Re: [ppiindia] Re: Ekonomi Islam vs Ekonomi Neo-Liberal
Lha wong yang masuk dalam jajaran orang2 terkaya didunia adalah emir2 dari Arab, dengan kekuasaan absolut menumpuk harta yang notabene menerapkan syariat islam. Sejak 1994-1998, nilai kekayaan bersih 200 orang terkaya di dunia bertambah dari 40 miliar dolar AS menjadi lebih dari 1 trilun dolar AS; aset tiga orang terkaya di dunia lebih besar dari GNP 48 negara terbelakang; 1/5 orang terkaya di dunia mengkonsumsi 86% semua barang dan jasa; 1/5 orang termiskin dunia hanya mengkonsumsi kurang dari 1% saja (The United Nations Human Development Report, 1999). Yahoo! Groups Sponsor ~--> Give at-risk students the materials they need to succeed at DonorsChoose.org! http://us.click.yahoo.com/Ryu7JD/LpQLAA/E2hLAA/BRUplB/TM ~-> *** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://www.ppi-india.org *** __ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Reading only, http://dear.to/ppi 4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED] 5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED] 6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED] Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/
[ppiindia] Aluminium, terrorism and war
Aluminium, terrorism and war It's historically the most bombed country on earth. An estimated half a ton of bombs for each child, woman and man were dropped on Laos during the US-waged war thirty years and more ago. That's more per every Laotian citizen than the bombs unleashed on London in early July 2005. However, many of the US bombs didn't explode. Now, Laotians are precariously trying to recover the aluminium, used as casings for the body-shredding "cluster bombs" which epitomised state-sponsored terrorism directed against "innocent people" in South East Asia. It's a savage irony that - just as this unusual form of recycling receives attention in the UK media - the Pentagon is warning that its supplies of aluminium, along with titanium and speciality steels, are being "threatened" by rising Chinese demand. >From bombs to boats: The legacy of war in Laos The Independent (UK) July 11 2005 During the Vietnam war, the US dropped thousands of bombs on Laos, many of which failed to explode. Impoverished villagers now gamble with death as they salvage the scrap By Matt Warren High among the opium fields of rural Laos, Khongsi is transforming bombs into pots and pans. As his children scuffle nearby, he is crouched over a blacksmith's forge, melting down a sheet of aluminium salvaged from a US cluster-bomb container. The flames are licking at the green paint and the USAF insignia is bubbling in the heat. Next day, he will be cooking rice in a pan made from war scrap. His thatched workshop, in the remote village of Ban Knapsi, is littered with debris from the Vietnam War. He uses a defunct 75mm shell as an anvil and the roof is propped on four more of the cluster-bomb containers. Outside, a dog is sniffing at a pile of rusting mortar shells, stacked in neat rows, like fruit at market. "I can make anything from war scrap," he says. "I make knives for eating and spades for the farmers. I have even made a rifle for hunting. Almost every metal item in the village has been made from war scrap." The cattle troughs, the fences, the stilts for the simple bamboo houses have all been made from war scrap. In a neighbouring community, the villagers keep a wing from a downed US fighter. "We are saving it for when times are tough," one says. "We could sell it, or we could turn it into tools for the fields." In some regions, fuel tanks discarded by US jets are transformed into boats and buzz along the Mekong River, filled with fishermen. The war scrap is the legacy of the "secret war" by the United States against Ho Chi Minh's Communist units. More than two million tons of bombs fell on Laos between 1964 and 1973, more than half a ton for every man, woman and child. By the time the US fled Saigon three decades ago, neutral Laos had become the most heavily bombed country, per capita, in history. Back then, US bombers were the only contact villages had with the outside world. And the devastation they left was absolute. Buarsi, Khongsi's 74-year-old neighbour, says he was forced to leave the village when it was scrubbed from the map in 1969. He is sitting cross-legged, picking at brown teeth with a sliver of bamboo. Opium heads hang from the beams and a pipe, contents unknown, is being passed through the group. His wife is making tea in a pan made from bomb scrap, which sits over the flames on a tripod assembled from spent shell cases. The heavy, smoky air is soporific. "It was like the end of all things," he says. "The place where our village once stood was empty, a wasteland scattered with bombs and craters. Today, we are still surrounded by the bombs. We can get metal from some of them, while others kill our children in the fields. There is hope and there is despair." Ban Knapsi is typical of villages across Xieng Khouang province. During the war, North Vietnamese troops poured into this part of Laos to support the country's own Communist insurgency and US bombers were never far away. Walking around the village with the UK-based landmine-clearance charity, the Mines Advisory Group (MAG), villagers point out unexploded bombs. Some are in thick scrub, others protrude from mud. One lies in the centre of the village, while everyday life goes on around it. As MAG technicians destroy the weapons, explosions tear through the village, shaking clouds of brightly coloured birds into the air and sending ripples through the paddy fields. But for many Laotians, this is now the sound of hope: since the end of the war, several people have been killed by unexploded bombs in Ban Knapsi. By the time the MAG technicians have finished, the village will be a safer place. But from the air, en route to Xieng Khouang's provincial capital, Phonsovan, the legacy America left shows in its starkest focus. From 30,000ft, this beautiful but battered country is pock-marked by bomb craters. Vegetation fails to take in the deeper sandy earth of the craters and flourishes
[ppiindia] Jika Minyak Seratus Dolar per Barel : Farid Gaban
Jika Minyak Seratus Dolar per Barel Oleh Farid Gaban Pena Indonesia Harga minyak pekan ini menembus angka baru: US$ 64 per barel. Beberapa pengamat mengatakan tidak mustahil harga komoditi strategis ini akan bisa sampai US$ 100 per barel. Apa yang akan menimpa negeri ini jika itu terjadi? Ini pertanyaan hipotetis, tentu saja. Tapi, punyakah negeri ini rencana darurat untuk menghadapi situasi semacam itu? Untuk menghadapi tusnami dan kiamat kecil yang mungkin datang menyergap? Bahkan dengan harga lebih rendah dari sekarang, dan dengan sebagian besar subsidi sudah dicabut, pemerintah sudah dibuat pusing. Kelangkaan minyak masih terjadi di beberapa daerah dan pemerintah mengeluh negeri ini akan mengalami defisit anggaran: pengeluaran lebih banyak dari pemasukan. Pencabutan subsidi dan kelangkaan minyak telah mendorong naiknya harga-harga seperti tercermin dalam kencangnya laju inflasi pada Juli kemarin. Laju inflasi juga dipercepat jatuhnya nilai rupiah terhadap dolar, akibat kebutuhan besar pemerintah akan dolar untuk mengimpor minyak. (Bahkan jika minyak tak lagi disubsidi, kebutuhan dolar untuk impor akan tetap tinggi jika tidak disertai penyusutan konsumsi minyak). Dorongan terhadap inflasi hampir dua kali lipat dari sekarang jika minyak seharga US$ 100 per barel. Untuk mengerem laju inflasi dan terjun bebas nilai rupiah Bank Indonesia harus menaikkan suku bunga secara agresif. Akibatnya jelas: mengkerutnya pertumbuhan ekonomi karena kebijakan uang ketat. Pertumbuhan ekonomi 5-6% yang diimpikan pemerintah akan merupakan korban pertama. Lupakan! Tapi, itu baru sebagian soal. Mengkerutnya ekonomi juga berarti meningkatkan angka pengangguran. Naiknya suku bunga juga mendorong tinggi cicilan utang negara. Tapi, bahkan dengan mengurangi kewajiban pemerintah pada sektor sosial, seperti pendidikan dan kesehatan dasar, belum tentu pemerintah bisa menutup defisit. Jika defisit melebar, tekanan untuk menjual aset negara itu makin besar. Perusahaan negara yang sehat pun mungkin harus dijual murah, seperti dulu kita menjual Indosat dan sekarang kita sadari keliru. Tapi, bahkan itupun mungkin belum cukup. Jatuhnya nilai rupiah sendiri sudah akan melipatgandakan nilai utang kita sekarang. Naiknya suku bunga akan memperbesar pembayaran pokok dan cicilan utang kita, yang kini mencapai sekitar 35%. Sampai di situ, kita tidak tahu apa yang akan terjadi, kecuali barangkali kebangkrutan negara. Tapi, ancaman belum akan reda. Departemen Pertanian sudah mengatakan kita akan mengalami defisit produksi pangan pada 2005 ini. Naiknya harga minyak, akan menyedot banyak sumberdaya yang memperkecil kemampuan pemerintah bisa mengimpor beras. Tak hanya ini akan merupakan kiamat ekonomi, tapi juga kiamat sosial. Dan belum lagi kita memperhitungkan dampak sosial dari semua itu. Krisis ekonomi dan sosial hanya satu langkah menuju krisis politik yang akan membuat rumit semua persoalan. Chaos! Kita tidak berharap itu semua terjadi. Tapi, bagaimana jika harga minyak menjadi US$ 100 per barel? Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tidak bisa sendirian menghadapi situasi ini. Gejolak ekonomi dan politik bukan mustahil bahkan justru bisa memakan pemerintahan ini seperti yang umum terjadi sepanjang sejarah dan di mana-mana. Dalam situasi seperti itu pemerintah akan bersandar pada dukungan yang solid. Ada setidaknya dua cara untuk memperkuat dukungan rakyat di belakang pemerintah: ancaman kekuatan senjata (atau bentuk kekerasan lain), dan kekuatan persuasi yang meyakinkan. Kita tidak berharap cara pertama yang dipilih. Cara kedua punya risiko lebih kecil, namun menuntut pengorbanan besar terutama di kalangan pemerintah. Bahkan mungkin bukan pengorbanan besar, cukup perubahan sikap. Presiden yang bisa mengatakan "I don't care" menyangkut dampak ekonomi dan sosial bagi rakyat kebanyakan akibat pencabutan subsidi bahan bakar akan sulit bisa membujuk rakyat untuk memiliki solidaritas menghadapi kesulitan. Selama puluhan tahun, mayoritas rakyat Indonesia sudah terbiasa hidup sulit. Bagi banyak mereka, kehidupan tak bisa lebih buruk lagi, apapun yang terjadi, termasuk naiknya harga minyak hingga US$ 100 per barel. Mereka hanya membutuhkan solidaritas dari kaum elit, para intelektual dan pemegang kekuasaan. Pengorbanan lain bagi para pejabat adalah menunjukkan dengan penuh penghayatan, dan dengan sungguh-sungguh, adanya "sense of crisis" dari pihak mereka. Untuk ujian yang pertama: relakah para menteri dan anggota DPR, misalnya, melepaskan mobil pribadi mewah dan mulai naik mobil angkutan umum? * [Non-text portions of this message have been removed] Yahoo! Groups Sponsor ~--> http://us.ard.yahoo.com/SIG=12hunf33m/M=362343.6886681.7839642.3022212/D=groups/S=1705329729:TM/Y=YAHOO/EXP=1123651581/A=2894354/R=0/SIG=11qvf79s7/*http://http://www.globalgiving.com/cb/cidi/c_darfur.html";>Help Sudanese refugees rebuild their lives through GlobalGiving. ---
[ppiindia] Penghapusan (lagi) Subsidi Minyak : Farid Gaban
Clear DayPenghapusan (lagi) Subsidi Minyak Farid Gaban | Pena Indonesia (Note: Artikel ini boleh dimuat di mana saja, online atau offline, secara cuma-cuma] Melalui Menteri Negara Pembangunan dan Kepala Bappenas Sri Mulyani, pemerintah mengatakan sedang menimbang penghapusan lagi subsidi bahan bakar minyak. Salah satu argumennya adalah naiknya harga minyak di pasaran internasional, yang membuat nilai subsidi membengkak. Sekilas nampak logis menghapus subsidi dengan dalih naiknya harga minyak di pasaran internasional. Padahal, ini argumen absurd. Bahan bakar adalah komoditas strategis. Bahan bakar merupakan komponen hampir setiap barang yang kita konsumsi dan setiap jasa yang kita nikmati. Layanan pendidikan atau kesehatan dasar, misalnya, mengandung unsur guru atau dokter, yang membutuhkan makan dan transportasi untuk berangkat kerja. Makanan harus dimasak. Pabrik mie instan pun perlu bahan bakar untuk memprosesnya, bahkan ubi pun harus dimasak. Mendasarkan penghapusan subsidi kepada harga minyak di pasaran internasional sama saja dengan menyandarkan pola konsumsi kita pada standar internasional. Pemerintah memaksa rakyat Indonesia, yang rata-rata miskin, menjangkau harga produk dan jasa yang setara dengan orang di Amerika atau Eropa. Dan jelas mereka takkan mampu. Penghapusan subsidi memangkas daya beli rakyat terhadap produk dan jasa. Makin tinggi harga minyak pasaran internasional, dan makin sedikit subsidi, makin rendah daya beli masyarakat. Makin sulit mereka memperoleh produk dan layanan, bahkan yang kualitasnya sangat rendah pun, jauh lebih rendah dari standar internasional. Dan coba bayangkan jika harga minyak di pasaran internasional mencapai US$ 100 per barel seperti diramalkan oleh sejumlah pakar. Haruskah rakyat miskin Indonesia membeli semua produk dan jasa yang terikat pada minyak tanpa subsidi? Subsidi adalah keharusan. Dan salah satu tugas pemerintah yang hakiki memang memberi kemudahan kepada rakyatnya, yang salah satunya mengambil bentuk pemberian subsidi. Dalam kebijakan publik kita mengenal ada dua bentuk subsidi: subsidi langsung dan subsidi tidak langsung. Subsidi bahan bakar minyak selama ini adalah subsidi tidak langsung, pemerintah tidak membagi-bagikan minyak secara langsung kepada rakyat, tapi menopang harga minyak agar tetap murah. Dan dengan harga minyak yang relatif murah, rakyat bisa mendapatkan produk dan layanan yang murah pula. Subsidi tak langsung seperti itu memang ada kelemahannya, karena bisa secara tidak proporsional dinikmati orang kaya, pemilik mobil pribadi, pemakai barang-bawang mewah yang boros energi. Ini memang tidak adil. Pemerintah selama ini mencoba membuat koreksi terhadap kemungkinan ketidakadilan tadi, yakni dengan menyisihkan dana kompensasi. Dana ini, dalam teori, diberikan secara langsung: beras, beasiswa, dan obat untuk orang miskin. Tapi, kompensasi seperti itu tidak mungkin efektif, seperti sudah dikeluhkan selama ini. Dana kompensasi pada dasarnya merupakan bentuk subsidi langsung, yakni langsung kepada orang miskin. Ini membutuhkan data yang akurat tentang siapa orang miskin dan bagaimana subsidi itu bisa disalurkan kepada mereka secara "door to door". Distribusi dari pintu ke pintu adalah esensi subsidi langsung. Ada 100 juta lebih orang miskin di Indonesia dengan standar pendapatan di bawah US$ 2 per hari. Ada problem untuk mendistribusikan kompensasi kepada seratus juta orang tadi. Pekerjaan raksasa yang muskil, belum lagi memperhitungkan kebocoran dan korupsi di sepanjang jalur distribusi. Namun, ada problem yang lebih serius. Pemerintah sendiri, seperti diakui Kepala Bappenas Sri Mulyani, tak punya data akurat tentang orang miskin di Indonesia. Sandard yang dipakai Biro Pusat Statistik, berbeda dengan standar badan pemerintah lain, seperti BKKBN, misalnya. Pemerintah sendiri bingung mana data yang mau dipakai. Lebih dari itu, data perkiraan orang miskin didapat lewat metode random sampling, bukan lewat sensus dari pintu ke pintu. Pemerintah tak punya alamat orang miskin yang mau diberi kompensasi. Subsidi tidak langsung, seperti subsidi bahan bakar yang diterapkan pemerintah di masa lalu, sudah benar dan tak terhindarkan. Memang harus ada mekanisme koreksi agar subsidi tidak dilahap sebagian besar oleh orang kaya. Ada banyak mekanisme koreksi sebenarnya. Salah satunya dengan pajak progresif untuk barang mewah. Penghapusan subsidi minyak bukanlah keputusan bijaksana, bahkan jika harga minyak di pasar internasional mencapai US$ 100 per barel, karena dampaknya sangat luas dan mendalam bagi rakyat miskin. Mekanisme penerapan pajak progresif lebih bijaksana, karena dampaknya cenderung hanya dirasakan orang kaya. Dengan cara ini, pemerintah juga tak perlu berteriak-teriak menghimbau agar rakyat menghemat energi. Dengan penerapan pajak progresif, orang kaya yang selama ini melahap konsumsi energi lebih banyak, akan berpikir sendiri untuk berhemat. Dan jika mereka merasa terlalu kaya untuk tidak berhemat, pemerintah akan memperoleh
[ppiindia] World Bank Policies Destroy Forests Internal Report Documents Bank Contribution to Deforestation
