Re: [ppiindia] Re: Ekonomi Islam vs Ekonomi Neo-Liberal

2005-09-07 Terurut Topik Yopie Peranginangin
Lha wong yang masuk dalam jajaran orang2 terkaya didunia adalah emir2 dari 
Arab, dengan kekuasaan absolut menumpuk harta yang notabene menerapkan 
syariat islam.

Sejak 1994-1998, nilai kekayaan bersih 200 orang
terkaya di dunia bertambah dari 40 miliar dolar AS
menjadi lebih dari 1 trilun dolar AS; aset tiga orang
terkaya di dunia lebih besar dari GNP 48 negara
terbelakang; 1/5 orang terkaya di dunia mengkonsumsi
86% semua barang dan jasa; 1/5 orang termiskin dunia
hanya mengkonsumsi kurang dari 1% saja (The United
Nations Human Development Report, 1999).



 Yahoo! Groups Sponsor ~--> 
Give at-risk students the materials they need to succeed at DonorsChoose.org!
http://us.click.yahoo.com/Ryu7JD/LpQLAA/E2hLAA/BRUplB/TM
~-> 

***
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://www.ppi-india.org
***
__
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Reading only, http://dear.to/ppi 
4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
[EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
http://docs.yahoo.com/info/terms/
 





[ppiindia] Aluminium, terrorism and war

2005-08-30 Terurut Topik Yopie Peranginangin
Aluminium, terrorism and war 
It's historically the most bombed country on earth. An estimated half a ton of 
bombs for each child, woman and man were dropped on Laos during the US-waged 
war thirty years and more ago. That's more per every Laotian citizen than the 
bombs unleashed on London in early July 2005. However, many of the US bombs 
didn't explode. Now, Laotians are precariously trying to recover the aluminium, 
used as casings for the body-shredding "cluster bombs" which epitomised 
state-sponsored terrorism directed against "innocent people" in South East 
Asia. It's a savage irony that - just as this unusual form of recycling 
receives attention in the UK media - the Pentagon is warning that its supplies 
of aluminium, along with titanium and speciality steels, are being "threatened" 
by rising Chinese demand. 

>From bombs to boats: The legacy of war in Laos 

The Independent (UK) 

July 11 2005 

During the Vietnam war, the US dropped thousands of bombs on Laos, many of 
which failed to explode. Impoverished villagers now gamble with death as they 
salvage the scrap By Matt Warren 

High among the opium fields of rural Laos, Khongsi is transforming bombs into 
pots and pans. As his children scuffle nearby, he is crouched over a 
blacksmith's forge, melting down a sheet of aluminium salvaged from a US 
cluster-bomb container. The flames are licking at the green paint and the USAF 
insignia is bubbling in the heat. Next day, he will be cooking rice in a pan 
made from war scrap. 

His thatched workshop, in the remote village of Ban Knapsi, is littered with 
debris from the Vietnam War. He uses a defunct 75mm shell as an anvil and the 
roof is propped on four more of the cluster-bomb containers. Outside, a dog is 
sniffing at a pile of rusting mortar shells, stacked in neat rows, like fruit 
at market. 

"I can make anything from war scrap," he says. "I make knives for eating and 
spades for the farmers. I have even made a rifle for hunting. Almost every 
metal item in the village has been made from war scrap." 

The cattle troughs, the fences, the stilts for the simple bamboo houses have 
all been made from war scrap. In a neighbouring community, the villagers keep a 
wing from a downed US fighter. "We are saving it for when times are tough," one 
says. 

"We could sell it, or we could turn it into tools for the fields." In some 
regions, fuel tanks discarded by US jets are transformed into boats and buzz 
along the Mekong River, filled with fishermen. 

The war scrap is the legacy of the "secret war" by the United States against Ho 
Chi Minh's Communist units. More than two million tons of bombs fell on Laos 
between 1964 and 1973, more than half a ton for every man, woman and child. By 
the time the US fled Saigon three decades ago, neutral Laos had become the most 
heavily bombed country, per capita, in history. 

Back then, US bombers were the only contact villages had with the outside 
world. And the devastation they left was absolute. Buarsi, Khongsi's 
74-year-old neighbour, says he was forced to leave the village when it was 
scrubbed from the map in 1969. 

He is sitting cross-legged, picking at brown teeth with a sliver of bamboo. 
Opium heads hang from the beams and a pipe, contents unknown, is being passed 
through the group. His wife is making tea in a pan made from bomb scrap, which 
sits over the flames on a tripod assembled from spent shell cases. The heavy, 
smoky air is soporific. 

"It was like the end of all things," he says. "The place where our village once 
stood was empty, a wasteland scattered with bombs and craters. Today, we are 
still surrounded by the bombs. We can get metal from some of them, while others 
kill our children in the fields. There is hope and there is despair." Ban 
Knapsi is typical of villages across Xieng Khouang province. During the war, 
North Vietnamese troops poured into this part of Laos to support the country's 
own Communist insurgency and US bombers were never far away. 

Walking around the village with the UK-based landmine-clearance charity, the 
Mines Advisory Group (MAG), villagers point out unexploded bombs. Some are in 
thick scrub, others protrude from mud. One lies in the centre of the village, 
while everyday life goes on around it. 

As MAG technicians destroy the weapons, explosions tear through the village, 
shaking clouds of brightly coloured birds into the air and sending ripples 
through the paddy fields. But for many Laotians, this is now the sound of hope: 
since the end of the war, several people have been killed by unexploded bombs 
in Ban Knapsi. By the time the MAG technicians have finished, the village will 
be a safer place. 

But from the air, en route to Xieng Khouang's provincial capital, Phonsovan, 
the legacy America left shows in its starkest focus. From 30,000ft, this 
beautiful but battered country is pock-marked by bomb craters. Vegetation fails 
to take in the deeper sandy earth of the craters and flourishes

[ppiindia] Jika Minyak Seratus Dolar per Barel : Farid Gaban

2005-08-09 Terurut Topik Yopie Peranginangin
Jika Minyak Seratus Dolar per Barel

Oleh Farid Gaban
Pena Indonesia

Harga minyak pekan ini menembus angka baru: US$ 64 per barel. Beberapa
pengamat mengatakan tidak mustahil harga komoditi strategis ini akan
bisa sampai US$ 100 per barel. Apa yang akan menimpa negeri ini jika
itu terjadi?

Ini pertanyaan hipotetis, tentu saja. Tapi, punyakah negeri ini
rencana darurat untuk menghadapi situasi semacam itu? Untuk menghadapi
tusnami dan kiamat kecil yang mungkin datang menyergap?

Bahkan dengan harga lebih rendah dari sekarang, dan dengan sebagian
besar subsidi sudah dicabut, pemerintah sudah dibuat pusing.
Kelangkaan minyak masih terjadi di beberapa daerah dan pemerintah
mengeluh negeri ini akan mengalami defisit anggaran: pengeluaran lebih
banyak dari pemasukan.

Pencabutan subsidi dan kelangkaan minyak telah mendorong naiknya
harga-harga seperti tercermin dalam kencangnya laju inflasi pada Juli
kemarin. Laju inflasi juga dipercepat jatuhnya nilai rupiah terhadap
dolar, akibat kebutuhan besar pemerintah akan dolar untuk mengimpor
minyak. (Bahkan jika minyak tak lagi disubsidi, kebutuhan dolar untuk
impor akan tetap tinggi jika tidak disertai penyusutan konsumsi minyak).

Dorongan terhadap inflasi hampir dua kali lipat dari sekarang  jika
minyak seharga US$ 100 per barel. Untuk mengerem laju inflasi dan
terjun bebas nilai rupiah Bank Indonesia harus menaikkan suku bunga
secara agresif. Akibatnya jelas: mengkerutnya pertumbuhan ekonomi
karena kebijakan uang ketat. Pertumbuhan ekonomi 5-6% yang diimpikan
pemerintah akan merupakan korban pertama. Lupakan!

Tapi, itu baru sebagian soal. Mengkerutnya ekonomi juga berarti
meningkatkan angka pengangguran. Naiknya suku bunga juga mendorong
tinggi cicilan utang negara. Tapi, bahkan dengan mengurangi
kewajiban pemerintah pada sektor sosial, seperti pendidikan dan
kesehatan dasar, belum tentu pemerintah bisa menutup defisit. Jika
defisit melebar, tekanan untuk menjual aset negara itu makin besar.
Perusahaan negara yang sehat pun mungkin harus dijual murah, seperti
dulu kita menjual Indosat dan sekarang kita sadari keliru. 

Tapi, bahkan itupun mungkin belum cukup. Jatuhnya nilai rupiah sendiri
sudah akan melipatgandakan nilai utang kita sekarang. Naiknya suku
bunga akan memperbesar pembayaran pokok dan cicilan utang kita, yang
kini mencapai sekitar 35%. 

Sampai di situ, kita tidak tahu apa yang akan terjadi, kecuali
barangkali kebangkrutan negara. Tapi, ancaman belum akan reda.
Departemen Pertanian sudah mengatakan kita akan mengalami defisit
produksi pangan pada 2005 ini. Naiknya harga minyak, akan menyedot
banyak sumberdaya yang memperkecil kemampuan pemerintah bisa mengimpor
beras.

Tak hanya ini akan merupakan kiamat ekonomi, tapi juga kiamat sosial.
Dan belum lagi kita memperhitungkan dampak sosial dari semua itu.
Krisis ekonomi dan sosial hanya satu langkah menuju krisis politik
yang akan membuat rumit semua persoalan. Chaos!

Kita tidak berharap itu semua terjadi. Tapi, bagaimana jika harga
minyak menjadi US$ 100 per barel?

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tidak bisa sendirian menghadapi
situasi ini. Gejolak ekonomi dan politik bukan mustahil bahkan justru
bisa memakan pemerintahan ini seperti yang umum terjadi sepanjang
sejarah dan di mana-mana.

Dalam situasi seperti itu pemerintah akan bersandar pada dukungan yang
solid. Ada setidaknya dua cara untuk memperkuat dukungan rakyat di
belakang pemerintah: ancaman kekuatan senjata (atau bentuk kekerasan
lain), dan kekuatan persuasi yang meyakinkan.

Kita tidak berharap cara pertama yang dipilih. Cara kedua punya risiko
lebih kecil, namun menuntut pengorbanan besar terutama di kalangan
pemerintah. Bahkan mungkin bukan pengorbanan besar, cukup perubahan
sikap. Presiden yang bisa mengatakan "I don't care" menyangkut dampak
ekonomi dan sosial bagi rakyat kebanyakan akibat pencabutan subsidi
bahan bakar akan sulit bisa membujuk rakyat untuk memiliki solidaritas
menghadapi kesulitan.

Selama puluhan tahun, mayoritas rakyat Indonesia sudah terbiasa hidup
sulit. Bagi banyak mereka, kehidupan tak bisa lebih buruk lagi, apapun
yang terjadi, termasuk naiknya harga minyak hingga US$ 100 per barel.
Mereka hanya membutuhkan solidaritas dari kaum elit, para intelektual
dan pemegang kekuasaan. Pengorbanan lain bagi para pejabat adalah
menunjukkan dengan penuh penghayatan, dan dengan sungguh-sungguh,
adanya "sense of crisis" dari pihak mereka. 

Untuk ujian yang pertama: relakah para menteri dan anggota DPR,
misalnya, melepaskan mobil pribadi mewah dan mulai naik mobil angkutan
umum? *



[Non-text portions of this message have been removed]



 Yahoo! Groups Sponsor ~--> 
http://us.ard.yahoo.com/SIG=12hunf33m/M=362343.6886681.7839642.3022212/D=groups/S=1705329729:TM/Y=YAHOO/EXP=1123651581/A=2894354/R=0/SIG=11qvf79s7/*http://http://www.globalgiving.com/cb/cidi/c_darfur.html";>Help
 Sudanese refugees rebuild their lives through GlobalGiving.
---

[ppiindia] Penghapusan (lagi) Subsidi Minyak : Farid Gaban

2005-07-19 Terurut Topik Yopie Peranginangin
Clear DayPenghapusan (lagi) Subsidi Minyak

Farid Gaban | Pena Indonesia

(Note: Artikel ini boleh dimuat di mana saja, online atau offline,
secara cuma-cuma]

Melalui Menteri Negara Pembangunan dan Kepala Bappenas Sri Mulyani,
pemerintah mengatakan sedang menimbang penghapusan lagi subsidi bahan
bakar minyak. Salah satu argumennya adalah naiknya harga minyak di
pasaran internasional, yang membuat nilai subsidi membengkak.

Sekilas nampak logis menghapus subsidi dengan dalih naiknya harga
minyak di pasaran internasional. Padahal, ini argumen absurd.

Bahan bakar adalah komoditas strategis. Bahan bakar merupakan komponen
hampir setiap barang yang kita konsumsi dan setiap jasa yang kita
nikmati. Layanan pendidikan atau kesehatan dasar, misalnya, mengandung
unsur guru atau dokter, yang membutuhkan makan dan transportasi untuk
berangkat kerja. Makanan harus dimasak. Pabrik mie instan pun perlu
bahan bakar untuk memprosesnya, bahkan ubi pun harus dimasak.

Mendasarkan penghapusan subsidi kepada harga minyak di pasaran
internasional sama saja dengan menyandarkan pola konsumsi kita pada
standar internasional. Pemerintah memaksa rakyat Indonesia, yang
rata-rata miskin, menjangkau harga produk dan jasa yang setara dengan
orang di Amerika atau Eropa. Dan jelas mereka takkan mampu.

Penghapusan subsidi memangkas daya beli rakyat terhadap produk dan
jasa. Makin tinggi harga minyak pasaran internasional, dan makin
sedikit subsidi, makin rendah daya beli masyarakat. Makin sulit mereka
memperoleh produk dan layanan, bahkan yang kualitasnya sangat rendah
pun, jauh lebih rendah dari standar internasional. Dan coba bayangkan
jika harga minyak di pasaran internasional mencapai US$ 100 per barel
seperti diramalkan oleh sejumlah pakar. Haruskah rakyat miskin
Indonesia membeli semua produk dan jasa yang terikat pada minyak tanpa
subsidi?

Subsidi adalah keharusan. Dan salah satu tugas pemerintah yang hakiki
memang memberi kemudahan kepada rakyatnya, yang salah satunya
mengambil bentuk pemberian subsidi.

Dalam kebijakan publik kita mengenal ada dua bentuk subsidi: subsidi
langsung dan subsidi tidak langsung. Subsidi bahan bakar minyak selama
ini adalah subsidi tidak langsung, pemerintah tidak membagi-bagikan
minyak secara langsung kepada rakyat, tapi menopang harga minyak agar
tetap murah. Dan dengan harga minyak yang relatif murah, rakyat bisa
mendapatkan produk dan layanan yang murah pula.

Subsidi tak langsung seperti itu memang ada kelemahannya, karena bisa
secara tidak proporsional dinikmati orang kaya, pemilik mobil pribadi,
pemakai barang-bawang mewah yang boros energi. Ini memang tidak adil.

Pemerintah selama ini mencoba membuat koreksi terhadap kemungkinan
ketidakadilan tadi, yakni dengan menyisihkan dana kompensasi. Dana
ini, dalam teori, diberikan secara langsung: beras, beasiswa, dan obat
untuk orang miskin. Tapi, kompensasi seperti itu tidak mungkin
efektif, seperti sudah dikeluhkan selama ini.

Dana kompensasi pada dasarnya merupakan bentuk subsidi langsung, yakni
langsung kepada orang miskin. Ini membutuhkan data yang akurat tentang
siapa orang miskin dan bagaimana subsidi itu bisa disalurkan kepada
mereka secara "door to door". Distribusi dari pintu ke pintu adalah
esensi subsidi langsung.

Ada 100 juta lebih orang miskin di Indonesia dengan standar pendapatan
di bawah US$ 2 per hari. Ada problem untuk mendistribusikan kompensasi
kepada seratus juta orang tadi. Pekerjaan raksasa yang muskil, belum
lagi memperhitungkan kebocoran dan korupsi di sepanjang jalur distribusi.

Namun, ada problem yang lebih serius. Pemerintah sendiri, seperti
diakui Kepala Bappenas Sri Mulyani, tak punya data akurat tentang
orang miskin di Indonesia. Sandard yang dipakai Biro Pusat Statistik,
berbeda dengan standar badan pemerintah lain, seperti BKKBN, misalnya.
Pemerintah sendiri bingung mana data yang mau dipakai.

Lebih dari itu, data perkiraan orang miskin didapat lewat metode
random sampling, bukan lewat sensus dari pintu ke pintu. Pemerintah
tak punya alamat orang miskin yang mau diberi kompensasi.

Subsidi tidak langsung, seperti subsidi bahan bakar yang diterapkan
pemerintah di masa lalu, sudah benar dan tak terhindarkan. Memang
harus ada mekanisme koreksi agar subsidi tidak dilahap sebagian besar
oleh orang kaya. Ada banyak mekanisme koreksi sebenarnya. Salah
satunya dengan pajak progresif untuk barang mewah.

Penghapusan subsidi minyak bukanlah keputusan bijaksana, bahkan jika
harga minyak di pasar internasional mencapai US$ 100 per barel, karena
dampaknya sangat luas dan mendalam bagi rakyat miskin. Mekanisme
penerapan pajak progresif lebih bijaksana, karena dampaknya cenderung
hanya dirasakan orang kaya.

