RE: [iagi-net-l] Incentives needed in Indonesia oil and gas search

2006-01-04 Terurut Topik Achmad Luthfi
Dalam kepengurusan IAGI ada tim adhoc utk pertimbangan hokum, kebetulan
senior saya Pak Zanial sedang mengambil magister hukum di UNPAD dan
thesisnya adalah Kontrak Kerjasama (KKS) diluar PSC, saya pernah bicara
dgn beliau utk agar bersedia terlibat dalam tim adhoc pertimbangan hukum
IAGI, beliau tdk keberatan, nantinya thesis beliau bisa dimanfaatkan
oleh IAGI utk membuat pembaharuan dalam KKS mendatang.


Salam,
LTH

-Original Message-
From: [EMAIL PROTECTED] [mailto:[EMAIL PROTECTED] 
Sent: Wednesday, December 28, 2005 8:54 AM
To: iagi-net@iagi.or.id
Subject: Re: [iagi-net-l] Incentives needed in Indonesia oil and gas
search

>
  Rekan rekan

  Benar yang dikatakan Andang , sebenarnya Pemerintah sejak UU No
22/2001 s
  sudah memberikan "keleluasaan" sistim pengoperasian KKS.
  Jelas dalam UU tsb , bahwa sistim PSC bukan satu satunya sistim yang
  akan dipakai (bukan berarti bahwa sistim ini buruk), tetapi tergantung
  mana mana yang paling menguntungkan Negara.Hal ini diperjelas lagi
dalam
  PP 35/ 2004 , walaupun pasal pasalnya kelihatan lebih banyak mengatur
  kontrak PSC.
  Saya kira sebabnya adalah , karena bentuk bentuk kerja sama yang lain
  belum ada referencenya.
  Nah disinilah tugas kita profesioanl untuk menyusun suatu wacana
mengenai
  kontrak yang sesuai dengan "bayi bayi cantik" -nya ADB.

  Tantangan ADB , yaitu kita harus lebih berperan , bukan untuk supaya
  kita "terlihat" , tetapi karena dibutuhkan sehingga perhitungan /
analisa
  para ekonoom , dan ahli reserves economics bisa lebih tajam dan
  memberikan opsi opsi yang wajar dan saling menguntungkan bagi Negara
dan
  para pengusaha.

  Mungkin KETUM yang baru akan membentuk suatu kelompok pemikir dari
  IAGI (saja dulu) sebagai pendorong ?

  Si Abah.




  Salah satu bentuk insentif yang jarang sekali dibicarakan, terutama
oleh
> kawan-kawan G&G -walaupun sebenarnya itu adalah domain utama
kompetensi
> kita-, adalah "merawat, mengembangkan, melatih, mendidik, dan
mendandani"
> BAYI-BAYI CANTIK kita, baik yang terselip di lapangan2 "tua" di 16
> cekungan
> yang sudah dianggap matang di Indonesia, maupun (terutama) di 50
cekungan
> lain di Indonesia.
>
> Selama ini, pembicaraan tentang "insentif" didominasi oleh hal-hal
yang
> bersifat economic, finance, bisnis, pajak, dsbnya. Hal itu tidak
> mengherankan, karena sebagian besar pengambil kebijakan dan pembuat
opini
> di
> industri migas hulu kita adalah para birokrat professional yang fasih,
> faham, dan terdidik dengan masalah economics terutama dengan paradigma
> "reserves-economy" bukan "resources-economy". Mungkin Pak Purnomo, Pak
> Iin,
> Pak Rahmat Sudibyo, Pak Kardaya, Pak Martiono, Pak Widya, Pak Kurtubi,
Pak
> Hutapea memang betul-betul ahli tentang masalah tersebut, tetapi pada
> umumnya, karena latar belakang mereka adalah engineering, economy,
> management, dimana pemahaman dan penghayatan tentang faktor "seni" dan
> "resiko" dalam eksplorasi sumberdaya mereka tidak se"intensive"
> kawan-kawan
> praktisi G&G eksplorasionis, maka yang mereka kutak-kutik selama ini
> cenderung lebih berat ke kebijakan untuk "komoditi" yang sudah jadi
> "reserves". Tidak bisa dipungkiri bahwa kebijakan-kebijakan untuk
membuat
> resources menjadi reserves-pun sudah pula digariskan dan
> diimplementasikan;
> tetapi -ya itu tadi- titik beratnya selalu pengaturan masalah split,
> pajak,
> investment credit, dan hal2 yang berbau economics. Sementara itu
> "BARANG"nya
> sendiri alias komoditinya: jarang sekali diutak-utik, didandani,
> disegarkan,
> dicarikan konsep-konsep baru, dan yang terutama: DITAMBAHi DATAnya.
>
> Sub Direktorat Penyiapan Lahan dibawah Direktorat Eksplorasi Ditjen
Migas
> setiap tahun bertugas untuk mendadani bayi-bayi cantik kita berupa
> open-block/area untuk ditawarkan ke investor berupa kontrak kerjasama
> (PSC).
> Mungkin tidak lebih dari 2 Juta Dollar dianggarkan untuk penyiapan
lahan
> tersebut. Tahun 2005 ada 14 open area yang ditawarkan, studi penyiapan
> lahan
> setiap blok menelan biaya +/- USD100K, ditambah administrasi, data,
> hardware(?) dll, sehingga angka 2 Juta Dollar untuk penyiapan lahan
tsb
> bisa
> saja cukup realistis (kalau ada kawan2 yang tahu silakan koreksi).
> Signature
> bonus untuk tiap blok minimal 500K USD (disyaratkan mutlak dalam bid
> 2005),
> dan firm-commitment 3 tahun tiap blok bisa bervariasi antara 5 - 25
Juta
> Dollar, ambil saja rata2 15 Juta Dollar. Jadi, untuk mendapatkan
pemasukan
> negara bukan pajak yang PASTI minimum 7 Juta USD dan investasi 230
Juta
> USD,
> Pemerintah hanya perlu mengeluarkan  28,5% dari pendapatan langsung
> signature-bonus atau 0.87% dari potensi investasinya. Memang kalau
> d

RE: [iagi-net-l] Incentives needed in Indonesia oil and gas search

2006-01-04 Terurut Topik Achmad Luthfi
Ya memang kalo bicara masalah bisnis itu tidak hanya masalah teknis dan
hukum semata, sisi lain adalah politis. Waktu Exxon merger dengan Mobil
Oil dimuat analisis dan wawancara oleh majalah FORTUNE kalo gak salah
terbitan Oktober 2001, dalam wawancara dg Raymon Rene (president Exxon
kemudian menjadi presiden ExxonMobile) dan Lucionoto (presiden MobilOil
yg kemudian menjadi wakilnya Rene di ExxonMobil) mengatakan bahwa
ExxonMobil adalah super giant kemana kita mau pergi tak satupun ada
kekuatan yang bisa menghalangi termasuk pemerintah...Lha ini
kelihatannya yg terjadi Cak Rene dan Mas Noto mau pergi ke Cepu jadi
tampaknya bener siapa yang bisa menghalangiwong kata Cak Ariadi
semua bungkam...