Clear Day World Bank Policies Destroy Forests Internal Report Documents Bank Contribution to Deforestation by Karinna Horta Multinational Monitor magazine, June 2000 Destruction of tropical forests as well as of the world's temperate and boreal forests has continued unabated over the past decade, with consequences no longer seriously in dispute: Hundreds of millions of people who rely wholly or in part on the use of forests for their livelihoods are put at risk. Agriculture is suffering as local climates are changing with the advance of savannas and deserts. The world's terrestrial biodiversity, predominantly found in tropical forests, is increasingly at risk. In addition, deforestation worldwide is estimated to contribute about 20 percent of the greenhouse gases now released into the atmosphere. Virtually all tropical forests are located in developing countries, and no single global institution plays a bigger role in developing countries than the World Bank. Environmentalist campaigns in the 1980s against the World Bank's contribution to forest destruction-through support for commercial logging, road-building through forested areas and mega-dams that flooded large forest areas -led in the early 1990s to a rethink at the Bank. In 1991, the Bank published a Forest Policy paper which ended Bank support for commercial logging in primary forests and promised a new Bank approach that would emphasize conservation, poverty reduction and support for the rights of local people. Nearly a decade later, the World Bank's Operations Evaluation Department (OED, its internal review agency), published a review in November 1999 of the Bank's implementation of its Forest Policy Paper of 1991. The OED report documents that the Bank's performance has been a flop. "Bank influence on containing rates of deforestation in tropical moist forests has been negligible in the 20 countries identified for Bank focus," the report concludes. The OED finds that World Bank has largely ignored the guidelines provided in the Forest Policy Paper, and that it has paid little attention to the impacts of its loans on forests. Most strikingly, the OED report identifies the economic policies promoted by World Bank structural adjustment programs as one of the driving forces of deforestation-meaning the Bank is making the problem worse. In a break from previous World Bank studies, the OED report does not blame poor farmers and "slash and burn" agriculture for deforestation, nor is demographic pressure mentioned as a major underlying cause of forest loss. The new report declares globalization and economic policies designed to promote exports, bad governance, corruption and out-of control logging companies to be the driving forces of deforestation in the world. ADJUSTMENT AND DEFORESTATION Some of the economic policies identified by the OED report as harmful to forests, such as trade liberalization and export promotion, lie at the very heart of the World Bank's structural adjustment lending. Structural adjustment loans are made to governments in exchange for their commitment to adopt a set of policy changes, including promotion of exports and opening up to foreign investment. Last year, for the first time in the World Bank's history, the volume of structural adjustment loans was larger than the volume of regular project loans, representing more than 50 percent of the institution's approximately $30 billion annual lending in fiscal year 1999. The OED highlighted a range of structural adjustment measures that contribute to deforestation. "[P]olicies associated with economic crisis and adjustment-such as devaluation, export incentives and removal of price controls- tend to boost production of tradable goods, including agricultural and forestry products. In doing so, and without mitigatory measures, they encourage forest conversion," the report states. "Further, constrained fiscal situations may lead to reduced public spending on environmental protection and weaken the capacities of forest ministries to enforce laws and regulations. " Yet the OED report concludes that "the Bank has made little progress in addressing the impacts of adjustment lending on the forest sector." In a few cases, the Bank has added special conditionalities to protect forests to structural adjustment packages. However, the OED report found that these measures "lack credibility," because building capacity and institutions require long-term efforts and agreement from national governments. While emphasizing the distinction between the processes of globalization and Bank adjustment lending, Uma Lele, an adviser in the World Bank's OED and the chief author of the November report, says that "the Bank's own adjustment lending must do a better job of environmental impact assessment." Noting the technical difficulty in conducting such an analysis (as compared to environmental assessments for project loans), she says that she is relati
[ppiindia] People vs Empire by Arundhati Roy
Clear DayPeople vs Empire by Arundhati Roy In These Times magazine, January 2005 In India, the word public is now a Hindi Word. It means people. In Hindi, we have sarkar and public, the government and the people. Inherent in this use is the underlying assumption that the government is quite separate from "the people:' However, as you make your way up India's complex social ladder, the distinction between sarkar and public gets blurred. The Indian elite, like the elite anywhere in the world, finds it hard to separate itself from the state. In the United States, on the other hand, the blurring of this distinction between sarkar and public has penetrated far deeper into society. This could be a sign of robust democracy, but unfortunately it's a little more complicated and less pretty than that. Among other things, it has to do with the elaborate web of paranoia generated by the US. sarkar and spun out by the corporate media and Hollywood. Ordinary people in the United States have been manipulated into imagining they are a people under siege whose sole refuge and protector is their government. If it isn't the Communists, it's al Qaeda. If it isn't Cuba, it's Nicaragua. As a result, the most powerful nation in the world is peopled by a terrified citizenry jumping at shadows. A people bonded to the state not by social services, or public health care, or employment guarantees, but by fear. This synthetically manufactured fear is used to gain public sanction for further acts of aggression. And so it goes, building into a spiral of self-fulfilling hysteria, now formally calibrated by the US government's Amazing Technicolored Terror Alerts: fuchsia, turquoise, salmon pink. To outside observers, this merging of sarkar and public in the United States sometimes makes it hard to separate the actions of the government from the people. Such confusion fuels anti-Americanism in the world-anti-Americanism that is seized upon and amplified by the U.S. government and its faithful media outlets. You know the routine: "Why do they hate us? They hate our freedoms:' et cetera. This enhances the U.S. people's sense of isolation, making the embrace between sarkar and public even more intimate. Over the last few years, the "war on terrorism" has mutated into the more generic "war on terror:' Using the threat of an external enemy to rally people behind you is a tired old horse that politicians have ridden into power for centuries. But could it be that ordinary people, fed up with that poor old horse, are looking for something different? Before Washington's illegal invasion of Iraq, a Gallup International poll showed that in no European country was support for a unilateral war higher than ii percent. On February 15, 2003, weeks before the invasion, more than 10 million people marched against the war on different continents, including North America. And yet the governments of many supposedly democratic countries still went to war. We must question then: Is "democracy" still democratic? Are democratic governments accountable to the people who elected them? And, critically, is the public in democratic countries responsible for the actions of its sarkar? If you think about it, the logic that underlies the war on terror and the logic that underlies terrorism are exactly the same. Both make ordinary citizens pay for the actions of their government. Al Qaeda made the people of the United States pay with their lives for the actions of their government in Palestine, Saudi Arabia, Iraq and Afghanistan. The U.S. government has made the people of Afghanistan pay in the thousands for the actions of the Taliban and the people of Iraq pay in the hundreds of thousands for the actions of Saddam Hussein. Whose God decides which is a "just war" and which isn't? George Bush senior once said: "I will never apologize for the United States. I don't care what the facts are:' When the president of the most powerful country in the world doesn't need to care what the facts are, then we can be sure we have entered the Age of Empire. Real choices So what does public power mean in the Age of Empire? Does it mean anything at all? Does it actually exist? In these allegedly democratic times, conventional political thought holds that public power is exercised through the ballot. People in scores of countries around the world will go to the polls this year. Most (not all) of them will get the governments they vote for. But will they get the governments they want? In India this year, we voted the Hindu nationalists of the BJP out of office. But even as we celebrated, we knew that on nuclear bombs, neoliberalism, privatization, censorship, big dams-on every major issue other than overt Hindu nationalism-the Congress and the BJP have no major ideological differences. We know that it is the 50-year legacy of the Congress Party that prepared the ground culturally and politically for the far right. And what of the US.
[ppiindia] Krisis Energi : Momentum Reformasi Kebijakan Energi
Clear DaySiaran Pers, 14 Juli 2005 WALHI Krisis Energi : Momentum Reformasi Kebijakan Energi Jakarta, 14 Juli 2005 -- Gerakan penghematan energi yang dicanangkan oleh Presiden SBY melalui Inpres No 10/2005 hanya akan tepat dan bermakna jika akar permasalahan energi di Indonesia dikoreksi dan ditata kembali secara lebih substansial dan komperhensif. Pemanfaatan sumber energi terbarukan secara maksimal dan beragam, skala kecil, serta pengembangan jaringan (grid) listrik pada eco-region yang terdesentralisasi adalah langkah awal yang harus segera dilakukan pemerintah agar Indonesia dapat terhindar dari krisis energi yang lebih serius dimasa depan. "Indonesia yang kaya sumber energi terbarukan seharusnya bisa terhindar dari krisis energi jika pemerintah secara serius menata kebijakan energi melalui pengarusutamaan energi terbarukan yang dikelola secara lebih adil, efisien dan mandiri," jelas Chalid Muhammad, Direktur Eksekutif WALHI dalam siaran pers yang dikeluarkan Kamis (14/6). "Instruksi penghematan energi oleh Presiden hanya akan jadi slogan bila pemerintah tidak segera menyadari bahwa akar permasalahan energi di Indonesia tidak terlepas dari kebijakan liberalisasi energi, ketidakseriusan negara dalam diversifikasi dan desentralisasi pengelolaan energi dan dalam mengendalikan pola konsumsi serta buruknya sistem transportasi publik dan massal," urai Chalid. Pemerintah sudah harus mengoreksi kebijakan pemenfaatan energi fosil seperti Migas dan Batubara karena sebagian besar pasokan listrik kita saat ini berasal dari energi fosil. Oleh karena itu pemerintah harus segera menghentikan orientasi ekspor dan obral Migas dan Batubara yang telah berlangsung selama hampir 30 tahun, agar ada jaminan ketersediaan pasokan energi fosil dalam waktu yang lama bagi kebutuhan dalam negeri. Agar persoalan krisis energi menjadi lebih transparan, pemerintah sudah seharusnya memaparkan neraca energi kepada publik dalam periode 10 tahun terakhir serta prediksi ketersediaan dan kemampuan penyediaan untuk 10 tahun kedepan. Informasi ini diperlukan agar partisipasi publik dalam mengatasi krisis energi menjadi lebih maksimal. Pemerintah juga perlu segera merestrukturisasi APBN dan melakukan pembiayaan dalam negeri dalam pengembangan produksi serta pemanfaatan energi terbarukan. Kini saatnya negara secara lebih serius dan partisipatif membuat kebijakan energi yang dapat mengantarkan bangsa ini keluar dari krisis energi yang lebih mengerikan dimasa mendatang. "Tapi harus dipastikan bahwa negara tidak memasukan skema pemenuhan energi yang tidak berkelanjutan dan tidak ramah lingkungan seperti nuklir dan bendungan besar dalam kebijakan energi." tegas Chalid (selesai) Kontak: Chalid Muhamad -0811 84 71 63 Best Regards Jopi Peranginangin [Non-text portions of this message have been removed] *** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://www.ppi-india.org *** __ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Lihat arsip sebelumnya, http://dear.to/ppi 4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED] 5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED] 6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED] Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/
[ppiindia] Buku baru : Gerakan Massa Menghadang Imperialisme Global dan Malapetaka Demokrasi Pasar
Clear DayGerakan Massa Menghadang Imperialisme Global Penulis : -- Penyunting : Coen Husain Pontoh Ilustrator : Harga : Rp 17000,- Stok : Tersedia Pengantar : -- Epilog : -- Kontributor : -- Cetakan : I, Mei 2005 Ukuran : 14 x 21 Halaman : xvii-124 add to cart ISBN : 979-3723-12-2 Abstraksi Neoliberalisme bersama proyek imperialisme globalnya telah menguburkan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan dalam peti mati sejarah. Memaksakan kapitalisme sebagai jawaban tunggal menggapai kemakmuran dan kesejahteraan penduduk di semua penjuru bumi. Bau busuknya menjalar tatkala yang tercipta adalah kemiskinan, penghancuran, dan pemusnahan atas warga di belahan dunia lainnya, seraya mengundang gelombang perlawanan dari kelompok-kelompok masyarakat tertindas. Buku ini merekam pelbagai perlawanan dari kelompok-kelompok masyarakat seperti itu, khususnya dari apa yang dipandang miring sebagai "dunia ketiga". Di dalamnya ada pesan fundamental bahwa "Neoliberalisme bukan tak bisa dilawan!!" "Sejarah jauh dari usai. Di masa depan, koeksistensi harmonis itu mungkin, bukan karena perang yang mencoba mendominasi yang lain, tapi karena . cita-cita bersama, dan seiring dengan itu, harapan: harapan pertahanan hidup umat manusia, melawan neoliberalisme." Subcomandante Marcos Daftar Isi Pengantar Editor v 1. Gerakan Buruh Pengangguran Kota Argentina (GPP) - JP 1 2. MST dan Gerakan Petani Tanpa Tanah di Brazil - Wilson 21 3. Anggaran Partisipatif: Pengalaman Sukses di Porto Alegre, Brazil - Coen Husain Pontoh 39 4. Gerakan Buruh dan Politik Progresif di Korea - Wilson 59 5. Transformasi Dari Atas Pengalaman Venezuela di bawah Hugo Chávez - Coen Husain Pontoh 75 Daftar Pustaka 119 Tentang para Penulis 123 Malapetaka Demokrasi Pasar Penulis : Coen Husain Pontoh Penyunting : -- Ilustrator : Harga : Rp 2,- Stok : Tersedia Pengantar : -- Epilog : -- Kontributor : -- Cetakan : I Ukuran : 12 x 19 Halaman : add to cart ISBN : 979-3723-52-1 Abstraksi Transisi demokrasi ternyata membawa jejak yang mengenaskan. Di berbagai negara setelah rejim otoriter runtuh, bukan transisi menuju demokrasi yang terciptakan, melainkan transisi menuju neoliberalisme dan demokrasi pasar. Di sana-sini komplotan para oligarkh dan rejim pro pasar yang akhirnya duduk di tampuk kekuasaan. Kalangan ini lebih suka membawa demokrasi dalam paham yang sedikit mirip dengan fasisme. Dengan menelusuri fakta yang berjalan di Rusia dan Argentina buku ini memberi sinyal yang tajam: demokrasi tak selalu memenangkan kekuasaan rakyat. Tak jarang demokrasi hanya menghasilkan penguasa lama yang berseragam baru dan kehidupan politik tetap berjalan muram. Bahkan demokrasi tak jarang 'memangsa' aktivisnya dalam jaring para bandit sekaligus menjerumuskan para pejuangnya dalam dosa sosial. Buku ini mengingatkan kita bahwa paham demokrasi membutuhkan pengawal yang berani dan gesit dalam memahami sistem. Daftar Isi Pengantar Penerbit - v Bab 1 Jalan Buntu Transisi Demokrasi - 1 Bab 2 Dari Stalinisme Menuju Neoliberalisme: Kebuntuan Transisi di Rusia - 37 Bab 3 Lingkaran SetanDemokrasi Pasar: Pengalaman Transisi di Argentina - 99 Epilog: Ayo Kita Selamatkan Demokrasi dan Mari Kita Bunuh Oligarkhi - 167 Daftar Pustaka - 181 Indeks - 187 Penulis - 192 "Adil Sejak Dalam Pikiran" (Pramoedya Ananta Toer) Best Regards Jopi Peranginangin [Non-text portions of this message have been removed] *** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://www.ppi-india.org *** __ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Lihat arsip sebelumnya, http://dear.to/ppi 4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED] 5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED] 6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED] Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/
Re: [ppiindia] Re: Aktualisasi Politik Minyak Nasional (Buat Pak Yopie)
Tepat Mbak Fauziah, Jenjang pendidikan formal saya memang hanya sampai SMU doang (saya tidak pernah menempuh jenjang pendidikan formal sampai perguruan tinggi (S1) apalagi S2 seperti kebanyakan member di milis ini), tapi tunggu dulu! Pernyataan anda tentang stratifikasi pemikiran dengan logika formal dibawah sangat menggelitik saya, ini kan gaya intelektual konservatif yang mengagung-agungkan jenjang pendidikan formal. Karena secara empiris, banyak kok intelektual bergelar Doktor yang cara berpikirnya lebih rendah dengan cara berpikir anak2 SMU (terutama mereka yang tidak hanya bergulat dengan kurikulum pendidikan formal). Mbak Fauziah, Saya bukan tipikal orang yang pendendam karena saya tidak pernah merasa disakitihe...he., tapi saya memang coba menanggapi komentar anda tanpa eufemisme. Jadi ya terkesan nyolot dan tembak langsung begitulah! Apalagi terhadap pemikir-pemikir yang menyembah pasar bebas dan membudak pada Bank Dunia + IMF. Bicara data, saya juga punya data tentang sepak terjang, kinerja dan reputasi buruk berbagai proyek-proyek Bank Dunia. Mbak Fauziah, Dalam sebuah perdebatan, gak ada pihak yang kalah maupun pihak pemenang. Karena perdebatan adalah sebuah tafsir dari masing-masing orang yang coba dishare. Dan saya tidak pernah merasa jadi pemenang dalam sebuah perdebatan. Disini keliatan "culun"-nya cara berpikir mbak Fauziah. Jangan pernah merasa KALAH dong mbak? ps : saya juga minta maaf atas komentar2 saya yang terkesan nyolot dan "tembak langsung" Salam, Jopi - Original Message - From: "fauziah swasono" <[EMAIL PROTECTED]> To: Sent: Thursday, July 14, 2005 6:08 PM Subject: [ppiindia] Re: Aktualisasi Politik Minyak Nasional (Buat Pak Yopie) > --- In ppiindia@yahoogroups.com, "Yopie Peranginangin" <[EMAIL PROTECTED]> > wrote: > > > > > Ada istilah "Natural Resources Curse": > > > > > > Lihat negara2 yang kaya (ataupun pernah kaya) migas: Indonesia, > > > Venezuela, Sudan, Angola, Nigeria, Cameroon, Congo... adakah > > > yang termasuk high-income countries? atau HDI rankingnya top? > > > > > > Bandingkan dg negara2 makmur: UK, Japan, Switzerland, > > > Netherlands, negara2 Skandinavia, Amerika... adakah yang > ekonominya > > > mengandalkan SDA? > > > > Mbak, > > > > Negara-negara makmur itu mengandalkan SDA negara-negara dunia > ketiga yang > > rangking HDI-nya (standar tingkat kesejahteraan yang mengacu pada > Bank > > Dunia) berada dilevel bawah.Mereka menghisap Indonesia melalui BP > (Inggris), > > Total Fina (Prancis), Exxon Mobil, CALTEX, Shell (USA) dan lain- > lain. > > Sebenarnya saya cukup heran dengan kemampuan berfikir mbak fau > (dalam > > istilah sulawesi tengah = TOLOL) ini. > > > > Pak Yopi, > sebenarnya saya kasihan sama anda. Kalau anda sudah tidak mampu > membedakan antara mana pertanyaan naif dan pertanyaan retorik yg > menuntut kemampuan analisis (bukan kemampuan tembak langsung), maka > I doubt that you are as qualified as those who are high school's > (SMU) graduates. Banyak2 belajar lagi ya... Atau mungkin anda sudah > lupa bahasa Indonesia? > hehehehe... > > Ok, back to business. > Tampaknya anda ini orang yang sangat pendendam. Sekali saya ikut > nimbrung dalam diskusi anda dan Mas Bagong, anda dendam sekali. > Saking dendamnya anda menunggu2 saat untuk mengata2i saya. Don't you > think it will humiliate yourself? Being a sarcastic and emotional > person in the presence of so many members of this mailing list? > Well, one can clearly see your quality then. > > So, rasanya kasihan kalau anda terus menyimpan kebencian thd saya > dan mengintai untuk mengata2i saya; lebih baik waktu anda yang > berharga digunakan buat yang lain. > Berapa banyak member milis ini sudah saling menasehati mengenai > kasih dan kebersihan hati, (ya Mbah Danar, Mbak Lina, Mas Tony, Mas > Nugroho, Mas Rio, dll?)... > Kalau begitu saya minta maaf kepada anda, jika sekali nimbrungnya > saya waktu itu berbuah dendam yang dalam pada anda. > > Waktu terakhir anda mengatai saya sebagai antek asing, saya tidak > balas lebih lanjut BUKAN karena saya kalah atau tidak bisa menjawab > argumen anda. Saya punya data lengkap berapa grant dari WB untuk > Aceh selain berapa soft loan (IDA). Kalau anda tidak percaya saya > bisa kasih nama orang Indonesia kontak person di WB Jakarta. Saya > diam hanya karena tidak mau menyulut emosi anda lebih jauh (juga > karena jadwal yg sangat padat waktu itu). Dan kali ini rasanya saya > jenuh. Lebih baik saya minta maaf, mudah2an anda bisa tenang dan > tidak membuang waktu buat mengumbar emosi. > > salam, > > fau > > > > > > > **
