CiKEAS Peresmian Posko Tim Advokasi Dana Rekostruksi
Peresmian Posko Tim Advokasi Dana Rekostruksi Dear All, Salam kemanusian! PERS RELEASE PEMBUKAAN POSKO TIM ADVOKASI DANA REKONSTRUKSI Menindaklanjuti kerja-kerja advokasi terhadap korban bencana yang korban pemotongan dana rekonstruksi (dakons) diberbagai daerah di DIY, Forum Suara Korban Bencana bekerja sama dengan LBH Institute For Migran Worker mendirikan Posko Tim Advokasi Dana Rekonstruiksi di Dusun Pudak Desa Terbah Kecamatan Patuk Gunung Kidul. Posko ini didirikan untuk menggali informasi dan data dari warga tentang indikasi adanya tindak pemotongan dana rekonstruksi kepada para warga yang menjadi korban bencana gempa yang melanda DIY-Jateng 27 Mei 2006. Dengan adanya posko tersebut diharapkan warga yang hendak menuntut hak-haknya sebagai korban bencana yang sah untuk mendapatkan dana rekonstruksi secara penuh berdasarkan ketentuan tetapi dipotong sepihak oleh oknum tertentu. Posko tersebut juga digunakan sebagai wahana pendidikan hukum bagi warga terutama dalam pemberantasan tindak korupsi. Sebagai salah satu peran masyarakat dalam upaya memberantas tindak korupsi maka keberadaan posko tersebut diharapkan dapat memberi manfaat bagi pencerahan warga mengenai kesadaran hukum dalam menyelesaikan segala persoalan hukum khususnya masalah pemberantasan korupsi. Acara pembukaan dilaksanakan pada hari Minggu 16 September 2007 di dusun Pudak Desa Terbah Kecamatan Patuk Gunung Kidul. Acara dimulai pada pukul 11.00 WIB diawali dengan sambutan oleh Ketua Tim Advokasi Dana Rekonstruksi Sdr. Y.Budi Wibawa, yang menjelaskan dasar-dasar pemikiran dan dasar hukum atas didirikannya posko tersebut. Sambutan kedua diisi oleh Koordinator Forum Suara Korban Bencana Sdr. Aris Sustiyono, yang menjelaskan bahwa upaya mendirikan Posko tersebut adalah bagian dari langkah-langkah untuk menyelesaikan masalah pemotongan dana rekonstruksi secara hukum. Langkah ini telah sejalan dengan apa yang sudah dilakukan oleh LSM-LSM dalam melakukan kerja–kerja sosial dan kemanusian terhadap warga. Upaya mendirikan posko tersebut juga sudah sejalan dengan langkah yang ditempuh oleh DPRD Kabupaten Gunung Kidul yang telah membentuk Panitia Khusus (Pansus) terkait dengan indikasi pemotongan dana rekonstruksi. Sehingga diharapkan keberadaan posko tersebut juga menjadi langkah sinergis yang dilaklukan semua pihak dalam menyelesaikan masalah pemotongan dakons. Semua pihak telah melakukan kerja-kerjanya sebagaimana peran dan tanggung jawab dalam menyelesaikan masalah yang sedang dihadapi masyarakat khususnya pemotongan dana rekonstruksi. Sambuatan ketiga sekaligus membuka secara resmi Posko Tim Advokasi dana Rekonstrusi oleh Ketua Komite Kemanusian Yogyakarta (KKY) dan Ketua Pusat Studi Pengembangan Kawasan Pedesaan UGM Dr. Susetiawan yang ditandai dengan memukul kethongan. Acara selanjutnya dialog bersama warga yang hadir dalam acara tersebut (30 orang). Dalam dialog tersebut warga berharap adanya posko tersebut dapat memberikan dukungan moril yang riil bagi warga untuk berani mengungkapkan fakta-fakta tentang indikasi pemotongan dakons. Karena diakuinya sejauh ini warga bingung harus kemana mengadu dan menyelesaikan masalah pemtongan dakons, karena warga mengalami kegelisahan dan ketakutan atas tindak intimidasi yang dilakukan oleh orang-orang yang diindikasikan terlibat dalam pemotongan dakons khususnya di Desa Terbah Kecamatan Patuk Gunung Kidul. Bagi masyarakat umum atau warga korban bencana yang menjadi korban pemotongan dakons yang memiliki informasi penting mengenai indikasi pemotongan dakons bisa langsung menghubungi Tim Advokasi Dana Rekonstruksi kenomor telpon 0274-6608619 atau 081802748925. Partisipasi masyarakat sangat berarti bagi tegaknya kebenaran dan keadilan dalam masalah dana rekonstruksi. Kami berharap dukungan dari semua pihak dalam melakukan kerja-kerja advokasi bagi warga korban bencana yang menjadi korban pemotongan dakons untuk kembali mendapatkan haknya. Demikian pers release ini kami sampaikan, atas perhatian dan kerjasamanya, kami ucapakan terima kasih. Yogyakarta, 17 Sepetember 2007 ttd Aris Sustiyono Koord. Forum Suara http://groups.yahoo.com/group/suarakorbanbencana
CiKEAS Pemerintah Desak Alkatiri Kosongkan Rumah Dinas
Pemerintah Desak Alkatiri Kosongkan Rumah Dinas Senin, 17 September 2007 | 22:26 WIB TEMPO Interaktif, Dili: Pemerintah Timor Leste pimpinan Xanana Gusmao mendesak bekas perdana menteri Mari Alkatiri untuk segera mengosongkan rumah dinas yang kini masih didiaminya. Saya memberikan waktu satu minggu kepada Alkatiri dan (bekas perdana menteri) Estanislau da Silva bersama bekas menteri lainya seperti Ana Pessoa untuk segera mengosongkan rumah pemerintah, karena anggota kabinet pemerintah Xanana membutuhkan tempat tinggal, kata Menteri Kehakiman Lucia Lobato hari ini. Sebagian besar anggota kabinet itu masih tinggal di tempat pengungsian karena rumah mereka dibakar pascakrisis tahun lalu dan sebagian lagi tinggal di luar kota Dili, kata Lucia. Menteri Lucia mempertanyakan mengapa para mantan perdana menteri itu dapat mengikat kontrak dengan Kantor Tanah dan Bangunan, untuk menghuni rumah itu selama lima tahun. Berdasarkan undang-undang, pemakaian rumah itu harus memakai surat resmi dari pemerintah dan pemerintah berhak penuh mencabut kontrak bila aset negara tersebut dibutuhkan. Ketua Fraksi Fretilin di parlemen, Aniceto Guterres, mengatakan Alkatiri dan bekas menteri lainya sudah tidak berhak menghuni rumah itu, tapi pemerintah juga perlu memberikan waktu bagi mereka untuk mencari tempat tinggal. Rumah Alkatiri sendiri dibakar saat terjadi kerusuhan pada Desember 2003 lalu. Sedangkan Estanislau da Silva dan mantan menteri administrasi negara Ana Pessoa tidak punya rumah sendiri di Dili. JOSE SARITO AMARAL (
CiKEAS Employing Runaway Maids Is Big Business
http://www.arabnews.com/?page=1section=0article=101273d=17m=9y=2007pix=kingdom.jpgcategory=Kingdom Monday, 17, September, 2007 (05, Ramadhan, 1428) Employing Runaway Maids Is Big Business Badea Abu Al-Naja, Arab News MAKKAH, 17 September 2007 - With a high demand for maids during Ramadan, many people employ runaway maids and pay them extortionate salaries ranging from SR1,100 to SR1,500, instead of the standard SR600 to SR800 paid to legal maids working legally. Fahd Amash's wife is a teacher. The couple have five children. My wife is a teacher and our circumstance requires us to have more than one maid. However, the authorities say we're only allowed one. Before Ramadan I employed a legal maid, who ran away leaving us in a mess, said Amash. With Ramadan at hand, Amash decided to hire a runaway maid. We had to do things illegally in the end, he said. We contacted an Indonesian woman who provides people with illegal maids. She brought us a maid and said we had to pay her SR1,500 a month. She also said we had to give the maid a day off every 10 days and that her work for the month would end on Ramadan 28 in order to give her a chance to perform Umrah, said Amash. Houaida Hassan, a Saudi housewife, is in the process of acquiring a legal maid from Indonesia. The maid is due to arrive after Ramadan but Houaida needs a maid during Ramadan and so resorted to employing an illegal maid as her friends do. My friends referred me to an Indonesian woman, who has a number of runaway maids and overstayers who don't speak Arabic. I was told to pay the maid SR900 a month, and that I was to give her a day off every 10 days and that during Ramadan I had to release her on the 28th. The broker also asked for a SR50 commission, she explained. I accepted the conditions and paid the broker SR50. A day later, the maid complained about the work and refused to stay. She asked me to take her back. I