Salam,
LTH 

-Original Message-
From: Ariadi Subandrio [mailto:[EMAIL PROTECTED] 
Sent: Thursday, December 29, 2005 8:56 AM
To: iagi-net@iagi.or.id
Subject: Re: [iagi-net-l] Incentives needed in Indonesia oil and gas
search

Abah,
  yang pertama2 mengeluarkan statement (opini) adalah pers asing
(REUTERs, Bloomberg, dsb). nah pers kita kan lebih merasa percaya diri
kalau mengambil source-nya dari asing (pokok e bau asing adalah benar).
Jadilah opini-nya tergoreng seperti yang Abah resahkan itu, dimana fakta
yang terbalik itu menjadi kebenaran, bahkan "kebenaran"nya itu dipercaya
oleh para pemegang otoritas dan lebih sedihnya "kebenaran terbalik" itu
juga menjadi pegangan-e Pertamina, ini yang lebih amburadul. Sayangnya
masalah Information Route seperti ini tak masuk dalam RUU Penyiaran,
kita disibukkan dengan udel nya Sarah Azhari saja.
   
  Bicara Cepu di Pertamina rasanya sama dengan bicara G-30S jaman
Soeharto. Walau "hak"nya blok Cepu adalah hak Pertamina, tapi semua
bungkam, semua gak ada yang bicara pada proporsi yang sepantasnya,
sesuai haknya, semua nurut pada Tim Pemerintah yang suaranya dianggap
seperti Dewa yang gak pernah punya salah, Tim yang tak pernah tau dunia
bisnis minyak itu. Tak ada yang mengkritisi rencana2 yang
digembargemborkan ExxonMobil. Tak ada yang bicara review biaya POD
hingga 2 Milyar Dolar lebih didaerah onshore yang secara infrastruktur
sangat matang itu. Tak ada yang mempersoalkan foreigners EM kudu naik
chopper dari Juanda ke Bojonegoro. Tak ada yang memberikan pendapat atas
biaya H2S mengakibatkan cost operation sampai 2 kali lipat, dsb, dsb.
   
  Haruskah nungggu Hugo Chavez? atau Ahmadinejad?
   
   
  lam-salam,
  ar-.
  

[EMAIL PROTECTED] wrote:
  > >> Incentives needed in Indonesia oil and gas search
>> Date: 19/12/2005
>>
>>

--
> --
>>
>> Indonesia must find new ways to attract foreign investors to search
for
>> Warnika said he hoped for a breakthrough soon in the dispute over who
>> will operate the Cepu field, Warnika said.
>>
>> The field on Java island, which has the potential to raise
Indonesia's
>> output by 20 percent, is one of Exxon's biggest undeveloped fields
with
>> estimated recoverable reserves of 600 million barrels of oil

Rekans

Coba baca kalimat diatas , betapa jahatnya pers yang menjadikan
masyarakat (termasuk masyarakat awam di Indonesia) , jadi beranggapan
bahwa lapangan itu adalah miliknya ExxonMobil dan bukannya milik
Pertamina.
Ya , jelas investor lainnya menganggap ini suatu hal yang negatip,
dan ini bahkan digembar gemborkan seolah olah Pertamina meminta sesuatu
yang bukan haknya.

Kita sih tahu bagaimana a real story -nya , akan tetapi setelah dimasak
oleh pers , dan dimatangkan oleh oknum oknum (termasuk dari pemerintah)
sehingga seolah-olah justru Pertamina yang menghalangi proses ini.

Kan lucu , Pertamina diobok obok oleh kawan sekampungnya ,dengan alasan
alasan macam macam sedangkan Exxon Mobil dengan bantuan pemerintahnya
secara leluasa melakukan kampanye "company image"na dikoran koran.

Andaikan Bung Karno masih bisa mendengar dialam baka sana 
>> mungkin beliau akan menyesal wafat terlau dini , Wallahualam

Si Abah.
>>


-
To unsubscribe, send email to: iagi-net-unsubscribe[at]iagi.or.id
To subscribe, send email to: iagi-net-subscribe[at]iagi.or.id
Visit IAGI Website: http://iagi.or.id
IAGI-net Archive 1: http://www.mail-archive.com/iagi-net%40iagi.or.id/
IAGI-net Archive 2: http://groups.yahoo.com/group/iagi
Komisi Sedimentologi (FOSI) : Ratna Asharina
(Ratna.Asharina[at]santos.com)-http://fosi.iagi.or.id
Komisi SDM/Pendidikan : Edy Sunardi(sunardi[at]melsa.net.id)
Komisi Karst : Hanang Samodra(hanang[at]grdc.dpe.go.id)
Komisi Sertifikasi : M. Suryowibowo(soeryo[at]bp.com)
Komisi OTODA : Ridwan Djamaluddin(ridwan[at]bppt.go.id atau
[EMAIL PROTECTED]), Arif Zardi Dahlius(zardi[at]bdg.centrin.net.id)
Komisi Database Geologi : Aria A. Mulhadiono(anugraha[at]centrin.net.id)

Re: [iagi-net-l] INcentives Needed In Indonesia Oil And Gas search

2005-12-29 Terurut Topik Asep Saripudin
Pak Ismail,
  sedikit koreksi...
  tentang Ketenagalistrikan, dalam Undang-undang yang lama (UU no 15 tahun 
1985) penyediaan tenaga listrik untuk umum bisa dengan 2 cara :
  1. Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan (PKUK) , dalam hal ini PLN
   
  2. Pemegang Izin Usaha Ketenagalistrikan (PIUKU) untuk kepentingan umum, bisa 
di  lakukan oleh BUMD, swasta dan swadaya masyarakat.
  adapun perizinannya di keluarkan oleh Bupati/ walikota, Gubernur atau menteri 
sesuai kewenangannya (PP 3 tahun 2005 pasal 6 ayat 4) bukan oleh pihak PKUK.
   
  Tentang UU ketegalistrikan yang di cabut, penyebab utamanya bukan karena 
penyediaan listrik bisa oleh swasta, karena dalam UU yang lama pun hal tersebut 
sudah di atur, tetapi lebih kepada PKUK yang "bundle" menjadi "unbundle". 
   
