[ppiindia] May `98 Commemoration: Tuntaskan Segera Tragedi Mei 98

2005-06-02 Terurut Topik jonathangoeij
May `98 Commemoration: Tuntaskan Segera Tragedi Mei 98
Dilaporkan oleh: Team redaksi IM

 

Duarte, May 14, 2005/Indonesia Media - Pada hari Sabtu malam yang 
lalu, bertempat di Duarte Inn seperti kebiasaan tiap tahun ICAA 
bersama dengan majalah Indonesia Media mengadakan malam May '98 
Commemoration. Pembicara utama pada malam itu adalah Bapak. 
Christianto Wibisono yang khusus datang dari Washington DC untuk 
berbicara kepada komunitas Indonesia di Los Angeles ini. Pembicara 
lainnya yang tak kalah penting adalah Bpk. Jonathan Goeij, seorang 
pengamat budaya sosial yang membawakan kilas balik Tragedi Mei 
dengan menampilkan foto-foto menggunakan Power Point. Tampil sebagai 
moderator adalah Bpk. Adrianus Khoe salah seorang pengurus ICAA.

 
DR. Frits Hong
 
Acara diawali dengan sambutan DR. Fritz Hong, ketua umum ICAA. Pada 
sambutannya beliau mengatakan pentingnya May Commemoration diadakan 
setiap tahun agar tidak terjadi pelupaan sejarah, karena sejarah 
harus mencatat apa yang sebenarnya terjadi. dan untuk mencegah 
terulangnya kembali dimasa yang akan datang. Beliau mengemukakan 
contoh tentang usaha pemerintahan Jepang mengganti buku-buku 
pelajaran sejarah SD tentang kekejaman pasukan Jepang di Tiongkok, 
bila hal ini dilakukan akan menyebabkan generasi muda Jepang hanya 
akan menganggap pelanggaran HAM berat itu sebagai akibat perang, 
sehingga bisa terulang kembali dimasa yang akan datang. Pembelokan 
sejarah seperti yang baru-baru ini dilansir oleh Jepang seolah-olah 
tentara Jepang tidak pernah melakukan kekerasan dan pemerkosaan di 
Nanking telah mengundang protes keras dari masyarakat RRT,maka dari 
itu kami juga tidak ingin hal seperti Tragedi Mei '98 sirna begitu 
saja. Bahkan sampai sekarang pelaku-pelakunya tidak pernah 
terungkap, mudah-mudahan dalam pemerintahan Presiden SBY niat 
pemerintah untuk mengungkap kasus ini bisa diwujutkan.

 
Jonathan Goeij 
Kesempatan pertama diberikan kepada Jonathan Goeij yang membawakan 
kilas balik Tragedi Mei. Diawali dengan stigmatisasi "pribumi" 
dan "non pribumi" yang memberikan dikotomi sedemikian besarnya, 
suatu hal yang pada waktu itu "lumrah" menjadi anggapan umum betapa 
non pribumi "layak" menjadi sasaran pengrusakan dan penjarahan. 
Bahkan didapati juga non pribumi yang menuliskan kata-kata "pribumi" 
didepan rumah dan tempat usaha agar bisa terhindar dari sasaran 
pengrusakan. Dilanjutkan dengan penampilan foto-foto kerusuhan di 
Medan tgl 5 Mei 1998 dengan pengrusakan pada waktu itu adalah tempat-
tempat usaha komunitas Tionghoa.

Slide berlanjut dengan demonstrasi-demonstrasi mahasiswa, tampak 
pada salah satu foto seorang anggota pasukan huru hara yang memukul 
kepala seorang mahasiswa menggunakan popor bedil. Terlihat jelas 
sekali betapa banyaknya pasukan keamanan dalam menghadapi 
demonstrasi mahasiswa ini. Ditutup dengan foto sekelompok 
mahasiswa/i yang meraung dan meratap dengan pandangan mata kosong 
seakan tidak percaya kepada rekan-rekannya para bunga reformasi yang 
menjadi sasaran para "sniper" misterius. Korban pertama adalah 
Hendriawan Sie (20), Sie ditembak di leher pada saat korban berada 
didalam gerbang kampus. Sie meninggal dalam perjalanan kerumah 
sakit. Korban kedua, Elang Mulya Lesmana, ditembak di dada dan 
meninggal di kampus. Hafidhin Royan (21) ditembak dikepala dan 
meninggal dirumah sakit. Hery Hartanto (21) pada waktu berhenti 
untuk menyeka matanya yang penuh dengan gas air mata ditembak pada 
punggungnya dan mati dikampus. Menurut polisi, peluru yang digunakan 
menembak Hery Hartanto adalah 5.56 mm MU5 dari senapan Steyr AUG 
seperti yang digunakan oleh militer, polisi sendiri menggunakan MU4. 
(Sumber: Asiaweek 24 Juli 1998).

Sampailah pada foto-foto puing-puing bangunan dan juga kendaraan 
bermotor yang menjadi sasaran amuk. Suatu keanehan terjadi, para 
pasukan keamanan yang sedemikian banyaknya dalam menghadapi 
demonstrasi mahasiswa mendadak sontak hilang tak berbekas bagai 
ditelan awan. Bahkan panglima ABRI pada waktu itu juga tidak berada 
diibu kota hanya untuk menghadiri suatu upacara kecil 
diMalang. "Terjadi kekosongan aparat" kata Wiranto sesudahnya, 
tetapi sumber lain mengatakan para tentara berada dibarak. Slide 
berjalan terus dengan menampilkan "Modern Holocaust" foto-foto para 
korban yang tewas dibakar. Terdengar desahan tertahan para ibu yang 
tidak tega melihat foto-foto kekejamanan tiada tara ini. Pada salah 
satu foto ada tumpukan peti mati yang diberi nomer, ada sebuah peti 
mati yang bernomer 996 dan ada lainnya bernomer 1000. Dari sini saja 
dengan jelas terlihat korban dibakar lebih dari 1000 orang. Waktu 
itu para aparat pemerintah dalam penjelasannya mengatakan terjadi 
amuk masa disertai dengan pengrusakan dan penjarahan, dan pada 
kesempatan itu para "penjarah" mati terbakar. Korban dilabeli 
sebagai "pelaku penjarah."

 

Setelah kilas balik, penulis juga mengemukakan sebuah kenyataan 
adanya saling mendiskriminasi dimasyarakat Indonesia. Sebagai contoh 
misalnya panggil

[ppiindia] Re: Banned?

2005-05-28 Terurut Topik jonathangoeij
--- In ppiindia@yahoogroups.com, "Mario" <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
> halo bung samsul,
> 
> anda tidak kami ban. as we said repeatedly, kami tidak pernah memban 
> member. maksimum kami cuma memoderasi member yg postingnya dipandang 
> suka memancing sensitivity golongan agama lain.
> 
> bila anda tidak menerima postingan dari milis ini, ada dua 
> kemungkinan: satu, email anda diset 'nomail' atau email anda sedang 
> bouncing.
> 
> salam,
 
Menurut saya karena postingnya masuk, sedang kalau bouncing tidak bisa 
posting, tinggal satu kemungkinan: setting email "nomail"

JG




 Yahoo! Groups Sponsor ~--> 
Does he tell you he loves you when he's hitting you?
Abuse. Narrated by Halle Berry.
http://us.click.yahoo.com/aFQ_rC/isnJAA/E2hLAA/BRUplB/TM
~-> 

***
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.org
***
__
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 
4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
[EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
http://docs.yahoo.com/info/terms/
 




[ppiindia] May '98 riot (26): Kebangsaan Vs Kemanusiaan - Refleksi terhadap komisi rekonsiliasi Mei

2005-05-25 Terurut Topik jonathangoeij
Analisis Christianto Wibisono
Kebangsaan Vs Kemanusiaan

Presiden Clinton mendarat di Xian sebagai Presiden AS
pertama yang mengunjungi RRC sejak insiden Tiananmen,
pada saat intervensi bersama AS-Jepang, mencoba
mempertahankan nilai yen yang sedang merosot karena
stagnasi dan krisis ekonomi Jepang. Saya menyaksikan
jumpa pers duet Clinton-Jiang Zemin di Great Hall of
the People yang ditayangkan melalui CNN, Sabtu siang
waktu Beijing.

Salah satu pertanyaan wartawan ialah bagaimana
menjelaskan fenomena ambruknya yen dan intervensi
Washington Tokyo di satu pihak dan upaya serius
Beijing untuk mempertahankan nilai renminbi. Sebab
bila terjadi devaluasi renminbi, maka itu akan memicu
gelombang kedua depresiasi seluruh mata uang
Asia termasuk rupiah. Clinton menjawab bahwa
intervensi AS hanya sekadar faktor pendukung, dan
resesi ekonomi Jepang hanya bisa diatasi oleh Jepang
sendiri yang harus segera membenahi struktur
fundamentalnya yang kropos dan rawan.

Pertanyaan media lain tentang Dalai Lama dan Tibet
serta pembangkang Cina dijawab secara diplomatis oleh
Jiang. Pemerintah Cina tidak berkeberatan
berdialog dengan Dalai Lama, dengan syarat Dalai Lama
mengakui bahwa Tibet adalah bagian integral dari Cina.
Disindir pula oleh Jiang bahwa Dalai Lama
mewakili paham teokrasi, seperti Eropa sebelum Abad
Pertengahan dan Pra Reformasi ketika kekuasaan Gereja
atau Agama dan negara bercampur baur manunggal.
Kenyataan bahwa jumpa pers itu ditayangkan bebas tanpa
sensor di seluruh Cina juga ditekankan oleh CNN
sebagai terobosan Beijing dalam menyikapi arus gerakan
demokrasi di Cina.

Westphalia vs Washington

Menyaksikan jumpa pers Clinton Jiang Zemin kita
melihat dialog dua filosofi besar umat manusia yang
diwakili oleh negara terbesar dalam jumlah penduduk
dan negara terkuat dalam ekonomi politik bisnis
militer, RRC dan AS. Jiang Zemin mewakili bangsa dan
negara yang sudah berumur ribuan tahun yang selalu
merasa sebagai pusat dan kiblat dunia karena pernah
menjadi pusat imperium peradaban manusia selama
berabad-abad. Jiang Zemin juga mewakili ideologi
pengagum nationstate atau negara kebangsaan. Suatu
paham yang juga lahir di Barat, hasil Peace of
Westphalia tahun 1648 dengan semboyan right or wrong
my country.

Sementara Bill Clinton mewakili ideologi kemanusiaan
yang menjunjung tinggi hak asasi manusia melawan
dominasi absolut penguasa tunggal yang selama
berabad-abad, merupakan sistem politik yang bersifat
generik dan universal dimana pun dimuka bumi ini. AS
lahir karena individu anggota masyarakat tidak ingin
dikuasai oleh sistem politik sepihak yang mendikte
masyarakat yang senantiasa bisa salah dan memerlukan
koreksi terus-menerus secara transparan. Karena itu AS
menghormati oposisi, dissident dan perimbangan
serta pengawasan kekuasaan yang efektif untuk mencegah
dominasi negara oleh oknum dan klik oligarki tertentu
dengan dalih atau slogan muluk apapun.

Saya baru saja membaca buku 3d Milenum The Challenge
and the Vision, suatu produk dari kelompok seniman dan
cendekiawan global dalam wadah The Club of
Budapest yang diketuai Ervin Laszlo. Anggotanya 36
orang antara lain Dalai Lama, aktor Peter Ustinov,
konduktor Zubin Mehta, Inayat Khan dan Richard
von Weiszacker. The Club of Budapets berdiri tahun
1993 dan melihat mutlak perlunya pendekatan
multidisiplin dan sentuhan kepekaan etis kemanusiaan
dalam memasuki milenium ketiga. Laszlo yang adalah
gurubesar pada Yale, Princeton dan State University of
New York menyimpulkan bahwa paradigma lama
yang dipakai untuk menyikapi masa depan akan gagal.

Tidak mungkin kita mengelola dunia sekarang dengan
praduga dan konsep masa lalu betapa pun suksesnya
teori yang sudah membaku dan nyaris membeku dalam
otak generasi lama elite dunia. Harus ada terobosan ke
arah paradigma baru dimana dikap konservatif right or
wrong my country yang dimitoskan dan diberhalakan,
dirubah menjadi sifat proaktif menyongsong tantangan
globalisasi yang semakin akut.