took her back and asked for another maid, said Houaida, adding that the broker asked for another SR50. The second maid did the same as the first - on the second day of Ramadan the maid started crying and said she didn't want to work. I took her back to the broker who said that she would find me another maid but that it would cost me another SR50 commission, said Houaida, adding that she felt the maids and the broker were playing a game and in the end, she decided to do without a maid instead of being taken advantage of. Majed Ali acquired a maid for his sick mother during Ramadan. The maid was to be paid a salary of SR1,500 and the broker asked for a SR150 commission, said Majed. I accepted all the broker's conditions and took the maid to my mother. On the second day of Ramadan my mother called me to come quickly and when I got to her house, I found the maid screaming and yelling. She said she didn't want to work and wanted to be let go, he said. I told her to give me the SR150 that I paid the broker and that I would let her go. She screamed and threatened my mother. She wanted SR200 or she said she would cast a spell on my mother that would make her sick and bedridden for the rest of her life, he said, adding that his mother was frightened and asked him to give the woman what she wanted and let her go. An expatriate spoke to Arab News about how brokers manipulate people by planning with the maids to leave work after working for a day or two. People then end up going back to the broker to get another maid and pay additional commission. The broker in turn gives the maid a percent of profit, he said. Ayed ibn Taghalib Al-Luqmani, head of the Passport Department in Makkah, said: We have recently arrested a large number of illegal maids and the people who shelter them. It's a wonder that people recruit them and trust them with their children in spite of everything that we know about them. Many of them have infectious diseases and are known to be thieves.
CiKEAS Indonesian Embassy Denies Indonesian Worker Amputated in Saudi Arabia
Indonesian Embassy Denies Indonesian Worker Amputated in Saudi Arabia Monday, 17 September, 2007 | 17:45 WIB TEMPO Interactive, Jakarta: Sukamto, the Indonesian Migrant Worker Attache at the Indonesian Embassy in El Riyadh, Saudi Arabia, has denied that an Indonesian worker there suffered violence. Based on the investigation of Indonesian Embassy staff to the Riyadh Medical Center, he said, no Indonesian citizen was operated on or amputated within the last 35 days. No such thing happened. My staff has checked the database and asked about reports from Indonesian nurses who work there, he said when contacted by Tempo, Monday afternoon (17/9). Migrant Care's analyst, Wahyu Susilo, mentioned about an act of violence against an Indonesian worker in Saudi Arabia, yesterday. According to Wahyu, the worker was treated for two days in Riyadh Medical Center while in a coma. Two hands and one leg of the Indonesian worker, whose identity is not known yet, said Wahyu, were amputated because the wounds were decaying. Wahyu acknowledged receiving the report from an activist of Saudi National Human Rights, that the Indonesian worker had been tortured for a month. Wahyu, when contacted by Tempo again, said he still maintained the information he received in the first place despite he has not had any further reports from his source in Saudi Arabia. b Amandra Mustika Megarani
CiKEAS European Court Upholds Microsoft Antitrust Fine
http://www.washingtonpost.com/wp-dyn/content/article/2007/09/17/AR2007091700235_pf.html European Court Upholds Microsoft Antitrust Fine By Molly Moore Washington Post Foreign Service Monday, September 17, 2007; 10:34 AM PARIS, Sept. 17 -- A European Union court Monday rejected Microsoft's appeal of a European antitrust order requiring it to share software information with rivals and pay a record $690 million in fines for quashing competition. Consumer advocates and Microsoft officials said the ruling by the European Court of First Instance would have far-reaching implications for high-technology companies and other industries around the world. European Competition Commissioner Neelie Kroes, who led the effort to force Microsoft to share technology rather than obligate consumers to buy only Microsoft software, said the decision set an important precedent in terms of the obligations of dominant companies to allow competition, in particular in high-tech industries. Microsoft senior vice president and general counsel Brad Smith called the court ruling disappointing, but added that the software giant is committed to complying with every aspect of the decision. The Luxembourg-based court wrote that it agreed with EU regulators who said Microsoft has abused its dominant position in the global software marketplace by stifling competition and undercutting innovation efforts by rivals, thus keeping prices excessively high. Although Smith said the U.S.-based company has not decided whether to appeal the court decision, he appeared far more resigned and conciliatory toward European regulators than in the past when Microsoft accused them of trying to curb innovation by forcing the company to give up its technology secrets. Smith said at a news conference in Brussels and carried on its Web site that the decision very clearly gives the commission quite broad power and quite broad discretion. Although the EU commission's demands cannot be enforced outside Europe, Smith said the implications of the case will affect our industry and every other industry in the world. The case centered on the commission's 2004 ruling that Microsoft used its near monopoly on the Windows operating system for desktop computers to compel consumers to buy its other software, such as Media Player, which allows users to access video and audio via the Internet. Commissioner Kroes said Microsoft's efforts hurt consumers and dampened innovation. She added that in a world where 95 percent of PCs run Windows, Microsoft's abuse of its dominant market position makes it difficult for computer users to share printers or documents unless they use Microsoft products. As a result, smaller companies found it virtually impossible to break into the market, she said. Microsoft's Smith said that since the 2004 decision, Microsoft has entered license-sharing agreements with other companies. He added, however, that based on Monday's ruling, the company needs to do more. The European case has been closely followed since it began in 1998, marking the efforts by regulators across the Atlantic there to more strictly control dominant businesses. Though similar in some ways to the antitrust case pursued against Microsoft by the U.S. Justice Department, the policy also has put Europe at odds with other American companies and some computer trade groups that who argue that European regulators are infringing on intellectual property rights and stifling innovation. French officials, for example, have demanded that Apple Computer Corp. make the iPod's proprietary system more compatible with other music players, and German authorities have investigated some of Intel Corp.'s practices. Along with the original fine, Microsoft has been subject to hundreds of millions of dollars in other European levies for its failure to comply with the original ruling and provide the technical data other companies need to make their software work with Windows. But the case has also served as a reminder of Microsoft's enduring market position even in the face of antitrust challenges. The company's operating system remains by far the most widespread in offices and homes around the world, despite efforts by competitors like Linux and IBM to create alternative computer operating platforms. The company noted, for example, that it had been selling an alternative version of Windows without the Windows Media Player, as demanded by the European Commission, but few have been purchased. To advocates of the tough European stance, however, it is Microsoft that has stifled alternatives from emerging. Staff writer Howard Schneider contributed to this report from Washingt