   
  Salam,
  Asep
  

ismail <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
  Berbagai permasalahan di industri Migas ini mungkin salah satunya akibat 
kebijakan baru, menyusul adanya UU Migas , meskipun pakai baju beragam ( 
Departemen , BHMN maupun BUMN ) yang sebetulnya semuanya sama sama
membawakan "Misi Negara /Pemerintah " dan meskipun sama sama "wakil 
pemerintah" ternyata mempunyai sudut pandang yg berbeda beda.
Pembagian peran spt ini "hampir" terjadi di Industri Energi yang lain ( 
listrik) apabila UU nya tidak dibatalkan oleh MK ( UU No.20 / 2002 ) , 
dimana ada ( Departemen , BHMN ( Bapetal spt BP Migasnya ) dan BUMN ( PLN 
spt Pertaminanya). Akhirnya setelah dibatalkan kembali ke UU lama ( UU No.15 
/ 1985).
Dalam hal UU yg lama tsb . Pemerintah memberikan Kuasa Usaha 
Ketenagalistrikan "Hanya" kepada BUMN ( PLN) saja , bukan kepada Badan Usaha 
/ Bentuk Usaha Tetap ( dalam UU yang dicabut tsb Usaha Ketenaga listrikan 
bisa diberikan kepada siapapun /Badan Usaha diluar PLN). Nah disinilah peran 
sentral BUMN yg mengendalikan Pengusahaannya.Semua Badan Usaha / Bentuk 
Usaha Tetap( swasta / asing ) hrs "kulonuwun" dulu ke BUMN tadi untuk ikutan 
mengelola / mengusahakan komoditi tsb. BUMN tadi ( yang diberi Kuasa oleh 
Negara / Pemerintah ) punya posisi tawar yang kuat bisa bilang "ya" atau 
"tidak".terhadap Badan Usaha/Bentuk Uasaha Tetap yang lain/asing.
Meskipun kedua UU tadi ( Migas dan Kelistrikan) dipermasalahkan di MK , 
Kenapa ya kalau UU Migas bisa diloloskan oleh MK tapi kalau UU Kelistrikan 
dibatalkan oleh MK ? padahal felosofi penmgelolaan kedua komoditas negara 
yang menyangkut hajat hidup orang banyak ini di kedua UU tsb relatif sama .

Ism


Subject: Re: [iagi-net-l] Incentives needed in Indonesia oil and gas search


> Abah,
> yang pertama2 mengeluarkan statement (opini) adalah pers asing (REUTERs, 
> Bloomberg, dsb). nah pers kita kan lebih merasa percaya diri kalau 
> mengambil source-nya dari asing (pokok e bau asing adalah benar). Jadilah 
> opini-nya tergoreng seperti yang Abah resahkan itu, dimana fakta yang 
> terbalik itu menjadi kebenaran, bahkan "kebenaran"nya itu dipercaya oleh 
> para pemegang otoritas dan lebih sedihnya "kebenaran terbalik" itu juga 
> menjadi pegangan-e Pertamina, ini yang lebih amburadul. Sayangnya masalah 
> Information Route seperti ini tak masuk dalam RUU Penyiaran, kita 
> disibukkan dengan udel nya Sarah Azhari saja.
>
> Bicara Cepu di Pertamina rasanya sama dengan bicara G-30S jaman Soeharto. 
> Walau "hak"nya blok Cepu adalah hak Pertamina, tapi semua bungkam, semua 
> gak ada yang bicara pada proporsi yang sepantasnya, sesuai haknya, semua 
> nurut pada Tim Pemerintah yang suaranya dianggap seperti Dewa yang gak 
> pernah punya salah, Tim yang tak pernah tau dunia bisnis minyak itu. Tak 
> ada yang mengkritisi rencana2 yang digembargemborkan ExxonMobil. Tak ada 
> yang bicara review biaya POD hingga 2 Milyar Dolar lebih didaerah onshore 
> yang secara infrastruktur sangat matang itu. Tak ada yang mempersoalkan 
> foreigners EM kudu naik chopper dari Juanda ke Bojonegoro. Tak ada yang 
> memberikan pendapat atas biaya H2S mengakibatkan cost operation sampai 2 
> kali lipat, dsb, dsb.
>
> Haruskah nungggu Hugo Chavez? atau Ahmadinejad?
>
>
> lam-salam,
> ar-.
>
>
> [EMAIL PROTECTED] wrote:
> > >> Incentives needed in Indonesia oil and gas search
>>> Date: 19/12/2005
>>>
>>> --
>> --
>>>
>>> Indonesia must find new ways to attract foreign investors to search for
>>> Warnika said he hoped for a breakthrough soon in the dispute over who
>>> will operate the Cepu field, Warnika said.
>>>
>>> The field on Java island, which has the potential to raise Indonesia's
>>> output by 20 percent, is one of Exxon's biggest undeveloped fields with
>>> estimated recoverable reserves of 600 mi

Re: [iagi-net-l] INcentives Needed In Indonesia Oil And Gas search

2005-12-29 Terurut Topik ismail
Berbagai permasalahan di industri Migas ini  mungkin salah satunya akibat 
kebijakan baru,  menyusul adanya UU Migas ,  meskipun pakai baju beragam ( 
Departemen , BHMN maupun BUMN ) yang sebetulnya semuanya sama sama
membawakan "Misi  Negara /Pemerintah " dan meskipun sama sama "wakil 
pemerintah" ternyata mempunyai sudut pandang yg berbeda beda.
Pembagian peran spt ini "hampir" terjadi di Industri Energi yang lain ( 
listrik) apabila UU nya tidak dibatalkan oleh MK ( UU No.20 / 2002 ) , 
dimana ada ( Departemen , BHMN ( Bapetal spt BP Migasnya ) dan BUMN ( PLN 
spt Pertaminanya). Akhirnya setelah dibatalkan kembali ke UU lama ( UU No.15 
/ 1985).
Dalam hal UU yg lama tsb . Pemerintah memberikan Kuasa Usaha 
Ketenagalistrikan "Hanya" kepada BUMN ( PLN) saja , bukan kepada Badan Usaha 
/ Bentuk Usaha Tetap ( dalam UU yang dicabut tsb Usaha Ketenaga listrikan 
bisa diberikan kepada siapapun /Badan Usaha diluar PLN). Nah disinilah peran 
sentral BUMN yg mengendalikan Pengusahaannya.Semua Badan Usaha / Bentuk 
Usaha Tetap( swasta / asing ) hrs "kulonuwun" dulu ke BUMN tadi untuk ikutan 
mengelola / mengusahakan komoditi tsb. BUMN tadi ( yang diberi Kuasa oleh 
Negara / Pemerintah ) punya posisi tawar yang kuat bisa bilang "ya" atau 
"tidak".terhadap Badan Usaha/Bentuk Uasaha Tetap yang lain/asing.
Meskipun kedua UU tadi ( Migas dan Kelistrikan) dipermasalahkan di MK , 
Kenapa ya kalau UU Migas bisa diloloskan oleh MK tapi kalau UU Kelistrikan 
dibatalkan oleh MK ? padahal felosofi penmgelolaan kedua komoditas negara 
yang menyangkut hajat hidup orang banyak ini  di kedua UU tsb relatif sama .


Ism


Subject: Re: [iagi-net-l] Incentives needed in Indonesia oil and gas search



Abah,
 yang pertama2 mengeluarkan statement (opini) adalah pers asing (REUTERs, 
Bloomberg, dsb). nah pers kita kan lebih merasa percaya diri kalau 
mengambil source-nya dari asing (pokok e bau asing adalah benar). Jadilah 
opini-nya tergoreng seperti yang Abah resahkan itu, dimana fakta yang 
terbalik itu menjadi kebenaran, bahkan "kebenaran"nya itu dipercaya oleh 
para pemegang otoritas dan lebih sedihnya "kebenaran terbalik" itu juga 
menjadi pegangan-e Pertamina, ini yang lebih amburadul. Sayangnya masalah 
Information Route seperti ini tak masuk dalam RUU Penyiaran, kita 
disibukkan dengan udel nya Sarah Azhari saja.


