CiKEAS Raja-raja Sawit Berburu Laba
http://www.gatra.com/artikel.php?id=105496 Raja-raja Sawit Berburu Laba Bisnis keluarga Sudono Salim belum mati. Setelah mengenyam laba gede di industri hilir, Salim ingin merambah lagi industri hulu. Tiga perusahaannya memiliki 85.500 hektare kebun sawit di Sumatera Selatan, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Tengah. Kembalinya Grup Salim ke ladang sawit seiring dengan melesatnya harga CPO dunia. Dalam waktu setahun, harga CPO di pasaran internasional melonjak dari US$ 450 per ton pada pertengahan 2006 menjadi US$ 726 per ton pada Mei tahun ini. Dengan lonjakan harga ini, kocek Grup Salim pun kian menggembung, lantaran sebagian besar CPO asal Indonesia dipasarkan di luar negeri. Tak pelak, gelar baru raja sawit kini disandang Anthony Salim. Dari sisi kepemilikan lahan, pada saat ini Grup Salim melesat di urutan pertama. Namun Fransiscus Welirang (Franky), Vice President Director PT Indofood Sukses Makmur Tbk, membantah bahwa Salim kini memiliki kebun sawit terluas di Indonesia. Salim cuma punya 35.000 hektare kebun sawit, ungkapnya. Franky menunjuk kelompok usaha lain, yakni Raja Garuda Mas milik konglomerat Sukanto Tanoto, sebagai pengoleksi lahan sawit terbesar. Grup Sinar Mas juga dikatakan memiliki lahan sawit hingga 350.000 hektare lebih. Sedangkan kebun sawit milik PT Astra Agro ditaksir mencapai 200.000 hektare. Tiga kelompok usaha yang disebut Franky itu memang termasuk raja-raja sawit yang kini berjaya. Di samping itu, turut bermain pula keluarga Sampoerna, Grup Bakrie, dan Tunas Baru Lampung. Segelintir perusahaan pengolah sawit itu menguasai seperenam dari total luas perkebunan sawit di Indonesia yang mencapai 4,1 juta hektare. Kondisi tersebut mendongkrak harga produk hilir berbahan baku CPO, terutama minyak goreng. Meski begitu, pengusaha sawit di Indonesia makin gencar membanjiri pasar CPO dunia. Dengan angka produksi sebesar itu, Indonesia bakal menjadi pemasok terbesar CPO di dunia. Pangsa pasar minyak sawit mentah Indonesia diprediksi mencapai 44,4%, mengalahkan Malaysia yang diperkirakan menguasai 41,2% pangsa pasar, atau memproduksi 16 juta ton CPO. Jika digabung, Indonesia dan Malaysia menguasai 85% pasar CPO dunia dari total produksi tahun ini yang diproyeksikan tumbuh 4,1% menjadi 38,7 juta ton. Sayang, produksi CPO yang melimpah tidak membuat rakyat sejahtera. Sebaliknya, harga minyak goreng yang menjadi turunan produk CPO makin mengimpit fakir miskin. Di beberapa tempat, harga eceran minyak goreng sudah menembus batas psikologis Rp 10.000 per kilogram, dari harga normal Rp 6.500 per kilogram. Anggota Komisi VI DPR-RI, Aria Bima, mencurigai adanya praktek oligopoli yang mengarah ke kartel oleh produsen CPO kelas kakap. Ia terang-terangan menyebut lima perusahaan top kelapa sawit dari hulu ke hilir. Mereka yang dituding antara lain London Sumatera dan Indofood, Sinar Mas, Bakrie Sumatera Plantation, dan Minamas. Ada kongkalikong pemain kartel dan pembuat kebijakan, ungkap Aria Bima usai rapat dengar pendapat di DPR, Senin lalu. Sebelumnya, dugaan oligopoli yang mengarah ke kartel juga dilontarkan Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha, Syamsul Maarif. Namun Syamsul belum bersedia menyebut nama perusahaan yang disinyalir melakukan persekongkolan tidak sehat itu. Kami masih melakukan pemeriksaan, ujar Syamsul berkelit. Nah, untuk mengurai gejala oligopoli, pemerintah sudah menyiapkan jurus baru. Menteri Pertanian Anton Apriyantono sepakat, tidak boleh lagi ada monopoli penguasaan lahan oleh segelintir orang. Karena itu, pemerintah akan membatasi kepemilikan lahan sawit. Satu perusahaan tidak boleh memiliki lebih dari 100.000 hektare lahan, kata Anton. Jurus itu sekaligus memacu perkembangan kebun rakyat. Pada saat ini, menurut Anton, petani kelapa sawit kekurangan dana untuk meningkatkan produktivitas. Heru Pamuji, Anthony, dan Mukhlison S. Widodo [Laporan Utama, Gatra Nomor 32 Beredar Kamis, 21 Juni 2007] [Non-text portions of this message have been removed]
CiKEAS Pemerintah Akan Jual Aset Damri
Refleksi: Bagusnya obral supaya cepat laku. http://www.gatra.com/artikel.php?id=105306 Pemerintah Akan Jual Aset Damri Jakarta, 14 Juni 2007 00:40 Pemerintah kini sedang menegosiasikan untuk menjual aset Perusahaan Umum Damri (Djawatan Angkutan Motor Republik Indonesia) untuk menutup defisit perusahaan tersebut. Saat ini sedang kita negosiasikan untuk menjual aset mereka, kata Deputi Menteri Negara BUMN Bidang Usaha Logistik dan Pariwisata, Harry Susetyo Nugroho, di Jakarta, Selasa (12/6). Perum Damri mengalami kinerja yang terus memburuk yang mengakibatkan perusahaan tersebut tidak mampu membayar gaji karyawan. Bahkan jaminan hari tua karyawan juga terancam tidak dapat dibayarkan. Sampai saat ini berbagai opsi penghematan terus dilakukan termasuk mengurangi rute dan operasional di Jakarta. Kini hanya rute ke Bandara Soekarno-Hatta yang dipertahankan karena dinilai masih menguntungkan. Harry tidak mengatakan secara detail soal deadline atau tenggat waktu negosiasi mengingat hingga kini gaji karyawan Damri belum dibayar sampai tujuh bulan. Belum tahu ini, pokoknya sekarang sedang proses, katanya. Pihaknya juga belum menerapkan tarif atau harga taksiran soal sejumlah aset perusahaan umum itu yang akan dijual. Kita akan proses secepatnya, katanya. Senin (11/6), Forum Peduli Nasib Karyawan Damri berdemo di depan Kantor Kementerian Negara BUMN menuntut pembatalan penjualan aset perusahaan. Mereka menuntut Menteri Negara BUMN agar segera memerintahkan Direksi Damri untuk membayarkan upah para karyawan yang belum dbayar selama tujuh bulan. Demonstran mengatakan, dalam rapat dengan Komisi IX DPR-RI beberapa waktu lalu, telah disetujui dana talangan untuk pembayaran gaji karyawan Damri akan diambilkan dari APBN-Perubahan 2007. [EL, Ant] [Non-text portions of this message have been removed]
CiKEAS Disekap di Panti, 24 Bocah seperti Mayat Hidup
http://www.indopos.co.id/index.php?act=detail_cid=290945 Kamis, 21 Juni 2007, Video film Bisa dilihat: http://news.sky.com/skynews/video/fullscr?videoRef=http://skynews-clips.videoloungetv.com/public/skynews/latest/flash/iraqorphanscbs_p8926.flv Disekap di Panti, 24 Bocah seperti Mayat Hidup BAGHDAD - Pemandangan mengerikan kemarin terlihat di sebuah panti untuk anak-anak dengan kebutuhan khusus yang berada di Baghdad, Iraq. Puluhan anak-anak dibiarkan kelaparan berhari-hari sehingga kurus kering. Beberapa di antara mereka terikat di tempat tidur dengan pandangan mata seolah-olah menunggu kematian. Penemuan Panti Al Hanan yang dikelola pemerintah Iraq itu terjadi secara kebetulan pekan lalu. Ketika itu, pasukan gabungan AS dan Iraq sedang mencari anggota Al Qaidah di Baghdad. Betapa terkejutnya mereka ketika menemukan 24 bocah laki-laki yang sebagian besar telanjang. Kondisi mereka sungguh memprihatinkan. Tak sedikit di antara mereka berbaring di lantai belepotan kotoran mereka sendiri dan dikerumuni lalat. Mereka (tentara gabungan) melihat puluhan tubuh yang terbaring di tanah. Semula dikira sudah meninggal. Namun, ketika salah seorang tentara melemparkan bola basket, seorang anak menggerakkan kepala dan melihat ke arah bola. Saat itulah, mereka yakin bahwa anak-anak itu masih hidup, tutur Serka Mitchell Gibson dari militer AS. Anak-anak itu langsung dievakuasi dan dibawa ke rumah sakit setempat. Kondisi itu jauh berbeda dengan keadaan para pengelolanya. Dapur kantor panti asuhan tersebut penuh dengan makanan, lemarinya pun dijubeli pakaian. Ironisnya, tak ada yang diberikan kepada anak asuh. Semua digunakan untuk pengelola. Saya sangat marah kepada mereka (pengelola panti). Saya harus berusaha sekuat tenaga untuk menahan diri tidak menghajar mereka, kata Kapten Benjamin Morales, yang bergabung dalam tim penyelamat panti asuhan itu. Pihak rumah sakit sempat khawatir anak-anak itu tak bisa bertahan hidup. Kondisi mereka sangat parah. Saking lemahnya, mereka tidak bisa menggerakkan tubuh. Kami harus memegangi kepala mereka untuk sekadar memastikan bahwa mereka bisa merespons. Itu pun hanya berupa gerakan bola mata, lanjut Morales. PM Iraq Nuri Al Maliki langsung merespons temuan tersebut. Dia memerintah anak buahnya untuk menahan pengelola panti asuhan. Dia juga berjanji menyelidiki kasus itu dan menghukum mereka yang bersalah. Namun, kabar yang beredar belakangan menyebutkan, hanya dua penjaga panti asuhan yang ditangkap. Beberapa pengelola melarikan diri dan sebagian kecil masih menjalankan panti asuhan tersebut. (afp/any) [Non-text portions of this message have been removed]