CiKEAS Democracy under siege
http://weekly.ahram.org.eg/2007/862/op3.htm 13 - 19 September 2007 Issue No. 862 Published in Cairo by AL-AHRAM established in 1875 Democracy under siege Until Arab regimes embody the people they purport to represent they will remain fearful of them, writes Ayman El-Amir* Democracy in the Arab world is in a bind. It is taking one step forward and two steps back. Although the silent majority is growing more active and increasingly restive, its yearning for democratic change has no sense of direction except, perhaps, the Islamist way. It has been tantalised by two examples of democratic and peaceful change, first in Mauritania and more recently in secular Turkey. However, it does not have the institutional power structure to emulate these experiences. For the past decade, conditioned political parties, opposition movements, factory workers and professional unions have staged demonstrations, protests and strikes, clashed with government troops and filed lawsuits in courts, but have been skilfully outmanoeuvred and contained by the regimes in power. Government-licensed political parties have little to no access to genuine power sharing leading to peaceful change. The ruling elite, especially in impoverished Arab countries, has framed the challenge of the agitated masses as a showdown of physical power. In the uneven test of wills, the masses have no clubs, riot gear, electric shock batons, teargas canisters, rubber bullets or water canons. They only have the dubious power of the ballot box that, they claim, is often stuffed in favour of government-approved candidates. So their chances of promoting peaceful change through elections are virtually non-existent. In this confrontational environment the elite does condescendingly engage, from time to time, in selective discourse with the tame opposition while it reserves a great deal of ammunition for suppressing more powerful factions like the Muslim Brotherhood. Both the elite and the people invariably agree on the definition of endemic problems that plague beleaguered countries: poverty, unemployment, high-priced costs of living, epidemic-scale diseases, poor health services and quality of education, institutional corruption, political repression and the trampling of human rights. All agree on the need for reform but differ about the need for change. The elite is all for reform that would go only as far as maintaining the status quo. It has to secure its status, privileges and control and does not consider change, especially the rotation of power, as a legitimate choice of the people. Meanwhile, the people are caught between a rock and a hard place, between the vicious circle of polemics and the temptation of uprising. Not all Arab countries share the same sense of helplessness, although they may share part of the political discontent. In Arab monarchies, rotation of power is not a matter for the people to decide. In the more affluent, oil- rich states the drive for democratic change is tempered by the de facto spread of oil wealth. In some monarchies, the exercise of liberal democracy is regarded as anathema in societies best controlled by traditional value systems. Self-inflicted wounds or simply distrust of the electoral system are sometimes part of the problem. It was quite an eye-opener that in parliamentary elections in Kuwait this summer not a single female candidate was elected in a country where eligible women voters represent 57 per cent of the electorate. Parliamentary elections in Morocco last week were marked by a historic low turnout (estimated at 37 per cent of the electorate) and a surprising tilt towards the conservative and waning Istiqlal Party as opposed to the rising Islamic-oriented Justice and Development Party. The final results gave the Istiqlal Party a majority of 52 seats over its rival that cried foul play. In Egypt, reports of heavy-handed police interference with the 2005 parliamentary elections marred the process and discredited the government's proclaimed agenda for reform. It would seem that the concept and practice of liberal democracy in the Arab world is in tatters and that, in the prevailing turbulent political environment, the region is heading for the unknown. For one thing, the US has given democracy a bad name. By invading Iraq and instigating sectarian division, the Bush administration has etched on the table of history the indelible lesson of how to destroy a country in the name of democracy. The role model, if it ever was, has become disreputable. A case in point was demonstrated at a press conference in St Petersburg, where the G-8 leaders were holding their summit meeting in July 2006. US President George W Bush made yet another monumental gaffe by lecturing his host, President Vladimir Putin, about the virtues of democracy. Commenting on his pre- conference talks with
CiKEAS Dongeng Nabi Nuh Bukanlah Sejarah Karena Dongeng Bukanlah Sejarah !!
Dongeng Nabi Nuh Bukanlah Sejarah Karena Dongeng Bukanlah Sejarah !! dadearinto [EMAIL PROTECTED] wrote: Peristiwa besar di zaman Nabi Nuh Peristiwa besar di zaman Nabi Nuh tersebut adalah prasejarah yaitu kejadian yang tidak pernah tercatat semuanya telah berlangsung tanpa kabar. Dongeng nabi Nuh itu bukanlah sejarah melainkan legende religious dari Timur Tengah. Sebaiknya anda sekolah disekolah formal jangan disekolah agama karena akan merugikan anda sendiri kalo dalam test pengetahuan umum dongengan nabi nuh ini anda anggap sejarah. Catatan tentang dongeng2 nabi nuh hanya bisa anda temukan dalam kepercayaan2 Timur Tengah seperti Islam, Kristen, Katolik, Yahudi, dll. Dimasa lalu memang pernah terjadi banjir besar dibumi ini yang disebabkan mencairnya es dikedua kutub bumi. Mencairnya es ini disebabkan terjadinya pergeseran sumbu bumi akibat adanya perubahan gaya tarik bumi terhadap matahari akibat hilangnya atau musnahnya planet lain dimana bumi menjadi bulannya. Tapi, banjir besar akibat mencairnya es dikedua kutub bumi itu terjadi lebih dari 200 milyard tahun yang lalu dimana bumi ini masih kosong belum ada satupun manusia yang hidup kecuali dinosaurus. Ny. Muslim binti Muskitawati.
CiKEAS Teori Tercipta Dari Adanya Fakta2 Bukan Sebaliknya !!!
Teori Tercipta Dari Adanya Fakta2 Bukan Sebaliknya !!! rezameutia [EMAIL PROTECTED] wrote: If the facts don't fit the theory, change the facts. Albert Einstein Einstein enggak pernah mengatakan begitu !!! Belajar teori Einstein jangan dari AlQuran.. karena AlQuran hanyalah berisi angan2 orang2 Arab dizaman dulu. Yang sebenarnya, Einstein menyatakan bahwa semua realitas yang menyangkut kecepatan cahaya, maka semua teori tidak akan pernah bisa digunakan karena tidak cocok dengan fakta2nya. Itulah sebabnya, karena teori dan fakta nya tidak cocok, maka bukan faktanya yang harus diubah melainkan harus menggunakan teori yang lain, yaitu teori Quantum. Demikianlah, Einstein adalah seorang perintis teori Quantum yang menekankan tentang adanya ketidak cocokan antara teori dan fakta pada perhitungan kecepatan cahaya. Dalam hal ini teorinya yang tidak cocok digunakan dan karenanya lahir teori2 baru mengenai quantum. Teori2 quantum inilah yang melahirkan Solid state, IC, dll yang digunakan disemua bidang teknologi yang kita gunakan sekarang ini. Ny. Muslim binti Muskitawati.
