[ppiindia] Fwd: Re: Islam_liberal Menyikapi Hal yang Dianggap Benar (Tanggapan dari Bp. HM Nur Abdurrahman)

2004-09-25 Terurut Topik djunaedi sahrawi

--- In [EMAIL PROTECTED], H. M. Nur
Abdurrahman [EMAIL PROTECTED] wrote:

Hatim Gazali dan djunaedi sahrawi wrote:
Alquran adalah gagasan Tuhan yang diterjemahkan oleh
Muhammad dalam bahasa manusia.


HMNA:
Pendapat di atas itu berasal dari asumsi spekulasi
intelektual dari Fazlur Rahman, gurunya Nurcholis
Madjid, yaitu bahwa Al Quran adalah both the Word of
God and the word of Muhammad. Untuk selanjutnya,
silakan dibaca Seri  di bawah

HMNA

=

BISMILLA-HIRRAHMA-NIRRAHIYM

WAHYU DAN AKAL - IMAN DAN ILMU
[Kolom Tetap Harian Fajar]
623. Intelektual Muslim yang Keranjingan Hermeneutika

Istilah hermeneutika berkaitan dengan mitos dewa
Yunani Kuno yang bernama Hermes, yang memiliki
kebiasaan memintal. Mitos memintal ini mengungkap
dua hal dalam hermeneutika, yaitu: pertama, memastikan
maksud, isi suatu kata, kalimat, dan teks, kedua,
menemukan instruksi-instruksi dibalik simbol.
Hermeneutika tidak terlepas dari asumsi-asumsi dan
adanya purbasangka (prejudice) spekulasi intelektual.

Ada asumsi spekulasi intelektual dari Fazlur Rahman,
gurunya Nurcholis Madjid, yaitu bahwa Al Quran adalah
both the Word of God and the word of Muhammad.
Asumsi ini bernuansa hermeneutika filosofis. Asumsi
ini berpijak pada paradigma (kerangka dasar) bahwa Al
Quran bukanlah teks yang turun dalam bentuk kata-kata
aktual secara verbal, melainkan merupakan spirit wahyu
yang disaring melalui Nabi Muhammad SAW dan sekaligus
diekspresikan dalam tapal batas intelek dan kemampuan
linguistiknya. Nabi Muhammad SAW sebagai penerima
wahyu diposisikan sebagai pengarang Al Quran. Inilah
latar belakang mengapa ada sementara kaum intelektual
Muslim yang
keranjingan hermeneutika untuk mengkaji Al Quran,
dengan bertitik tolak dari sikap meragukan mushhaf
(teks) Al Quran Rasm (ejaan) 'Utsmany.

Dalam 24 jam, sekurang-kurangnya 17 kali ummat Islam
bermohon kepada Allah:
-- AHDNA  ALSHRATH  ALMSTQYM (S. ALFTht, 1:5), dibaca:
ihdinash shira-thal mustaqi-m (s. alfa-tihah),
artinya: Tunjukilah kami kepada Jalan yang Lurus.

Allah SWT menjawab permohonan hambaNya itu dengan:
-- A-L-M . DZLK  ALKTB  LA RYB  FYH  HDY  LLMTQYN (S.
ALBQRt 2:1-2), dibaca: alif, lam, mim . dza-likal
kita-bu la- rayba fi-hi hudal lilmuttaqiyn (s.
albaqarah), artinya: Alif, lam, mim . Itulah Al Kitab
tiada keraguan di dalamnya petunjuk bagi para
muttaqin.

Ayat (2:1) alif-lam-mim adalah kode matematis

  Surah   mim lam alif
Al Baqarah217532044592
Ali 'Imran125118852578
Al A'raf  116515232572
Ar Ra'd260 479 625
Al 'Ankabut347 554 784
Ar Rum 318 396 545
Luqman 177 298 348
As Sajadah 158 154 268
  

  Jumlah  5871 +  8493 + 12312
= 26676 = 1404 x 19

Dalam ayat (2:2) ada tanda tiga titik (seperti titik
pada huruf 'tsa' dan 'syin') terletak diatas kata
RYB dan FYH. Tanda tiga titik diatas dua
kata tsb dalam ayat (2:2) menunjukkan mu'jizat
lughawiyah, yaitu ayat (2:2) dapat bermakna dua yg
keduanya mempunyai keutamaan masing-masing. Ada dua
cara dalam membaca ayat (2:2) tersebut, yaitu dapat
berhenti pada kata RYB, dan dapat pula berhenti pada
kata FYH. Kedua cara bacaan tersebut menghasilkan
penekanan dalam bobot yang berbeda, namun yang satu
dengan yang lain saling bersinergi, saling mengisi.

Mari kita baca ayat (2:2):

Cara yang pertama, berhenti pada kata RYB: Dza-likal
kita-bu la- rayba, berhenti sebentar kemudian
dilanjutkan dengan fi-hi hudal lil muttaqi-n.
Kalau kita membaca serupa ini maka maknanya ialah:
Itulah Al Kitab tiada keraguan, pernyataan tegas dari
Allah bahwa Al Kitab tiada keraguan sumbernya dari
Allah SWT, kemudian dilanjutkan dengan: di dalamnya
mengandung petunjuk bagi para muttaqin. Jadi cara
membaca yang pertama ini bobotnya pada penegasan dari
Allah SWT bahwa tiada keraguan bahwa Al Kitab
bersumber dari Allah SWT.

Apa itu Al Kitab ? Dalam bahasa aslinya Kitab akarnya
dari Kef-Ta-Ba artinya tulis. Artinya Al Kitab itu
adalah Teks. Jadi cara membaca yang pertama ini
adalah penegasan dari Allah SWT bahwa tiada keraguan
Teks itu bersumber dari Allah SWT. Tabulasi penjabaran
ayat (1:1), yaitu alif-lam-mim sebagai al
muqaththa'aat (potongan-potongan huruf) persekutuan
dari 8 surah menunjukkan pula bahwa Teks itu bersumber
dari Allah SWT, sebab mana mungkin Teks yang
mengandung data numerik itu dapat dikarang oleh
manusia. Lagi pula penyimpangan ejaan satu huruf saja,
betapa pula perubahan kata, apa lagi perubahan
redaksional, data numerik itu tidak akan tersusun
seperti dalam tabulasi Alif - Lam - Mim di atas itu,
yang mengikat delapan surah dengan sistem numerik
kelipatan 19. Hermeneutika tidak mampu melawan sistem
numerik itu.

Alhasil paradigma bahwa Al Quran bukanlah teks yang
turun dalam bentuk kata-kata aktual secara verbal,
melainkan merupakan spirit wahyu yang disaring melalui

[ppiindia] Berperan aktif dalam mencari sebuah kebenaran

2004-09-24 Terurut Topik djunaedi sahrawi


Mayoritas islam menganggap syariat yang diterjemahkan sebagai hukum islam sebagai 
sesuatu yang sakral. Padahal dalam Islam tak ada sesuatu hal pun yang sakral, selain 
Alquran. Syariat adalah produk buatan manusia yang merupakan usaha memahami kehendak 
suci dalam konteks tertentu. Itulah sebabnya sebagian besar isi dari syariat adalah 
fiqh yang tidak lain adalah pendapat para fuqaha. Dan pengkultusan syariat ini juga 
memiliki arti hilangnya kemandirian kaum beriman. Karena semua ketentuan hukum sudah 
ditetapkan dan umat Islam tak memiliki pilihan lain kecuali mentaatinya. Ia memiliki 
peran yang pasif. Semestinya umat Islam berperan aktif dalam mencari sebuah kebenaran. 

 

Minggu, 01 Agustus 2004
Ziauddin Sardar 
Demokrasi Indonesia Bisa Jadi Contoh 




Ia salah satu penulis Islam progresif. Ada juga yang menyebut dia seorang utopis, 
generalis. Dia, Profesor Ziauddin Sardar. Sardar adalah seorang penulis pemikiran 
Islam kontemporer, sains, dan juga seorang kritikus budaya. Lelaki kelahiran Pakistan 
ini juga penyiar radio, bekerja, antara lain, untuk jurnal ilmiah Nature dan New 
Scientiest. Ia juga editor Futures, sebuah jurnal bulanan mengenai kebijakan, 
perencanaan, dan studi masa depan. Selain itu, ayah tiga anak ini juga mengajar di 
City University, London. Banyak sudah artikel yang keluar dari tangannya. Sardar telah 
menerbitkan sekitar 40 buku. 

Di antaranya adalah The A to Z of Postmodern Life (2002), Aliens R Us (2002), 
Orientalism (1999). Selama seminggu sejak Ahad (25/7) Sardar berkunjung ke Indonesia. 
Ia bertemu dengan masyarakat Islam dari dua ormas besar Indonesia, Nahdlatul Ulama dan 
Muhammadiyah, di Jakarta, Surabaya, dan Medan. Di sela-sela kunjungannya itu ia 
meladeni berbagai pertanyaan wartawan, termasuk wartawan Republika Ferry Kisihandi dan 
Nina Chairani dalam beberapa kesempatan di Jakarta. Lelaki setengah baya berambut 
sepundak dan gemar berpakaian casual ini tampak penuh semangat menjawab berbagai 
pertanyaan. Terutama pertanyaan yang menantang. ''Semua pertanyaan simpel buat saya,'' 
katanya sambil tertawa. Berikut nukilan wawancara seputar pemikiran dan kehidupan 
pribadinya itu:


Gagasan mengkaji kembali pemikiran Islam semakin gencar. Sebenarnya apa perlunya hal 
itu dilakukan?
Upaya mengkaji kembali pemikiran Islam perlu dilakukan. Ini memberikan dampak pada 
kembalinya peradaban Islam dalam kehidupan kontemporer. Islam memiliki daya untuk 
merespons beragam kondisi kontemporer, dan tak membuat umat islam tertinggal dari umat 
lainnya. Namun nyatanya, kini umat Islam tak mampu menghadapi modernitas. Padahal 
mengkaji ulang pemikiran Islam telah lama dilontarkan para pemikir Islam. Kita bisa 
mengambil contoh Malik bin Nabi, juga ada Jamaluddin Al Afghani maupun Muhammad Abduh. 
Bahkan Malik bin Nabi menyatakan bahwa kolonialisme di negara-negara Islam bukan 
karena Barat yang kuat. Namun, karena kelemahan umat Islam. Mereka tak mampu melakukan 
perubahan untuk merespons perubahan zaman. Pada masa selanjutnya ada pula Muhammad 
Iqbal yang melontarkan gagasan gemilangnya agar Islam mampu merespons kondisi 
kontemporer. Dan, hingga kini umat Islam tampaknya tak mampu memenuhi panggilan 
ijtihad. 
Dalam tataran praktis bagaimana gagasan ini berjalan?
Bagi saya pengkajian kembali pemikiran Islam bukanlah mempersoalkan perlu atau 
tidaknya shalat, haji, puasa, dan ibadah ritual lainnya. Namun, bagaimana Islam dibawa 
ke dalam kehidupan politik, teknologi bahkan transportasi. Dengan demikian, Islam 
memberikan jiwa bagi umat Islam dalam merespons kondisi yang mereka hadapi. Sayang 
memang dalam kenyataannya, umat Islam telah menutup pintu ijtihadnya. 
Apa yang menyebabkan hal ini terjadi?
Penyebab paling utama adalah fakta bahwa konteks dari teks suci kita telah membeku 
dalam sejarah. Seseorang hanya memiliki hubungan interpretatif dengan teks, bahkan 
lebih tidak mungkin jika teks tersebut dianggap sebagai hal yang abadi. Kemudian teks 
tersebut tak mampu untuk merespons tantangan zaman. Itulah sebabnya meski umat Islam 
memiliki hubungan emosional yang kuat dengan Islam, mereka hanya lebih terfokus pada 
hal yang bersifat ibadah ritual. Dengan demikian, mereka tak menanggap bahwa Islam 
merupakan sebuah pandangan dunia serta sumber etika. Yang mampu memberikan pemecahan 
bagi permasalahan di setiap zaman. Bukankah Islam telah diyakini sebagai agama yang 
selalu sesuai dengan zaman? Artinya ijtihad, pemikiran serta interpretasi baru tak 
akan terjadi. Kemudian membuat umat Islam mengkultuskan syariat pada tingkatan Tuhan. 
Bisa Anda jelaskan mengenai pengkultusan syariat tersebut? Mayoritas islam menganggap 
syariat yang diterjemahkan sebagai hukum islam sebagai sesuatu yang sakral. Padahal 
dalam Islam tak ada sesuatu hal pun yang sakral, selain Alquran. Syariat adalah produk 
buatan manusia yang merupakan usaha memahami kehendak suci dalam konteks tertentu. 
Itulah sebabnya sebagian besar isi dari syariat adalah fiqh yang tidak lain adalah 
pendapat para 

[ppiindia] Neraka itu tidak kekal dan ada akhirnya (2)

2004-09-23 Terurut Topik djunaedi sahrawi
Neraka itu tidak kekal dan ada akhirnya (2)

Saudara-saudara para hadirin hadirat yang berbahagia,

Berbagai hadits yang dikutip pada tulisan sebelumnya
menunjukkan bahwa banyak juga sahabat Rasulullah SAW,
para tabi'i dan juga sebahagian kecil para Ulama-Ulama
Islam terdahulu berpendapat bahwa neraka itu tidak
abadi dan berkesudahan juga. Dengan berpedoman kepada
Al-Qur'an dan beberapa ayat-ayatnya menunjang pendapat
itu, dan berikut iniadalah uraian kami mengenai hal
tersebut:

1. Sekalipun perkataan kecuali apa yang Tuhan engkau
kehendaki digunakan baik untuk neraka, maupun untuk
surga (Hud 107 , 108), namun bertalian dengan pahala
yang yang tiada putus-putusnya yang terdapat pada
ujung ayat 108 dengan maksud untuk menunjukkan bahwa
keabadian surga memang tidak ada batasnya. Sebaliknya
berkenaan dengan neraka perkataan itu diikuti oleh
Sesungguhnya Tuhanmu Maha Pelaksana apa yang Dia
kehendaki.(QS. 11:107). Perkataan ini mengandung
tekanan yang sangat besar dan ia mengandung arti bahwa
bahwa pada suatu saat kelak penghuni neraka itu akan
dikeluarkan semuanya. Sekiranya mereka sama sekali
tidak dikeluarkan dari neraka maka pernyataan itu
tidak perlu dibuat dengan tekanan yang sangat besar
dengan menggunakan tiga kata-kata yang mengandung
tekanan yaitu inna (sesungguhnya), rabbaka (Tuhan
engkau), fa'ilu (Perlaksana Besar dari hal-hal yang
tidak dapat dilakukan oleh lain-lainnya.