CiKEAS Stop saja pengiriman TKI
Refleksi: Kalau distop pengiriman TKI bisa menyebabkan para petinggi negara, partai politik dan tokoh agama kekurangan uang saku. Apakah Anda sebagai pemilih dalam pemilu tidak merasa kasihan terhadap mereka yang kekurangan uang saku? http://www.harianterbit.com/artikel/fokus/artikel.php?aid=22344 Stop saja pengiriman TKI Tanggal: 20 Jun 2007 Sumber: Harian Terbit JAKARTA - Berbagai kasus penyiksaan baik secara fisik mau pun psikologis yang dialami Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Malaysia tak urung membuat Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TTKI Jumhur Hidayat berang. Stop saja pengiriman TKI ke Malaysia, jika Pemerintah Malaysia tidak mau membuka diri untuk memperbaiki kondisi buruh migran di negara tersebut, tambah Jumhur di Jakarta, Selasa malam. Menurut Jumhur, selain mendapat siksaan fisik oleh majikan seperti yang dialami Ceriyati -- TKW asal Brebes yang lari dari lantai 15 apartemen majikannya karena tak tahan disiksa -- banyak pula TKI kita menderita secara psikologis. Contohnya, TKI Nirmala Bonat, persidangannya hampir 3 tahun hingga kini belum selesai. Persidangan ini menjadi berlarut-larut jelas karena pemerintah Malaysia tidak memberikan prioritas untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi buruh migran, tambahnya. Sementara itu, Ceriyati, 34 thn, PRT asal Brebes, Selasa, memberikan keterangan kepada aparat kepolisian Sentul, Kuala Lumpur, atas penyiksaan yang dilakukan oleh majikannya, Ivone Siew. Ia didampingi Atase Tenaga Kerja, Teguh H Cahyono, dan Kepala Satgas Perlindungan dan Pelayanan WNI di KBRI Kuala Lumpur mengadukan siksaan yang dilakukan majikannya selama empat setengah bulan di sebuah apartemen Sentul, Kuala Lumpur. Menurut Jumhur, kalau penyiksaan baik secara fisik mau pun psikologis terus diderita TKI/TKW yang bekerja di Malaysia, ''Ya.. dengan terpaksa pengiriman kita stop.'' Jumhur menyadari dampak positip dari pengiriman 3,8 juta TKI ke luar negeri sebenarnya cukup besar karena dapat mengurangi pengangguran sekaligus meningkatkan kesejahteraan TKI dan keluarga serta menghasilkan devisa cukup besar bagi negara. Tahun lalu, tambah Jumhur, devisa yang dihasilkan oleh pengiriman TKI ke luar negeri sekitar 9 miliar dolar AS atau Rp 80 triliun. Ini angka cukup besar di luar migas. Tapi kita tidak hanya menginginkan perolehan devisa tapi juga ada jaminan bahwa TKI yang kerja di luar negeri itu dapat hidup dengan tenang dan damai, ujar Jumhur. Langkah apa yang akan diambil dalam waktu dekat ini? Jumhur mengatakan pertama kita akan melakukan sistem pencegahan dengan menerapkan tes psikologi bagi majikan yang akan mempekerjakan TKI di Malaysia, Kita berharap dengan menerapkan sistem tes psikologi, user yangmempekerjakan TKI benar-benar sehat secara fisik dan mental sehingga kasus penyiksaan terhadap TKI tidak terulang lagi. Sementara Direktur Migran Care Anis Hidayah mendesak pemerintah Indonesia dan Malaysia berbicara lebih serius untuk mencegah agar kasus Ceriyati dan Nirmala Bonat tidak terulang kembali. Anis mengatakan, mencuatnya kasus Ceriyati menunjukkan bahwa upaya yang dilakukan pemerintah Indonesia dan Malaysia gagal untuk mencegah agar kasus Nirmala Bonat tidak terulang lagi. Anis menjelaskan, kedua pemerintah selama ini tidak pernah menjadikan suatu kasus sebagai pelajaran untuk mencegah agar penyiksaan tidak terjadi. Saya yakin, masih banyak kasus serupa yang tidak muncul dipermukaan, kata Anis. Seharusnya, kata Anis, ketika kasus Nirmala mencuat secara luas maka dijadikan momentum bagi kedua negara untuk memperbaiki sistem penempatan dan penerimaan, pemenuhan hak-hak dan kewajiban TKI dan majikan secara terbuka. Kini setelah kasus berulang, masih tidak ada yang bisa menjamin, baik perusahaan jasa TKI, agensi di Malaysia, majikan dan kedua pemerintah bahwa kasus seperti itu tidak akan terulang. Ini bukti pemerintah tidak serius, sementara diyakini pembantu rumah tangga adalah jenis pekerjaan yang paling rentan, kata Anis. Sementara MoU yang dibuat Indonesia dan Malaysia tidak bisa menjadi acuan hukum untuk menindak pihak-pihak yang melanggar perjanjian kerja. Anis juga mendesak pemerintah RI tidak hanya tergantung pada penegakan hukum yang dilakukan pengadilan Malaysia. Dalam kasus Nirmala Bonat, majikan masih bisa bebas meskipun dengan uang jaminan, sementara sang TKI masih harus menanti penyelesaian hukum yang berlarut-larut di mahkamah (pengadilan). Dia juga mendesak pemerintah Indonesia dan Malaysia memasukkan majikan yang bersalah ke dalam daftar hitam dan dilarang merekrut TKI lagi. (lam/ant) [Non-text portions of this message have been removed]
CiKEAS Pacitan mulai bangkit membangun
Refleksi: Penduduk Pacitan sangat beruntung. Siapa yang dilahiran di Pacitan, tentunya bangga sekali. http://www.harianterbit.com/artikel/rubrik/artikel.php?aid=2 Pacitan mulai bangkit membangun Tanggal : 18 Jun 2007 Sumber : Harian Terbit Oleh Haryono Suyono MINGGU lalu Bupati Pacitan, Ir. H. Suyono, sempat mengadakan kunjungan ke D.Radio di Jakarta untuk memenuhi undangan berbincang-bincang tentang pembangunan di Kabupaten yang dipimpinnya. Perbincangan santai itu dilakukan bersama Prof. Dr. Haryono Suyono dan Dr. Rohadi Hariyanto, M.Sc. dari DNIKS dan yayasan Damandiri dengan pembawa acara Dra. Riri Wijaya, presenter senior D Radio. Pembicaraan penuh selama satu jam itu diisi dengan tema Pacitan Membangun, khususnya dalam bidang sumber daya manusia yang diarahkan pada pendidikan, pengembangan wirausaha dan pengentasan kemiskinan. Pacitan yang berada diantara gunung dan lautan Hindia itu merupakan salah satu kabupaten yang relatif terisolasi di Jawa Timur bagian barat selatan dengan penduduk sekitar 560.000 jiwa. Penduduk umumnya bekerja dalam bidang pertanian dan perikanan kelautan. Pacitan merupakan daerah dipinggir pantai dan berbatasan dengan kabupaten Ponorogo, Jawa Timur, di sebelah utara, serta Wonogiri, Jawa Tengah, disebelah barat. Pacitan yang terpencil telah banyak menghasilkan anak bangsa dengan karier yang cukup menggembirakan. Diantara tokoh yang dilahirkan atau dibesarkan di kabupaten ini antara lain adalah ahli atom Prof. Dr. Baiquni, Wakil Ketua DPA, Sulasikin Murpratomo, Menko Kesra dan Taskin, Haryono Suyono, dan terakhir Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono. Karena penduduk Pacitan umumnya miskin dan tingkat pendidikannya rendah, pemerintah daerah menaruh perhatian yang tinggi terhadap bidang pendidikan. Bekerja sama dengan Yayasan Damandiri dewasa ini mulai dikembangkan pendidikan untuk anak usia dini (PAUD) untuk merangsang anak-anak dan orang tua menaruh perhatian yang tinggi terhadap bidang pendidikan. Pengembangan PAUD ini sekaligus dikaitkan dengan pengembangan Pos Pemberdayaan Keluarga atau Posdaya di Desa Pucangsewu, Punung dan di kota Pacitan. Dengan dukungan pemerintah pusat sedang ditingkatkan pendidikan formal bagi warga umumnya, dan pelatihan ketrampilan bagi warga kurang mampu khususnya. Dengan usaha keras itu tingkat partisipasi pendidikan dasar telah mencapai hampir 100 persen, sekolah menengah pertama lebih dari 76 persen, namun pada tingkat pendidikan menengah atas masih rendah. Untuk mengatasi kemungkinan pengangguran karena ketrampilan yang terbatas, seperti di daerah lainnya, maka Pemerintah Daerah sedang berusaha menyeimbangkan fasilitas pendidikan menengah pertama dan menengah atas kearah pendidikan kejuruan, termasuk peningkatan kemampuan produksi dari bahan-bahan kayu