Membaca Laszlo tidak perlu khawatir bahwa anda akan
menjadi liberal klasik, sebab Laszlo justru
mengintrodusir pola win-win solution ketimbang winner
takes all yang menjadi kiblat kaum liberal klasik
zaman Adam Smith. Saya rasa bagi orang yang sudah
melewati masa Keynes, tidak perlu menjadi
dogmatis bahwa liberalisme Barat itu identik dengan
homo homini lupus. Sebab sejak ditantang oleh Marxisme
dan Fasisme, liberalisme Barat sudah alih rupa dan
mawas diri menjadi liberalisme yang manusiawi,
menyegani intervensi negara dan publik. Demi tetap
memelihara kebebasan individu dari ancaman
pembajakan dan penindasan oleh golongan mana pun,
birokrasi dan aparatur negara. Maupun dari bisnis
maupun mobokrasi brutal kaum anarkis, teroris dan
fanatis primordial yang tidak mampu mengatasi naluri
biadab dan sifat kebinatangan yang rendah dalam diri
manusia beringas.

Pemikiran The Club of Budapest ini sangat diwarnai
oleh sentuhan etnis dan rasa estetika para seniman
budayawan yang mewakili pelbagai peradaban dan
latar belakang agama. Saya rasa The 

[ppiindia] May '98 riot (25): Apa Kabar Tragedi Mei 1998? - Ketika Korban Tak Jadi Inspiras

2005-05-24 Terurut Topik jonathangoeij
Apa Kabar Tragedi Mei 1998?
Oleh Benny G Setiono

TANGGAL 13-15 Mei 2004 ini genap enam tahun terjadinya
tragedi yang telah merusak sendi-sendi kehidupan
masyarakat Indonesia khususnya 
masyarakat Tionghoa. Tiga belas pasar, 2.479 ruko,40
mall,1.604 toko,45 bengkel,387 kantor, 9 SPBU, 8 bus
dan kendaraan umum lainnya, 1.119 mobil, 821 sepeda
motor dan 1.026 rumah tinggal habis dijarah, 
dirusak dan dibakar selama berlangsungnya aksi
anarkhis tersebut.

Yang paling menyedihkan, dalam tragedi itu terjadi
perkosaan massal terhadap puluhan kalau bukan ratusan
perempuan Tionghoa yang dilakukan secara brutal. Juga
terjadi pembunuhan sadis terhadap lebih dari seribu
orang rakyat kecil yang terdiri dari anak-anak, remaja
dan ibu-ibu rumah tangga yang berhasil diprovokasi
untuk menyerbu beberapa mal dan menjarah barang-barang
namun kemudian dikunci dan dibakar hidup-hidup oleh
para provokator, penggerak aksi-aksi 
anarkhis tersebut.

Tragedi itu merupakan tumbal yang sudah sejak lama
disiapkan oleh rezim tirani Orde Baru dalam upaya
mempertahankan kekuasaannya di saat-saat sekarat.
Berkat adanya kemajuan teknologi di bidang
telekomunikasi, dengan gamblang dan kasat mata jutaan
pemirsa di seluruh dunia melalui layar televisi
melihat secara langsung bagaimana aparat keamanan
tidak berbuat sesuatu apa pun untuk mencegah atau
membubarkan aksi-aksi anarkis itu. 

Semua itu menimbulkan kesan di masyarakat seakan-akan 
terjadinya "pembiaran" oleh aparat keamanan. Akibat
peristiwa itu, terjadi aksi-aksi demonstrasi di muka
Kedutaan atau Perwakilan Republik Indonesia di Amerika
Serikat, Eropa, Australia, Hong Kong, 
Taipei dan Beijing untuk memprotes kejadian itu. Sudah
tentu hal itu "mempromosikan" aib bangsa kita.


TGPF

Untuk meredamnya Presiden BJ Habibie membentuk Tim
Gabungan Pencari Fakta (TGPF) di bawah pimpinan
Marzuki Darusman SH dari Komnas HAM. Namun seperti
telah dapat diduga sebelumnya, seluruh hasil
penelitian yang berupa rekomendasi dari tim itu
ternyata tidak ditindaklanjuti oleh Kementerian
Kehakiman yang menerima berkas tersebut dan hilang 
begitu saja bagaikan debu ditiup angin.

Tragedi 13-15 Mei 1998 sangat menghentak etnis
Tionghoa di seluruh Indonesia dan menimbulkan
kesadaran bahwa selama ini mereka dipinggirkan dan
dibuat tidak berdaya. Sebagian besar hak-haknya 
sebagai warga negara telah dikebiri dan bersama PKI
selalu dijadikan kambing hitam dan objek pemerasan
para penguasa. Harkat sebagai bangsa dan etnis, bahkan
sebagai manusia telah dilecehkan. 

Satu-satunya kebebasan yang diberikan oleh penguasa
Orde Baru adalah di wilayah bisnis, tetapi tanpa
kebebasan politik hal tersebut menjadi tidak ada
artinya. Kekuatan ekonomi tanpa didukung oleh 
kekuatan politik menjadi sia-sia. Tragedi Mei itu
membuktikan bahwa dalam beberapa jam saja etnis
Tionghoa berhasil dibuat tidak berdaya dan putus asa.
Puluhan ribu etnis Tionghoa berdesak-desakan di bandar
udara berusaha menyelamatkan diri keluar negeri dengan
meninggalkan seluruh harta bendanya.

Tanggal 6 Maret 2003, Komnas HAM telah membentuk Tim
Ad Hoc Penyelidikan Peristiwa Kerusuhan Mei 1998 di
bawah pimpinan Salahuddin Wahid yang telah
menyelesaikan tugasnya dengan menyerahkan seluruh
hasil penyelidikannya, yaitu Berita Acara (BAP) yang
bersifat pro justicia kepada pihak penyidik, yaitu
Kejaksaan Agung. Namun kembali hingga saat ini tidak
ada kabar berita apakah hasil penyelidikan tersebut
akan ditindak lanjuti sesuai dengan Undang-
Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM atau
mungkin akan di petieskan saja.


Akan Dilupakan?

Memasuki tahun ketujuh peristiwa menyedihkan itu, kita
tampaknya terjebak dalam hiruk-pikuk Pemilu, baik
Pemilu legislatif maupun Pemilu Presiden dan Wakil
Presiden sehingga melupakan Tragedi Mei 
1998. Sungguh menggembirakan bahwa dalam Pemilu
legislatif yang lalu hampir dua ratus orang dari
kalangan etnis Tionghoa yang turut mengambil bagian
menjadi Caleg dari berbagai parpol baik untuk DPR 
maupun DPRD, walaupun hanya beberapa orang saja yang
berhasil lolos. Tapi apakah semuanya ini cukup
memberikan alasan bagi kita agar kita melupakan begitu
saja tragedi yang telah merendahkan martabat bangsa
kita ?

Bangsa Indonesia termasuk etnis Tionghoa tampaknya
adalah bangsa yang mudah melupakan kejadian-kejadian
yang telah menimbulkan penderitaan dan mencoreng
mukanya sendiri di dunia internasional. Seiring 
dengan "membaiknya" keadaan ekonomi, kita telah
terjebak dalam rutinitas kehidupan sehari-hari dan
telah melupakan tragedi tersebut. Bandingkan dengan
kejadian "The Rape of Nanking" yang hingga saat ini 
tidak pernah dan tidak akan pernah dilupakan rakyat
Tiongkok.

Lembaran hitam dalam sejarah yang menyedihkan dan
memalukan tersebut tampaknya telah benar-benar akan
ditutup dan tidak perlu dibuka kembali. Ada usaha dari
sementara kalangan etnis Tionghoa sendiri 
yang bermaksud melupakan kejadian kelam tersebut
dengan alasan kita tidak boleh melihat ke belakang dan
harus melihat ke depan. Untuk itulah perlu didirikan

[ppiindia] May '98 riot (24): Wiranto harus diusut

2005-05-23 Terurut Topik jonathangoeij
SURYA, Jumat, 14 Mei 2004

Kivlan Zein: Wiranto harus diusut

Jakarta, Surya - Mantan Kaskostrad Mayjen TNI (Purn)
Kivlan Zein meminta agar mantan Panglima TNI Jenderal
(Purn) Wiranto segera diusut dalam kasus 'pembiaran'
saat kerusuhan 14 Mei 1998 yang disebut tragedi
Trisakti. Sebab, Wiranto sudah tahu ada kerusuhan di 
ibukota, tetapi Panglima TNI saat itu enak saja
meninggalkan Jakarta.

"Ini pembiaran yang sengaja dilakukan oleh Wiranto,
sehingga ibukota menjadi rusuh. Mestinya Panglima TNI
harus ada di Jakarta mengambil alih komando," tegas
orang dekat Prabowo Subianto di Jakarta, Kamis 
(13/5). Pernyataan Kivlan itu dibantah mantan kasum
TNI Letjen (Purn) Suaidy Marasabessy selaku Direktur
Strategi Tim Sukses Wiranto yang menilai pernyataan
Mayjen TNI (Purn) Kivlan Zen ngawur. "Itu kan 
ngawur. Dia tidak pada level untuk bermain seperti
itu. Itu bermain politik kotor. Kivlan Zein itu
digunakan oleh orang lain," tegas orang dekat Wiranto
itu. Kivlan Zein mengungkapkan, waktu situasi rusuh 12
Mei 1998 malam di Trisakti, Panglima TNI Wiranto tidak
memerintahkan pasukan untuk berada di Jakarta.
Pangkostrad Prabowo kemudian berinisiatif sendiri
membantu Pangdam Jaya dengan mendatangkan pasukan dari
Karawang, Cilodong, Makassar, dan Malang, untuk
membantu Kodam. "Tapi tidak diberi bantuan pesawat 
Hercules oleh Wiranto, sehingga mencarter sendiri
pesawat Garuda dan Mandala," ungkapnya. Sebenarnya,
pada 13 Mei malam Wiranto memimpin rapat Garnisun
Jakarta untuk menanyakan situasi terakhir. Mestinya, 
Kasum TNI Fahrur Razi saat itu yang sudah ditunjuk
oleh Pangksotrad untuk menjadi Irup acara di Malang,
Jatim, te-tapi diambil-alih oleh Wiranto. Pada 14 Mei
Wiranto berangkat ke Malang menjadi Irup serah 
terima PPRC Divisi I ke Divisi II. "Ini sebenarnya
acara rutin yang bisa ditinggalkan. Masak situasi
ibukota terjadi kerusuhan, malah ditinggal ke Malang
dengan mengajak komandan-komandan seperti Danjen
Kopassus, Komandan Marinir dan lainnya," paparnya.
Padahal, menurutnya, keadaan Jakarta sudah rusuh dan
kacau balau, Wiranto malah pergi. "Jadi, apa dia
takut, atau sengaja dibiarkan? Kok dibiarkan kacau.
Pembiaran ini yang harus diusut," tegas mantan 
Kaskostrad. Kalau ibukota kacau, lanjut dia, mestinya
komando diambil- alih oleh Panglima TNI. Namun, pada
14 Mei pukul 7 pagi hari Wiranto malah ke Malang untuk
menjadi Irup serah terima PPRC. "Jadi, ada 
pembiaran selama dua hari oleh Panglima TNI Wiranto
ketika itu. Ini harus diusut," serunya. menurut
Kivlan, sebenarnya Pangkostrad Prabowo hanya membantu
keamanan ibukota, dan itupun atas permintaan 
Pangdam yang mendapat perintah dari Mabes TNI. "Jadi,
inisiatif Prabowo itu bukan kudeta, tapi membantu
pengamanan ibukota. Artinya, harus diusut pembiaran
yang dilakukan Wiranto selaku Panglima TNI 
saat itu," pintanya. Kenapa saat itu tidak juga pernah
diusut? menurut Kivlan, karena Panglima TNI-nya masih
tetap saja Wiranto dan Menteri Kehakimannya Muladi
yang juga kubu Wiranto. "Anehnya, kubu 
Wiranto lantas mengarahkan kesalahan kepada Prabowo
yang mengakibatkan kerusuhan," tuturnya. Padahal,
jelas dia, saat itu Prabowo bertindak atas permintaan
para tokoh masyarakat, yang saat itu melakukan
pertemuan di Makostrad dengan Adnan Buyung Nasution, 
Setiawan Djodi, Bambang Widjoyanto, WS Rendra, Fahmi
Idris dan lain-lain. "Mereka meminta kepada Prabowo
agar Pangkostrad ini mengambil alih mengamankan
keadaan ibukota. Tapi semula Prabowo tidak mau 
karena bukan tugasnya, melainkan tugas Mabes TNI.
Karena atas saran-saran dan desakan para tokoh
masyarakat tersebut, maka Pangkostrad bergerak.
Anehnya, kini kubu Wiranto menuduhkan bahwa Prabowo
yang bikin rusuh. Padahal, dia diminta bantuan Kodam
untuk mengamankan ibukota. Jadi, Prabowo telah
difitnah," tegas Mayjen (Purn) Kivlan. Orang dekat
Prabowo, Fadli Zon menyatakan, Wiranto harus
bertanggung jawab atas kerusuhan Mei 1998. "Sebab, dia
telah melakukan pembiaran. Tanpa alasan jelas,
menjelang 7 Mei 1998 Wiranto berkeras pergi ke 
Malang. Padahal, pada 4 Mei Wiranto pergi ke Medan
untuk mengatasi kerusuhan dan berhasil. "Jadi, ada
kontradiksi, karena tanggal 4 Mei dia mengaku pergi ke
Medan untuk mengurus kerusuhan di sana," 
ungkapnya. Sementara Prabowo selaku Pangkostrad, kata
Fadli, tidak bisa turun tangan langsung karena hanya
bertugas membantu pengamanan. Prabowo yang mengaku
baru mendengar kerusuhan sekitar pukul 20.00 WIB 
kemudian berinisiatif akan mengerahkan pasukan untuk
menghentikan kerusuhan sistematis dan penjarahan
toko-toko. "Tapi, Panglima TNI melalui Kasum Fahrur
Razi melarang pengerahan pasukan untuk membantu 
Kodam Jaya," sambungnya.