Andaikan mereka tidak akan dikeluarkan dari neraka itu
dan keadaannya seperti kekalnya surga maka
penyebutannya seharusnya diikuti oleh suatu keterangan
yang menunjukan keabadiannyasebagai suatu
penghukuman yang tak putus-putusanya. Memanglah benar
bahwa seperti halnya surga juga mengenai neraka
dikatakan bahwa penghuni-penghuninya akan tinggal
disana selama dikehendaki Tuhan, tetapi berkenaan
dengan penghuni-penghuni surga ditambahkan dengan
jelas bahwa mereka akan menerima karunia itu dengan
tidak putus-putusnya dan bahwa kediaman mereka disurga
tidak mengenal kesudahan. Sebaliknya yang bertalian
dengan hukuman neraka tak ada diberikan keterangan
semacam itu.


Adalah Ibnu Hadjar yang pendapatnya sangat
bertentangan dengan Ibnu Taimiyah mengenai tidak
abadinya neraka itu, telah terpaksa mengakui bahwa
sementara yang bertalian dengan penghuni surga Tuhan
telah menyatakan mereka akan tinggal disana untuk
selama-lamanya, maka yang bertalian dengan neraka Dia
tidak berkata apa-apa. Apakah Tuhan sengaja mendiamkan
masalah yang berkenaan dengan penghuni neraka itu?
Dugaan yang demikian adalah tidak benar karena dengan
mengatakan Sesungguhnya Tuhan engkau melaksanakan apa
yang Dia kehendaki maka Al-Qur'an menyatakan bahwa
berkenaaan dengan penghuni neraka Tuhan akan
melaksanakan keinginanNya yang terkandung dalam
kata-kata kecuali apa yang Tuhan engkau kehendaki
itu.


2. Bukti kedua tentang terbatasnya masa neraka
diberikan oleh ayat berikut: ..Illa marrahima rabbuka
walidzalika khalaqahumKecuali kepada orang-orang
yang Tuhan engkau melimpahkan rahmatNya; dan untuk
itulah Dia menciptakan mereka.(QS. 11:119). Para
penafsir dan orang-orang yang berwenang seperti Ibnu
Abbas, Ta'us, Mujahid, Dahhak, Qatadah dan Ikrimah
telah mengakui bahwa kata tunjuk dzalika (ini) dalam
perkataan diatas menunjukkan kepada rahmat, yang
berarti bahwa Tuhan menjadikan manusia supaya kepada
mereka dapat diperlihatkan rahmatNya. (Tafsir Ibnu
Katsir, dikutip lagi lewat The Holly Qur'an with
English Translation, editor Malik Ghulam Farid). Jika
sekiranya sebahagian manusia akan tetap tinggal
dineraka selama-lamanya dan tidak akan pernah
dikeluarkan dari padanya, maka tentang manusia celaka
ini tak dapat dikatakan bahwa kepada mereka
diperlihatkan suatu rahmat apapun dari Allah.


3. Sementara pada tempat lain dalam Al-Qur'an kita
menemukan ungkapan-ungkapan tentang surga seperti,
Sesungguhnya bagi orang-orang yang beriman dan
mengerjakan amal saleh adalah ganjaran
yang tidak berkesudahan(QS. 41:8, 84:25, 95:6),
maka mengenai neraka tak ada digunakan
ungkapan-ungkapan seperti itu sehingga bisa
disimpulkan bahwa lama ganjaran surga dan hukuman
neraka ada perbedaan yang nyata.


4. Sebuah ungkapan dari Al-Qur'an : Warahmatii
wasi'at kulla syai'inRahmat-Ku melingkupi segala
sesuatunya(QS. 7:156), juga menunjukkan bahwa
hukuman neraka hanya satu kondisi pertengahan
dan keadaan peralihan sehingga orang-orang yang
dihukum Tuhan itu akhirnya diliputi oleh RahmatNya dan
dosa-dosanya akan diampuni. Ungkapan diatas
menampilkan Rahmat Tuhan sebagai hanya tidak meliputi
segala makhluk manusia tetapi juga semua benda makhluk
ciptaanNya. Hal ini diungkapkan dengan jelas dalam QS.
40:7, dimana dikatakan bahwa Tuhan melingkupi semuanya
dengan Rahmat dan IlmuNya. Kalau diumpamakan bahwa
beberapa orang dapat tetap terhindar dari Rahmat
Tuhan karena harus menanggung penghukuman abadi, maka
harus diakui juga bahwa barang-barang tertentu dapat
pula terhindar dari ilmu Tuhan, karena ilmu dan rahmat
disebutkan berdampingan dalam ayat itu. Tetapi 

[ppiindia] Neraka itu tidak kekal dan ada akhirnya (1)

2004-09-23 Terurut Topik djunaedi sahrawi
Neraka itu tidak kekal dan ada akhirnya (1)

Assalamualaikum wr.wb.

Saudara-saudara para hadirin hadirat yang berbahagia,

Neraka dan surga adalah suatu kehidupan diakhirat
kelak yang merupakan ganjaran dari segala amal
perbuatan kita didunia ini. Semua agama menjanjikan
adanya kehidupan demikian dan dalam agama Islam itu
merupakan satu diantara enam buah rukun Iman yang
merupakan sendi dari agama Islam itu. Kekalnya
kehidupan surga tidak disangsikan lagi, bahwa nikmat
surga itu tiada berkesudahan sehingga tidak bisa
dibayangkan bagaimana akhirnya...

Bagaimana dengan azab neraka? Berbagai pendapat
dikalangan Ulama-Ulama Islam mengenai kekal tidaknya
neraka akan tetapi sebahagian besar Ulama-Ulama
Mainstream Islam berpendapat bahwa azab neraka itu
juga kekal selama-lamanya tiada akhir... dan merupakan
ganjaran yang tidak berkesudahan terhadap orang-orang
yang betul-betul kafir dan melawan Allah

Pendapat yang umum..
Sudah menjadi pendapat yang umum dikalangan Mainstream
Islam bahwa surga dan neraka itu adalah sama-sama
abadi. Orang-orang yang ditetapkan masuk neraka
disebabkan dosa-dosanya di dunia tidak akan keluar
dari sana dan mereka akan tetap menjadi penghuni
tempat api yang bernyala-nyala itu selama-lamanya.
Berikut pendapat salah seorang penafsir Al-Qur'an dan
Ulama dikalangan Mainstream Islam Indonesia lewat
Tafsirnya Al-Furqan dalam Fasal 25 halaman XXIII.
Berkata A. Hassan Bandung dalam Pengantar Tafsirnya
itu :

Menurut berpuluh-puluh ayat Al-Qur'an bahwa suarga
dan neraka itu kekal selama-lamanya, yakni tiada
berkeputusan. Oleh sebab merasa kasihan dan merasa
tidak patut Allah menyiksa hamba-hambanya dengan
tiada berkeputusan , maka ada beberapa orang dan
pengarang putar-putar ayat Qur'an dan gunakan Hadits
palsu hingga mereka jadikan bahwa neraka itu tidak
kekal. Cari-cari jalan dengan memutar-mutar arti
Ayat-ayat itu tidak halal dan bukan perbuatan orang
yang jujur.


 Diayat 107 dan 108 Surah Hud , Allah berkata bahwa
suarga dan neraka itu kekal selama-lamanya, selama ada
langirt dan bumi, kecuali apa yang dikehendaki
Tuhanmu. 'Kecuali apa yang dikehendaki oleh Tuhan-mu
itu satu pintu yang besar dan lebar. Orang kafir,
orang yang dapat hukuman kekal di neraka, orang-orang
kafir yangh berbuat kebaikan di dunia dan siapa-siapa
lagi, kalau Allah mahu keluarkan dari neraka atau mahu
kesuargakan, tidak siapapun yang akan menghalanginya,
bahkan neraka itu , seluruhnya kalau Allah mahu
hapuskan, tidak berhaq siapapun bertanya mengapa ?
Memang aneh kalau orang suka cari-cari pintu, tebok
sana dan korek sini , ketika pintu yang besar sudah
tersedia!...

Dari keterangan Ulama terkemuka pendiri Persis
tersebut , jelaslah A. Hassan berpendapat baik surga
atau neraka pada prinsipnya kekal tidak berkeputusan .
Hanya saja beliau mengemukakan suatu jalan keluar
bahwa
Allah kuasa mengeluarkan barang siapapun dari neraka
atau memasukkan kesurga , kalau Dia mau...

Tidak kekal pada prinsipnya...
Berlainan dengan pendapat yang umum dikalangan
Mainstream tersebut sebuah sempalan Islam lainnya
berpendapat secara solid bahwa surga betul-betul kekal
selama-lamanya tiada berakhir, sebaliknya dengan
neraka mereka mengatakan terbatas waktunya karena
itu tidaklah kekal selama-lamanya dan suatu saat pasti
berakhir. Penjelasan mereka tidak hanya dikuatkan
dengan alasan-alasan akal tetapi juga dengan
dalil-dalil naqal, Al-Qur'an dan Hadits.


Menurut agama Hindu, surga dan neraka (pahala dan
hukuman) mempunyai masa yang terbatas dan manusia kan
dikirimkan kedunia ini kembali sesudah sesudah
menjalani hukuman atau memperoleh ganjaran karena
perbuatannya . Sekalipun beberapa firqah Hindu
berselisih paham dalam berbagai perincian agama
mereka, namun semua mereka sepakat bahwa mengenai
prinsip yang fundamental bahwa penghukuman dan
pengganjaran di alam nanti adalah untuk sementara.

Diantara agama-agama Semit, agama Yahudi mengharamkan
surga bagi orang yang bukan Yahudi , sedangkan kaum
Yahudi nyaris tidak akan kena siksaan neraka
sedikitpun, karena menurut agama Yahudi orang Yahudi
tidak akan tinggal di neraka lebih dari sebelas bulan,
sedang orang yang bukan Yahudi akan bermukim disana
selama-lamanya. Menurut orang-orang Kristen, surga dan
neraka adaalh kekal, sekalipun sebahagian sekte mereka
berkepercayaan bahwa surga akhirnya akhirnya akan tiba
pada kesudahannya.(Tafsir Kabir, oleh Imam
Muhammad Fakhruddin Razi dikutip dari The Holly
Qur'an with English Translation, Editor Malik Ghulam
Farid Vol II, Part I mengenai ayat 108 Surah Hud...).

Tetapi Islam berbeda secara fundamental dari semua
agama ini. Pemimpin-pemimpin besar Islam dalam
beberapa masalah keagamaan dimasa silam dan sebahagian
kecil Cendekiawan Muslim masa kini menekankan dengan
keras sekali bahwa surga adalah abadi dan kekal,
sedangkan neraka adalah sementara dan terbatas
masanya. Hadist-hadits dari Rasulullah SAW menunjang
pendapat ini. Imam Ahmad bin Hambal Ulama terkemuka
dan pendiri Mazhab Hambali yang terkenal itu 

[ppiindia] Menyikapi Hal yang Dianggap Benar - Oleh: Hatim Gazali

2004-09-22 Terurut Topik djunaedi sahrawi
http://www.suaramerdeka.com/harian/0407/16/opi03.htm

Menyikapi Hal yang Dianggap Benar
Oleh: Hatim Gazali 

SETIAP agama mengandung dua unsur penting; -dalam
istilah Prof. Dr. Amin Abdullah-yakni normativitas dan
historitas. Secara normatif, agama berisi doktrin,
ajaran yang diturunkan Tuhan untuk manusia. Karenanya,
ia sunyi dari intervensi manusia dan kebenarannya
bersifat universal. 

Tujuan penurunan agama adalah untuk dijadikan sebagai
mediasi menuju Tuhan (hablun min Allah)dan membangun
hubungan baik dengan sesamanya (hablun min al-nas). 

Robert N. Bellah menegaskan, agama diturunkan sebagai
instrumen ilahiah untuk memahami dunia (2000). Ia
turunkan sebagai way of life, untuk memanusiakan
manusia dan sebagai problem solver atas segala
persoalan yang dihadapi manusia.

Jadi agama, mempunyai dua fungsi dan makna yang harus
dilaksanakan secara sejajar, yakni makna
transendental, sakral dan makna imanental, profan.

Namun secara historis, agama penuh dengan campur
tangan manusia. Sebab, agama tidak diturunkan dalam
ruang hampa. Ia diturunkan dalam aneka spektrum
historis-budaya tertentu, sehingga manusia mengambil
bagian penting dalam agama. Sebab agama diturunkan
hanya untuk manusia, yakni kemaslahatan manusia. 

Peradaban, politik, sosial juga turut membentuk
lahirnya agama tersebut. Islam senantiasa bergumul
dalam realitas objektif yang menyejarah, ikut mewarnai
dan membentuk kebudayaan manusia. Dalam bahasa
antropolog Clifford Geertz, agama bukanlah sesuatu
yang otonom. Misalnya, Islam turun di Jazirah Arab
yang sangat kompleks dari peradaban manusia. Di Arab
ada pelbagai macam suku, agama, ras yang saling
mempengaruhi dan dipengaruhi. Maka ajaran agama sangat
terikat dengan kondisi dan situasi sosial setempat,
bersifat temporal-partikular. Sebab agama dengan
budaya setempat berdialektika secara terus-menerus. 