CiKEAS Fwd: Butuh Darah A Plus
Maaf OOT.. sekedar meneruskan saja.. siapa tahu ada rekan yang bisa dan mau membantu.. Silahkan hubungi langsung pada kontak di bawah.. Semoga info ini bermanfaat.. Wassalam, Irwan.K -- Forwarded message -- From: yayasan rahima [EMAIL PROTECTED] Date: Sep 17, 2007 3:28 PM Subject: Butuh Darah A Plus Maaf ada seseorang yang membutuhkan bantuan : *di rs harapan kita anak berusia 14 thn kena DB dan pendarahan lambung, butuh donor darah A plus, siapa yg mau nyumbang hubungi Lisa hp 0811182033javascript:void(0) *
CiKEAS 68. Spiritualitas, Penuntun Saya
= Seri : Membangun Keluarga Indonesia = [EQ] CHRISYE : SEBUAH MEMOAR MUSIKAL [Naga Legendaris INDONESIA] Oleh : Alberthiene Endah Bermimpilah, sebab harapan akan memberi hidup Berkaryalah, sebab seni akan memberi makna [Naga belajar . . . sampai menutup mata] 68. Spiritualitas, Penuntun Saya Sekian puluh tahun menjalani profesi musikal, saya tak percaya bila pekerjaan ini akan bergulir tenang tanpa pegangan. Saya melewati metamorfosa dalam proses pendewasaan spiritual saya. Setelah menjadi seorang mualaf pada tahun 1982, proses pencarian saya terus berjalan. Saya sempat menjadi seseorang yang tidak patuh dengan kewajiban sholat lima waktu. Kemudian, waktu mengajarkan saya untuk melakukan kewajiban ibadah walaupun saya belum merasakan sentuhan yang dalam di batin saya. Namun, satu hal yang saya syukuri adalah kegigihan saya untuk melakukan pencarian. Saya terus belajar, berdiskusi dengan tokoh agama, dan melakukan sharing dengan sahabat dan sanak saudara. Ternyata, proses kehidupan adalah sekolah yang sangat efektif bagi manusia untuk memahami iman dan menghayatinya dengan pasti. Peristiwa jatuh-bangun dalam kehidupan membuat saya mencengkeram lebih kuat sesuatu yang setia menjaga saya. Tuhan. Tahun 90-an adalah masa-masa ketika penggodokan spiritualitas saya berjalan begitu hebatnya. Setelah konser tunggal perdana, saya merasakan sebuah keajaiban yang sungguh dahsyat. Saya seperti diangkat setinggi-tingginya oleh Tuhan, sekaligus disadarkan bahwa saya adalah manusia yang sungguh kecil. Justru di saat saya tengah disanjung dan dipuji, saya merasa tak berarti. Betapa luar biasanya cara Tuhan mendidik saya. Di dekade 90-an itu, saya lebih banyak meluangkan waktu untuk mendalami agama. Apalagi setelah saya bertemu tokoh agama terkenal dari Banjarmasin, K.H. Zaini Gani. Dalam sebuah khotbah akbarnya di Banjarmasin, ia dengan spontan menunjuk saya sebagai seseorang yang tengah digodok Tuhan. Kemudian saya juga mengenal dan dekat dengan Habib Abubakar Assegaff. Segala proses pencarian saya pada kedalaman spiritual membuat saya makin merunduk, menyadari bahwa tiada lain yang lebih penting dilakukan manusia di dunia selain mempersiapkan diri menjadi manusia baik ketika hari akhir tiba. Buat saya, spiritualitas memberikan lebih dari sekadar memiliki agama karena spiritualitas memberikan rasa aman, tenteram, dan jalan. Saya merasakan hidup dan karier saya bergulir pada tujuan yang jelas berkat pendalaman spiritualitas yang saya jalani. [bersambung . . .] SONETA INDONESIA www.soneta.org Retno Kintoko Hp. 0818-942644 Aminta Plaza Lt. 10 Jl. TB. Simatupang Kav. 10, Jakarta Selatan Ph. 62 21-7511402-3 - Be a better Globetrotter. Get better travel answers from someone who knows. Yahoo! Answers - Check it out.
CiKEAS Soeharto Dimenangkan
TEMPO Edisi. 30/XXXVI/17 - 23 September 2007 Soeharto Dimenangkan KEMERDEKAAN pers di Indonesia kini kembali terancam. Ancaman ini bukan datang dari ujung laras bedil, melainkan dari ketukan palu hakim. Putusan Mahkamah Agung 13 September lalu, yang memenangkan gugatan Soeharto atas majalah Time, yang tak hanya menghukum media internasional itu meminta maaf di berbagai media, tapi juga membayar ganti rugi Rp 1 triliun, jelas berefek serupa dengan pembredelan. Apakah ini berarti cara pembekuan surat izin usaha penerbitan pers di masa Orde Baru akan muncul kembali dalam bentuk pembredelan secara perdata? Pembredelan terhadap pers nasional telah dinyatakan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 sebagai perbuatan melawan hukum. Mungkin karena Time pers asing, majelis hakim tak mengacu pada UU tentang Pers itu. Soal ini jelas dapat diperdebatkan, tapi ada undang-undang lain yang berasal dari dunia internasional yang ternyata ditabrak. Itulah UU Nomor 12 Tahun 2005 yang meratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik. Pasal 19 kovenan ini jelas-jelas tak memperbolehkan pembredelan terhadap pers kecuali menyangkut kepentingan keamanan negara dan ketertiban umum. Artikel majalah Time tentang kekayaan Soeharto tak ada kaitannya dengan keamanan negara ataupun ketertiban umum di Indonesia. Kegiatan investigasi para wartawan media ini menelusuri harta mantan presiden itu bahkan selaras dengan semangat Ketetapan MPR Nomor XI Tahun 1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Sebuah dokumen negara yang resmi menuliskan nama Soeharto di dalamnya. Hasil penelusuran harta Soeharto di sebelas negara oleh para wartawan Time kemudian ditampilkan dalam laporan sepanjang 13 halaman. Penulisannya pun dilakukan sesuai dengan kaidah jurnalistik yang berlaku. Asas berimbang diterapkan dengan memuat keterangan para penasihat hukum Soeharto setelah usaha mewawancarai sang jenderal besar menemui jalan buntu. Upaya check and recheck pun dilakukan sampai empat bulan lamanya. Hasilnya memang sebuah karya jurnalistik yang prima. Setelah membaca laporan itu, masyarakat Indonesia pun mengetahui lebih jelas di mana saja harta yang diduga milik keluarga Soeharto berada atau disembunyikan dan berapa perkiraan nilainya. Sayangnya, aparat hukum di masa pemerintahan Habibie tak langsung mengembangkan informasi ini sehingga sebagian besar aset di luar negeri itu pun kemudian mengalami pengalihan kepemilikan dan semakin sulit dilacak. Akibatnya, hingga sekarang, belum sepeser pun harta keluarga Soeharto yang diduga hasil korupsi, kolusi, dan nepotisme dapat dikembalikan ke kas negara. Ini menyedihkan mengingat negara berkembang seperti Nigeria berhasil meraih kembali sepertiga dari sekitar US$ 6 miliar yang dicuri mantan presiden Sani Abacha dan keluarganya. Pemerintah Filipina pun mendapatkan kembali sebagian hartanya yang sempat dijarah bekas presiden Marcos dan keluarganya. Prestasi ini dicapai karena aparat hukum mereka giat menelusuri harta haram itu ke berbagai penjuru dunia. Mallam Nuhu Ribadu, Kepala Komisi Kejahatan Keuangan dan Ekonomi Nigeria, malah rajin berkampanye melobi negara maju agar membantu mengembalikan harta koruptor di negara berkembang yang disimpan di berbagai bank di negara mereka. Hasilnya cukup menggembirakan. Pembekuan uang Tommy Soeharto di Inggris dan uang E.C.W. Neloe di Swiss adalah contohnya. Selain itu, konvensi internasional antikorupsi disepakati di ajang Perserikatan Bangsa-Bangsa. Pemerintah RI termasuk yang cukup awal meratifikasinya. Sayang sungguh sayang, semangat tinggi membebaskan negeri dari penyakit korupsi ini belum meresap ke sanubari semua hakim agung. Majelis hakim agung yang dipimpin Mayor Jenderal Purnawirawan German Hoediarto malah berpendapat martabat Soeharto sedemikian tingginya sehingga hasil investigasi Time dianggap sebagai pencemaran nama baik dan majalah berita ini diperintahkan meminta maaf serta membayar ganti rugi Rp 1 triliun. Padahal di negeri sekaya Jepang saja hukuman ganti rugi tertinggi untuk pencemaran nama hanya sekitar Rp 500 juta. Ini jelas sebuah hukuman yang mencederai harkat bangsa dan rasa keadilan masyarakat, yang perlu segera dikoreksi. Upaya peninjauan kembali wajib dilakukan, antara lain dengan mengajukan bukti baru telah diratifikasinya Konvensi Hak-hak Sipil dan Politik Internasional melalui UU Nomor 12 Tahun 2005. Hak warga untuk mempunyai akses pada pers yang bebas dan aktif mengawasi kepentingan publik harus selalu terjaga. Selain itu, pengertian harkat bangsa yang telah dibelokkan oleh keputusan bermasalah ini pun perlu dikoreksi. Bangsa yang bermartabat bukanlah bangsa yang tak bisa menerima kritik pers asing, melainkan justru yang sigap menghukum para pencuri uang rakyat dan selalu mengupayakan kembalinya dana itu ke kas negara.
