the course of Hamas's attempts to pre-empt any possible action by 
forces opposed to the Mecca Agreement undermining the unity government and 
delivering a debilitating blow to Hamas, the movement's field operators 
indulged themselves in a spate of retaliatory violence that surpassed in 
bloodthirstiness anything their leadership could possibly justify. 

Call Hamas's actions a coup, if you like. The decrees that followed, however, 
were nothing less than a complete overthrow of the elections that had brought 
Hamas into power in the first place. Worse yet, the forces that broke with 
Hamas after these decrees were issued pushed for escalation. These are the 
forces that vanish in times of unity and thrive in times of strife, and they 
want to see a tighter economic stranglehold on Gaza and an easing of conditions 
in the West Bank so that people will draw the comparison between the 
successful recipient of outside financial aid and provider of public services 
and the boycotted failure in Gaza, paying the price for its refusal to accept 
Israel's conditions. For some reason former US special envoy to the Middle 
East, Dennis Ross, after having heard this scenario from second-rank Fatah 
officials and from sources in west Jerusalem, felt it would inevitably play 
out. He wrote about it in the Washington Post of 5 June. But even the 
thoroughly pro-Israeli and anti-Arafat and anti-Syrian Ross had reservations. 

Apart from voiding the Palestinian cause of any substance beyond the rivalry 
between two entities, one of which