Islam yang ada di Arab tentu akan berbeda (misalnya
dari aspek-aspek hukumnya) dengan Islam yang ada di
Indonesia. Maka kebenaran agama dalam optik historitas
bersifat partikular. 

Dalam memahami suatu agama, kedua aspek penting dari
agama ini selayaknya dibedakan, bukan dipisahkan.
Sebab, hubungan antara keduanya ibaratnya sebuah koin
(mata uang) dengan dua permukaan. Kedua permukaan koin
ini tidak bisa dipisahkan, namun bisa dibedakan. Kedua
aspek tersebut bukanlah dua entitas yang berdiri
sendiri dan saling berhadap-hadapan, tetapi keduanya
terajut dalam satu kesatuan, sehingga kedua aspek
darinya tidak bisa dibuat tegang. Karena itulah,
mengabaikan salah satu aspeknya berarti kita terjebak
dalam salah satu ekstrem tertentu. Akibatnya,
pemahaman tentang Islam tidak komprehensip, dan
sepotong-sepotong. 

Kemudian, Islam sebagai hasil konstruksi budaya lokal
yang bersifat historis juga harus ditafsirkan dalam
konteks sosial dimana Islam turun. Begitupula dengan
teks agama. Alquran adalah gagasan Tuhan yang
diterjemahkan oleh Muhammad dalam bahasa manusia
sebagai respon terhadap lokalitas yang mengitarinya
saat itu tidaklah untoucable. Karena itulah tafsir
terhadap Islam mesti beragam sesuai dengan sejauhmana
Islam dipahami. Kesemua tafsir tersebut adalah absah
dan bisa diterima manakala dikontekstualisasikan
dengan realitas sosial yang berada di sekitarnya.

Begitu pula yang terjadi dengan pemikiran keagamaan
yang belakang ini terlihat kontroversial. Islam
Liberal tidak akan menemukan konsensus bersama dalam
memahami Islam dengan kalangan fundamentalis 

Islam Fundamentalis akan meyakini dirinya yang benar
sementara Islam Liberal adalah salah sama sekali,
sehingga memerangi terhadapnya adalah salah satu
bentuk ekspresi pelaksanaan ajaran agamanya, jihad
(holy war). 

Pesan Perdamaian

Jika kedua ekstrem gerakan keagamaan di Indonesia ini
sama-sama memperhatikan kedua aspek di atas, maka
menghakimi orang lain dapat dihindari. Memang, Islam
secara normatif mengajarkan perdamaian, kerukunan.
Namun ketika pesan tersebut diterjemahkan dalam
realitas sosial yang beragam, maka ia bersifat
historis-sosiologis. Meski secara normatif Islam
mengajarkan perdamaian dan antikekerasan, dalam
realitasnya agama mudah sekali dijalankan dan
dipraktikkan dengan cara-cara yang angker, sangar, dan
menyeramkan. 

Pesan perdamaian dalam Islam berbeda maknanya dalam
realitas sosial antara Islam liberal dengan Islam
fundamentalis. Islam Liberal merujuk kepada subtansi
dari doktrin agama -atau meminjam istilahnya
Al-Syatiby adalah Maqashid al-Syariah-sekaligus kurang
memperdulikan teks agama (non-literal), sementara
Islam fundamentalis lebih menekankan pada makna
tekstual dari agama, bukan pada subtansi. Akibatnya
dalam memahami pesan agamanya tidak menemukan titik
persamaan.

Islam Liberal memaknai agamanya sesuai dengan
paradigma (manhaj) yang dibangunnnya. Begitu pula
dengan Islam fundamentalis. Dua paradigma antara
tekstual dan kontekstual di atas akan semakin nampak
manakala diterjemahkan pada tingkat praksis. Kalangan
fundamentalis menyakini agama melalui seruan jihadnya
dengan pedang, bom atau senjata yang 

[ppiindia] Sekularisme Ada dalam Sejarah, Tak Ada dalam Kitab

2004-09-22 Terurut Topik djunaedi sahrawi

http://www.islamlib.com/id/page.php?page=articleid=687 
Prof. Dr. Nasr Hamid Abu Zayd:
Sekularisme Ada dalam Sejarah, Tak Ada dalam Kitab
Tanggal dimuat: 14/9/2004


Beberapa waktu lalu, JIL mengadakan workshop dua hari seputar “Kritik Wacana Agama” 
yang diikuti pelbagai aktivis LSM dan organisasi lintas agama di Hotel Millenimum, 
Jakarta (28-29/8/2004). Berikut petikan wawancara ekslusif JIL dengan Nasr Hamid di 
sela-sela perhelatan workshop soal wacana agama, proses demokrasi di dunia muslim, 
sampai perasaannya harus berada jauh dari kampung halamannya, Mesir.
 
Nasr Hamid Abu Zayd, intelektual asal Mesir yang kini bermukim di Belanda, 
menghabiskan waktu dua pekan (sejak akhir Agustus-pertengahan September) di Indonesia. 
Sepanjang dua pekan itu, sosok intelektual bersahaja ini menyempatkan diri bertukar 
gagasan dan berdialog dengan pelbagai kalangan. Selain mengisi seminar di UIN Jakarta 
dan universitas lainnya, pakar ilmu Alqur’an berbadan gempal ini juga mengisi 
“pengajian” ilmu Alqur’an di Pondok Pesantren Salafiyah Assyafiiyyah Asembagus 
Situbondo. Jaringan Islam Liberal (JIL) kebagian jatah mengadakan workshop dua hari 
seputar “Kritik Wacana Agama” yang diikuti pelbagai aktivis LSM dan organisasi lintas 
agama di Hotel Millenimum, Jakarta (28-29/8/2004). Di sela-sela perhelatan workshop 
itulah, Novriantoni (salah seorang redaktur JIL) sempat berbincang-bincang dengan Nasr 
Hamid tentang pelbagai persoalan, mulai dari teori ilmu Alqur’an, soal wacana agama, 
proses demokrasi di dunia muslim, sampai perasaannya harus berada jauh dari kampung
 halamannya, Mesir. Berikut Petikannya. 

NOVRIANTONI: Prof. Nasr, selama dua hari workshop, kita menangkap perkembangan 
pemikiran Anda dari gagasan tentang “Alqur’an sebagai teks” (al-Qur’ân kan nash) yang 
dapat dianalisis dengan perangkat analisis teks yang lazim, menuju gagasan tentang 
“Alqur’an sebagai wacana” (al-Qur’ân kal khithâb). Apa bedanya?

NASR HAMID ABU ZAYD: Bedanya seperti perbedaan antara posisi Mushaf dan Alqur’an itu 
sendiri. Alqur’an adalah hidup dan merupakan fenomena yang dinamis dan efektif dalam 
kehidupan keseharian kita. Posisi itulah yang tidak mampu dijangkau oleh Mushaf 
sebagai sekumpulan teks yang mati. Jadi, kita memiliki dua fenomena tentang Alqur’an: 
Alqur’an sebagai fenomena yang dinamis; dan Mushaf sebagai fenomena teks. Dalam 
Mushaf, yang penting adalah teks itu sendiri. Sementara yang menjadi titik perhatian 
dalam fenomena Alqur’an sebagai wacana adalah soal kenyataan (al-wâqi`). Dalam fakta 
sejarah, selama 23 tahun Alqur’an merupakan fenomena yang dinamis, dialogis, 
debat-sanggah, dan mengikut mekanisme take and give.
 
NOVRIANTONI: Apakah selama 23 tahun pertamanya itu dia tetap dianggap sakral?

NASR: Sakral dalam artian apa? Kalau sakral diartikan “tetap dan tidak dinamis”, 
kenyataannya orang-orang muslim pertama zaman itu mengajukan pelbagai pertanyaan dan 
menuntut jawaban Alqur’an. Manusia zaman itu berinteraksi dengan sesuatu yang sakral 
dengan cara yang hidup. Artinya, mereka bertanya, Alqur’an menjawab; mereka membantah, 
Alqur’an menyanggah. Titik sentral perdebatan itu ada pada sosok Nabi Muhammad. 
Ambillah contoh dari ayat Alqur’an, “yas’alûnaka `anis syahril harâm qitâlun fîh” 
(mereka bertanya tentang status perang pada bulan-bulan yang terlarang). Kalau Anda 
menganalisis ayat itu sebagai sebuah teks, Anda akan mengatakan bahwa ayat itu 
menghalalkan perang sekalipun di bulan-bulan terlarang. Tapi ketika dia dianalisis 
sebagai sebuah wacana, kita akan menemukan bahwa kaum muslim ketika itu sangat gentar 
ketika harus berperang di bulan-bulan terlarang. Sebab, itu merupakan pelanggaran atas 
aturan yang standar berlaku dalam mayarakat tribal Arab ketika itu. Di sini
 Alqur’an mengajak dan memotivasi kaum muslim untuk berperang walaupun “qitâlun fîh 
syadîd” (sangat berat bagi mereka). 

Urusan perang bagi mereka yang hijrah dari Mekkah ke Madinah itu tentu sangat berat. 
Bagaimana mungkin mereka berani berperang melawan kekafiran, toh yang mereka perangi 
tak lain adalah sanak saudara mereka sendiri dari kaum Quraisy. Dari sinilah kita 
dapat memahami mengapa redaksi Alqur’an di situ begitu keras. Jadi ayat yang 
menganjurkan untuk berperang melawan kaum musyrik (yang notabene masih sanak saudara 
kaum muslim sendiri ketika itu), merupakan pelecut semangat bagi kaum muslim yang 
peragu. Tidak mungkin kita menganggap ayat itu berlaku umum sebagai anjuran perang 
tanpa tedeng aling-aling. 

Makanya, ketika menjumpai redaksi Alqur’an yang berbunyi “uqtulûhum haits 
tsaqiftumûhum” (perangilah mereka dimanapun engkau jumpai!), kita tidak bisa 
menganggapnya sebagi perintah yang langsung dan mutlak. Ayat ini dapat diletakkan 
sebagai bagian dari pelecut semangat, khusushya bagi mereka yang ragu dan takut untuk 
berperang. Artinya, redaksi yang ada di sini bersifat dialogis. Kaum Muslim ketika itu 
mungkin tidak punya beban untuk berperang melawan orang Parsi dan Romawi. Tapi melawan 
sanak 

[ppiindia] Fwd: Khawarij Modern

2004-09-21 Terurut Topik Djunaedi Sahrawi
--- In [EMAIL PROTECTED], assyaukanie [EMAIL PROTECTED] 
wrote:
Khawarij Modern
Tanggal dimuat: 20/9/2004

Oleh: Ulil Abshar-Abdalla
 
Teror bermula dari kepala, turun ke tangan, dan jatuh di bumi. Ada 
orang-orang yang membayangkan bahwa seluruh dunia memusuhi dirinya, 
dan karena itu ia harus membangun benteng, melindungi diri dari 
serangan. Itulah yang disebut dengan siege mentality, mentalitas 
bertahan karena merasa dikepung oleh ancaman dari kiri kanan. Dalam 
keadaan seperti itu, bahasa kemarahan akan tampak lebih menonjol. 
Sikap bersahabat kepada yang lain akan dianggap sebagai kelemahan, 
kelembekan, karena itu haruslah dijauhi.

Sa'duddin Ibrahim, Direktur Pusat Ibnu Khaldun untuk Studi 
Pembangunan, Kairo, menulis sebuah kolom menarik di koran berbahasa 
Arab yang terbit di London, Al Hayat, 10/9/2004 yang lalu. Ia 
menulis, dalam artikel berjudul Al Islamiyyun al-`Arab Dhidd al-
`Alam (Kaum Islamis Arab versus Dunia), bahwa ada gejala yang 
sungguh mengkhawatirkan: kaum Islamis Arab melakukan sejumlah 
tindakan kekerasan, menebar teror, di mana-mana, mulai dari Chechnya, 
Kashmir, Indonesia, Thailand, Pakistan, dan Afghanistan. 

Dalam waktu yang tak lebih dari seminggu (sejak 30/8 hingga 5/9, 
2004), kaum Islamis Arab mengklaim telah melakukan sejumlah tindakan 
kekerasan: menyembelih 12 warga Nepal (yang kemudian menimbulkan aksi 
balas dendam di Nepal sendiri), meledakkan dua pesawat penumpang 
komersial milik Rusia (100 orang lebih meninggal dalam tragedi itu), 
dan terakhir menyandera siswa sekolah dasar di Beslan, Rusia. Tak 
kurang dari 200 orang menjadi korban penyanderaan itu dalam aksi 
penyelamatan yang dilakukan oleh pasukan Rusia. Yang menarik: di 
antara penyandera yang terbunuh, ada 10 orang berkebangsaan Arab.

Kita semua tahu, organisasi yang selama ini dianggap sebagai bandar 
teror di berbagai negara, Tandzim al-Qa'idah atau lebih dikenal 
sebagai al-Qaidah, didirikan dan dipimpin oleh seorang milyarder 
berasal dari Saudi Arabia, Usamah bin Ladin. Pertanyaan kita: kenapa 
ini semua terjadi? Kenapa negeri-negeri Arab seperti menjadi 
pengekspor kaum radikal-ektremis di mana-mana? Adakah ini semua 
berkait dengan Islam, agama yang tanah kelahirannya ada di Arab?