CiKEAS Tangisan Bayi Itu Isyaratkan Gempa
Refleksi: Dengan penemuan dari observasi ini, pemerintah NKRI seharusnya memberikan mobile phone untuk tiap wanita yang mempunyai bayi agar bisa langsung menelepon ke station TV atau radio memberitahukan akan terjadi gempa :-)) http://www.antara.co.id/arc/2007/9/17/tangisan-bayi-itu-isyaratkan-gempa/ 17/09/07 14:37 Tangisan Bayi Itu Isyaratkan Gempa Oleh Frislidia Padang (ANTARA News) - Tak biasanya Zikiano Diofato (2 bulan) menangis dengan suara melengking berulang-ulang, terkadang ia terlihat begitu gelisah sehingga menarik perhatian anggota keluarga dan juga sejumlah tetangganya. Murni (60 tahun), nenek Dio yang memiliki 15 cucu itu ikut membujuknya agar si bayi segera berhenti menangis, namun tetap saja tangis bayi mungil itu semakin keras. Tari (23 tahun), ibu kandung Dio, menyatakan sempat bingung melihat kelakuan bayinya itu dan bertanya-tanya penyebabnya, soalnya ketika itu badan buah hatinya itu tidak panas, perutnya pun tidak kembung. Cup-cup sayang ini ibu, bujuk Tari sambil menggendong anaknya ketika bercerita tentang ulah anaknya itu yang belakangan diyakini sebagai isyarat bakal terjadinya musibah besar di kampungnya. Menurut tetangga Tari, Bariah (50 tahun), Dio menangis dua hari berturut-turut sebelum gempa beruntun mengguncang daerah itu. Kami juga heran, bayi lucu itu tidak seperti biasanya gelisah dan menangis dengan suara lengking, kata Bariah. Saya sempat curiga, dan bertanya-tanya biasanya anak-anak lebih tahu tentang peristiwa yang bakal terjadi, katanya. Tiba-tiba Rabu (12/9) sore itu warga yang bermukim di sepanjang jalan raya Padang-Bengkulu, 234 kilometer dari Lunang Pessel panik, ketika gempa berkekuatan 7,9 SR mengguncang kampungnya. Semua warga berhamburan keluar rumah, dan hanya beberapa detik saja seluruh bangunan seketika hancur bahkan rata dengan tanah. Trauma masih menggigit mereka ketika esok paginya gempa kedua kembali mengejutkan. Saya tidak bisa berbuat apa-apa gempa telah meluluhlantakkan semuanya, kaki ini terasa kaku dan tidak ada lagi yang tersisa, rumah kami hancur tidak bisa dihuni, kata Bariah berlinang air mata. Anehnya ketika gempa itu terjadi Dio sama sekali tidak menangis, wajah bersih dan polos Dio tampak begitu tenang sehingga turut mendorong semua korban agar bersikap tabah. Berkat ketenangan Dio, membuat Sukitan (70), kakek Dio, dan Sugiyono (26) makin terdorong sabar dan tabah menerima musibah tersebut. Ketika melihat Dio tenang, tak pernah lagi gelisah dan menangis, kami justru ikut tenang dan tabah, kata Sugiyono sesekali menggendong anaknya itu dengan penuh kasih sayang. Kini Dio dan pengungsi lainnya masih bertahan tidur di bawah tenda darurat karena rumahnya tidak bisa lagi dihuni. Butuh Tenda Korban gempa beruntun yang mengguncang Kabupaten Pessel, Sumatera Barat, itu kini membutuhkan sebanyak 2.000 unit tenda, selimut, tikar dan pakaian guna melindungi diri dari serangan penyakit. Tenda yang sudah dibagikan dari Depsos Pesel dan Pemprov Sumbar sebanyak 300 unit dan sisanya diupayakan pengungsi dari swadaya dan bantuan tetangga dan masyarakat kata Bupati Pesisir Selatan Nasrul Abit. Pascagempa beruntun, sebanyak 7.000 ribu kepala keluarga kehilangan tempat tinggal. Menurut Nasrul Abit tercatat 4.900 unit rumah, kantor dan bangunan fasilitas umum rusak dan pengungsi masih bertahan tidur di luar rumah atau di bawah tenda. Kita menetapkan sebulan masa tanggap darurat dengan perpanjangan 17 hari, pengungsi tetap diimbau waspada terkait gempa susulan yang masih terjadi dan cukup berisiko untuk kembali ke rumah masing-masing, katanya. Pengungsi disarankan tidur di bawah tenda darurat guna menekan korban jiwa. Korban jiwa tidak ada pascagempa ini, yang meninggal seorang itu akibat serangan jantung bukan akibat gempa langsung, katanya. Mengenai rumah korban yang membutuhkan perbaikan secepatnya, Nasrul mengaku bahwa karena mereka tidur di bawah tenda darurat maka membutuhkan selimut hangat, tikar, dan pakaian. Nasrul Abit meminta pemerintah segera menyalurkan bantuan dalam bentuk uang tunai. Kita lebih memilih bantuan uang tunai, bukan material bangunan agar masyarakat bisa langsung memanfaatkan uang tersebut untuk kebutuhan bahan bangunan rumahnya dan kebutuhan lainnya, katanya. Pemerintah Kabupaten Pessel telah menyalurkan 27 ton beras untuk pengungsi dari 100 ton plafon yang diberikan Pemrov Sumbar. Kita baru menarik 50 ton beras di antaranya 27 ton sudah disalurkan, sisanya segera diminta lagi untuk segera didistribusikan bagi pengungsi, terutama pada daerah-daerah yang belum terjangkau, katanya. Bantuan yang sudah mengalir di antaranya berupa tenda beras dan kain sarung dari Pemprov Sumbar, serta uang. Bantuan uang dari Pemprov Sumbar digunakan untuk membeli sembako, belum untuk material bangunan, tambahnya. Sementara itu, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Sumbar Rosnini Syafitri mengatakan, pihaknya sudah menyiagakan posko pelayanan kesehatan darurat dengan
CiKEAS Polri Selidiki Penjualan 96 WNI ke Cina
http://www.gatra.com/artikel.php?id=107876 Perdagangan Manusia Polri Selidiki Penjualan 96 WNI ke Cina Jakarta, 18 September 2007 01:54 Kapolri Jenderal (Pol) Sutanto menyatakan, Polri saat ini sedang menyelidiki kasus penemuan 96 wanita warga negara Indonesia (WNI) di kota Zhuhai, Cina yang diduga menjadi korban perdagangan orang. Mereka mengikuti pelatihan di Balai Latihan milik A Tut, seorang WNI di kota Zhuhai, China, kata Sutanto, di hadapan Komisi III DPR, Jakarta, Senin (17/9). Sutanto mengatakan, direncanakan, setelah selesai mengikuti pelatihan, para WNI ini agan dipekerjakan di Macau dan Hongkong. Mereka diberangkatkan oleh Pemda dengan visa pelajar, biaya ditanggung Pemda yang mengirim, katanya. Pemilik balai latihan itu akan menerima fee (bayaran) setelah mereka (para) WNI ini bekerja. Penempatan kerja sepenuhnya oleh pemilik balai latihan kerja. Untuk itu, para TKI ini akan dipotong gajinya selama tujuh bulan, katanya. Namun Sutanto tidak menyebutkan asal daerah dan Pemda yang mengirimkan sebab kasus ini masih dalam penyelidikan. Pada kesempatan itu, Sutanto juga mengatakan, kasus perdagangan orang yang ditangani Polri pada tahun 2007 hingga September ini sebanyak 93 kasus atau naik tajam dibandingkan dengan tahun 2006 lalu yang mencapai 67 kasus. Dari 67 kasus di tahun 2006, 37 kasus sudah tuntas di penyidikan sedangkan sisanya masih dalam proses. Sedangkan di tahun 2007, dari 93 kasus, sebanyak 46 kasus ke kejaksaan sedangkan sisanya masih dalam pemberkasan. Sejumlah kasus yang menonjol di tahun 2007 antara lain, kasus 48 mahasiswa asal Bandung yang dipekerjakan di Malaysia padahal mereka seharusnya kerja magang. Kasus lain adalah pengiriman TKI ilegal ke Suriah, Yordania, Siprus secara ilegal. Para tersangka ini sudah ditangkap oleh Mabes Polri. [EL, Ant]