lokal yang bahan bakunya tersedia di daerah Pacitan. Dalam bidang ekonomi, kabupaten Pacitan mengembangkan pasar keluar, termasuk pengiriman produk rakyat ke Jakarta, melalui jalur utara Ponorogo dan Madiun. Kearah barat melalui Wonogiri dan Surakarta. Jaringan yang relatif baru menghubungkan Pacitan dengan DI Yogyakarta yang bisa ditempuh dengan mobil atau bus dalam waktu sekitar dua jam. Untuk bangkit dan menjebol Pacitan dari isolasi, pemerintah daerah dengan dukungan pemerintah pusat sedang mempersiapkan jalan tembus lintas Selatan menyusur pantai kearah timur melalui kabupaten Trenggalek, dan kabupaten lainnya di Jawa Timur. Jalan tembus ini akan memperkuat arus produk dari Pacitan ke pasar yang lebih luas. Agar anak-anak muda putus sekolah mampu menyerap kesempatan kerja yang relatif langka atau menciptakan kesempatan kerja secara mandiri, pemerintah sedang menyiapkan pembangunan Balai Latihan Kerja (BLK) yang cukup besar di kabupa-ten Pacitan. Disamping itu, bekerja sama dengan Yayasan Damandiri dan Universitas Sebelas Maret Surakarta, pada dua buah SMA di Pacitan, siswa-siswa yang berasal dari keluarga kurang mampu diberikan pelajaran ketrampilan dan dititipkan pada pengusaha agar mampu menyerap ketrampilan dan sekaligus siap mandiri. Dalam pembicaraan santai melalui D Radio itu Bupati Ir. H. Suyono mengharapkan agar program ini dapat diperluas ke SMA-SMA lain di Pacitan sehingga keseimbangan antara sekolah menengah umum dan sekolah kejuruan dapat dipercepat dan anak-anak muda di Pacitan segera dientaskan. Untuk mengantisipasi tumbuhnya industri lokal yang memerlukan tenaga listrik yang lebih besar, dan sekarang banyak tergantung dari pasokan yang tidak lancar dari daerah lain, kabupaten Pacitan sedang membangun dua pembangkit tenaga listrik dengan kapasitas 2 kali 300 MW. Apabila pembangunan ini selesai diharapkan industri-industri kecil dapat memperoleh aliran listrik secara teratur tanpa harus mengalami pemadaman yang menjengkelkan. Sementara itu, untuk memberi kesempatan kerja yang luas kepada penduduk pada umumnya, pemerintah daerah membantu peternak dan petani dengan pendekatan yang
CiKEAS Watu Gatheng, Bisa 'Bim-salabim' [intermezzo]
http://www.metrobalikpapan.co.id/berita/index.asp?IDKategori=82id=79442 Kamis, 21 Juni 2007 Watu Gatheng, Bisa 'Bim-salabim' Di selatan makam Mataram Kotagede, ada Kampung Dalem. Di tengah kampung terdapat bangunan kuno relatif kecil. Di dalamnya terdapat tiga benda keramat. Yakni Watu Gilang, Watu Gatheng dan Genthong. Menurut jurukunci Makam Hastorenggo Hastono Suprapto, dalem (rumah) itu direnovasi pada 1934. Menurut para sepuh, dulu berbentuk pendopo terbuka. Berumur sekitar lima abad, kondisinya amat rusak. Tapi masih ada bekas bentengnya, katanya. Bentuk Watu Gilang mendekati segi empat, berukuran sekitar 1,5 meter persegi, tinggi 60 cm. Salah satu tepinya cekung seukuran dahi manusia. Menurut cerita, bekas benturan dahi Ki Ageng Mangir Wanabaya. Sengaja dibenturkan Panembahan Senopati saat Ki Ageng Mangir menyembah. Jenazah menantu ini juga dimakamkan di Kotagede. Tapi separuh badan berada di luar tembok, separuhnya lagi di dalam. Sebab selain kerabat keraton, dia juga musuh raja. Dianggap musuh karena Ki Ageng Mangir memberontak terhadap Mataram. Selain emoh menyampaikan upeti, Ki Ageng mangir meminta daerahnya dilepas dari Mataram sebagai tanah merdeka. Karena Ki Ageng Mangir dikenal sakti, Panembahan Senapati menyusun taktik : menugasi Gusti Ayu Pembayun menyamar jadi pengamen dan mengaku anak janda dusun Kasihan. Keduanya akhirnya jatuh cinta dan berumahtangga. Ketika hamil, akhirnya Nyi Pembayun mengaku jati dirinya. Meski sempat kaget dan marah, Ki Ageng Mangir bersedia menghadap Panembahan Senapati. Watu Gatheng berwarna kuning keemasan berjumlah tiga biji. Merupakan mainan putera Panembahan Senapati bernama Raden Rangga. Tiga batu tersebut dipercaya memiliki kekuatan gaib. Ada yang bisa melihat, ada pula yang tak bisa. Genthong atau tempat menampung air, dipercaya milik Ki Juru Mertani, penasihat Panembahan Senapati. Terbuat dari batu, berfungsi tempat air wudhu. Menurut Hastono, lima lekukan yang terdapat pada sisi luar gentong tersebut, dipercaya sebagai bekas sentuhan jari-jari Raden Rangga yang juga dikenal sakti.(mol) [Non-text portions of this message have been removed]
CiKEAS Membebaskan Sebel Sial Para Sukerta
http://www.metrobalikpapan.co.id/berita/index.asp?IDKategori=82id=79443 Kamis, 21 Juni 2007 Membebaskan Sebel Sial Para Sukerta Tradisi Ruwatan di Jawa, Bali dan Sunda Ruwatan hingga sekarang masih lestari jadi tradisi dalam masyarakat Jawa. Bahkan juga dilakukan di Jawa Barat dan Bali. Upacara sakral ini dimaksud untuk menolak bala, bahaya atau malapetaka. Di Jawa, mereka yang digolongkan rentan kena bahaya disebut sebagai sukerta. Dan harus diruwat kalau tidak ingin menjadi 'mangsa' Batara Kala, dewa raksasa yang bengis dan menakutkan. MEREKA yang masih memegang kepercayaan pentingnya tradisi ruwatan meyakini, orang yang diruwat akan terhindar dari bala sepanjang hidupnya. Berapa banyak orang yang dimasukkan di dalam kelompok sukerta? Pujangga Ronggowarsito dalam kitab Pustaka Raja Purwa menyebutkan orang sukerta ada 136 macam. Kitab Centini hanya menyebutkan 19 macam. Kitab Manik Maya dan Pakem Pengruwatan Murwakala sama-sama menyebutkan orang sukerta ada 60 macam. Sedang Serat Murwakala menyebutkan sebanyak 147 macam. Mereka yang disebut sebagai penyandang sukerta sebagaimana yang tertera di dalam kitab Pustaka Raja Purwa, di antaranya anak ontang-anting yaitu anak tunggal, kedhana-kedhini yakni dua saudara kakak-beradik laki-laki dan perempuan, kembar anak lahir bersamaan dalam sehari baik sama-sama lelaki maupun sama-sama perempuan, dhampit anak kembar lelaki dan perempuan, gondhang kasih anak kembar yang satu berkulit putih dan satunya berkulit hitam. Tawang gantungan kembar lahirnya selisih beberapa hari juga tergolong sebagai sukerta. Sukera lainnya adalah sakrendha anak lahir bersamaan sehari, dua atau lebih, dalam satu bungkus. Wungkus, anak yang lahir dalam keadaan terbungkus, wungkul anak yang lahir tanpa ari-ari atau placenta. Anak berkalung usus, yang dinlai luwes memakai busana apa saja, juga anak sukerta yang disebut tiba sampir. Tiba ungker anak lahir yang terbelit usus, maupun lahir tidak menangis dikategorikan sukerta. Anak lahir prematur adalah sukerta disebut jempina. Lahir di perjalanan, atau margana juga sukerta. Beberapa sukerta lain adalah wahana anak yang lahir di tengah keramaian, julungwangi anak yang lahir di saat matahari terbit, julungsungsang anak yang lahir pas tengah hari, julungsarab anak lahir menjelang matahari terbenam, julungpujud anak lahir pas saat matahari terbenam. Penyandang predikat sukerta lainnya: sekar sepasang yakni dua perempuan bersaudara, uger-uger lawang dua laki-laki bersaudara, pancuran kapit sendhang tiga bersaudara, pertama lelaki, kedua perempuan, ketiga lelaki, sendhang kapit pancuran, tiga bersaudara, pertama perempuan, kedua lelaki, ketiga perempuan, saromba empat lelaki bersaudara. Sarimpi empat perempuan bersaudara juga sukerta. Kemudian pancaputra lima lelaki bersaudara, pancaputri lima perempuan bersaudara, pipilan lima bersaudara, empat perempuan dan satu lelaki, padangan lima bersaudara, empat lelaki dan satu perempuan, siwah anak yang lemah mental. Anak berkulit hitam legam juga termasuk sukerta disebut kresna. Sukerta lainnya adalah wungle anak berkulit bule, walika orang kerdil, bungkul - orang yang berbadan bongkok sejak lahir, dhengkak orang yang berdada serdih, butun orang berpunggung bersih dan wujil orang yang cebol. Di dalam kitab lainnya disebutkan pula sejumlah penyandang sukerta lainnya. Di antaranya orang yang merobohkan dandang (tempat menanak nasi), orang yang mematahkan tempat menumbuk jamu (dari batu), orang yang mematahkan gandik (alat penumbuk jamu), sampai orang yang berdiri di tengah-tengah pintu, maupun yang duduk melamun dan bertopang dagu. Penyandang sukerta yang telah diruwat oleh sang dalang