Saya kira, umat Islam harus berani melakukan kritik-diri yang 
radikal, serta mengakui dengan terus-terang jika ada borok yang 
bersarang di tubuhnya. Barangsiapa mempelajari sejarah perkembangan 
gerakan-gerakan Islam modern, akan tahu bahwa kisah hubungan antara 
Islam, ideologi kekerasan, dan terorisme bukanlah sesuatu yang aneh. 
Salah satu titik balik penting dalam sejarah gerakan Islam modern 
adalah munculnya tokoh bernama Sayyid Qutb, ideolog gerakan al-Ikhwan 
al-Muslimun di Mesir. Inilah ideolog Muslim pertama yang memasak 
tafsiran tentang jihad sebagai ajaran ofensif, bukan defensif (baca: 
jihad difa'i), yang kemudian dipakai oleh pelbagai kelompok Islam 
untuk membenarkan penggunaan kekerasan atas musuh-musuh Islam. 

Dulu, di zaman klasik, ada kelompok Khawarij yang begitu radikal dan 
mudah sekali mengkafirkan musuh-musuhnya. Kelompok-kelompok Islam 
modern yang memakai pendekatan teroretis adalah Khawarij modern. 
Janganlah tertipu bahwa orang-orang yang melakukan pemboman di Bali, 
hotel JW Marriot dan bom Kuningan adalah orang-orang yang semata-
mata marah pada orang-orang yang mereka anggap sebagai musuh 
Islam. Mereka mempunyai tafsiran keagamaan yang radikal, bahkan 
mereka adalah orang-orang yang secara ibadah agama sangat saleh. 
Tetapi, sebagaimana dikatakan oleh Sa'duddin Ibrahim, mereka ini 
lebih banyak membahayakan Islam ketimbang membawa manfaat. Mereka, 
dengan tafsirannya itu, telah mengubah citra Islam dari agama 
perdamaian, menjadi agama teror, persis seperti orang-orang Khawarij 
di zaman klasik dulu. [Ulil Abshar-Abdalla]
--- End forwarded message ---




 Yahoo! Groups Sponsor ~-- 
Make a clean sweep of pop-up ads. Yahoo! Companion Toolbar.
Now with Pop-Up Blocker. Get it for free!
http://us.click.yahoo.com/L5YrjA/eSIIAA/yQLSAA/BRUplB/TM
~- 

***
Berdikusi dg Santun  Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih 
Baik, in Commonality  Shared Destiny. www.ppiindia.shyper.com
***
__
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 
4. Posting: [EMAIL PROTECTED]
5. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
6. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
7. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

* To visit your group on the web, go to:

[ppiindia] Eep Saefulloh Fatah: Kepada saya, Islam Diajarkan secara Keliru

2004-09-19 Terurut Topik djunaedi sahrawi
http://islamlib.com/id/page.php?page=articleid=365 
Eep Saefulloh Fatah:
Kepada saya, Islam Diajarkan secara Keliru
Tanggal dimuat: 6/7/2003


Sosialisasi agama pada taraf yang sangat sederhana selalu menekankan etika ketakutan 
(ethics of fear) ketimbang etika harapan (ethics of hope). Ketundukan dibangun di atas 
pondasi ketakutan seorang hamba kepada Khaliqnya. Seolah kebesaran Tuhan ditentukan 
oleh semakin kecilnya manusia dan semakin horornya kosmos metafisik yang mengitari 
Tuhan.

 

Berikut wawancara dengan Eep Saefulloh Fatah, pengamat politik dari Universitas 
Indonesia yang kini sedang menempuh studi di Ohio State University (OSU), Amerika. 
Kebetulan Eep sekarang sedang “mudik” selama 2 bulan. Dalam perbincangan dengan Ulil 
Abshar-Abdalla pada 3 Juli 2003, Eep juga memaparkan kontribusi Islam terhadap 
konsolidasi demokrasi di Indonesia.

ULIL ABSHAR-ABDALLA: Kang Eep, Pemilu sebentar lagi dan anda sudah lama belajar 
mengamati politik negara kita. Apakah Anda melihat adanya keganjilan dalam hubungan 
antara agama dan politik, khususnya pasca reformasi?

EEP SYAUFULLOH FATAH: Masa reformasi ini nampaknya membangkitkan kembali harapan 
sebagian kecil penganut agama (Islam) untuk menghubungkan secara sangat rapat antara 
agama dan politik, khususnya antara Islam dan negara. Saya melihat, dalam batas 
tertentu ini adalah setback atau langkah mundur dari agenda reformasi. Untungnya, lima 
tahun reformasi membuktikan bahwa mereka yang mendorong langkah mundur itu sebetulnya 
tidak signifikan kekuatannya, baik dari segi jumlah maupun dari sisi kemampuan 
mengartikulasikan gagasan mereka.

ULIL: Bagaimana dengan agenda yang diperjuangkan partai-partai Islam?

Menurut saya, ketika kita menyebut “partai Islam”, ada ruang perdebatan di situ; 
tentang benda apa ini gerangan. Yang saya tidak setuju adalah partai-partai yang 
berorientasi untuk mendirikan negara Islam. Bahwa kemudian kalangan tertentu membuat 
partai dan karena ketidakmampuan mendefinisikan diri sendiri, lalu menggunakan nama 
Islam tanpa orientasi, sebetulnya itu masih bisa ditolerir.

ULIL: Secara kategoris, anda seorang santri. Bagaimana menghubungkan antara kesantrian 
dengan cita-cita sosial politik yang Anda anggap sesuai dengan tuntutan ideal agama?

Saya merasa bersyukur tumbuh dan besar dalam sebuah keluarga yang memahami agama tidak 
secara kaku; sebagai satu-satunya perlengkapan untuk mencapai kebahagiaan dunia dan 
akhirat. Ini rumusan yang saya buat sendiri. Saya tahu, ibu dan bapak saya tidak 
pernah mengatakan itu. Saya bisa mengatakan begitu karena agama yang diajarkan di 
rumah sebetulnya lebih banyak mengajarkan perihal etika, manual tingkah laku, dan 
semacam basis moralitas ketika kita harus memosisikan dengan diri sendiri dan 
masyarakat. Dengan begitu, saya tidak merasa pernah diajarkan untuk melakukan 
formalisasi agama. Buat saya itu sesuatu yang patut saya syukuri di kemudian hari.

ULIL: Sebenarnya bagaimana sih “perkenalan” pertama kali Anda dengan agama?

Perkenalan saya dengan agama dimulai sangat dini, sejak menginjak usia dua setengah 
tahun. Saat itulah saya dikhitan. Dengan begitu, saya mendapat tambahan kewajiban yang 
diberitakan oleh keluarga di sekitar saya. Tapi perkenalan saya lebih kongkrit dengan 
agama, terjadi beberapa tahun setelah itu. Yaitu ketika saya mulai diajak ayah untuk 
salat Jum’at berjamaah. Sebelum itu, saya juga pernah diajak, tapi masih agak enggan.

Nah, mulailah saya berkenalan dengan agama sebagai sebuah otoritas baru yang cukup 
mengejutkan. Representasinya adalah sebuah masjid yang belum pernah saya masuki, 
kecuali bermain di pelatarannya saja. Saya duduk di saf yang depan, berhadapan 
langsung dengan mimbar, dengan karpet warna hijau dan khatib yang memegang tombak 
dengan gagah. Tombak yang di pegang khatib masih dalam bentuk aslinya, tidak berganti 
sejak masjid itu didirikan tahun 1937. Yang masih tersisa dari ingatan saya soal itu 
adalah adanya sesuatu yang sakral yang sedang diperkenalkan pada saya.

ULIL: Apakah sekarang Anda punya evaluasi atas cara mengenalkan Islam yang dulu Anda 
pernah alami?

Saya merasa, Islam diajarkan kepada saya —jangan-jangan juga kepada orang lain— secara 
keliru. Kekeliruan itu bisa jadi bertumpuk-tumpuk. Misalnya, Islam diajarkan hanya 
sesuai dengan apa yang dipahami oleh mereka yang merasa punya otoritas untuk mengajar 
saya ketika itu. Saya ingat, di saat salat Jum’at, para khatib selalu menyampaikan 
hal-hal yang bernada ancaman atas siapapun; bahwa hidup di dunia ini sebentar, dan 
setelah itu kita akan berhadapan dengan dua pilihan: entah menjadi penghuni surga atau 
neraka! Kepada kami disampaikan ancaman, jika kita keliru menjalankan hidup yang amat 
pendek ini, kita akan menjadi penghuni neraka.

ULIL: Ada pengalaman traumatis dari perkenalan Anda dengan agama saat itu?

Komik! Pada waktu kecil, mulai berkembang komik-komik yang menggambarkan bagaimana 
keadaan surga dan neraka. Ketika itu dada saya terasa sesak dan ketakutan 

[ppiindia] Ambivalensi Sebagai Peluang: Agama, Kekerasan, Dan Upaya Perdamaian

2004-09-16 Terurut Topik djunaedi sahrawi

http://www.cmdd.org

Ambivalensi Sebagai Peluang: Agama, Kekerasan, Dan Upaya Perdamaian[1]

Oleh Ihsan Ali-Fauzi

 If you want peace, work for justice!

Paus Paulus VI[2]

 

PARA “agamawan humanis,” untuk mudahnya sebutlah begitu sementara ini, seringkali 
dongkol dengan kebiasaan industri komunikasi massa (umumnya media massa populer, 
tetapi kadang juga buku-buku instan, yang ditulis terburu-buru untuk momentum tertentu 
dan biasanya dangkal isinya) mengungkap hal-hal yang melulu buruk mengenai ekspresi 
sosial-politik agama.  Yang biasanya diungkap adalah konflik dan aksi-aksi kekerasan, 
seringkali dengan akibat amat memilukan, yang dilakukan atas nama agama.  Ingatlah 
bagaimana media memberitakan orang-orang Yahudi di Israel yang membunuhi kaum Muslim 
yang tengah salat di Masjid Hebron, orang-orang Hindu di India yang membakar Masjid 
Babri, orang-orang Islam di Mesir yang meneror dan membunuh para turis atau di 
Bangladesh dan Iran yang menuntut hukuman mati terhadap novelis Taslima Nasreen atau 
Salman Rushdie, akar-akar (etnis-)agama konflik berkepanjangan di Irlandia Utara dan 
bekas Yugoslavia, dan seterusnya.

Dalam model pemberitaan seperti ini, orang-orang dengan motivasi keagamaan itu disebut 
dengan kata-kata seram: zealots, extremists, militants, dan yang sejenisnya.  Kadang 
liputan itu dilengkapi dengan ilustrasi foto yang mengerikan, membangunkan bulu kudul. 
 Model pemberitaan yang sebaliknya, berisi kisah yang enak didengar, misalnya tentang 
upaya-upaya perdamaian oleh kalangan agamawan, amat jarang ditemukan.[3]

Para agamawan di atas itu punya sejumlah alasan untuk merasa dikecewakan.  
Pertama-tama, konflik dan kekerasan hanyalah salah satu wajah sosial-politik agama – 
dan tidak selamanya merupakan wajahnya yang terpenting.  Maka model pemberitaan di 
atas, sekalipun jika benar didasarkan atas peristiwa yang benar terjadi, dipandang 
tidak adil terhadap agama.  Apalagi jika diingat bahwa tradisi agama-agama, selain 
memiliki ajaran (yang memang bisa, dan sering, diselewengkan dan disalahgunakan) yang 
menyerukan perdamaian (perlu diingat: sebagian pemuka agama bahkan mengklaim bahwa 
inilah inti ajaran agama), juga memiliki sederet tokoh yang telah terbukti mau dan 
berani berkorban, bahkan dengan jiwa mereka, untuk memperjuangkan ajaran itu.  Dalam 
sejarah agama-agama abad ke-20 saja, misalnya, kita bisa menyebut nama Mahatma Gandhi 
(Hindu), Martin Luther King Jr. (Kristen), Malcolm X (Islam), Ibu Theresa (Katolik), 
dan Dalai Lama (Budha).  Agar adil, pemberitaan mengenai kekerasan berjubah
 agama, yang sebenarnya bertentangan dengan semangat ajaran agama itu sendiri, 
seharusnya mengungkap pula akar-akar kultural dan struktural terjadinya kekerasan itu, 
oleh para aktor agama di sebuah lingkungan sosial, ekonomi dan politik tertentu.  
Tetapi persis alasan inilah yang seringkali absen dari model pemberitaan di atas.[4]

Alasan lain kekecewaan para agamawan di atas terkait dengan semacam strategi kampanye 
penyebaran nilai-nilai anti-kekerasan itu sendiri.  Model peliputan itu dianggap tidak 
berorientasi kepada penyelesaian konflik dan pengupayaan perdamaian, atau 
setidak-tidaknya lebih merugikan daripada menguntungkannya.  Model itu kemungkinan 
besar hanya akan memancing muncurnya kekerasan tandingannya – sekarang atau nanti, 
langsung atau tidak, menjadi unsur yang ikut merakit terbentuknya budaya dan lingkaran 
kekerasan.  Banyak sekali contoh yang memperlihatkan bagaimana seorang atau sekelompok 
agamawan yang semula berwawasan pluralis,[5] sedikitnya inklusivis, beralih menjadi 
sebaliknya, berwawasan eksklusif dan bersikap ekstrem, karena deraan informasi yang 
dangkal dan tidak lengkap mengenai kekerasan yang dilakukan terhadap rekan-rekannya 
seiman oleh kelompok agama lain.[6]  Dalam kasus seperti ini, berlakulah rumus: 
“fundamentalisms breed another fundamentalisms,” fundamentalisme hanya akan
 melahirkan fundamentalisme lainnya.