[ppiindia] Confronting the Third World United States Foreign Policy 1945-1980 (3) : The Democratic Party and the Third World 1961-68
Clear Day The Democratic Party and the Third World 1961-68 excerpted from the book Confronting the Third World United States Foreign Policy 1945-1980 by Gabriel Kolko Pantheon Books,1988 The Democratic Administration Confronts World Change p127 The Eisenhower Administration greatly advanced the belief that the United States had both the right and the obligation to intervene in any region or nation whose domestic affairs it thought had international significance... the basic assumption that it could arrogate to itself the authority to approve or disapprove the politics of any nation was by the end of the 1950s a firmly implanted conviction ... p129 By the early 1960s most officials in Washington were convinced that the consequences of their passivity in some nation whose internal affairs displeased them were potentially more dangerous than the unpredictable risks of action. The symbolic importance of the credibility of power inherited from its less articulate predecessors, and of the interrelated nature of changes in one nation to events all around it and in the world, had become fixations transcending a reasoned assessment of the sources of internal tension and change. Indeed, given the economic considerations operating in tandem with the essentially symbolic, the combination invariably reduced opposition within the ranks of American leaders to a more active U.S. role in some nation when the choice presented itself. In a context where everything became potentially important, for whatever the reason, and past successes removed inhibiting concerns about the repercussions of failures in the future, it was highly likely in 1961 that something like the Vietnam conflict would soon occur somewhere, and only chance fixed on that poor nation rather than another. No less inevitable, also, was that such increasingly adventurous thinking would cause regional issues to threaten to overwhelm the United States' priorities and broad international goals and produce uncontrollable new dynamics in its foreign policy and power. By August 1962, when the NSC approved national policy on a grand strategy toward the Third World, virtually everyone of importance agreed that confronting internal disorder and insurgency in the Third World-or Sino-Soviet "conquest from within," as opposed to conventional warfare-was essential. The NSC favored a greater readiness to act even when there was no direct Russian or Chinese involvement but where they might gain objectively from "other types of subversion" inimical to U.S. interests. The minute issues of the internal affairs of various nations became more than ever the legitimate concern of the United States, including, if need be, a warrant for action. It was, even more than under earlier administrations, the U.S. purpose to make certain "that developing nations evolve in a way that affords a congenial world environment"; naturally, this required "that strategic areas and the manpower and natural resources of developing nations do not fall under communist control" But in the even larger sense it meant that the United States had "an economic interest that the resources and markets of the less developed world remain available to us and to other Free World countries." Here was the basis for a far greater activism in the Third World. It embodied Washington's fears and stereotypes regarding Soviet culpability for the poor nations, problems as well as its residual right, even obligation, to manipulate autonomous trends for which Communists were not responsible and recast them into an integrated world order under U.S. hegemony. The new Administration believed that its fresh will and far greater wisdom, combined with a superior organizational structure for implementing policy, would allow it to master the elusive threads and contradictions that had plagued its predecessors. All the involved agencies-the State and Defense departments, the CIA, the Agency for International Development, and others-met frequently to analyze in seminars and papers the "problems of development and internal defense" for which they needed common solutions. As Cambridge professors were invited to Washington to supplement local talent in analyzing the vast panoply of social, cultural, and political changes in the Third World, the United States confidently prepared to confront it energetically. One of its first and most important initiatives was in "counterinsurgency," a rubric that was more a vague philosophy of action than a concrete set of techniques and goals, a typically "can do" vision whose optimism was to carry the Administration along until Vietnam raised profound doubts as to its efficacy. The debacle of the Bay of Pigs invasion of Cuba in April 1961, rather than puncture such sublime self-confidence and produce caution, actually became a goad to further activity. It had revealed its CIA organizers as incompetent and the U.S. confidence in its Cub
[ppiindia] Confronting the Third World United States Foreign Policy 1945-1980 (1) : Laying the Foundations 1945-50
Clear Day Laying the Foundations 1945-50 excerpted from the book Confronting the Third World United States Foreign Policy 1945-1980 by Gabriel Kolko Pantheon Books,1988 The Wartime Image of the Future p12 More than any other branch of the government, the State Department under Cordell Hull, who was its secretary from 1933 to 1944, defined the U.S. vision of the ideal relationship of the colonized and poorer nations to the world order. Hull was a disciple of Wilson and his "Open Door" concept of an integrated world based on free trade that Wilson took from the Democratic Party's traditional policies and raised to a higher level of abstraction. Hull was, as well, both an ideologue and a pragmatist, ready to confront aggressively America's allies, particularly Britain, but also not to press issues too far with them if something tangible could be gained in return. He regarded the breakup of the world economy into isolated trading blocs after the 1929-31 Depression as the single most important cause of the Second World War as well as the most likely source of future wars. Restrictive trade cartels, which had especially inflated the price of the United States' increasingly essential raw materials imports, were integral to this distorted world economy, and it was the British sterling bloc and empire that most epitomized these challenges to an open world economy based on free trade. From 1941 onward the United States never tired of stressing that "raw material supplies must be available to all nations without discrimination" after the war, and this in turn required complete access for U.S. capital to enter any nation to accelerate "the sound development of latent natural resources and productive capacity in relatively undeveloped areas."' But while there was a consensus on these essentially anticolonial objectives among key American decisionmakers during the war, they disagreed how and with what speed to apply them, especially because Britain, more than any other nation, was the object of the U.S. program, and the British after 1943 made no secret of their fears that America was trying to advance its interests in Asia and the Middle East at their expense. But it was not only Washington's desire to keep Britain as an ally in Europe after the war that inhibited its pressing its anticolonial sentiments too far and too fast. The radical nature of many of the local political forces aspiring to replace the colonial powers especially disturbed American leaders, and particularly after 1945 they increasingly feared local Left parties that might presumably be friendlier to the Soviet Union or even aligned with it. But even in India, the United States supported British policy in repressing a thoroughly anti-Communist Mahatma Gandhi and the Congress Party because Gandhi was opposed to the war and because the British successfully demanded that the Americans respect their jurisdiction over India. In the Middle East, at least during the war, Washington retreated when Britain objected to its issuing a declaration favoring steps toward independence for Syria and Lebanon. The implicit recognition of British spheres of influence in the colonial world was extended to Africa also, where the United States kept silent on the future of mandated areas even though it insisted that it retained a residual right under the 1919 Treaty of Versailles to have its trade interests there protected. The United States did not pursue its nominal anticolonial ideology too ardently also because it expected the British to support American claims for the transfer of Japanese-held Pacific trusteeships to the United States after the war. Indeed, as the Cold War intensified after 1945, keeping Britain firmly on the United States' side quickly submerged any latent doubts Washington felt about the continuation of its imperial power in various forms. Both the U.S. Navy and the War Department wished to establish permanent bases on the formerly Japanese-controlled islands. The State Department, too, sought bases, but with UN sanction and theoretically under UN control. Simply to annex the islands, as the military urged, would allow the British to claim the same right elsewhere, particularly in the Middle East, and endanger, as Secretary of the Interior Harold Ickes put it, "our great stake in Middle Eastern oil." p14 Whatever its political form, Washington unswervingly advocated an integrated world economy open to American interests. Independence, when and where it came, would be for states capable of playing a role in an integrated world order congenial to U.S. designs, a paternalist attitude that further subordinated anticolonialism to American needs. Self-determination as an absolute principle had no vocal spokesmen in Washington. Precisely because the United States entered the postwar era with its earlier experiences and obsessions profoundly coloring its perceptions of the future, there was a c
Re: [ppiindia] Re: Aktualisasi Politik Minyak Nasional
- Original Message - From: "fauziah swasono" <[EMAIL PROTECTED]> To: Sent: Thursday, July 14, 2005 11:41 AM Subject: [ppiindia] Re: Aktualisasi Politik Minyak Nasional > --- In ppiindia@yahoogroups.com, "Ambon" <[EMAIL PROTECTED]> wrote: > > http://www.kompas.com/kompas-cetak/0507/14/opini/1889411.htm > > Aktualisasi Politik Minyak Nasional > > > > Oleh: ERROS DJAROT > > > > Musibah nasional > > > > Kenaikan harga minyak dunia merupakan musibah nasional. > Sementara masyarakat masih percaya, Indonesia kaya minyak. Padahal, > menurut data, kita hanya memiliki 4 persen dari seluruh cadangan > minyak bumi dunia. Pertamina yang dulu mampu menghasilkan produksi > 120.000 barrel per hari, belakangan hanya 60.000 barrel. > > > > Sedikit koreksi data. > Ini data terakhir (end of 2004) mengenai status minyak Indonesia: > Cadangan: 0.4% dari total cadangan dunia (BUKAN 4%) > Produksi: 1.4% dari total produksi dunia (Rusia & Saudi masing2 >10%) > Konsumsi: 1.5% dari total konsumsi dunia > > Ada istilah "Natural Resources Curse": > > Lihat negara2 yang kaya (ataupun pernah kaya) migas: Indonesia, > Venezuela, Sudan, Angola, Nigeria, Cameroon, Congo... adakah > yang termasuk high-income countries? atau HDI rankingnya top? > > Bandingkan dg negara2 makmur: UK, Japan, Switzerland, > Netherlands, negara2 Skandinavia, Amerika... adakah yang ekonominya > mengandalkan SDA? Mbak, Negara-negara makmur itu mengandalkan SDA negara-negara dunia ketiga yang rangking HDI-nya (standar tingkat kesejahteraan yang mengacu pada Bank Dunia) berada dilevel bawah.Mereka menghisap Indonesia melalui BP (Inggris), Total Fina (Prancis), Exxon Mobil, CALTEX, Shell (USA) dan lain-lain. Sebenarnya saya cukup heran dengan kemampuan berfikir mbak fau (dalam istilah sulawesi tengah = TOLOL) ini. Salam, Jopi > > -fau > > > > > *** > Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://www.ppi-india.org > *** > __ > Mohon Perhatian: > > 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) > 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. > 3. Lihat arsip sebelumnya, http://dear.to/ppi > 4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED] > 5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED] > 6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED] > > Yahoo! Groups Links > > > > > > > > > *** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://www.ppi-india.org *** __ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Lihat arsip sebelumnya, http://dear.to/ppi 4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED] 5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED] 6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED] Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/
[ppiindia] Ex-agents say CIA compiled death lists for Indonesians : After 25 years, Americans speak of their role in exterminating Communist Party
Clear Day "...in four months, five times as many people died in Indonesia as in Vietnam in twelve years." -- Bertrand Russell, 1966 The following article appeared in the Spartanburg, South Carolina Herald-Journal on May 19, 1990, then in the San Francisco Examiner on May 20, 1990, the Washington Post on May 21, 1990, and the Boston Globe on May 23, 1990. The version below is from the Examiner. Ex-agents say CIA compiled death lists for Indonesians After 25 years, Americans speak of their role in exterminating Communist Party by Kathy Kadane, States News Service, 1990 WASHINGTON -- The U.S. government played a significant role in one of the worst massacres of the century by supplying the names of thousands of Communist Party leaders to the Indonesian army, which hunted down the leftists and killed them, former U.S. diplomats say. For the first time, U.S. officials acknowledge that in 1965 they systematically compiled comprehensive lists of Communist operatives, from top echelons down to village cadres. As many as 5,000 names were furnished to the Indonesian army, and the Americans later checked off the names of those who had been killed or captured, according to the U.S. officials. The killings were part of a massive bloodletting that took an estimated 250,000 lives. The purge of the Partai Komunis Indonesia (PKI) was part of a U.S. drive to ensure that Communists did not come to power in the largest country in Southeast Asia, where the United States was already fighting an undeclared war in Vietnam. Indonesia is the fifth most-populous country in the world. Silent for a quarter-century, former senior U.S. diplomats and CIA officers described in lengthy interviews how they aided Indonesian President Suharto, then army leader, in his attack on the PKI. "It really was a big help to the army," said Robert J. Martens, a former member of the U.S. Embassy's political section who is now a consultant to the State Department. "They probably killed a lot of people, and I probably have a lot of blood on my hands, but that's not all bad. There's a time when you have to strike hard at a decisive moment." White House and State Department spokesmen declined comment on the disclosures. Although former deputy CIA station chief Joseph Lazarsky and former diplomat Edward Masters, who was Martens' boss, said CIA agents contributed in drawing up the death lists, CIA spokesman Mark Mansfield said, "There is no substance to the allegation that the CIA was involved in the preparation and/or distribution of a list that was used to track down and kill PKI members. It is simply not true." Indonesian Embassy spokesman Makarim Wibisono said he had no personal knowledge of events described by former U.S. officials. "In terms of fighting the Communists, as far as I'm concerned, the Indonesian people fought by themselves to eradicate the Communists," he said. Martens, an experienced analyst of communist affairs, headed an embassy group of State Department and CIA officers that spent two years compiling the lists. He later delivered them to an army intermediary. People named on the lists were captured in overwhelming numbers, Martens said, adding, "It's a big part of the reason the PKI has never come back." The PKI was the third-largest Communist Party in the world, with an estimated 3 million members. Through affiliated organizations such as labor and youth groups it claimed the loyalties of another 17 million. In 1966 the Washington Post published an estimate that 500,000 were killed in the purge and the brief civil war it triggered. In a 1968 report, the CIA estimated there had been 250,000 deaths, and called the carnage "one of the worst mass murders of the 20th century." U.S. Embassy approval Approval for the release of the names came from the top U.S. Embassy officials, including former Ambassador Marshall Green, deputy chief of mission Jack Lydman and political section chief Edward Masters, the three acknowledged in interviews. Declassified embassy cables and State Department reports from early October 1965, before the names were turned over, show that U.S. officials knew Suharto had begun roundups of PKI cadres, and that the embassy had unconfirmed reports that firing squads were being formed to kill PKI prisoners. Former CIA Director William Colby, in an interview, compared the embassy's campaign to identify the PKI leadership to the CIA's Phoenix Program in Vietnam. In 1965, Colby was the director of the CIA's Far East division and was responsible for directing U.S. covert strategy in Asia. "That's what I set up in the Phoenix Program in Vietnam -- that I've been kicked around for a lot," he said. "That's exactly what it was. It was an attempt to identify the structure" of the Communist Party. Phoenix was a joint U.S.-South Vietnamese program set up by the CIA in December 1967 that aimed at neutralizing members of the National Liberation Fron