Dengan cara ini, pemerintah juga tak perlu berteriak-teriak menghimbau
agar rakyat menghemat energi. Dengan penerapan pajak progresif, orang
kaya yang selama ini melahap konsumsi energi lebih banyak, akan
berpikir sendiri untuk berhemat. Dan jika mereka merasa terlalu kaya
untuk tidak berhemat, pemerintah akan memperoleh 

[ppiindia] World Bank Policies Destroy Forests Internal Report Documents Bank Contribution to Deforestation

2005-07-18 Terurut Topik Yopie Peranginangin
Clear Day 
World Bank Policies Destroy Forests
Internal Report Documents Bank Contribution to Deforestation
by Karinna Horta
Multinational Monitor magazine, June 2000



Destruction of tropical forests as well as of the world's temperate and boreal 
forests has continued unabated over the past decade, with consequences no 
longer seriously in dispute: Hundreds of millions of people who rely wholly or 
in part on the use of forests for their livelihoods are put at risk. 
Agriculture is suffering as local climates are changing with the advance of 
savannas and deserts. The world's terrestrial biodiversity, predominantly found 
in tropical forests, is increasingly at risk. In addition, deforestation 
worldwide is estimated to contribute about 20 percent of the greenhouse gases 
now released into the atmosphere.
Virtually all tropical forests are located in developing countries, and no 
single global institution plays a bigger role in developing countries than the 
World Bank.
Environmentalist campaigns in the 1980s against the World Bank's contribution 
to forest destruction-through support for commercial logging, road-building 
through forested areas and mega-dams that flooded large forest areas -led in 
the early 1990s to a rethink at the Bank. In 1991, the Bank published a Forest 
Policy paper which ended Bank support for commercial logging in primary forests 
and promised a new Bank approach that would emphasize conservation, poverty 
reduction and support for the rights of local people.
Nearly a decade later, the World Bank's Operations Evaluation Department (OED, 
its internal review agency), published a review in November 1999 of the Bank's 
implementation of its Forest Policy Paper of 1991. The OED report documents 
that the Bank's performance has been a flop.
"Bank influence on containing rates of deforestation in tropical moist forests 
has been negligible in the 20 countries identified for Bank focus," the report 
concludes.
The OED finds that World Bank has largely ignored the guidelines provided in 
the Forest Policy Paper, and that it has paid little attention to the impacts 
of its loans on forests. Most strikingly, the OED report identifies the 
economic policies promoted by World Bank structural adjustment programs as one 
of the driving forces of deforestation-meaning the Bank is making the problem 
worse.
In a break from previous World Bank studies, the OED report does not blame poor 
farmers and "slash and burn" agriculture for deforestation, nor is demographic 
pressure mentioned as a major underlying cause of forest loss. The new report 
declares globalization and economic policies designed to promote exports, bad 
governance, corruption and out-of control logging companies to be the driving 
forces of deforestation in the world.
ADJUSTMENT AND DEFORESTATION
Some of the economic policies identified by the OED report as harmful to 
forests, such as trade liberalization and export promotion, lie at the very 
heart of the World Bank's structural adjustment lending.
Structural adjustment loans are made to governments in exchange for their 
commitment to adopt a set of policy changes, including promotion of exports and 
opening up to foreign investment. Last year, for the first time in the World 
Bank's history, the volume of structural adjustment loans was larger than the 
volume of regular project loans, representing more than 50 percent of the 
institution's approximately $30 billion annual lending in fiscal year 1999.
The OED highlighted a range of structural adjustment measures that contribute 
to deforestation. "[P]olicies associated with economic crisis and 
adjustment-such as devaluation, export incentives and removal of price 
controls- tend to boost production of tradable goods, including agricultural 
and forestry products. In doing so, and without mitigatory measures, they 
encourage forest conversion," the report states. "Further, constrained fiscal 
situations may lead to reduced public spending on environmental protection and 
weaken the capacities of forest ministries to enforce laws and regulations. "
Yet the OED report concludes that "the Bank has made little progress in 
addressing the impacts of adjustment lending on the forest sector." In a few 
cases, the Bank has added special conditionalities to protect forests to 
structural adjustment packages. However, the OED report found that these 
measures "lack credibility," because building capacity and institutions require 
long-term efforts and agreement from national governments.
While emphasizing the distinction between the processes of globalization and 
Bank adjustment lending, Uma Lele, an adviser in the World Bank's OED and the 
chief author of the November report, says that "the Bank's own adjustment 
lending must do a better job of environmental impact assessment." Noting the 
technical difficulty in conducting such an analysis (as compared to 
environmental assessments for project loans), she says that she is relati

[ppiindia] People vs Empire by Arundhati Roy

2005-07-18 Terurut Topik Yopie Peranginangin
Clear DayPeople vs Empire
by Arundhati Roy
In These Times magazine, January 2005


In India, the word public is now a Hindi Word. It means people. In Hindi, we 
have sarkar and public, the government and the people. Inherent in this use is 
the underlying assumption that the government is quite separate from "the 
people:' However, as you make your way up India's complex social ladder, the 
distinction between sarkar and public gets blurred. The Indian elite, like the 
elite anywhere in the world, finds it hard to separate itself from the state.
In the United States, on the other hand, the blurring of this distinction 
between sarkar and public has penetrated far deeper into society. This could be 
a sign of robust democracy, but unfortunately it's a little more complicated 
and less pretty than that. Among other things, it has to do with the elaborate 
web of paranoia generated by the US. sarkar and spun out by the corporate media 
and Hollywood. Ordinary people in the United States have been manipulated into 
imagining they are a people under siege whose sole refuge and protector is 
their government. If it isn't the Communists, it's al Qaeda. If it isn't Cuba, 
it's Nicaragua. As a result, the most powerful nation in the world is peopled 
by a terrified citizenry jumping at shadows. A people bonded to the state not 
by social services, or public health care, or employment guarantees, but by 
fear.
This synthetically manufactured fear is used to gain public sanction for 
further acts of aggression. And so it goes, building into a spiral of 
self-fulfilling hysteria, now formally calibrated by the US government's 
Amazing Technicolored Terror Alerts: fuchsia, turquoise, salmon pink.
To outside observers, this merging of sarkar and public in the United States 
sometimes makes it hard to separate the actions of the government from the 
people. Such confusion fuels anti-Americanism in the world-anti-Americanism 
that is seized upon and amplified by the U.S. government and its faithful media 
outlets. You know the routine: "Why do they hate us? They hate our freedoms:' 
et cetera. This enhances the U.S. people's sense of isolation, making the 
embrace between sarkar and public even more intimate.
Over the last few years, the "war on terrorism" has mutated into the more 
generic "war on terror:' Using the threat of an external enemy to rally people 
behind you is a tired old horse that politicians have ridden into power for 
centuries. But could it be that ordinary people, fed up with that poor old 
horse, are looking for something different? Before Washington's illegal 
invasion of Iraq, a Gallup International poll showed that in no European 
country was support for a unilateral war higher than ii percent. On February 
15, 2003, weeks before the invasion, more than 10 million people marched 
against the war on different continents, including North America. And yet the 
governments of many supposedly democratic countries still went to war.
We must question then: Is "democracy" still democratic? Are democratic 
governments accountable to the people who elected them? And, critically, is the 
public in democratic countries responsible for the actions of its sarkar?
If you think about it, the logic that underlies the war on terror and the logic 
that underlies terrorism are exactly the same. Both make ordinary citizens pay 
for the actions of their government. Al Qaeda made the people of the United 
States pay with their lives for the actions of their government in Palestine, 
Saudi Arabia, Iraq and Afghanistan. The U.S. government has made the people of 
Afghanistan pay in the thousands for the actions of the Taliban and the people 
of Iraq pay in the hundreds of thousands for the actions of Saddam Hussein. 
Whose God decides which is a "just war" and which isn't? George Bush senior 
once said: "I will never apologize for the United States. I don't care what the 
facts are:' When the president of the most powerful country in the world 
doesn't need to care what the facts are, then we can be sure we have entered 
the Age of Empire.
Real choices
So what does public power mean in the Age of Empire? Does it mean anything at 
all? Does it actually exist? In these allegedly democratic times, conventional 
political thought holds that public power is exercised through the ballot. 
People in scores of countries around the world will go to the polls this year. 
Most (not all) of them will get the governments they vote for. But will they 
get the governments they want?
In India this year, we voted the Hindu nationalists of the BJP out of office. 
But even as we celebrated, we knew that on nuclear bombs, neoliberalism, 
privatization, censorship, big dams-on every major issue other than overt Hindu 
nationalism-the Congress and the BJP have no major ideological differences. We 
know that it is the 50-year legacy of the Congress Party that prepared the 
ground culturally and politically for the far right.
And what of the US.

[ppiindia] Krisis Energi : Momentum Reformasi Kebijakan Energi

2005-07-15 Terurut Topik Yopie Peranginangin
Clear DaySiaran Pers, 14 Juli 2005
WALHI

Krisis Energi : Momentum Reformasi Kebijakan Energi

Jakarta, 14 Juli 2005 -- Gerakan penghematan energi yang dicanangkan oleh 
Presiden SBY melalui Inpres No 10/2005 hanya akan tepat dan bermakna jika 
akar permasalahan energi di Indonesia dikoreksi dan ditata kembali secara 
lebih substansial dan komperhensif. Pemanfaatan sumber energi terbarukan 
secara maksimal dan beragam, skala kecil, serta pengembangan jaringan 
(grid) listrik pada eco-region yang terdesentralisasi adalah langkah awal 
yang harus segera dilakukan pemerintah agar Indonesia dapat terhindar dari
 krisis energi yang lebih serius dimasa depan.

"Indonesia yang kaya sumber energi terbarukan seharusnya bisa terhindar 
dari krisis energi jika pemerintah secara serius menata kebijakan energi 
melalui  pengarusutamaan energi terbarukan yang dikelola secara lebih
adil,  efisien dan mandiri," jelas Chalid Muhammad, Direktur Eksekutif
WALHI dalam  siaran pers yang dikeluarkan Kamis (14/6).

"Instruksi penghematan energi oleh Presiden hanya akan jadi slogan bila 
pemerintah tidak segera menyadari bahwa akar permasalahan energi di 
Indonesia tidak terlepas dari  kebijakan liberalisasi energi,
ketidakseriusan negara dalam diversifikasi dan desentralisasi pengelolaan 
energi dan dalam mengendalikan pola konsumsi serta buruknya sistem 
transportasi publik dan massal," urai Chalid.

Pemerintah sudah harus mengoreksi kebijakan pemenfaatan energi fosil 
seperti Migas dan Batubara karena sebagian besar pasokan listrik kita saat
 ini berasal dari energi fosil. Oleh karena itu pemerintah harus segera 
menghentikan orientasi ekspor dan obral Migas dan Batubara yang telah 
berlangsung selama hampir 30 tahun, agar ada jaminan ketersediaan pasokan 
energi fosil dalam waktu yang lama bagi kebutuhan dalam negeri.

Agar persoalan krisis energi menjadi lebih transparan, pemerintah sudah 
seharusnya memaparkan neraca energi kepada publik dalam periode 10 tahun 
terakhir serta prediksi ketersediaan dan kemampuan penyediaan untuk 10 
tahun kedepan. Informasi ini diperlukan agar partisipasi publik dalam 
mengatasi krisis energi menjadi lebih maksimal. Pemerintah juga perlu 
segera merestrukturisasi APBN dan melakukan pembiayaan dalam negeri dalam 
pengembangan produksi serta pemanfaatan energi terbarukan.

Kini saatnya negara secara lebih serius dan partisipatif membuat kebijakan
 energi yang dapat mengantarkan bangsa ini keluar dari krisis energi yang 
lebih mengerikan dimasa mendatang. "Tapi harus dipastikan bahwa negara 
tidak memasukan skema pemenuhan energi yang tidak berkelanjutan dan tidak 
ramah lingkungan seperti nuklir dan bendungan besar dalam kebijakan 
energi." tegas Chalid (selesai)

Kontak: Chalid Muhamad -0811 84 71 63

Best Regards

Jopi Peranginangin



[Non-text portions of this message have been removed]



***
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://www.ppi-india.org
***
__
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Lihat arsip sebelumnya, http://dear.to/ppi 
4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
[EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
http://docs.yahoo.com/info/terms/
 




[ppiindia] Buku baru : Gerakan Massa Menghadang Imperialisme Global dan Malapetaka Demokrasi Pasar

2005-07-14 Terurut Topik Yopie Peranginangin
Clear DayGerakan Massa Menghadang Imperialisme Global

Penulis : -- 
Penyunting : Coen Husain Pontoh 
Ilustrator : 
Harga : Rp 17000,- 
Stok : Tersedia 
Pengantar : -- 
Epilog : -- 
Kontributor : -- 
Cetakan : I, Mei 2005 
Ukuran : 14 x 21 
Halaman : xvii-124 add to cart
ISBN : 979-3723-12-2
 
Abstraksi
Neoliberalisme bersama proyek imperialisme globalnya telah menguburkan 
nilai-nilai kemanusiaan dan
keadilan dalam peti mati sejarah. Memaksakan kapitalisme sebagai jawaban 
tunggal menggapai
kemakmuran dan kesejahteraan penduduk di semua penjuru bumi. Bau busuknya 
menjalar tatkala yang
tercipta adalah kemiskinan, penghancuran, dan pemusnahan atas warga di belahan 
dunia lainnya,
seraya mengundang gelombang perlawanan dari kelompok-kelompok masyarakat 
tertindas. Buku ini
merekam pelbagai perlawanan dari kelompok-kelompok masyarakat seperti itu, 
khususnya dari apa yang
dipandang miring sebagai "dunia ketiga". Di dalamnya ada pesan fundamental 
bahwa "Neoliberalisme
bukan tak bisa dilawan!!"

"Sejarah jauh dari usai. Di masa depan, koeksistensi harmonis itu mungkin, 
bukan karena perang
yang mencoba mendominasi yang lain, tapi karena . cita-cita bersama, dan 
seiring dengan itu,
harapan: harapan pertahanan hidup umat manusia, melawan neoliberalisme." 
Subcomandante Marcos
 
Daftar Isi
Pengantar Editor v
1. Gerakan Buruh Pengangguran Kota Argentina (GPP) - JP 1
2. MST dan Gerakan Petani Tanpa Tanah di Brazil - Wilson 21
3. Anggaran Partisipatif: Pengalaman Sukses di Porto Alegre, Brazil - Coen 
Husain Pontoh 39
4. Gerakan Buruh dan Politik Progresif di  Korea - Wilson 59
5. Transformasi Dari Atas Pengalaman Venezuela di bawah Hugo  Chávez - Coen 
Husain Pontoh 75
Daftar Pustaka 119
Tentang para Penulis 123


Malapetaka Demokrasi Pasar

Penulis : Coen Husain Pontoh 
Penyunting : -- 
Ilustrator : 
Harga : Rp 2,- 
Stok : Tersedia 
Pengantar : -- 
Epilog : -- 
Kontributor : -- 
Cetakan : I 
Ukuran : 12 x 19 
Halaman : add to cart
ISBN : 979-3723-52-1
 
Abstraksi
Transisi demokrasi ternyata membawa jejak yang mengenaskan. Di berbagai negara 
setelah rejim
otoriter runtuh, bukan transisi menuju demokrasi yang terciptakan, melainkan 
transisi menuju
neoliberalisme dan demokrasi pasar. Di sana-sini komplotan para oligarkh dan 
rejim pro pasar yang
akhirnya duduk di tampuk kekuasaan. Kalangan ini lebih suka membawa demokrasi 
dalam paham yang
sedikit mirip dengan fasisme. Dengan menelusuri fakta yang berjalan di Rusia 
dan Argentina buku
ini memberi sinyal yang tajam: demokrasi tak selalu memenangkan kekuasaan 
rakyat. Tak jarang
demokrasi hanya menghasilkan penguasa lama yang berseragam baru dan kehidupan 
politik tetap
berjalan muram. Bahkan demokrasi tak jarang 'memangsa' aktivisnya dalam jaring 
para bandit
sekaligus menjerumuskan para pejuangnya dalam dosa sosial. Buku ini 
mengingatkan kita bahwa paham
demokrasi membutuhkan pengawal yang berani dan gesit dalam memahami sistem.
 
Daftar Isi
Pengantar Penerbit - v
Bab 1 Jalan Buntu Transisi Demokrasi - 1
Bab 2 Dari Stalinisme Menuju Neoliberalisme: Kebuntuan Transisi di Rusia - 37
Bab 3 Lingkaran SetanDemokrasi Pasar: Pengalaman Transisi di Argentina - 99
Epilog: Ayo Kita Selamatkan Demokrasi dan Mari Kita Bunuh Oligarkhi - 167
Daftar Pustaka - 181
Indeks - 187
Penulis - 192


"Adil Sejak Dalam Pikiran" 
(Pramoedya Ananta Toer)


Best Regards

Jopi Peranginangin



[Non-text portions of this message have been removed]



***
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://www.ppi-india.org
***
__
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Lihat arsip sebelumnya, http://dear.to/ppi 
4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
[EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
http://docs.yahoo.com/info/terms/
 




Re: [ppiindia] Re: Aktualisasi Politik Minyak Nasional (Buat Pak Yopie)

2005-07-14 Terurut Topik Yopie Peranginangin
Tepat Mbak Fauziah,

Jenjang pendidikan formal saya memang hanya sampai SMU doang (saya tidak
pernah menempuh jenjang pendidikan formal sampai perguruan tinggi (S1)
apalagi S2 seperti kebanyakan member di milis ini), tapi tunggu dulu!
Pernyataan anda tentang stratifikasi pemikiran dengan logika formal dibawah
sangat menggelitik saya, ini kan gaya intelektual konservatif yang
mengagung-agungkan jenjang pendidikan formal. Karena secara empiris, banyak
kok intelektual bergelar Doktor yang cara berpikirnya lebih rendah dengan
cara berpikir anak2 SMU (terutama mereka yang tidak hanya bergulat dengan
kurikulum pendidikan formal).

Mbak Fauziah,

Saya bukan tipikal orang yang pendendam karena saya tidak pernah merasa
disakitihe...he., tapi saya memang coba menanggapi komentar anda
tanpa eufemisme. Jadi ya terkesan nyolot dan tembak langsung begitulah!
Apalagi terhadap pemikir-pemikir yang menyembah pasar bebas dan membudak
pada Bank Dunia + IMF. Bicara data, saya juga punya data tentang sepak
terjang, kinerja dan reputasi buruk berbagai proyek-proyek Bank Dunia.

Mbak Fauziah,

Dalam sebuah perdebatan, gak ada pihak yang kalah maupun pihak pemenang.
Karena perdebatan adalah sebuah tafsir dari masing-masing orang yang coba
dishare. Dan saya tidak pernah merasa jadi pemenang dalam sebuah perdebatan.
Disini keliatan "culun"-nya cara berpikir mbak Fauziah. Jangan pernah merasa
KALAH dong mbak?

ps : saya juga minta maaf atas komentar2 saya yang terkesan nyolot dan
"tembak langsung"

Salam,

Jopi


- Original Message -
From: "fauziah swasono" <[EMAIL PROTECTED]>
To: 
Sent: Thursday, July 14, 2005 6:08 PM
Subject: [ppiindia] Re: Aktualisasi Politik Minyak Nasional (Buat Pak Yopie)


> --- In ppiindia@yahoogroups.com, "Yopie Peranginangin" <[EMAIL PROTECTED]>
> wrote:
> >
> > > Ada istilah "Natural Resources Curse":
> > >
> > > Lihat negara2 yang kaya (ataupun pernah kaya) migas: Indonesia,
> > > Venezuela, Sudan, Angola, Nigeria, Cameroon, Congo... adakah
> > > yang termasuk high-income countries? atau HDI rankingnya top?
> > >
> > > Bandingkan dg negara2 makmur: UK, Japan, Switzerland,
> > > Netherlands, negara2 Skandinavia, Amerika... adakah yang
> ekonominya
> > > mengandalkan SDA?
> >
> > Mbak,
> >
> > Negara-negara makmur itu mengandalkan SDA negara-negara dunia
> ketiga yang
> > rangking HDI-nya (standar tingkat kesejahteraan yang mengacu pada
> Bank
> > Dunia) berada dilevel bawah.Mereka menghisap Indonesia melalui BP
> (Inggris),
> > Total Fina (Prancis), Exxon Mobil, CALTEX, Shell (USA) dan lain-
> lain.
> > Sebenarnya saya cukup heran dengan kemampuan berfikir mbak fau
> (dalam
> > istilah sulawesi tengah = TOLOL) ini.
> >
>
> Pak Yopi,
> sebenarnya saya kasihan sama anda. Kalau anda sudah tidak mampu
> membedakan antara mana pertanyaan naif dan pertanyaan retorik yg
> menuntut kemampuan analisis (bukan kemampuan tembak langsung), maka
> I doubt that you are as qualified as those who are high school's
> (SMU) graduates. Banyak2 belajar lagi ya... Atau mungkin anda sudah
> lupa bahasa Indonesia?
> hehehehe...
>
> Ok, back to business.
> Tampaknya anda ini orang yang sangat pendendam. Sekali saya ikut
> nimbrung dalam diskusi anda dan Mas Bagong, anda dendam sekali.
> Saking dendamnya anda menunggu2 saat untuk mengata2i saya. Don't you
> think it will humiliate yourself? Being a sarcastic and emotional
> person in the presence of so many members of this mailing list?
> Well, one can clearly see your quality then.
>
> So, rasanya kasihan kalau anda terus menyimpan kebencian thd saya
> dan mengintai untuk mengata2i saya; lebih baik waktu anda yang
> berharga digunakan buat yang lain.
> Berapa banyak member milis ini sudah saling menasehati mengenai
> kasih dan kebersihan hati, (ya Mbah Danar, Mbak Lina, Mas Tony, Mas
> Nugroho, Mas Rio, dll?)...
> Kalau begitu saya minta maaf kepada anda, jika sekali nimbrungnya
> saya waktu itu berbuah dendam yang dalam pada anda.
>
> Waktu terakhir anda mengatai saya sebagai antek asing, saya tidak
> balas lebih lanjut BUKAN karena saya kalah atau tidak bisa menjawab
> argumen anda. Saya punya data lengkap berapa grant dari WB untuk
> Aceh selain berapa soft loan (IDA). Kalau anda tidak percaya saya
> bisa kasih nama orang Indonesia kontak person di WB Jakarta. Saya
> diam hanya karena tidak mau menyulut emosi anda lebih jauh (juga
> karena jadwal yg sangat padat waktu itu). Dan kali ini rasanya saya
> jenuh. Lebih baik saya minta maaf, mudah2an anda bisa tenang dan
> tidak membuang waktu buat mengumbar emosi.
>
> salam,
>
> fau
>
>
>
>
>
>
>
**