 

Agamawan Humanis versus Fundamentalis

Ketika menyebut “agamawan humanis” di atas, saya teringat kepada orang-orang seperti 
Abdullahi Ahmed An-Na’im asal Sudan, yang harus mengasingkan diri ke luar negeri 
karena komitmennya kepada penegakan hak-hak asasi manusia (HAM)  yang dilecehkan regim 
di negerinya.  Atau orang seperti Sulak Sivaraksa, seorang tokoh Budha di Thailand, 
yang terus melawan arus dan tetap mengabarkan bahwa kekerasan, apa pun alasannya, 
hanya akan mengkhianati dan mencederai ajaran Budha.  Atau trio pendeta Budha (Maha 
Ghosanada), aktivis HAM Yahudi (Liz Bernstein), dan pendeta Jesuit (Bob Maat), yang 
tanpa kenal lelah dan menempuh segala risiko memimpin sejumlah kelompok umat Budha di 
Kamboja dalam aksi-aksi tanpa-kekerasan dalam menyelesaikan konflik.  Orang-orang 
seperti mereka itu, seraya tetap teguh percaya akan kebenaran yang termuat dalam agama 
mereka, tetap tidak menutup peluang bagi berlangsungnya dialog dan pertukaran budaya 
dengan orang atau orang-orang dengan latar belakang mana pun – 

[ppiindia] Syariat Islam, Normatif Realistik (1)

2004-09-15 Terurut Topik djunaedi sahrawi
http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/1203/08/0802.htm

Syariat Islam, Normatif Realistik (1)
Oleh SANUSI UWES

SECARA keseluruhan ayat dan isi Alquran merupakan
karya agung yang tidak tertandingi meskipun oleh
seluruh umat manusia yang sengaja berkumpul untuk
menandingi keindahan bunyi dan isi yang terkandung di
dalamnya (Q.S. 2:23). Ia memiliki kesempurnaan (Q.S.
5:3), di samping menerangkan segala sesuatu serta
menjadi petunjuk, rahmat, dan kabar gembira bagi
Muslimin (Q.S. 16:89).

Proporsional manakala kehadiran syariat Islam dalam
bentuk risalah Rasul dengan Alquran yang sempurna,
komplet, dan komprehensif ini mendorong perubahan yang
luar biasa cepat. Bila masa sebelumnya disebut zaman
jahiliyah, zaman sesudahnya merupakan zaman Islam.
Zaman Islam ditandai oleh kemunculan yang tidak
terbendungkan Negera Islam Madinah serta masyarakat
yang terpelajar dengan ciri utamanya terbuka,
apresiatif, saling meluruskan, kreatif, dan pekerja
keras.

Orang Islam yang baik pada umumnya menjadikan ayat
Alquran dan hadis Nabi sebagai rujukan legitimasi
pemikiran dan perilakunya, baik di bidang ibadah
mahdhah maupun ibadah ghair mahdhah seperti politik,
ekonomi, seni, sosial, dan aspek-aspek budaya lainnya.
Dalam kaitan inilah Alquran menjadi pengikat rohani
dan kesamaan identitas bagi para pemeluk Islam. Secara
sosiologis, keadaan positif ini, kadangkala jadi
negatif saat muncul klaim kebenaran kelompok yakni
merasa paling Islam karena mampu merujuk kepada
Alquran dan hadis Nabi. Klaim tersebut dapat
melahirkan tuduhan orang kafir, murtad, mubtadi',
sesat, dan malah ditentukan sebagai ahli neraka,
terhadap orang yang berbeda penafsiran atau pemahaman.

Tidak terhindarkan dari peri keadaan ini akan muncul
masalah-masalah sosial bukan saja terbatas pada daerah
keilmuan seperti persoalan penafsiran, pemakaian dan
pemanfaatan ayat (apresiasi), serta pengkaitan satu
dengan lain ayat (manipulasi), melainkanjuga hubungan
sosial antarkelompok alur pikir (mazhab). Untuk
Indonesia malah perbedaan alur pikir dalam fikih
ibadah saja, jadi demikian rawan sebab dijadikan
identitas kelompok sosial, untuk kemudian berimbas
pada pengelompokan organisasi keagamaan, dan pada
gilirannya jadi identitas konstituen suatu partai
politik.

Tidak mengherankan manakala deskripsi sosial ini
melahirkan penilaian yang paradoksal terhadap
pelaksanaan syariat Islam. Dari yang paling ideal
seperti pernyataan Islam adalah solusi sampai kepada
pernyataan bahwa syariat Islam merupakan fakta
sejarah masa lalu. Dari yang menyatakan Islam sebagai
etos kerja sampai pada Islam 
ajaran yang penuh mitologis. Dalam bidang politik
tidak kurang beragamnya dari Islam sebagai motivator
pembangunan sampai pada Islam sebagai penghambat
pembangunan.

Keragaman persepsi dan tanggapan terhadap Islam
tersebut mencerminkan betapa terdapat kesenjangan
pemahaman yang begitu berjarak antarsesama umat Islam
Indonesia atau antara umat Islam dengan umat 
non-Islam terhadap ajaran Islam. Oleh karena itu
tertumpang kewajiban sosialisasi terus-menerus kepada
umat Islam untuk mengislamkan orang Islam atau
menginformasikan Islam yang diinginkan Alquran dan
dilaksanakan oleh Nabi. Islam yang telah mampu
mengubah secara sangat dahsyat masyarakat Arab yang
jahiliyah jadi masyarakat Arab yang berkeadaban
tinggi. Dari masyarakat yang ummi, pada umumnya tidak
tahu baca tulis jadi masyarakat yang sangat menjunjung
tinggi tulisan dan bacaan, sehingga hanya dalam tempo
23 tahun saja seluruh umat Islam memiliki karakter
gemar menulis khususnya penulisan tentang wahyu Ilahi
dan ujaran-ujaran Nabinya.

Kegemaran menulis inilah yang menjadikan para sarjana
non-Muslim antara lain Ernest Gellner menyatakan, Di
antara tiga agama monotheis, Islam merupakan agama the
one closest to modernity sebab memiliki ajaran
universalisme, skriptualisme (ajaran dapat dibaca dan
dipahami semua orang), egalitarianisme spiritual
(tidak ada sistem kependetaan/rahibisme dalam Islam),
participatory democracy, serta mengajarkan
sistematisasi kehidupan sosial.

Syariat Islam

Menurut Hafnawy, Guru Besar Sejarah Undang-Undang
Fakultas Hukum Universitas Iskandariyah dan
Universitas Malik Abdul Aziz, syariat Islam adalah
cara hidup menurut agama Islam. Cara hidup ini,
termaktub dan terkumpulkan dalam bentuk nash Alquran
dan hadis Nabi. Terliput ke dalamnya urusan akidah,
pengajaran perilaku, dan hukum.

Hafnawy menegaskan bahwa pembuat syariat hanyalah
Allah SWT, dan penjelasannya dilakukan oleh Nabi
Muhamad saw. (Q.S. 53:3; Q.S. 65:ll; Q.S. 42:52) dan
sesudah beliau wafat, penjelasan ini dilakukan
oleh para mujtahid yang memiliki kekuatan memahami
Alquran, sunah, ijma', qiyas, untuk membuat istimbath
atas nash-nash melalui kaidah-kaidah yang telah
disepakati.

Akhir-akhir ini beberapa kaidah fikih (qawa'id
fiqhiyah) dipertanyakan keabsahannya, di antaranya
kaidah al 'ibrah bi 'umum al lafdhi laa bi khushush
al sabab, yang mendapat kritikan tajam dari kaum
pemikir kontekstual dengan katagorisasi perilaku
antara
substansi 

[ppiindia] Syariat Islam, Normatif Realistik (II/Habis)

2004-09-15 Terurut Topik djunaedi sahrawi
http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/1203/09/0802.htm

Syariat Islam, Normatif Realistik (II/Habis)
Oleh SANUSI UWES 

PROBLEMATIKA perkembangan pemikiran Islam, idealnya
kaum Muslim mengembangkan pemikiran tentang Tuhan,
alam, dan manusia, beranjak dari keyakinan autentik
(mu'min haqqo -- imtak) terhadap Alquran dan Hadis.
Namun juga realitas sosial kaum ilmuwan menunjukkan
ada banyak ilmuwan yang mendalami Alquran sesudah
memahami realitas alam. Ini berarti dalam praktik
kehidupan kaum ilmuwan terjadi sinergi antara berpikir
tentang alam beranjak dari pemahamaan awal terhadap
Alquran dan Hadis, dengan mereka yang berpikir lebih
dahulu tentang alam baru kemudian menelaah Alquran dan
Hadis. Jadi semacam justifikasi. Dengan demikian, akan
selalu terjadi konsultasi antara imtak dan iptek.
Namun dalam kehidupan sehari-hari hal ideal tersebut
jarang ditemukan. 

Terdapat beberapa kemungkinan berkenaan dengan hal
tersebut. Pertama, kurang iman terhadap Alquran.
Kedua, kurang mengerti Alquran. Ketiga, kurang
memahami realitas alam sesungguhnya. Keempat
terkonstruksi oleh pikiran-pikiran mitologis terhadap
alam. Kelima, terhanyut oleh al-hawa. Keenam, kurang
kuat kemauan atau motivasi (dalam dataran esoteris
secara generik hal itu dapat dikatakan kurang
mengimani Allah dengan segala sifat kesempurnaannya). 

Dalam pada itu terdapat berbagai problema perkembangan
pikiran (yang islami), yang jadi hambatan bagi
pencapaian kebenaran universal. Beberapa di antaranya
dapat dikemukakan sebagai berikut. Pertama, ilmu
sebagai produk pemikiran dalam bentuk materinya
(artifisial) merupakan instrumen bagi penguasaan alam.
Oleh karena itu dengan ilmu yang kemudian melahirkan
teknologi (iptek) manusia berpeluang menguasai alam.
Walau Allah menegaskan bahwa setiap manusia ada
rezekinya masing-masing, alam ini tetap bersifat
terbatas. 

Problemnya adalah saat suatu kelompok manusia berilmu
dan kemudian berlomba menguasai alam, maka manusia
yang tidak berilmu tidak kebagian penguasaan alam.
Akibatnya, kelompok terakhir ini terpinggirkan dari
percaturan penguasaan alam. Sebaliknya, orang yang
menguasai ilmu pengetahuan akan bertindak
sewenang-wenang menguasai alam bagian orang lain.
Itulah sebabnya mengapa orang Eropa yang lebih dahulu
menguasai ilmu kemudian menjajah bangsa dan negara
lain untuk semata-mata kepentingan bangsa dan
kelompoknya sendiri, dengan menguras kekayaan negara
terjajah ke negerinya sendiri.

Iptek ternyata mendorong keserakahan umat manusia.
Oleh karena itu harus diimbangi dengan iman dan takwa
(imtak). Melalaui imtak, idealnya motivasi tindakan
dapat lebih terkontrol dalam dimensi nilai-nilai
kemanusiaan universalnya. Oleh karena itu melalui
imtak mestinya kita membuat paradigma baru mengenai
berbagai hal, khususnya berkenaan dengan konsep dan
term-term ilmu-ilmu yang berkenaan dengan kemanusiaan,
baik sosial maupun humaniora. 

Contoh, konsep kebahagiaan. Dari sisi ekonomi,
kebahagiaan adalah terpenuhinya kebutuhan material,
dari sisi psikologi tersalurkannya potensi libido
(Sigmund Freud) atau kemampuan aktualisasi diri
(Maslow) atau penguasaan materi (Karl Marx) atau kerja
keras untuk akhirat (Protestan Ethic-Max Weber) dan
seterusnya. Tampak sekali bahwa tanpa landasan imtak
teori-teori keilmuan tersebut cenderung untuk memenuhi
kepentingan manusia secara fisik dan individual.
Berbeda dengan itu, melalui imtak dalam konsep Islam,
kebahagiaan adalah terpenuhinya nilai-nilai
kemanusiaan universal. 

Kedua, ilmu sebagai produk pemikiran merupakan suatu
maqom yang harus dilalui untuk mencapai kepribadian
lahut setelah kualitas kepribadian meningkat dari
tingkat nasut, malakut,, dan jabarut. Artinya seorang
ilmuwan tidak boleh diam menetap pada maqom tersebut
dan tidak beranjak lagi sebab maqom tersebut akan jadi
penjara bagi pemiliknya (lihat Khomeni, 1993:36) dan
hal ini tentu saja akan menurunkan derajat
kepribadiannya, mengalami istidraj, penurunan mutu
kepribadian. 

Bentuk perilaku ilmuwan tersebut adalah terbatas pada
kesibukan dunia keilmuan demi kepentingan dirinya
sendiri. Buku dibaca dimaksudkan untuk memperkuat
dalil-dalil dan alasan-alasan akibat negatif dari
perilaku yang ditimbulkannya, jadi bukan untuk
mempertegas capaian kebenaran bagi peningkatan mutu
perilakunya. Ilmunya dijadikan bumper bagi aksi yang
dilakukan, dengan memperbanyak argumen pada tiap
bagian kelakuannya. Setiap kali membaca buku dan
melihat fenomena alam, setiap itu pula cabang
pengetahuannya bertambah, serta setiap itu pula
bertambah peluang ketertutupan dari hakikat kebenaran
yang dikejarnya, termasuk ke dalam hal ini adalah
penguasaan orang terhadap ilmu agama. 