[ppiindia] The Best Democracy Money Can Buy
Clear Day(This article first appeared in The Ecologist magazine of London in spring 2002) The Best Democracy Money Can Buy, by Greg Palast (Pluto Press 2002) It's enough to make one cynical. American elections are manipulated, British parliamentarians are bribed, scientific research is financed by companies who are interested parties, energy crises are rigged, and a score of other varieties of modern-day sleaze. What's that? You say you're already cynical? Well, unless you're so cynical that you won't even utter a word in the hope of changing anything, Greg Palast's new book can be a handy tool. The Best Democracy Money Can Buy is composed of dozens of essays -- many of which are actually summaries of Palast's investigative journalism escapades -- on the myriad ways those of power and wealth have stolen and/or perverted cherished ideas and institutions of the United States and the United Kingdom. Palast, an American who writes for The Guardian and The Observer of London, has the uncanny knack of turning up at the wrong place at the right time. His showcase essay has to do with the 2000 US presidential election in Florida, and how Governor Jeb Bush and his team shamelessly contrived the removal of thousands of voters' names from the election rolls; voters who were in large measure black (read Democratic voters). The result was nothing less than the placing in the White House of Jeb's brother George. This is by now a well-known story, thanks to Palast, who adds a lot of details to it in the book. What I found most disturbing, albeit not terribly surprising, is that when he approached mainstream media in the US to give the story the play it deserved, their reaction was to call Jeb Bush's office for confirmation. Jeb Bush's office denied it. And that was good enough for the mainstream media. It's not easy for loyal, unquestioning Americans to embrace the idea of the US as a banana republic. The IMF and the rest of the international financial mafia are a favorite target in the book. Palast details the onerous conditions imposed upon poor countries by the IMF. Some of the details he says derive directly from confidential IMF documents that came into his hands. I, and I'm sure many other readers, would love to see the exact wording used by IMF, to see how they rationalize their oppressive policies, and what kind of euphemisms they resort to, or if they push their policies unabashedly. Unfortunately, Palast only paraphrases the details, doesn't quote them, and doesn't show any examples of the secret pages in the book. Inexplicably, the one page he shows in this section, from the World Bank, is only the cover page of a report. Documentation is not Palast's strong point; there are scarcely any notes. Of significance is the essay on "The Economic Miracle of Chile", the oft-repeated claim by conservatives of the supposed marvelous benefits of the Pinochet regime's laissez-faire, supply-side economic policies. Palast describes it as a case of "deregulation gone berserk", which eventually drove the country into bankruptcy and depression and needed "a large dose of socialism" to rescue it. Palast is generally adept at making economic and other issues readable because of his breezy, personalized, iconoclastic style, although there are occasions when more unadorned language, a slower pace, and a "books for dummies" approach would have served the reader better. That's part of the problem with the essay on the California "energy crisis" of the late 1990s and 2000. I've read several accounts of that event with not one coming even close to making it understandable. Palast is an improvement over the others, but his account still left me with more questions than answers. In fairness to him, his essay was not designed to be a primer per se on the California energy crisis, but rather a discussion of the dangers of electricity deregulation, but it refers so much to the events in California that a fuller deconstruction of those events would seem to be in order. Overall, the multitude of subjects and issues covered and the frequent flights from one to the next can be a bit jarring and disorienting. There is often a want of the continuity that a good book needs. But Palast's humour sometimes makes up for a shortcoming or two. An example: "The Kyoto Protocol aimed to slash emissions of 'greenhouse gases' which would otherwise fry the planet, melt the polar caps and put Blackpool and Los Angeles under several feet of water. (It will also have negative effects.)" Palast, it should be noted, is a native of Los Angeles. [Non-text portions of this message have been removed] *** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://www.ppi-india.org *** ___
[ppiindia] Indonesia 1965 : Liquidating President Sukarno ... and 500,000 others
Clear DayIndonesia 1965 Liquidating President Sukarno ... and 500,000 others excerpted from the book Killing Hope by William Blum Estimates of the total number of Indonesians murdered over a period of several years following an aborted coup range from 500,000 to one million. In the early morning hours of 1 October 1965, a small force of junior military officers abducted and killed six generals and seized several key points in the capital city of Jakarta. They then went on the air to announce that their action was being taken to forestall putsch by a "Generals' Council" scheduled for Army Day, the fifth of October. The putsch they said, had been sponsored by the CIA and was aimed at capturing power from President Sukarno. By the end of the day, however, the rebel officers in Jakarta had been crushed by the army under the direction of General Suharto, although some supportive army groups other cities held out for a day or two longer. Suharto-a man who had served both the Dutch colonialists and the Japanese invaders-and his colleagues charged that the large and influential PKI was behind junior officers' "coup attempt", and that behind the party stood Communist China. The triumphant armed forces moved in to grab the reins of government, curb Sukarno's authority (before long he was reduced to little more than a figurehead), and carry out a blood bath eliminate once and for all the PKI with whom Sukarno had obliged them to share national power for many years. Here at last was the situation which could legitimate these long- desired actions. Anti-Communist organizations and individuals, particularly Muslims, were encouraged to join in the slaying of anyone suspected of being a PKI sympathizer. Indonesians of Chinese descent as well fell victim to crazed zealots. The Indonesian people were stirred in part by the display of photographs on television and in the press of the badly decomposed bodies of the slain generals. The men, the public was told, had been castrated, their eyes gouged out by Communist women. (The army later made the mistake of allowing official medical autopsies to be included as evidence in some of the trials, and the extremely detailed reports of the injuries suffered mentioned only bullet wounds and some bruises, no eye gougings or castration.) What ensued was called by the New York Times "one of the most savage mass slaughters of modern political history." Violence, wrote Life magazine, "tinged not only with fanaticism but with blood-lust and something like witchcraft." Twenty-five years later, American diplomats disclosed that they had systematically compiled comprehensive lists of "Communist" operatives, from top echelons down to village cadres, and turned over as many as 5,000 names to the Indonesian army, which hunted those persons down and killed them. The Americans would then check off the names of those who had been killed or captured. Robert Martens, a former member of the US Embassy's political section in Jakarta, stated in 1990: "It really was a big help to the army. They probably killed a lot of people, and I probably have a lot of blood on my hands, but that's not all bad. There's a time when you have to strike hard at a decisive moment." "I know we had a lot more information [about the PKI] than the Indonesians themselves," said Marshall Green, US Ambassador to Indonesia at the time of the coup. Martens "told me on a number of occasions that ... the government did not have very good information on the Communist setup, and he gave me the impression that this information was superior to anything they had." "No one cared, as long as they were Communists, that they were being butchered," said Howard Federspiel, who in 1965 was the Indonesia expert at the State Department's Bureau of Intelligence and Research. "No one was getting very worked up about it." Although the former deputy CIA station chief in Indonesia, Joseph Lazarsky, and former diplomat Edward Masters, who was Martens' boss, confirmed that CIA agents contributed in drawing up the death lists, the CIA in Langley categorically denied any involvement. * The CIA, in its intimate involvement in Indonesian political affairs since at least the mid-1950s, had undoubtedly infiltrated the PKI at various levels, and the military even more so, and was thus in a good position to disseminate disinformation and plant the ideas for certain actions... The desire of the US government to be rid of Sukarno-a leader of the non-aligned and anti-imperialist movements of the Third World, and a protector of the PKI-did not diminish with the failure of the Agency-backed military uprising in 1958. Amongst the various reports of the early 1960s indicating a continuing interest in this end, a CIA memorandum of June 1962 is strikingly to the point. The author of the memo, whose name is deleted, was reporting on the impressions he had received from conversations with "Western diplomats" conc
[ppiindia] Venezuela and the Popular Movement
Clear DayVenezuela and the Popular Movement Raul Zelik interviews Roland Denis translated by Gregory Wilpert Z magazine, October 2003 Roland Denis was a grassroots organizer during the 1980s in the leftist movement known as 'Popular Disobedience'. He has always been connected with Venezuela's popular movements and is the author of a book on the Caracazo, the rebellion and riots of February 1989. From 2002 to 2003 he was vice-minister of Planning and Development in the Chavez government. RAUL ZELIK Your boss, Felipe Perez, and you have recently left the ministry. You promoted a policy that treated development as a problem of social and organizational processes. In this sense, you strengthened local power and self-government. Few ministers have stayed more than ten months. In your case, one has to ask if your exit means a change of direction for the government. ROLAND DENIS Rather than a change of direction, I would say that we see an absence of direction. There are general principles of the Bolivarian revolution: participative democracy, struggle for a multi-polar world, resistance against economic empires, construction of a solidaristic and alternative economy. Felipe Perez and I tried to interpret these principles in a radical way. "Radical" not in the sense of "extremist," but in the sense of consequences, of "going to the roots." We tried to deepen community control, to give communities the power that is needed to develop new relations with the state; relations of co-governance and co-management. This practice caused resistance from existing institutions, from the "old state" that continues to exist, in spite of the changes. RZ You also requested that Chavez assume more rigorous measures against corruption. RD Not just against corruption. With respect to the World Bank, to the IMF, to bank power in general, the fiscal problem In all these aspects, where we moved from a general discourse to concrete policy, there were clashes within the state apparatus. That, at least, is my impression. RZ Are there political conflicts between the left and the right within governmental parties or are different teams fighting for positions ? RD The essence of states is that they are arenas for the fight for hegemony. The real powers constantly try to make it worth their interests. In this sense, this is not a fight between left and right. The Venezuelan state has been obstructed ever since the April 11, 2002 coup attempt. While the revolutionary movement made an impressive leap in those days-we should not forget that it was the popular movements that defeated the 47hour dictatorship of Pedro Carmona-the state has assumed a more conservative position since then. Chavez looked for-which for me was one of his larger errors-a dialogue with the putschist opposition and yielded to them on several points. During the oil shutdown in December 2002, the government had to radicalize again, as a result of pressure from the outside, because this coup attempt was also overcome by the grassroots organizations. This is what I call the "obstruction of the state." There is no concrete policy in the face of specific problems such as agriculture, international relations, development, and industrialization. There are only general speeches-for example, look at all of the talk about endogenous development and the support for the solidaristic economy. But as soon as one tries to convert this politics into practice, there is much fear because one knows that an alternative economic policy would deeply transform the society. RZ Many ask why is there a counterrevolution if there has been no revolution? The U.S. and Spain openly supported the 2002 coup. What would happen if the transformation were deepened ? RD The intervention is already a fact. The U.S. wants us to impose the FTAA by any means necessary, which would perpetuate the existing relations between North America and the Latin American countries. If Venezuela rejects this proposal, it automatically becomes an enemy of the U. S. I do not believe that the ambiguous attitude of the Chavez government has to do with fear of intervention. Rather, it is a consequence of a lack of clarity, debates, and confidence in the capacity of the self-governance of the people. The inhabitants of the barrios unconditionally supported the government during the coups, risking their lives. But the state hardly reaches out to the barrios. There is a closed, almost fort-like conception of power. RZ Is this phenomenon due to the old bureaucracies that still occupy 98 percent of the state apparatus, to the concepts of the old left that are in the government, or to the influence of the military ? RD The things are mixed. It is the culture of the Venezuelan state and their system of parties; it is the military; it is the old left with their Leninist concepts of state power, of vanguard and vertical control. Our constitution speaks of a participative democracy-a demo
Re: [ppiindia] Fw: Nahdlatul Ulama, Menghadang Neo-Liberalisme dan Islam (Neo)Liberal