dengan mementaskan wayang kulit dalam lakon yang khusus, diyakini akan terbebas dari malapetaka karena lepas dari kejaran Batara Kala. Lantas, siapa gerangan Batara Kala yang sangat ditakuti oleh sebagian masyarakat Jawa? Di dalam kitab-kitab pewayangan disebutkan Batara Kala merupakan dewa raksasa buah perkawinan Batara Manikmaya yang dikenal juga dengan sebutan Batara Guru dengan Dewi Umayi. Karena suatu hal, Dewi Umayi berubah menjadi dewi raksasa bernama Batari Durga. Setelah dilahirkan Batara Kala langsung membuat keributan dan memporakporandakan Jonggring Saloka tempat bersemayamnya para dewa. Tidak hanya itu saja. Selain mengamuk karena menuntut tahta di kayangan, Batara Kala juga bermaksud untuk memperkosa Dewi Sri, isteri Batara Wisnu. Guna menghindar dari buruan Batara Kala, Dewi Sri sampai menyelamatkan diri ke mayapada. Nafsu birahi Batara Kala begitu membara dan tak bisa dipadamkan lagi. Ia terus memburu Dewi Sri. Tapi Dewi Sri tetap berhasil menyelamatkan diri. Dalam kondisi mabuk kepayang seperti itulah tiba-tiba Batari Durga, ibu kandungnya sendiri, muncul. Batara Kala sudah gelap mata. Ia sudah tidak dapat lagi membedakan antara ibunya dengan Dewi Sri. Karena perempuan
CiKEAS Orang Kecil Cuma Bermimpi Keadilan
Refleksi: Kalau dalam bermimpi dimimpikan bisikan suara: Janganlah membuat mimpimu hanya mimpi kosong [don't make your life an empty dream], apakah mimpi demikian bisa menjadi inspirasi dan motor perubahan untuk kehidupan berkeadilan? http://www.pontianakpost.com/berita/index.asp?Berita=Opiniid=139105 PONTIANAK POST ONLINE Kamis, 21 Juni 2007 Orang Kecil Cuma Bermimpi Keadilan Oleh : Mahmudi Asyari Above the law, kata itulah yang mungking sangat tepat untuk menggambarkan prilaku (oknum) anggota TNI (Marinir) beberapa waktu lalu yang menimbaki rakyat sipil tak berdaya. Akibatnya, empat nyawa rakyat yang nota bene Warganegara Republik Indonesia (WNI) melayang sia-saia, hanya karena dianggap melanggar apa yang oleh TNI AL diklaim sebagai miliknya. Tindakan sejumlah anggota Marinir tersebut semakin, menguatkan image bahwa, kebiasaan bertindak di atas hukum masih sukar dihilangkan. Kasus tersebut di tambah beberapa kasus sebelumnya seperti panganiayaan anak kecil di komplek Lippo Cikarang Bekasi oleh sejumlah anggota Garnisum Ibu Kota, hanya karena dituduh mengambil sebilah papan proyek di sana. Beberapa kasus tersebut sudah cukup memberikan gambaran betapa masih banyak oknum prajurit yang merasa era sekarang masih seperti era Orde Baru di mana tentara tidak terjamah hukum. Memang sangat sukar merubah sesuatu yang masih mendarah daging, terlebih sampai sekarang masih ada keistimewaan hukum di mana anggota TNI tidak bisa dijerat dengan hukum publik, meskipun kejahatan dan pelanggaran yang dilakukan di luar konteks kejahatan dan pelanggaran kepada sesama anggota dan di dalam konteks operasi militer. Hal itu merupakan kendala bagi Polri untuk bertindak lebih jauh. Akibatnya, perasaan above the (public) law masih terpatri dalam diri prajurit. Bukti yang paling anyar dari tindakan itu adalah penimbakan rakyat beberapa waktu lalu itu. Oleh karena banyaknya kasus yang melibatkan oknum TNI tidak jelas proses hukumnya, banyak pihak seperti Hendardi menuntut agar kasus penimbakan itu diproses dalam jurisdiksi peradilan umum. Alasannya adalah bahwa jika diproses dalam peradilan militer tidak akan jelas nasibnya dan para pelaku cenderung berpotensi bebas. Di samping, bisa saja perkara itu tidak sampai ke pengadilan apabila Perwira Penyerah Perkara (PPP) tidak bersedia melanjutkan kasus tersebut ke dalam proses hukum (pengadilan). Apa yang diusulkan Hendardi memang sangat baik dan memang sudah semestinya semua warganegara diperlakukan sama kedudukannya di muka hukum (equality before the law) agar semua pihak merasa mendapatkan keadilan dan agar tidak satu kelas dari warganegara yang merasa kebal hukum. Namun, untuk menuju ke sana masih jauh dari harapan, mengingat RUU Peradilan Militer yang sekarang masih dalam pembahasan masih dihambat dari sana sini. Termasuk Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono yag seorang sipil ikut keberatan manakala prajurit TNI diadili di lingkungan Peradilan Umum. Alasannya, PU belum siap, karena lebih cenderung memihak kepada orang-orang kaya yang sanggup menyewa pengacara mahal. Itu, menurut saya apolegetik, mengingat salama ini atas dasar kekuasaan dan kekuatan mereka sulit dijerat hukum. Apakah itu, tidak sama dengan orang-orang kaya? Bedanya jika yang satu mengeluarkan uang, satunya mengeluarkan ancaman. Itu saja bedanya. Berkaitan itu, jika TNI memang benar-benar mau mendukkung proses demokrasi dan penegakan hukum harus mulai mengamandemen peraturan yang menetapkan bahwa hanya Mahkamah Militer yang bisa mengadili prajurit. Mahkamah Militer memang harus tetap dipertahankan, hanya saja kasus-kasus yang ditangani tidak bersifat menyeluruh seperti yang berlaku selama ini. Sehingga kasus-kasus yang melibatkan oknum (tidak terstruktur) harus dikeluarkan dari jurisdikasinya agar keadailan benar-benar milik semua wargenegara. Jika tidak demikian, maka anggota TNI akan tetap elitis dan merasa bebas berbuat sekehendak hatinya tanpa menghiraukan hukum dan rasa keadilan. Menurut saya, kasus-kasus yang harus tetap di bawah jurisdiksi Mahkamah Militer adalah kasus-kasus kejahatan oleh prajurit terhadap sesama prajurit dan kejahatan atau pelanggaran yang dilakukan dalam melaksanakan perintah operasi. Jika jurisdikasi Mahkamah Militer kelak bisa dibatasi ke dalam dua hal tersebut, maka kejahatan seperti pemerasan, penyerangan seperti di Jawa Timur-jika dilakukan oknum-dan kejahatan lainnya harus diproses di Pengadilan Sipil sehingga proses hukumnya bisa diawasi oleh publik. Jika proses penuntutan dialihkan ke Pengadilan Sipil, merupakan suatu keniscayaan bagi Polisi untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan seperti yang mereka lakukan kepada rakyat sipil. Pada tahap awal, bantuan dari Polisi Militer (PM) mutlak diperlukan untuk mendukung proses hukum yang melibatkan oknum TNI. Akan tetapi, iklmi penundukan terhadap hukum sipil harus terus didorong
CiKEAS Menanti Pers sebagai Penyelamat
http://www.pontianakpost.com/berita/index.asp?Berita=Opiniid=139027 Rabu, 20 Juni 2007 Menanti Pers sebagai Penyelamat Oleh Heriyanto Ada semacam asumsi bahwa perkembangan pers berpengaruh pada kehidupan demokrasi. Kalimat ini klasik, memang. Namun sangat berarti. Sebab ada banyak harapan pers menjadi semacam penyelamat atas sesuatu yang sudah buruk. Bulan Agustus 1974 Presiden Richard Nixon mengundurkan diri setelah dua wartawan Washington Post Bob Woodward dan Carl Bernstein membongkar kasus Watergate di mana Nixon terlibat di dalamnya. Publik Amerika geger. Presiden ke 37 AS yang malang itu lengser dari jabatannya sebagai presiden, bukan karena demonstrasi atau impeachmen parlemen, melainkan karena laporan pers. Suatu yang buruk telah terselamatkan. Saya tahu kisah ini setelah menonton film All The President's Men yang secara rinci cerita soal skandal Watergate. Pers Indonesia pasca Orde Baru memeroleh kebebasannya: sesuatu yang berbeda dibanding masa orde baru di mana pers terkungkung ancaman sensor dan bredel. Kini pers berkembang pesat. Ratusan media tumbuh. Pers berani mengkritisi kebijakan pemerintah tanpa rasa takut. Walau tentu saja belum sekaliber terbongkarnya skandal Watergate. Dulu wartawan Indonesia bisa sewaktu-waktu terancam penjara bila berita yang ditulis dianggap menentang pemerintah. Kini mereka berani membuat berita yang pada masa orde baru sangat sensitif sekalipun. Bukankah kini memilih berita layaknya memilih makanan? Berbagai pilihan disuguhkan. Kita bebas memilih berita kuliner sampai berita soal politik atau kriminal. Kita bisa baca berita yang ditulis secara lembut sampai yang ditulis keras dan pedas. Sarapan pagi kita ditemani berita soal korupsi, ilegalloging, sampai pembunuhan. Pers Indonesia berkembang, benarkah ini sekaligus menandakan makin berkualitasnya kehidupan demokrasi di Indonesia? Dan