Idealnya penguasaan ilmu Islam paling tidak memakai
dua pendekatan, yakni pendekatan keilmuan, dan
pendekatan praktik keagamaan. Dalam (a) pendekatan
keilmuan, Islam dipahami sebagai objek material ilmu
yang distudi, dianalisis, diteliti sebagaimana
menstudi dan meneliti objek material ilmu yang
lainnya. Dalam kaitan ini kita perlu memerhatikan tiga
aspek, yaitu 

[ppiindia] Teori Konspirasi Selalu Meneror Kebenaran

2004-09-14 Terurut Topik djunaedi sahrawi
Assalaamu'alaikum wrwb, Salam Sejahtera

Tulisan menarik dibaca ketika berita-berita tentang
berbagai aksi terorisme kembali menyeruak, seperti
soal serangan teroris 9/11, dan yang teraktual,
serangan terhadap Kedubes Australia di Jakarta. 
_

http://islamlib.com/id/page.php?page=articleid=414

Teori Konspirasi Selalu Meneror Kebenaran
Tanggal dimuat: 15/9/2003

Tepat hari Kamis, 11/09/03 yang lalu, Radio 68H
Jakarta mengadakan diskusi untuk mengevaluasi 2 tahun
perang melawan terorisme. Berbagai pandangan, mulai
dari analisis suasana geo-politik global di Timur
Tengah, sampai persoalan meningkatnya radikalisasi
agama di Indonesia dibahas dalam diskusi tersebut.
Diskusi tersebut mendatangkan antara lain, Dr Syafii
Anwar, Ismail Yusanto dan Musthafa Abd Rahman. Berikut
perbincangan mereka:

Dr Syafii Anwar:

Saya melihat tiga respon atau pendekatan terhadap
tragedi 11 september 2001 di dunia Islam. Pertama,
mereka yang percaya pengeboman di New York itu
dilakukan kelompok Islam radikal, atau dalam bahasa
Barat disebut kelompok fundamentalis Islam. kelompok
ini yakin betul dengan keabsahan pendapatnya, dan
mereka mengait-ngaitkan tragedi itu dengan operasi
Jaringan Al-Qaidah pimpinan Usamah Bin Ladin. 

Kedua, mereka yang melihatnya sebagai sebuah fakta,
tapi lebih percaya pada teori konspirasi atau teori
komplotan. Kelompok ini percaya teori konspirasi
karena tidak percaya kelompok Islam melakukan aksi
dahsyat tersebut. Bagi mereka, tragedi itu tak lebih,
dilakukan antek-antek Amerika, baik Yahudi, Kristen,
atau lainnya. Pendekatan kedua ini laris berkembang di
negeri kita.

Ketiga, mereka yang mengambil posisi ambivalen;
mengutuk peristiwa tersebut di satu sisi, tapi
pendapat mereka tetap ngambang alias tidak jelas di
sisi lain. Itu disebabkan mereka mempertimbangkan
bahwa itu semua sulit dibuktikan.

Nah, saya sendiri berpendapat bahwa ketiga-tiganya
punya kelebihan dan kekurangan. Saya ingin menambahkan
teori atau pendekatan yang keempat, yaitu pendekatan
yang menekankan perlunya verifikasi empirik. Kita tak
bisa begitu saja mengatakan ini dan itu. Diperlukan
verifikasi empirik yang mendalam ketika mengatasi atau
menyelidiki kasus tersebut. Saya mengajukan ini karena
ketiga pendekatan tersebut memiliki banyak kelemahan,
terutama teori konspirasi yang sangat populer di
Indonesia.

Teori konspirasi adalah teori yang dibangun atas dasar
prakonsepsi, asumsi-asumsi atau bahkan imajinasi yang
sudah kita bangun lebih dulu, dan itu sulit
dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Dia selalu
mengarah pada apa yang disebut pharanoia within
reason. Jadi ada semacam pharanoia dalam akal pikiran.
Teori konspirasi juga biasa mengembangkan apa yang
dalam ilmu komunikasi disebut sistimatically
distortion of information, informasi yang sengaja
didistorsi secara sistimatis, sehingga sulit untuk
dipertanggungjawabkan. Teori konspirasi juga mengarah
pada terrorizing of the truth, meneror kebenaran itu
sendiri, karena sulit dibuktikan. Nah, itulah yang
perlu disaring.

Sangat sulit mengatakan siapa pelaku terorisme itu
hanya dengan mengandalkan teori konspirasi. 

Terus terang, di kalangan Islam terdapat juga dakwah
yang mengarahkan pada aksi-aksi yang radikal. Ada
banyak ajaran yang berangkat dari asumsi-asumi
pembedaan dan pengotak-ngotakan. Dalam bahasa agama,
itu bisa disebut minna waminkum, kita dan mereka, us
and them. Ini disebabkan tafsir atas ayat-ayat
Alqur’an yang sudah mengalami proses radikalisasi. 

Ayat walan tardlâ dan lain sebagainya dapat dijadikan
misal. Ayat tersebut secara semena-mena
ditransformasikan sedemikian rupa, ditambahi muatan
politik, dan dikeluarkan dari konteksnya yang asli.
Lantas dia menimbulkan state of mind yang cenderung
melakukan terrorizing of the truth atau terorisme atas
kebenaran itu sendiri.

Dalam konteks sekarang, inilah yang mungkin dilakukan
orang-orang yang ingin mencari popularitas diri.
Mereka menegasikan bahwa dalam Islam terdapat
bentuk-bentuk radikalisme. Mereka berusaha keras
menolaknya. Padahal, hasil kajian-kajian yang ada
--termasuk yang pernah saya lakukan sejak tahun
1980-1984—memperlihatkan banyak sekali buku-buku dan
pamflet-pamflet yang secara terang-terangan melakukan
aksentuasi atas ajaran-ajaran Islam yang radikal. 



Musthafa Abd. Rahman: (Wartawan Kompas untuk kawasan
Timur Tengah):

Saya sangat terkejut mendengar lagu Usamah bin Ladin
di Indonesia. Di Timur Tengah sekian tahun, saya
justru tidak mendengar Usamah dilagukan. Usamah
terlanjur dijadikan simbol atau inspirator terorisme
internasional. Tentu kata terorisme di sini masih
dalam tanda kutip, sebab defenisi terorisme itu saja
sampai sekarang belum final. Di Timur Tengah, masih
saja ada polemik yang tak habis-habisnya tentang apa
definisi terorisme. 

Saya akan menyampaikan fenomena pertarungan antara
Amerika Serikat dengan gerakan Islam Politik, dan
mungkin, sekelumit tentang bagaimana masa depannya.

Tragedi 11 september 2001 merupakan titik kulminasi
pertarungan antara gerakan Islam Politik 

[ppiindia] Wawancara dng Munir : Islam Harus Berpihak Pada yang Tertindas

2004-09-09 Terurut Topik djunaedi sahrawi
http://islamlib.com/id/page.php?page=articleid=227 

Munir SH: Islam Harus Berpihak Pada yang Tertindas 
Tanggal dimuat: 4/8/2002 
 

Tak banyak orang tahu tentang pergulatan keislaman Munir SH, pejuang HAM dari Kontras. 
Dan kepada Kajian Utan Kayu, ia menumpahkan pergulatannya itu. Selama ini, Munir yang 
menjadi ikon dari pejuang demokrasi, kerap bersuara kritis terhadap penindasan, 
kekerasan negara dan ketidakadilan melalui LSM Kontras dan YLBHI (Yayasan Lembaga 
Bantuan Hukum Indonesia). Apa yang melandasi kiprah dan aktivitas Munir dalam 
menyuarakan demokrasi dan HAM? Adakah Islam menjadi energi bagi pilihan hidup yang ia 
ambil sekarang ini?

Pertanyaan-pertanyaan itu dijawab Cak Munir, mantan aktivis HMI, dalam wawancara yang 
dilakukan Ulil Abshar-Abdalla dari Kajian Islam Utan Kayu (KIUK) yang disiarkan Radio 
68 H dan jaringannya di seluruh Indonesia pada 1 Agustus 2002: 




Mas Munir, sebagai pejuang HAM, Anda tentu memiliki pandangan yang menarik tentang 
bagaimana Islam bermakna dalam profesi Anda. Dapatkah Anda menceritakannya?

Saya kira begini, dulu saya pernah mengikuti jalur beragama ekstrim, yang “radikal.” 
Kurang lebih 5 hingga 6 tahun antara tahun 1984-1989, isi tas saya tidak pernah kosong 
dari senjata tajam. Itu atas nama pertikaian agama. Sebetulnya, ketika saya berada 
dalam ruang ekstrimitas agama, ada semacam perasaan kehilangan fungsi agama itu 
sendiri. Misalnya, saya mempertanyaakan: Apakah benar, Islam memerintahkan saya untuk 
menjadi sangat eksklusif dalam beragama dan atau menutup diri dari komunitas lain? 
Pada masa itu, mulai ada pertentangan dalam diri saya: Apakah Islam itu untuk Allah 
ataukah untuk manusia atau untuk membangun masyarakat secara umum? 

Dalam situasi tarik-menarik pada masa itu, saya menemukan bahwa agama diturunkan untuk 
manusia. Saya setuju dengan Gus Dur, kalau Tuhan tidak perlu bodyguard untuk mengawal 
diri-Nya. Intinya, agama harus menjadi maslahat bagi manusia. Seringkali kita bicara 
masalah rahmat Islam untuk semesta, tapi kita tidak tahu maknanya. Akhirnya, 
ekstremitas itu saya tinggalkan karena saya tidak mungkin menjadi komunitas yang 
eksklusif. Karena Islam harus mendukung peradaban, maka dia harus bekerja pada 
wilayah-wilayah yang memang memperbaiki kehidupan manusia. Agama dipergunakan untuk 
memperbaiki kehidupan. 

Sebaliknya, ekstremitas beragama itu bisa menghancurkan peradaban manusia. 
Intoleransi, apapun bentuknya akan menghancurkan peradaban. Banyak orang beranggapan 
bahwa mereka sedang membangun. Akan tetapi, yang mereka bangun justru simbol-simbol 
yang menghancurkan peradaban. 

Pengalaman kehidupan Anda menarik bila dikaitkan dengan banyaknya orang yang lebih 
enjoy menjadi member of second community —entah agama atau etnis—ketimbang menjadi 
orang Indonesia?

Saya kira, kadang bentuk-bentuk perbedaaan itu melahirkan ekstremitas. Tidak hanya 
agama, tapi etnis juga. Ekstremitas itu selalu saja memutlakkan diri sendiri dan 
menafikan orang lain. Ini kadang-kadang terjadi tidak hanya antaragama, tapi juga 
antar faksi-faksi berfikir dalam agama. Itu antara lain dapat kita baca dari sejarah 
Indonesia; berapa banyak darah tertumpah atas dasar perbedaaan cara berfikir 
faksi-faksi agama. Anti gerakan tarekat misalnya, pengasingan orang dan pembunuhan, 
semuanya atas nama ekstremitas. Dari situ, seolah-olah hidup ini menjadi perang 
memperebutkan kapling di surga yang berapa hektarnya pun belum bisa kita diukur. Ini 
yang menjadi masalah.

Ada yang menarik dari uraian Anda tadi. Tadi Anda mengaku mengalami masa ekstrimitas 
beragama, lantas berubah. Pada titik mana terjadi perubahan itu?

Berubah ketika saya berhadapan dengan antitesia lain yang saya kira juga cukup 
ekstrim. Yaitu, mempertanyakan kembali tentang apakah beragama itu kekuasaan? Nah, itu 
pertanyaan dari dosen saya kala itu, Bapak Malik Fadjar (ini Menteri Pendidikan 
Nasional, Red). Dia mengatakan: “Saya tidak pernah mengetahui seorang pemuda sebodoh 
Anda, yang kemana-mana membawa semangat untuk berperang dengan instrumen agama, demi 
menguasai orang lain.” Menurut dia saya orang yang amat liberal. Bagi saya, Islam itu 
amat liberal dan dapat menerima perbedaan-perbedaan. Islam tidak punya kewenangan, 
ketika dia tidak bisa memberikan tempat bagi yang lain. Nah, pertanyaan “bagi yang 
lain” itu, betul-betul menjadi antitesis dari pikiran-pikiran mainstream di beberapa 
kelompok yang waktu itu saya ikuti. Aliran ekstrim yang saya ikuti, ternyata tidak 
memberikan ruangan pada yang lain. 

Anda shock ketika Pak Malik Fadjar mengingatkan itu pada Anda?

Saya shock sekali. Ini saya ingat betul karena saya tidak pernah berkeringat di kota 
Malang yang dingin, kecuali dari statement itu. Tapi saya telah menemukan sesuatu, 
yang bersifat inspiring (mengilhami, Red), 

Tahap yang kedua, kebetulan dulu saya aktif di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan saya 
mempunyai seorang mentor di HMI. Kritik Pak Malik kedua mengatakan: “Kau pelajari deh, 
Islam yang benar! 

[ppiindia] YAHUDI SEBAGAI SIMBOL DALAM WACANA ISLAM INDONESIA MASA KINI

2004-09-07 Terurut Topik djunaedi sahrawi

Tulisan panjang tapi bagus dicermati.