Tapi kebijakan tentang pertanahan yang paling "brutal" dikeluarkan oleh Rezim SBY-KALLA, yakni PERPRES No. 36 tahun 2005. Ini samasekali bukanlah representasi dari Sosialisme yang terkandung dalam UUD 1945. Salam, Jopi - Original Message - From: "Ari Condro" <[EMAIL PROTECTED]> To: Sent: Friday, July 08, 2005 9:36 AM Subject: [ppiindia] Fw: Nahdlatul Ulama, Menghadang Neo-Liberalisme dan Islam (Neo)Liberal > 1. Tulisan dari Jaringan Islam Emansipatoris yang kritis terhadap > pemikiran JIL yang dianggap representasi neoliberal. > 2. Dalam pandangan harokah, baik JIE maupun JIL sama sama > dianggap liberal :)) > 3. Kritik sebenarnya ditujukan pada kebijakan kenaikan harga BBM > dan tanah. Padahal ketua komisi di DPR yang menghasilkan UU > Liberalisasi migas adalah Irwan Prayitno dari PKS, dan partai yang > mengusulkan kenaikan harga BBM sejak jaman Megawati adalah PDI-P. > Sementara kebijakan masalah tanah yang diprotes justru merupakan > kebijakan yang merupakan representasi sosialisme dalam UUD 45. > Dunia memang sudah terbalik balik :)) > > salam, > Ari Condro > > > - Original Message - > http://www.nu.or.id/data_detail.asp?kategori=KOLOM&id_data=5294 > > AGAR TIDAK MENJADI BANGSA KULI (LAGI!) DI NEGERI SENDIRI > Nahdlatul Ulama, Menghadang Neo-Liberalisme dan Islam (Neo)Liberal > > Oleh: Ahmad Baso* > > We are often told "Colonialism is dead". Let us not be deceived or > even soothed by that > > I beg of you do not think of colonialism only in the classic form > which we of Indonesia, and our brothers in different parts of Asia and > Africa, knew. > > Colonialism has also its modern dress, in the form of economic > control, intellectual control, actual physical control by a small but > alien community within a nation. > > It is a skilful and determined enemy, and it appears in many guises. > > > --- Soekarno, "Speech at the Opening of Asian African Conference", > Bandung, 1955. (huruf miring dari AB). > > > > > 1 Untuk memahami kehadiran buku saya Islam Pasca-Kolonial dalam > konteks maraknya arus liberalisasi agama dan juga liberalisasi > ekonomi, lebih baik saya mulai dari apa yang dikatakan oleh novelis > besar Pramoedya Ananta Toer dalam novelnya yang terkenal Arus Balik: > > > Sekarang makin lama makin sedikit kapal-kapal Jawa berlayar ke utara, > ke Atas Angin, ke Campa ataupun ke Tiongkok. Arus kapal dari selatan > semakin tipis. Sebaliknya arus dari utara semakin deras, membawa > barang-barang baru, pikiran-pikiran baru, agama baru. Juga ke Tuban. > > > Dahulu, di jaman kejayaan Majapahit, arus bergerak dari selatan ke > utara, dari Nusantara ke Atas Angin. Majapahit adalah kerajaan laut > terbesar di antara bangsa-bangsa beradab di muka bumi ini. > Kapal-kapalnya, muatannya, manusianya, amal dan perbuatannya, > cita-citanya - semua itulah arus selatan ke utara. Segala-galanya > datang dari selatan. Majapahit jatuh. Sekarang orang tidak mampu lagi > membuat kapal besar. Kapal kita makin lama makin kecil seperti > kerajaannya. Karena, ya, kapal besar hanya dibikin oleh kerajaan > besar. Kapal kecil dan kerajaan kecil menyebabkan arus tidak bergerak > ke utara, sebaliknya, dari utara sekarang ke selatan, karena Atas > Angin lebih unggul, membawa segala-galanya ke Jawa, termasuk > penghancuran, penindasan, dan penipuan. Makin lama kapal-kapal kita > akan semakin kecil untuk kemudian tidak mempunyai sama sekali. . > > Tidak mungkin - asal kalian menguasai jalan laut lagi. Selama mereka > yang menguasai, mereka takkan menenggang kapal kita, akan > menghancurkannya sama sekali. Sampai kita dibikin tidak beranjak dari > dusun kita sendiri di pesisir dan gunung. > > > Dengan lugas Pram menggambarkan relasi antara dua dunia yang waktu itu > dikenal dengan sebutan "negeri bawah angin" dan "negeri atas angin". > Negeri bawah angin adalah sebutan lain dari Nusantara; negeri atas > angin adalah sebutan untuk wilayah sepanjang utara Nusantara, termasuk > India, Semenanjung Arab, hingga daratan Eropa. Oleh Pram, relasi itu > digambarkan pada sebuah "arus". Negeri yang besar digambarkan bergerak > dari selatan menuju ke atas, ke utara. Meski berada di "bawah", tapi > Nusantara punya kemampuan untuk bergerak ke atas, menjangkau > wilayah-wilayah seberang sana. Ini berkat kekuatan "arus" yang > menggerakkannnya, arus kapal besar. > > Arus ini memang biasa dikenal di sebuah negeri yang sebagian besar > komponennya adalah kepulauan. Laut adalah modal besar kemajuan negeri. > Simbol kedigdayaan negeri maritim seperti ini adalah pada kapal laut. > Tepatnya kapal besar. Pram menggambarkan kekuatan kapal besar ini pada > muatannya: "Kapal-kapalnya, muatannya, manusianya, amal dan > perbuatannya, cita-citanya". Dengan kapal ini, orang-orang negeri > bawah angin bisa leluasa bergerak kesana-kemari di belahan utara, > membawa berbagai amal dan perbuatan, termasuk cita-cita, dari negeri > sendiri. Tepatnya, mereka membawa kebudayaan dan ide-ide besar,
Re: [ppiindia] Re: Just A Thought: Cak Nur
Pasteee dunks Malah saya berencana mau buat "FAUZIAH WATCH" atau FAUZIAH FANS CLUB...he...he Karena terkesan dengan sliding-sliding bu Fauziah ditengah-tengah perdebatan. - Original Message - From: "fauziah swasono" <[EMAIL PROTECTED]> To: Sent: Tuesday, July 05, 2005 8:42 PM Subject: [ppiindia] Re: Just A Thought: Cak Nur > Duh saking semangatmya buat menghakimi saya yang pendosa sampe dua > kali postingannya... > :D > > --- In ppiindia@yahoogroups.com, "Yopie Peranginangin" <[EMAIL PROTECTED]> > wrote: > > Lagi-lagi bu Fauziah.. (dengan nasehat-nasehat mautnya datang untuk > > meruntuhkan perdebatan.) > > Lihat tuh, ditengah perdebatan bu Fauzih pasti akan masuk, dan > mengatakan > > bahwa "perdebatan ini sudah dibahas sebelum-nya", atau kali ini bu > Fauziah > > mengatakan "Apa yang menjadi bahan debat disini adalah peristiwa > > lawas".. Biarkanlah perdebatan mengalir tanpa harus diinterupsi oleh > > pesan-pesan yang terkesan "moralis" itu. Biarkan saja orang berpikir > untuk > > memperdebatkan dan menafsirkan pendapat Cak Nur, men-Judgement sekalipun > > sah-sah saja. Lha wong, Cak Nur bukan-lah Tuhan yang perkataan-nya dalam > > bentuk > > sabda adalah sebuah kemutlakan... > > > > Salam, > > > > Jopee > > > > - Original Message - > > From: "fauziah swasono" <[EMAIL PROTECTED]> > > To: > > Sent: Tuesday, July 05, 2005 3:10 PM > > Subject: [ppiindia] Just A Thought: Cak Nur > > > > > > > Saya tidak benar2 mengikuti diskusi mengenai sesat menyesatkan ini. > > > Tapi saya tergelitik sedikit untuk mengingatkan -buat yang masih punya > > > kerendahan hati- bahwa Cak Nur sedang dalam taraf penyembuhan > penyakitnya. > > > > > > Apa yang dijadikan bahan debat disini adalah peristiwa lawas, saya > > > tidak tau apa urgensinya untuk didiskusikan saat ini apalagi mengingat > > > kondisi ybs sekarang (atau mungkin ini sangat urgen bagi sebagian > > > orang?). Kalaulah ada perbedaan pemahaman atas sepotong kalimat itu > > > (saya yakin banyak yang melepaskan diri dari kontekstualnya, hanya > > > menitikberatkan pada tekstual) maka apakah adil dibahas disini karena > > > ybs tidak bisa menjelaskan apa yg dimaksud? > > > > > > Saya cuma bertanya2, apakah sebegitu mudahnya tergelincir dari mulut > > > kita judgement tanpa kita yakin sekali derajat kebenaran apa yang kita > > > ketahui. Mungkin yang mampu menilai bahwa dia sesat memang merasa > > > bahwa dia lebih suci dan lebih bertaqwa pada Allah. Maaf kalau begitu, > > > saya seorang pendosa, tak ada apa2nya mungkin dibanding orang2 disini > > > yang fasih kitab suci. Walaupun saya pikir Cak Nur tidak akan marah > > > jika tahu "diomongin dibelakangnya" tapi saya yakin Allah Maha Tahu > > > apa yang tersembunyi ditiap2 hati kita. > > > > > > Jangan2 -dibanding Cak Nur- lebih baik anggota DPR yang minta naik > > > gaji itu? Karena mereka tidak sesat *hanya sedikit insensitif*. > > > > > > > > > salam, > > > > > > fau > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > *** > > > Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju > Indonesia > > yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.org > > > > > > *** > > > > __ > > > Mohon Perhatian: > > > > > > 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg > otokritik) > > > 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. > > > 3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; > > > 4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED] > > > 5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED] > > > 6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED] > > > > > > Yahoo! Groups Links > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > *** > Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia
Re: [ppiindia] Just A Thought: Cak Nur
Lagi-lagi bu Fauziah.. (dengan nasehat-nasehat mautnya datang untuk meruntuhkan perdebatan.) Lihat tuh, ditengah perdebatan bu Fauzih pasti akan masuk, dan mengatakan bahwa "perdebatan ini sudah dibahas sebelum-nya", atau kali ini bu Fauziah mengatakan "Apa yang menjadi bahan debat disini adalah peristiwa lawas".. Biarkanlah perdebatan mengalir tanpa harus diinterupsi oleh pesan-pesan yang terkesan "moralis" itu. Biarkan saja orang berpikir untuk memperdebatkan dan menafsirkan pendapat Cak Nur, men-Judgement sekalipun sah-sah saja. Lha wong, Cak Nur bukan-lah Tuhan yang perkataan-nya dalam bentuk sabda adalah sebuah kemutlakan... Salam, Jopee - Original Message - From: "fauziah swasono" <[EMAIL PROTECTED]> To: Sent: Tuesday, July 05, 2005 3:10 PM Subject: [ppiindia] Just A Thought: Cak Nur > Saya tidak benar2 mengikuti diskusi mengenai sesat menyesatkan ini. > Tapi saya tergelitik sedikit untuk mengingatkan -buat yang masih punya > kerendahan hati- bahwa Cak Nur sedang dalam taraf penyembuhan penyakitnya. > > Apa yang dijadikan bahan debat disini adalah peristiwa lawas, saya > tidak tau apa urgensinya untuk didiskusikan saat ini apalagi mengingat > kondisi ybs sekarang (atau mungkin ini sangat urgen bagi sebagian > orang?). Kalaulah ada perbedaan pemahaman atas sepotong kalimat itu > (saya yakin banyak yang melepaskan diri dari kontekstualnya, hanya > menitikberatkan pada tekstual) maka apakah adil dibahas disini karena > ybs tidak bisa menjelaskan apa yg dimaksud? > > Saya cuma bertanya2, apakah sebegitu mudahnya tergelincir dari mulut > kita judgement tanpa kita yakin sekali derajat kebenaran apa yang kita > ketahui. Mungkin yang mampu menilai bahwa dia sesat memang merasa > bahwa dia lebih suci dan lebih bertaqwa pada Allah. Maaf kalau begitu, > saya seorang pendosa, tak ada apa2nya mungkin dibanding orang2 disini > yang fasih kitab suci. Walaupun saya pikir Cak Nur tidak akan marah > jika tahu "diomongin dibelakangnya" tapi saya yakin Allah Maha Tahu > apa yang tersembunyi ditiap2 hati kita. > > Jangan2 -dibanding Cak Nur- lebih baik anggota DPR yang minta naik > gaji itu? Karena mereka tidak sesat *hanya sedikit insensitif*. > > > salam, > > fau > > > > > > *** > Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.org > *** > __ > Mohon Perhatian: > > 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) > 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. > 3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; > 4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED] > 5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED] > 6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED] > > Yahoo! Groups Links > > > > > > > > > *** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.org *** __ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED] 5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED] 6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED] Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/
Re: [ppiindia] Just A Thought: Cak Nur (untuk bu Fauziah)
Lagi-lagi bu Fauziah.. (dengan nasehat-nasehat mautnya datang untuk meruntuhkan perdebatan.) Lihat tuh, ditengah perdebatan bu Fauzih pasti akan masuk, dan mengatakan bahwa "perdebatan ini sudah dibahas sebelum-nya", atau kali ini bu Fauziah mengatakan "Apa yang menjadi bahan debat disini adalah peristiwa lawas".. Biarkanlah perdebatan mengalir tanpa harus diinterupsi oleh pesan-pesan yang terkesan "moralis" itu. Biarkan saja orang berpikir untuk memperdebatkan dan menafsirkan pendapat Cak Nur, men-Judgement sekalipun sah-sah saja. Lha wong, Cak Nur bukan Tuhan yang perkataan dalam bentuk sabda adalah sebuah kemutlakan... Salam, Jopee - Original Message - From: "fauziah swasono" <[EMAIL PROTECTED]> To: Sent: Tuesday, July 05, 2005 3:10 PM Subject: [ppiindia] Just A Thought: Cak Nur > Saya tidak benar2 mengikuti diskusi mengenai sesat menyesatkan ini. > Tapi saya tergelitik sedikit untuk mengingatkan -buat yang masih punya > kerendahan hati- bahwa Cak Nur sedang dalam taraf penyembuhan penyakitnya. > > Apa yang dijadikan bahan debat disini adalah peristiwa lawas, saya > tidak tau apa urgensinya untuk didiskusikan saat ini apalagi mengingat > kondisi ybs sekarang (atau mungkin ini sangat urgen bagi sebagian > orang?). Kalaulah ada perbedaan pemahaman atas sepotong kalimat itu > (saya yakin banyak yang melepaskan diri dari kontekstualnya, hanya > menitikberatkan pada tekstual) maka apakah adil dibahas disini karena > ybs tidak bisa menjelaskan apa yg dimaksud? > > Saya cuma bertanya2, apakah sebegitu mudahnya tergelincir dari mulut > kita judgement tanpa kita yakin sekali derajat kebenaran apa yang kita > ketahui. Mungkin yang mampu menilai bahwa dia sesat memang merasa > bahwa dia lebih suci dan lebih bertaqwa pada Allah. Maaf kalau begitu, > saya seorang pendosa, tak ada apa2nya mungkin dibanding orang2 disini > yang fasih kitab suci. Walaupun saya pikir Cak Nur tidak akan marah > jika tahu "diomongin dibelakangnya" tapi saya yakin Allah Maha Tahu > apa yang tersembunyi ditiap2 hati kita. > > Jangan2 -dibanding Cak Nur- lebih baik anggota DPR yang minta naik > gaji itu? Karena mereka tidak sesat *hanya sedikit insensitif*. > > > salam, > > fau > > > > > > *** > Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.org > *** > __ > Mohon Perhatian: > > 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) > 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. > 3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; > 4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED] > 5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED] > 6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED] > > Yahoo! Groups Links > > > > > > > > > *** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.org *** __ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED] 5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED] 6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED] Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/
[ppiindia] Aceh in Wonderland : Tulisan Aguswandi
This article has been published by the Jakarta Post today. Here is the original version: Aceh in Wonderland Aguswandi Is Aceh being turned into the world of Alice in Wonderland? There is a British novel called Alice in Wonderland. A young girl called Alice, falls into a hole and enters a world full of confusion and absurdity. Everything is turned upside down and Alice is trapped to deal with too many pictures of small things, unable to focus on the world beyond. Are the Acehnese to be driven to this kind of existence? Last week in Aceh several poor Acehnese, accused and found guilty of gambling under sharia (Islamic) law, were publicly flogged with canes by a government appointed executor. It is the first application of sharia since its imposition several years ago. This is an absurdity; never in the history of Aceh has Islam been exploited in this way, simply to punish the poor. In the past Islam was the foundation and inspiration for the Acehnese to defend themselves against colonialism, social injustice and oppression. Islamic values informed the fight against Portuguese oppression, which stopped their colonial expansion in Asia, and galvanised the Acehnese to defend themselves against Dutch invasion. The resilience of the Acehnese effectively bankrupted and thus defeated the Dutch. These values went on to imbue many Acehnese with the will to oppose injustice in the post colonial era. It was non conservative values of Islam, a desire for equality and justice that motivated the Acehnese to seek freedom from any and all attempts to conquer them. But now we have some Ulamas empowered by the government using religious law to punish some people who commit petty crime, such as gambling, and enforcing disproportionate penalties. Gambling, if it is a crime at least only harms the gamblers, at worst their families. The conflict region of Aceh is full of groups and individuals harming the wider society, committing crimes that perpetuate conflict and exploitation. The crimes of the powerful; the killing of innocent civilians or involvement in large scale corruption seem to elicit a different response than the crimes of poor. When the rich and powerful seem immune from judicial action, even under sharia law, while the poor Acehnese are subject to all the extremes of this religious law it only serves to institutionalise inequality. There was a question posed on the internet, circulated by some young Acehnese, asking jokingly how many times Abdullah Puted would be caned if this law were to be applied to him. How about if this law was applied to those who are killing Acehnese civilians? No, it will not apply to them said Sharia authority. In fact it will not even be applied to the prosecutor who is making the case in this first trial of Sharia, who had admitted he received money as a bribe, from the defendant. Indeed it is only for the poor, the powerless amongst the Acehnese to bear the brunt of this newly emboldened Sharia authority. The other weak Acehnese targeted are women, the most vulnerable groups of society in Aceh right now. The police sharia, the government discussion about women, instead of being about education and equal rights for women, is about clothes, the headscarf, the way they wear things. There have occasionally been sweeps by sharia police to check whether Acehnese women are wearing their clothes according to sharia. There is a story that recently at a meeting of local government officials, woman was made to sit at the back of the room. All this comes at a time when the women of Aceh are calling for equality, access to education and a voice in the reconstruction. This is an insult to Acehnese women who in the past have asserted their will to play a significant role in society. To cite a few obvious examples, three women have ruled the kingdom of Aceh, there have been several female admirals and high ranking members of armed forces. Most famously Cut Nyak Dhien but there was also Cut Meutia, Pocut Baren and others. There has been no such discussion about dress codes in the past, yet both Islam and womens involvement in the wider society have managed to flourish. By emphasising conservative aspects of religion and strict adherence to sharia law, some clerical leaders seek to blinker the Acehnese from wider problems in the region. They are exploiting the religious conviction of many Acehnese to manipulate them. In truth they are acting as an obstacle to change by distracting the locals from the main problem of injustice. This orchestrated distraction is perfect for a government which seeks to neutralize progressive voices in Aceh. This is a strategic alliance of the government with conservative religious to pacify the Acehnese. If there is somebody most responsible for this, it is Abdurahman Wahid. It was Gus Dur the most liberal of Islamic thinkers who kick-started this new Sharia revolution. He decided t
Re: [ppiindia] Re: Wawancara dengan John Perkins (Economic Hitman) utk pendukung utang