 Bicara Cepu di Pertamina rasanya sama dengan bicara G-30S jaman Soeharto. 
Walau "hak"nya blok Cepu adalah hak Pertamina, tapi semua bungkam, semua 
gak ada yang bicara pada proporsi yang sepantasnya, sesuai haknya, semua 
nurut pada Tim Pemerintah yang suaranya dianggap seperti Dewa yang gak 
pernah punya salah, Tim yang tak pernah tau dunia bisnis minyak itu. Tak 
ada yang mengkritisi rencana2 yang digembargemborkan ExxonMobil. Tak ada 
yang bicara review biaya POD hingga 2 Milyar Dolar lebih didaerah onshore 
yang secara infrastruktur sangat matang itu. Tak ada yang mempersoalkan 
foreigners EM kudu naik chopper dari Juanda ke Bojonegoro. Tak ada yang 
memberikan pendapat atas biaya H2S mengakibatkan cost operation sampai 2 
kali lipat, dsb, dsb.


 Haruskah nungggu Hugo Chavez? atau Ahmadinejad?


 lam-salam,
 ar-.


[EMAIL PROTECTED] wrote:
 > >> Incentives needed in Indonesia oil and gas search

Date: 19/12/2005

--

--


Indonesia must find new ways to attract foreign investors to search for
Warnika said he hoped for a breakthrough soon in the dispute over who
will operate the Cepu field, Warnika said.

The field on Java island, which has the potential to raise Indonesia's
output by 20 percent, is one of Exxon's biggest undeveloped fields with
estimated recoverable reserves of 600 million barrels of oil


Rekans

Coba baca kalimat diatas , betapa jahatnya pers yang menjadikan
masyarakat (termasuk masyarakat awam di Indonesia) , jadi beranggapan
bahwa lapangan itu adalah miliknya ExxonMobil dan bukannya milik
Pertamina.
Ya , jelas investor lainnya menganggap ini suatu hal yang negatip,
dan ini bahkan digembar gemborkan seolah olah Pertamina meminta sesuatu
yang bukan haknya.

Kita sih tahu bagaimana a real story -nya , akan tetapi setelah dimasak
oleh pers , dan dimatangkan oleh oknum oknum (termasuk dari pemerintah)
sehingga seolah-olah justru Pertamina yang menghalangi proses ini.

Kan lucu , Pertamina diobok obok oleh kawan sekampungnya ,dengan alasan
alasan macam macam sedangkan Exxon Mobil dengan bantuan pemerintahnya
secara leluasa melakukan kampanye "company image"na dikoran koran.

Andaikan Bung Karno masih bisa mendengar dialam baka sana 

mungkin beliau akan menyesal wafat terlau dini , Wallahualam


Si Abah.





-
To unsubscribe, send email to: iagi-net-unsubscribe[at]iagi.or.id
To subscribe, send email to

Re: [iagi-net-l] Incentives needed in Indonesia oil and gas search

2005-12-28 Terurut Topik Sanggam Hutabarat

Hidup Ar..hidup calon ketua IAGI..

sgm
==

At 08:56 AM 12/29/2005, you wrote:

Abah,
  yang pertama2 mengeluarkan statement (opini) adalah pers asing 
(REUTERs, Bloomberg, dsb). nah pers kita kan lebih merasa percaya diri 
kalau mengambil source-nya dari asing (pokok e bau asing adalah benar). 
Jadilah opini-nya tergoreng seperti yang Abah resahkan itu, dimana fakta 
yang terbalik itu menjadi kebenaran, bahkan "kebenaran"nya itu dipercaya 
oleh para pemegang otoritas dan lebih sedihnya "kebenaran terbalik" itu 
juga menjadi pegangan-e Pertamina, ini yang lebih amburadul. Sayangnya 
masalah Information Route seperti ini tak masuk dalam RUU Penyiaran, kita 
disibukkan dengan udel nya Sarah Azhari saja.


  Bicara Cepu di Pertamina rasanya sama dengan bicara G-30S jaman 
Soeharto. Walau "hak"nya blok Cepu adalah hak Pertamina, tapi semua 
bungkam, semua gak ada yang bicara pada proporsi yang sepantasnya, sesuai 
haknya, semua nurut pada Tim Pemerintah yang suaranya dianggap seperti 
Dewa yang gak pernah punya salah, Tim yang tak pernah tau dunia bisnis 
minyak itu. Tak ada yang mengkritisi rencana2 yang digembargemborkan 
ExxonMobil. Tak ada yang bicara review biaya POD hingga 2 Milyar Dolar 
lebih didaerah onshore yang secara infrastruktur sangat matang itu. Tak 
ada yang mempersoalkan foreigners EM kudu naik chopper dari Juanda ke 
Bojonegoro. Tak ada yang memberikan pendapat atas biaya H2S mengakibatkan 
cost operation sampai 2 kali lipat, dsb, dsb.


  Haruskah nungggu Hugo Chavez? atau Ahmadinejad?


  lam-salam,
  ar-.


[EMAIL PROTECTED] wrote:
  > >> Incentives needed in Indonesia oil and gas search
>> Date: 19/12/2005
>>
>> --
> --
>>
>> Indonesia must find new ways to attract foreign investors to search for
>> Warnika said he hoped for a breakthrough soon in the dispute over who
>> will operate the Cepu field, Warnika said.
>>
>> The field on Java island, which has the potential to raise Indonesia's
>> output by 20 percent, is one of Exxon's biggest undeveloped fields with
>> estimated recoverable reserves of 600 million barrels of oil

Rekans

Coba baca kalimat diatas , betapa jahatnya pers yang menjadikan
masyarakat (termasuk masyarakat awam di Indonesia) , jadi beranggapan
bahwa lapangan itu adalah miliknya ExxonMobil dan bukannya milik
Pertamina.
Ya , jelas investor lainnya menganggap ini suatu hal yang negatip,
dan ini bahkan digembar gemborkan seolah olah Pertamina meminta sesuatu
yang bukan haknya.

Kita sih tahu bagaimana a real story -nya , akan tetapi setelah dimasak
oleh pers , dan dimatangkan oleh oknum oknum (termasuk dari pemerintah)
sehingga seolah-olah justru Pertamina yang menghalangi proses ini.

Kan lucu , Pertamina diobok obok oleh kawan sekampungnya ,dengan alasan
alasan macam macam sedangkan Exxon Mobil dengan bantuan pemerintahnya
secara leluasa melakukan kampanye "company image"na dikoran koran.