[ppiindia] Confronting the Third World United States Foreign Policy 1945-1980 (3) : The Democratic Party and the Third World 1961-68

2005-07-14 Terurut Topik Yopie Peranginangin
Clear Day


  
The Democratic Party 
and the Third World 1961-68
excerpted from the book
Confronting the Third World
United States Foreign Policy 1945-1980
by Gabriel Kolko
Pantheon Books,1988



The Democratic Administration Confronts World Change
p127
The Eisenhower Administration greatly advanced the belief that the United 
States had both the right and the obligation to intervene in any region or 
nation whose domestic affairs it thought had international significance... the 
basic assumption that it could arrogate to itself the authority to approve or 
disapprove the politics of any nation was by the end of the 1950s a firmly 
implanted conviction ...
p129
By the early 1960s most officials in Washington were convinced that the 
consequences of their passivity in some nation whose internal affairs 
displeased them were potentially more dangerous than the unpredictable risks of 
action. The symbolic importance of the credibility of power inherited from its 
less articulate predecessors, and of the interrelated nature of changes in one 
nation to events all around it and in the world, had become fixations 
transcending a reasoned assessment of the sources of internal tension and 
change. Indeed, given the economic considerations operating in tandem with the 
essentially symbolic, the combination invariably reduced opposition within the 
ranks of American leaders to a more active U.S. role in some nation when the 
choice presented itself. In a context where everything became potentially 
important, for whatever the reason, and past successes removed inhibiting 
concerns about the repercussions of failures in the future, it was highly 
likely in 1961 that something like the Vietnam conflict would soon occur 
somewhere, and only chance fixed on that poor nation rather than another. No 
less inevitable, also, was that such increasingly adventurous thinking would 
cause regional issues to threaten to overwhelm the United States' priorities 
and broad international goals and produce uncontrollable new dynamics in its 
foreign policy and power.
By August 1962, when the NSC approved national policy on a grand strategy 
toward the Third World, virtually everyone of importance agreed that 
confronting internal disorder and insurgency in the Third World-or Sino-Soviet 
"conquest from within," as opposed to conventional warfare-was essential. The 
NSC favored a greater readiness to act even when there was no direct Russian or 
Chinese involvement but where they might gain objectively from "other types of 
subversion" inimical to U.S. interests. The minute issues of the internal 
affairs of various nations became more than ever the legitimate concern of the 
United States, including, if need be, a warrant for action. It was, even more 
than under earlier administrations, the U.S. purpose to make certain "that 
developing nations evolve in a way that affords a congenial world environment"; 
naturally, this required "that strategic areas and the manpower and natural 
resources of developing nations do not fall under communist control" But in 
the even larger sense it meant that the United States had "an economic interest 
that the resources and markets of the less developed world remain available to 
us and to other Free World countries."
Here was the basis for a far greater activism in the Third World. It embodied 
Washington's fears and stereotypes regarding Soviet culpability for the poor 
nations, problems as well as its residual right, even obligation, to manipulate 
autonomous trends for which Communists were not responsible and recast them 
into an integrated world order under U.S. hegemony.
The new Administration believed that its fresh will and far greater wisdom, 
combined with a superior organizational structure for implementing policy, 
would allow it to master the elusive threads and contradictions that had 
plagued its predecessors. All the involved agencies-the State and Defense 
departments, the CIA, the Agency for International Development, and others-met 
frequently to analyze in seminars and papers the "problems of development and 
internal defense" for which they needed common solutions. As Cambridge 
professors were invited to Washington to supplement local talent in analyzing 
the vast panoply of social, cultural, and political changes in the Third World, 
the United States confidently prepared to confront it energetically.
One of its first and most important initiatives was in "counterinsurgency," a 
rubric that was more a vague philosophy of action than a concrete set of 
techniques and goals, a typically "can do" vision whose optimism was to carry 
the Administration along until Vietnam raised profound doubts as to its 
efficacy. The debacle of the Bay of Pigs invasion of Cuba in April 1961, rather 
than puncture such sublime self-confidence and produce caution, actually became 
a goad to further activity. It had revealed its CIA organizers as incompetent 
and the U.S. confidence in its Cub

[ppiindia] Confronting the Third World United States Foreign Policy 1945-1980 (1) : Laying the Foundations 1945-50

2005-07-14 Terurut Topik Yopie Peranginangin
Clear Day  
Laying the Foundations 1945-50
excerpted from the book
Confronting the Third World
United States Foreign Policy 1945-1980
by Gabriel Kolko
Pantheon Books,1988




The Wartime Image of the Future
p12 
More than any other branch of the government, the State Department under 
Cordell Hull, who was its secretary from 1933 to 1944, defined the U.S. vision 
of the ideal relationship of the colonized and poorer nations to the world 
order. Hull was a disciple of Wilson and his "Open Door" concept of an 
integrated world based on free trade that Wilson took from the Democratic 
Party's traditional policies and raised to a higher level of abstraction. Hull 
was, as well, both an ideologue and a pragmatist, ready to confront 
aggressively America's allies, particularly Britain, but also not to press 
issues too far with them if something tangible could be gained in return. He 
regarded the breakup of the world economy into isolated trading blocs after the 
1929-31 Depression as the single most important cause of the Second World War 
as well as the most likely source of future wars. Restrictive trade cartels, 
which had especially inflated the price of the United States' increasingly 
essential raw materials imports, were integral to this distorted world economy, 
and it was the British sterling bloc and empire that most epitomized these 
challenges to an open world economy based on free trade. From 1941 onward the 
United States never tired of stressing that "raw material supplies must be 
available to all nations without discrimination" after the war, and this in 
turn required complete access for U.S. capital to enter any nation to 
accelerate "the sound development of latent natural resources and productive 
capacity in relatively undeveloped areas."' But while there was a consensus on 
these essentially anticolonial objectives among key American decisionmakers 
during the war, they disagreed how and with what speed to apply them, 
especially because Britain, more than any other nation, was the object of the 
U.S. program, and the British after 1943 made no secret of their fears that 
America was trying to advance its interests in Asia and the Middle East at 
their expense.
But it was not only Washington's desire to keep Britain as an ally in Europe 
after the war that inhibited its pressing its anticolonial sentiments too far 
and too fast. The radical nature of many of the local political forces aspiring 
to replace the colonial powers especially disturbed American leaders, and 
particularly after 1945 they increasingly feared local Left parties that might 
presumably be friendlier to the Soviet Union or even aligned with it. But even 
in India, the United States supported British policy in repressing a thoroughly 
anti-Communist Mahatma Gandhi and the Congress Party because Gandhi was opposed 
to the war and because the British successfully demanded that the Americans 
respect their jurisdiction over India. In the Middle East, at least during the 
war, Washington retreated when Britain objected to its issuing a declaration 
favoring steps toward independence for Syria and Lebanon. The implicit 
recognition of British spheres of influence in the colonial world was extended 
to Africa also, where the United States kept silent on the future of mandated 
areas even though it insisted that it retained a residual right under the 1919 
Treaty of Versailles to have its trade interests there protected.
The United States did not pursue its nominal anticolonial ideology too ardently 
also because it expected the British to support American claims for the 
transfer of Japanese-held Pacific trusteeships to the United States after the 
war. Indeed, as the Cold War intensified after 1945, keeping Britain firmly on 
the United States' side quickly submerged any latent doubts Washington felt 
about the continuation of its imperial power in various forms. Both the U.S. 
Navy and the War Department wished to establish permanent bases on the formerly 
Japanese-controlled islands. The State Department, too, sought bases, but with 
UN sanction and theoretically under UN control. Simply to annex the islands, as 
the military urged, would allow the British to claim the same right elsewhere, 
particularly in the Middle East, and endanger, as Secretary of the Interior 
Harold Ickes put it, "our great stake in Middle Eastern oil."
p14
Whatever its political form, Washington unswervingly advocated an integrated 
world economy open to American interests. Independence, when and where it came, 
would be for states capable of playing a role in an integrated world order 
congenial to U.S. designs, a paternalist attitude that further subordinated 
anticolonialism to American needs. Self-determination as an absolute principle 
had no vocal spokesmen in Washington.
Precisely because the United States entered the postwar era with its earlier 
experiences and obsessions profoundly coloring its perceptions of the future, 
there was a c

Re: [ppiindia] Re: Aktualisasi Politik Minyak Nasional

2005-07-13 Terurut Topik Yopie Peranginangin

- Original Message -
From: "fauziah swasono" <[EMAIL PROTECTED]>
To: 
Sent: Thursday, July 14, 2005 11:41 AM
Subject: [ppiindia] Re: Aktualisasi Politik Minyak Nasional


> --- In ppiindia@yahoogroups.com, "Ambon" <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
> > http://www.kompas.com/kompas-cetak/0507/14/opini/1889411.htm
> >   Aktualisasi Politik Minyak Nasional
> >
> >   Oleh: ERROS DJAROT
> >
> >   Musibah nasional
> >
> >   Kenaikan harga minyak dunia merupakan musibah nasional.
> Sementara masyarakat masih percaya, Indonesia kaya minyak. Padahal,
> menurut data, kita hanya memiliki 4 persen dari seluruh cadangan
> minyak bumi dunia. Pertamina yang dulu mampu menghasilkan produksi
> 120.000 barrel per hari, belakangan hanya 60.000 barrel.
> >
>
> Sedikit koreksi data.
> Ini data terakhir (end of 2004) mengenai status minyak Indonesia:
> Cadangan: 0.4% dari total cadangan dunia (BUKAN 4%)
> Produksi: 1.4% dari total produksi dunia (Rusia & Saudi masing2 >10%)
> Konsumsi: 1.5% dari total konsumsi dunia
>
> Ada istilah "Natural Resources Curse":
>
> Lihat negara2 yang kaya (ataupun pernah kaya) migas: Indonesia,
> Venezuela, Sudan, Angola, Nigeria, Cameroon, Congo... adakah
> yang termasuk high-income countries? atau HDI rankingnya top?
>
> Bandingkan dg negara2 makmur: UK, Japan, Switzerland,
> Netherlands, negara2 Skandinavia, Amerika... adakah yang ekonominya
> mengandalkan SDA?

Mbak,

Negara-negara makmur itu mengandalkan SDA negara-negara dunia ketiga yang
rangking HDI-nya (standar tingkat kesejahteraan yang mengacu pada Bank
Dunia) berada dilevel bawah.Mereka menghisap Indonesia melalui BP (Inggris),
Total Fina (Prancis), Exxon Mobil, CALTEX, Shell (USA) dan lain-lain.
Sebenarnya saya cukup heran dengan kemampuan berfikir mbak fau (dalam
istilah sulawesi tengah = TOLOL) ini.

Salam,

Jopi

>
> -fau
>
>
>
>
>
***
> Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia
yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://www.ppi-india.org
>
***
> __
> Mohon Perhatian:
>
> 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
> 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
> 3. Lihat arsip sebelumnya, http://dear.to/ppi
> 4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
> 5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
> 6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
>
> Yahoo! Groups Links
>
>
>
>
>
>
>
>
>




***
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://www.ppi-india.org
***
__
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Lihat arsip sebelumnya, http://dear.to/ppi 
4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
[EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
http://docs.yahoo.com/info/terms/
 




[ppiindia] Ex-agents say CIA compiled death lists for Indonesians : After 25 years, Americans speak of their role in exterminating Communist Party

2005-07-13 Terurut Topik Yopie Peranginangin
Clear Day "...in four months, five times as many people died in Indonesia as in 
Vietnam in twelve years."

-- Bertrand Russell, 1966


The following article appeared in the Spartanburg, South Carolina 
Herald-Journal on May 19, 1990, then in the San Francisco Examiner on May 20, 
1990, the Washington Post on May 21, 1990, and the Boston Globe on May 23, 
1990. The version below is from the Examiner. 

Ex-agents say CIA compiled death lists for Indonesians
After 25 years, Americans speak of their
role in exterminating Communist Party
by Kathy Kadane, States News Service, 1990 

WASHINGTON -- The U.S. government played a significant role in one of the worst 
massacres of the century by supplying the names of thousands of Communist Party 
leaders to the Indonesian army, which hunted down the leftists and killed them, 
former U.S. diplomats say. 
For the first time, U.S. officials acknowledge that in 1965 they systematically 
compiled comprehensive lists of Communist operatives, from top echelons down to 
village cadres. As many as 5,000 names were furnished to the Indonesian army, 
and the Americans later checked off the names of those who had been killed or 
captured, according to the U.S. officials. 

The killings were part of a massive bloodletting that took an estimated 250,000 
lives. 

The purge of the Partai Komunis Indonesia (PKI) was part of a U.S. drive to 
ensure that Communists did not come to power in the largest country in 
Southeast Asia, where the United States was already fighting an undeclared war 
in Vietnam. Indonesia is the fifth most-populous country in the world. 

Silent for a quarter-century, former senior U.S. diplomats and CIA officers 
described in lengthy interviews how they aided Indonesian President Suharto, 
then army leader, in his attack on the PKI. 

"It really was a big help to the army," said Robert J. Martens, a former member 
of the U.S. Embassy's political section who is now a consultant to the State 
Department. "They probably killed a lot of people, and I probably have a lot of 
blood on my hands, but that's not all bad. There's a time when you have to 
strike hard at a decisive moment." 

White House and State Department spokesmen declined comment on the disclosures. 

Although former deputy CIA station chief Joseph Lazarsky and former diplomat 
Edward Masters, who was Martens' boss, said CIA agents contributed in drawing 
up the death lists, CIA spokesman Mark Mansfield said, "There is no substance 
to the allegation that the CIA was involved in the preparation and/or 
distribution of a list that was used to track down and kill PKI members. It is 
simply not true." 

Indonesian Embassy spokesman Makarim Wibisono said he had no personal knowledge 
of events described by former U.S. officials. "In terms of fighting the 
Communists, as far as I'm concerned, the Indonesian people fought by themselves 
to eradicate the Communists," he said. 

Martens, an experienced analyst of communist affairs, headed an embassy group 
of State Department and CIA officers that spent two years compiling the lists. 
He later delivered them to an army intermediary. 

People named on the lists were captured in overwhelming numbers, Martens said, 
adding, "It's a big part of the reason the PKI has never come back." 

The PKI was the third-largest Communist Party in the world, with an estimated 3 
million members. Through affiliated organizations such as labor and youth 
groups it claimed the loyalties of another 17 million. 

In 1966 the Washington Post published an estimate that 500,000 were killed in 
the purge and the brief civil war it triggered. In a 1968 report, the CIA 
estimated there had been 250,000 deaths, and called the carnage "one of the 
worst mass murders of the 20th century." 


U.S. Embassy approval
Approval for the release of the names came from the top U.S. Embassy officials, 
including former Ambassador Marshall Green, deputy chief of mission Jack Lydman 
and political section chief Edward Masters, the three acknowledged in 
interviews. 
Declassified embassy cables and State Department reports from early October 
1965, before the names were turned over, show that U.S. officials knew Suharto 
had begun roundups of PKI cadres, and that the embassy had unconfirmed reports 
that firing squads were being formed to kill PKI prisoners. 

Former CIA Director William Colby, in an interview, compared the embassy's 
campaign to identify the PKI leadership to the CIA's Phoenix Program in 
Vietnam. In 1965, Colby was the director of the CIA's Far East division and was 
responsible for directing U.S. covert strategy in Asia. 

"That's what I set up in the Phoenix Program in Vietnam -- that I've been 
kicked around for a lot," he said. "That's exactly what it was. It was an 
attempt to identify the structure" of the Communist Party. 

Phoenix was a joint U.S.-South Vietnamese program set up by the CIA in December 
1967 that aimed at neutralizing members of the National Liberation Fron

[ppiindia] The Best Democracy Money Can Buy

2005-07-13 Terurut Topik Yopie Peranginangin
Clear Day(This article first appeared in The Ecologist magazine of London in 
spring 2002)

The Best Democracy Money Can Buy, 
by Greg Palast

(Pluto Press 2002)

It's enough to make one cynical. American elections are manipulated, British 
parliamentarians are bribed, scientific research is financed by companies who 
are interested parties, energy crises are rigged, and a score of other 
varieties of modern-day sleaze.
What's that? You say you're already cynical? Well, unless you're so cynical 
that you won't even utter a word in the hope of changing anything, Greg 
Palast's new book can be a handy tool.

The Best Democracy Money Can Buy is composed of dozens of essays -- many of 
which are actually summaries of Palast's investigative journalism escapades -- 
on the myriad ways those of power and wealth have stolen and/or perverted 
cherished ideas and institutions of the United States and the United Kingdom. 

Palast, an American who writes for The Guardian and The Observer of London, has 
the uncanny knack of turning up at the wrong place at the right time. His 
showcase essay has to do with the 2000 US presidential election in Florida, and 
how Governor Jeb Bush and his team shamelessly contrived the removal of 
thousands of voters' names from the election rolls; voters who were in large 
measure black (read Democratic voters). The result was nothing less than the 
placing in the White House of Jeb's brother George. This is by now a well-known 
story, thanks to Palast, who adds a lot of details to it in the book. What I 
found most disturbing, albeit not terribly surprising, is that when he 
approached mainstream media in the US to give the story the play it deserved, 
their reaction was to call Jeb Bush's office for confirmation. Jeb Bush's 
office denied it. And that was good enough for the mainstream media. It's not 
easy for loyal, unquestioning Americans to embrace the idea of the US as a 
banana republic.

The IMF and the rest of the international financial mafia are a favorite target 
in the book. Palast details the onerous conditions imposed upon poor countries 
by the IMF. Some of the details he says derive directly from confidential IMF 
documents that came into his hands. I, and I'm sure many other readers, would 
love to see the exact wording used by IMF, to see how they rationalize their 
oppressive policies, and what kind of euphemisms they resort to, or if they 
push their policies unabashedly. Unfortunately, Palast only paraphrases the 
details, doesn't quote them, and doesn't show any examples of the secret pages 
in the book. Inexplicably, the one page he shows in this section, from the 
World Bank, is only the cover page of a report. Documentation is not Palast's 
strong point; there are scarcely any notes.

Of significance is the essay on "The Economic Miracle of Chile", the 
oft-repeated claim by conservatives of the supposed marvelous benefits of the 
Pinochet regime's laissez-faire, supply-side economic policies. Palast 
describes it as a case of "deregulation gone berserk", which eventually drove 
the country into bankruptcy and depression and needed "a large dose of 
socialism" to rescue it. 