bila kita yakin tujuan demokrasi adalah kesejahteraan rakyat, apakah peningkatan kuantitas berita membawa implikasi makin meningkatnya kesejahteraan rakyat? Semestinya iya. Tapi bisa juga tidak. Saya hendak mengatakan, kebebasan pers ini idealnya membawa perubahan mendasar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebut saja misalnya perbaikan kesejahteraan rakyat. Namun bicara sesuatu yang ideal akan menyerempet utopia: mimpi. Dengan kata lain, peningkatan kesejahteraan yang diharapkan itu mungkin saja hanya sekadar mimpi. Ada pernyataan, jurnalisme hadir bersama tujuannya. Bill Kovach dan Tom Rosentiel dalam buku Sembilan Elemen Jurnalisme menyebut tujuan jurnalisme adalah menyediakan informasi yang dibutuhkan warga agar mereka bisa hidup merdeka dan mengatur diri mereka sendiri. Menurut Kovach manusia membutuhkan berita karena naluri dasar-- yang disebut sebagai naluri kesadaran. Dengan informasi itu manusia tahu dunia luar. Orang bebas tahu siapa yang layak untuk jadi gubernurnya: siapa yang pahlawan dan siapa yang penjahat. Orang perlu tahu amankah daerah yang ia tempati dan apa saja potensi-potensi yang bisa dikembangkan. Orang perlu tahu kebijakan-kebijakan pemerintah, juga butuh informasi bencana alam atau sekadar berita tentang harga minyak goreng. Orang juga perlu dapatkan informasi soal pendidikan, lapangan pekerjaan, atau soal kecil macam tempat wisata yang menarik. Pengetahuan itu memberi rasa aman, membuat mereka bisa merencanakan dan mengatur hidup mereka. Bila rakyat mampu memberdayakan diri mereka kesejahteraan hidup bisa ditingkatkan. Merdeka dan bisa mengatur diri sendiri secara bebas itulah inti demokrasi. Dalam negara yang otoriter kemerdekaan dan kebebasan sangat sulit didapat. Pada titik inilah sesungguhnya peran media dibuktikan. Dan asumsi kita terjawab meski masih menyisakan sedikit ragu. Ini sisi keraguan itu: meski sudah mendapatkan kebebasannya, seringkali media di Indonesia lupa bahwa mereka bertanggung jawab pada publik. Media terjebak pada korporasi yang tujuannya semata keuntungan dan melupakan untuk apa mereka hadir. Sebagian media mungkin tidak dekat dengan rakyat kecil. Sebagian lain mungkin lebih dekat dengan penguasa dan sibuk melayani pemerintah ketimbang mereka yang diperintah (warga). Bila hal ini yang lebih dominan, maka satu kesimpulan soal utopia tadi menjadi kenyataan. Bahwa media memang tak mampu berperan dalam membangun demokrasi apalagi peningkatan kesejahteraan rakyat. Dan orang boleh menggugat: pers ada tetapi mengapa pada kenyataannya masih banyak rakyat yang belum terberdayakan dan masih banyak pula yang belum sejahtera; mengapa korupsi makin banyak; mengapa pula masih banyak rakyat yang termarjinalkan? Padahal media tidak seperti perusahaan tahu, krupuk, atau rokok yang tujuan utamanya keuntungan. Media adalah sebuah institusi yang punya tanggungjawab untuk mencerdaskan publik, memberikan informasi yang bergizi, dan sekali-kali menjadi watchdog pemerintah. Mata hati pers pada nurani. Seperti memilih makanan, media semestinya memberikan
CiKEAS Ternyata, Kita Tidak Terdidik Peduli Lingkungan!
http://www.kaltengpos.com/berita/index.asp?Berita=Opiniid=28451 Jumat, 15 Juni 2007 Ternyata, Kita Tidak Terdidik Peduli Lingkungan! (Refleksi Hari Lingkungan Hidup Sedunia; 5 Juni) Oleh : MM. Roziqin S.Si *) Siapa yang menyangka? Ketika panas siang menyengat di Pulau Sulawesi dan Kalimantan, justru di pulau Jawa diterjang banjir, dan begitu juga sebaliknya, ketika di Jawa kering, hamparan manikam Pulau Kalimantan malah diterjang banjir bandang. Air bermuntahan menenggelamkan setiap yang tumbuh, lumpur menyergap setiap yang bergerak, belum lagi kayu bergelontoran menerjang setiap yang tersisa. Dalam sekejap, surga di Borneo berubah menjadi neraka ratap dan sesal. Pola iklim makin tak menentu. Saat sebagian wilayah nusantara kering kerontang karena kemarau, dibelahan wilayah lainnya malah air bah.cuaca panas pun bisa turun hujan, sementara mendung tak selalu hujan. Kondisi iklim seperti ini yang disebut iklim ekstrem, yaitu iklim yang menyimpang dari kondisi normal. Iklim ekstrem ini sudah terdeteksi sejak awal tahun 1990-an, dimana terjadi musim kering berkepanjangan selama periode kemarau diikuti curah hujan berintensitas tinggi pada periode berikutnya. Dan kondisi ini makin mencolok sejak tahun 1997 hingga sekarang. Semua pola perubahan ini tak lepas dari pola regional kawasan sekitar benua maritim Indonesia. Perubahan suhu di Samudra Pasifik dan Samudra Hindia yang naik turun bergantian, sehingga hal ini membuka peluang menghadirkan cuaca tak menentu dan iklim ekstrem di kawasan Indonesia. Suhu yang berubah di kedua kawasan itu menyebabkan perubahan arah angin, karena angin akan mengalir ketempat bertekanan rendah/ suhunya lebih dingin. Bila angin itu membawa awan maka hujan turun, dan bila kering maka panaslah yang melanda. Nah, jika suhu naik turun secara acak maka panas dan hujan pun akan datang tanpa bisa di ramal (Winarso, P.A., BMG, 2006). Disisi lain, perubahan pola iklim ekstrim dengan siklus yang tidak menentu ini juga disebabkan oleh meningkatnya suhu rata-rata dipermukaan bumi (Anggadireja, J.T., BPPT, 2006). Peristiwa ini disebut pemanasan global (Global Warming). Akar permasalahan bencana adalah manusia. manusia seringkali menghadirkan iklim ekstrim ini. Seringkali kita tak sadar bahwa kita telah memanfaatkan energi secara tidak ramah. Penggunaan listrik berbahan bakar fosil, kendaraan bermotor, AC, pembakaran hutan, adalah contoh bagaimana kita ini menghasilkan emisi yang memicu peningkatan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer. Akibatnya suhu bumi makin panas karena pemanasan global. Padahal hutan adalah green-belt (sabuk pelindung) yang menetralisir angin, suhu, emisi, dan iklim ekstrem. Pemanasan global akhirnya membawa dampak terjadinya perubahan iklim yang mempengaruhi kehidupan bumi. Eksploitasi lingkungan yang berlebihan yang menyebabkan ketidakstabilan dan anomali atmosfer, sehingga penyimpangan mudah terjadi. Padahal penyimpangan sedikit saja mengakibatkan bencana, sehingga perubahan iklim ini merupakan ancaman serius. Krisis pangan karena kekeringan, rusaknya infrastruktur karena banjir, pulau-pulau yang tenggelam dan rusaknya daerah pesisir karena peningkatan permukaan laut merupakan dampak perubahan iklim tersebut. Kemudian diikuti dengan peningkatan kasus penyakit tropis, dan punahnya beberapa spesies flora dan fauna karena tak mampu beradaptasi. Bayangkan kerugian yang harus kita tanggung!!! Kebakaran Hutan dan Lahan PP Nomor 4 Tahun 2001 mengatur tentang Pengendalian Kerusakan dan atau Pencemaran Lingkungan Hidup yang Berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan atau Lahan. Dan secara eksplisit dituangkan dalam BAB IV pasal 11 Setiap orang dilarang melakukan kegiatan pembakaran hutan dan atau lahan dan pasal 12 Setiap orang berkewajiban mencegah terjadinya kerusakan lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan selanjutnya pada pasal 20 Setiap orang yang mengakibatkan terjadinya kebakaran hutan dan atau lahan wajib melakukan pemulihan dampak lingkungan hidup. Peraturan yang ditetapkan dan di tanda tangani oleh Presiden RI Abdurrahman Wahid tersebut mengisyaratkan betapa pentingnya untuk menjaga kualitas lingkungan hidup, sebagai sampling dalam hal ini tentang kebakaran lahan. Sebagai alasan utamanya adalah menurun atau bahkan rusaknya baku mutu tanah mineral dari kondisi semula. Hal ini dapat dilihat melalui beberapa parameter sebagai tolok ukur intensitas kerusakan yang diakibatkan, seperti : Sifat Fisik Tanah (struktur tanah, tingkat porositas, bobot isi, kadar air, penetrasi tanah, konsistensi tanah), Sifat Kimia Tanah (C-organik, N total, nitrat, amonia, fosfat, pH, konduktifitas), Sifat Biologi tanah (Carbon mikro organisme, respirasi, metabolic quotien, Total mikroorganisme, total fungsi). Kerugian semacam inilah yang selayaknya menjadi perhatian bersama agar tidak terulang hal-hal yang sifatnya merugikan
CiKEAS Kenapa Mesti Halal?