Andaikan Bung Karno masih bisa mendengar dialam baka sana 
>> mungkin beliau akan menyesal wafat terlau dini , Wallahualam

Si Abah.
>>


-
To unsubscribe, send email to: iagi-net-unsubscribe[at]iagi.or.id
To subscribe, send email to: iagi-net-subscribe[at]iagi.or.id
Visit IAGI Website: http://iagi.or.id
IAGI-net Archive 1: http://www.mail-archive.com/iagi-net%40iagi.or.id/
IAGI-net Archive 2: http://groups.yahoo.com/group/iagi
Komisi Sedimentologi (FOSI) : Ratna Asharina 
(Ratna.Asharina[at]santos.com)-http://fosi.iagi.or.id

Komisi SDM/Pendidikan : Edy Sunardi(sunardi[at]melsa.net.id)
Komisi Karst : Hanang Samodra(hanang[at]grdc.dpe.go.id)
Komisi Sertifikasi : M. Suryowibowo(soeryo[at]bp.com)
Komisi OTODA : Ridwan Djamaluddin(ridwan[at]bppt.go.id atau 
[EMAIL PROTECTED]), Arif Zardi Dahlius(zardi[at]bdg.centrin.net.id)

Komisi Database Geologi : Aria A. Mulhadiono(anugraha[at]centrin.net.id)
-





-
Yahoo! Shopping
 Find Great Deals on Holiday Gifts at Yahoo! Shopping



-
To unsubscribe, send email to: iagi-net-unsubscribe[at]iagi.or.id
To subscribe, send email to: iagi-net-subscribe[at]iagi.or.id
Visit IAGI Website: http://iagi.or.id
IAGI-net Archive 1: http://www.mail-archive.com/iagi-net%40iagi.or.id/
IAGI-net Archive 2: http://groups.yahoo.com/group/iagi
Komisi Sedimentologi (FOSI) : Ratna Asharina 
(Ratna.Asharina[at]santos.com)-http://fosi.iagi.or.id
Komisi SDM/Pendidikan : Edy Sunardi(sunardi[at]melsa.net.id)
Komisi Karst : Hanang Samodra(hanang[at]grdc.dpe.go.id)
Komisi Sertifikasi : M. Suryowibowo(soeryo[at]bp.com)
Komisi OTODA : Ridwan Djamaluddin(ridwan[at]bppt.go.id atau [EMAIL PROTECTED]), 
Arif Zardi Dahlius(zardi[at]bdg.centrin.net.id)
Komisi Database Geologi : Aria A. Mulhadiono(anugraha[at]centrin.net.id)
--

Re: [iagi-net-l] Incentives needed in Indonesia oil and gas search

2005-12-28 Terurut Topik Ariadi Subandrio
Abah,
  yang pertama2 mengeluarkan statement (opini) adalah pers asing (REUTERs, 
Bloomberg, dsb). nah pers kita kan lebih merasa percaya diri kalau mengambil 
source-nya dari asing (pokok e bau asing adalah benar). Jadilah opini-nya 
tergoreng seperti yang Abah resahkan itu, dimana fakta yang terbalik itu 
menjadi kebenaran, bahkan "kebenaran"nya itu dipercaya oleh para pemegang 
otoritas dan lebih sedihnya "kebenaran terbalik" itu juga menjadi pegangan-e 
Pertamina, ini yang lebih amburadul. Sayangnya masalah Information Route 
seperti ini tak masuk dalam RUU Penyiaran, kita disibukkan dengan udel nya 
Sarah Azhari saja.
   
  Bicara Cepu di Pertamina rasanya sama dengan bicara G-30S jaman Soeharto. 
Walau "hak"nya blok Cepu adalah hak Pertamina, tapi semua bungkam, semua gak 
ada yang bicara pada proporsi yang sepantasnya, sesuai haknya, semua nurut pada 
Tim Pemerintah yang suaranya dianggap seperti Dewa yang gak pernah punya salah, 
Tim yang tak pernah tau dunia bisnis minyak itu. Tak ada yang mengkritisi 
rencana2 yang digembargemborkan ExxonMobil. Tak ada yang bicara review biaya 
POD hingga 2 Milyar Dolar lebih didaerah onshore yang secara infrastruktur 
sangat matang itu. Tak ada yang mempersoalkan foreigners EM kudu naik chopper 
dari Juanda ke Bojonegoro. Tak ada yang memberikan pendapat atas biaya H2S 
mengakibatkan cost operation sampai 2 kali lipat, dsb, dsb.
   
  Haruskah nungggu Hugo Chavez? atau Ahmadinejad?
   
   
  lam-salam,
  ar-.
  

[EMAIL PROTECTED] wrote:
  > >> Incentives needed in Indonesia oil and gas search
>> Date: 19/12/2005
>>
>> --
> --
>>
>> Indonesia must find new ways to attract foreign investors to search for
>> Warnika said he hoped for a breakthrough soon in the dispute over who
>> will operate the Cepu field, Warnika said.
>>
>> The field on Java island, which has the potential to raise Indonesia's
>> output by 20 percent, is one of Exxon's biggest undeveloped fields with
>> estimated recoverable reserves of 600 million barrels of oil

Rekans

Coba baca kalimat diatas , betapa jahatnya pers yang menjadikan
masyarakat (termasuk masyarakat awam di Indonesia) , jadi beranggapan
bahwa lapangan itu adalah miliknya ExxonMobil dan bukannya milik
Pertamina.
Ya , jelas investor lainnya menganggap ini suatu hal yang negatip,
dan ini bahkan digembar gemborkan seolah olah Pertamina meminta sesuatu
yang bukan haknya.

Kita sih tahu bagaimana a real story -nya , akan tetapi setelah dimasak
oleh pers , dan dimatangkan oleh oknum oknum (termasuk dari pemerintah)
sehingga seolah-olah justru Pertamina yang menghalangi proses ini.

Kan lucu , Pertamina diobok obok oleh kawan sekampungnya ,dengan alasan
alasan macam macam sedangkan Exxon Mobil dengan bantuan pemerintahnya
secara leluasa melakukan kampanye "company image"na dikoran koran.

Andaikan Bung Karno masih bisa mendengar dialam baka sana 
>> mungkin beliau akan menyesal wafat terlau dini , Wallahualam

Si Abah.
>>


-
To unsubscribe, send email to: iagi-net-unsubscribe[at]iagi.or.id
To subscribe, send email to: iagi-net-subscribe[at]iagi.or.id
Visit IAGI Website: http://iagi.or.id
IAGI-net Archive 1: http://www.mail-archive.com/iagi-net%40iagi.or.id/
IAGI-net Archive 2: http://groups.yahoo.com/group/iagi
Komisi Sedimentologi (FOSI) : Ratna Asharina 
(Ratna.Asharina[at]santos.com)-http://fosi.iagi.or.id
Komisi SDM/Pendidikan : Edy Sunardi(sunardi[at]melsa.net.id)
Komisi Karst : Hanang Samodra(hanang[at]grdc.dpe.go.id)
Komisi Sertifikasi : M. Suryowibowo(soeryo[at]bp.com)
Komisi OTODA : Ridwan Djamaluddin(ridwan[at]bppt.go.id atau [EMAIL PROTECTED]), 
Arif Zardi Dahlius(zardi[at]bdg.centrin.net.id)
Komisi Database Geologi : Aria A. Mulhadiono(anugraha[at]centrin.net.id)
-

  