Palast is generally adept at making economic and other issues readable because 
of his breezy, personalized, iconoclastic style, although there are occasions 
when more unadorned language, a slower pace, and a "books for dummies" approach 
would have served the reader better. That's part of the problem with the essay 
on the California "energy crisis" of the late 1990s and 2000. I've read several 
accounts of that event with not one coming even close to making it 
understandable. Palast is an improvement over the others, but his account still 
left me with more questions than answers. In fairness to him, his essay was not 
designed to be a primer per se on the California energy crisis, but rather a 
discussion of the dangers of electricity deregulation, but it refers so much to 
the events in California that a fuller deconstruction of those events would 
seem to be in order.

Overall, the multitude of subjects and issues covered and the frequent flights 
from one to the next can be a bit jarring and disorienting. There is often a 
want of the continuity that a good book needs. But Palast's humour sometimes 
makes up for a shortcoming or two. An example:
"The Kyoto Protocol aimed to slash emissions of 'greenhouse gases' which would 
otherwise fry the planet, melt the polar caps and put Blackpool and Los Angeles 
under several feet of water. (It will also have negative effects.)"

Palast, it should be noted, is a native of Los Angeles.


[Non-text portions of this message have been removed]



***
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://www.ppi-india.org
***
___

[ppiindia] Indonesia 1965 : Liquidating President Sukarno ... and 500,000 others

2005-07-13 Terurut Topik Yopie Peranginangin
Clear DayIndonesia 1965
Liquidating President Sukarno ... and 500,000 others
excerpted from the book
Killing Hope
by William Blum
 
Estimates of the total number of Indonesians murdered over a period of several 
years following an aborted coup range from 500,000 to one million.
In the early morning hours of 1 October 1965, a small force of junior military 
officers abducted and killed six generals and seized several key points in the 
capital city of Jakarta. They then went on the air to announce that their 
action was being taken to forestall putsch by a "Generals' Council" scheduled 
for Army Day, the fifth of October. The putsch they said, had been sponsored by 
the CIA and was aimed at capturing power from President Sukarno. By the end of 
the day, however, the rebel officers in Jakarta had been crushed by the army 
under the direction of General Suharto, although some supportive army groups 
other cities held out for a day or two longer.
Suharto-a man who had served both the Dutch colonialists and the Japanese 
invaders-and his colleagues charged that the large and influential PKI was 
behind junior officers' "coup attempt", and that behind the party stood 
Communist China. The triumphant armed forces moved in to grab the reins of 
government, curb Sukarno's authority (before long he was reduced to little more 
than a figurehead), and carry out a blood bath eliminate once and for all the 
PKI with whom Sukarno had obliged them to share national power for many years. 
Here at last was the situation which could legitimate these long- desired 
actions.
Anti-Communist organizations and individuals, particularly Muslims, were 
encouraged to join in the slaying of anyone suspected of being a PKI 
sympathizer. Indonesians of Chinese descent as well fell victim to crazed 
zealots. The Indonesian people were stirred in part by the display of 
photographs on television and in the press of the badly decomposed bodies of 
the slain generals. The men, the public was told, had been castrated, their 
eyes gouged out by Communist women. (The army later made the mistake of 
allowing official medical autopsies to be included as evidence in some of the 
trials, and the extremely detailed reports of the injuries suffered mentioned 
only bullet wounds and some bruises, no eye gougings or castration.)
What ensued was called by the New York Times "one of the most savage mass 
slaughters of modern political history." Violence, wrote Life magazine, "tinged 
not only with fanaticism but with blood-lust and something like witchcraft."
Twenty-five years later, American diplomats disclosed that they had 
systematically compiled comprehensive lists of "Communist" operatives, from top 
echelons down to village cadres, and turned over as many as 5,000 names to the 
Indonesian army, which hunted those persons down and killed them. The Americans 
would then check off the names of those who had been killed or captured. Robert 
Martens, a former member of the US Embassy's political section in Jakarta, 
stated in 1990: "It really was a big help to the army. They probably killed a 
lot of people, and I probably have a lot of blood on my hands, but that's not 
all bad. There's a time when you have to strike hard at a decisive moment."
"I know we had a lot more information [about the PKI] than the Indonesians 
themselves," said Marshall Green, US Ambassador to Indonesia at the time of the 
coup. Martens "told me on a number of occasions that ... the government did not 
have very good information on the Communist setup, and he gave me the 
impression that this information was superior to anything they had."
"No one cared, as long as they were Communists, that they were being 
butchered," said Howard Federspiel, who in 1965 was the Indonesia expert at the 
State Department's Bureau of Intelligence and Research. "No one was getting 
very worked up about it."
Although the former deputy CIA station chief in Indonesia, Joseph Lazarsky, and 
former diplomat Edward Masters, who was Martens' boss, confirmed that CIA 
agents contributed in drawing up the death lists, the CIA in Langley 
categorically denied any involvement.
*
The CIA, in its intimate involvement in Indonesian political affairs since at 
least the mid-1950s, had undoubtedly infiltrated the PKI at various levels, and 
the military even more so, and was thus in a good position to disseminate 
disinformation and plant the ideas for certain actions...
The desire of the US government to be rid of Sukarno-a leader of the 
non-aligned and anti-imperialist movements of the Third World, and a protector 
of the PKI-did not diminish with the failure of the Agency-backed military 
uprising in 1958. Amongst the various reports of the early 1960s indicating a 
continuing interest in this end, a CIA memorandum of June 1962 is strikingly to 
the point. The author of the memo, whose name is deleted, was reporting on the 
impressions he had received from conversations with "Western diplomats" 
conc

[ppiindia] Venezuela and the Popular Movement

2005-07-13 Terurut Topik Yopie Peranginangin
Clear DayVenezuela and the Popular Movement
Raul Zelik interviews Roland Denis
translated by Gregory Wilpert
Z magazine, October 2003

Roland Denis was a grassroots organizer during the 1980s in the leftist 
movement known as 'Popular Disobedience'. He has always been connected with 
Venezuela's popular movements and is the author of a book on the Caracazo, the 
rebellion and riots of February 1989. From 2002 to 2003 he was vice-minister of 
Planning and Development in the Chavez government.
RAUL ZELIK
Your boss, Felipe Perez, and you have recently left the ministry. You promoted 
a policy that treated development as a problem of social and organizational 
processes. In this sense, you strengthened local power and self-government. Few 
ministers have stayed more than ten months. In your case, one has to ask if 
your exit means a change of direction for the government.
ROLAND DENIS
Rather than a change of direction, I would say that we see an absence of 
direction. There are general principles of the Bolivarian revolution: 
participative democracy, struggle for a multi-polar world, resistance against 
economic empires, construction of a solidaristic and alternative economy.
Felipe Perez and I tried to interpret these principles in a radical way. 
"Radical" not in the sense of "extremist," but in the sense of consequences, of 
"going to the roots." We tried to deepen community control, to give communities 
the power that is needed to develop new relations with the state; relations of 
co-governance and co-management. This practice caused resistance from existing 
institutions, from the "old state" that continues to exist, in spite of the 
changes.
RZ
You also requested that Chavez assume more rigorous measures against corruption.
RD
Not just against corruption. With respect to the World Bank, to the IMF, to 
bank power in general, the fiscal problem In all these aspects, where we moved 
from a general discourse to concrete policy, there were clashes within the 
state apparatus. That, at least, is my impression.
RZ
Are there political conflicts between the left and the right within 
governmental parties or are different teams fighting for positions ?
RD
The essence of states is that they are arenas for the fight for hegemony. The 
real powers constantly try to make it worth their interests. In this sense, 
this is not a fight between left and right. The Venezuelan state has been 
obstructed ever since the April 11, 2002 coup attempt. While the revolutionary 
movement made an impressive leap in those days-we should not forget that it was 
the popular movements that defeated the 47hour dictatorship of Pedro 
Carmona-the state has assumed a more conservative position since then. Chavez 
looked for-which for me was one of his larger errors-a dialogue with the 
putschist opposition and yielded to them on several points. During the oil 
shutdown in December 2002, the government had to radicalize again, as a result 
of pressure from the outside, because this coup attempt was also overcome by 
the grassroots organizations.
This is what I call the "obstruction of the state." There is no concrete policy 
in the face of specific problems such as agriculture, international relations, 
development, and industrialization. There are only general speeches-for 
example, look at all of the talk about endogenous development and the support 
for the solidaristic economy. But as soon as one tries to convert this politics 
into practice, there is much fear because one knows that an alternative 
economic policy would deeply transform the society.
RZ
Many ask why is there a counterrevolution if there has been no revolution? The 
U.S. and Spain openly supported the 2002 coup. What would happen if the 
transformation were deepened ?
RD
The intervention is already a fact. The U.S. wants us to impose the FTAA by any 
means necessary, which would perpetuate the existing relations between North 
America and the Latin American countries. If Venezuela rejects this proposal, 
it automatically becomes an enemy of the U. S.
I do not believe that the ambiguous attitude of the Chavez government has to do 
with fear of intervention. Rather, it is a consequence of a lack of clarity, 
debates, and confidence in the capacity of the self-governance of the people. 
The inhabitants of the barrios unconditionally supported the government during 
the coups, risking their lives. But the state hardly reaches out to the 
barrios. There is a closed, almost fort-like conception of power.
RZ
Is this phenomenon due to the old bureaucracies that still occupy 98 percent of 
the state apparatus, to the concepts of the old left that are in the 
government, or to the influence of the military ?
RD
The things are mixed. It is the culture of the Venezuelan state and their 
system of parties; it is the military; it is the old left with their Leninist 
concepts of state power, of vanguard and vertical control. Our constitution 
speaks of a participative democracy-a demo

Re: [ppiindia] Fw: Nahdlatul Ulama, Menghadang Neo-Liberalisme dan Islam (Neo)Liberal

2005-07-07 Terurut Topik Yopie Peranginangin
Tapi kebijakan tentang pertanahan yang paling "brutal" dikeluarkan oleh
Rezim SBY-KALLA, yakni PERPRES No. 36 tahun 2005. Ini samasekali bukanlah
representasi dari Sosialisme yang terkandung dalam UUD 1945.

Salam,

Jopi
- Original Message -
From: "Ari Condro" <[EMAIL PROTECTED]>
To: 
Sent: Friday, July 08, 2005 9:36 AM
Subject: [ppiindia] Fw: Nahdlatul Ulama, Menghadang Neo-Liberalisme dan
Islam (Neo)Liberal


> 1. Tulisan dari Jaringan Islam Emansipatoris yang kritis terhadap
> pemikiran JIL yang dianggap representasi neoliberal.
> 2. Dalam pandangan harokah, baik JIE maupun JIL sama sama
> dianggap liberal   :))
> 3. Kritik sebenarnya ditujukan pada kebijakan kenaikan harga BBM
> dan tanah.  Padahal ketua komisi di DPR yang menghasilkan UU
> Liberalisasi migas adalah Irwan Prayitno dari PKS, dan partai yang
> mengusulkan kenaikan harga BBM sejak jaman Megawati adalah PDI-P.
> Sementara kebijakan masalah tanah yang diprotes justru merupakan
> kebijakan yang merupakan representasi sosialisme dalam UUD 45.
> Dunia memang sudah terbalik balik :))
>
> salam,
> Ari Condro
>
>
> - Original Message -
> http://www.nu.or.id/data_detail.asp?kategori=KOLOM&id_data=5294
>
> AGAR TIDAK MENJADI BANGSA KULI (LAGI!) DI NEGERI SENDIRI
> Nahdlatul Ulama, Menghadang Neo-Liberalisme dan Islam (Neo)Liberal
>
> Oleh: Ahmad Baso*
>
> We are often told "Colonialism is dead". Let us not be deceived or
> even soothed by that
>
> I beg of you do not think of colonialism only in the classic form
> which we of Indonesia, and our brothers in different parts of Asia and
> Africa, knew.
>
> Colonialism has also its modern dress, in the form of economic
> control, intellectual control, actual physical control by a small but
> alien community within a nation.
>
> It is a skilful and determined enemy, and it appears in many guises.
>
>
> --- Soekarno, "Speech at the Opening of Asian African Conference",
> Bandung, 1955. (huruf miring dari AB).
>
>
>
>
> 1 Untuk memahami kehadiran buku saya Islam Pasca-Kolonial dalam
> konteks maraknya arus liberalisasi agama dan juga liberalisasi
> ekonomi, lebih baik saya mulai dari apa yang dikatakan oleh novelis
> besar Pramoedya Ananta Toer dalam novelnya yang terkenal Arus Balik:
>
>
> Sekarang makin lama makin sedikit kapal-kapal Jawa berlayar ke utara,
> ke Atas Angin, ke Campa ataupun ke Tiongkok. Arus kapal dari selatan
> semakin tipis. Sebaliknya arus dari utara semakin deras, membawa
> barang-barang baru, pikiran-pikiran baru, agama baru. Juga ke Tuban. 
>
>
> Dahulu, di jaman kejayaan Majapahit, arus bergerak dari selatan ke
> utara, dari Nusantara ke Atas Angin. Majapahit adalah kerajaan laut
> terbesar di antara bangsa-bangsa beradab di muka bumi ini.
> Kapal-kapalnya, muatannya, manusianya, amal dan perbuatannya,
> cita-citanya - semua itulah arus selatan ke utara. Segala-galanya
> datang dari selatan. Majapahit jatuh. Sekarang orang tidak mampu lagi
> membuat kapal besar. Kapal kita makin lama makin kecil seperti
> kerajaannya. Karena, ya, kapal besar hanya dibikin oleh kerajaan
> besar. Kapal kecil dan kerajaan kecil menyebabkan arus tidak bergerak
> ke utara, sebaliknya, dari utara sekarang ke selatan, karena Atas
> Angin lebih unggul, membawa segala-galanya ke Jawa, termasuk
> penghancuran, penindasan, dan penipuan. Makin lama kapal-kapal kita
> akan semakin kecil untuk kemudian tidak mempunyai sama sekali. .
>
> Tidak mungkin - asal kalian menguasai jalan laut lagi. Selama mereka
> yang menguasai, mereka takkan menenggang kapal kita, akan
> menghancurkannya sama sekali. Sampai kita dibikin tidak beranjak dari
> dusun kita sendiri di pesisir dan gunung.
>
>
> Dengan lugas Pram menggambarkan relasi antara dua dunia yang waktu itu
> dikenal dengan sebutan "negeri bawah angin" dan "negeri atas angin".
> Negeri bawah angin adalah sebutan lain dari Nusantara; negeri atas
> angin adalah sebutan untuk wilayah sepanjang utara Nusantara, termasuk
> India, Semenanjung Arab, hingga daratan Eropa. Oleh Pram, relasi itu
> digambarkan pada sebuah "arus". Negeri yang besar digambarkan bergerak
> dari selatan menuju ke atas, ke utara. Meski berada di "bawah", tapi
> Nusantara punya kemampuan untuk bergerak ke atas, menjangkau
> wilayah-wilayah seberang sana. Ini berkat kekuatan "arus" yang
> menggerakkannnya, arus kapal besar.
>
> Arus ini memang biasa dikenal di sebuah negeri yang sebagian besar
> komponennya adalah kepulauan. Laut adalah modal besar kemajuan negeri.
> Simbol kedigdayaan negeri maritim seperti ini adalah pada kapal laut.
> Tepatnya kapal besar. Pram menggambarkan kekuatan kapal besar ini pada
> muatannya: "Kapal-kapalnya, muatannya, manusianya, amal dan
> perbuatannya, cita-citanya". Dengan kapal ini, orang-orang negeri
> bawah angin bisa leluasa bergerak kesana-kemari di belahan utara,
> membawa berbagai amal dan perbuatan, termasuk cita-cita, dari negeri
> sendiri. Tepatnya, mereka membawa kebudayaan dan ide-ide besar, 

Re: [ppiindia] Re: Just A Thought: Cak Nur

2005-07-05 Terurut Topik Yopie Peranginangin
Pasteee dunks Malah saya berencana mau buat "FAUZIAH WATCH" atau FAUZIAH
FANS CLUB...he...he Karena terkesan dengan sliding-sliding bu Fauziah
ditengah-tengah perdebatan.


- Original Message -
From: "fauziah swasono" <[EMAIL PROTECTED]>
To: 
Sent: Tuesday, July 05, 2005 8:42 PM
Subject: [ppiindia] Re: Just A Thought: Cak Nur


> Duh saking semangatmya buat menghakimi saya yang pendosa sampe dua
> kali postingannya...
> :D
>
> --- In ppiindia@yahoogroups.com, "Yopie Peranginangin" <[EMAIL PROTECTED]> 
> wrote:
> > Lagi-lagi bu Fauziah.. (dengan nasehat-nasehat mautnya datang untuk
> > meruntuhkan perdebatan.)
> > Lihat tuh, ditengah perdebatan bu Fauzih pasti akan masuk, dan
> mengatakan
> > bahwa "perdebatan ini sudah dibahas sebelum-nya", atau kali ini bu
> Fauziah
> > mengatakan "Apa yang menjadi bahan debat disini adalah peristiwa
> > lawas".. Biarkanlah perdebatan mengalir tanpa harus diinterupsi oleh
> > pesan-pesan yang terkesan "moralis" itu. Biarkan saja orang berpikir
> untuk
> > memperdebatkan dan menafsirkan pendapat Cak Nur, men-Judgement sekalipun
> > sah-sah saja. Lha wong, Cak Nur bukan-lah Tuhan yang perkataan-nya dalam
> > bentuk
> > sabda adalah sebuah kemutlakan...
> >
> > Salam,
> >
> > Jopee
> >
> > - Original Message -
> > From: "fauziah swasono" <[EMAIL PROTECTED]>
> > To: 
> > Sent: Tuesday, July 05, 2005 3:10 PM
> > Subject: [ppiindia] Just A Thought: Cak Nur
> >
> >
> > > Saya tidak benar2 mengikuti diskusi mengenai sesat menyesatkan ini.
> > > Tapi saya tergelitik sedikit untuk mengingatkan -buat yang masih punya
> > > kerendahan hati- bahwa Cak Nur sedang dalam taraf penyembuhan
> penyakitnya.
> > >
> > > Apa yang dijadikan bahan debat disini adalah peristiwa lawas, saya
> > > tidak tau apa urgensinya untuk didiskusikan saat ini apalagi mengingat
> > > kondisi ybs sekarang (atau mungkin ini sangat urgen bagi sebagian
> > > orang?). Kalaulah ada perbedaan pemahaman atas sepotong kalimat itu
> > > (saya yakin banyak yang melepaskan diri dari kontekstualnya, hanya
> > > menitikberatkan pada tekstual) maka apakah adil dibahas disini karena
> > > ybs tidak bisa menjelaskan apa yg dimaksud?
> > >
> > > Saya cuma bertanya2, apakah sebegitu mudahnya tergelincir dari mulut
> > > kita judgement tanpa kita yakin sekali derajat kebenaran apa yang kita
> > > ketahui. Mungkin yang mampu menilai bahwa dia sesat memang merasa
> > > bahwa dia lebih suci dan lebih bertaqwa pada Allah. Maaf kalau begitu,
> > > saya seorang pendosa, tak ada apa2nya mungkin dibanding orang2 disini
> > > yang fasih kitab suci. Walaupun saya pikir Cak Nur tidak akan marah
> > > jika tahu "diomongin dibelakangnya" tapi saya yakin Allah Maha Tahu
> > > apa yang tersembunyi ditiap2 hati kita.
> > >
> > > Jangan2 -dibanding Cak Nur- lebih baik anggota DPR yang minta naik
> > > gaji itu? Karena mereka tidak sesat *hanya sedikit insensitif*.
> > >
> > >
> > > salam,
> > >
> > > fau
> > >
> > >
> > >
> > >
> > >
> > >
> >
>
***
> > > Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju
> Indonesia
> > yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.org
> > >
> >
>
***
> > >
> __
> > > Mohon Perhatian:
> > >
> > > 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg
> otokritik)
> > > 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
> > > 3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru;
> > > 4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
> > > 5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
> > > 6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
> > >
> > > Yahoo! Groups Links
> > >
> > >
> > >
> > >
> > >
> > >
> > >
> > >
> > >
>
>
>
>
>
***
> Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia

Re: [ppiindia] Just A Thought: Cak Nur

2005-07-05 Terurut Topik Yopie Peranginangin
Lagi-lagi bu Fauziah.. (dengan nasehat-nasehat mautnya datang untuk
meruntuhkan perdebatan.)
Lihat tuh, ditengah perdebatan bu Fauzih pasti akan masuk, dan mengatakan
bahwa "perdebatan ini sudah dibahas sebelum-nya", atau kali ini bu Fauziah
mengatakan "Apa yang menjadi bahan debat disini adalah peristiwa
lawas".. Biarkanlah perdebatan mengalir tanpa harus diinterupsi oleh
pesan-pesan yang terkesan "moralis" itu. Biarkan saja orang berpikir untuk
memperdebatkan dan menafsirkan pendapat Cak Nur, men-Judgement sekalipun
sah-sah saja. Lha wong, Cak Nur bukan-lah Tuhan yang perkataan-nya dalam
bentuk
sabda adalah sebuah kemutlakan...