Kivlan ngawur
Mantan Kasum TNI Letjen (Purn) Suaidy Marasabessy
selaku Direktur Strategi Tim Sukses Wiranto
menjelaskan mengenai Wiranto meninggalkan 
Jakarta dan pergi ke Malang untuk serah terima
pengalihan Divisi I ke Divisi II Kostrad, menurut
Suaidy, tak perlu dipersoalkan. "Itupun hanya
berlangsung tiga jam. Saya waktu itu memang ikut Ke
Malang. Tapi kan masih

[ppiindia] May '98 riot (23): United Nations - Raped Chinese women intimidated to shut them

2005-05-22 Terurut Topik jonathangoeij
03/24/99, AFP
Raped Chinese women intimidated to shut them up: UN 

GENEVA, March 24 (AFP) - Chinese women raped during
last year's disturbances in Indonesia have been
threatened in order to shut them up, a United Nations
investigator reported Wednesday. Radhika Coomaraswamy,
special reporter to the UN human rights commission,
said she was convinced despite police denials that
there were mass rapes including gang rapes during the
riots. 

The Indonesian army had only rarely intervened against
violence towards the Chinese minority, she said. 

None of the 85 victims of sexual assault including 52
rape cases, with whom the special reporter spoke
during an investigation in Indonesia, had filed
charges, she said in her report on violence against
women submitted Wednesday to the UN human rights
panel's annual session here. 

The victims had received death threats and anonymous
letters warning them against filing charges. They had
also received photographs of their own rapes,
accompanied by a warning that the pictures would be
widely distributed if the women dared to speak up,
Coomaraswamy added. 

The reporter called on the authorities at the highest
level in Indonesia to introduce a witness protection
programme, and have those who had allegedly issued the
threats brought to book. 

"Otherwise the legitimate process of politics and
governance will always be subverted by shadowy forces
who rule civil society through the use of terror," Mrs
Coomaraswamy insisted. 

She described how certain officials in Indonesia had
made light of the threatening letters even although
17-year-old Ita Martadinata Haryonu, daughter of a
women's rights activist, had been brutally murdered at
her home in Djakarta after receiving death threats and
anonymous letters. 

The reporter said she had been unable to establish
exactly how many women had been raped during the
violence in Indonesia which culminated in the
resignation of President Suharto. 

"The Chinese community appears to be terrorised by the
events," she added. 

According to the non-governmental organisation
Volunteers for Humanitarian Causes, 1,190 were killed
in Djakarta and 168 women were the victims of gang
rapes. 


--
INDONESIA 

Victims of rape last year told to keep mum, says UN 
Anonymous letters -- some accompanied by photographs
-- warning against filing charges sent to victims to
silence them, says UN investigator 
The Straits Times Interactive MAR 26 1999 

GENEVA -- Chinese women raped during last year's
disturbances in Indonesia have been threatened in
order to shut them up, according to a United Nations
investigator. 

Mrs Radhika Coomaraswamy, special rapporteur to the UN
Human Rights Commission, said that despite police
denials, she was convinced that there were mass rapes
including gang rapes during the riots. 

The Indonesian army rarely intervened in cases of
violence towards the Chinese minority, she added. 

None of the 85 victims of sexual assault with whom the
special rapporteur spoke during an investigation in
Indonesia, had filed charges, she said in her report
on violence against women submitted on Wednesday to
the UN human-rights panel's annual session here. 

The victims had received death threats and anonymous
letters warning them against filing charges. 

They had also received photographs of their own rapes,
accompanied by a warning that the pictures would be
distributed if the women dared to speak up, Mrs
Coomaraswamy added. 

The rapporteur called on the authorities at the
highest level in Indonesia to introduce a witness-
protection programme, and have those who had allegedly
issued the threats brought to book. 

"Otherwise the legitimate process of politics and
governance will always be subverted by shadowy forces
who rule civil society through the use of terror." 

She described how certain Indonesian officials had
made light of the threatening letters even though
17-year-old Ita Martadinata Haryonu, daughter of a
women's rights activist, had been brutally murdered at
her home in Jakarta after receiving death threats and
anonymous letters. 

The rapporteur said she had been unable to establish
exactly how many women had been raped during the
violence in Indonesia which culminated in the
resignation of President Suharto. 

"The Chinese community appears to be terrorised by the
events," she added. 

According to the non-governmental organisation
Volunteers For Humanitarian Causes, 1,190 people were
killed in Jakarta and 168 women were the victims of
gang rapes. AFP 

Copyright © 1999 Singapore Press Holdings Ltd. All
rights reserved. 






 Yahoo! Groups Sponsor ~--> 
What would our lives be like without music, dance, and theater?
Donate or volunteer in the arts today at Network for Good!
http://us.click.yahoo.com/MCfFmA/SOnJAA/E2hLAA/BRUplB/TM
~-> 

***
Ber

[ppiindia] May '98 riot (21): Mereka yang Coba Dilumpuhkan

2005-05-20 Terurut Topik jonathangoeij
Mereka yang Coba Dilumpuhkan
Ekonomi Politik Kekerasan dan Korban di Indonesia
(Tim Relawan untuk Kemanusiaan- Hilmar Farid*)

 

Pergantian rezim di Indonesia ditandai dengan
gelombang kekerasan yang meluas di berbagai daerah.
Suratkabar lokal yang biasanya menunggu berita `panas'
tentang konflik dan perang dari Jakarta atau luar
negeri, kini mengisi halaman-halamannya dengan berita
pembunuhan, penganiayaan, pengungsian dan tindak
kekerasan lain dengan segala akibat dari daerahnya
sendiri. Tindak kekerasan, baik yang dilakukan oleh
aparat negara atau sesama warga tidak hanya berhenti
di kota-kota besar, tapi menjangkau daerah-daerah yang
selama sekian dekade dianggap sebagai wilayah aman dan
tenteram, seperti Tasikmalaya dan Rengasdengklok di
Jawa Barat atau Banjarmasin di Kalimantan Selatan.
Elit politik seperti kehabisan kata-kata, dan hanya
bermain-main dan saling tuding dengan istilah
`provokator' atau `dalang'. Ada juga yang mengatakan
bahwa bangsa Indonesia memang masih terbelakang dan
sedang sakit sehingga menjadi biadab. 

Dalam laporan hak asasi manusia, tulisan para peneliti
maupun diskusi politik, korban biasanya hanya disebut
sebagai deret angka yang tak bernama. Dalam
penghancuran Timor Lorosae misalnya para aktivis
terlibat dalam perdebatan sengit dengan pejabat
pemerintah Indonesia mengenai jumlah orang yang tewas.
Nama-nama pada korban dicatat atau dihapus untuk
membuktikan bahwa yang terjadi sepanjang tahun lalu
itu adalah kejahatan terhadap kemanusiaan atau
sebaliknya. Hal yang sama berlaku dalam pembicaraan
mengenai Aceh, Ambon, Kalimantan Barat, Lombok, Papua
dan tempat-tempat lain yang dilanda gelombang
kekerasan itu. Korban dianggap sebagai entitas abstrak
yang seolah tak punya sejarah (dan masa depan), yang
muncul tiba-tiba ketika peristiwa kekerasan terjadi.
Cara pandang ini bukan hanya menghalangi terbentuknya
pemahaman yang menyeluruh tentang rangkaian peristiwa
kekerasan, tapi juga bisa menghasilkan konsep
`penyelesaian' yang justru menyesatkan. 

Tulisan ini bukan hendak menawarkan romantisme
`menderita bersama korban' atau `mewakili suara
korban', tapi membawa korban ke dalam analisis untuk
mendapat gambaran yang lebih menyeluruh tentang
kekerasan dan konflik. Dalam hal ini biografi para
korban, narasi dan mekanisme yang mereka bangun ketika
menghadapi peristiwa kekerasan menjadi penting untuk
memberi wajah pada catatan statistik dan analisis
politik yang kadang kala begitu kering, serta melihat
konsep seperti pemulihan, rekonsiliasi dan
rekonstruksi secara kritis. 

I

Sejarah Orde Baru adalah sejarah kekerasan. Dimulai
dengan pembantaian terhadap sekitar satu juta orang
anggota, pendukung maupun orang yang dituduh terlibat
PKI dan puluhan organisasi massa yang berafiliasi pada
partai itu, Orde Baru tumbuh sebagai rezim yang
menggunakan kekerasan untuk menghadapi setiap bentuk
perlawanan dan kekacauan. Selama 32 tahun berkuasa,
ada berbagai kasus pembunuhan massal, seperti di Timor
Lorosae sejak tahun 1975, pembunuhan misterius
kalangan preman tahun 1983-84, Aceh, Papua, Lampung,
Tanjung Priok, dan ribuan eksekusi di tempat terhadap
rakyat miskin yang melanggar sistem pemilikan pribadi
dengan mencuri karena program pembangunan Orde Baru
merampas sumber penghidupan mereka. Dengan intensitas
dan jumlah korban yang begitu banyak, pembunuhan dan
tindak kekerasan bukan lagi rangkaian `kasus' atau
`insiden', tapi menjadi cara Orde Baru untuk
memerintah dan mempertahankan kekuasaannya. Para
perwira TNI yang terlibat dalam rangkaian pembunuhan
itu tidak pernah menunjukkan penyesalan dan melihat
tindakan mereka sudah tepat, baik dari segi prosedur
militer maupun secara politik. 

Catatan sejarah ini kerap dilupakan ketika berbicara
tentang gelombang kekerasan yang terjadi beberapa
tahun terakhir dan membuat para pengamat cenderung
mencari-cari unsur `provokator' atau `dalang' dan
mengabaikan kekerasan sebagai bagian dari kebijakan
negara. Sejak awal tahun 1990-an rezim Orde Baru dalam
keadaan lemah, kehilangan legitimasinya di kalangan
rakyat, dan oleh proses liberalisasi ekonomi didesak
untuk melepaskan kontrolnya di berbagai bidang
kehidupan, terkecuali politik dan militer. Ketika
krisis ekonomi terjadi lembaga-lembaga negara tidak
mampu berbuat banyak – dan memang tidak bermaksud –
untuk membantu jutaan orang yang dipecat dan jutaan
lainnya yang makin terbenam dalam kemiskinan. Sistem
kesejahteraan sosial yang sejak semula sudah lemah
semakin porak-poranda dan program `pemulihan' dari IMF
dan Bank Dunia. Oportunisme politik merajalela dan
para elit politik sibuk membangun kekuatannya
sendiri-sendiri melalui jaringan etnik, agama dan
keluarga dan mencari hubungan dengan kaum reformis di
semua lapisan, di pusat maupun daerah.
Perubahan-perubahan inilah yang menjadi landasan bagi
maraknya manipulasi politik antar etnik, agama dan
warga di kampung-kampung, dan paling penting
mobilisasi ribuan orang untuk terlibat dalam berbagai
peristiwa kekerasan. 