CiKEAS Ketika Wartawan Kepresidenan Lelah Menunggu Tanpa Berita
http://www.antara.co.id/arc/2007/9/18/ketika-wartawan-kepresidenan-lelah-menunggu-tanpa-berita/ 18/09/07 01:11 Ketika Wartawan Kepresidenan Lelah Menunggu Tanpa Berita Oleh Roike Sinaga Padang (ANTARA News) - Sejumlah wartawan media cetak dan elektronik yang ikut mendampingi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meninjau korban gempa ke Bengkulu dan Sumatera Barat tampaknya tidak kuasa menahan rasa dongkol, terutama menyangkut jadwal yang tidak jelas. Ketidakjelasan itu sudah terlihat sejak rombongan mau berangkat dari Jakarta melalui Pangkalan TNI AU Halim Perdanakusuma, Senin pagi, yang jadwalnya molor dari pukul 07.00 WIB menjadi pukul 07.30 WIB. Petugas jurnalistik yang dianggap bagian dari perangkat Kepresidenan memang kadang dihadapkan pada ketidakjelasan jadwal yang dikeluarkan Biro Pers dan Media Istana Kepresidenan. Di satu sisi, wartawan selalu ditekankan harus tepat waktu, sesuai dengan jadwal yang ditetapkan, namun di sisi lain jadwal yang dikeluarkan terkadang kurang akurat, dan bahkan sering molor tanpa penjelasan. Seorang wartawan LaTivi yang akan meliput kegiatan Presiden ke Bengkulu dan Sumatera Barat, misalnya, telah hadir di Pangkalan TNI AU, sejak pukul 04.50, meski jadwal keberangkatan pukul 07.00 WIB, yang disusul wartawan lainnya. Presiden bersama rombongan termasuk wartawan menggunakan pesawat Kepresidenan akhirnya berangkat, walaupun waktunya molor setengah jam, dan tiba di Bandara Fatmawati Soekarno Bengkulu, sekitar pukul 09.00 WIB. Kepala Negara yang didampingi Ibu Ani Yudhoyono dan sejumlah menteri seperti Menteri PU Djoko Kirmanto, Menkes Siti Fadilah Supari, Panglima TNI Marsekal TNI Djoko Suyanto, dan Wakil Ketua DPD-RI Bambang Suroso, langsung meninjau Satkorlak Provinsi Bengkulu, guna mendengarkan paparan dari Gubernur Bengkulu Agusrin M Najamudin, sekaligus memberi bantuan secara simbolis kepada korban. Satu jam kemudian, Presiden bersama rombongan berangkat menggunakan empat helikopter menuju Kabupaten Muko-Muko di Bengkulu Utara, yang dilanjutkan ke Kecamatan Lunang Silaut, Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat, dan setelah itu menggunakan kendaraan mobil ke Balai Salasa, Kecamatan Rana Pesisir. Gempa teknonik berkekuatan 7,9 pada Skala Richter mengguncang Bengkulu dan Sumbar pada Rabu (12/9) pukul 18.10.23 WIB dan diikuti beberapa kali gempa susulan di beberapa daerah termasuk Padang, Sumatera Barat. Hingga Minggu pagi, korban meninggal akibat gempa tersebut tercatat 23 orang, 88 orang luka-luka, baik luka berat atau ringan. Para korban meninggal dunia itu tersebar di sejumlah lokasi yakni di Bengkulu Utara enam (6) orang, Padang (3), Bengkulu (2), di Mentawai (3), satu orang di Jambi, satu orang di Solok dan tujuh orang di Kabupaten Mukomuko. Selain itu, bencana alam tersebut juga memporakporandakan sejumlah rumah penduduk, lahan pertanian, dan berbagai fasilitas umum. Dari sisi pemberitaan, melihat lokasi dan korban gempa merupakan suatu pengalaman berharga yang bagus diwartakan kepada masyarakat. Namun, dari empat helikopter yang tersedia, wartawan yang bisa ikut meliput hanya tiga media. Bahkan, wartawan ANTARA News yang sedianya sudah dijadwalkan ikut bersama rombongan, terpaksa tidak bisa ikut serta. Seorang wartawan media televisi swasta yang tidak bersedia menyebutkan jati dirinya mengatakan, Percuma saja jauh-jauh dari Jakarta, kalau tidak bisa ikut meliput dari dekat. Bahkan ia menengarai, ketidaksiapan Biro Pers menyediakan tempat bagi sejumlah wartawan karena banyak di antara rombongan yang ikut justru adalah orang-orang yang tidak jelas. Wartawan yang tidak bisa berangkat dengan helikopter Kepresidenan, akhirnya berangkat ke Sumbar dari Bandara Fatmawati Bengkulu sekitar pukul 11.20 WIB, dan tiba di Bandara Minangkabau sekitar pukul 12.00 WIB. Setelah itu, wartawan kemudian digiring ke salah hotel di kawasan Jalan Gereja, di Kota Padang. Di sini, lagi-lagi jadwal tidak jelas. Wartawan sempat istirahat sekitar satu setengah jam, untuk selanjutnya dengan menggunakan mobil menuju ke kediaman atau rumah dinas Bupati Painan, Kabupaten Pesisir, Sumbar. Dalam suasana puasa, perjalanan dengan waktu tempuh sekitar 2,5 jam itu tentu menambah lelah. Berharap dapat bertemu dengan Presiden untuk menanyakan ihwal kunjungan ke lokasi gempa, wartawan tetap antusias karena sejak siang hari wartawan tidak memperoleh berita yang akan dikirim ke redaksi masing-masing. Menurut informasi dari Biro Pers Istana, Presiden akan memberikan keterangan pers sekitar pukul 21.00 WIB, di hadapan para bupati, walikota dan unsur Muspida se-Sumbar. Wartawan yang sebelumnya sedikit mengumpat karena jadwal yang tidak jelas tersebut, sedikit banyak terobati setelah mendapat suguhan buka puasa di kediaman Bupati. Sekitar pukul 21.15 WIB, raungan sirine rombongan Presiden memasuki halaman rumah dinas Bupati. Wartawan yang sudah lelah menunggu, sedikit memancarkan wajah sumringah karena berharap dapat berita dari
CiKEAS Beasiswa Studi di Eropa - PhD Website Information System
Beasiswa Studi di Eropa - PhD Website Information System Koran Online KabarIndonesia menyajikan secara berkala berita-berita mengenai beasiswa yang diberikan oleh negara-negara Eropa, Australia maupun Amerika. Tertarik Klik Daftar Jadi Penulis di www.kabarindonesia.com Oleh : Djoko Suryo 15-Sep-2007, 19:56:42 WIB - [www.kabarindonesia.com] http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=13dn=20070915193858 KabarIndonesia - Tawaran untuk mendapatkan beasiswa studi di Eropa - PhD Website Information System. Apakah anda tertarik untuk bisa mendapatkan beasiswa studi di Eropa (Belgia) agar bisa meraih gelar PhD Website Information System? Koran Online KabarIndonesia Anda bisa bekerja sambil kuliah di Eropa tepatnya di Belgia untuk mendapatkan gelar PhD dari Vrije Universiteit Brussel. Berita selengkapnya dalam bahasa Inggris bisa dibaca dibawah ini: Author: Geert-Jan Houben [EMAIL PROTECTED] Subject: PhD-positions in Web Information Systems at