Salam,

Jopee

- Original Message -
From: "fauziah swasono" <[EMAIL PROTECTED]>
To: 
Sent: Tuesday, July 05, 2005 3:10 PM
Subject: [ppiindia] Just A Thought: Cak Nur


> Saya tidak benar2 mengikuti diskusi mengenai sesat menyesatkan ini.
> Tapi saya tergelitik sedikit untuk mengingatkan -buat yang masih punya
> kerendahan hati- bahwa Cak Nur sedang dalam taraf penyembuhan penyakitnya.
>
> Apa yang dijadikan bahan debat disini adalah peristiwa lawas, saya
> tidak tau apa urgensinya untuk didiskusikan saat ini apalagi mengingat
> kondisi ybs sekarang (atau mungkin ini sangat urgen bagi sebagian
> orang?). Kalaulah ada perbedaan pemahaman atas sepotong kalimat itu
> (saya yakin banyak yang melepaskan diri dari kontekstualnya, hanya
> menitikberatkan pada tekstual) maka apakah adil dibahas disini karena
> ybs tidak bisa menjelaskan apa yg dimaksud?
>
> Saya cuma bertanya2, apakah sebegitu mudahnya tergelincir dari mulut
> kita judgement tanpa kita yakin sekali derajat kebenaran apa yang kita
> ketahui. Mungkin yang mampu menilai bahwa dia sesat memang merasa
> bahwa dia lebih suci dan lebih bertaqwa pada Allah. Maaf kalau begitu,
> saya seorang pendosa, tak ada apa2nya mungkin dibanding orang2 disini
> yang fasih kitab suci. Walaupun saya pikir Cak Nur tidak akan marah
> jika tahu "diomongin dibelakangnya" tapi saya yakin Allah Maha Tahu
> apa yang tersembunyi ditiap2 hati kita.
>
> Jangan2 -dibanding Cak Nur- lebih baik anggota DPR yang minta naik
> gaji itu? Karena mereka tidak sesat *hanya sedikit insensitif*.
>
>
> salam,
>
> fau
>
>
>
>
>
>
***
> Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia
yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.org
>
***
> __
> Mohon Perhatian:
>
> 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
> 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
> 3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru;
> 4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
> 5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
> 6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
>
> Yahoo! Groups Links
>
>
>
>
>
>
>
>
>




***
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.org
***
__
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 
4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
[EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
http://docs.yahoo.com/info/terms/
 




Re: [ppiindia] Just A Thought: Cak Nur (untuk bu Fauziah)

2005-07-05 Terurut Topik Yopie Peranginangin
Lagi-lagi bu Fauziah.. (dengan nasehat-nasehat mautnya datang untuk
meruntuhkan perdebatan.)
Lihat tuh, ditengah perdebatan bu Fauzih pasti akan masuk, dan mengatakan
bahwa "perdebatan ini sudah dibahas sebelum-nya", atau kali ini bu Fauziah
mengatakan "Apa yang menjadi bahan debat disini adalah peristiwa
lawas".. Biarkanlah perdebatan mengalir tanpa harus diinterupsi oleh
pesan-pesan yang terkesan "moralis" itu. Biarkan saja orang berpikir untuk
memperdebatkan dan menafsirkan pendapat Cak Nur, men-Judgement sekalipun
sah-sah saja. Lha wong, Cak Nur bukan Tuhan yang perkataan dalam bentuk
sabda adalah sebuah kemutlakan...

Salam,

Jopee



- Original Message -
From: "fauziah swasono" <[EMAIL PROTECTED]>
To: 
Sent: Tuesday, July 05, 2005 3:10 PM
Subject: [ppiindia] Just A Thought: Cak Nur


> Saya tidak benar2 mengikuti diskusi mengenai sesat menyesatkan ini.
> Tapi saya tergelitik sedikit untuk mengingatkan -buat yang masih punya
> kerendahan hati- bahwa Cak Nur sedang dalam taraf penyembuhan penyakitnya.
>
> Apa yang dijadikan bahan debat disini adalah peristiwa lawas, saya
> tidak tau apa urgensinya untuk didiskusikan saat ini apalagi mengingat
> kondisi ybs sekarang (atau mungkin ini sangat urgen bagi sebagian
> orang?). Kalaulah ada perbedaan pemahaman atas sepotong kalimat itu
> (saya yakin banyak yang melepaskan diri dari kontekstualnya, hanya
> menitikberatkan pada tekstual) maka apakah adil dibahas disini karena
> ybs tidak bisa menjelaskan apa yg dimaksud?
>
> Saya cuma bertanya2, apakah sebegitu mudahnya tergelincir dari mulut
> kita judgement tanpa kita yakin sekali derajat kebenaran apa yang kita
> ketahui. Mungkin yang mampu menilai bahwa dia sesat memang merasa
> bahwa dia lebih suci dan lebih bertaqwa pada Allah. Maaf kalau begitu,
> saya seorang pendosa, tak ada apa2nya mungkin dibanding orang2 disini
> yang fasih kitab suci. Walaupun saya pikir Cak Nur tidak akan marah
> jika tahu "diomongin dibelakangnya" tapi saya yakin Allah Maha Tahu
> apa yang tersembunyi ditiap2 hati kita.
>
> Jangan2 -dibanding Cak Nur- lebih baik anggota DPR yang minta naik
> gaji itu? Karena mereka tidak sesat *hanya sedikit insensitif*.
>
>
> salam,
>
> fau
>
>
>
>
>
>
***
> Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia
yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.org
>
***
> __
> Mohon Perhatian:
>
> 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
> 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
> 3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru;
> 4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
> 5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
> 6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
>
> Yahoo! Groups Links
>
>
>
>
>
>
>
>
>




***
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.org
***
__
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 
4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
[EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
http://docs.yahoo.com/info/terms/
 




[ppiindia] Aceh in Wonderland : Tulisan Aguswandi

2005-06-30 Terurut Topik Yopie Peranginangin
This article has been published by the Jakarta Post today. Here is the original 
version:
 
 
Aceh in Wonderland
 
Aguswandi
 
Is Aceh being turned into the world of Alice in Wonderland? There is a British 
novel called Alice in Wonderland. A young girl called Alice, falls into a hole 
and enters a world full of confusion and absurdity. Everything is turned upside 
down and Alice is trapped to deal with too many pictures of small things, 
unable to focus on the world beyond. Are the Acehnese to be driven to this kind 
of existence? 
 
Last week in Aceh several poor Acehnese, accused and found guilty of gambling 
under sharia (Islamic) law, were publicly flogged with canes by a government 
appointed executor. It is the first application of sharia since its imposition 
several years ago.  
 
This is an absurdity; never in the history of Aceh has Islam been exploited in 
this way, simply to punish the poor. In the past Islam was the foundation and 
inspiration for the Acehnese to defend themselves against colonialism, social 
injustice and oppression. 
 
Islamic values informed the fight against Portuguese oppression, which stopped 
their colonial expansion in Asia, and galvanised the Acehnese to defend 
themselves against Dutch invasion.  The resilience of the Acehnese effectively 
bankrupted and thus defeated the Dutch. These values went on to imbue many 
Acehnese with the will to oppose injustice in the post colonial era. It was non 
conservative values of Islam, a desire for equality and justice that motivated 
the Acehnese to seek freedom from any and all attempts to conquer them.
 
But now we have some Ulamas empowered by the government using religious law to 
punish some people who commit petty crime, such as gambling, and enforcing 
disproportionate penalties. 
 
Gambling, if it is a crime at least only harms the gamblers, at worst their 
families. The conflict region of Aceh is full of groups and individuals harming 
the wider society, committing crimes that perpetuate conflict and exploitation. 
The crimes of the powerful; the killing of innocent civilians or involvement in 
large scale corruption seem to elicit a different response than the crimes of 
poor. When the rich and powerful seem immune from judicial action, even under 
sharia law, while the poor Acehnese are subject to all the extremes of this 
religious law it only serves to institutionalise inequality. 
 
There was a question posed on the internet, circulated by some young Acehnese, 
asking jokingly how many times Abdullah Puted would be caned if this law were 
to be applied to him. How about if this law was applied to those who are 
killing Acehnese civilians? No, it will not apply to them said Sharia 
authority. In fact it will not even be applied to the prosecutor who is making 
the case in this first trial of Sharia, who had admitted he received money as a 
bribe, from the defendant.
 
Indeed it is only for the poor, the powerless amongst the Acehnese to bear the 
brunt of this newly emboldened Sharia authority. The other weak Acehnese 
targeted are women, the most vulnerable groups of society in Aceh right now. 
The police sharia, the government discussion about women, instead of being 
about education and equal rights for women, is about clothes, the headscarf, 
the way they wear things. There have occasionally been sweeps by sharia police 
to check whether Acehnese women are wearing their clothes according to sharia. 
There is a story that recently at a meeting of local government officials, 
woman was made to sit at the back of the room. All this comes at a time when 
the women of Aceh are calling for equality, access to education and a voice in 
the reconstruction.
 
This is an insult to Acehnese women who in the past have asserted their will to 
play a significant role in society. To cite a few obvious examples, three women 
have ruled the kingdom of Aceh, there have been several female admirals and 
high ranking members of armed forces. Most famously Cut Nyak Dhien but there 
was also Cut Meutia, Pocut Baren and others. There has been no such discussion 
about dress codes in the past, yet both Islam and women’s involvement in the 
wider society have managed to flourish. 
 
By emphasising conservative aspects of religion and strict adherence to sharia 
law, some clerical leaders seek to blinker the Acehnese from wider problems in 
the region. They are exploiting the religious conviction of many Acehnese to 
manipulate them. In truth they are acting as an obstacle to change by 
distracting the locals from the main problem of injustice. This orchestrated 
distraction is perfect for a government which seeks to neutralize progressive 
voices in Aceh. This is a strategic alliance of the government with 
conservative religious to pacify the Acehnese.
 
If there is somebody most responsible for this, it is Abdurahman Wahid. It was 
Gus Dur the most liberal of Islamic thinkers who kick-started this new Sharia 
revolution. He decided t

Re: [ppiindia] Re: Wawancara dengan John Perkins (Economic Hitman) utk pendukung utang

2005-06-30 Terurut Topik Yopie Peranginangin
Bu Fauziah yang "s*k" serba tahu.

Kalau Bank Dunia mengulurkan tangah dengan memberikan grant, lantas
mengharapkan pamrih Ya gak usah kasih bantuan kemanusiaan dong.
Orang-orang Aceh juga akan menolak bantuan kemanusiaan kalo sang pemberi
bantuan mengharapkan "Pamrih". Atau mungkin tradisi anda seperti itu ya???
Memberi bantuan tapi mengharapkan pamrih, kalau tidak mengucapkan
terimakasih lantas mem-punishment si penerima bantuan sebagai orang yang
tidak beradab!!! Kasian amat...(selow, just kidding...).

Ini yang serius

Harus dibedakan bantuan dana kemanusiaan (Istilah SBY : Tanggap Darurat)
dengan "bantuan" dana untuk rekonstruksi serta rehabilitasi Aceh. Dalam
konteks solidaritas antar bangsa, bantuan-bantuan kemanusiaan pasti akan
mengalir dengan sendirinya tanpa harus diminta. Tapi untuk membangun Aceh
(Rekonstruksi dan Rehabilitasi), sudah ada tidak lagi bantuan dalam bentuk
grant/hibah dari Bank Dunia (IMF gak memberikan bantuan lho).Yang ada
hanya-lah softloan, tapi tetap aja namanya utang dan harus dibayar. Dan ada
indikasi bahwa untuk membalas budi bantuan-bantuan dalam bentuk utang
tersebut, pemerintah memprakarsai sebuah pertemuan tingkat internasional
yang bertujuan memfasilitasi program-program pembangunan infrastruktur,
yakni INFRASTRUKTUR SUMMIT. Dan berujung pada keluarnya sebuah produk
kebijakan yang kontroversial, yaitu PERPRES No 36 tahun 2004. Jangan
dikatakan bahwa PERPRES ini tidak punya keterkaitan dengan program
rekonstruksi dan rehabilitasi Aceh, akhirnya memicu rangkaian konflik
vertikal diberbagai daerah sehubungan dengan keluarnya PERPRES tersebut.


Catatan untuk komentar anda dibawah ini :
"Waktu tragedi Aceh, saya benar2 sedih ketika mendengar respon pemerintah
demikian lambatnya. Teman saya yg dosen di Unsyiah bilang,
sampai hari Minggu siang dia turun ke jalan, terheran2 kemana pemerintah
pusat? Nah, kalau saja waktu itu Aceh diserang asing, udah lepas dari tangan
kita kali ya... masak tetangganya Aceh kayak Sumut juga nggak bereaksi
cepat?"

Apakah anda tidak berpikir bahwa sarana Transportasi dan komunikasi di Aceh
terputus selama beberapa waktu Apakah anda mau mengatakan bahwa
orang-orang Sumut tidak memiliki rasa solidaritas dengan saudara-saudara-nya
di Aceh Padahal salah satu daerah di Sumut (Nias) juga terkena bencana
yang cukup besar Kesalahan memang terletak dipunggung Pemerintah karena
sejak dulu tidak membangun Early Warning System, untuk mengantisipasi
bencana alam. Karena pemerintah lebih sibuk mengurusi aset-aset asing di
Aceh dan mengejar-ngejar GAMDan jangan anda katakan kalau saya serba tau
atau malah terkesan sok tau, karena untuk Aceh, saya bersama beberapa kawan
dari Medan telah mendarat di Aceh 2 hari setelah bencana Tsunami. Dan sampai
sekarang kami masih mempunyai program-program pasca bencana di Aceh.

Saya prihatin dengan proses pendakalan berpikir akademisi-akademisi seperti
ibu...

Salam,

Jopi




- Original Message -
From: "fauziah swasono" <[EMAIL PROTECTED]>
To: 
Sent: Thursday, June 30, 2005 5:37 PM
Subject: [ppiindia] Re: Wawancara dengan John Perkins (Economic Hitman) utk
pendukung utang


> --- In ppiindia@yahoogroups.com, "Yopie Peranginangin" <[EMAIL PROTECTED]> 
> wrote:
> > Bu Fauziah...
> >
> > Anda terlalu naif dan lugu (kayak Pemerintah Indonesia dong), saat
> > melogika-kan bantuan dalam bentuk utang oleh IMF dan WB (untuk kasus
> Aceh).
> > Emang-nya utang-utang tersebut gak harus dibayar yang kemudian menjadi
> > senjata mereka untuk mempenetrasikan program-program-nya
> >
> > (Sembari menggeleng-gelengkan kepalahushh)
> >
>
> Pak Yopie yang serba tahu..
> Nggak usah dikasih tau kalau utang itu mesti dibayar, saya justru mau
> ngasih tau bahwa ada mahluk yang namanya grant (artinya hibah). Itu
> gak dibayar. Masih ngotot kalau kemaren orang Aceh merasa gak
> tertolong oleh US, Jepang dan asing lainnya yang sigap membantu?
>
> Saya pikir berterima kasih adalah bagian dari orang beradab. Yang
> salah tetap salah, tetapi kebaikan orang juga harus dihargai.
>
> (mengangguk-anggukkan kepala jadi ngantuk dan bosan)
>
>
>
>
>
***
> Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia
yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.org
>
***
> __
> Mohon Perhatian:
>
> 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
> 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikome

Re: [ppiindia] Re: Wawancara dengan John Perkins (Economic Hitman) utk pendukung utang

2005-06-30 Terurut Topik Yopie Peranginangin
Bu Fauziah...

Anda terlalu naif dan lugu (kayak Pemerintah Indonesia dong), saat
melogika-kan bantuan dalam bentuk utang oleh IMF dan WB (untuk kasus Aceh).
Emang-nya utang-utang tersebut gak harus dibayar yang kemudian menjadi
senjata mereka untuk mempenetrasikan program-program-nya

(Sembari menggeleng-gelengkan kepalahushh)

- Original Message -
From: "fauziah swasono" <[EMAIL PROTECTED]>
To: 
Sent: Thursday, June 30, 2005 2:47 PM
Subject: [ppiindia] Re: Wawancara dengan John Perkins (Economic Hitman)


> --- In ppiindia@yahoogroups.com, "Yopie Peranginangin" <[EMAIL PROTECTED]> 
> wrote:
> > >
> > > Ah berarti saya toh yang dituduh antek Amrik sama Pak Yopie. :D
> > > Malas ah meladeni orang ngaco yang percaya dukun. Not worth it at all.
> > > PS. Pak Yopie pernah nggak berani mengkritik policy IMF, WB dan US
> > > DIDEPAN PEJABAT2NYA? I did many times, and still are doing that
> until now.
> >
> > Momentum untuk berbicara didepan para pejabat Lembaga-Lembaga lintah
> darat
> > (IMF, WB dan US) tersebut tidak pernah ada. Kalau ada kesempatan, bukan
> > hanya kritik yang kami lakukan tapi meminta mereka untuk
> meninggalkan bumi
> > Indonesia. Akhirnya, kami hanya melakukan kritik dan makian terhadap
> mereka
> > dijalanan saja, karena sebatas itu yang dapat kami lakukan
> >
>
> Oya? Semoga kalau anda mendapatkan kesempatan itu, anda tidak
> mempermalukan diri sendiri. Anda tahu kan kalau Indonesia itu salah
> satu member IMF dan waktu krisis memanfaatkan haknya buat mendapatkan
> talangan dana.
>
> Sekarang anda bilang dong ke pemerintah Indonesia: keluar dari
> keanggotaan IMF dan WB. Itu lebih ampuh daripada marah berdasarkan emosi.
>
> Btw, kalau WB, ADB, dan US mesti jauh2 dari bumi Indonesia, kemaren
> Aceh tsunami itu memang bisa ditangani kita sendiri? Jangan egois.
> Mentang2 melihat sisi buruknya, anda melupakan objektivitas.
> Emang anda pikir orang2 yang kerja disana cuma barisan orang tolol?
> Kalau Perkins ngawur dalam memproyeksi pertumbuhan demand listrik
> Indonesia, pantas saja dia masih dipuja orang2, karena lebih
> berdasarkan kebencian yang mengaburkan objektivitas dan logika.
>
> Note: kalau anda memang membaca semua posting saya disini tentu anda
> tahu kalau saya pernah tulis bahwa saya percaya bahwa persekongkolan
> itu ada (makanya ada agen intelijen ditiap negara) tetapi saya tidak
> langsung percaya kalau logikanya lemah sekali.
>
> Pergerakan kapital internasional itu tidak dipengaruhi oleh satu dua
> faktor (mungkin Pak Danar yang ahli dibidang financial investment bisa
> lebih pas menjelaskannya). Kalau kita pikir bahwa IMF itu adalah
> semata2 kepanjangan tangan para kapitalis AS, sehingga maksa2
> privatisasi BUMN Indonesia spy bisa dicaplok mereka, kita lihat fakta:
> -Indosat dibeli siapa?
> -Telkom dibeli siapa?
> -Satelindo dibeli siapa?
> -Bank BCA dibeli siapa?