Bu Fauziah yang "s*k" serba tahu. Kalau Bank Dunia mengulurkan tangah dengan memberikan grant, lantas mengharapkan pamrih Ya gak usah kasih bantuan kemanusiaan dong. Orang-orang Aceh juga akan menolak bantuan kemanusiaan kalo sang pemberi bantuan mengharapkan "Pamrih". Atau mungkin tradisi anda seperti itu ya??? Memberi bantuan tapi mengharapkan pamrih, kalau tidak mengucapkan terimakasih lantas mem-punishment si penerima bantuan sebagai orang yang tidak beradab!!! Kasian amat...(selow, just kidding...). Ini yang serius Harus dibedakan bantuan dana kemanusiaan (Istilah SBY : Tanggap Darurat) dengan "bantuan" dana untuk rekonstruksi serta rehabilitasi Aceh. Dalam konteks solidaritas antar bangsa, bantuan-bantuan kemanusiaan pasti akan mengalir dengan sendirinya tanpa harus diminta. Tapi untuk membangun Aceh (Rekonstruksi dan Rehabilitasi), sudah ada tidak lagi bantuan dalam bentuk grant/hibah dari Bank Dunia (IMF gak memberikan bantuan lho).Yang ada hanya-lah softloan, tapi tetap aja namanya utang dan harus dibayar. Dan ada indikasi bahwa untuk membalas budi bantuan-bantuan dalam bentuk utang tersebut, pemerintah memprakarsai sebuah pertemuan tingkat internasional yang bertujuan memfasilitasi program-program pembangunan infrastruktur, yakni INFRASTRUKTUR SUMMIT. Dan berujung pada keluarnya sebuah produk kebijakan yang kontroversial, yaitu PERPRES No 36 tahun 2004. Jangan dikatakan bahwa PERPRES ini tidak punya keterkaitan dengan program rekonstruksi dan rehabilitasi Aceh, akhirnya memicu rangkaian konflik vertikal diberbagai daerah sehubungan dengan keluarnya PERPRES tersebut. Catatan untuk komentar anda dibawah ini : "Waktu tragedi Aceh, saya benar2 sedih ketika mendengar respon pemerintah demikian lambatnya. Teman saya yg dosen di Unsyiah bilang, sampai hari Minggu siang dia turun ke jalan, terheran2 kemana pemerintah pusat? Nah, kalau saja waktu itu Aceh diserang asing, udah lepas dari tangan kita kali ya... masak tetangganya Aceh kayak Sumut juga nggak bereaksi cepat?" Apakah anda tidak berpikir bahwa sarana Transportasi dan komunikasi di Aceh terputus selama beberapa waktu Apakah anda mau mengatakan bahwa orang-orang Sumut tidak memiliki rasa solidaritas dengan saudara-saudara-nya di Aceh Padahal salah satu daerah di Sumut (Nias) juga terkena bencana yang cukup besar Kesalahan memang terletak dipunggung Pemerintah karena sejak dulu tidak membangun Early Warning System, untuk mengantisipasi bencana alam. Karena pemerintah lebih sibuk mengurusi aset-aset asing di Aceh dan mengejar-ngejar GAMDan jangan anda katakan kalau saya serba tau atau malah terkesan sok tau, karena untuk Aceh, saya bersama beberapa kawan dari Medan telah mendarat di Aceh 2 hari setelah bencana Tsunami. Dan sampai sekarang kami masih mempunyai program-program pasca bencana di Aceh. Saya prihatin dengan proses pendakalan berpikir akademisi-akademisi seperti ibu... Salam, Jopi - Original Message - From: "fauziah swasono" <[EMAIL PROTECTED]> To: Sent: Thursday, June 30, 2005 5:37 PM Subject: [ppiindia] Re: Wawancara dengan John Perkins (Economic Hitman) utk pendukung utang > --- In ppiindia@yahoogroups.com, "Yopie Peranginangin" <[EMAIL PROTECTED]> > wrote: > > Bu Fauziah... > > > > Anda terlalu naif dan lugu (kayak Pemerintah Indonesia dong), saat > > melogika-kan bantuan dalam bentuk utang oleh IMF dan WB (untuk kasus > Aceh). > > Emang-nya utang-utang tersebut gak harus dibayar yang kemudian menjadi > > senjata mereka untuk mempenetrasikan program-program-nya > > > > (Sembari menggeleng-gelengkan kepalahushh) > > > > Pak Yopie yang serba tahu.. > Nggak usah dikasih tau kalau utang itu mesti dibayar, saya justru mau > ngasih tau bahwa ada mahluk yang namanya grant (artinya hibah). Itu > gak dibayar. Masih ngotot kalau kemaren orang Aceh merasa gak > tertolong oleh US, Jepang dan asing lainnya yang sigap membantu? > > Saya pikir berterima kasih adalah bagian dari orang beradab. Yang > salah tetap salah, tetapi kebaikan orang juga harus dihargai. > > (mengangguk-anggukkan kepala jadi ngantuk dan bosan) > > > > > *** > Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.org > *** > __ > Mohon Perhatian: > > 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) > 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikome
Re: [ppiindia] Re: Wawancara dengan John Perkins (Economic Hitman) utk pendukung utang
Bu Fauziah... Anda terlalu naif dan lugu (kayak Pemerintah Indonesia dong), saat melogika-kan bantuan dalam bentuk utang oleh IMF dan WB (untuk kasus Aceh). Emang-nya utang-utang tersebut gak harus dibayar yang kemudian menjadi senjata mereka untuk mempenetrasikan program-program-nya (Sembari menggeleng-gelengkan kepalahushh) - Original Message - From: "fauziah swasono" <[EMAIL PROTECTED]> To: Sent: Thursday, June 30, 2005 2:47 PM Subject: [ppiindia] Re: Wawancara dengan John Perkins (Economic Hitman) > --- In ppiindia@yahoogroups.com, "Yopie Peranginangin" <[EMAIL PROTECTED]> > wrote: > > > > > > Ah berarti saya toh yang dituduh antek Amrik sama Pak Yopie. :D > > > Malas ah meladeni orang ngaco yang percaya dukun. Not worth it at all. > > > PS. Pak Yopie pernah nggak berani mengkritik policy IMF, WB dan US > > > DIDEPAN PEJABAT2NYA? I did many times, and still are doing that > until now. > > > > Momentum untuk berbicara didepan para pejabat Lembaga-Lembaga lintah > darat > > (IMF, WB dan US) tersebut tidak pernah ada. Kalau ada kesempatan, bukan > > hanya kritik yang kami lakukan tapi meminta mereka untuk > meninggalkan bumi > > Indonesia. Akhirnya, kami hanya melakukan kritik dan makian terhadap > mereka > > dijalanan saja, karena sebatas itu yang dapat kami lakukan > > > > Oya? Semoga kalau anda mendapatkan kesempatan itu, anda tidak > mempermalukan diri sendiri. Anda tahu kan kalau Indonesia itu salah > satu member IMF dan waktu krisis memanfaatkan haknya buat mendapatkan > talangan dana. > > Sekarang anda bilang dong ke pemerintah Indonesia: keluar dari > keanggotaan IMF dan WB. Itu lebih ampuh daripada marah berdasarkan emosi. > > Btw, kalau WB, ADB, dan US mesti jauh2 dari bumi Indonesia, kemaren > Aceh tsunami itu memang bisa ditangani kita sendiri? Jangan egois. > Mentang2 melihat sisi buruknya, anda melupakan objektivitas. > Emang anda pikir orang2 yang kerja disana cuma barisan orang tolol? > Kalau Perkins ngawur dalam memproyeksi pertumbuhan demand listrik > Indonesia, pantas saja dia masih dipuja orang2, karena lebih > berdasarkan kebencian yang mengaburkan objektivitas dan logika. > > Note: kalau anda memang membaca semua posting saya disini tentu anda > tahu kalau saya pernah tulis bahwa saya percaya bahwa persekongkolan > itu ada (makanya ada agen intelijen ditiap negara) tetapi saya tidak > langsung percaya kalau logikanya lemah sekali. > > Pergerakan kapital internasional itu tidak dipengaruhi oleh satu dua > faktor (mungkin Pak Danar yang ahli dibidang financial investment bisa > lebih pas menjelaskannya). Kalau kita pikir bahwa IMF itu adalah > semata2 kepanjangan tangan para kapitalis AS, sehingga maksa2 > privatisasi BUMN Indonesia spy bisa dicaplok mereka, kita lihat fakta: > -Indosat dibeli siapa? > -Telkom dibeli siapa? > -Satelindo dibeli siapa? > -Bank BCA dibeli siapa? Disini muncul lagi keluguan anda (bagaimana mungkin seorang intelektual punya pemikiran sedangkal ini). Dalam logika pergerakan Kapital Internasional dalam mekanisme pasar, setelah melakukan deregulasi dan penerapan praktek-praktek Privatisasi, maka siapa yang kuat modalnya maka dia akan berjaya. Dalam konteks ini US melalui dominasi-nya di IMF (punya 18% suara coy) disoroti perannya dalam "melibas" semua regulasi-regulasi yang menghalangi proses pergerakan Kapital. Setelah semuanya beres, silahkan bertarung!!! Geblek > Ada perusahaan AS nggak disana? It's a matter of profit orientation > mechanism. > Lagian kalau seperti kata Perkins, bahwa tujuan IMF dan WB adalah > menjeratkan negara2 miskin kedalam utang, alangkah bodohnya mereka. > Kalau saya meminjamkan uang saya ingin uang saya kembali bukan > orangnya jadi nggak bisa bayar, sampe2 nanti saya harus memberikan > diskon utang. > Kalau saya lebih kuatir akan arus globalisasi yang terlalu besar, yang > bisa mematikan pemain2 kecil (ini pernah Pak Danar dan saya bahas > disini). Tapi itu hubungannya dg perdagangan LN. Dan memang US memang > mempraktekkan beberapa unfairness policies (dan saya katakan hal ini > didepan salah satu direktur US Treasury). Tuh kan? > Orang mengkritik itu harus memenuhi 2 kaidah sekaligus: offense and > defense. Kritik pasti bersifat offense. Nah, bisakah kita defense our > critiques? Bukan dg melingkar2 dg permainan kata2 tetapi logikanya > kosong atau malah fakta mengatakan sebaliknya. Tetapi dg argumen > cerdas sehingga yang dikritik mau mikir apa kesalahannya. > Kalau menurut saya ada hal2 yang kita perlukan dari masyarakat > internasional. Kita tidak boleh egois dan emosi buta. Karena kalau > kita bertindak tidak adil (misalnya menasionalisasi perusahaan a
Re: [ppiindia] Re: Wawancara dengan John Perkins (Economic Hitman)
Bu Fauziah, - Original Message - From: "fauziah swasono" <[EMAIL PROTECTED]> To: Sent: Thursday, June 30, 2005 11:55 AM Subject: [ppiindia] Re: Wawancara dengan John Perkins (Economic Hitman) > --- In ppiindia@yahoogroups.com, "Yopie Peranginangin" <[EMAIL PROTECTED]> > wrote: > > Antek-antek Amrik akan selalu resisten terhadap pendapat-pendapat yang > > mencoba mengkritik dominasi ekonomi Amrik didunia-dunia ketiga, yang > > bergerak melalui perusahaan-perusahaan multinasional-nya. > > > > Coba dibuka kembali postingan-postingan dari bu Fauziah > wow!!! Dari > > upaya memoderasi perdebatan (misalnya, mengatakan bahwa postingan > anda sudah > > pernah dikirim sebelum-nya, dengan alasan efisiensi.sampai kontra > > opini) > > > > Ah berarti saya toh yang dituduh antek Amrik sama Pak Yopie. :D > Malas ah meladeni orang ngaco yang percaya dukun. Not worth it at all. > > > fau > > PS. Pak Yopie pernah nggak berani mengkritik policy IMF, WB dan US > DIDEPAN PEJABAT2NYA? I did many times, and still are doing that until now. Momentum untuk berbicara didepan para pejabat Lembaga-Lembaga lintah darat (IMF, WB dan US) tersebut tidak pernah ada. Kalau ada kesempatan, bukan hanya kritik yang kami lakukan tapi meminta mereka untuk meninggalkan bumi Indonesia. Akhirnya, kami hanya melakukan kritik dan makian terhadap mereka dijalanan saja, karena sebatas itu yang dapat kami lakukan Masalahnya, banyak intelektual Indonesia yang seharusnya bekerja untuk kemaslahatan rakyat, tapi menjadi kaki tangan untuk melegitimasi penetrasi program-program IMF, WB dan US, dengan berupaya membangun opini yang menyesatkan. > > selow > > > > Jopi > > > > - Original Message - > > From: "A Nizami" <[EMAIL PROTECTED]> > > To: > > Sent: Thursday, June 30, 2005 11:16 AM > > Subject: Re: [ppiindia] Re: Wawancara dengan John Perkins (Economic > Hitman) > > > > > > > Yah bu Fauziah, Perkins yang orang Amrik saja > > > mengakui. Dan banyak orang2 AS yang mengakui hal ini. > > > Makanya bukunya jadi best seller. Kok orang Indonesia > > > yang jadi korbannya tidak percaya? > > > > > > Bisa jadi pernyataan Perkins benar. Bukan cuma ada > > > Economic Hitmen, tapi ada antek2nya di tiap negara > > > yang membela kepentingan AS menguras harta kekayaan > > > mereka. > > > > > > --- fauziah swasono <[EMAIL PROTECTED]> wrote: > > > > > > > --- In ppiindia@yahoogroups.com, A Nizami > > > > <[EMAIL PROTECTED]> wrote: > > > > > Berikut wawancara dengan John Perkins, seorang > > > > > Economic Hitman. Tugasnya adalah membangun > > > > "kerajaan" > > > > > Amerika. Menciptakan situasi sehingga sebanyak > > > > mungkin > > > > > seluruh sumber daya (migas, emas, perak, dsb) > > > > mengalir > > > > > ke perusahaan2 AS dan negara AS. > > > > > > > > > > Oleh karena itu, tak heran kita melihat berbagai > > > > > perusahaan AS menguras sumber daya alam kita, > > > > sehingga > > > > > keuntungannya mengalir ke AS dan mensejahterakan > > > > > rakyat di sana, sementara rakyat Indonesia > > > > sebagian > > > > > mati kelaparan. > > > > > > > > > > > > > hehehe... Pak Nizami ini suka banget sih sama Pak > > > > dukun Perkins. Ini > > > > kan udah diforward berkali2 dan dibahas berkali2 > > > > dari zaman kapan > > > > dimilis ini. > > > > Saya sekarang malah curious dg buku Perkins ttg > > > > perdukunan (shamanism) > > > > semisal "Psychonavigation" atau "Shamanic > > > > Navigation: Shapeshifting > > > > Techniques" pengen tau apa dg ilmu dukun bisa > > > > membantu > > > > permasalahan socio-economics yang udah parah ini. > > > > Atau jangan2 buku > > > > "Economic Hit Man" ini juga salah satu buku > > > > shamanism? > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > Bacalah artikel tentang Islam di: > > > http://www.nizami.org > > > > > > __ > > > Do You Yahoo!? > > > Tired of spam? Yahoo! Mail has the best spam protection around > > > http://mail.yahoo.com > > > > > > > > > &
Re: [ppiindia] Re: Wawancara dengan John Perkins (Economic Hitman)
Antek-antek Amrik akan selalu resisten terhadap pendapat-pendapat yang mencoba mengkritik dominasi ekonomi Amrik didunia-dunia ketiga, yang bergerak melalui perusahaan-perusahaan multinasional-nya. Coba dibuka kembali postingan-postingan dari bu Fauziah wow!!! Dari upaya memoderasi perdebatan (misalnya, mengatakan bahwa postingan anda sudah pernah dikirim sebelum-nya, dengan alasan efisiensi.sampai kontra opini) selow Jopi - Original Message - From: "A Nizami" <[EMAIL PROTECTED]> To: Sent: Thursday, June 30, 2005 11:16 AM Subject: Re: [ppiindia] Re: Wawancara dengan John Perkins (Economic Hitman) > Yah bu Fauziah, Perkins yang orang Amrik saja > mengakui. Dan banyak orang2 AS yang mengakui hal ini. > Makanya bukunya jadi best seller. Kok orang Indonesia > yang jadi korbannya tidak percaya? > > Bisa jadi pernyataan Perkins benar. Bukan cuma ada > Economic Hitmen, tapi ada antek2nya di tiap negara > yang membela kepentingan AS menguras harta kekayaan > mereka. > > --- fauziah swasono <[EMAIL PROTECTED]> wrote: > > > --- In ppiindia@yahoogroups.com, A Nizami > > <[EMAIL PROTECTED]> wrote: > > > Berikut wawancara dengan John Perkins, seorang > > > Economic Hitman. Tugasnya adalah membangun > > "kerajaan" > > > Amerika. Menciptakan situasi sehingga sebanyak > > mungkin > > > seluruh sumber daya (migas, emas, perak, dsb) > > mengalir > > > ke perusahaan2 AS dan negara AS. > > > > > > Oleh karena itu, tak heran kita melihat berbagai > > > perusahaan AS menguras sumber daya alam kita, > > sehingga > > > keuntungannya mengalir ke AS dan mensejahterakan > > > rakyat di sana, sementara rakyat Indonesia > > sebagian > > > mati kelaparan. > > > > > > > hehehe... Pak Nizami ini suka banget sih sama Pak > > dukun Perkins. Ini > > kan udah diforward berkali2 dan dibahas berkali2 > > dari zaman kapan > > dimilis ini. > > Saya sekarang malah curious dg buku Perkins ttg > > perdukunan (shamanism) > > semisal "Psychonavigation" atau "Shamanic > > Navigation: Shapeshifting > > Techniques" pengen tau apa dg ilmu dukun bisa > > membantu > > permasalahan socio-economics yang udah parah ini. > > Atau jangan2 buku > > "Economic Hit Man" ini juga salah satu buku > > shamanism? > > > > > > > > > > > > > Bacalah artikel tentang Islam di: > http://www.nizami.org > > __ > Do You Yahoo!? > Tired of spam? Yahoo! Mail has the best spam protection around > http://mail.yahoo.com > > > *** > Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.org > *** > __ > Mohon Perhatian: > > 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) > 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. > 3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; > 4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED] > 5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED] > 6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED] > > Yahoo! Groups Links > > > > > > > > > *** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.org *** __ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED] 5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED] 6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED] Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/
Re: [ppiindia] Re: Dikuras Asing (tanggapan untuk Mas Bagong alias DG) (tanggapan balik)