Vrije Universiteit Brussel Body: The Vrije Universiteit Brussel is searching for candidates for PhD-positions in Web Information Systems for a number of projects funded by different organizations, ranging from the Brussels region to the EU. The candidates will work as members of the WISE research group in the Computer Science department at the Vrije Universiteit Brussel. WISE research is concentrated on advanced technology for large-scale Web information systems, with topics that include but are not limited to: Web Engineering, design methodologies for Web information systems, data transformation, adaptation, Semantic Web technology and semantic interoperability. The projects we are now hiring for differ in their specific requirements, and the participation of the new group members will depend on prior experience and skills. As an example, one project concerns variability in software-intensive product development and WISE will focus on modeling relevant aspects of configurability in a software product. Another project concerns semantic interoperability, in particular the large-scale, distributed sharing of user models for personalized Web applications. A third project concerns theory and tools for the optimization of storing and querying Semantic Web data in distributed systems. Successful candidates should possess the following knowledge and skills: - advanced information systems design modeling - (Semantic) Web technologies and languages - good programming skills, ability to develop proof-of-concept tools - basic software engineering methods and techniques Knowledge in one or more of the following areas will be considered a plus: - variability configurability in software products - Semantic Web languages, e.g. RDF(S) - ontology-based reasoning techniques - adaptation personalization - aspect-oriented software development We invite candidates that are interested in these positions to contact prof.dr.ir. Geert-Jan Houben via email [EMAIL PROTECTED] mentioning Vacancies in the subject of the email and attaching a CV with relevant details on prior education, skills and experience. Blog: http://pewarta-kabarindonesia.blogspot.com/ Alamat ratron (surat elektronik): [EMAIL PROTECTED] Berita besar hari ini...!!! Kunjungi segera: http://kabarindonesia.com/
CiKEAS Diskriminasi pada Warga Tionghoa Masih Terjadi
http://www.gatra.com/artikel.php?id=107846 Diskriminasi pada Warga Tionghoa Masih Terjadi Pontianak, 17 September 2007 06:56 Praktik administrasi kependuduk masih sering menerapkan cara-cara lama yang diskriminatif terhadap masyarakat dari warga Tionghoa, walaupun praktik seperti itu semestinya sudah ditinggalkan, apalagi DPR dan pemerintah telah mengesahkan UU tentang Kewarganegaraan yang baru. Saya tadi terima laporan mengenai praktik yang menyimpang.Tidak releven lagi jika ada aparat masih menanyakan Surat Bukti Kewarganegaraan RI (SBKRI), kata Ketua DPR Agung Laksono dalam dialog dengan masyarakat Tionghoa di Singkawang, Kalimantan Barat, akhir pekan lalu. Masyarakat Tionghoa mempertanyakan masih adanya persyaratan SBKRI saat mengurus dokumen kependudukan, seperti KTP dan paspor di beberapa daerah. Agung menyatakan prihatin masih adanya pratik penyimpangan seperti itu. SBKRI sudah tak ada, sudah tidak diberlakukan lagi. Kalau ada pejabat yang masih menerapkan cara-cara lama berarti menyimpang dari UU itu, katanya. Agung menyatakan tidak ada lagi diskriminasi dan jangan dibiarkan adanya penyimpangan terhadap UU tentang Kewarganegaraan. Jangan ada lagi perlakukan perbedaan. Dimasa lalu banyak praktik penyimpangan. Sekarang ada perubahan, perlakuan harus sama terhadap semua masyarakat. Kita tak bicara masalah-masalah lama, tetapi bagaimana membangun negeri ini bersama ke depan, katanya. Walikota Singkawang Awang Ishak menyatakan, untuk wilayah Singkawang, warga Tionghoa diperlakukan sama dengan warga lain. Sama sekali tidak ada perbedaan dan diskriminasi. Tak ada perbedaan apa pun, bahkan di KTP tak ada keterangan apa pun. Tidak ada persyaratan apa pun, katanya. Dia menyatakan, tak ada pungutan-pungutan yang membebani dan warga Tionghoa. Begitu juga tidak ada pungutan-pungutan dalam mengurus izin usaha. Kalau ada sesuai ketentuan resmi. Kecuali warga Tionghoa mengurus izin melalui calo, katanya. Mengenai masih adanya persyaratan SBKRI dalam mengurus dokumen kependudukan, walikota yang mencalonkan kembali dalam Pilkada 15 Nopember 2007 menjelaskan, untuk KTP tak ada persyaratan harus menyertakan SBKRI. Kalau untuk wilayah Singkawang tak ada perbedaan, sama dengan warga lainnya. Kecuali untuk paspor di Imigrasi. Itu (Imigrasi) tidak di bawah instansi yang saya pimpin, katanya. [EL, Ant]
CiKEAS Golkar Mau Menang Sendiri
Refleksi: Golkar menang, banteng lesu yang berteduh dibawah beringing nan rindang pun bersyukur senang mega gembira.. http://www.pontianakpost.com/berita/index.asp?Berita=Editorialid=142807 Selasa, 18 September 2007 Golkar Mau Menang Sendiri KETUA Umum DPP Golkar M. Jusuf Kalla Jumat lalu (14 September 2007) menegaskan bahwa partainya tidak akan lagi menggunakan sistem konvensi untuk menjaring calon presiden (capres) 2009. Ada dua argumentasi yang disodorkan Kalla tentang pandangannya meniadakan konvensi. Pertama, konvensi tidak diatur dalam AD/ART Golkar. Dalam AD/ART, capres Golkar hanya ditentukan melalui rapimnas (rapat pimpinan nasional). Kedua, konvensi yang dilakukan Golkar untuk menjaring capres pada 2004 terbukti gagal. Dalam hal ini, konvensi tidak menghasilkan calon yang berbobot. Wiranto yang lolos dalam konvensi Golkar bukan kader yang baik. Buktinya, dia kalah dalam pilpres. Bahkan, kata Kalla, Salahuddin Wahid yang saat itu pemimpin partai lain bisa lolos konvensi untuk calon wakil presiden -berpasangan dengan Wiranto. Argumentasi Kalla ini sepintas dapat dinalar. Juga dapat dipahami. Memang, untuk apa menyelenggarakan konvensi kalau kemudian yang menang orang lain. Bukan tokoh Golkar. Apalagi sistem konvensi itu jelas-jelas tidak ada dalam konstitusi Golkar. Bukankah tujuan partai adalah meraih kekuasaan bagi kader-kadernya sendiri? Tetapi, argumentasi Kalla itu menjadi mentah manakala dipulangkan kepada situasi Golkar saat itu. Ketika dipimpin Akbar Tandjung saat itu, Golkar praktis tidak punya kader yang memiliki kapasitas untuk bertanding dengan kader parpol lain dalam pilpres. Hanya sistem konvensi -yang membuka peluang tokoh nonstruktural Golkar serta tokoh nonkader Golkar- yang