Disini muncul lagi keluguan anda (bagaimana mungkin seorang intelektual
punya pemikiran sedangkal ini).

Dalam logika pergerakan Kapital Internasional dalam mekanisme pasar, setelah
melakukan deregulasi dan penerapan praktek-praktek Privatisasi, maka siapa
yang kuat modalnya maka dia akan berjaya. Dalam konteks ini US melalui
dominasi-nya di IMF (punya 18% suara coy) disoroti perannya dalam "melibas"
semua regulasi-regulasi yang menghalangi proses pergerakan Kapital. Setelah
semuanya beres, silahkan bertarung!!! Geblek

> Ada perusahaan AS nggak disana? It's a matter of profit orientation
> mechanism.
> Lagian kalau seperti kata Perkins, bahwa tujuan IMF dan WB adalah
> menjeratkan negara2 miskin kedalam utang, alangkah bodohnya mereka.
> Kalau saya meminjamkan uang saya ingin uang saya kembali bukan
> orangnya jadi nggak bisa bayar, sampe2 nanti saya harus memberikan
> diskon utang.


> Kalau saya lebih kuatir akan arus globalisasi yang terlalu besar, yang
> bisa mematikan pemain2 kecil (ini pernah Pak Danar dan saya bahas
> disini). Tapi itu hubungannya dg perdagangan LN. Dan memang US memang
> mempraktekkan beberapa unfairness policies (dan saya katakan hal ini
> didepan salah satu direktur US Treasury).

Tuh kan?


> Orang mengkritik itu harus memenuhi 2 kaidah sekaligus: offense and
> defense. Kritik pasti bersifat offense. Nah, bisakah kita defense our
> critiques? Bukan dg melingkar2 dg permainan kata2 tetapi logikanya
> kosong atau malah fakta mengatakan sebaliknya. Tetapi dg argumen
> cerdas sehingga yang dikritik mau mikir apa kesalahannya.

> Kalau menurut saya ada hal2 yang kita perlukan dari masyarakat
> internasional. Kita tidak boleh egois dan emosi buta. Karena kalau
> kita bertindak tidak adil (misalnya menasionalisasi perusahaan a

Re: [ppiindia] Re: Wawancara dengan John Perkins (Economic Hitman)

2005-06-29 Terurut Topik Yopie Peranginangin
Bu Fauziah,


- Original Message -
From: "fauziah swasono" <[EMAIL PROTECTED]>
To: 
Sent: Thursday, June 30, 2005 11:55 AM
Subject: [ppiindia] Re: Wawancara dengan John Perkins (Economic Hitman)


> --- In ppiindia@yahoogroups.com, "Yopie Peranginangin" <[EMAIL PROTECTED]> 
> wrote:
> > Antek-antek Amrik akan selalu resisten terhadap pendapat-pendapat yang
> > mencoba mengkritik dominasi ekonomi Amrik didunia-dunia ketiga, yang
> > bergerak melalui perusahaan-perusahaan multinasional-nya.
> >
> > Coba dibuka kembali postingan-postingan dari bu Fauziah
> wow!!! Dari
> > upaya memoderasi perdebatan (misalnya, mengatakan bahwa postingan
> anda sudah
> > pernah dikirim sebelum-nya, dengan alasan efisiensi.sampai kontra
> > opini)
> >
>
> Ah berarti saya toh yang dituduh antek Amrik sama Pak Yopie. :D
> Malas ah meladeni orang ngaco yang percaya dukun. Not worth it at all.
>
>
> fau
>
> PS. Pak Yopie pernah nggak berani mengkritik policy IMF, WB dan US
> DIDEPAN PEJABAT2NYA? I did many times, and still are doing that until now.

Momentum untuk berbicara didepan para pejabat Lembaga-Lembaga lintah darat
(IMF, WB dan US) tersebut tidak pernah ada. Kalau ada kesempatan, bukan
hanya kritik yang kami lakukan tapi meminta mereka untuk meninggalkan bumi
Indonesia. Akhirnya, kami hanya melakukan kritik dan makian terhadap mereka
dijalanan saja, karena sebatas itu yang dapat kami lakukan

Masalahnya, banyak intelektual Indonesia yang seharusnya bekerja untuk
kemaslahatan rakyat, tapi menjadi kaki tangan untuk melegitimasi penetrasi
program-program IMF, WB dan US, dengan berupaya membangun opini yang
menyesatkan.


> > selow
> >
> > Jopi
> >
> > - Original Message -
> > From: "A Nizami" <[EMAIL PROTECTED]>
> > To: 
> > Sent: Thursday, June 30, 2005 11:16 AM
> > Subject: Re: [ppiindia] Re: Wawancara dengan John Perkins (Economic
> Hitman)
> >
> >
> > > Yah bu Fauziah, Perkins yang orang Amrik saja
> > > mengakui. Dan banyak orang2 AS yang mengakui hal ini.
> > > Makanya bukunya jadi best seller. Kok orang Indonesia
> > > yang jadi korbannya tidak percaya?
> > >
> > > Bisa jadi pernyataan Perkins benar. Bukan cuma ada
> > > Economic Hitmen, tapi ada antek2nya di tiap negara
> > > yang membela kepentingan AS menguras harta kekayaan
> > > mereka.
> > >
> > > --- fauziah swasono <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
> > >
> > > > --- In ppiindia@yahoogroups.com, A Nizami
> > > > <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
> > > > > Berikut wawancara dengan John Perkins, seorang
> > > > > Economic Hitman. Tugasnya adalah membangun
> > > > "kerajaan"
> > > > > Amerika. Menciptakan situasi sehingga sebanyak
> > > > mungkin
> > > > > seluruh sumber daya (migas, emas, perak, dsb)
> > > > mengalir
> > > > > ke perusahaan2 AS dan negara AS.
> > > > >
> > > > > Oleh karena itu, tak heran kita melihat berbagai
> > > > > perusahaan AS menguras sumber daya alam kita,
> > > > sehingga
> > > > > keuntungannya mengalir ke AS dan mensejahterakan
> > > > > rakyat di sana, sementara rakyat Indonesia
> > > > sebagian
> > > > > mati kelaparan.
> > > > >
> > > >
> > > > hehehe... Pak Nizami ini suka banget sih sama Pak
> > > > dukun Perkins. Ini
> > > > kan udah diforward berkali2 dan dibahas berkali2
> > > > dari zaman kapan
> > > > dimilis ini.
> > > > Saya sekarang malah curious dg buku Perkins ttg
> > > > perdukunan (shamanism)
> > > > semisal "Psychonavigation" atau "Shamanic
> > > > Navigation: Shapeshifting
> > > > Techniques" pengen tau apa dg ilmu dukun bisa
> > > > membantu
> > > > permasalahan socio-economics yang udah parah ini.
> > > > Atau jangan2 buku
> > > > "Economic Hit Man" ini juga salah satu buku
> > > > shamanism?
> > > >
> > > >
> > > >
> > > >
> > > >
> > >
> > >
> > > Bacalah artikel tentang Islam di:
> > > http://www.nizami.org
> > >
> > > __
> > > Do You Yahoo!?
> > > Tired of spam?  Yahoo! Mail has the best spam protection around
> > > http://mail.yahoo.com
> > >
> > >
> > >
&

Re: [ppiindia] Re: Wawancara dengan John Perkins (Economic Hitman)

2005-06-29 Terurut Topik Yopie Peranginangin
Antek-antek Amrik akan selalu resisten terhadap pendapat-pendapat yang
mencoba mengkritik dominasi ekonomi Amrik didunia-dunia ketiga, yang
bergerak melalui perusahaan-perusahaan multinasional-nya.

Coba dibuka kembali postingan-postingan dari bu Fauziah wow!!! Dari
upaya memoderasi perdebatan (misalnya, mengatakan bahwa postingan anda sudah
pernah dikirim sebelum-nya, dengan alasan efisiensi.sampai kontra
opini)

selow

Jopi

- Original Message -
From: "A Nizami" <[EMAIL PROTECTED]>
To: 
Sent: Thursday, June 30, 2005 11:16 AM
Subject: Re: [ppiindia] Re: Wawancara dengan John Perkins (Economic Hitman)


> Yah bu Fauziah, Perkins yang orang Amrik saja
> mengakui. Dan banyak orang2 AS yang mengakui hal ini.
> Makanya bukunya jadi best seller. Kok orang Indonesia
> yang jadi korbannya tidak percaya?
>
> Bisa jadi pernyataan Perkins benar. Bukan cuma ada
> Economic Hitmen, tapi ada antek2nya di tiap negara
> yang membela kepentingan AS menguras harta kekayaan
> mereka.
>
> --- fauziah swasono <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
>
> > --- In ppiindia@yahoogroups.com, A Nizami
> > <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
> > > Berikut wawancara dengan John Perkins, seorang
> > > Economic Hitman. Tugasnya adalah membangun
> > "kerajaan"
> > > Amerika. Menciptakan situasi sehingga sebanyak
> > mungkin
> > > seluruh sumber daya (migas, emas, perak, dsb)
> > mengalir
> > > ke perusahaan2 AS dan negara AS.
> > >
> > > Oleh karena itu, tak heran kita melihat berbagai
> > > perusahaan AS menguras sumber daya alam kita,
> > sehingga
> > > keuntungannya mengalir ke AS dan mensejahterakan
> > > rakyat di sana, sementara rakyat Indonesia
> > sebagian
> > > mati kelaparan.
> > >
> >
> > hehehe... Pak Nizami ini suka banget sih sama Pak
> > dukun Perkins. Ini
> > kan udah diforward berkali2 dan dibahas berkali2
> > dari zaman kapan
> > dimilis ini.
> > Saya sekarang malah curious dg buku Perkins ttg
> > perdukunan (shamanism)
> > semisal "Psychonavigation" atau "Shamanic
> > Navigation: Shapeshifting
> > Techniques" pengen tau apa dg ilmu dukun bisa
> > membantu
> > permasalahan socio-economics yang udah parah ini.
> > Atau jangan2 buku
> > "Economic Hit Man" ini juga salah satu buku
> > shamanism?
> >
> >
> >
> >
> >
>
>
> Bacalah artikel tentang Islam di:
> http://www.nizami.org
>
> __
> Do You Yahoo!?
> Tired of spam?  Yahoo! Mail has the best spam protection around
> http://mail.yahoo.com
>
>
>
***
> Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia
yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.org
>
***
> __
> Mohon Perhatian:
>
> 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
> 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
> 3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru;
> 4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
> 5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
> 6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
>
> Yahoo! Groups Links
>
>
>
>
>
>
>
>
>




***
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.org
***
__
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 
4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
[EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
http://docs.yahoo.com/info/terms/
 




Re: [ppiindia] Re: Dikuras Asing (tanggapan untuk Mas Bagong alias DG) (tanggapan balik)

2005-06-27 Terurut Topik Yopie Peranginangin
Oke bung,

Saya kira juga demikian, tapi saya ucapkan terimakasih karena mau berbagi
ilmu dengan orang yang goblok tentang pertambangan seperti saya. Tapi saya
kira kita tetap bisa share untuk hal-hal lain, walaupun dalam topik ini kita
berbeda prinsip dan persfektif..

Salam,

Jopi

- Original Message -
From: "Mas Bagong" <[EMAIL PROTECTED]>
To: 
Sent: Monday, June 27, 2005 5:02 PM
Subject: Re: [ppiindia] Re: Dikuras Asing (tanggapan untuk Mas Bagong alias
DG) (tanggapan balik)


> > Saya juga tidak pernah mengatakan bahwa PERTAMINA sangat unggul dalam
> > pengelolaan. Yah, setali 3 uang lah dengan perusahaan pertambangan
asing.
> > Untuk Perubahan, siapa yang bilang bahwa perubahan itu bisa dilakukan
dalam
> > waktu 1 malam? Tapi yang namanya perubahan sudah harus dilakukan mulai
> > sekarang, Apa yang kita perdebatkan, membuat saya berkesimpulan bahwa
gambar
> > dunia pertambangan Indonesia bagai cermin usang. Olehnya, langkah yang
> > terbaik adalah menghentikan seluruh aktivitas pertambangan di Indonesia.
> > Untuk menutupi KAS negara karena penghentian aktivitas pertambangan
> > tersebut, bisa memaksimalkan potensi sumber daya alam lain, misalnya
potensi
> > kelautan dan non timber forest product. Karena kehidupan masyarakat
> > Indonesia (terutama sekitar pertambangan) dari sejak sebelum dan sesudah
> > adanya praktek pertambangan, tidak mengalami perubahan signifikan
kecuali
> > perubahan pola produksi, sosial dan budaya. Sehingga muncul pertanyaan,
> > siapa yang paling ngotot untuk memuluskan pengerukan sumber daya mineral
> > Indonesia?
> >
> DG: Saya tidak tahu parameter anda mengatakan tidak ada pertambahan
> potensi ekonomi setempat di sekitar lokasi tambang... Tetapi kalau
> anda katakan penutupan tambang adalah solusinya, maka itu seperti
> menutup masalah dengan membuat masalah yang lain lagi (silakan hitung
> berapa banyak orang yang akan menganggur plus berapa usaha pendukung
> dan penunjang yang akan gulung tikar...)
>
> > Pertambangan tradisional juga harus ditertibkan karena tidak ramah
> > lingkungan. Dan dalam banyak kasus pertambangan tradisional (Di kalsel
dan
> > kalteng) tersebut "disupport" oleh pemodal-pemodal asing, karena
biasanya
> > areal "bermain" penambang tradisional berada diluar areal konsesi
perusahaan
> > pertambangan asing tersebut. Dan barang-barang tambang yang diperoleh
> > tersebut dijual dengan sangat murah ke makelar, yang biasanya
kepanjangan
> > tangan dari perusahaan pertambangan asing.
> >
> DG: Setahu saya, perusahaan-perusaahan asing asal eropa, ostrali dan
> amrik tidak pernah mau membeli barang tambang yang diproduksi tidak
> mengikuti standar yang mereka punya... Jadi sinyalemen 'pemodal asing'
> ini apakah 'asing' bule atau 'asing' lokal (baca: cukong dari jakarta)
>
> > Saya pernah tinggal selama sebulan dipemukiman suku AMUNGME dan KOMORO,
saya
> > saksikan sendiri bagaimana kehidupan komunitas adat tersebut, yang
wilayah
> > ulayat-nya di caplok untuk kepentingan pertambangan. Sangat MIRIS!
> > Kemiskinan, keterbelakangan, kekerasan selalu menghampiri mereka. Anda
> > menutup mata terhadap fenomena itu??? Puluhan tahun lamanya kekayaan
alam
> > mereka dikuras tanpa menyisakan kesejahteraan buat mereka.
> >
> DG: Lho bukankah perusahaan telah membuatkan sekolah, menyekolahkan
> putra daerah ke berbagai tempat? Bahkan saya menyaksikan sendiri
> bagaimana klinik-klinik satelit dibuat melingkar di wilayah penduduk
> untuk memastikan bahwa status kesehatan tetap optimal...
> Permasalahannya Bung, adalah terletak pada Depsos dan pemerintah yang
> memang tidak memperhatikan mereka! Harusnya pemerintah melalui depsos
> memajukan mereka untuk mempromosikan budaya masyarakat setempat dari
> budaya batu menuju budaya milenium Lha kalau perusahaan disuruh
> mikiran masalah sosial, ya mending, pemda dibubarin aja khan?
> >
> > Kasus di Riau merupakan sebuah pengandaian dari sebuah daerah yang kaya
tapi
> > ternyata masyarakatnya kelaparan dan miskin. Jangan lantas
menggeneralisir
> > daerah2 lain yang tidak ada pertambangan tapi tidak ada busung lapang.
> > Karena dikampung ku juga tidak ada pertambangan tapi tidak ada busung
lapar.
> >
> DG: So, salah siapa? Salahnya Caltex lagi? SIapa yang bikin laporan
> ABS? orang Caltex? Khan bukan! Permasalahannya satu bung aparat kita
> masih cari untung bagi dirinya sendiri bukan untuk melayani atau
> mengayomi!
>
> > Kesimpulannya adalah HENTIKAN AKTIVITAS PERTAMBANGAN sampai berbagai
> > kebijakan (RUU PSDA, RUU Masyarakat Adat, RUU Sumber Daya Agraria) yang
> > melindungi hak-hak masyarakat disah-kan... Karena berbagai produk
> > perundang-undangan (sampai sekarang masih dalam pembahasan Badan
Legislasi
> > Nasional) tersebut yang dianggap sebagai tameng hukum masyarakat.
> >
> DG: Wah kalau begitu saya nggak bisa ngatain apa-apa lagi kalau anda
> sudah mentok pada prinsip pertambangan harus tutup... Berarti juga
> diskusi kita sudah sampai ujung karena kalau itu sikap anda ya saya
> nggak bisa ngas

Re: [ppiindia] Re: Dikuras Asing (tanggapan untuk Mas Bagong alias DG) (tanggapan balik)

2005-06-24 Terurut Topik Yopie Peranginangin

- Original Message -
From: "Mas Bagong" <[EMAIL PROTECTED]>
To: 
Sent: Friday, June 24, 2005 2:56 PM
Subject: Re: [ppiindia] Re: Dikuras Asing (tanggapan untuk Mas Bagong alias
DG) (tanggapan balik)


> > Persoalan monopoli, tidak adanya pembangunan fasilitas transportasi dan
> > ragam persoalan yang muncul --manakala PERTAMINA menjadi pihak
> > pengelola-nya-- tersebut menjadi titik pembenahan. Bukan lantas
menyerahkan
> > pengelolaannya ke tangan Perusahaan asing.
> >
> DG: Lho bukannya anda yang menekankan dalam email terdahulu anda bahwa
> perusahaan asing yang tidak memberikan nilai lebih? Saya memberi
> contoh untuk menunjukkan bahwa dipegang pertamina ternyata juga tak
> lebih baik bahkan lebih parah... Lalu apa yang anda harapkan? Ibu peri
> datang di malam hari dan merubah sistem pertamina atau perusahaan
> pelat merah dalam waktu semalam?

Saya juga tidak pernah mengatakan bahwa PERTAMINA sangat unggul dalam
pengelolaan. Yah, setali 3 uang lah dengan perusahaan pertambangan asing.
Untuk Perubahan, siapa yang bilang bahwa perubahan itu bisa dilakukan dalam
waktu 1 malam? Tapi yang namanya perubahan sudah harus dilakukan mulai
sekarang, Apa yang kita perdebatkan, membuat saya berkesimpulan bahwa gambar
dunia pertambangan Indonesia bagai cermin usang. Olehnya, langkah yang
terbaik adalah menghentikan seluruh aktivitas pertambangan di Indonesia.
Untuk menutupi KAS negara karena penghentian aktivitas pertambangan
tersebut, bisa memaksimalkan potensi sumber daya alam lain, misalnya potensi
kelautan dan non timber forest product. Karena kehidupan masyarakat
Indonesia (terutama sekitar pertambangan) dari sejak sebelum dan sesudah
adanya praktek pertambangan, tidak mengalami perubahan signifikan kecuali
perubahan pola produksi, sosial dan budaya. Sehingga muncul pertanyaan,
siapa yang paling ngotot untuk memuluskan pengerukan sumber daya mineral
Indonesia?