II

Berdasarkan data terbatas yang 

[ppiindia] May '98 riot (20): Harus Kembali Membangun Keindonesiaan

2005-05-19 Terurut Topik jonathangoeij
Kompas, Sabtu 29 Agustus 1998 

Harus Kembali Membangun Keindonesiaan 
Oleh Novita Estiti 

SAYA orang Indonesia asli, begitu disebutkan. Bukan,
saya bukan Tionghoa. Saya wanita Jawa asli, muslim,
yang biasanya disebut pribumi; bukan Tionghoa. Lalu
kenapa? Kenapa kalau saya bukan Tionghoa? Apa itu
pribumi? Siapa itu pribumi? 

Sejak masa kerusuhan sampai sekarang, saya menjalani
hidup seperti biasa. Makan, minum, jalan-jalan dengan
teman. Mau ke mana pun saya suka, saya bisa. Saya
tidak takut, 'kan Jakarta sudah aman. Yah, walau
memang, hidup agak susahlah sedikit; harus berhemat,
maklum sedang ada krisis moneter yang lebih dikenal
dengan krismon. Tapi semua orang juga begitu, harus
berhemat. Semua orang? 

Sungguh tidak adil bahwa saya masih tenang-tenang
menjalani hidup saya seperti tidak pernah terjadi
apa-apa. Padahal sementara itu ada begitu banyak orang
yang bukan saja tidak menjalani kehidupan biasanya,
bahkan tidak punya hidup lagi walaupun mungkin tidak
mati. Tapi bisa jadi juga merasa lebih baik mati. 

Bagaimana saya bisa begitu bodoh selama ini? Saya
telah tumbuh dan dibesarkan di antara makhluk buas.
Dan saya tidak tahu. Saya kira saya orang paling
beruntung di dunia, hidup di tempat yang paling aman,
damai, tenteram, dan sentosa. Itu seperti kata ibu dan
bapak guru waktu di sekolahan dulu; yang saya sungguh
percaya. 

Walaupun pernah ketika kecil dulu saya masih di
Semarang ikut orangtua, tahun 1980, bertanya-tanya apa
maksud tulisan "pribumi" di banyak pintu rumah
penduduk. Kata ibu, itu supaya aman, tidak dikira
Tionghoa. Saya tetap tak mengerti penjelasan ibu,
tetapi mengangguk-angguk tak berani tanya lebih jauh.
Lalu sekolah diliburkan tiba-tiba lewat pengumuman di
TV dan surat kabar. Tentu saja saya senang, buat bocah
kelas 3 SD, bisa mendapat libur tiba-tiba adalah suatu
anugerah yang mahal. 

Tapi waktu masuk lagi, salah seorang teman saya sibuk
bercerita tentang bagaimana ia dan keluarganya
melarikan diri dan bersembunyi dari sekelompok pribumi
yang mengamuk. Pribumi, lagi-lagi pribumi, kejam
sekali mereka itu, para pribumi, begitu pikir saya.
Moga-moga saya tidak pernah bertemu dengan salah
seorang pribumi itu. Bodoh ya, kelas 3 SD waktu itu
saya belum tahu persis makna istilah tersebut. 

Lama..., lama saya baru memahami kalau saya adalah
salah seorang dari kelompok menakutkan tersebut,
karena ternyata saya pribumi. Karena ibu-bapak saya
pribumi, eyang-eyang saya pribumi, buyut dan
seterusnya pribumi. Dan karena Jawa itu pribumi. Juga
Batak, Minang, Manado, dan lain-lain semua pribumi.
Yang tidak pribumi cuma satu; cuma Tionghoa. Absurd. 

Untuk pembauran, Tionghoa harus ganti nama. Jangan A
Liang atau Li Ling. Itu tidak boleh! Tidak pembauran!
Dan akhirnya mereka menciptakan nama-nama baru, yang
kadang teramat bagus, dan nama marga mereka jadi
kabur, tercerabut dari akar budaya. 

Ada pula yang punya dua nama, yang satu nama 'resmi',
yang lainnya diletakkan dalam kurung (nama kecil).
Terkurung, seperti hidup yang harus mereka jalani.
Terkurung birokrasi, terkurung keegoisan manusia lain
yang menyombongkan kemayoritasannya. Terkurung di
tanah yang indah berhiaskan nyiur melambai. 

*** 

MAAFKAN saya, karena tidak tahu harus bagaimana.
Maafkan saya, karena tidak tahu harus berbuat apa.
Maafkan saya, karena telah menutup mata karena tak
tega menyaksikan. 

Berulang kali saya mencoba, tapi tangan saya selalu
terlalu gemetar untuk memutar nomor-nomor telepon
teman-teman saya itu. Bagaimana kalau kabar buruk yang
saya dengar? Bagaimana kalau ia tak ada lagi... entah
ke mana, bagaimana kalau ia terlalu menderita?
Sanggupkah saya menolong? Apa yang bisa dilakukan
setelah semua kehancuran ini? 

Wanita-wanita dipermalukan dan dilecehkan. Hidup macam
apa yang bisa dijalani setelah itu (kalau masih ada
hidup), saya tak sanggup, tak kuat untuk membayangkan.
Dan bisa jadi salah seorang dari mereka adalah teman
saya. Bisa jadi salah satu teman saya yang sering
jalan bareng, yang selalu saya cintai dan hargai. 

Saya sudah muak dengan segala berita politik dan
reformasi yang tiap hari kini didengung-dengungkan
semua orang. Sekarang semua orang angkat bicara,
berapi-api dan bersemangat bagaikan pejuang
kemerdekaan dahulu. 

Sekarang begitu banyak pengamat ekonomi, politik, dan
sosial, yang begitu cemerlang mengemukakan ide-ide ini
dan itunya. Para pemberani seakan lahir bersamaan di
muka bumi Nusantara ini, menyuarakan suara rakyat
kecil (dan siapa sih rakyat kecil itu, apakah saya
termasuk di dalamnya?). Di mana mereka, para pemberani
itu, tiga-empat bulan yang lalu? Apakah mereka sedang
tertidur pulas dibuai angin sepoi-sepoi di bawah nyiur
hijau di tepi pantai yang indah permai hasil
pembangunan? 

Apa pun yang terjadi kini, buat sebagian orang, sudah
tak ada artinya lagi. 

*** 

SEJARAH menyatakan, penduduk Indonesia datang dari
daratan Tionghoa berabad-abad yang silam. Kemudian
beberapa puluh tahun lalu, kerabat-kerabatnya menyusul
dari Tionghoa. 

Tapi tidak; tidak bisa disebut demikian! K

[ppiindia] May '98 riot (19): Pernyataan Sikap Paguyuban Korban dan Keluarga Korban

2005-05-18 Terurut Topik jonathangoeij
Pernyataan Sikap Paguyuban Korban dan Keluarga Korban
13-14 Mei 1998

Tujuh tahun sudah peristiwa 13 – 14 Mei berlalu,
peristiwa yang hanya menyisakan derita dan kepedihan
bagi para korban serta trauma bagi masyarakat luas.
Tak seorang pun manusia yang berakal dan jiwa sehat
ingin kejadian seperti itu terulang kembali. Peristiwa
Mei 1998 menambah panjang daftar tindakan tidak
beradab yang terjadi di Indonesia sejak Orde Baru
berkuasa. 

Sedikitnya 1.190 orang hangus di/terbakar di dalam mal
dan pertokoan di seluruh Jakarta. Lebih dari seratus
perempuan – yang umumnya berasal dari Etnis Tionghoa –
diperkosa dan dilecehkan secara seksual, ribuan orang
kehilangan harta dan sumber ekonomi mereka.

Ketika luka dan air mata para korban belum kering,
para penguasa mengatakan bahwa peristiwa Mei 1998
adalah kerusuhan massal yang bersifat horisontal, yang
disebabkan oleh krisis ekonomi dan penembakan
mahasiswa Universitas Trisakti. Mereka menyatakan
bahwa "Anti Cina" dan "Penjarahan" adalah tema utama
dari peristiwa 13 – 14 Mei 1998. Dan para korban
diposisikan sebagai pelaku dengan label "penjarah". 

Namun, hasil penyelidikan Tim Gabungan Pencari Fakta
(TGPF) dan Tim Ad-Hoc Penyelidik Pelanggaran HAM
Tragedi Mei `98 justru mengatakan sebaliknya: "Bahwa
peristiwa 13-14 Mei merupakan kerusuhan sistematis,
terorganisir dan terencana."

Berdasarkan fakta-fakta yang kami peroleh dan temuan T
G P F, serta Tim Ad-Hoc Penyelidik Pelanggaran HAM
Tragedi Mei `98, kami Paguyuban Korban dan Keluarga
Korban 13-14 Mei 1998 serta segenap korban pelanggaran
HAM lainnya menyatakan:
1. Bahwa Peristiwa 13-14 Mei 1998 bukan kerusuhan
horisontal yang didasarkan pada kebencian terhadap
etnis Cina.
2. Bahwa sentimen anti Cina hanya digunakan sebagai
pemicu untuk menggerakan masyarakat sipil yang
kemudian justru menjadi korban.
3. Menolak segala bentuk upaya dari pihak manapun yang
ingin menggiring opini masyarakat terhadap peristiwa
13-14 Mei 1998 ke arah konflik horisontal. 
4. Menuntut pemerintah untuk melakukan upaya-upaya
agar peristiwa serupa atau peristiwa kekerasan lainnya
tidak terulang kembali.
5. Menuntut agar pemerintah menindaklanjuti
Rekomendasi TGPF dan KPP-HAM Tragedi Mei 1998 serta
menyelenggarakan sistem peradilan yang memenuhi rasa
keadilan bagi para korban.
6. Mendesak pemerintah untuk segera memberikan
rehabilitasi kepada seluruh korban pelanggaran HAM. 

Jakarta 13 Mei 2005

Paguyuban Korban dan Keluarga Korban 13-14 Mei 1998
serta Korban Pelanggaran HAM Lainnya

http://www.timrelawan.org/comments.php?id=98_0_1_0_C

--
Puisi: Tragedi Mei 1998
Jakarta waktu itu
Asap hitam pekat mengepul
menutupi langit yang biru

Si raja api berkobar terus
Melahap manusia di dalam gedung itu
Mereka tidak berdosa!
Kemanakah keamanan waktu itu?!

Terdengar tangisan ibu, bapak, anak, adik, kakak
Terdengar jeritan ibu, bapak, anak, adik, kakak
lenyap sudah hangus terbakar

Kenapa ini harus terjadi
Siapa yang harus bertanggung jawab
semua bungkam

Air mata dimana-mana
Air mata membasahi sudah
tapi, air mata adalah tanda bahwa kita manusia

Geraka kemanusiaan tumbuh dimana-mana
Berjuang membela hak asasi manusia
Marilah kawan-kawan kita berjuang terus
Untuk menuntut keadilan
Dengan Sebuah kata
"Rakyat Bersatu tak bisa dikalahkan"

20 April 2005

Ruwiyati Darwin

http://www.timrelawan.org/comments.php?id=96_0_1_0_C

--
PERNYATAAN SIKAP
PAGUYUBAN KELUARGA KORBAN TRAGEDI 13-15 MEI 1998


Pada hari ini, kami Paguyuban Keluarga Korban Tragedi
13-15 Mei 1998 memperingati 6 tahun peristiwa tragis
tersebut. Masa yang sangat berat bagi para keluarga
korban untuk dilewati dengan menanggung beban duka,
trauma, kemarahan, pelupaan dari negara, stigmatisasi
penjarah, dan hal-hal lain yang tidak dapat kami
ucapkan dengan kata-kata. Bukan hal yang mudah bagi
kami untuk melupakan sebuah peristiwa yang telah
merenggut jiwa anak-anak dan keluarga kami. Ingatan
tentang hancurnya nilai-nilai kemanusian pada bulan
mei 1998 tidak akan hilang.