-
Yahoo! Shopping
 Find Great Deals on Holiday Gifts at Yahoo! Shopping 

Re: [iagi-net-l] Incentives needed in Indonesia oil and gas search

2005-12-28 Terurut Topik yrsnki
> >> Incentives needed in Indonesia oil and gas search
>> Date: 19/12/2005
>>
>> --
> --
>>
>> Indonesia must find new ways to attract foreign investors to search for
>> Warnika said he hoped for a breakthrough soon in the dispute over who
>> will operate the Cepu field, Warnika said.
>>
>> The field on Java island, which has the potential to raise Indonesia's
>> output by 20 percent, is one of Exxon's biggest undeveloped fields with
>> estimated recoverable reserves of 600 million barrels of oil

   Rekans

   Coba baca kalimat diatas , betapa jahatnya pers yang menjadikan
   masyarakat (termasuk masyarakat awam di Indonesia) , jadi beranggapan
   bahwa lapangan itu adalah miliknya ExxonMobil dan bukannya milik
   Pertamina.
   Ya , jelas investor lainnya menganggap ini suatu hal yang negatip,
   dan ini bahkan digembar gemborkan seolah olah Pertamina meminta sesuatu
   yang bukan haknya.

   Kita sih tahu bagaimana a real story -nya , akan tetapi setelah dimasak
   oleh pers , dan dimatangkan oleh oknum oknum (termasuk dari pemerintah)
   sehingga seolah-olah justru Pertamina yang menghalangi proses ini.

Kan lucu , Pertamina diobok obok oleh kawan sekampungnya ,dengan alasan
alasan macam macam sedangkan Exxon Mobil dengan bantuan pemerintahnya
secara leluasa melakukan kampanye "company image"na dikoran koran.

Andaikan  Bung Karno masih bisa mendengar dialam baka sana 
>>  mungkin beliau akan menyesal wafat terlau dini , Wallahualam

Si Abah.
>>


-
To unsubscribe, send email to: iagi-net-unsubscribe[at]iagi.or.id
To subscribe, send email to: iagi-net-subscribe[at]iagi.or.id
Visit IAGI Website: http://iagi.or.id
IAGI-net Archive 1: http://www.mail-archive.com/iagi-net%40iagi.or.id/
IAGI-net Archive 2: http://groups.yahoo.com/group/iagi
Komisi Sedimentologi (FOSI) : Ratna Asharina 
(Ratna.Asharina[at]santos.com)-http://fosi.iagi.or.id
Komisi SDM/Pendidikan : Edy Sunardi(sunardi[at]melsa.net.id)
Komisi Karst : Hanang Samodra(hanang[at]grdc.dpe.go.id)
Komisi Sertifikasi : M. Suryowibowo(soeryo[at]bp.com)
Komisi OTODA : Ridwan Djamaluddin(ridwan[at]bppt.go.id atau [EMAIL PROTECTED]), 
Arif Zardi Dahlius(zardi[at]bdg.centrin.net.id)
Komisi Database Geologi : Aria A. Mulhadiono(anugraha[at]centrin.net.id)
-



Re: [iagi-net-l] Incentives needed in Indonesia oil and gas search

2005-12-27 Terurut Topik yrsnki
>
  Rekan rekan

  Benar yang dikatakan Andang , sebenarnya Pemerintah sejak UU No 22/2001 s
  sudah memberikan "keleluasaan" sistim pengoperasian KKS.
  Jelas dalam UU tsb , bahwa sistim PSC bukan satu satunya sistim yang
  akan dipakai (bukan berarti bahwa sistim ini buruk), tetapi tergantung
  mana mana yang paling menguntungkan Negara.Hal ini diperjelas lagi dalam
  PP 35/ 2004 , walaupun pasal pasalnya kelihatan lebih banyak mengatur
  kontrak PSC.
  Saya kira sebabnya adalah , karena bentuk bentuk kerja sama yang lain
  belum ada referencenya.
  Nah disinilah tugas kita profesioanl untuk menyusun suatu wacana mengenai
  kontrak yang sesuai dengan "bayi bayi cantik" -nya ADB.

  Tantangan ADB , yaitu kita harus lebih berperan , bukan untuk supaya
  kita "terlihat" , tetapi karena dibutuhkan sehingga perhitungan / analisa
  para ekonoom , dan ahli reserves economics bisa lebih tajam dan
  memberikan opsi opsi yang wajar dan saling menguntungkan bagi Negara dan
  para pengusaha.

  Mungkin KETUM yang baru akan membentuk suatu kelompok pemikir dari
  IAGI (saja dulu) sebagai pendorong ?

  Si Abah.




  Salah satu bentuk insentif yang jarang sekali dibicarakan, terutama oleh
> kawan-kawan G&G -walaupun sebenarnya itu adalah domain utama kompetensi
> kita-, adalah "merawat, mengembangkan, melatih, mendidik, dan mendandani"
> BAYI-BAYI CANTIK kita, baik yang terselip di lapangan2 "tua" di 16
> cekungan
> yang sudah dianggap matang di Indonesia, maupun (terutama) di 50 cekungan
> lain di Indonesia.
>
> Selama ini, pembicaraan tentang "insentif" didominasi oleh hal-hal yang
> bersifat economic, finance, bisnis, pajak, dsbnya. Hal itu tidak
> mengherankan, karena sebagian besar pengambil kebijakan dan pembuat opini
> di
> industri migas hulu kita adalah para birokrat professional yang fasih,
> faham, dan terdidik dengan masalah economics terutama dengan paradigma
> "reserves-economy" bukan "resources-economy". Mungkin Pak Purnomo, Pak
> Iin,
> Pak Rahmat Sudibyo, Pak Kardaya, Pak Martiono, Pak Widya, Pak Kurtubi, Pak
> Hutapea memang betul-betul ahli tentang masalah tersebut, tetapi pada
> umumnya, karena latar belakang mereka adalah engineering, economy,
> management, dimana pemahaman dan penghayatan tentang faktor "seni" dan
> "resiko" dalam eksplorasi sumberdaya mereka tidak se"intensive"
> kawan-kawan
> praktisi G&G eksplorasionis, maka yang mereka kutak-kutik selama ini
> cenderung lebih berat ke kebijakan untuk "komoditi" yang sudah jadi
> "reserves". Tidak bisa dipungkiri bahwa kebijakan-kebijakan untuk membuat
> resources menjadi reserves-pun sudah pula digariskan dan
> diimplementasikan;
> tetapi -ya itu tadi- titik beratnya selalu pengaturan masalah split,
> pajak,
> investment credit, dan hal2 yang berbau economics. Sementara itu
> "BARANG"nya
> sendiri alias komoditinya: jarang sekali diutak-utik, didandani,
> disegarkan,
> dicarikan konsep-konsep baru, dan yang terutama: DITAMBAHi DATAnya.
>
> Sub Direktorat Penyiapan Lahan dibawah Direktorat Eksplorasi Ditjen Migas
> setiap tahun bertugas untuk mendadani bayi-bayi cantik kita berupa
> open-block/area untuk ditawarkan ke investor berupa kontrak kerjasama
> (PSC).
> Mungkin tidak lebih dari 2 Juta Dollar dianggarkan untuk penyiapan lahan
> tersebut. Tahun 2005 ada 14 open area yang ditawarkan, studi penyiapan
> lahan
> setiap blok menelan biaya +/- USD100K, ditambah administrasi, data,
> hardware(?) dll, sehingga angka 2 Juta Dollar untuk penyiapan lahan tsb
> bisa
> saja cukup realistis (kalau ada kawan2 yang tahu silakan koreksi).
> Signature
> bonus untuk tiap blok minimal 500K USD (disyaratkan mutlak dalam bid
> 2005),
> dan firm-commitment 3 tahun tiap blok bisa bervariasi antara 5 - 25 Juta
> Dollar, ambil saja rata2 15 Juta Dollar. Jadi, untuk mendapatkan pemasukan
> negara bukan pajak yang PASTI minimum 7 Juta USD dan investasi 230 Juta
> USD,
> Pemerintah hanya perlu mengeluarkan  28,5% dari pendapatan langsung
> signature-bonus atau 0.87% dari potensi investasinya. Memang kalau
> ditinjau
> secara ekonomi (negara) hal ini sangat menguntungkan, tetapi seharusnya
> Pemerintah lebih memperhatikan aspek "mendadani" bayi-bayi cantik
> berikutnya
> sehingga akan makin banyak investasi masuk, dengan cara memakai semua
> signature bonus tersebut (7M USD) untuk kepentingan studi open area baru
> atau mengakuisisi data-data baru, sedemikian rupa sehingga investor jadi
> lebih tertarik.
>
> Terobosan-terobosan peraturan tentang spec-survey yang disampirkan pada
> bentuk Joint Study maupun (rencananya) pada KKS khusus tanpa komitmen
> pemboran nampaknya sudah mulai diinisiasi oleh Pemerin tah (Ditjen
> Migas-BPMigas). Hal ini terungkap juga pada pidato Pak Purnomo dan juga
> Pak
> kardaya pada waktu membuka JCS2003 di Surabaya. Usaha2 deregulasi tersebut
> perlu kita dukung bersama lewat monitoring maupun urun rembug, terutama di
> masalah2 krusial penentuan term spec surveynya, sedemikian rupa sehingga
> Pemerintah mendapatkan masukan yang profess