 

YAHUDI SEBAGAI SIMBOL DALAM 
WACANA ISLAM INDONESIA MASA KINI*

 

Martin van Bruinessen


Kaset Qur'an dan konspirasi Yahudi

Pada tahun 1986 seorang ulama di Bima mengeluh kepada peneliti dari LIPI tentang 
keberadaan kaset rekaman bacaan Al Qur'an yang dijual di mana-mana. Sekarang semakin 
banyak orang puas dengan menyetel kaset saja, mereka tidak berminat lagi untuk belajar 
qira'ah Al Qur'an sendiri. Berbagai teknologi baru, menurut hematnya, sangat 
membahayakan agama Islam. Ia mencurigai gejala ini berkaitan dengan konspirasi 
Yahudi-Zionis untuk menghancurkan Islam. Dalam ceramah-ceramahnya, ia sering 
menyinggung ancaman-ancaman Yahudi terhadap Islam. Ulama yang pernah bermukim di 
Makkah selama beberapa tahun ini, menceritakan kepada peneliti tadi bahwa ia banyak 
tahu tentang tipu daya Yahudi itu dari majalah-majalah yang diterimanya dari Rabithah 
Al-`Alam Al-Islami (Al-Rabithah dan Muslim World News); selain mengutip pula buku yang 
bernada ancaman terhadap kemajuan dan perkembangan Islam di dunia seperti Al-Maka'id 
al-Yahudiyah dan Rencana Yahudi terhadap Penghancuran Islam. Ketika peneliti bertanya
 gejala apa di Indonesia yang dianggapnya sebagai aktivitas Yahudi-Zionis, ditudingnya 
organisasi-organisasi seperti Lions Club.[1]
 

Yahudi sebagai ancaman terhadap nilai-nilai tradisional 

Kasus ulama Bima di atas mengejutkan saya karena merupakan pertemuan pertama saya 
dengan semangat anti-Yahudi yang bukan anti-Israel saja di Indonesia. Di Bima, tentu 
saja, tidak ada orang Yahudi, dan andaikata terdapat Lions Club pun pastilah bukan 
mereka yang mengedarkan kaset Muammar Z dan qari-qari lainnya. Mengapa ungkapan 
keprihatinan sang ulama mengaitkannya dengan Yahudi? Ternyata ia tidak sendirian; 
beberapa tahun terakhir kian sering kita menjumpai kata Yahudi dipakai sebagai 
julukan negatif bagi perkembangan, pemikiran atau sikap yang dianggap membahayakan 
umat Islam. Yahudi telah menjadi simbol dari sesuatu yang tak mudah diungkapkan 
secara eksplisit. Yang dimaksudkan, agaknya, bukan agama Yahudi, dan bukan juga 
kebijaksanaan resmi pemerintah Israel atau pun kelompok Zionis ekstrim, melainkan 
sesuatu yang lebih abstrak dan tersembunyi.

Ada dua hal menarik berkenaan dengan munculnya Yahudi sebagai simbol dalam 
wacana Islam di Indonesia. Pertama, Yahudi seringkali disebut dalam konteks 
kekhawatiran tentang adanya konspirasi untuk menghancurkan Islam. Banyak aspek proses 
modernisasi, berikut sekularisasi dan rasionalisasi, pergeseran nilai-nilai 
tradisional, globalisasi ekonomi dan budaya, individualisme dan hedonisme dilihat 
sebagai hasil rekayasa, bukan proses yang berdiri sendiri. Semua perkembangan barusan 
diduga kuat telah direncanakan dan dilaksanakan oleh persekongkolan yang memusuhi 
Islam dan ingin menghancurkannya. Konspirasi rahasia tersebut diidentikkan dengan 
Yahudi dan Zionis; tetapi setiap orang yang dianggap berjasa demi tujuan 
persekongkolan tersebut, walaupun agama dan kebangsaannya berbeda, bisa saja dijuluk 
Yahudi.

Kedua, teori-teori konspirasi dan kecenderungan untuk mengkambinghitamkan 
Yahudi tentu saja tidak lahir di Indonesia melainkan berasal dari negara-negara Arab - 
utamanya Arab Saudi, Kuwait dan Mesir. Menyembulnya kebencian kebanyakan orang Arab 
saat ini kepada orang Yahudi tak bisa dilepaskan dari masalah Palestina. Keprihatinan 
tentang Zionisme Israel sangat wajar. Meski di sini perlu ditambahkan, kepercayaan 
akan adanya konspirasi Yahudi untuk menghancurkan Islam dan menguasai seluruh dunia 
bukan hanya reaksi terhadap eksistensi Israel saja, dan sesungguhnya juga disebabkan 
penyebaran antisemitisme Barat ke negara-negara Arab.

Sumber yang seringkali menjadi rujukan, yaitu Al-Maka`id Al-Yahudiyah 
alias Protokol-Protokol Para Sesepuh Zion alias Ayat-Ayat Setan Yahudi, merupakan 
hasil fabrikasi beberapa orang anti-Yahudi Rusia dan kemudian dipergunakan sebagai 
alat propaganda oleh Nazi Jerman. Buku inilah yang pernah merupakan legitimasi utama 
bagi pembunuhan massal terhadap orang Yahudi oleh Nazi Jerman. Protokol-protokol konon 
terdiri dari notulen pemerintah rahasia Yahudi tentang strategi mereka untuk menguasai 
dunia, melalui kapitalisme maupun komunisme, demokrasi maupun kediktatoran, revolusi 
maupun liberalisasi ekonomi. Pada dasawarsa 1950-an edisi Arabnya terbit, dan 
belakangan beberapa kali diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. Editor-editor 
Indonesianya tampaknya tidak menyadari bahwa buku ini bukan dokumen sejarah benar 
melainkan pemalsuan oleh kalangan antisemitis.
 

Yahudi, Freemason dan kemodernan 

Antisemitisme (sikap anti-Yahudi) di Eropa memuncak pada penghujung abad ke-19 dan 
berkaitan erat dengan kemodernan. Antisemitisme merupakan reaksi terhadap arus 
perubahan sosial dan ekonomi yang begitu cepat serta berkembangnya kapitalisme modern, 
terhadap gerakan-gerakan liberalisme dan sosialisme, republikanisme dan sekularisme - 

[ppiindia] Hentikan Konflik dan Tumbuhkan Iklim Simbiosis Mutualisme

2004-09-07 Terurut Topik djunaedi sahrawi

Assalaamu'alaikum wr wb, Salam sejahtera.


Hentikan Konflik dan Tumbuhkan Iklim Simbiosis
Mutualisme

Oleh TARMIZI TAHER


RAMALAN John Neisbit bahwa akan terjadi benturan
peradaban (class civilization) antara dunia Islam dan
Barat mulai terwujud dengan diserangnya Irak oleh
Amerika Serikat (AS) bersama Inggris dan Australia.
Haruskah dunia Islam melakukan perlawanan ataukah kita
biarkan Barat melakukan penekanan di berbagai segi
terhadap dunia Islam? Bagaimanakah nasib dunia Islam
setelah penyerangan AS ke negeri seribu satu malam
tersebut?

Untuk membahas nasib dunia Islam, pemerintah Malaysia
pada tanggal 10 s.d. 12 Juli 2003 menyelenggarakan
konferensi tingkat dunia bertema, Dunia Islam Sesudah
Perang Irak (World Conference of Islam Scholars).
Dalam kesempatan ini, Perdana Menteri Malaysia
Mahathir memberikan pengarahan dan pikiran-pikirannya.
Bagi Malaysia, pertemuan ini merupakan kesempatan yang
tepat karena segera berbicara nasib dunia Islam
sesudah perang Irak. Dari Indonesia, salah seorang
yang diundang dalam konferensi tersebut adalah
penulis.

Mengapa saya yang diundang? Karena di akhir Mei 2003,
saya juga diundang ke Malaysia untuk menghadiri
pertemuan para pemimpin dunia Islam II yang berbicara
tentang penanganan HIV/AIDS. Ketika itu saya diminta
memimpin sidang pleno ke-3. Padahal, sidang pleno ke-1
dan ke-2 terjadi kericuhan akibat seorang wanita
Muslim delegasi AS memiliki paper yang berbeda dengan
paper para peserta dari Timur Tengah. Akibatnya, para
peserta dari negara-negara Arab ke luar sidang
melakukan walk out.

Saat saya memimpin sidang pleno ketiga, saya katakan
kepada para peserta, Kemarin ada teman-teman kita
yang walk out. Ini kok seperti rapat politik saja.
Padahal, ini kan studi ilmiah. Bukankah biasa dalam
sebuah pertemuan ilmiah itu kita menyatakan keberatan
atas pandangan yang berbeda dengan cara yang sopan dan
dengan pandangan yang jernih? Dengan memberi
pengertian demikian, kemudian pertemuan-pertemuan
berikutnya berjalan lancar, bahkan sidang menjadi
penuh ukhuwah dan rukun. Panitia yang dipimpin anaknya
Mahathir menyatakan terima kasih yang luar biasa
karena saya dinilai menyelamatkan pertemuan lima hari
itu. Sebelum pulang, saya bahkan kembali mendapatkan
undangan ini.

Penulis menilai bahwa Malaysia tepat sekali
berinisiatif menyelenggarakan konferensi ini karena
Mahathir melihat dengan jernih bahaya yang mengancam
Islam. Kalau bahaya terorisme, Malaysia termasuk
negeri yang menjadi tempat latihan untuk menghadapi
terorisme di Asia Tenggara. Namun dia juga tidak
segan-segan menggunakan isu ini apabila ada orang yang
akan menggunakan terorisme untuk menyerang dunia
Islam. Ini memang biasa, satu hal seperti pisau
bermata dua. Pisau kalau digunakan untuk mengoperasi,
si sakit bisa sembuh, tetapi kalau digunakan untuk
menyobek kulit dan daging orang dalam perampokan, maka
orang tersebut bisa mati.

Melalui konferensi tersebut, umat Islam harus secara
jernih menganalisis kelemahan dalam menghadapi era
globalisasi, era persaingan, era perdagangan bebas,
serta di era ilmu dan teknologi. Sebaliknya, dunia
Islam juga harus mengetahui kekuatannya sebab tidak
semua dari kita lemah dan buruk, tetapi juga memiliki
kekuatan-kekuatan. Misalnya, kekuatan Muslimin yang
dikagumi Barat adalah nilai-nilai luhur Islam sehingga
Islam di Barat merupakan agama yang paling cepat
tumbuh, khususnya di Amerika dan di Eropa. Di
negara-negara Eropa, Islam sekarang sudah menjadi
agama kedua, sesudah Protestan, baru kemudian Katolik.
Atau sebaliknya, Katolik terbanyak, kemudian Islam,
baru kemudian Protestan.

Umat Islam di AS sekarang berjumlah 10 juta orang. Ini
sama jumlahnya dengan umat Islam di Malaysia. Setelah
peristiwa 11 September 2001, orang AS justru semakin
penasaran ingin tahu apa sih sebenarnya Islam itu?
Mereka banyak mengundang para intelektual dan ulama
Islam ke kampus bahkan ke gereja mereka untuk
menerangkan the real Islam sehingga Islam tidak
mengalami penyelewengan pengertian sebagaimana ditulis
oleh media-media Barat.

Kalau sebelum 11 September orang masuk Islam di AS
dalam sebulan berjumlah 10.000 orang, sejak peristiwa
11 September, orang Islam baru berjumlah 4 kali lipat
yakni 40.000 orang. Ini merupakan gambaran bahwa dakwa
Islam cukup berhasil karena Islam memang agama yang
sangat rasional dan sangat egaliter. Satu hal yang
paling menarik bagi orang Barat dalam beragama Islam
adalah sabda Nabi Muhammad saw., Ana basyarun
mitslukum (Saya manusia biasa, seperti kalian). Nabi
tidak berbeda dengan manusia pada umumnya. Sebab kalau
mereka mengikuti agama Islam berarti mereka sekadar
mengikuti dan mencontoh manusia, dengan segala
kelebihan dan kelemahannya. Sebaliknya, kalau mereka
harus meniru seperti Tuhan, mereka tidak bisa dan
sangat susah.

Mengenai penyerbuan AS bersama sekutunya terhadap
Irak, senyatanya, dunia melihat legitimiasi yang
digunakan AS tidak kuat, terlepas bagaimana kelakuan
Saddam Husein. Oleh karena itu, Eropa pun terpecah
dua. Satu-satunya negara yang 

[ppiindia] Fwd: [surau] Koran Tempo: SBY Israel

2004-08-25 Terurut Topik djunaedi sahrawi

--- Azhari [EMAIL PROTECTED] wrote:

 From: Azhari [EMAIL PROTECTED]
 Date: Wed, 25 Aug 2004 07:50:49 +0700
 Subject: [surau] Koran Tempo: SBY  Israel
 
 Koran Tempo pagi ini memberitakan bahwa pada saat
 pertemuan SBY dengan
 400 pendeta di Surabaya, para pendeta mengusulkan
 untuk merubah aturan
 pendirian Gereja dan membuka hubungan dengan Israel,
 karena krisis yang
 berkepanjangan dinegara kita akibat Negara kita
 sangat membenci Israel.
 SBY menyatakan bahwa akan mempertimbangkan aturan
 pendiran gereja tsb,
 sedangkan hubungan dengan Israel akan dibicarakan
 nanti.
  
 Sungguh nyata Nasrani dan Yahudi selalu bersatu padu
 dalam memusuhi umat
 Islam, kadang-kadang mereka berusaha menyembunyikan
 tetapi seringkali
 terkuak tanpa mereka sadari. Karena kebencian yang
 sangat terhadap
 Islam, sehingga tanpa mereka sadari mereka
 mengungkapkannya. 
  
 Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang
 kepada kamu hingga kamu
 mengikuti agama mereka (Al-Baqarah 120).
  
 Sungguh, telah nyata kebencian pada mulut-mulut
 mereka, dan apa yang
 tersembunyi didalam dada-dada mereka adalah lebih
 besar lagi. Kami telah
 menjelaskan ayat-ayat Kami kepada kalian jika kalian
 memang orang-orang
 yang berakal (Ali Imran 118).
  
 Salam,
 azh
 
 
 [Non-text portions of this message have been
 removed]
 
 




__
Do you Yahoo!?
Read only the mail you want - Yahoo! Mail SpamGuard.
http://promotions.yahoo.com/new_mail 


 Yahoo! Groups Sponsor ~-- 
$9.95 domain names from Yahoo!. Register anything.
http://us.click.yahoo.com/J8kdrA/y20IAA/yQLSAA/BRUplB/TM
~- 

***
Berdikusi dg Santun  Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih 
Baik, in Commonality  Shared Destiny. www.ppi.4t.com
***
__
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 
4. Posting: [EMAIL PROTECTED]
5. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
6. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
7. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

* To visit your group on the web, go to:
http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

* To unsubscribe from this group, send an email to:
[EMAIL PROTECTED]

* Your use of Yahoo! Groups is subject to:
http://docs.yahoo.com/info/terms/
 





[ppiindia] BuruanCiumGue akhirnya ditarik dari peredaran, Bravo AA Gym + MUI!