Kerusuhan yang terjadi pada 13 - 15 Mei 1998 merupakan
satu kerusuhan yang sangat terencana. Data Tim Relawan
untuk Kemanusiaan (TRK) menyebutkan bahwa 1.207 korban
jiwa (meninggal) akibat senjata maupun dibakar, korban
luka/sakit 91 orang, 31 orang korban hilang, dan 168
orang korban perkosaan, dan kerugian material yang
tidak sedikit. Sangat disayangkan, ada beberapa pihak
yang mencoba mengalihkan kerusuhan ini menjadi satu
peristiwa kerusuhan rasial. Ironisnya, hal tersebut
mendapatkan dukungan dari para pejabat
publik.



Hari ini, kami pun memperingati enam tahun Tragedi Mei
1998 tidak lagi dengan rasa duka. Semangat persatuan
yang telah kami bangun menjadi pembakar semangat kami
untuk terus memperjuangkan kebenaran
dan keadilan. Berbagai peristiwa kekerasan yang
menimpa sahabat kami di Ambon, Aceh dan Papua telah
menegaskan bahwa penguasa masih menggunakan cara-cara
kekerasan. Para penguasa juga berusaha menggusur
sahabat-sahabat kami di berbagai tempat demi
kepentingan modal semata. Semua peristiwa ini lakukan
d

[ppiindia] May '98 riot (18): Semakin Sulit Mendapatkan Keadilan

2005-05-17 Terurut Topik jonathangoeij
ARTIKEL 

20 Februari 2005 23:12:15 
Perempuan Korban Perkosaan Tragedi Mei `98 Semakin
Sulit Mendapatkan Keadilan 

Perempuan Korban Perkosaan Tragedi Mei `98 Semakin
Sulit Mendapatkan Keadilan

Perempuan yang menjadi korban perkosaan pada tragedi
Mei 98 lalu, semakin lama bukannya semakin mendapat
titik terang untuk mendapatkan keadilan. Para korban
ini justru semakin mendapatkan awan pekat karena kasus
perkosaan yang mereka terima semakin gelap.
Persoalannya bukannya kasus ini tidak bisa
diungkapkan, namun komitmen untuk membongkar persoalan
ini yang tidak ada, sehingga keadilan untuk para
korban perkosaan ini memang benar-benar buram.
Sementara itu pada satu sisi Kejaksaan pihak yang
mempunyai kewenangan semakin tidak mampu dan tidak
mempunyai komitmen untuk terus mengusut kasus ini. 

Maria Hartiningsih, wartawati senior Harian Kompas
cukup pesimisme untuk mendapatkan keadilan bagi
perempuan korban perkosaan. Hal ini disampaikannya
dalam diskusi dan pelucuran Buku "Menatap wajah
Korban" yang diterbitkan oleh Solidaritas Nusa Bangsa,
Kontras, IKOHI, APHI dan FKKM'98 di Hotel Sahid Jaya
Jakarta, Kamis (17/02/05). Menurut Maria, dengan
semakin banyaknya tuntutan akan bukti, saksi yang
selalu menjadi alasan pihak penyelidik, untuk
mengungkap kasus perkosaan Mei, 98, maka perkosaan Mei
tidak mungkin akan bisa terbongkar. Persoalannya ini
semakin pelik karena tidak ada saksi yang mau memberi
kesaksian, karena takut akan ancaman karena lemahnya
perlindungan bagi saksi. 

Menurut Maria, Tragedi Mei juga meninggalkan kejahatan
serius yang disengaja dengan terjadinya perkosaan
massal terhadap perempuan etnis Tionghoa. "Kejahatan
ini oleh beberapa pihak sengaja "dihadapkan" dengan
korban yang dikatakan sebagai "penjarah" itu. Korban
yang dihancurkan dan dirampas harta bendanya, yang
sebagian besar adalah etnis Tionghoa, juga ditempatkan
pada sisi yang berbeda. Penghadap-hadapan ini membuat
orang mengambil kesimpulan pintas, bahwa tragedi Mei
adalah kerusuhan berbasis ras. Kesimpulan dengan mudah
sekali dipatahkan karena saya menemukan beberapa orang
Tionghoa miskin yang juga menjadi korban,"kata Maria. 

Di Tambahkannya "Dengan menghadap-hadapkan seluruh
korban kita melihat dengan jelas modus yang hendak
digunakan oleh penguasa untuk memecah belah kekuatan
korban: isu rasisme, isu klasisme dan kekerasan
berbasis gender. Pada hemat saya, semua isu ini ada di
dalam bongkahan isu besar bernama kejahatan terhadap
kemanusiaan. Saya kira inilah yang harus terus menerus
diingatkan kepada seluruh korban dan keluarga
korban,"ujar Maria. 

Semakin kaburnya upaya pengungkapan korban perkosaan
tragedi 98 sampai saat ini, dapat pula disebabkan oleh
pers yang gagal waktu itu hingga sekarang dalam
mengungkap sejumlah fakta tentang kasus tersebut. Hal
ini seperti yang diungkap oleh Stanley, analis media
dari ISAI (Institute Studi Arus Informasi). Menurut
Stanley, "pers tidak mempunyai kekuatan atau tidak
mampu untuk mengungkap sejumlah kasus yang terjadi
pada tragedi Mei 98. Pers tidak memberi kontribusi
terhadap pengungkapan sejumlah korban kerushan Mei,98,
"ujar Stanley. "Seluruh bangunan dan pola kerja media
massa sama sekali belum kokoh dan andal. Media
ternyata tidak memiliki kemampuan mempraktekkan
jurnalisme omongan. Ketakutan akan imbauan dan tekanan
semasa Orde Baru masih membayang, "ujar Stanley. 

Ketidakmampuan pers dalam mengungkap kasus perkosaan
ini juga terjadi pada media yang cukup besar seperti
Tempo, meskipun kemudian Tempo mencoba membuat laporan
yang berpihak kepada korban perkosaan. Waktu itu
menurut Stanley, Tempo sempat tidak percaya dengan
adanya pemerkosaan, dengan mengutip laporan Sidney
Jones yang meragukan adanya tindakan perkosaan kepada
perempuan etnis Tionghoa pada tragedi Mei 98 lalu.
"Kegagalan mencari dan menyingkap fakta ini
menimbulkan kefrustasian media dan kalangan wartawan
yang kemudian dimanfaatkan oleh pejabat pemerintah
dengan melemparkan berbagai pernyataan untuk
menjadikan "fakta" yang terjadi hanya sebuah "kabar
Bohong, "ujar Stanley. 

Kemudian, siapakah yang mesti berperan dan
bertanggungjawab dalam upaya mengungkap tragedi Mei 98
ini? Usman Hamid Koordinator Kontras menegaskan bahwa
pengungkapan tragedi tersebut tidak terlepas dari
peran negara. Menurut Usman Negara adalah pihak yang
paling bertanggungjawab atas tragedi Mei 98 tersebut.
Namun demikian tidak terungkapnya sejumlah kasus dalam
tragedi Mei 98 hingga saat ini, dikarenakan negara
memang tidak mempunyai komitmen untuk mengungkap kasus
ini. 

Menurut Usman yang terjadi adalah ketakutan secara
politik pemerintahan sekarang untuk membongkar
kasus-kasus tersebut. Kalau kasus tragedi Mei `98
diungkap maka akan membongkar konspirasi politik elit
waktu itu dan akan menimbulkan resistensi kepada
pemerintahan sekarang. 

Sementara itu, pemerintahan sekarang kebutuhannya
adalah sebuah status quo tidak mau pemerintahannya
yang baru berjalan akan digoyang secara politik. Dari
kondisi ini maka yang terjadi adalah sebuah pertukaran
k

[ppiindia] May '98 riot (17): "Aku Melihat Anakku Terbakar"

2005-05-16 Terurut Topik jonathangoeij
"Aku Melihat Anakku Terbakar" 

24/4/2003 19:21 — Tragedi Mei 1998 tak bisa dihapus
dari kenangan Inah Subiyanto. Karena huru hara itu
telah memakan korban anaknya sendiri yang terpanggang
di Plaza Klender, Jakarta Timur.

Liputan6.com, Jakarta: Kerusuhan Mei 1998 masih
menyisakan luka mendalam bagi sebagian orang atau
keluarga. Bahkan luka itu tak bisa dihapus, seperti
yang dirasakan Inah Subiyanto, warga Duren Sawit,
Jakarta Timur. Gunawan (12), sang anak, ikut
terpanggang dalam amuk massa di Plaza Yogya Klender.
Tragisnya Inah melihat sendiri anaknya meregang nyawa
di gedung tersebut.

Menurut Inah kepada SCTV, baru-baru ini, Gunawan
awalnya hanya ingin menyaksikan penjarahan yang
terjadi di pusat perbelanjaan yang jaraknya sekitar
800 meter dari rumahnya. Gunawan ke sana tidak
sendirian melainkan bersama temannya. Belakangan Inah
khawatir dengan nasib anaknya dan menyusul ke lokasi
penjarahan.

Saat itu Inah sudah tak mendapatkan anaknya di sekitar
areal parkir. Inah yakin anaknya telah ikut bersama
temannya ke lantai atas. Namun, Inah tiba-tiba
mengurungkan niatnya menapaki lantai yang lebih tinggi
karena terdengar teriakan: "Bakar... Bakar"
Bahkan, orang yang berteriak-teriak tersebut membawa
jeriken bensin. Saat itu Inah hanya sampai lantai tiga
dan suasananya sudah gelap.

Setelah turun, Inah benar-benar melihat situasi yang
sangat memilukan. Api tiba-tiba menjalar dengan cepat.
Jeritan dan teriakan minta tolong terdengar
melengking. Banyak anak-anak yang loncat dari
ketinggian tertentu dan akhirnya mati karena badannya
remuk atau kepalanya pecah.

Inah benar-benar hancur hatinya ketika melihat seorang
anak di lantai atas yang menggedor-gedor kaca meminta
tolong. Anak itu terus berteriak-teriak meminta
tolong. Inah yakin bocah itu adalah anaknya. "Ya,
Allah itu kali anak saya," ratap Inah, mengenang.

Yakin putranya telah tewas terbakar, Inah dan kelurga
kemudian berupaya mencari jenazah Gunawan ke Rumah
Sakit Cipto Mangunkusumo. Di antara ratusan mayat yang
hangus terbakar, Inah melihat mayat yang memakai
celana dan ikat pinggang persis milik Gunawan. Namun
ia tidak yakin mayat itu adalah jasad anaknya.

Kini bayangan Gunawan terus menghinggapi keseharian
Inah. Bahkan gara-gara kehilangan anaknya itu Inah
sampai sakit selama tiga bulan. Inah ingin menutup
rapat-rapat kenangan pahit itu, namun bayangan Gunawan
dan Tragedi Mei 1998 itu kerap hadir.(YYT/Aldi Yarman
dan Zakaria)

http://www.liputan6.com/fullnews/53501.html

--
Renungan Malam Mengenang Tragedi Mei `98 Digelar 

11/5/2004 23:40 — Hujan deras yang mengguyur tidak
menghentikan niat keluarga korban kerusuhan Mei 1998
menggelar acara renungan di TPU Pondok Rangon, Jaktim.
Besok mereka akan berdoa bersama di Plaza Klender.

Liputan6.com, Jakarta: Keluarga korban Tragedi Mei `98
menggelar acara tabur bunga di Tempat Pemakaman Umum
Pondok Rangon, Jakarta Timur, Selasa (11/5) malam.
Peringatan peristiwa Mei 1998 memang selalu
dilaksanakan untuk mengenang para korban yang tewas
dalam insiden berdarah tersebut. Tahun ini, acara
peringatan diberi judul "Malam Kebudayaan dan Tabur
Bunga untuk Korban Tragedi Mei". Meski diiringi
guyuran hujan, acara tetap berlangsung khidmat. 