Re: [iagi-net-l] Incentives needed in Indonesia oil and gas search

2005-12-19 Terurut Topik Andang Bachtiar
Salah satu bentuk insentif yang jarang sekali dibicarakan, terutama oleh
kawan-kawan G&G -walaupun sebenarnya itu adalah domain utama kompetensi
kita-, adalah "merawat, mengembangkan, melatih, mendidik, dan mendandani"
BAYI-BAYI CANTIK kita, baik yang terselip di lapangan2 "tua" di 16 cekungan
yang sudah dianggap matang di Indonesia, maupun (terutama) di 50 cekungan
lain di Indonesia.

Selama ini, pembicaraan tentang "insentif" didominasi oleh hal-hal yang
bersifat economic, finance, bisnis, pajak, dsbnya. Hal itu tidak
mengherankan, karena sebagian besar pengambil kebijakan dan pembuat opini di
industri migas hulu kita adalah para birokrat professional yang fasih,
faham, dan terdidik dengan masalah economics terutama dengan paradigma
"reserves-economy" bukan "resources-economy". Mungkin Pak Purnomo, Pak Iin,
Pak Rahmat Sudibyo, Pak Kardaya, Pak Martiono, Pak Widya, Pak Kurtubi, Pak
Hutapea memang betul-betul ahli tentang masalah tersebut, tetapi pada
umumnya, karena latar belakang mereka adalah engineering, economy,
management, dimana pemahaman dan penghayatan tentang faktor "seni" dan
"resiko" dalam eksplorasi sumberdaya mereka tidak se"intensive" kawan-kawan
praktisi G&G eksplorasionis, maka yang mereka kutak-kutik selama ini
cenderung lebih berat ke kebijakan untuk "komoditi" yang sudah jadi
"reserves". Tidak bisa dipungkiri bahwa kebijakan-kebijakan untuk membuat
resources menjadi reserves-pun sudah pula digariskan dan diimplementasikan;
tetapi -ya itu tadi- titik beratnya selalu pengaturan masalah split, pajak,
investment credit, dan hal2 yang berbau economics. Sementara itu "BARANG"nya
sendiri alias komoditinya: jarang sekali diutak-utik, didandani, disegarkan,
dicarikan konsep-konsep baru, dan yang terutama: DITAMBAHi DATAnya.

Sub Direktorat Penyiapan Lahan dibawah Direktorat Eksplorasi Ditjen Migas
setiap tahun bertugas untuk mendadani bayi-bayi cantik kita berupa
open-block/area untuk ditawarkan ke investor berupa kontrak kerjasama (PSC).
Mungkin tidak lebih dari 2 Juta Dollar dianggarkan untuk penyiapan lahan
tersebut. Tahun 2005 ada 14 open area yang ditawarkan, studi penyiapan lahan
setiap blok menelan biaya +/- USD100K, ditambah administrasi, data,
hardware(?) dll, sehingga angka 2 Juta Dollar untuk penyiapan lahan tsb bisa
saja cukup realistis (kalau ada kawan2 yang tahu silakan koreksi). Signature
bonus untuk tiap blok minimal 500K USD (disyaratkan mutlak dalam bid 2005),
dan firm-commitment 3 tahun tiap blok bisa bervariasi antara 5 - 25 Juta
Dollar, ambil saja rata2 15 Juta Dollar. Jadi, untuk mendapatkan pemasukan
negara bukan pajak yang PASTI minimum 7 Juta USD dan investasi 230 Juta USD,
Pemerintah hanya perlu mengeluarkan  28,5% dari pendapatan langsung
signature-bonus atau 0.87% dari potensi investasinya. Memang kalau ditinjau
secara ekonomi (negara) hal ini sangat menguntungkan, tetapi seharusnya
Pemerintah lebih memperhatikan aspek "mendadani" bayi-bayi cantik berikutnya
sehingga akan makin banyak investasi masuk, dengan cara memakai semua
signature bonus tersebut (7M USD) untuk kepentingan studi open area baru
atau mengakuisisi data-data baru, sedemikian rupa sehingga investor jadi
lebih tertarik.

Terobosan-terobosan peraturan tentang spec-survey yang disampirkan pada
bentuk Joint Study maupun (rencananya) pada KKS khusus tanpa komitmen
pemboran nampaknya sudah mulai diinisiasi oleh Pemerin tah (Ditjen
Migas-BPMigas). Hal ini terungkap juga pada pidato Pak Purnomo dan juga Pak
kardaya pada waktu membuka JCS2003 di Surabaya. Usaha2 deregulasi tersebut
perlu kita dukung bersama lewat monitoring maupun urun rembug, terutama di
masalah2 krusial penentuan term spec surveynya, sedemikian rupa sehingga
Pemerintah mendapatkan masukan yang professional dari kita semua terutama
para praktisi G&G explorationist Indonesia. Tentu saja dengan syarat
Pemerintah juga tidak sungkan-sungkan untuk membuka diri terhadap dialog
dengan kalangan Asosiasi Profesional seperti IAGI-HAGI maupun IATMI. Usaha
komunikasi Pemerintah dengan asosiasi selama ini OK-OK saja, hanya perlu
ditingkatkan ke arah yang lebih menggigit, terutama jangan hanya
memprioritaskan mendengar hanya dari Asosiasi Perusahaan (IPA, IMA,
Assosiasi Pengeboran Minyak Indonesia, Apjaggi?, dsb), tapi juga berdiskusi
dg IAGI-HAGI-Perhapi-IATMI dan sejenisnya.