Refleksi: Kalau miskin dan perut keroncong, apakah halal/haram perlu menjadi persoalan sorga/neraka? http://www.pontianakpost.com/berita/index.asp?Berita=Opiniid=138986 Selasa, 19 Juni 2007 Kenapa Mesti Halal? RIBUT-RIBUT mengenai persoalan sertifikasi halal tentu saja tidak ada habisnya. Ada yang pro dan ada yang kontra. Yang pro mengemukakan alasan bahwa sebagai negara dengan mayoritas penduduk muslim terbesar, sudah semestinya memperhatikan dengan sungguh-sungguh masalah halal dan haram. Adapun yang kontra mengemukakan alasan bahwa sertifikat halal ini bukan bersifat wajib dan tentu saja akan merugikan perusahaan, karena untuk mendapatkannya, harus mengeluarkan sejumlah uang untuk membiayai LP-POM MUI (Majelis Ulama Indonesia) melakukan penelitian sampai tertibnya sertifikat halal. Tentu masih segar dalam ingatan kita, kira-kira tiga tahun lalu, salah satu perusahaan bumbu masak terkenal yang ketahuan di ragukan kehalalnya, terpaksa menarik produknya dari pasar, meminta maaf, dan penjualan langsung merosot tajam, yang paling merugikan tentulah menurunnya kepercayaan konsumen. Image yang dibangun dengan susah payah, terhapus dalam sehari. Berdasarkan pengalaman, akan butuh waktu lama untuk memulihkan keadaan. Meskipun bersifat intangible, kepercayaan merupakan aset yang terbesar bagi perusahaan. Perlu diketahui, persaingan bisnis dewasa ini dapat dikategorikan sebagai pertarungan pembentukan kepercayaan di mata konsumen. Perusahaan yang unggul dimata konsumen adalah yang memiliki kepekaan sosial. Salah satu caranya, dengan mendapatkan Sertifikat Halal yang merupakan syarat mutlak untuk mencantumkan label halal pada setiap produk yang dihasilkan. Meskipun penerapannya dianggap sebagai cost, pada dasarnya hal itu tidak akan mengurangi laba, bahkan merupakan investasi jangka untuk meraih tambahan keuntungan di masa mendatang. Keuntungan lain, perusahaan dapat menjalankan bisnisnya secara aman dan nyaman. Memang, masalah halal dan haram adalah kepercayaan umat Islam, bukan kepercayaan seluruh penduduk Indonesia. Tetapi, persoalan halal tentu saja bukan hanya perkara mengandung babi atau tidak, tetapi banyak yang lainnya. Sampai saat ini, jangankan perusahaan mau untuk memberi label halal, untuk mencantumkan komposisi bahan-bahan suatu produk pun belum tentu jujur. Malah, banyak produk yang sebenarnya berbahaya bagi kesehatan tidak dicantumkan dalam labelnya bahkan disembunyikan. Seperti mengandung formalin, menambahkan bahan pewarna tekstil, bahan karsiogenik penyebab kanker dan sebagainya, yang apabila dikonsumsi dalam jangka panjang dapat menjadi maut, tentu produk tersebut akan diharamkan juga oleh agama. Selain makanan, dalam industri kosmetik dan farmasi banyak produk yang di ragukan ke halalnya. Ada kosmetik yang dibuat dari placenta manusia, mengandung khamar (alkohol) dan sebagainya. Untuk obat, coba lihat komposisinya, kalau bukan bidangnya tentu kita tidak tahu apa yang terkandung didalamnya. Celakanya sebagian besar obat tidak menyertakan label halal. Contoh yang paling mudah _ meski tidak semua _ yaitu obat yang berbentuk kapsul. Kebanyakan kapsul tersebut bungkusnya terbuat dari gelatin yang terbuat dari tulang babi. Di sinilah pentingnya sertifikat halal, adalah agar dapat menentramkan batin yang mengkonsumsinya. Dengan adanya sertifikat halal, jelas bahwa produk tersebut dijamin sehat dan aman untuk dikonsumsi. Cara ini bukan hanya melindungi konsumen yang mayoritas muslim saja, tetapi juga non muslim Sayangnya sampai saat ini, sebagian besar konsumen yang mayoritas muslim dalam membeli produk hanya melihat kedaluarsa, kemasan bagus dan harga murah. Tentu saja lambat laun diharapkan, konsumen muslim untuk lebih peduli terhadap produk halal. Kelak, perusahaan-perusahaan juga akan patuh kalau konsumen muslimnya menuntut, atau minimal memboikot dengan cara tidak membeli. tetapi sebaliknya, kalau masih juga cuek, ya mau bilang apa.** Darmanto SE Pelaksana pada Bank BTN Cabang Pontianak [Non-text portions of this message have been removed]
CiKEAS Dihadiahkan Arloji Original Piala Dunia FIFA
Koran Online www.KabarIndonesia.com berhasrat untuk memberikan hadiah berupa Arloji Original Piala Dunia FIFA kepada siapa saja yang mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan di bawah ini. Semua hadiah yang akan diberikan dijamin original tulen, jadi bukannya berupa kloningan atau pun barang palsu. Pertanyaan yang tercantum di bawah ini sebenarnya tidaklah sukar untuk bisa dijawab. Kami percaya dengan bantuan dari Mbah Google (baca: Internet); siapa saja pasti akan mampu menjawabnya dengan baik. Jadi untuk ini tidaklah dibutuhkan pengetahuan khusus seperti yang dimiliki oleh para pakar ataupun para Gibol (Gila Bola). Cobalah pengetahuan dan IQ anda, sebab untuk menjawab pertanyaan- pertanyaan kuis disini tidaklah sukar ! Disamping itu tidak dipungut biaya dalam bentuk apapun juga, jadi benar-benar gratisan tulen ! Persyaratan sepenuhnya bisa dibaca di : http://www.kuis-bola.blogspot.com/ Apabila anda mengalami kesulitan untuk membuka Blog tersebut ataupun masih ada hal-hal yang kurang jelas harap hubungi kami per email: [EMAIL PROTECTED] Pertanyaan yang harus dijawab: 1. Pada tgl 21 Mei 1904 FIFA didirikan di kota ? A. Paris B. Roma C. Berlin 2. Piala Dunia FIFA yang pertama pada tahun 1930 diadakan di: A. Argentina B. Uruguay C. England 3. Piala Dunia pada tahun 2010 akan diadakan di: A. Mesiko B. Italy C. Afrika Selatan 4. Kata Bola dalam bahasa Indonesia diserap dari bahasa: A. Itali B. Portugis C. Spanyol 5. Siapa pencetak gol terbanyak dalam kejuaraan dunia FIFA ? A. Ronaldo B. Maradona C. Pele 6. Siapa pendiri PSSI (Persatuan Sepak bola Seluruh Indonesia) pada tahun 1930 A. Soekarno B. Ir. Soeratin Sosrosoegondo C. W.R. Soepratman 7. Pemain terbaik FIFA 2006 yang mendapatkan hadiah Bola Emas Adidas A. Zinedine Zidane B. Ronaldo C. Beckham 8. Negara Asia pertama mana yang masuk putaran final Piala Dunia 1938 ? A. Korea B. Jepang C. Hindia-Belanda (Indonesia) 9. Peringkat Juara Piala Dunia yang menjadi juara terbanyak A. England B. Jerman C. Brasil 10. Piala FIFA Jules Rimet melambangkan Dewa Kemenangan Yunani: A. Hercules B. Adidas C. Nike Blog:http://www.kuis-bola.blogspot.com/ Email: [EMAIL PROTECTED] Today big news..!!! Let's see here www.kabarindonesia.com
CiKEAS Rise in radiation exposure leads to warning
http://www.iht.com/articles/2007/06/19/arts/snradio.php Rise in radiation exposure leads to warning By Roni Caryn Rabin Wednesday, June 20, 2007 Advances in radiology have radically transformed medical practice, with CT scans and nuclear medicine exams providing physicians with the ability to quickly pinpoint internal bleeding, diagnose kidney stones or confirm appendicitis, assess thyroid function and identify and open blockages in the blood vessels to the heart. The downside is that Americans are being exposed to record amounts of ionizing radiation, the most energetic and potentially hazardous form of radiation. According to a new study, the per-capita dose of ionizing radiation from clinical imaging exams in the United States increased almost 600 percent from 1980 to 2006. In the past, natural background radiation was the leading source of human exposure; that has been displaced by diagnostic imaging procedures, the authors said. This is an absolutely sentinel event, a wake-up call, said Dr. Fred Mettler Jr., principal investigator for the study, by the National Council on Radiation Protection. Medical exposure now dwarfs that of all other sources. The study, financed by the federal government, is to be published by early next year. It found a particularly sharp rise in the number of CT scans - to 62 million in 2006, from 3 million in 1980. Though CTs make up only 12 percent of all medical radiation procedures, they deliver almost half of the estimated collective dose of radiation exposure in the United States. A CT scan exposes patients to far more radiation than a standard X-ray, and multislice CT scanners deliver higher doses of radiation than single-slice scanners. Nuclear medicine exams increased to 18.1 million in 2006, from 6.4 million in 1980. They represent almost a quarter of the estimated collective radiation dose, with cardiac studies making up most of the dose. X-rays have been classified as carcinogens by the World Health Organization, the Centers for Disease Control and Prevention, and the National Institute of Environmental Health Sciences, because studies have shown that exposure causes leukemia and cancers of the thyroid, breast and lung. Yet with the exception of mammography, scans remain largely unregulated. (The Food and Drug Administration regulates manufacturers of equipment but does not inspect facilities, which are licensed by states. Radiation doses for mammography are limited by federal law.) Radiation doses for the same procedure can vary drastically, as different machines in the hands of different practitioners deliver doses that vary by as much as a factor of 10, experts say. Radiologists say they do not want to scare people away from having scans and exams when necessary, but they want patients - as well as physicians - to carefully evaluate the benefits and risks of each scan or exam, make sure the procedure is appropriate and keep track of cumulative exposure levels. Full-body CT scans should be avoided unless there is a good medical reason. We're not saying you shouldn't have X-rays or CT scans - they're wonderful, they've totally revolutionized the practice of medicine, said Dr. E. Stephen Amis Jr., a former president of the American College of Radiology who is chairman of radiology at Albert Einstein College of Medicine and Montefiore Medical Center in New York. But if you go into the emergency room with recurrent pain and get