> > 200 juta orang populasi penduduk Indonesia merupakan sebuah potensi
untuk
> > melakukan perubahan, bukan malah mengkhawatirkan nasib-nya. Daripada
melihat
> > sekitar 150 juta orang hidup dibawah garis kemiskinan sementara kekayaan
> > alamnya dibawa lari keluar negeri oleh perusahaan-perusahaan asing. Anda
> > bisa bayangkan busung lapar menyerang Riau yang memiliki kekayaan alam
> > sangat besar. Ironis kan??? Kemana hasil eksploitasi minyak Riau kalau
tidak
> > dibawa ke negeri Paman Sam

DG: Kalau masalah busung lapar bukan salah orang amerika atau inggris
> atau yahudi bin zionis... Itu eksalahan bangsa kita sendiri karena
> lebih suka ABS karena prestasi dilihat dari angka-angka yang
> dilaporkan ke dinas atau kanwil... Lucu anda menyalahkan orang lain...
> Coba anda lihat kabupaten Boyolali di Jawa Tengah yang tidak punya
> tambang, kok tidak terdengar adanya busung lapar ya?
> Apa anda yakin bahwa kalau tambang dikuasai perusahaan pelat merah
> terus yang 150 juta itu turun menjadi 1 atau 2 juta? Saya katakan
> sekali lagi mas, sepanjang sistem ini belum anda rubah, jangan terlalu
> mengharap lebih, sakit hati jadinya

Makanya, solusi terbaik adalah menghentikan aktivitas pertambangan sampai
sistem dan manajemen perusahaan pertambangan negara SEHAT.

> > > Saya sudah saksikan sendiri bagaimana tingkat kerusakan ekologi yang
> > dilakukan perusahaan pertambangan PT.KEM dan KPC (anak perusahaan Rio
Tinto)
> > di Kalimantan Timur. Begitu juga yang terjadi di Kalimantan Selatan oleh
> > beberapa perusahaan pertambangan milik Indonesia. Tidak ada beda sama
> > sekali! Tapi catatan untuk Kalsel (mengkonfrontir pernyataan anda) :
> > Sebagian besar perusahaan pertambangan yang beroperasi adalah anak
> > perusahaan Maskapai-maskapai pertambangan raksasa seperti Rio Tinto,
> > Indomuro Kencana (100% saham dimiliki oleh Aurora Gold dari Australia),
PT
> > Arutmin (sahamnya dikuasai oleh BHP - Broken Hill Propetiery - asal
> > Australia). Semua perusahaan-perusahaan diatas mempunyai deretan dosa
> > ekologi dan konflik dengan masyarakat sekitar pertambangan. Saya punya
> > data-data dosa perusahaan tersebut.
> > Anda seolah-olah mau mengatakan bahwa pengelolaan pertambangan oleh
> > perusahaan asing lebih ramah lingkungan dan mampu mendongkrak tingkat
> > kesejahteraan rakyat. NONSEN bung!
> >
> DG: Sudah anda bandingkan belum kerusakan yang terjadi (plus dengan
> jumlah yang mati akibat kecelakaan kerja) dengan pertambangan yang
> dikelola pelat merah? Bung lihat juga tambang yang 'katanya' milik
> rakyat juga dong...

Pertambangan tradisional juga harus ditertibkan karena tidak ramah
lingkungan. Dan dalam banyak kasus pertambangan tradisional (Di kalsel dan
kalteng) tersebut "disupport" oleh pemodal-pemodal asing, karena biasanya
areal "bermain" penambang tradisional berada diluar areal konsesi perusahaan
pertambangan asing tersebut. Dan barang-barang tambang yang diperoleh
tersebut dijual dengan sangat murah ke makelar, yang biasanya kepanjangan
tangan dari perusahaan pertambangan asing.

> > Untuk mendongkrak kesejahteraan mas

Re: [ppiindia] Re: Dikuras Asing (tanggapan untuk Mas Bagong alias DG) (tanggapan balik)

2005-06-23 Terurut Topik Yopie Peranginangin
Mas Bagong,


 Original Message -
From: "Mas Bagong" <[EMAIL PROTECTED]>
To: 
Sent: Thursday, June 23, 2005 6:31 PM
Subject: Re: [ppiindia] Re: Dikuras Asing (tanggapan untuk Mas Bagong alias
DG) (tanggapan balik)


> > Tolong anda baca pendapat saya diatas (yang berada tepat diatas pendapat
> > anda ini). Saya mengatakan dengan jelas bahwa harus dilakukan perombakan
> > sistem dan mekanisme untuk mengontrol kinerja dan manajemen PERTAMINA.
Baca
> > dong mas (jangan asal nanggapi doang)
> >
> DG: Justru saya menanggapi ini setelah membaca semua tulisan anda lho
> bung Jopie; nah ini tidak saja masalah teknis, tetapi justru bicara
> mengenai kondisi sosial manusia yang sekarang lagi pada pegang
> kekuasaan... Coba dilihat lagi jawaban saya, kalau kondisi masih
> seperti sekarang, artinya pemegang kekuasaan (termasuk yang di
> perusahaan negara) masih kayak gini, pikirannya hanya bagaimana cara
> balik modal jabatan atau bagaimana mendapatkan keuntungan dari suatu
> jabatan, maka sia-sialah segala fasilitas yang diberikan... Ingat lho
> bung, Pertamina ini sudah memonopoli urusan minyak sejak mula
> didirikan... Tapi apakah hasilnya? Saya ingat sekitar 4 tahun lalu
> sewaktu saya ikut proses seismik di sekitar prabumulih, bagaimana
> jalanan dari Prabumulih ke Pendopo (tempat pertamina menambang minyak
> ) masih nggak karuan jauh dengan jalanan di Timika ke Kuala Kencana
> yang dikelola Freeport... Ini baru soal masalah jalan, belum lagi
> pengolahan limbah atau sistem HSE-nya...

Persoalan monopoli, tidak adanya pembangunan fasilitas transportasi dan
ragam persoalan yang muncul --manakala PERTAMINA menjadi pihak
pengelola-nya-- tersebut menjadi titik pembenahan. Bukan lantas menyerahkan
pengelolaannya ke tangan Perusahaan asing.

> > Itu sebuah pernyataan dari saya buat pemerintah sebagai sebuah solusi
ektrem
> > dalam mengatasi berbagai persoalan kebangsaan. Why not? Lihat
perkembangan
> > terakhir di Venezuela dan Bolivia. Saat Presiden Hugo Chavez dengan
dukungan
> > rakyat Venezuela dengan tegas dan lugas mengecam praktek kebijakan
Ekonomi
> > dan Politik USA, dan menolak program Privatisasi yang diajukan IMF dan
Bank
> > Dunia. Salah satu kebijakan Hugo Chavez yang akan segera dijalankan
adalah
> > menasionalisasi semua aset-aset asing. Lihat juga bagaimana rakyat di
> > Bolivia yang mendesak Pemerintah-nya untuk menasionalisasi Perusahaan
> > pertambangan seperti Repsol, British Petroleum, Total Fina, Enron,
Shell,
> > Petrobras dan lainnya.
> > Kesimpulannya : Program Nasionalisasi bukanlah sesuatu yang tidak
mungkin di
> > masa sekarang.
> DG: Bung, orang Venezuela atau Bolivia mendukung pemerintahnya karena
> sebagian besar mereka percaya penuh pada pemimpinnya sebagaimana Kuba
> atau China; laha kalau kita? Boro-boro mas... Pemimpinnya aja masih
> nggak karuan begitu... Mau maksain dan 'gambling'? ya silakan aja,
> tetapi ingat lho nasib 200 juta penduduk Indonesia?

200 juta orang populasi penduduk Indonesia merupakan sebuah potensi untuk
melakukan perubahan, bukan malah mengkhawatirkan nasib-nya. Daripada melihat
sekitar 150 juta orang hidup dibawah garis kemiskinan sementara kekayaan
alamnya dibawa lari keluar negeri oleh perusahaan-perusahaan asing. Anda
bisa bayangkan busung lapar menyerang Riau yang memiliki kekayaan alam
sangat besar. Ironis kan??? Kemana hasil eksploitasi minyak Riau kalau tidak
dibawa ke negeri Paman Sam

> > Pendapat anda diatas ini yang paling menggelitik buat saya.
Apakah
> > kekayaan ALAM Indonesia yang dieksploitasi tidak sebanding dengan
Investasi
> > jutaan dollar tersebut? Apakah mereka bisa berinvestasi dan
melipatgandakan
> > keuntungan tanpa didukung cadangan MIGAS yang terkadung didalam perut
bumi
> > Nusantara? Logika sederhananya begini (biar anda dapat mencernanya) :
> > Perusahaan asing membawa "MODAL" dan Pemerintah Indonesia memberikan
Sumber
> > Daya Alamnya. Sampai disini Logikanya "IMPAS".
> > Selanjutnya, siapa yang harus menanggung beban kerusakan daya dukung
> > lingkungan (darat dan laut) pasca penutupan tambang? Berapa dana yang
harus
> > dikeluarkan untuk merehabilitasi kerusakan lahan disekitar areal
eksploitasi
> > pertambangan?
> >
> DG: Kalau bicara IMPAS, maka dari kacamata teori ya nggak berlaku dong
> mas, mana ada orang berusaha cuma sampai BEP doang? Mereka tentu akan
> mencari untuk supaya bertahan hidup, supaya bisa melanjutkan bisnis
> dan mendapatkan explorasi di tempat lain, memangnya explorasi biayanya
> murah? Mahal mas, bahkan jauh lebih mahal daripada exploitasi!
> Kalau bicara kerusakan alam, silakan sekali-kali anda jalan-jalan ke
> tambang yang dikelola orang asing dengan yang dikelola pengusaha
> republik deh... (paling mudah lihatlah tambang-tambang batubara di
> Kalsel sana...)

Saya sudah saksikan sendiri bagaimana tingkat kerusakan ekologi yang
dilakukan perusahaan pertambangan PT.KEM dan KPC (anak perusahaan Rio Tinto)
di Kalimantan Timur. Begitu juga yang terjadi di Kalimantan Selatan o

Re: [ppiindia] Re: Dikuras Asing (tanggapan untuk Mas Bagong alias DG) (tanggapan balik)

2005-06-23 Terurut Topik Yopie Peranginangin

- Original Message -
From: "Mas Bagong" <[EMAIL PROTECTED]>
To: 
Sent: Thursday, June 23, 2005 4:49 PM
Subject: Re: [ppiindia] Re: Dikuras Asing (tanggapan untuk Mas Bagong alias
DG) (tanggapan balik)

Mas Bagong,

Coba direview berbagai tanggapan maupun komentar saya, tidak satu pun yang
mempertanyakan pergulatan anda dilapangan minyak atau siapapun yang coba
berpendapat tentang PERTAMINA dan Migas. Saya coba mengembalikan satu
lontaran pernyataan mas Bagong (yang seolah-olah) hanya orang yang berkubang
dilapangan MIGAS yang memiliki kapasitas berpendapat tentang MIGAS dan
PERTAMINA.

> Bang Yopie:
> Kalau anda bertanya apakah saya pernah di lapangan minyak, maka saya
> jawab bahwa saya sudah pernah bekerja di berbagai lapangan minyak,
> mulai dari Prabumulih SUmsel, Asamera bahkan hingga di Handil
> Kaltim... Pernah di pertambangan emas mulai dari Freeport di Irian
> hingga eksplorasi di Lhok SUkon Blang Kejeren... Pernah kerja di
> pengeboran geothermal mulai dari masa jaya geothermal hingga hancurnya
> proyek geothermal saya ngalami...
> Jadi saya bekerja untuk berbagai perusahaan mulai dari yang sangat
> profesional dengan sistem HSE yang bagus hingga perusahaan yang
> 'ceng-ceng-po' alias sekedar proyek 'money-laundering'



> > Makanya untuk mengubah mental adalah dengan membangun sebuah sistem dan
> > mekanisme kontrol (memangnya perubahan itu datang dari langit), dimana
> > publik bisa terlibat dalam proses pengontrolan tersebut. Cara-nya dengan
> > membentuk satu komisi dari berbagai latar belakang disiplin ilmu (NGO,
> > Akademisi, Birokrat), Komisi ini bisa bersifat permanen atau pun ad-hoc
yang
> > disesuaikan dengan kebutuhan. Tapi semuanya tergantung dari POLITICAL
WILL
> > dab GOOD WILL pemerintah untuk menyehatkan PERTAMINA.
> >
> DG: masalahnya apakah dengan kondisi pertamina sekarang ini akan
> efektif? Artinya bisakah pertamina ini nanti mensejahterakan rakyat?
> Lihatlah  berita terakhir mengenai tumpahan minyak pertamina di Jambi,
> bagaimana mereka tidak profesional dalam bidang HSE mereka...Ini baru
> contoh kecil mas Kalau mau diberikan pun sekarang, saya khawatir
> sepanjang sistemnya masih kaya begini, ya malah ngabis-ngabisin duit
> dan nambahin utang negara...(ujung-ujungnya pajak pendapatan dinaikkan
> lagi nih...)

Tolong anda baca pendapat saya diatas (yang berada tepat diatas pendapat
anda ini). Saya mengatakan dengan jelas bahwa harus dilakukan perombakan
sistem dan mekanisme untuk mengontrol kinerja dan manajemen PERTAMINA. Baca
dong mas (jangan asal nanggapi doang)

> >
> > > Paling aman ya akhirnya seleksi alam, siapa yang efektif dan efisien,
> > > akan menang... Toh yang paling penting adalah hasil ini kembali ke
> > > rakyat Indonesia ya nggak? Namun rela nggak tuh kita melihat seperti
> > > ini? Melihat Pertamina mati kehabisan darah karena harus bertempur
> > > melawan raksasa-raksasa?
> > > Makanya efisiensi dan efektifitas adalah kunci dasar untuk mengurai
> > > benang ruwet perusahaan ini... (PLUS kemauan dan kemampuan berbuat
> > > jujur serta rela berkorban ...walah idealis amat!)
> >
> > Pendapat anda sangat ambigu, manakala disatu sisi anda menginginkan dan
> > tidak rela kalau PERTAMINA mati dan kehabisan darah karena harus
bertempur
> > melawan maskapai-maskapai raksasa pertambangan. Sementara disisi lain
anda
> > tidak resisten terhadap kebijakan pemerintah yang memberikan
ladang-ladang
> > migas Indonesia disedot maskapai-maskapai pertambangan Internasional.
Untuk
> > itu, pemerintah Indonesia harus segera didesak agar menjalanakan program
> > industrialisasi nasional, atau yang lebih ekstrim lagi :
NASIONALISASI...
> > Berani kah pemerintah indonesia?
> >
> DG: Nasionalisasi? Yah mas, sekarang ini bukan masa BK yang demikian
> mudah menasionalisasi perusahaan orang...

Itu sebuah pernyataan dari saya buat pemerintah sebagai sebuah solusi ektrem
dalam mengatasi berbagai persoalan kebangsaan. Why not? Lihat perkembangan
terakhir di Venezuela dan Bolivia. Saat Presiden Hugo Chavez dengan dukungan
rakyat Venezuela dengan tegas dan lugas mengecam praktek kebijakan Ekonomi
dan Politik USA, dan menolak program Privatisasi yang diajukan IMF dan Bank
Dunia. Salah satu kebijakan Hugo Chavez yang akan segera dijalankan adalah
menasionalisasi semua aset-aset asing. Lihat juga bagaimana rakyat di
Bolivia yang mendesak Pemerintah-nya untuk menasionalisasi Perusahaan
pertambangan seperti Repsol, British Petroleum, Total Fina, Enron, Shell,
Petrobras dan lainnya.
Kesimpulannya : Program Nasionalisasi bukanlah sesuatu yang tidak mungkin di
masa sekarang.

> >Bayangkan anda punya sebuah
> perusahaan dan anda habiskan jutaan dolar untuk investasi lalu
> mendadak orang datang dan mengambil alih begitu saja? Yang bener aja?

Pendapat anda diatas ini yang paling menggelitik buat saya. Apakah
kekayaan ALAM Indonesia yang dieksploitasi tidak sebanding dengan Investasi
jutaan dollar tersebut? Apakah mereka bisa berinvestasi dan melipatgandakan
k

Re: [ppiindia] Re: Dikuras Asing (tanggapan untuk Mas Bagong alias DG) (tanggapan balik)

2005-06-22 Terurut Topik Yopie Peranginangin

- Original Message -
From: "Mas Bagong" <[EMAIL PROTECTED]>
To: 
Sent: Thursday, June 23, 2005 1:32 PM
Subject: Re: [ppiindia] Re: Dikuras Asing (tanggapan untuk Mas Bagong alias
DG)

Bung DG (kenapa cuma pakai Inisial?) Tangapan saya ada
dibawah komentar anda..

> Bang Yopie:
> Mengubah mental memang tidak semudah membalik tangan kita, ini butuh
> waktu yang mungkin memakan waktu satu generasi atau bahkan seabad atau
> mungkin tujuh turunan... Untuk memangkas waktu adalah memang dengan
> melakukan 'revolusi' yaitu 'tebang tebu' bagian atas dipotong bagian
> akarnya didongkelin supaya bersih Namun ini akan memakan banyak
> korban dan mungkin instabilitas di negeri ini... Atau kita tingkatkan
> pengawasan terhadap Pertamina? Tapi bagaimana mungkin sapu kotor
> membersihkan lantai? Harus membersihkan sapu ini dulu, atau impor sapu
> dari luar? Nanti saya dikatakan tidak nasionalis lagi, nanti dikatakan
> asing menguras jatah auditor, dll, dsb.

Makanya untuk mengubah mental adalah dengan membangun sebuah sistem dan
mekanisme kontrol (memangnya perubahan itu datang dari langit), dimana
publik bisa terlibat dalam proses pengontrolan tersebut. Cara-nya dengan
membentuk satu komisi dari berbagai latar belakang disiplin ilmu (NGO,
Akademisi, Birokrat), Komisi ini bisa bersifat permanen atau pun ad-hoc yang
disesuaikan dengan kebutuhan. Tapi semuanya tergantung dari POLITICAL WILL
dab GOOD WILL pemerintah untuk menyehatkan PERTAMINA.


> Paling aman ya akhirnya seleksi alam, siapa yang efektif dan efisien,
> akan menang... Toh yang paling penting adalah hasil ini kembali ke
> rakyat Indonesia ya nggak? Namun rela nggak tuh kita melihat seperti
> ini? Melihat Pertamina mati kehabisan darah karena harus bertempur
> melawan raksasa-raksasa?
> Makanya efisiensi dan efektifitas adalah kunci dasar untuk mengurai
> benang ruwet perusahaan ini... (PLUS kemauan dan kemampuan berbuat
> jujur serta rela berkorban ...walah idealis amat!)

Pendapat anda sangat ambigu, manakala disatu sisi anda menginginkan dan
tidak rela kalau PERTAMINA mati dan kehabisan darah karena harus bertempur
melawan maskapai-maskapai raksasa pertambangan. Sementara disisi lain anda
tidak resisten terhadap kebijakan pemerintah yang memberikan ladang-ladang
migas Indonesia disedot maskapai-maskapai pertambangan Internasional. Untuk
itu, pemerintah Indonesia harus segera didesak agar menjalanakan program
industrialisasi nasional, atau yang lebih ekstrim lagi : NASIONALISASI...
Berani kah pemerintah indonesia?