Jadi, kembali lagi ke masalah insentif,... mari kita pikirkan sama-sama
insentif konsep-konsep baru, data-data baru, pemikiran-pemikiran baru
tentang lapangan, blok, maupun cekungan-cekungan di Indonesia. Kita galakkan
elan RISET (baca:eksplorasi) baik di diri kita sendiri maupun lingkungan
kerja kita, sehingga selalu ada yang baru dan menarik untuk di-investasi-in.

Salam

Andang Bachtiar
Exploration Think Tank Indonesia
Tangki Pikir Eksplorasi Indonesia





- Original Message -
From: <[EMAIL PROTECTED]>
To: 
Sent: Monday, December 19, 2005 10:09 AM
Subject: [iagi-net-l] Incentives needed in Indonesia oil and gas search


> Kenapa yang kita diskusiin justru malah memperket

Re: [iagi-net-l] Incentives needed in Indonesia oil and gas search

2005-12-19 Terurut Topik Syafri Syafar
PSC dan Cost Recovery jika dihubungkan dengan kondisi perminyakan di tanah
air, bisa terkait secara langsung maupun tidak langsung. Diskusi/masukan
masalah ini jika diimplemetasikan bisa jadi membuat ketertarikan investor
untuk berinvestasi lebih jauh menjadi berkurang, tapi itu mungkin berlaku
didaerah/basin yang sekarang ini berproduksi yang jika dilihat sepintas lalu
sudah mengalami declining dalam poduksinya. Tanpa adanya perubahan term PSC
dan Cost Recovery sekalipun, kita dapat melihat kebanyakan
perusahaan-perusahaan besar yang beroperasi di dalam negeri sudah mulai
mengurangi keinginannya untuk berinvestasi lebih lanjut, malah cenderung
stagnant. Mungkin jadi daerah tempat mereka beroperasi dapat diibaratkan
sebagai gadis yang berumur 30 tahun, atau bahkan lebih yang sudah tidak lagi
memancarkan gairah. Sehingga yang dilihat hanya jeleknya saja, ini kurang
bener, itu salah ... Padahal kalau kita lihat dan rewind kembali presentasi
Ketua IAGI di Kuala Lumpur Jumat lalu, bahwa basin yang sekarang ini
dikatakan sudah mengalami decline dalam produksinya (tidak menarik) malah
masih dalam Cycle 01 menurut termnya Ketua IAGI tsb, masih ada Cycle 02 dan
03. Belum lagi kalau kita bicara tentang unexplored basins dan non producing
basin tetapi proven petroleum systemnya. Ketidaktertarikan investor dalam
menangkap peluang investasi terhadap open blocks yang ditawarkan, bukan
berarti bahwa pemerintah dalam hal ini Department Migas (maaf kalau salah
tulis nama ...) buru-buru mengatakan bahwa negara harus memberikan
incentives lebih untuk investor tesebut agar menjadikan menarik dalam
berinvestasi. Setuju sekali dengan statementnya Ketua IAGI dalam
presentasinya di Kuala Lumpur, bahwa apakah para pelaku bisnis dan regulator
(Migas) dalam menawarkan blok-blok tersebut sudah berbuat maksimal dalam
mengemas paket blok tersebut sehingga membuat investor menjadi tertarik?!.
Ibaratnya kalau Gadis bagaimanapun cantiknya, kalau nggak mandi tetap saja
bau, kalau nggak dandan, tetap saja kumal, harga jualnya akan menjadi jatuh
kalau malah nggak laku sama sekali. Disitulah letak kepiawaian berpikir
orang seperti Andang Bachtiar yang telah menginvestasikan waktunya untuk
mengembangkan IAGI selama 2 periode.
Kembali ke PSC term dan Cost Recovery, apakah masih relevan mendiskusikannya
dan mengusulkannya kepada pihak yang berwenang?. Kalau melihat
prosentase jumlah proven petroleum but non producing basins dan unexplored
basins dibandingkan dengan existing producing basins (malah masih dalam
cycle 01) sangat naif jika dikatakan tidak perlu dan menghambat pertumbuhan
investasi dinegara RI tercinta.


On 12/19/05, [EMAIL PROTECTED] <[EMAIL PROTECTED]>
wrote:
>
> Kenapa yang kita diskusiin justru malah memperketat PSC dan cost recovery,
> memperbesar revenue negara dlsb. Sementara investor masih belum mau
> menoleh
> sedikit pun ke negara ini. Untung saja petinggi migas di Indonesia kayak
> pak Kardaya ini masih sangat realistis soal hal ini. Mudah-mudahan beliau
> tidak harus dipaksa SBY untuk berbuat sebaliknya karena usulan kita2 ini.
>
> Kita itu ibarat orang tua yang masih merasa punya gadis perawan cantik dan
> seksi berumur 1000 bulan yang banyak dikejar laki-laki sehingga harus
> bikin
> persyaratan ketat untuk menseleksinya. Padahal gadis tersebut mungkin
> sekarang udah berumur 30 tahun, mungkin udah gak perawan, dan gembrot.
> Tetapi kita masih terus berkutat bikin persyaratan ketat untuk menseleksi
> laki-laki
>
> Regards -
>
>
> Incentives needed in Indonesia oil and gas search
> Date: 19/12/2005
>
>
> 
>
> Indonesia must find new ways to attract foreign investors to search for
> oil
> and gas and reverse a slide in production, the nation's energy regulator
> said on Sunday.
>
> Indonesia needs new finds to replace ageing fields with falling output but
> a row between Exxon Mobil and Indonesia's state oil firm, Pertamina, over
> the operation of a new US$2 billion field, Cepu, has worried other
> investors.
>
> "The government has to give more incentive to attract foreign investors
> because Indonesia's oil production is declining. There is no significant
> discovery so far," BPMIGAS chief Kardaya Warnika told reporters in West
> Java city of Bandung.
>
> He said crude and condensate production was expected to reach 1.06 million
> barrel per day (bpd) in 2005, just short of a budget target of 1.07million
> bpd.
>
> Warnika said he hoped for a breakthrough soon in the dispute over who will
> operate the Cepu field, Warnika said.
>
> The field on Java island, which has the potential to raise Indonesia's
> output by 20 percent, is one of Exxon's biggest undeveloped fields with
> estimated recoverable reserves of 600 million barrels of oil.
>
> In June, Indonesia offered 27 new exploration areas with sweetened terms
> for foreign oil firms but so far contracts for only eight exploration
> areas
> have been signed.
>
> "Indonesia should gi