Acara dimulai dengan tabur bunga di makam para korban.
Lantas, semua peserta mengikuti renungan malam yang
dilanjutkan dengan pidato singkat dari masing-masing
keluarga korban. Dari pernyataan yang dibacakan
tergambar kekecewaan mereka terhadap sikap pemerintah
yang terkesan melupakan kasus Mei `98. Padahal insiden
tersebut banyak menelan korban jiwa. Rencananya,
mereka akan kembali menggelar doa bersama di Kompleks
Plaza Klender, Jaktim, besok. Di lokasi itu, korban
tewas paling banyak ditemukan. 

Sekadar mengingatkan, lembaran hitam sejarah Indonesia
tersebut memang terjadi enam tahun silam. Ketika itu,
kekacauan melanda Jakarta. Aksi anarkis, penjarahan,
pembakaran, hingga pembunuhan merajalela. Seluruh
kejadian tersebut berawal dari insiden di Kampus
Trisakti, Grogol, Jakarta Barat, setelah mahasiswa
terlibat bentrokan dengan tentara dan polisi. Suasana
memanas. Mahasiswa yang diburu tentara berusaha
menyelamatkan diri masuk ke Kompleks Universitas
Trisakti. Tapi, aparat terus mengejar sampai akhirnya
diketahui enam mahasiswa tewas diterjang peluru. 

Bak api disiram bensin, masyarakat terprovokasi
melihat insiden di Kampus Trisakti. Buntutnya massa
merusak, membakar, dan menjarah pertokoan. Polisi dan
tentara mengaku kesulitan meredam amuk massa yang
berlangsung selama dua hari tersebut. Padahal,
belakangan diketahui ratusan terjebak di dalam gedung
yang terbakar, termasuk di Plaza Klender [baca: "Aku
Melihat Anakku Terbakar"]. 

Selain peristiwa tersebut, beredar kabar juga terjadi
tindak kekerasan kepada etnis keturunan Cina. Mereka
diperkosa dan dibunuh. Jumlahnya tak pasti. Yang
jelas, cerita buram ini hendak dikaburkan. Buktinya,
para pejabat yang notabene saat itu bertanggung jawab
atas kasus ini bungkam. Dan, mereka saling melempar
wewenang [baca: Jejak Trage

[ppiindia] May '98 riot (16): Pemelintiran fakta

2005-05-15 Terurut Topik jonathangoeij
Kompas, Surat Pembaca, 28/8/98

Penjelasan Taiwan

Berita pada harian Kompas tanggal 27 Agustus 1998,
halaman 11 yang menyatakan bahwa "11 LSM Taiwan
menyimpulkan bahwa Anda (pemerintah) dikerjain karena
tidak ada bukti-bukti nyata yang ditemukan dalam
dugaan adanya aksi pemerkosaan etnis Tionghoa", tidak
sesuai dengan pernyataan sebenarnya.

Kedatangan kelompok wanita dari Taiwan yang dipimpin
oleh pengacara Wang Ching-Feng pada tanggal 2-5
Agustus 1998 adalah karena rasa peduli terhadap
korban-korban kerusuhan pertengahan Mei. Mereka
bertemu dengan Menperta (Tuty Alawiyah), Wakil Ketua
Komnas HAM (Marzuki Darusman) dan Ketua Umum PBNU
(Abdurrahman Wahid). Mereka menyatakan bahwa, "Kami
tidak bertemu dengan korban, tapi berdasarkan
informasi dari Bpk Gus Dur, ada 108 kasus dan 20 di
antaranya meninggal," Pernyataan tentang "Mereka tidak
bertemu dengan korban dan menyimpulkan Anda
(pemerintah) dikerjain" adalah tidak benar. Taipei
Economic and Trade Office

Berita pada harian Kompas tanggal 27 Agustus 1998,
halaman 11 yang menyatakan bahwa "11 LSM Taiwan
menyimpulkan bahwa Anda (pemerintah) dikerjain karena
tidak ada bukti-bukti nyata yang ditemukan dalam
dugaan adanya aksi pemerkosaan etnis Tionghoa", tidak
sesuai dengan pernyataan sebenarnya.

Kedatangan kelompok wanita dari Taiwan yang dipimpin
oleh pengacara Wang Ching-Feng pada tanggal 2-5
Agustus 1998 adalah karena rasa peduli terhadap
korban-korban kerusuhan pertengahan Mei. Mereka
bertemu dengan Menperta (Tuty Alawiyah), Wakil Ketua
Komnas HAM (Marzuki Darusman) dan Ketua Umum PBNU
(Abdurrahman Wahid). Mereka menyatakan bahwa, "Kami
tidak bertemu dengan korban, tapi berdasarkan
informasi dari Bpk Gus Dur, ada 108 kasus dan 20 di
antaranya meninggal," Pernyataan tentang "Mereka tidak
bertemu dengan korban dan menyimpulkan Anda
(pemerintah) dikerjain" adalah tidak benar.

Taipei Economic and Trade Office

--
KOMPAS TERNYATA TAK HARGAI HAK JAWAB

JAKARTA (SiaR, 3/9/98), Harian KOMPAS ternyata tak
sepenuhnya menghormati hak jawab. Penyataan yang
dikeluarkan Kantor Dagang dan Ekonomi Pemerintah
Taipei (Taipei Economic and Trade Office) yang
mewakili 11 LSM Taiwan kemudian dimuat dalam Kompas
edisi Jumat, 28 Agustus 1998 itu ternyata
disunat habis.

Padahal sanggahan itu dibuat perwakilan resmi
Pemerintah Taiwan sebagai tanggapan atas dimuatnya
pernyataan Pangab Wiranto dan Menpen M. Yunus
Yosfiah oleh Harian KOMPAS dengan mengutip ucapan
Yunus yang mengatakan bahwa menurut penuturan delegasi
LSM Taiwan, "Pemerintah Anda telah dikerjain ...".

Sejumlah pengamat pers dan aktivis LSM yang ditemui
SiaR menuturkan, bahwa pihaknya prihatin pada hal ini,
apalagi terjadi pada KOMPAS. "Seharusnya
koran sekaliber KOMPAS kan harus melakukan cross-check
ke delegasi LSM atau perwakilan Taiwan sebelum
menurunkan berita yang bernuansa kepentingan
politik seperti itu. Kan seharusnya, di era reformasi,
kecenderungan asal kutip omongan pejabat sebagai
kebenaran seperti pada era Soeharto sudah
harus dihapus," ujar seorang aktivis LSM yang tak mau
disebut namanya karena merasa dekat dengan KOMPAS.

"Hak jawab sebetulnya harus diberikan di halaman yang
cukup mencolok, tak bisa disembunyikan sebagai surat
pembaca. Boleh diedit dan diperbaiki bahasanya, tapi
tak boleh disunat habis. Harus diberikan ruang yang
cukup untuknya," ujar pengamat pers.

Sumber yang lain mengatakan, agaknya KOMPAS memang
takut memberitakan bantahan terhadap Pangab Wiranto
dan Menpen Yunus Yosfiah, apalagi ketika belakangan
pemerintah RI kelabakan menbendung gencarnya tekanan
masyarakat dan lembaga internasional mengenai
perkosaan massal terhadap perempuan keturunan Cina di
Jakarta, Suranbaya, Solo dan Medan beberapa waktu
lalu.

"Kompas dan grupnya kan sudah dihajar berkali-kali.
Mulai dari kasus tabloid Monitor, majalah Senang,
tabloid Citra, kasus Aljazair dalam pemberitaan
Kompas dan belakangan Majalah Jakarta-Jakarta. Jadi
harap maklum lah, kalau sampai saat ini semua pimpinan
kami masih terus tiarap," ujar sebuah sumber
di lingkungan Gramedia.***

Berikut ini adalah pernyataan lengkap Kantor Dagang
dan Ekonomi Pemerintah Taipei yang dikirimkan ke
KOMPAS:


PERNYATAAN URGENT

PROTES KERAS TERHADAP PEMBERITAAN HARIAN KOMPAS YANG
SALAH

Lembaga LSM Taiwan yang terdiri dari "Taipei Woman's
Rescue Foundation", "Li-Shing Foundation", "End Child
Prostitution Association Taiwan", "Taiwan Human Rights
Association" dan pengacara Wang Ching-Feng yang
membentuk "Rombongan kunjungan ke Indonesia dalam
rangka rasa peduli pada para korban perkosaan"
menanggapi pemberitaan Harian Kompas pada tgl. 27
Agustus 1998 yang mengatakan bahwa "Berkenaan dengan
peristiwa perkosaan terhadap etnis Tionghoa yang
terjadi pada bulan Mei yang lalu, LSM Taiwan
menyimpulkan pemerintah Indonesia telah dikerjain
karena mereka tidak menemukan korban perkosaan..."
adalah tidak benar, dengan ini kami menyangkal adanya
pernyataan tersebut dan memberi pernyataan sebagai
berikut:

Berdasarkan 

[ppiindia] May '98 riot (15): CATATAN YANG TERSISA SEKITAR 14 MEI

2005-05-14 Terurut Topik jonathangoeij
CATATAN YANG TERSISA SEKITAR 14 MEI

Kerusuhan sekitar pertengahan Mei 1998 lalu masih
menyisakan penggalan-penggalan kisah dan pengalaman
hidup yang membekas di hati. Jakarta mendadak dilanda
kepanikan dan amuk massa yang diikuti pembakaran dan
penjarahan toko. Inilah bagian dari kisah-kisah yang
tercecer saat itu. 

Kalau menurut perhitungan Cap Ji Shio, tahun 1998 ini
disebut "Tahun Macan Melintas Gunung". Gambaran
peristiwanya menjadi begitu menyeramkan karena tahun
itu diberi makna sebagai tahun penuh bahaya!

Seperti dikutip Intisari Desember 1997, dalam tulisan
berjudul "Tahun 1998 Makin Memprihatinkan", sejumlah
paranormal menguraikan berbagai ramalannya tentang
situasi dan peristiwa yang mungkin terjadi pada Tahun
Macan ini. Di antaranya ada yang menyinggung kondisi
politik di tanah air yang makin berat dan panas.

Betul! (Atau kebetulan?) Tak sampai lima bulan sejak
diterbitkan, ramalan sejumlah paranormal itu menjadi
kenyataan. Situasi politik yang terus memanas akibat
krisis moneter sejak Juli 1997 mencapai puncaknya
setelah kasus penembakan yang menewaskan empat orang
mahasiswa Universitas Trisakti Jakarta pada 12 Mei
1998.

Tidak berhenti di situ, dua hari setelah tragedi
berdarah itu meledaklah berbagai kerusuhan dan
penjarahan yang diikuti pembakaran oleh massa terhadap
bangunan pertokoan dan fasilitas umum lainnya di
berbagai sudut ibu kota. Mimpi buruk yang berlangsung
selama dua hari itu tak pelak membuat kegiatan
sebagian besar warga ibu kota dan sekitarnya praktis
terhenti. Angkutan umum nyaris tak ada yang
beroperasi. Para pekerja maupun karyawan mengalami
kesulitan mencapai rumah masing-masing. Begitu pun
yang menggunakan kendaraan pribadi mengingat kerusuhan
di titik-titik tertentu masih berlangsung, termasuk di
beberapa ruas jalan tol. Kepanikan merambat ke
mana-mana.

Cerita pengalaman sejumlah pekerja maupun karyawan
yang berusaha pulang ke rumah dari tempat kerjanya
pada Kamis, 14 Mei 1998, ketika terjadinya berbagai
kerusuhan di Jakarta, mungkin memperkaya gambaran
betapa tindakan orang-orang yang tidak bertanggung
jawab itu menyengsarakan banyak orang.

Bau tikus
"Pulang dari kantor pada hari Kamis itu saya dihadang
beberapa kali oleh anak-anak muda yang memberi isyarat
agar saya tidak meneruskan perjalanan, tapi kembali
dan memilih jalan lain. 'Ada demo!' kata salah
seorang," cerita Slamet yang hendak pulang ke rumahnya
di kawasan Jakarta Selatan.