Oke bung, Saya kira juga demikian, tapi saya ucapkan terimakasih karena mau berbagi ilmu dengan orang yang goblok tentang pertambangan seperti saya. Tapi saya kira kita tetap bisa share untuk hal-hal lain, walaupun dalam topik ini kita berbeda prinsip dan persfektif.. Salam, Jopi - Original Message - From: "Mas Bagong" <[EMAIL PROTECTED]> To: Sent: Monday, June 27, 2005 5:02 PM Subject: Re: [ppiindia] Re: Dikuras Asing (tanggapan untuk Mas Bagong alias DG) (tanggapan balik) > > Saya juga tidak pernah mengatakan bahwa PERTAMINA sangat unggul dalam > > pengelolaan. Yah, setali 3 uang lah dengan perusahaan pertambangan asing. > > Untuk Perubahan, siapa yang bilang bahwa perubahan itu bisa dilakukan dalam > > waktu 1 malam? Tapi yang namanya perubahan sudah harus dilakukan mulai > > sekarang, Apa yang kita perdebatkan, membuat saya berkesimpulan bahwa gambar > > dunia pertambangan Indonesia bagai cermin usang. Olehnya, langkah yang > > terbaik adalah menghentikan seluruh aktivitas pertambangan di Indonesia. > > Untuk menutupi KAS negara karena penghentian aktivitas pertambangan > > tersebut, bisa memaksimalkan potensi sumber daya alam lain, misalnya potensi > > kelautan dan non timber forest product. Karena kehidupan masyarakat > > Indonesia (terutama sekitar pertambangan) dari sejak sebelum dan sesudah > > adanya praktek pertambangan, tidak mengalami perubahan signifikan kecuali > > perubahan pola produksi, sosial dan budaya. Sehingga muncul pertanyaan, > > siapa yang paling ngotot untuk memuluskan pengerukan sumber daya mineral > > Indonesia? > > > DG: Saya tidak tahu parameter anda mengatakan tidak ada pertambahan > potensi ekonomi setempat di sekitar lokasi tambang... Tetapi kalau > anda katakan penutupan tambang adalah solusinya, maka itu seperti > menutup masalah dengan membuat masalah yang lain lagi (silakan hitung > berapa banyak orang yang akan menganggur plus berapa usaha pendukung > dan penunjang yang akan gulung tikar...) > > > Pertambangan tradisional juga harus ditertibkan karena tidak ramah > > lingkungan. Dan dalam banyak kasus pertambangan tradisional (Di kalsel dan > > kalteng) tersebut "disupport" oleh pemodal-pemodal asing, karena biasanya > > areal "bermain" penambang tradisional berada diluar areal konsesi perusahaan > > pertambangan asing tersebut. Dan barang-barang tambang yang diperoleh > > tersebut dijual dengan sangat murah ke makelar, yang biasanya kepanjangan > > tangan dari perusahaan pertambangan asing. > > > DG: Setahu saya, perusahaan-perusaahan asing asal eropa, ostrali dan > amrik tidak pernah mau membeli barang tambang yang diproduksi tidak > mengikuti standar yang mereka punya... Jadi sinyalemen 'pemodal asing' > ini apakah 'asing' bule atau 'asing' lokal (baca: cukong dari jakarta) > > > Saya pernah tinggal selama sebulan dipemukiman suku AMUNGME dan KOMORO, saya > > saksikan sendiri bagaimana kehidupan komunitas adat tersebut, yang wilayah > > ulayat-nya di caplok untuk kepentingan pertambangan. Sangat MIRIS! > > Kemiskinan, keterbelakangan, kekerasan selalu menghampiri mereka. Anda > > menutup mata terhadap fenomena itu??? Puluhan tahun lamanya kekayaan alam > > mereka dikuras tanpa menyisakan kesejahteraan buat mereka. > > > DG: Lho bukankah perusahaan telah membuatkan sekolah, menyekolahkan > putra daerah ke berbagai tempat? Bahkan saya menyaksikan sendiri > bagaimana klinik-klinik satelit dibuat melingkar di wilayah penduduk > untuk memastikan bahwa status kesehatan tetap optimal... > Permasalahannya Bung, adalah terletak pada Depsos dan pemerintah yang > memang tidak memperhatikan mereka! Harusnya pemerintah melalui depsos > memajukan mereka untuk mempromosikan budaya masyarakat setempat dari > budaya batu menuju budaya milenium Lha kalau perusahaan disuruh > mikiran masalah sosial, ya mending, pemda dibubarin aja khan? > > > > Kasus di Riau merupakan sebuah pengandaian dari sebuah daerah yang kaya tapi > > ternyata masyarakatnya kelaparan dan miskin. Jangan lantas menggeneralisir > > daerah2 lain yang tidak ada pertambangan tapi tidak ada busung lapang. > > Karena dikampung ku juga tidak ada pertambangan tapi tidak ada busung lapar. > > > DG: So, salah siapa? Salahnya Caltex lagi? SIapa yang bikin laporan > ABS? orang Caltex? Khan bukan! Permasalahannya satu bung aparat kita > masih cari untung bagi dirinya sendiri bukan untuk melayani atau > mengayomi! > > > Kesimpulannya adalah HENTIKAN AKTIVITAS PERTAMBANGAN sampai berbagai > > kebijakan (RUU PSDA, RUU Masyarakat Adat, RUU Sumber Daya Agraria) yang > > melindungi hak-hak masyarakat disah-kan... Karena berbagai produk > > perundang-undangan (sampai sekarang masih dalam pembahasan Badan Legislasi > > Nasional) tersebut yang dianggap sebagai tameng hukum masyarakat. > > > DG: Wah kalau begitu saya nggak bisa ngatain apa-apa lagi kalau anda > sudah mentok pada prinsip pertambangan harus tutup... Berarti juga > diskusi kita sudah sampai ujung karena kalau itu sikap anda ya saya > nggak bisa ngas
Re: [ppiindia] Re: Dikuras Asing (tanggapan untuk Mas Bagong alias DG) (tanggapan balik)
- Original Message - From: "Mas Bagong" <[EMAIL PROTECTED]> To: Sent: Friday, June 24, 2005 2:56 PM Subject: Re: [ppiindia] Re: Dikuras Asing (tanggapan untuk Mas Bagong alias DG) (tanggapan balik) > > Persoalan monopoli, tidak adanya pembangunan fasilitas transportasi dan > > ragam persoalan yang muncul --manakala PERTAMINA menjadi pihak > > pengelola-nya-- tersebut menjadi titik pembenahan. Bukan lantas menyerahkan > > pengelolaannya ke tangan Perusahaan asing. > > > DG: Lho bukannya anda yang menekankan dalam email terdahulu anda bahwa > perusahaan asing yang tidak memberikan nilai lebih? Saya memberi > contoh untuk menunjukkan bahwa dipegang pertamina ternyata juga tak > lebih baik bahkan lebih parah... Lalu apa yang anda harapkan? Ibu peri > datang di malam hari dan merubah sistem pertamina atau perusahaan > pelat merah dalam waktu semalam? Saya juga tidak pernah mengatakan bahwa PERTAMINA sangat unggul dalam pengelolaan. Yah, setali 3 uang lah dengan perusahaan pertambangan asing. Untuk Perubahan, siapa yang bilang bahwa perubahan itu bisa dilakukan dalam waktu 1 malam? Tapi yang namanya perubahan sudah harus dilakukan mulai sekarang, Apa yang kita perdebatkan, membuat saya berkesimpulan bahwa gambar dunia pertambangan Indonesia bagai cermin usang. Olehnya, langkah yang terbaik adalah menghentikan seluruh aktivitas pertambangan di Indonesia. Untuk menutupi KAS negara karena penghentian aktivitas pertambangan tersebut, bisa memaksimalkan potensi sumber daya alam lain, misalnya potensi kelautan dan non timber forest product. Karena kehidupan masyarakat Indonesia (terutama sekitar pertambangan) dari sejak sebelum dan sesudah adanya praktek pertambangan, tidak mengalami perubahan signifikan kecuali perubahan pola produksi, sosial dan budaya. Sehingga muncul pertanyaan, siapa yang paling ngotot untuk memuluskan pengerukan sumber daya mineral Indonesia? > > 200 juta orang populasi penduduk Indonesia merupakan sebuah potensi untuk > > melakukan perubahan, bukan malah mengkhawatirkan nasib-nya. Daripada melihat > > sekitar 150 juta orang hidup dibawah garis kemiskinan sementara kekayaan > > alamnya dibawa lari keluar negeri oleh perusahaan-perusahaan asing. Anda > > bisa bayangkan busung lapar menyerang Riau yang memiliki kekayaan alam > > sangat besar. Ironis kan??? Kemana hasil eksploitasi minyak Riau kalau tidak > > dibawa ke negeri Paman Sam DG: Kalau masalah busung lapar bukan salah orang amerika atau inggris > atau yahudi bin zionis... Itu eksalahan bangsa kita sendiri karena > lebih suka ABS karena prestasi dilihat dari angka-angka yang > dilaporkan ke dinas atau kanwil... Lucu anda menyalahkan orang lain... > Coba anda lihat kabupaten Boyolali di Jawa Tengah yang tidak punya > tambang, kok tidak terdengar adanya busung lapar ya? > Apa anda yakin bahwa kalau tambang dikuasai perusahaan pelat merah > terus yang 150 juta itu turun menjadi 1 atau 2 juta? Saya katakan > sekali lagi mas, sepanjang sistem ini belum anda rubah, jangan terlalu > mengharap lebih, sakit hati jadinya Makanya, solusi terbaik adalah menghentikan aktivitas pertambangan sampai sistem dan manajemen perusahaan pertambangan negara SEHAT. > > > Saya sudah saksikan sendiri bagaimana tingkat kerusakan ekologi yang > > dilakukan perusahaan pertambangan PT.KEM dan KPC (anak perusahaan Rio Tinto) > > di Kalimantan Timur. Begitu juga yang terjadi di Kalimantan Selatan oleh > > beberapa perusahaan pertambangan milik Indonesia. Tidak ada beda sama > > sekali! Tapi catatan untuk Kalsel (mengkonfrontir pernyataan anda) : > > Sebagian besar perusahaan pertambangan yang beroperasi adalah anak > > perusahaan Maskapai-maskapai pertambangan raksasa seperti Rio Tinto, > > Indomuro Kencana (100% saham dimiliki oleh Aurora Gold dari Australia), PT > > Arutmin (sahamnya dikuasai oleh BHP - Broken Hill Propetiery - asal > > Australia). Semua perusahaan-perusahaan diatas mempunyai deretan dosa > > ekologi dan konflik dengan masyarakat sekitar pertambangan. Saya punya > > data-data dosa perusahaan tersebut. > > Anda seolah-olah mau mengatakan bahwa pengelolaan pertambangan oleh > > perusahaan asing lebih ramah lingkungan dan mampu mendongkrak tingkat > > kesejahteraan rakyat. NONSEN bung! > > > DG: Sudah anda bandingkan belum kerusakan yang terjadi (plus dengan > jumlah yang mati akibat kecelakaan kerja) dengan pertambangan yang > dikelola pelat merah? Bung lihat juga tambang yang 'katanya' milik > rakyat juga dong... Pertambangan tradisional juga harus ditertibkan karena tidak ramah lingkungan. Dan dalam banyak kasus pertambangan tradisional (Di kalsel dan kalteng) tersebut "disupport" oleh pemodal-pemodal asing, karena biasanya areal "bermain" penambang tradisional berada diluar areal konsesi perusahaan pertambangan asing tersebut. Dan barang-barang tambang yang diperoleh tersebut dijual dengan sangat murah ke makelar, yang biasanya kepanjangan tangan dari perusahaan pertambangan asing. > > Untuk mendongkrak kesejahteraan mas
Re: [ppiindia] Re: Dikuras Asing (tanggapan untuk Mas Bagong alias DG) (tanggapan balik)
Mas Bagong, Original Message - From: "Mas Bagong" <[EMAIL PROTECTED]> To: Sent: Thursday, June 23, 2005 6:31 PM Subject: Re: [ppiindia] Re: Dikuras Asing (tanggapan untuk Mas Bagong alias DG) (tanggapan balik) > > Tolong anda baca pendapat saya diatas (yang berada tepat diatas pendapat > > anda ini). Saya mengatakan dengan jelas bahwa harus dilakukan perombakan > > sistem dan mekanisme untuk mengontrol kinerja dan manajemen PERTAMINA. Baca > > dong mas (jangan asal nanggapi doang) > > > DG: Justru saya menanggapi ini setelah membaca semua tulisan anda lho > bung Jopie; nah ini tidak saja masalah teknis, tetapi justru bicara > mengenai kondisi sosial manusia yang sekarang lagi pada pegang > kekuasaan... Coba dilihat lagi jawaban saya, kalau kondisi masih > seperti sekarang, artinya pemegang kekuasaan (termasuk yang di > perusahaan negara) masih kayak gini, pikirannya hanya bagaimana cara > balik modal jabatan atau bagaimana mendapatkan keuntungan dari suatu > jabatan, maka sia-sialah segala fasilitas yang diberikan... Ingat lho > bung, Pertamina ini sudah memonopoli urusan minyak sejak mula > didirikan... Tapi apakah hasilnya? Saya ingat sekitar 4 tahun lalu > sewaktu saya ikut proses seismik di sekitar prabumulih, bagaimana > jalanan dari Prabumulih ke Pendopo (tempat pertamina menambang minyak > ) masih nggak karuan jauh dengan jalanan di Timika ke Kuala Kencana > yang dikelola Freeport... Ini baru soal masalah jalan, belum lagi > pengolahan limbah atau sistem HSE-nya... Persoalan monopoli, tidak adanya pembangunan fasilitas transportasi dan ragam persoalan yang muncul --manakala PERTAMINA menjadi pihak pengelola-nya-- tersebut menjadi titik pembenahan. Bukan lantas menyerahkan pengelolaannya ke tangan Perusahaan asing. > > Itu sebuah pernyataan dari saya buat pemerintah sebagai sebuah solusi ektrem > > dalam mengatasi berbagai persoalan kebangsaan. Why not? Lihat perkembangan > > terakhir di Venezuela dan Bolivia. Saat Presiden Hugo Chavez dengan dukungan > > rakyat Venezuela dengan tegas dan lugas mengecam praktek kebijakan Ekonomi > > dan Politik USA, dan menolak program Privatisasi yang diajukan IMF dan Bank > > Dunia. Salah satu kebijakan Hugo Chavez yang akan segera dijalankan adalah > > menasionalisasi semua aset-aset asing. Lihat juga bagaimana rakyat di > > Bolivia yang mendesak Pemerintah-nya untuk menasionalisasi Perusahaan > > pertambangan seperti Repsol, British Petroleum, Total Fina, Enron, Shell, > > Petrobras dan lainnya. > > Kesimpulannya : Program Nasionalisasi bukanlah sesuatu yang tidak mungkin di > > masa sekarang. > DG: Bung, orang Venezuela atau Bolivia mendukung pemerintahnya karena > sebagian besar mereka percaya penuh pada pemimpinnya sebagaimana Kuba > atau China; laha kalau kita? Boro-boro mas... Pemimpinnya aja masih > nggak karuan begitu... Mau maksain dan 'gambling'? ya silakan aja, > tetapi ingat lho nasib 200 juta penduduk Indonesia? 200 juta orang populasi penduduk Indonesia merupakan sebuah potensi untuk melakukan perubahan, bukan malah mengkhawatirkan nasib-nya. Daripada melihat sekitar 150 juta orang hidup dibawah garis kemiskinan sementara kekayaan alamnya dibawa lari keluar negeri oleh perusahaan-perusahaan asing. Anda bisa bayangkan busung lapar menyerang Riau yang memiliki kekayaan alam sangat besar. Ironis kan??? Kemana hasil eksploitasi minyak Riau kalau tidak dibawa ke negeri Paman Sam > > Pendapat anda diatas ini yang paling menggelitik buat saya. Apakah > > kekayaan ALAM Indonesia yang dieksploitasi tidak sebanding dengan Investasi > > jutaan dollar tersebut? Apakah mereka bisa berinvestasi dan melipatgandakan > > keuntungan tanpa didukung cadangan MIGAS yang terkadung didalam perut bumi > > Nusantara? Logika sederhananya begini (biar anda dapat mencernanya) : > > Perusahaan asing membawa "MODAL" dan Pemerintah Indonesia memberikan Sumber > > Daya Alamnya. Sampai disini Logikanya "IMPAS". > > Selanjutnya, siapa yang harus menanggung beban kerusakan daya dukung > > lingkungan (darat dan laut) pasca penutupan tambang? Berapa dana yang harus > > dikeluarkan untuk merehabilitasi kerusakan lahan disekitar areal eksploitasi > > pertambangan? > > > DG: Kalau bicara IMPAS, maka dari kacamata teori ya nggak berlaku dong > mas, mana ada orang berusaha cuma sampai BEP doang? Mereka tentu akan > mencari untuk supaya bertahan hidup, supaya bisa melanjutkan bisnis > dan mendapatkan explorasi di tempat lain, memangnya explorasi biayanya > murah? Mahal mas, bahkan jauh lebih mahal daripada exploitasi! > Kalau bicara kerusakan alam, silakan sekali-kali anda jalan-jalan ke > tambang yang dikelola orang asing dengan yang dikelola pengusaha > republik deh... (paling mudah lihatlah tambang-tambang batubara di > Kalsel sana...) Saya sudah saksikan sendiri bagaimana tingkat kerusakan ekologi yang dilakukan perusahaan pertambangan PT.KEM dan KPC (anak perusahaan Rio Tinto) di Kalimantan Timur. Begitu juga yang terjadi di Kalimantan Selatan o
Re: [ppiindia] Re: Dikuras Asing (tanggapan untuk Mas Bagong alias DG) (tanggapan balik)
- Original Message - From: "Mas Bagong" <[EMAIL PROTECTED]> To: Sent: Thursday, June 23, 2005 4:49 PM Subject: Re: [ppiindia] Re: Dikuras Asing (tanggapan untuk Mas Bagong alias DG) (tanggapan balik) Mas Bagong, Coba direview berbagai tanggapan maupun komentar saya, tidak satu pun yang mempertanyakan pergulatan anda dilapangan minyak atau siapapun yang coba berpendapat tentang PERTAMINA dan Migas. Saya coba mengembalikan satu lontaran pernyataan mas Bagong (yang seolah-olah) hanya orang yang berkubang dilapangan MIGAS yang memiliki kapasitas berpendapat tentang MIGAS dan PERTAMINA. > Bang Yopie: > Kalau anda bertanya apakah saya pernah di lapangan minyak, maka saya > jawab bahwa saya sudah pernah bekerja di berbagai lapangan minyak, > mulai dari Prabumulih SUmsel, Asamera bahkan hingga di Handil > Kaltim... Pernah di pertambangan emas mulai dari Freeport di Irian > hingga eksplorasi di Lhok SUkon Blang Kejeren... Pernah kerja di > pengeboran geothermal mulai dari masa jaya geothermal hingga hancurnya > proyek geothermal saya ngalami... > Jadi saya bekerja untuk berbagai perusahaan mulai dari yang sangat > profesional dengan sistem HSE yang bagus hingga perusahaan yang > 'ceng-ceng-po' alias sekedar proyek 'money-laundering' > > Makanya untuk mengubah mental adalah dengan membangun sebuah sistem dan > > mekanisme kontrol (memangnya perubahan itu datang dari langit), dimana > > publik bisa terlibat dalam proses pengontrolan tersebut. Cara-nya dengan > > membentuk satu komisi dari berbagai latar belakang disiplin ilmu (NGO, > > Akademisi, Birokrat), Komisi ini bisa bersifat permanen atau pun ad-hoc yang > > disesuaikan dengan kebutuhan. Tapi semuanya tergantung dari POLITICAL WILL > > dab GOOD WILL pemerintah untuk menyehatkan PERTAMINA. > > > DG: masalahnya apakah dengan kondisi pertamina sekarang ini akan > efektif? Artinya bisakah pertamina ini nanti mensejahterakan rakyat? > Lihatlah berita terakhir mengenai tumpahan minyak pertamina di Jambi, > bagaimana mereka tidak profesional dalam bidang HSE mereka...Ini baru > contoh kecil mas Kalau mau diberikan pun sekarang, saya khawatir > sepanjang sistemnya masih kaya begini, ya malah ngabis-ngabisin duit > dan nambahin utang negara...(ujung-ujungnya pajak pendapatan dinaikkan > lagi nih...) Tolong anda baca pendapat saya diatas (yang berada tepat diatas pendapat anda ini). Saya mengatakan dengan jelas bahwa harus dilakukan perombakan sistem dan mekanisme untuk mengontrol kinerja dan manajemen PERTAMINA. Baca dong mas (jangan asal nanggapi doang) > > > > > Paling aman ya akhirnya seleksi alam, siapa yang efektif dan efisien, > > > akan menang... Toh yang paling penting adalah hasil ini kembali ke > > > rakyat Indonesia ya nggak? Namun rela nggak tuh kita melihat seperti > > > ini? Melihat Pertamina mati kehabisan darah karena harus bertempur > > > melawan raksasa-raksasa? > > > Makanya efisiensi dan efektifitas adalah kunci dasar untuk mengurai > > > benang ruwet perusahaan ini... (PLUS kemauan dan kemampuan berbuat > > > jujur serta rela berkorban ...walah idealis amat!) > > > > Pendapat anda sangat ambigu, manakala disatu sisi anda menginginkan dan > > tidak rela kalau PERTAMINA mati dan kehabisan darah karena harus bertempur > > melawan maskapai-maskapai raksasa pertambangan. Sementara disisi lain anda > > tidak resisten terhadap kebijakan pemerintah yang memberikan ladang-ladang > > migas Indonesia disedot maskapai-maskapai pertambangan Internasional. Untuk > > itu, pemerintah Indonesia harus segera didesak agar menjalanakan program > > industrialisasi nasional, atau yang lebih ekstrim lagi : NASIONALISASI... > > Berani kah pemerintah indonesia? > > > DG: Nasionalisasi? Yah mas, sekarang ini bukan masa BK yang demikian > mudah menasionalisasi perusahaan orang... Itu sebuah pernyataan dari saya buat pemerintah sebagai sebuah solusi ektrem dalam mengatasi berbagai persoalan kebangsaan. Why not? Lihat perkembangan terakhir di Venezuela dan Bolivia. Saat Presiden Hugo Chavez dengan dukungan rakyat Venezuela dengan tegas dan lugas mengecam praktek kebijakan Ekonomi dan Politik USA, dan menolak program Privatisasi yang diajukan IMF dan Bank Dunia. Salah satu kebijakan Hugo Chavez yang akan segera dijalankan adalah menasionalisasi semua aset-aset asing. Lihat juga bagaimana rakyat di Bolivia yang mendesak Pemerintah-nya untuk menasionalisasi Perusahaan pertambangan seperti Repsol, British Petroleum, Total Fina, Enron, Shell, Petrobras dan lainnya. Kesimpulannya : Program Nasionalisasi bukanlah sesuatu yang tidak mungkin di masa sekarang. > >Bayangkan anda punya sebuah > perusahaan dan anda habiskan jutaan dolar untuk investasi lalu > mendadak orang datang dan mengambil alih begitu saja? Yang bener aja? Pendapat anda diatas ini yang paling menggelitik buat saya. Apakah kekayaan ALAM Indonesia yang dieksploitasi tidak sebanding dengan Investasi jutaan dollar tersebut? Apakah mereka bisa berinvestasi dan melipatgandakan k
Re: [ppiindia] Re: Dikuras Asing (tanggapan untuk Mas Bagong alias DG) (tanggapan balik)