memungkinkan Golkar mendapatkan capres yang bisa bersaing dengan capres-capres parpol lain. Golkar saat itu juga baru pulih dari demoralisasi politik yang menimpanya setelah dicaci maki sebagai parpol yang menjadi alat kekuasaan pemerintahan otoriter Orde Baru yang korup. Dengan konvensi, Golkar pelan-pelan meraih kembali legitimasi politiknya setelah hancur lebur bersamaan dengan runtuhnya rezim Orde Baru. Kalau sekarang Kalla tidak butuh konvensi, itu berarti dia percaya diri berlebihan. Menganggap legitimasi Golkar telah pulih. Merasa bahwa rakyat sudah percaya lagi terhadap Golkar. Golkar mulai cuek. Tidak butuh lagi dukungan moral tokoh nonkader dengan tidak membuka pintu menjadi capres atau cawapres Golkar melalui konvensi yang bersifat terbuka. Padahal, konvensilah salah satu yang menjadi media untuk meraih kembali legitimasi Golkar. Dengan kata lain, dapatlah dianggap bahwa argumentasi Kalla -tentang tidak perlunya lagi konvensi untuk menjaring capres-cawapres- sebagai kembalinya watak asli Golkar. Dalam hal ini, partai warisan rezim bertangan besi Orde Baru yang otoriter hanya mau jadi alat kekuasaan dan kendaraan politik para penguasa Golkar di jajaran DPP (Dewan Pimpinan Pusat) untuk merengkuh kekuasaan politik. Dengan mengubur konvensi, Golkar kembali eksklusif. Tertutup bagi tokoh nonkader Golkar untuk meraih kekuasaan dengan menggunakan Golkar sebagai kendaraan dan mesin politiknya untuk memenangkan kontestasi politik.**
CiKEAS SBY Tegur Gubernur Bengkulu
http://www.pontianakpost.com/berita/index.asp?Berita=Utamaid=142816 Selasa, 18 September 2007 SBY Tegur Gubernur Bengkulu Merasa Disuguhi Data Tak Valid Bengkulu,- Raut muka Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) langsung berubah begitu mendengar paparan Gubernur Bengkulu Agusrin M. Najamudin seputar musibah yang terjadi di provinsinya. Tujuh kali SBY harus menginterupsi paparan gubernur karena data yang ditampilkan dianggap kurang akurat. Rombongan SBY kemarin datang ke Bengkulu untuk meninjau dari dekat lokasi gempa dan perkembangan terakhir penanganan para korban. Presiden yang didampingi Ibu Negara Ny Ani Yudhoyono dan sejumlah menteri mendarat di Bandara Fatmawati Soekarno, Bengkulu, sekitar pukul 08.40. Begitu tiba, SBY langsung menuju Posko Satkorlak Penanggulangan Bencana dan Pengungsi (PBP) di halaman Kantor Gubernur Bengkulu. Di sinilah suasana tak enak bermula. Agusrin yang baru tiga hari berada di Bengkulu -setelah pulang dari Amerika Serikat- langsung memberikan paparan kepada SBY mengenai situasi pascagempa 12 September lalu. Menurut Agusrin, gempa berkekuatan 7,9 SR, 12 September lalu, menyebabkan 14 orang meninggal, 12 luka berat, dan 26 luka ringan. ''Kalau dilihat dari jumlah korban, memang sedikit. Sepertinya tidak terlalu dahsyat gempa ini. Tapi kalau dilihat dari kerusakan yang terjadi, memang seperti aneh,'' katanya. Dia mengklaim, minimalnya korban itu disebabkan sosialisasi yang telah jauh-jauh hari dilakukan pihaknya kepada masyarakat tentang cara penyelamatan dari gempa. Kebetulan, kata Agusrin, gempa terjadi sore hari sehingga masyarakat cepat keluar dari rumah. Jumlah rumah yang rusak sangat banyak, mencapai 27.600. Rinciannya, 7.839 rusak total, 6.801 rusak berat, dan 13 ribu rusak ringan. Sekolah yang rusak mencapai 885. Sedangkan kantor yang rusak 300. Dan masih banyak kerusakan lain yang dirinci Agusrin. Inilah interupsi pertama SBY kepada Agusrin. ''Ini data apa, sudah diverifikasi atau belum?'' tanya SBY dengan nada tegas. ''Ini data awal dari bupati,'' jawabnya. Agusrin memaparkan, kerusakan terparah terutama di Mukomuko dan Bengkulu Utara. ''Meski demikian, kerugian belum bisa dikalkulasi,'' jelas ketua DPD I Partai Demokrat Bengkulu itu. Menurut dia, sebagian masyarakat, terutama anak-anak, masih trauma dan tidak mau tinggal di rumah. Ini menyebabkan kebutuhan tenda dan selimut sangat besar. Begitu juga dengan pakaian. Agusrin menyebut, kebutuhan pakaian dan selimut mencapai 83 ribu. Kembali SBY menyela. ''Kalau kebutuhan pakaian 83 ribu, asumsinya pakaian mereka sudah tidak ada lagi. Apakah selimut yang 83 ribu itu dihitung jumlah rumah korban dikalikan sekian penghuninya? Apakah ini jumlahnya atau memang dilihat yang dibutuhkan di lapangan?'' tanya SBY. Agusrin mulai gelagapan. ''Tentu tidak. Kita melihat apa yang dibutuhkan dan mana yang tidak. Ini sesuai dengan permintaan para bupati. Dan mana yang paling urgen kita lihat untuk disuplai,'' jelasnya. Saat Agusrin menyebut kebutuhan tenda regu untuk sekolah mencapai 6.000 unit lebih, SBY kembali menginterupsi. ''Pengalaman di Aceh, Jogja, kebutuhan tenda regu sekitar 600. Kalau seperti ini datanya tidak valid, susah,'' kata SBY. Kepada presiden, Agusrin yang tampak pucat itu berjanji akan memverifikasi data yang ada. ''Ini hanya data yang sekadar diajukan. Tentu tidak semuanya. Kalau memang berdasar hasil verifikasi tidak mungkin terpenuhi, kami tidak akan memenuhi,'' ujarnya. Agusrin juga mengeluh kesulitan mengidentifikasi dan membagi sembako. Ini karena sejumlah pejabat di tingkat kecamatan dan desa juga ikut mengungsi. ''Di Mukomuko, termasuk bupati dan camat ikut mengungsi karena situasinya sangat menakutkan,'' terangnya. Selain itu, medan yang sangat berat dan sulit terjangkau serta keterbatasan jalan darat yang cukup panjang membuat suplai bantuan terlambat. Tidak Tidur Tujuh Malam Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) meminta semua pemimpin, baik di level gubernur hingga kepala desa di Bengkulu, turun ke lapangan. Saya tidak bisa menerima alasan, justru pada saat genting, pemimpin tidak menjalankan tugas kepemimpinannya, kata SBY dalam sambutannya di Posko Satkorlak Penanggulangan Bencana dan Pengungsi (PBP) di halaman Kantor Gubernur Bengkulu kemarin. Pernyataan SBY tersebut sekaligus menyindir Agusrin yang saat gempa terjadi berada di Amerika Serikat (AS). Gubernur yang dicalonkan PKS itu berada di AS sejak 23 Agustus dan dijadwalkan pulang 25 September. Begitu gempa melanda Bengkulu, Agusrin pulang lebih awal dan tiba di Bengkulu pada 14 September. Selain itu, SBY menyindir Bupati Mentawai Edison Saleleubaja yang sampai saat ini masih berada di Jakarta karena libur awal puasa. Padahal, pada rapat kabinet terbatas di Halim Perdanakusuma 13 September lalu SBY sudah mengimbau semua kepala daerah yang berada di luar kota maupun luar negeri agar segera pulang untuk memimpin kegiatan tanggap darurat. Menurut SBY,