Selama menuju ke Kompleks Perumahan Pertanian melalui
"jalan tikus", Slamet "kagum" betapa banyak orang
turun ke jalan yang sepi. Mereka berkerumun di
mulut-mulut gang seperti sedang menunggu sesuatu. Di
pertigaan Jl. Gatot Subroto dan Jl. Rasamala, ia
dimintai uang. Caranya meminta dengan bahasa Tarzan,
hanya dengan melambaikan tangan yang menggenggam
segepok uang. "Karena saya tidak mau merugi beberapa
ratus ribu rupiah kalau mobil diperbaiki di bengkel
karena dirusak, saya relakan Rp 1.000,- untuk pungli,"
katanya sambil menambahkan, sebelumnya ia mendengar
ada mobil yang dirusak hanya karena penumpangnya tidak
mau memberi pungli cepekan.

Yang bikin ia makin terheran-heran, setiba di rumahnya
di belakang pasar swalayan Hero itu, ia melihat banyak
orang yang mendorong trolley lewat di jalan depan
rumahnya. Isinya barang jarahan dari Hero.

Pasar swalayan itu tidak hanya dijarah isinya, tapi
juga dibakar sesudahnya. Asap hitam yang tebal
mengepul dari tempat gedung Hero yang sudah dijarah.
"Ketika api makin membesar, penghuni kompleks yang
paling dekat rumahnya dengan Hero panik dan mengungsi
karena khawatir kalau api menjalar ke rumah mereka,"
cerita Slamet.

Api ternyata dapat dikuasai dan dipadamkan. Para
penghuni malam itu kembali ke rumah masing-masing,
tetapi esok malamnya disiksa bau tikus yang
merajalela.

"Ini bukan tikus!" komentar salah seorang penghuni.
"Masak Hero ada tikusnya. Mungkin itu bau mayat yang
terbakar dan tidak ada yang mengurus!"

Sampai tiga hari lamanya bau tikus, atau bangkai, atau
mungkin juga bangkai tikus, itu meneror penghuni
kompleks belakang Hero. Sesudah itu tidak berbau lagi.
"Mungkin bangkai sudah disingkirkan, tapi di
koran-koran tidak ada berita tentang mayat tikus di
gudang Hero," tuturnya.

Dua hari sesudah kerusuhan, bertiup kabar bahwa
perusuh atau penjarah akan mengalihkan operasinya ke
perumahan penduduk. Kepanikan pun mulai merasuki
segenap penghuni kompleks-kompleks perumahan.

"Pada 16 Mei saya mendapat telepon dari keponakan saya
bahwa malam itu Jakarta Selatan akan kedatangan
gerombolan perusuh atau penjarah dari Bogor melalui
Depok dan mereka dikerahkan dengan tiga truk. Saudara
saya menambahkan, saat itu rumah-rumah di Lenteng
Agung sudah dilempari batu dan ia meminta kami
besiap-siap, termasuk mengumpulkan surat-surat
berharga, apa saja, untuk diamankan," cerita Slamet.

Tak pelak seluruh keluarganya jadi panik. Pintu pagar
halaman depan rumahnya lantas digembok sore-sore,
garasi ditutup rapat, dan pintu rumah selain dikunci
dan digembok juga diganjal dengan penghalang berupa

[ppiindia] May '98 riot (14): Huru-hara Pertengahan Mei

2005-05-13 Terurut Topik jonathangoeij
Huru-hara Pertengahan Mei

TIDAK ada hari ini, juga tak ada hari esok bagi
masalah pengambinghitaman keturunan Cina di Indonesia.
Yang ada hanyalah kemarin, yang berulang lagi terus
menerus setiap masa. Persoalannya selalu sama, itu-itu
juga. Dalam kerusuhan apa pun, warga keturunan Cina
akan menjadi korban sasaran amukan rakyat banyak.
Bakar, kejar, rampok, jarah, dan viktimisasi etnis
Cina sudah menjadi pola, hampir di sepanjang sejarah
bangsa ini, mulai dari abad ke-18 di zaman kolonial
dulu. Terakhir, menyusul peristiwa penembakan
mahasiswa Trisakti, tanggal 13 ,14, dan 15 Mei, di
Jakarta, semacam holocaust skala Melayu terjadi:
penjarahan dan penghangusan ratusan bangunan milik
"non-pribumi" diikuti dengan keberingasan dan
pemerkosaan yang bukan saja melanggar perikemanusiaan,
tetapi juga di luar semua ajaran masyarakat yang
beradab. 
Bagaimana kita harus menghadapi "masalah Cina"
Indonesia ini? Retorika tidak bisa banyak menolong.
Setiap selesai keributan anti-Cina, ratusan kertas
prasaran untuk diskusi dan seminar dibuat; yayasan,
asosiasi, atau badan-badan kontak, komunikasi, usaha
asimilasi, dan sejenisnya didirikan--terutama sejak
peristiwa 10 Mei 1963 di Bandung. Tetapi, tak urung,
pada Mei 1998, di Medan, Jakarta, dan Solo, peristiwa
sama terulang lagi, dalam ukuran yang jauh lebih
besar. Apa yang salah? 

Satu hal yang pasti tidak berguna kalau ingin mencari
jalan keluar ialah mempertahankan kemunafikan. Istilah
Cina saja, misalnya, telah dijadikan isu yang rumit
karena dianggap mengandung makna makian yang
merendahkan, derogatori. Karenanya, akhir-akhir ini
warga keturunan lebih senang memakai sebutan "cainis"
(dari bahasa Inggris Chinese, yang artinya orang Cina
juga). Sebaliknya, dari kalangan keturunan Cina bukan
tidak ada sebutan derogatori yang dialamatkan bagi
warga pribumi, ti-ko misalnya, yang arti harfiahnya
berasosiasi dengan makhluk bukan manusia. Atau, hwa-na
yang artinya orang asing, dengan konotasi berbudaya
kasar. Jadi, harus diakui, memandang dengan stereotip
dan berprasangka etnis itu memang bukan cuma jalan
satu arah. Ada prasangka, ada ketegangan. Ketegangan
yang tak tersalur bisa jadi ledakan. 

Bagaimana caranya menerima kenyataan adanya prasangka
timbal-balik dalam masyarakat kita ini? Ada cara
gampang, ada cara yang kompleks. Yang tidak ingin
bersusah-susah tidak merasa perlu memikirkan jalan
untuk menghapus prasangka dan perbedaan, atau
mengusahakan pembauran. Perbedaan ini tidak perlu
dihapus karena memang tak mungkin berubah. Tetapi
sekalipun begitu, bagi Pak Harto dan Mbak Tutut ketika
masih berkuasa, warga keturunan Cina adalah kelompok
yang wajib memberi sumbangan--kalau tidak ingin
mengalami kesulitan hubungan antaretnis nantinya.
Dengan kata lain, kalau mau selamat dari risiko
ledakan ketegangan, bayarlah. Sederhana saja. Dan,
memang itu tidak terlalu salah rupanya. Dalam
huru-hara penjarahan dan penghangusan 14 Mei yang lalu
di Jakarta, kompleks Pondok Indah dan Kelapa Gading
sama sekali tidak tersentuh sedikit pun. Konon
kabarnya karena penghuni kompleks itu cukup membayar
pasukan keamanan. Kesimpulannya: korban tak terjadi
atau bisa dibatasi kalau ada perlindungan. Tetapi,
kalau harus dibeli, itu semacam diskriminasi juga,
karena hanya yang punya uang yang bisa dilindungi. 

Sama di Muka Hukum 

Yang lebih kompleks pendekatannya mencoba memasukkan
aspek sosiohistorikal kedudukan warga keturunan Cina
di Indonesia. Selama ratusan tahun telah terjadi
migrasi dari utara dan pemukiman orang-orang
Cina--semacam invasi diam-diam dan berangsur-angsur
yang tak mungkin diputar balik lagi--bukan saja di
sini, tetapi meluas di seluruh kawasan Asia Tenggara.
Di setiap wilayah, yang sekarang masing-masing telah
berbentuk negara, semacam eksistensi bersama antara
keturunan Cina dan penduduk "asli" telah berlangsung.
Tidak semuanya berjalan lancar, apalagi bebas dari
ketegangan. Tetapi, tak ada pilihan lain. Di tempat
yang pembaurannya kurang berhasil, seperti di sini,
suatu andalan untuk mengatur kehidupan bersama ialah
melalui hukum. Jelasnya: persamaan kedudukan di depan
hukum. Tetapi, di sini justru letak kompleksitas
masalahnya: apakah hukum mampu melindungi? 

Hukum berjalan ketika hak dihargai. Akan halnya hak
adalah sesuatu yang harus diperjuangkan dengan
sungguh-sungguh. Dengan kata lain, hukum hanya mampu
berfungsi kalau pasal-pasal peraturannya didesak untuk
dijalankan. Persamaan hak sipil bagi kulit hitam di
Amerika Serikat tahun 1960-an dicapai dengan
perjuangan sengit dan memiliki deretan martir
pemimpinnya: mulai dari Martin Luther King sampai
Malcolm X. Terbayangkah, misalnya, ada gerakan massal
warga keturunan Cina, dibantu oleh warga lain yang
berpikiran maju di Indonesia, menuntut agar pemerintah
yang lalu dihukum karena melakukan, mengatur, dan
membiarkan praktik-praktik diskriminasi terhadap warga
negaranya selama ini? 

Untuk kali ini, kita tidak perlu menggunakan
pendekatan yang kompleks maupun yang menggampangkan.
Tetapi, di antara keduanya yakni tida

[ppiindia] May '98 riot (13): Eyewitness reports of riots and looting

2005-05-12 Terurut Topik jonathangoeij
Eyewitness reports of riots and looting 

News online has received e-mails from many parts of
Indonesia detailing individual perspectives on recent
events. 

Bobby, Indonesia
I am a British citizen my wife is Chinese and we have
two children. I have lived here for almost 10 years. I
witnessed what I would say one of the worst events of
my life. I live in the north of Jakarta. The rioters
were on the main roads in front of where I live and to
the left and right, an area of only a few hundred
yards. Terrifying. I witnessed two smiling policemen
on a motor bike carrying, what was obviously a looted
TV. That is how mad this country is. This morning we
had nine army personnel carriers, with about 50
soldiers parked outside our house, having lunch. This
is not why I came and have made my home in this
beautiful country to see. 

Lucelly, East Java
I'm a really Javanese, live in east of Java. I'm a
totally jobless for 6 years. Sometime I feel so
despair but i always try not too emotional facing this
life. I know indonesian youth can do the same thing
i've done. Brutality should not be tolerated by anyone


Just look the sad mother crying the dead body of her
son. Isn't it an illustration that what have been
happened only caused worst tragedy among us? I have an
advise to others that live in lavish lifestyles, just
don't act in a way that only causes jealousy to the
poor. 

Student, Christianto PB Silitonga
I am a Trisakti University student who was at the
location when the so called law enforcement shot and
killed my fellow colleagues. The act of those law
enforcers can not be an act of human but rather an act
of lower than animal. They even shot our girl students
under white flag who tried to get home ! 

Now their death become meaningless for the Indonesian
people destroy themselves. The goverment, although not
directly, is accusing that student protest starts all
the riots in Indonesia. If only people knew that we,
the student, are fighting for all Indonesian, natives
or not, for we know that the greatness of this country
lies in her people. 

I, my self encourage all Indonesian in the world to
give support to our struggles. We are not going to
stop to fight, until the number one trouble maker, the
President (or King ?) is stepping down. 

I also encourage that all Indonesian student outside
the country, to wear black ribbon at upper left arm as
a symbol or national mourning of the death of our
student heroes. 

>From ethnic Chinese, Medan
We've been thru hell these few days ... in the second
day of the riot , the looters and robbers came within
1 km from my house and everyone was so scared !  

You see the scale of the riot was so big that the
authorities just couldn't cope with it, for the first
few days. And on top of that , having to adhere to the
'principles' of Human Rights, they couldn't do any
harm to the rioters which were in fact out not to
demonstrate with the students but to rob and loot -
they could only fire warning shots in the air ...so
the rioters went on their rampage as if no police and
army were present , by first breaking down locked
doors of shophouses and then started looting and in
some bad cases after looting they set fire to us poor
Chinese's houses ! 


In almost all areas , the youths of 12 - 14 year olds
would started to stone and then forced open doors with
crowbars and what-nots and when they succeeded ,
women(grandmothers too)and children as young as 5-6
years old will come for the spoil(these are confirmed
, I don't make them up for dramatisation). 