a CT scan every time you show up, that's not good. Use a little common sense. Studies of atomic bomb survivors in Japan found a statistically significant increase in cancer at high levels of exposure - 50 millisieverts, about 16 times the current annual average for Americans from medical exams. But that figure is controversial; it is not clear that lower levels of radiation exposure are safe. Nor would it be unusual for a patient to exceed this level, according to a recent paper from the American College of Radiology. It is worth noting that many CT scans and nuclear medicine studies have effective dose estimates in the range of 10 to 25 mSv for a single study, and some patients have multiple studies; thus it would not be uncommon for a patient's estimated exposure to exceed 50 mSv, the paper said, adding that the International Commission on Radiological Protections has reported that CT doses can indeed approach or exceed levels that have been shown to result in an increase in cancer. A single CT scan of the abdomen, body or spine can expose a patient to 10 mSv, according to the American College of Radiology patient information Web site (www.radiologyinfo.org, see Safety). Mammography, on the other hand, delivers only 0.7 mSv, and a bone-density scan is only 0.01 mSv. There are several steps patients can take to protect themselves, and they should not be shy about asking questions, doctors and other experts say. They can always inquire of the referring physician, 'Is
CiKEAS Malaysia's homesick revolutionary
http://www.atimes.com/atimes/Southeast_Asia/IF22Ae01.html June 22, 2007 Malaysia's homesick revolutionary By Andrew Symon SINGAPORE - Malaysia is gearing up to celebrate half a century of independence, but the multi-ethnic country is arguably still not at peace with the often turbulent history that led to the end of British colonial rule. Resurrecting those controversies is the latest bid by Chin Peng, the onetime leader of the Malayan Communist Party (MCP), to return to Malaysia. The ethnic-Chinese former rebel, who now lives in exile in Thailand, finally gets his day in court on Friday. Once described as the most wanted man in the British Empire, and now at 83 years of age the last of the great post-World War II revolutionary leaders in Southeast Asia, Chin Peng led a full-scale guerrilla war against British and Commonwealth forces in the late 1940s and 1950s and thereafter a decades-long ideological struggle against Malaysia's new indigenous rulers in Kuala Lumpur. On Friday, his lawyers will make his latest challenge to the Malaysian High Court in Kuala Lumpur and argue that the government's enduring refusal to allow him to return represents a breach of the peace accord the two sides signed in 1989, which ended nearly 40 years of an on-and-off armed struggle between the MCP and the central government. Since 2005, Chin Peng's efforts to challenge the government in court and the 2003 publication of his acclaimed memoirs, My Side of History, have galvanized a reassessment of the past hostilities and the status of the minority Chinese in Malaysian society that are unsettling present-day politics. In 1959, the new state of Malaya (Malaysia came into being in 1963 with the addition of the British crown colonies of Sarawak and Sabah on Borneo island and Singapore, in what was a short-lived membership until 1965) was cast in the context of the war with Chin Peng's communist movement. The British called it the Emergency for political and economic reasons - calling it a war would have meant increased insurance claims. At the conflict's height in the early 1950s, it drew in 100,000 British, Commonwealth and local soldiers, airmen and police who hunted and engaged several thousand guerrillas in the jungles of peninsular Malaysia. Controversies from the conflict still linger. How should the Malayan communists be viewed in historical context? Were they simply ethnic-Chinese terrorists following Moscow's and then Beijing's revolutionary line? Or were they in fact nationalists and patriots who enjoyed more broad support across racial lines than portrayed by state-sanctioned history? How important to the country's political development was a secular Malay left-wing movement - a sensitive question given the strength of Islam in society and politics in Malaysia? And did the MCP's fight push the British to grant independence earlier than otherwise to a conservative United Malays National Organization-led (UMNO) coalition, which has dominated Malaysian politics ever since? Neo-colonial creation Britain's transferring power to a non-communist coalition removed the risk of increasing local support for the MCP, while also ensuring that its colonial commercial and military interests would be guaranteed by the new state. No one can be allowed to depict the Malayan War as a spontaneous nationalist uprising, Malcolm McDonald, the commissioner general of the United Kingdom in Southeast Asia, advised London in 1954. He said Britain should affirm that the Malayan insurgents are primarily alien forces acting under alien instructions. Ooi Kee Beng, a Malaysia specialist at Singapore's Institute of Southeast Asian Studies, told Asia Times Online that accepting Chin Peng back to Malaysia would mean allowing for a much broader perspective though which to understand Merdeka [independence] and the world in the waning years of colonialism. Chin Peng's person challenges the neat history propagated by the government since 1957. A view that the British were willing to work with the alliance and not with the MCP carries the germ of the concept that the alliance government was to an extent a neo-colonial creation. Ooi, author of a new biography on post-independence Malaysian politician Ismail Rahman, The Reluctant Politician: Tun Dr Ismail and His Time, says admitting that Merdeka was a more complicated process than the official version portrays has been slow in coming. And revisionist history can be complicated by race issues as they are in other aspects of Malaysian life and politics. The government does not want to run the risk that the MCP - which was largely Chinese - will be described as anti-colonial and nationalistic, said Ooi. At the same time, it will mean that one has to consider Chinese-Malaysians in the 1950s to be fighting for independence alongside the Malaysia as represented by UMNO. The fear lies in the fact that the Merdeka compact, where
CiKEAS Border control / Publishing for peace
http://www.haaretz.com/hasen/spages/873572.html Border control / Publishing for peace By Akiva Eldar If someone had told Eitan Livni while he was still alive that his daughter would one day write an article for an Arab newspaper stating that the homeland, the little land of Israel, the one between the Mediterranean Sea and the Jordan River, should be turned into a homeland for two states, Israel and Palestine, the veteran of the Irgun pre-state underground militia would have sent the messenger for a psychiatric examination. If Ariel Sharon, the foreign minister's political father, had read in Asharq Al Awsat that his protege had converted from belief in unilateralism to preaching negotiations, he would have sent his sons to have a heart-to-heart talk with her. But Tzipi Livni is very proud of her first piece in an Arab paper with broad print and Internet exposure. She suggests seeing the content of her commentary, which was published on Monday, as the Israeli response to the Arab peace initiative; not just a rote, obligatory response, but rather a specific outline for peace that presents the Israeli positions on each one of the issues addressed by the Arab initiative. Livni notes that the article was sent to the paper a few days before the military coup that led to the dismantling of the Palestinian unity government. The separation of forces between Fatah and Hamas that eliminated the three Quartet conditions adds weight to Livni's plan. But when Hamas and a gang of thieves rule in Gaza and the West Bank is controlled by the Israel Defense Forces and Jewish settlers it is unclear how her outline can be translated into practice. Given the gloomy political climate in Palestine and Israel, even the declaration of principles (DOP) to promote the Bush vision being formulated in the offices of Secretary of State Condoleezza Rice is unlikely to suffer the fate of previous such documents and will probably not remain on paper only. Nevertheless, Livni's article is a keeper. In it, the foreign minister corrects the impression implied in her earlier statements that she is demanding that Arab League members open embassies in Israel (normalization) and leave the resolution of the conflict (withdrawal) for better times. She writes that the Arab and Muslim world can serve as a catalyst for Israeli-Palestinian reconciliation by promoting parallel steps in advance of the regional conciliation that will give the nations of the Middle East concrete indications regarding the benefits to be gained from peace in the region. Livni explained yesterday in a phone conversation that in order to generate public support for hard-to-digest concessions, the Israelis and the Palestinians must begin tasting the fruits of peace in the early stages of the process. She proposes, therefore, that each step forward in the negotiating process be accompanied by a step toward the normalization of ties. In contrast to the principle in the Arab initiative stipulating Israel's withdrawal from all territories conquered during the war that began on June 5, 1967, Livni proposes the following formula: The international border between Israel and a permanent Palestinian state shall be agreed upon through negotiations on the basis of UN Security Council Resolution 242. Livni