- Original Message - From: "Mas Bagong" <[EMAIL PROTECTED]> To: Sent: Thursday, June 23, 2005 1:32 PM Subject: Re: [ppiindia] Re: Dikuras Asing (tanggapan untuk Mas Bagong alias DG) Bung DG (kenapa cuma pakai Inisial?) Tangapan saya ada dibawah komentar anda.. > Bang Yopie: > Mengubah mental memang tidak semudah membalik tangan kita, ini butuh > waktu yang mungkin memakan waktu satu generasi atau bahkan seabad atau > mungkin tujuh turunan... Untuk memangkas waktu adalah memang dengan > melakukan 'revolusi' yaitu 'tebang tebu' bagian atas dipotong bagian > akarnya didongkelin supaya bersih Namun ini akan memakan banyak > korban dan mungkin instabilitas di negeri ini... Atau kita tingkatkan > pengawasan terhadap Pertamina? Tapi bagaimana mungkin sapu kotor > membersihkan lantai? Harus membersihkan sapu ini dulu, atau impor sapu > dari luar? Nanti saya dikatakan tidak nasionalis lagi, nanti dikatakan > asing menguras jatah auditor, dll, dsb. Makanya untuk mengubah mental adalah dengan membangun sebuah sistem dan mekanisme kontrol (memangnya perubahan itu datang dari langit), dimana publik bisa terlibat dalam proses pengontrolan tersebut. Cara-nya dengan membentuk satu komisi dari berbagai latar belakang disiplin ilmu (NGO, Akademisi, Birokrat), Komisi ini bisa bersifat permanen atau pun ad-hoc yang disesuaikan dengan kebutuhan. Tapi semuanya tergantung dari POLITICAL WILL dab GOOD WILL pemerintah untuk menyehatkan PERTAMINA. > Paling aman ya akhirnya seleksi alam, siapa yang efektif dan efisien, > akan menang... Toh yang paling penting adalah hasil ini kembali ke > rakyat Indonesia ya nggak? Namun rela nggak tuh kita melihat seperti > ini? Melihat Pertamina mati kehabisan darah karena harus bertempur > melawan raksasa-raksasa? > Makanya efisiensi dan efektifitas adalah kunci dasar untuk mengurai > benang ruwet perusahaan ini... (PLUS kemauan dan kemampuan berbuat > jujur serta rela berkorban ...walah idealis amat!) Pendapat anda sangat ambigu, manakala disatu sisi anda menginginkan dan tidak rela kalau PERTAMINA mati dan kehabisan darah karena harus bertempur melawan maskapai-maskapai raksasa pertambangan. Sementara disisi lain anda tidak resisten terhadap kebijakan pemerintah yang memberikan ladang-ladang migas Indonesia disedot maskapai-maskapai pertambangan Internasional. Untuk itu, pemerintah Indonesia harus segera didesak agar menjalanakan program industrialisasi nasional, atau yang lebih ekstrim lagi : NASIONALISASI... Berani kah pemerintah indonesia? > APakah orang harus ke lapangan minyak untuk berbicara minyak? > Sebaiknya begitu, dengan demikian dia tahu 'jurus-jurus' yang harus > dimainkan... Itu urusan negosiator untuk merekrut para ahli atau tekhnisi pertambangan! Tapi pertanyaan anda kan mengarah pada satu titik bahwa : hanya orang-orang yang pernah bekerja dilapangan minyak-lah yang boleh berkomentar tentang Migas secara umum dan Pertamina secara khusus. Saya yang tidak pernah bekerja dilapangan minyak tidak boleh berkomentar. Emangnya PERTAMINA milik nenek moyang orang-orang yang pernah bekerja dilapangan minyak? Ini cuplikan pertanyaan anda : Pernahkan anda bekerja di lapangan minyak? Kalau sudah pernahkah membandingkan antara PERTAMINA dengan perusahaan lain? Bayangkan ketika pihak EMOI misalnya memainkan 'jurus' > explorasi sebagai alasan meminta persentase bagi hasil harus besar > misalnya, kalau nggak tahu apa itu eksplorasi bagaimana mungkin bisa > mematahkan 'jurus' ini? Atau kalau nggak tahu misalnya apa itu > drilling operation, lha bagaimana mungkin menekuk alasan lawannya? > Boleh saja pemegang keputusan tidak tahu mengenai operaional minyak, > tetapi setidaknya tim ahlinya harus ada Masuk akal khan? > Ini baru perbandingan kecil mas Kalau mau saya jentrengkan di sini > betapa Petronas telah melibas habis pertamina tambah sakit hati > saya... (bagaimanapun saya tetap orang Indonesia broer!) > DG > > On 6/23/05, Yopie Peranginangin <[EMAIL PROTECTED]> wrote: > > Bung DG, > > > > Apakah anda mempunyai resep untuk mereparasi "mental" para punggawa > > Pertamina? Kalau persoalan mental yang menjadi akar permasalahan di > > PERTAMINA. Karena tidak ada alat ukur yang dapat dijadikan indikator untuk > > menilai kadar mental seseorang, sangat relatif bung. Hanya Tuhan yang punya > > alat ukur untuk menilai kadar mental manusia (baik dan buruk). Disamping > > itu, sarana perbaikan mental manusia sudah cukup banyak dan bertabur > > dimana-mana. Misalnya, begitu banyak acara-acara keagamaan di berbagai media > > elektronik (TV, Radio), khotbah-khotbah diberbagai rumah ibadah dll, yang > > selalu mengajak umat manusia untuk berbuat kebajikan (jangan korupsi, > > menolong antar sesama dll). T
Re: [ppiindia] Re: Dikuras Asing (tanggapan untuk Mas Bagong alias DG) + (Fauziah Swasono)
Mbak, Pak atau siapapun anda... Saya memang aktif di milis ini terhitung sekitar 4 hari Terlepas bahwa apa yang saya sampaikan pernah didiskusikan sebelumnya, tanggapan yang saya buat hanya ditujukan untuk menjawab komentar dari Pak DG. Semoga anda paham dengan pernyataan saya. Saya sedikit berkomentar atas pendapat anda dan mudah-mudahan tidak mengulang perdebatan yang sudah ada, demi efisiensi (kapitalis banget.) : Cross-countries investment adalah hal yang wajar dalam persfektif Globalisasi atau neoliberalisme, tapi kemudian menimbulkan pertanyaan lanjutan dalam konteks penguatan industri nasional atau bisa disebut juga sebagai program industrialisasi nasional. Seberapa kuat industri-industri pertambangan nasional menahan guncangan dalam pusaran Pasar Bebas dengan hukum rimbanya? Apakah harapan mengubah PERTAMINA menjadi World Class Company disandarkan pada pundak maskapai-maskapai pertambangan seperti EMOI??? Dengan harapan akan terjadi proses transformasi pengelolaan??? Mungkin harapan tersebut bisa terealisasi di Acara "MIMPI KALI YEE" di TV. Dan tidak bisa dipungkiri bahwa minyak dan gas adalah komoditi kelas dunia, karena negara-negara industri maju (G-8) membutuhkan supply Migas untuk menggerakkan roda perekonomian-nya. Ironisnya, menguatnya perekonomian negara-negara industri maju disalahgunakan untuk menghancurkan negara-negara dunia ketiga, yang selama ini menjadi penyuplai minyak ke negara-negara tersebut. Demi minyak! Strategi perang pun dilakoni (invasi USA ke Irak-red atau intervensi USA dikawasan timteng). Salam Jopi - Original Message - From: "fauziah swasono" <[EMAIL PROTECTED]> To: Sent: Thursday, June 23, 2005 12:20 PM Subject: [ppiindia] Re: Dikuras Asing (tanggapan untuk Mas Bagong alias DG) > Sorry, terpaksa nimbrung lagi dikit (I have committed to myself to > quit from this thread). > > 1. Apakah Pak Jopi baru mengikuti diskusi ini? Kalau ya, sebaiknya > anda masuk dulu ke archive-milis ini dan baca dulu imel2 sebelumnya > yang membahas soal Cepu ini. Supaya tidak perlu mengulang pembahasan > yang sudah dibahas. Maaf, ini cuma demi efisiensi. > > 2. Sedikit fakta dari Malaysia: > Petronas controls oil production through partnerships with Exxon (Esso > Production Malaysia) and Shell (Sabah Shell Petroleum, Sarawak Shell > Berhad, and Sarawak Shell/Petronas Carigali). Kalau saya tidak salah, > Exxon ini produsen minyak terbesar di Malaysia. Dan banyak perusahaan > asing menambang minyak di Malaysia. > > Petronas melakukan pekerjaan perminyakan di China, Qatar, Australia, > Philippines, Pakistan, South Africa, dan Turkmenistan. Untuk > perusahaan minyak, cross-countries investment adalah hal yang wajar. > Menyangkut banyak hal: spesifikasi expertise, tetek-bengek kewajiban > yang menyertai, dana, panjang kontrak, dll. Lagipula, minyak dan gas > adalah komoditi kelas dunia, bukan spesifik untuk suatu negara saja, > sehingga kalau mau sukses berbisnis dibidang ini mesti berkualitas > World-class. > > salam, > > fau and a box of chocolate > ps. masih nunggu audit pertamina > > > --- In ppiindia@yahoogroups.com, "Yopie Peranginangin" <[EMAIL PROTECTED]> > wrote: > > Bung DG, > > > > Apakah anda mempunyai resep untuk mereparasi "mental" para punggawa > > Pertamina? Kalau persoalan mental yang menjadi akar permasalahan di > > PERTAMINA. Karena tidak ada alat ukur yang dapat dijadikan indikator > untuk > > menilai kadar mental seseorang, sangat relatif bung. Hanya Tuhan > yang punya > > alat ukur untuk menilai kadar mental manusia (baik dan buruk). > > > > > *** > Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.org > *** > __ > Mohon Perhatian: > > 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) > 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. > 3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; > 4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED] > 5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED] > 6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED] > > Yahoo! Groups Links > > > > > > > > > *** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.org *** __
Re: [ppiindia] Re: Dikuras Asing (tanggapan untuk Mas Bagong alias DG)
Bung DG, Apakah anda mempunyai resep untuk mereparasi "mental" para punggawa Pertamina? Kalau persoalan mental yang menjadi akar permasalahan di PERTAMINA. Karena tidak ada alat ukur yang dapat dijadikan indikator untuk menilai kadar mental seseorang, sangat relatif bung. Hanya Tuhan yang punya alat ukur untuk menilai kadar mental manusia (baik dan buruk). Disamping itu, sarana perbaikan mental manusia sudah cukup banyak dan bertabur dimana-mana. Misalnya, begitu banyak acara-acara keagamaan di berbagai media elektronik (TV, Radio), khotbah-khotbah diberbagai rumah ibadah dll, yang selalu mengajak umat manusia untuk berbuat kebajikan (jangan korupsi, menolong antar sesama dll). Tapi apa yang terjadi? Dalam konteks ini, apakah mental sebagai akar permasalahan masih relevan sebagai alat ukur indikator perbaikan kinerja dan manajemen PERTAMINA? Selanjutnya, absurditas yang saya sampaikan terkait pengembaraan PERTAMINA ke Irak. Dimana logika-nya, jika untuk mengelola ladang minyak dan gas, PERTAMINA harus mengembara jauh ke negeri 1001 malam (naik PERMADANI kali yee) sementara dinegeri sendiri terdapat cadangan minyak dan gas yang dikelola (Blok Cepu) atau dieskploitasi oleh maskapai-maskapai pertambangan internasional. Apa yang terjadi tersebut telah mementahkan alasan terbesar penyerahan pengelolaan Blok Cepu ke tangan EMOI, dimana salah satu alasannya adalah ketidakmampuan PERTAMINA untuk mengelola Blok Cepu secara mandiri karena lemahnya sumber daya dan infrastruktur pendukung eksploitasi. Gelo atuh Trus, yang membuat saya bertanya-tanya atas tanggapan anda adalah : persoalan perbandingan kemajuan antara PETRONAS dengan PERTAMINA. Masak ukurang kemajuan tersebut hanya dikarenakan kepemilikan atas sebuah tim balap F-1 dan superbike Masih banyak tuh maskapai-maskapai pertambangan raksasa yang tidak mempunyai tim balap (F-1, MotoGP, Superbike dll). Dan semakin buram-nya potret pengelolaan PERTAMINA seandainya mempunyai tim balap F-1 atau motoGP, ditengah keterpurukan bangsa Indonesia. ps : untuk mengetahui seluk beluk PERTAMINA, kan gak harus kerja dilapangan minyak. Emangnya Rizal Malarangeng pernah kerja dilapangan minyak sampai ditunjuk oleh Pemerintah menjadi salah satu juru runding pemerintah dengan EMOI??? Salam Jopi - Original Message - From: "Mas Bagong" <[EMAIL PROTECTED]> To: Sent: Thursday, June 23, 2005 9:32 AM Subject: Re: [ppiindia] Re: Dikuras Asing > Masalahnya Bung Yopie: > Kalau mau membuat PERTAMINA atau persuahaan republik ini besar, harus > dari fundamental dulu yaitu perbaikan mental Jangan salah, > Pertamina masuk ke Irak bukan karena 'ditundhung' dari negeri sendiri, > tetapi karena ketidakmampuan mereka bekerja dengan efektif dan > efisien... Yang kedua kemenangan Pertamina di Irak, karena faktor > hubungan kedua negara (Irak dan Indonesia) yang begitu 'mesra'... > Pernahkan anda bekerja di lapangan minyak? Kalau sudah pernahkah > membandingkan antara PERTAMINA dengan perusahaan lain? Terus terang > saya ngiler lihat kinerja PETRONAS Malaysia (meski saya nggak suka > sama pemerintah malaysia) mereka di tahun 70-an belajar di PERTAMINA, > tetapi sekarang PETRONAS mampu melompati PERTAMINA bahkan jauh di > langit! Merke mampu memiliki Tim Balap F1 atau SUperBike, Pertamina? > Kagak pernah denger tuh! > Inilah masalahnya MENTAL! Mau dengan alasan apapun sepanjang > mental masih nggak karuan, maka tidak ada gunanya lapangan minyak > sedunia sekalipun dikuasai PERTAMINA! > DG > > On 6/22/05, Yopie Peranginangin <[EMAIL PROTECTED]> wrote: > > Saya coba ikut nimbrung... > > > > Tapi bukan berarti jalan keluarnya harus menyerahkan pengelolaan Blok Cepu > > ke EMOI, apalagi dengan alasan mental korup para pejabat PERTAMINA (yang > > memang busuk). Tapi seharusnya kan dibangun satu mekanisme kontrol yang > > ketat terhadap pengelolaan dan manajemen PERTAMINA. Yang paling mengherankan > > adalah masalah pengembaraan Pertamina di Western Dessert (Irak) yang > > kontraknya sudah ditandatangani oleh Pertamina dan Pemerintah Irak semasa > > Presiden Saddam Hussein. Blok di Western Dessert ini dikabarkan mengandung > > minyak mentah (crude oil) sebanyak 3 juta barel (sumber : Suara Karya). > > Hal yang membuat naluri ingin tahu kita semakin besar, alangkah teganya > > membiarkan sedemikian jauhnya Pertamina mencari minyak padahal di sisi lain > > potensi di dalam negeri seperti yang ada di Blok Cepu sangat besar yaitu > > sebanyak 770 juta barel. Asumsi untuk memberikan Blok Cepu ke Pertamina ini > > tidaklah berlebihan, sebab Blok Cepu adalah Wilayah Kerja Pertamina (WKP) > > yang seandainya tidak diberikan kepada ExxonMobil bukanlah merupakan > > pelanggaran hukum. Persoalan Blok Cepu, sebaiknya jangan sekadar dijadikan > > komoditas, semata
Re: [ppiindia] Re: Dikuras Asing
Saya coba ikut nimbrung... Tapi bukan berarti jalan keluarnya harus menyerahkan pengelolaan Blok Cepu ke EMOI, apalagi dengan alasan mental korup para pejabat PERTAMINA (yang memang busuk). Tapi seharusnya kan dibangun satu mekanisme kontrol yang ketat terhadap pengelolaan dan manajemen PERTAMINA. Yang paling mengherankan adalah masalah pengembaraan Pertamina di Western Dessert (Irak) yang kontraknya sudah ditandatangani oleh Pertamina dan Pemerintah Irak semasa Presiden Saddam Hussein. Blok di Western Dessert ini dikabarkan mengandung minyak mentah (crude oil) sebanyak 3 juta barel (sumber : Suara Karya). Hal yang membuat naluri ingin tahu kita semakin besar, alangkah teganya membiarkan sedemikian jauhnya Pertamina mencari minyak padahal di sisi lain potensi di dalam negeri seperti yang ada di Blok Cepu sangat besar yaitu sebanyak 770 juta barel. Asumsi untuk memberikan Blok Cepu ke Pertamina ini tidaklah berlebihan, sebab Blok Cepu adalah Wilayah Kerja Pertamina (WKP) yang seandainya tidak diberikan kepada ExxonMobil bukanlah merupakan pelanggaran hukum. Persoalan Blok Cepu, sebaiknya jangan sekadar dijadikan komoditas, semata untuk mempercepat dilakukannya produksi tahun 2008 Yang paling utama sebenarnya dari pemindahan pengelolaan Blok Cepu adalah, seberapa besar bagian yang didapat Indonesia dari proses produksi-nya. Mungkin sebagai gambaran, cuplikan pendapat Rizal Malarangeng sebagai juru runding Pemerintah Indonesia : Dari satu berita, Rizal menyebut Indonesia akan dapat Rp 15-20 trilyun per tahun dari Exxon: == Rizal said that the state would at least acquire revenues of around Rp15-20 trillion per year from the renewal, depending on world crude oil prices. http://www.tempo.co.id/majalah/free/eco-1.html == Padahal dari berita di Sinar Harapan, dengan kapasitas 300 ribu barel per hari (dan perkiraan cadangan 2 milyar barrel), pada harga US$ 50 per barrel pemerintah bisa mendapat Rp 54 trilyun per tahun. Artinya, Indonesia harus menyerahkan sekitar Rp 39 trilyun per tahun ke Exxon Mobil. Padahal biaya investasi pendirian pengeboran minyak hanya sekitar Rp 17 trilyun. Dalam setahun sudah bisa kembali (break event)! == Lapangan minyak Cepu ini memiliki kapasitas produksi sebesar 300 ribu barel per hari. http://www.sinarharapan.co.id/ekonomi/Keuangan/2004/0531/keu1.html == Direktur Pertamina, Widya Purnama, berkeras mengelola sendiri blok minyak Cepu. Seharusnya pemerintah mau pun intelektual yang jujur mau mendukungnya. == Dari penjelasan dirut PERTAMINA tersebut memperjelas bahwasanya kita mampu mengelola Blok Cepu tersebut... Salam, Jopi --- Original Message - From: "fauziah swasono" <[EMAIL PROTECTED]> To: Sent: Wednesday, June 22, 2005 6:55 PM Subject: [ppiindia] Re: Dikuras Asing > --- In ppiindia@yahoogroups.com, A Nizami <[EMAIL PROTECTED]> wrote: > > Mbak Fauziah, minyak itu ditambang dari zaman Koboy > > tahun 1800-an itu sejarah! Petambang Cepu menambang > > minyak dgn tenaga sendiri fakta! > > Bisa sih bisa mas, kalau kebetulan ketemu minyak yang sudah merembes > dekat permukaan. Saya juga tau cerita ini, juga di Prabumulih Sumsel. > Tapi kalau mesti pake injection technology misalnya? > Anda tidak tahu kan berapa perbandingan recovery factor pada teknologi > zaman kuda dan pada teknologi modern sekarang? > > > > > Kalau BUMN seperti Pertamina atau perusahaan lokal > > seperti Medco, Star, dsb, tentu jauh lebih canggih > > dari itu. > > > > Kebetulan di milis Ekonomi Nasional yang saya > > moderate, banyak orang2 dari Pertamina, Petrosea, > > serta perusahaan minyak lainnya. Jadi saya dapat > > masukan dari mereka. Bahkan sebelumnya yang melakukan > > eksplorasi di Cepu adalah PT Humpuss. > > > > Iyalah, mungkin anda memang jago ekonomi segala macam termasuk ekonomi > energi. > > > Janganlah kita mau jadi antek asing. Lebih baik kelola > > sendiri kekayaan alam kita hingga hasilnya 100% utuh > > di tangan bangsa. Kasihanilah rakyat kita. > > > > > > Siapa yang jadi antek? Kalem dong.. baca dulu 2 postingan saya sebelum > ini. Adakah saya bilang bahwa saya ingin Cepu diberikan ke asing? > Saya heran, waktu BBM mau dinaikkan kayaknya ada orang2 yang marah > sekali dan menuntut Pertamina yg sarang korupsi supaya lebih efisien > dll... Kok, sekarang tiba2 jadi percaya dan sayang sekali sama > Pertamina? Amnesia mendadak? > > Saya kira kita semua bertujuan memaksimalkan keuntungan bangsa... atau > bukan? Asal masuk kekantong bangsa walau dikorupsi lebih baik? > Ini saya kutipkan sedikit keprihatinan seorang teman: > > Celakanya ketika kita berupaya agar ladang minyak dan gas lebih banyak > dikelola dan ditangani oleh perusahaan anak bangsa, misalnya "Coastal > Plain" - bekas konsesi Caltex yang dituntut oleh Provinsi Riau melalui > Siak Pusako, produksinya anjlok, jauh di bawah ketika dikelola Caltex. > Bahkan Dirutnya masuk penjara karena korupsi. Lagi-lagi soal sikap mental. > > > > fau > > > > > *** >