> APakah orang harus ke lapangan minyak untuk berbicara minyak?
> Sebaiknya begitu, dengan demikian dia tahu 'jurus-jurus' yang harus
> dimainkan...

Itu urusan negosiator untuk merekrut para ahli atau tekhnisi pertambangan!
Tapi pertanyaan anda kan mengarah pada satu titik bahwa : hanya orang-orang
yang pernah bekerja dilapangan minyak-lah yang boleh berkomentar tentang
Migas secara umum dan Pertamina secara khusus. Saya yang tidak pernah
bekerja dilapangan minyak tidak boleh berkomentar. Emangnya PERTAMINA milik
nenek moyang orang-orang yang pernah bekerja dilapangan minyak?
Ini cuplikan pertanyaan anda : Pernahkan anda bekerja di lapangan minyak?
Kalau sudah pernahkah membandingkan antara PERTAMINA dengan perusahaan lain?

Bayangkan ketika pihak EMOI misalnya memainkan 'jurus'
> explorasi sebagai alasan meminta persentase bagi hasil harus besar
> misalnya, kalau nggak tahu apa itu eksplorasi bagaimana mungkin bisa
> mematahkan 'jurus' ini? Atau kalau nggak tahu misalnya apa itu
> drilling operation, lha bagaimana mungkin menekuk alasan lawannya?
> Boleh saja pemegang keputusan tidak tahu mengenai operaional minyak,
> tetapi setidaknya tim ahlinya harus ada Masuk akal khan?
> Ini baru perbandingan kecil mas Kalau mau saya jentrengkan di sini
> betapa Petronas telah melibas habis pertamina tambah sakit hati
> saya... (bagaimanapun saya tetap orang Indonesia broer!)
> DG
>
> On 6/23/05, Yopie Peranginangin <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
> > Bung DG,
> >
> > Apakah anda mempunyai resep untuk mereparasi "mental" para punggawa
> > Pertamina? Kalau persoalan mental yang menjadi akar permasalahan di
> > PERTAMINA. Karena tidak ada alat ukur yang dapat dijadikan indikator
untuk
> > menilai kadar mental seseorang, sangat relatif bung. Hanya Tuhan yang
punya
> > alat ukur untuk menilai kadar mental manusia (baik dan buruk). Disamping
> > itu, sarana perbaikan mental manusia sudah cukup banyak dan bertabur
> > dimana-mana. Misalnya, begitu banyak acara-acara keagamaan di berbagai
media
> > elektronik (TV, Radio), khotbah-khotbah diberbagai rumah ibadah dll,
yang
> > selalu mengajak umat manusia untuk berbuat kebajikan (jangan korupsi,
> > menolong antar sesama dll). T

Re: [ppiindia] Re: Dikuras Asing (tanggapan untuk Mas Bagong alias DG) + (Fauziah Swasono)

2005-06-22 Terurut Topik Yopie Peranginangin
Mbak, Pak atau siapapun anda...

Saya memang aktif di milis ini terhitung sekitar 4 hari

Terlepas bahwa apa yang saya sampaikan pernah didiskusikan sebelumnya,
tanggapan yang saya buat hanya ditujukan untuk menjawab komentar dari Pak
DG. Semoga anda paham dengan pernyataan saya.
Saya sedikit berkomentar atas pendapat anda dan mudah-mudahan tidak
mengulang perdebatan yang sudah ada, demi efisiensi (kapitalis banget.)
:
Cross-countries investment adalah hal yang wajar dalam persfektif
Globalisasi atau neoliberalisme, tapi kemudian menimbulkan pertanyaan
lanjutan dalam konteks penguatan industri nasional atau bisa disebut juga
sebagai program industrialisasi nasional. Seberapa kuat industri-industri
pertambangan nasional menahan guncangan dalam pusaran Pasar Bebas dengan
hukum rimbanya? Apakah harapan mengubah PERTAMINA menjadi World Class
Company disandarkan pada pundak maskapai-maskapai pertambangan seperti
EMOI??? Dengan harapan akan terjadi proses transformasi pengelolaan???
Mungkin harapan tersebut bisa terealisasi di Acara "MIMPI KALI YEE" di TV.

Dan tidak bisa dipungkiri bahwa minyak dan gas adalah komoditi kelas dunia,
karena negara-negara industri maju (G-8) membutuhkan supply Migas untuk
menggerakkan roda perekonomian-nya. Ironisnya, menguatnya perekonomian
negara-negara industri maju disalahgunakan untuk menghancurkan negara-negara
dunia ketiga, yang selama ini menjadi penyuplai minyak ke negara-negara
tersebut. Demi minyak! Strategi perang pun dilakoni (invasi USA ke Irak-red
atau intervensi USA dikawasan timteng).

Salam

Jopi


- Original Message -
From: "fauziah swasono" <[EMAIL PROTECTED]>
To: 
Sent: Thursday, June 23, 2005 12:20 PM
Subject: [ppiindia] Re: Dikuras Asing (tanggapan untuk Mas Bagong alias DG)


> Sorry, terpaksa nimbrung lagi dikit (I have committed to myself to
> quit from this thread).
>
> 1. Apakah Pak Jopi baru mengikuti diskusi ini? Kalau ya, sebaiknya
> anda masuk dulu ke archive-milis ini dan baca dulu imel2 sebelumnya
> yang membahas soal Cepu ini. Supaya tidak perlu mengulang pembahasan
> yang sudah dibahas. Maaf, ini cuma demi efisiensi.
>
> 2. Sedikit fakta dari Malaysia:
> Petronas controls oil production through partnerships with Exxon (Esso
> Production Malaysia) and Shell (Sabah Shell Petroleum, Sarawak Shell
> Berhad, and Sarawak Shell/Petronas Carigali). Kalau saya tidak salah,
> Exxon ini produsen minyak terbesar di Malaysia. Dan banyak perusahaan
> asing menambang minyak di Malaysia.
>
> Petronas melakukan pekerjaan perminyakan di China, Qatar, Australia,
> Philippines, Pakistan, South Africa, dan Turkmenistan. Untuk
> perusahaan minyak, cross-countries investment adalah hal yang wajar.
> Menyangkut banyak hal: spesifikasi expertise, tetek-bengek kewajiban
> yang menyertai, dana, panjang kontrak, dll. Lagipula, minyak dan gas
> adalah komoditi kelas dunia, bukan spesifik untuk suatu negara saja,
> sehingga kalau mau sukses berbisnis dibidang ini mesti berkualitas
> World-class.
>
> salam,
>
> fau and a box of chocolate
> ps. masih nunggu audit pertamina
>
>
> --- In ppiindia@yahoogroups.com, "Yopie Peranginangin" <[EMAIL PROTECTED]> 
> wrote:
> > Bung DG,
> >
> > Apakah anda mempunyai resep untuk mereparasi "mental" para punggawa
> > Pertamina? Kalau persoalan mental yang menjadi akar permasalahan di
> > PERTAMINA. Karena tidak ada alat ukur yang dapat dijadikan indikator
> untuk
> > menilai kadar mental seseorang, sangat relatif bung. Hanya Tuhan
> yang punya
> > alat ukur untuk menilai kadar mental manusia (baik dan buruk).
>
>
>
>
>
***
> Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia
yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.org
>
***
> __
> Mohon Perhatian:
>
> 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
> 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
> 3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru;
> 4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
> 5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
> 6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
>
> Yahoo! Groups Links
>
>
>
>
>
>
>
>
>




***
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.org
***
__

Re: [ppiindia] Re: Dikuras Asing (tanggapan untuk Mas Bagong alias DG)

2005-06-22 Terurut Topik Yopie Peranginangin
Bung DG,

Apakah anda mempunyai resep untuk mereparasi "mental" para punggawa
Pertamina? Kalau persoalan mental yang menjadi akar permasalahan di
PERTAMINA. Karena tidak ada alat ukur yang dapat dijadikan indikator untuk
menilai kadar mental seseorang, sangat relatif bung. Hanya Tuhan yang punya
alat ukur untuk menilai kadar mental manusia (baik dan buruk). Disamping
itu, sarana perbaikan mental manusia sudah cukup banyak dan bertabur
dimana-mana. Misalnya, begitu banyak acara-acara keagamaan di berbagai media
elektronik (TV, Radio), khotbah-khotbah diberbagai rumah ibadah dll, yang
selalu mengajak umat manusia untuk berbuat kebajikan (jangan korupsi,
menolong antar sesama dll). Tapi apa yang terjadi? Dalam konteks ini, apakah
mental sebagai akar permasalahan masih relevan sebagai alat ukur indikator
perbaikan kinerja dan manajemen PERTAMINA?

Selanjutnya, absurditas yang saya sampaikan terkait pengembaraan PERTAMINA
ke Irak. Dimana logika-nya, jika untuk mengelola ladang minyak dan gas,
PERTAMINA harus mengembara jauh ke negeri 1001 malam (naik PERMADANI kali
yee) sementara dinegeri sendiri terdapat cadangan minyak dan gas yang
dikelola (Blok Cepu) atau dieskploitasi oleh maskapai-maskapai pertambangan
internasional. Apa yang terjadi tersebut telah mementahkan alasan terbesar
penyerahan pengelolaan Blok Cepu ke tangan EMOI, dimana salah satu alasannya
adalah ketidakmampuan PERTAMINA untuk mengelola Blok Cepu secara mandiri
karena lemahnya sumber daya dan infrastruktur pendukung eksploitasi. Gelo
atuh

Trus, yang membuat saya bertanya-tanya atas tanggapan anda adalah :
persoalan perbandingan kemajuan antara PETRONAS dengan PERTAMINA. Masak
ukurang kemajuan tersebut hanya dikarenakan kepemilikan atas sebuah tim
balap F-1 dan superbike Masih banyak tuh maskapai-maskapai pertambangan
raksasa yang tidak mempunyai tim balap (F-1, MotoGP, Superbike dll). Dan
semakin buram-nya potret pengelolaan PERTAMINA seandainya mempunyai tim
balap F-1 atau motoGP, ditengah keterpurukan bangsa Indonesia.

ps : untuk mengetahui seluk beluk PERTAMINA, kan gak harus kerja dilapangan
minyak. Emangnya Rizal Malarangeng pernah kerja dilapangan minyak sampai
ditunjuk oleh Pemerintah menjadi salah satu juru runding pemerintah dengan
EMOI???

Salam

Jopi


- Original Message -
From: "Mas Bagong" <[EMAIL PROTECTED]>
To: 
Sent: Thursday, June 23, 2005 9:32 AM
Subject: Re: [ppiindia] Re: Dikuras Asing


> Masalahnya Bung Yopie:
> Kalau mau membuat PERTAMINA atau persuahaan republik ini besar, harus
> dari fundamental dulu yaitu perbaikan mental Jangan salah,
> Pertamina masuk ke Irak bukan karena 'ditundhung' dari negeri sendiri,
> tetapi karena ketidakmampuan mereka bekerja dengan efektif dan
> efisien... Yang kedua kemenangan Pertamina di Irak, karena faktor
> hubungan kedua negara (Irak dan Indonesia) yang begitu 'mesra'...
> Pernahkan anda bekerja di lapangan minyak? Kalau sudah pernahkah
> membandingkan antara PERTAMINA dengan perusahaan lain? Terus terang
> saya ngiler lihat kinerja PETRONAS Malaysia (meski saya nggak suka
> sama pemerintah malaysia) mereka di tahun 70-an belajar di PERTAMINA,
> tetapi sekarang PETRONAS mampu melompati PERTAMINA bahkan jauh di
> langit! Merke mampu memiliki Tim Balap F1 atau SUperBike, Pertamina?
> Kagak pernah denger tuh!
> Inilah masalahnya MENTAL! Mau dengan alasan apapun sepanjang
> mental masih nggak karuan, maka tidak ada gunanya lapangan minyak
> sedunia sekalipun dikuasai PERTAMINA!
> DG
>
> On 6/22/05, Yopie Peranginangin <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
> > Saya coba ikut nimbrung...
> >
> > Tapi bukan berarti jalan keluarnya harus menyerahkan pengelolaan Blok
Cepu
> > ke EMOI, apalagi dengan alasan mental korup para pejabat PERTAMINA (yang
> > memang busuk). Tapi seharusnya kan dibangun satu mekanisme kontrol yang
> > ketat terhadap pengelolaan dan manajemen PERTAMINA. Yang paling
mengherankan
> > adalah masalah pengembaraan Pertamina di Western Dessert (Irak) yang
> > kontraknya sudah ditandatangani oleh Pertamina dan Pemerintah Irak
semasa
> > Presiden Saddam Hussein. Blok di Western Dessert ini dikabarkan
mengandung
> > minyak mentah (crude oil) sebanyak 3 juta barel (sumber : Suara Karya).
> > Hal yang membuat naluri ingin tahu kita semakin besar, alangkah teganya
> > membiarkan sedemikian jauhnya Pertamina mencari minyak padahal di sisi
lain
> > potensi di dalam negeri seperti yang ada di Blok Cepu sangat besar yaitu
> > sebanyak 770 juta barel. Asumsi untuk memberikan Blok Cepu ke Pertamina
ini
> > tidaklah berlebihan, sebab Blok Cepu adalah Wilayah Kerja Pertamina
(WKP)
> > yang seandainya tidak diberikan kepada ExxonMobil bukanlah merupakan
> > pelanggaran hukum. Persoalan Blok Cepu, sebaiknya jangan sekadar
dijadikan
> > komoditas, semata 

Re: [ppiindia] Re: Dikuras Asing

2005-06-22 Terurut Topik Yopie Peranginangin
Saya coba ikut nimbrung...

Tapi bukan berarti jalan keluarnya harus menyerahkan pengelolaan Blok Cepu
ke EMOI, apalagi dengan alasan mental korup para pejabat PERTAMINA (yang
memang busuk). Tapi seharusnya kan dibangun satu mekanisme kontrol yang
ketat terhadap pengelolaan dan manajemen PERTAMINA. Yang paling mengherankan
adalah masalah pengembaraan Pertamina di Western Dessert (Irak) yang
kontraknya sudah ditandatangani oleh Pertamina dan Pemerintah Irak semasa
Presiden Saddam Hussein. Blok di Western Dessert ini dikabarkan mengandung
minyak mentah (crude oil) sebanyak 3 juta barel (sumber : Suara Karya).
Hal yang membuat naluri ingin tahu kita semakin besar, alangkah teganya
membiarkan sedemikian jauhnya Pertamina mencari minyak padahal di sisi lain
potensi di dalam negeri seperti yang ada di Blok Cepu sangat besar yaitu
sebanyak 770 juta barel. Asumsi untuk memberikan Blok Cepu ke Pertamina ini
tidaklah berlebihan, sebab Blok Cepu adalah Wilayah Kerja Pertamina (WKP)
yang seandainya tidak diberikan kepada ExxonMobil bukanlah merupakan
pelanggaran hukum. Persoalan Blok Cepu, sebaiknya jangan sekadar dijadikan
komoditas, semata untuk mempercepat dilakukannya produksi tahun 2008

Yang paling utama sebenarnya dari pemindahan pengelolaan Blok Cepu adalah,
seberapa besar bagian yang didapat Indonesia dari proses produksi-nya.
Mungkin sebagai gambaran, cuplikan pendapat Rizal Malarangeng sebagai juru
runding Pemerintah Indonesia  :

Dari satu berita, Rizal menyebut Indonesia akan dapat Rp 15-20 trilyun per
tahun dari Exxon:

==
Rizal said that the state would at least acquire revenues of around Rp15-20
trillion per year from the renewal, depending on world crude oil prices.
http://www.tempo.co.id/majalah/free/eco-1.html
==

Padahal dari berita di Sinar Harapan, dengan kapasitas 300 ribu barel per
hari (dan perkiraan cadangan 2 milyar barrel), pada harga US$ 50 per barrel
pemerintah bisa mendapat Rp 54 trilyun per tahun. Artinya, Indonesia harus
menyerahkan sekitar Rp 39 trilyun per tahun ke Exxon Mobil. Padahal biaya
investasi pendirian pengeboran minyak hanya sekitar Rp 17 trilyun. Dalam
setahun sudah bisa kembali (break event)!

==
Lapangan minyak Cepu ini memiliki kapasitas produksi sebesar 300 ribu barel
per hari. http://www.sinarharapan.co.id/ekonomi/Keuangan/2004/0531/keu1.html
==

Direktur Pertamina, Widya Purnama, berkeras mengelola sendiri blok minyak
Cepu. Seharusnya pemerintah mau pun intelektual yang jujur mau mendukungnya.

==

Dari penjelasan dirut PERTAMINA tersebut memperjelas bahwasanya kita mampu
mengelola Blok Cepu tersebut...

Salam,

Jopi

--- Original Message -
From: "fauziah swasono" <[EMAIL PROTECTED]>
To: 
Sent: Wednesday, June 22, 2005 6:55 PM
Subject: [ppiindia] Re: Dikuras Asing


> --- In ppiindia@yahoogroups.com, A Nizami <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
> > Mbak Fauziah, minyak itu ditambang dari zaman Koboy
> > tahun 1800-an itu sejarah! Petambang Cepu menambang
> > minyak dgn tenaga sendiri fakta!
>
> Bisa sih bisa mas, kalau kebetulan ketemu minyak yang sudah merembes
> dekat permukaan. Saya juga tau cerita ini, juga di Prabumulih Sumsel.
> Tapi kalau mesti pake injection technology misalnya?
> Anda tidak tahu kan berapa perbandingan recovery factor pada teknologi
> zaman kuda dan pada teknologi modern sekarang?
>
> >
> > Kalau BUMN seperti Pertamina atau perusahaan lokal
> > seperti Medco, Star, dsb, tentu jauh lebih canggih
> > dari itu.
> >
> > Kebetulan di milis Ekonomi Nasional yang saya
> > moderate, banyak orang2 dari Pertamina, Petrosea,
> > serta perusahaan minyak lainnya. Jadi saya dapat
> > masukan dari mereka. Bahkan sebelumnya yang melakukan
> > eksplorasi di Cepu adalah PT Humpuss.
> >
>
> Iyalah, mungkin anda memang jago ekonomi segala macam termasuk ekonomi
> energi.
>
> > Janganlah kita mau jadi antek asing. Lebih baik kelola
> > sendiri kekayaan alam kita hingga hasilnya 100% utuh
> > di tangan bangsa. Kasihanilah rakyat kita.
> >
> >
>
> Siapa yang jadi antek? Kalem dong.. baca dulu 2 postingan saya sebelum
> ini. Adakah saya bilang bahwa saya ingin Cepu diberikan ke asing?
> Saya heran, waktu BBM mau dinaikkan kayaknya ada orang2 yang marah
> sekali dan menuntut Pertamina yg sarang korupsi supaya lebih efisien
> dll... Kok, sekarang tiba2 jadi percaya dan sayang sekali sama
> Pertamina? Amnesia mendadak?
>
> Saya kira kita semua bertujuan memaksimalkan keuntungan bangsa... atau
> bukan? Asal masuk kekantong bangsa walau dikorupsi lebih baik?
> Ini saya kutipkan sedikit keprihatinan seorang teman:
>
> Celakanya ketika kita berupaya agar ladang minyak dan gas lebih banyak
> dikelola dan ditangani oleh perusahaan anak bangsa, misalnya "Coastal
> Plain" - bekas konsesi Caltex yang dituntut oleh Provinsi Riau melalui
> Siak Pusako, produksinya anjlok, jauh di bawah ketika dikelola Caltex.
> Bahkan Dirutnya masuk penjara karena korupsi. Lagi-lagi soal sikap mental.
>
>
>
> fau
>
>
>
>
>
***
>