argues that it is impossible to turn the clock back to June 4, 1967, because there was no Palestinian state at the time and no link between the West Bank and the Gaza Strip. From the Palestinians' perspective, the half-full part of the cup is that Israel's foreign minister is willing to begin negotiations on the basis of a resolution that stipulates that Israel is not permitted to retain territory acquired by force. The half-empty part is that Livni's formula returns them to the early stages of the negotiations with Ehud Barak, before the Camp David summit, the Taba talks and the Clinton plan. Livni is enlisting Res. 242 for the border issue, whereas the Arab League enlisted UN General Assembly Resolution 194 on the refugee issue. She chose to overlook this resolution (which is non-binding) and suggests that the Palestinian state that is to be established in the territories will address the Palestinian people's claim (not right!) to return. It draws a straight line from the Palestinian refugees who need to find a haven in their state and the Holocaust refugees and Jews expelled from Arab countries, who found a haven in the State of Israel. Since the Arab initiative stipulates that the resolution of the refugee problem must be agreed on with Israel, the Arabs can interpret Livni's statements as constituting consent to resolving the problem within the borders of Palestine and opposition to the refugees' return to Israel. While emphasizing that there is no alternative to direct dialogue
CiKEAS Indonesian Muslims say violence not allowed in Islam
http://www.theglobeandmail.com/servlet/story/RTGAM.20070621.windomuslims0621/BNStory/International/home Indonesian Muslims say violence not allowed in Islam ADHITYANI ARGA Reuters June 21, 2007 at 6:42 AM EDT JAKARTA - Only 2 per cent of Indonesian Muslims believe their religion allows violence against non-Muslims, a survey showed on Thursday, but organizers said the figure was still a worry in the country of 220 million. The survey by private pollster Indo Barometer and the Wahid Institute revealed that 93 per cent of Muslims in the world's most populous Muslim nation believe Islam does not allow militancy. A majority of Muslims said terrorism, violence, violent acts towards non-Muslims and using violence to fight vice is not allowed in Islam, it said. But it said, the survey also shows there is a group of people that could potentially be recruited to use violence against others on behalf of religion. Over 1,000 Indonesian Muslims from across Indonesia's 33 provinces were interviewed for the poll in May. The Wahid Institute was founded by former Indonesian president Abdurrahman Wahid to promote plural and peaceful Islam. Earlier this month, it co-hosted an international meeting of religious leaders to denounce the Holocaust denial. Indonesia is the world's fourth most populous country, 85 per cent of whom follow Islam, giving the Asian archipelago the largest Muslim population of any nation in the world. While the vast majority of Indonesia's Muslims are relatively moderate, there has been an increasingly vocal militant minority and political pressure for more laws that are in line with hard-line Muslim teachings. More than half of people interviewed said bombing attacks by militants are still a threat to Indonesia, which has witnessed a string of deadly attacks in recent years blamed on Southeast Asian militant group Jemaah Islamiah (JI). Jemaah Islamiah is an armed movement backing the creation of an Islamic superstate linking Muslim Indonesia and Malaysia, and Muslim areas in the Philippines and Thailand. In the past, it has co-operated closely with al-Qaeda's global anti-Western campaign, but in recent years many in Jemaah Islamiah have focused more on the regional struggle. Indonesia arrested two top JI leaders this month, dealing a blow to Islamic militants in the country, but experts believe they are still capable of mounting attacks. It also showed that nearly 98 per cent believed the curriculum of Islamic boarding schools, or pesantrens, is not responsible for the radical ideas of militants. Indonesia has about 14,000 pesantrens, the vast majority of them being moderate and venerated, having educated many of the country's Muslim elite. They also form the backbone of the 40-million-member Nahdlatul Ulama, Indonesia's biggest moderate Muslim group that accounts for 12,000 of the registered schools. The schools have been blamed for encouraging fundamentalism and Indonesian authorities have said they would monitor them as part of efforts to fight militant violence. Two Muslim militants, Amrozi and and Mukhlas, who have been sentenced to death for the 2002 Bali nightclub bombings, studied at the Al-Mukmin Islamic school. The Brussels-based International Crisis Group has branded the school the Ivy League of militants. [Non-text portions of this message have been removed]
CiKEAS A restructured PLO
Published in Cairo by AL-AHRAM established in 1875 21 - 27 June 2007 Issue No. 850 http://weekly.ahram.org.eg/2007/850/op31.htm A restructured PLO Without an organisation capable of representing all Palestinians, both in the occupied territories and the diaspora, the future can comprise little beyond internecine conflict, writes Azmi Bishara The US and its Western followers revealed what democratisation of the Arab world actually means to them when they rejected the results of the Palestinian legislative elections and instead began an economic boycott. The result was escalating internecine violence fuelled by the lure of money. The Mecca Agreement between Fatah and Hamas to form a unity government opened the horizon for a unified Palestinian strategy that would include the restructuring of the Palestinian Liberation Organisation (PLO) and that would compel Arab governments to face their obligations to press for an end to the blockade against the Palestinian people and for the implementation of The Hague ruling on the separating wall. Some pro-settlement Palestinians believed that the Mecca Agreement was aimed at containing Hamas and that since Hamas had agreed in principle then all that remained was to name Hamas's price. They thought a haggling process would drag on as the new Fatah-Hamas partnership stumbled from one crisis to the next while at the same time negotiations and communications would be conducted through diplomatic channels aimed at a permanent solution and these would require discussions between members of the unity government. There was, therefore, room for political action. But the US and Israel were dead set against the Mecca Agreement. They saw it as a defeat for the forces within the Palestinian Authority (PA) in which they had invested such high hopes, one being that they would turn against Arafat. These forces, it is now apparent, accepted the agreement not because they liked it but because others in the PA felt that they could not take on Hamas in Gaza. The Mecca Agreement, then, was a way to put off the inevitable confrontation against Hamas. In the interval the PA would have to be funded through its executive branch while the presidency, the security agencies and the relationship between the two would have to be strengthened in preparation for the next elections or the next showdown. The US, meanwhile, knowing that to boycott the president of the unity government would drive Fatah closer towards embracing that government, came up with the notion of holding theoretical talks, as Israeli Prime Minister Ehud Olmert termed them, over a permanent solution so that people would get used to hearing certain ideas -- the hypothetical relinquishment of the right to return and the hypothetical renunciation of Jerusalem as the capital of a Palestinian state. As long as everything was couched hypothetically it would be possible to keep a unity government intact with people in it advocating such ideas until they became perfectly normal. In spite of the Mecca accord, on the very day of the 59th commemoration of the nakba -- the establishment of the state of Israel in 1948 and the consequent dispossession of hundreds of thousands of Palestinians -- a Palestinian shot another Palestinian in Gaza. But this was nothing compared to what happened next. In the course of Hamas's attempts to pre-empt any possible action by forces opposed to the Mecca Agreement undermining the unity government and delivering a debilitating blow to Hamas, the movement's field operators indulged themselves in a spate of retaliatory violence that surpassed in bloodthirstiness anything their leadership could possibly justify. Call Hamas's actions a coup, if you like. The decrees that followed, however, were nothing less than a complete overthrow of the elections that had brought Hamas into power in the first place. Worse yet, the forces that broke with Hamas after these decrees were issued pushed for escalation. These are the forces that vanish in times of unity and thrive in times of strife, and they want to see a tighter economic stranglehold on Gaza and an easing of conditions in the West Bank so that people will draw the comparison between the successful recipient of outside financial aid and provider of public services and the boycotted failure in Gaza, paying the price for its refusal to accept Israel's conditions. For some reason former US special envoy to the Middle East, Dennis Ross, after having heard this scenario from second-rank Fatah officials and from sources in west Jerusalem, felt it would inevitably play out. He wrote about it in the Washington Post of 5 June. But even the thoroughly pro-Israeli and anti-Arafat and anti-Syrian Ross had reservations. Apart from voiding the Palestinian cause of any substance beyond the rivalry between two entities, one of which