2004-08-20 Terurut Topik djunaedi sahrawi
http://www.sctv.co.id/otista/?id=4877
Buruan Cium Gue! Ditarik dari Peredaran

FILM Buruan Cium Gue! (BCG) akhirnya ditarik dari
peredaran. Bos MultiVision Plus (MVP) Raam Punjabi tak
tahan dengan kritik yang melandanya sejak BCG beredar,
5 Agustus silam. Selain itu, Raam tidak ingin timbul
perpecahan di kalangan masyarakat Indonesia. Keputusan
itu diambil Raam usai berdialog dengan Abdullah
Gymnastiar alias Aa Gym di Jakarta, Kamis (19/8).

Sebelum berdialog dengan Raam, Aa Gym bersama Majelis
Ulama Indonesia mengajukan protes kepada Lembaga
Sensor Film. Menurut kiai kondang asal Parahyangan
ini, film BCG terlalu vulgar dan mengajak orang
berzina. Ini adalah karya yang tidak layak bagi
orang-orang yang merindukan kebaikan, kata Aa Gym.

(Yn-200804)

__
Do You Yahoo!?
Tired of spam?  Yahoo! Mail has the best spam protection around 
http://mail.yahoo.com 


 Yahoo! Groups Sponsor ~-- 
Make a clean sweep of pop-up ads. Yahoo! Companion Toolbar.
Now with Pop-Up Blocker. Get it for free!
http://us.click.yahoo.com/L5YrjA/eSIIAA/yQLSAA/BRUplB/TM
~- 

***
Berdikusi dg Santun  Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih 
Baik, in Commonality  Shared Destiny. www.ppi.4t.com
***
__
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 
4. Posting: [EMAIL PROTECTED]
5. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
6. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
7. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

* To visit your group on the web, go to:
http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

* To unsubscribe from this group, send an email to:
[EMAIL PROTECTED]

* Your use of Yahoo! Groups is subject to:
http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



[ppiindia] AA Gym: Film BCG Sebenarnya Berjudul 'Buruan, Zinahi Gue'

2004-08-18 Terurut Topik djunaedi sahrawi
Rabu, 18 Agustus 2004  19:13:00
AA Gym: Film BCG Sebenarnya Berjudul 'Buruan, Zinahi Gue'


Jakarta-RoL -- Pemimpin Pondok Pesantren Daarut Tauhid Bandung, KH Abdullah Gymnastiar 
(Aa Gym) mengatakan Film Buruan, Cium Gue' (BCG) sebenarnya berjudul Buruan, Zinahi 
Gue, karena film tersebut mengajak orang untuk berzinah.

Film itu berjudul vulgar dan berani dan mengajak orang berciuman pada orang yang 
bukan muhrimnya. Ketika sudah berciuman, maka orang tersebut akan terus melanjutkan 
untuk berzinah, kata Aa Gym dalam jumpa pers di Kantor Lembaga Sensor Film (LSF) yang 
digelar setelah pertemuannya dengan pihak LSF, di Jakarta, Rabu.

Aa Gym datang bersama dengan Sekretaris Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI), Prof Din 
Syamsudin, rohaniwan dari Kristen dan Katolik, mantan Menneg Pemberdayaan Perempuan 
Tuty Alawiyah, serta artis Inneke Koesherawati, Astri Ivo, dan Cheche Kirani.

Aa Gym mengatakan prihatin dengan film BCG itu, dan dia perlu datang ke LSF karena 
menerima ratusan surat dari masyarakat terutama ibu rumah tangga, yang memprotes 
pemutaran film tersebut.

Kami datang ke sini (kantor LSF) bukan untuk menghakimi, tetapi ingin belajar dan 
mengetahui bagaimana sebuah film dapat lolos. Ke depannya kita bisa bantu dari luar, 
kata Aa Gym.

Dia mengatakan telah menghubungi produser film tersebut, Raam Punjabi dari PT 
Multivision Plus, dan sutradara film, Findo Purwono HW untuk mengajak berdiskusi 
seputar film BCG tersebut.

Dia mengatakan, kedatangannya ke LSF untuk meminta penarikan film BCG, dan untuk 
maksud memacu kreativitas para sineas Indonesia agar lebih bermutu, dan bukan 
kreativitas yang merusak.

Solusi permasalahan ini ada tiga. Pertama bahwa kita semua bersaudara, semangat untuk 
mencari solusi dan semua menjadi sukses, tanpa ada korban, kata Aa Gym.

Sementara itu, Sekretaris Umum MUI, Din Syamsudin mengatakan, MUI telah mengirimkan 
surat kepada Menteri Kebudayaan dan Pariwisata yang berisi bahwa Film Buruan Cium Gue 
(BCG) telah menyinggung rasa susila masyarakat, menimbulkan rasa ketakutan dikalangan 
orang tua, pendidik juga menimbulkan ancaman gangguan ketertiban umum serta 
kemungkinan munculnya reaksi-reaksi yang tak terkendali.

Din mengatakan, dari adegan-adegan, dialog, suara serta imajinasi yang dikembangkan 
dalam film tersebut dapat disimpulkan bahwa film itu memang secara sengaja bermaksud 
menghina, melecehkan, menertawakan pihak-pihak yang dipandang konservatif dan kolot 
karena berpegang pada nilai-nilai budaya yang luhur, nilai norma agama dan pendidikan 
sekolah.

Kita biarkan LSM, Menteri Kebudayaan dan Pariwisata yang menghentikan peredaran dan 
penayangan film BCG, kata Din.

Sementara Tuty Alawiyah menanyakan kepada LSF tentang kriteria lolosnya sebuah film. 
Dia mengatakan sudah lama prihatin dan kecewa terhadap film, tayangan TV dan bacaan 
yang penuh kekerasan dan pornografi.

Mantan Menteri Pemberdayaan Wanita itu mengatakan, semua tayangan tersebut tidak ada 
nilai-nilai pendidikan dan perilaku tata nilai kemasyarakatan.

Sementara Ketua LSF, Titi Said mengatakan bahwa film BCG sudah melalui tahapan sensor, 
tetapi tidak menyangka reaksi masyarakat luar biasa untuk menolaknya.

Dia mengatakan, dalam UU no 8 th 1992 pasal 31 disebutkan bahwa pemerintah dapat 
menarik suatu film bila dalam penayangannya mengganggu keteriban, ketenteraman dan 
keselarasan hidup masyarakat.

Titi mengatakan, LSF telah meluluskan film BCG dengan berbagai pertimbangan setelah 
ada pemotongan gambar. Pertimbangannya antara lain, karena film BCG hanya diputar di 
bioskop dengan batasan waktu, tempat dan juga adanya karcis masuk.

Pada akhir jumpa pers, Aa Gym mengajak seluruh masyarakat untuk ikut mendukung kerja 
Lembaga Sensor Film yang berisi pahlawan bangsa penjaga gawang moral.

Aa Gym menyatakan puas dengan pertemuan dengan pihak LSF, meskipun untuk mengubah 
suatu karakter bangsa tidak seperti membalikkan telapak tangan, karena dibutuhkan 
kerja sama semua pihak.

Dia berharap produser dan sutradara untuk mengevaluasi diri sehingga dapat mengambil 
keputusan untuk menarik filmnya tanpa harus diprotes oleh masyarakat. ant/aih


-
Do you Yahoo!?
New and Improved Yahoo! Mail - 100MB free storage!

[Non-text portions of this message have been removed]



 Yahoo! Groups Sponsor ~-- 
Make a clean sweep of pop-up ads. Yahoo! Companion Toolbar.
Now with Pop-Up Blocker. Get it for free!
http://us.click.yahoo.com/L5YrjA/eSIIAA/yQLSAA/BRUplB/TM
~- 

***
Berdikusi dg Santun  Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih 
Baik, in Commonality  Shared Destiny. www.ppi.4t.com
***
__
Mohon Perhatian:

1. 

[ppiindia] Peran Amerika dalam Perusakan Lingkungan Hidup

2004-08-16 Terurut Topik djunaedi sahrawi
Peran Amerika dalam Perusakan Lingkungan Hidup

Kunjungan Presiden Amerika ke Inggeris beberapa waktu
lalu, telah mendapat protes meluas para pendukung
lingkungan hidup. Berita ini sekali lagi menarik
perhatian opini umum mengenai peran Amerika dalam
perusakan lingkungan hidup. Realitas menunjukkan bahwa
tragedi dunia hampir terjadi karena adanya perubahan
kondisi air dan udara di muka bumi. Komisi lingkungan
hidup PBB telah mengingatkan tentang perubahan air dan
cuaca yang akan terjadi di muka bumi, di antaranya
peningkatan panas bumi selama enam derajat pada akhir
abad ini. 

Dampak dari kecepatan perubahan suhu bumi ini tidak
dapat diramalkan secara pasti, tetapi yang jelas,
masalah ini akan diikuti oleh perubahan-perubahan
kondisi yang berbahaya.  Misalnya, permukaan laut akan
menjadi tinggi, sehingga negara-negara yang terletak
lebih rendah dari permukaan laut akan tenggelam.
Taufan dan banjir juga akan lebih banyak terjadi.
Kemarau yang lebih parah dan lebih panjang akan
menyebabkan pertanian terganggu karena penyediaan air
terhambat. Kemarau juga akan menyebabkan berlakunya
migrasi penduduk besar-besaran dari desa ke kota-kota
besar, sehingga akan timbul masalah sosial di
perkotaan. 

Contoh lainnya, diramalkan pada pertengahan abad ini,
perubahan air dan udara akan menyebabkan keringnya
hutan Amazon dan hutan ini akan berubah menjadi padang
pasir. Masalah ini akan menyebabkan jutaan ton karbon
dioksida masuk ke atmosfer sehingga mengganggu
kesehatan umat manusia. Selain itu, ketika hutan-hutan
ini musnah, berbagai jenis tumbuh-tumbuhan dan hewan
akan turut punah. Menurut pandangan para pakar
lingkungan hidup, proses punahnya tumbuhan dan hewan
seperti yang kita saksikan hari ini, tidak ada
bandingnya sejak era kepunahan dinasaurus pada 65 juta
tahun yang lalu.

Ketika dunia sedang mengalami bahaya akibat perubahan
air dan udara, Amerika sebagai pelaku utama produksi
gas emisi rumah kaca di dunia justru menarik diri dari
usaha internasional dalam memerangi ancaman ini dan
membuat keputusan untuk melakukan apa saja bagi
kepentingan dirinya walaupun dengan mencemari dunia.
Penduduk Amerika yang merupakan lima persen dari total
populasi dunia, bertanggung jawab atas seperempat dari
karbon diaksida yang memenuhi dunia. Amerikalah yang
bertanggungjawab terhadap perubahan air dan udara.
Keputusan Amerika untuk menarik diri dari perjanjian
lingkungan hidup, yang disebut sebagai Perjanjian
Kyoto, telah menyebabkan para pemilik industri AS
terus melanjutkan proses pengeluaran gas karbon
diaksidanya. Statistik menunjukkan bahwa produksi gas
karbon diaksida dari seorang warga Amerika besarnya 17
kali lipat dari seorang warga India. 

Dengan lantangnya, pemerintahan Bush mengklaim bahwa
Protokol Kyoto yang menginginkan dikuranginya
pengeluaran gas beracun adalah tidak adil. Padahal,
selama empat dekade terakhir, jutaan manusia tewas
akibat perubahan udara dan air dan 99 persen di antara
mereka tinggal di negara miskin. Keluarnya Amerika
dari Protokol Kyoto ini diikuti pula dengan berbagai
akibat, di antaranya Russia pun ikut-ikutan menolak
untuk mengikuti perjanjian ini. Kini persoalan yang
timbul ialah apakah nasib perjanjian Kyoto ini?
Beberapa negara anggota Uni Eropa memang telah
menandatangani perjanjian ini, namun upaya mereka
untuk mengurangi pengeluaran gas emisi rumah kaca
tidaklah mencukupi. Sejak ditandatanganinya Protokol
Kyoto hingga kini, hanya setengah persen terjadi
pengurangan emisi rumah kaca, jauh dari target 8
persen yang telah ditetapkan. 

Artinya, pelaksanaan Protokol Kyoto selama ini masih
mengecewakan. Meskipun negara-negara dunia ketiga
dipaksa untuk melakukan berbagai upaya dalam
mengurangi pencemaran ini, namun, pencemaran tidak
akan berkurang selama negara-negara pelaku utama
pencemaran enggan melaksanakan perjanjian mereka.

Saudara pendengar, pembahasan perusakan lingkungan
hidup yang dilakukan oleh Amerika tidak terbatas
kepada penolakan mereka terhadap perjanjian Kyoto.
Hingga saat ini, Amerika terus menggunakan methyl
bromide yang merupakan bahan kimia perosak lapisan
ozon dan tidak memperdulikan hasil persidangan
mengenai pemeliharaan lapisan ozon yang diadakan oleh
PBB. Sebelumnya, AS pernah menyetujui pelarangan
penggunaan bahan ini. Namun kemudian, dengan alasan
pentingnya penggunaan bahan ini oleh para petani dalam
mencegah kerusakan tanaman, AS malah berencana
meningkatkan  pengunaannya hingga tahun 2005
mendatang.  Betapapun banyaknya protes yang diajukan
oleh berbagai negara, Amerika tetap tidak
memperdulikan perjanjian internasional dalam
pemeliharaan lapisan ozon yang disebut sebagai
Protokol Montreal itu.

Lapisan ozon semakin menipis dengan penggunaan bahan
kimia perusak seperti CFC. Tetapi, penggunaan Methyl
Bromide lebih memperparah lagi penipisan lapisan ozon
itu. Proses penipisan ozon kini semakin meningkat dan
mungkin saja akan menyebabkan lapisan ini tidak dapat
dikembalikan lagi ke bentuk aslinya. Dampak dari
penipisan ozon ini sangatlah mengerikan, yaitu