As a result of these enormous pressures on us who have
been abandoned by our own protectors we paid tax to ,
we were forced to form groups of vigilantes patroling
our own neighbourhood and in some cases there were
clashes resulting in bloody casualties on both sides.
As a result we Medan Chinese had prevented worse
violence on us but we have to give credits to the
reinforcements of special army units from Jawa who
were really professional. 

Andi Y from Jakarta
I am a Chinese-Indonesian and you know that in the
last 3 days, we are living in a war situation. We must
build a barricade and go out with weapon (stick,
umbrella, everything that can defend ourselves). I
don't know why the security forces (ABRI) move so
slow. 

I maybe too selfish but I am supporting the act of
ABRI to 'shoot immediatelly' on the looters and
rioters. Why?? Maybe it go against human rights but I
think they are become a robber and they are disturbing
another people right and they deserves to be shot
down!! that had befallen us here !!! Thanks and
regards. 

James Reyes Philippines
We were in Indonesia during the riots. The riots are
well coordinated, occuring simultaneously in different
cities. Whoever is responsible for organizing these
protests should be held accountable for the deaths and
destruction. By targetting the Chinese community,
these morons are driving away the ingredients needed
to turn around the economy. 

Frightened ethnic Chinese
The loo

[ppiindia] May '98 riot (12): Selamat Jalan Bunga Reformasi

2005-05-11 Terurut Topik jonathangoeij
Kompas
Kamis, 14 Mei 1998 

--
Selamat Jalan Bunga Reformasi

"SAYA menangis setelah membaca berita tadi pagi
tentang tewasnya lima mahasiswa Universitas Trisakti
dan beberapa mahasiswa lainnya yang luka-luka akibat
serangan aparat. Saya hanya seorang ibu rumah tangga,
sangat mengutuk perlakuan represif itu dan turut
berduka cita sedalam-dalamnya atas peristiwa ini."

Kata-kata itu ditulis dengan tulisan tangan, dikirim
ke Redaksi Kompas lewat faksimili oleh Nyonya Kurnia
Indawati Nusanto. Sampai pukul 17.00 WIB petang, lebih
dari 150 faksimili berisi ucapan belasungkawa untuk
keluarga korban diterima Kompas. Pesan lewat faksimili
itu masih terus mengalir, belum lagi yang melalui
E-mail. Pesan datang baik dari perorangan, seperti ibu
rumah tangga, pekerja kantor, anak-anak, pejabat,
maupun dari lembaga swadaya masyarakat, kelompok
profesi dan lain-lain. Satu faksimili bisa
ditandatangani satu sampai puluhan orang.

Keluarga korban yang tengah berduka tidak perlu merasa
sendirian. Semua pesan itu mengirim doa, simpati,
cinta, dan belasungkawa mendalam. Di lain pihak juga
kecaman keras terhadap tindakan aparat. 

***
DARI bilik-bilik rumah tangga di berbagai penjuru
daerah, gedung-gedung perkantoran tinggi di Jakarta,
getaran perasaan dan airmata seperti tertumpah lewat
surat-surat itu. "Saya beserta keluarga dan
rekan-rekan di Cilacap sangat shock dan terpukul
dengan insiden Trisakti kemarin," begitu tulis
keluarga Toga Pangaribuan.

"Saya seorang ibu rumah tangga, membaca tewasnya enam
orang mahasiswa Trisakti, saya sangat sedih. Harap
keenam mahasiswa tersebut diusulkan menjadi pahlawan
nasional," ungkap Ibu Ida, beralamat di Meruya Utara,
Jakarta.

Ibu rumah tangga lain, Ibu Sabar dari Kalimalang,
Jakarta, menulis, " ...perasaan saya hancur. Apakah
aparat keamanan pemerintahan Indonesia bertindak
membabi-buta melaksanakan perintah atau bayaran?"

Suara-suara para ibu rumah tangga, karyawan, atau
mereka yang mengaku sebagai orang kebanyakan itu
umumnya tanpa pretensi, mengungkapkan apa adanya apa
yang mereka pikir dan rasakan. Beberapa nama yang
cukup dikenal masyarakat, dari kalangan profesional,
penegak hukum, pengajar, banyak yang mengirimkan
selain ucapan bela sungkawa juga ungkapan hati mereka,
melepaskan diri dari latar belakang sosial mereka
sehari-hari. Mereka mengungkapkan diri sebagai
manusia.

"Duka kami adalah duka para ibu yang ikhlas, perantara
kehidupan anak-anak kami/Duka kami adalah duka para
ibu yang penuh harapan menyaksikan pertumbuhan
anak-anak kami/ Duka kami adalah duka para ibu yang
dengan susah payah menanamkan nilai-nilai pada
kehidupan mereka/Duka kami adalah duka para ibu yang
bangga menyaksikan api-api kehidupan kami menghangati
bumi, mewartakan nurani mereka/Duka kami adalah
perihnya hati mendapatkan api kehidupan telah
dimatikan dengan paksa/Duka kami tak bisa diobati:
tidak juga dengan berubahnya dunia..."

Larik kata-kata itu dikirim Kelompok Ibu Berduka,
ditandatangani antara lain oleh Henny Supolo Sitepu,
Lelyana Santosa, Niniek L. Karim, Joy Ramedhan, Arie
Triadi, dan lain-lain. Mereka berencana segera menemui
Kapolri dan para pejabat berwenang untuk menyatakan
duka mereka.

Komunitas Utan Kayu, ditandatangani antara lain
Goenawan Mohamad, Sitok Srengenge, Ahmad Sahal, Asikin
Hasan, dan puluhan nama lain mengeluarkan "Deklarasi
Utan Kayu". Isinya antara lain: "Bersama-sama dengan
para pemimpin masyarakat, seperti Amien Rais, Megawati
Soekarnoputri, Emil Salim, dan Ali Sadikin, kami
menyerukan dilangsungkannya masa berkabung atas
gugurnya para pejuang reformasi, dengan mengibarkan
bendera Merah Putih setengah tiang di depan rumah
masing-masing selama tujuh hari." 

***
WARTAWAN-wartawan peserta "Lokakarya Penyempurnaan
Undang-Undang tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers"
di Surakarta, 12-15 Mei 1998 menyatakan merasa
terkejut dan tersentuh atas gugurnya para mahasiswa.
"Untuk itu kami menyampaikan belasungkawa yang
sedalam-dalamnya." Faksimili ditandatangani antara
lain H Rosihan Anwar, Tarman Azzam, D H Assegaff,
August Parengkuan.

Keluarga pemusik Addie MS dan Memes mengirimkan
pesannya seperti ini: "Saya Memes dan Addie MS
mengucapkan turut berduka cita yang sedalam-dalamnya
atas berpulangnya lima mahasiswa Trisakti, semoga
arwahnya diterima di sisi Allah SWT, dan bagi keluarga
diberi kekuatan..."

Sekelompok karyawan mengirimkan puisinya: "Darah
kalian berbau harum membasahi bumi Pertiwi/Menyuburkan
dan menyebarkan semangat perjuangan prodemokrasi..." 

Tjahjo Tamtomo dari Jakarta Selatan mengusulkan kepada
pihak pimpinan Universitas Trisakti, untuk
mengalokasikan suatu tempat di depan pagar atau di
halaman kampus, untuk memberikan kesempatan kepada
masyarakat untuk bisa menaruh bunga ucapan bela
sungkawa. Ini, katanya, untuk menunjukkan cinta rakyat
yang besar kepada mahasiswa. "Terasa bergetar seluruh
kujur tubuh saya mendengar kabar meninggalnya para
pahlawan reformasi yang masih sangat muda-muda,"
tulisnya.

Dari Surabaya, pengirim yang mengatasnamakan
kawan-ka

[ppiindia] May '98 riot (11): Widespread Rapes in Riots - No proof of rapes, says Wiranto

2005-05-10 Terurut Topik jonathangoeij
Indonesians Report Widespread Rapes of Chinese in
Riots 
By SETH MYDANS The New York Times
June 10, 1998

JAKARTA, Indonesia -- Human rights and women's aid
groups have begun to document what they say appears to
have been an organized campaign of assaults, gang
rapes and killings of ethnic Chinese women during
three days of rioting in Jakarta last month. 

The aid workers say they have talked with dozens of
victims or relatives of victims, and they estimated on
Tuesday that more than 100 women and girls may have
been attacked and raped in Jakarta alone as their
neighborhoods were burning between May 13 and 15.
There were reports of similar attacks during riots in
other cities that preceded the fall of President
Suharto on May 21. 

One worker at a women's aid center, Sita Kayam, said
she believed that hundreds of women were receiving
physical or psychological help at hospitals here. 

Other aid workers said most of the victims remained
too traumatized to talk about their experiences and
too terrified of reprisals to report their ordeals to
officials or even to unofficial rape centers. The
police said no reports of rape had been brought to the
authorities. 

Another worker at the women's aid center, Ita Nadia,
said some women had committed suicide after their
ordeals. 

The reported attacks ranged from the degrading and
humiliating to the horrific; from women who were made
to strip and perform calisthenics in public to women
who were repeatedly raped and then thrown into the
flames of burning buildings. 

The reports involve girls and women ranging in age
from 10 to 55, the aid workers said. Some were
gang-raped in front of a crowd in the Chinese
commercial district of Glodok, said Rita Kolibonso,
executive director of the women's group Mitra
Perempuan. 

"Some of the rapers said, 'You must be raped because
you are Chinese and non-Muslim,"' said Ms. Ita, who
works at a crisis center called Kalyana Mitra. Ethnic
Chinese citizens, who control much of the country's
commerce, have been targets of violence in Indonesia
for years. 

The consensus among human rights workers and rape
counselors is that the attacks were mostly organized
by unknown groups, in the same way that increasing
evidence suggests that organized groups were involved
in instigating attacks of arson and vandalism aimed
largely at ethnic Chinese neighborhoods during the
rioting. This evidence is based on reports that groups
of men arrived simultaneously at various targets in
the city with gasoline bombs and other weapons and
initiated the violence. 

Albert Hasibuan, a member of the National Commission
on Human Rights, said human rights workers had talked
with a participant in the riots who said he had been
recruited, briefed, paid and transported by
unidentified men, who provided him and others with
stones and gasoline bombs. The commission is the
official government human-rights monitoring agency,
but since its formation in 1996 has often been
critical of the government. 

Because of the organized nature of many of the
reported assaults and because of some physical
descriptions of the attackers, the aid workers said
they suspected that some elements of the armed forces
might have been involved. Some witnesses said they
observed men with muscular builds and military
haircuts, and one victim said she was raped by men who
had a military uniform in their car. 

Human rights groups have reported similar suspicions
about reported instigators of the looting and arson,
who traveled in groups through the city in vehicles. 

Hasibuan's group reported last week that at least
1,188 people had died in the rioting in Jakarta and
that 40 large shopping centers, 4,083 shops and 1,026
private homes had been attacked, burned or looted. 

Lt. Col. Iman Haryatna, the Central Jakarta police
chief, told reporters that victims were welcome to
come forward but that the police had so far received
no reports of assaults on women during the riots. 

Because of a widespread mistrust of security forces
both among the victims and human-rights workers, the
reports of rapes are being gathered instead by two
prominent women's crisis centers and three
well-established human rights groups.

Two aid workers said they had received telephone
threats warning them to stop their investigations and
their aid to victims. One of these, a Catholic priest
named Father Sandiyawan who works at the private
Jakarta Social Institute, said someone had sent him a
hand grenade in the mail as a warning. 

The other said she received a telephone call on
Saturday in which a man said: "Do you know that a week
ago we sent a grenade to Father Sandiyawan? Do you
want more than the grenade we sent to Father
Sandiyawan?" 

Ms. Ita said that three weeks after the riots it is
still very difficult to approach the victims of rapes
and harassment "because their trauma is very deep." 

"Even for myself, I will tell you that it is really
emotionally difficult because I have to confront the
experiences of the vic

[ppiindia] May '98 riot (10): Tragedi BCA Dan Nonpri - Kasus Trisakti Tak Juga Selesai

2005-05-09 Terurut Topik jonathangoeij
Analisis Christianto Wibisono: Tragedi BCA Dan Nonpri 

JAKARTA - Masuknya BCA dalam perawatan darurat BPPN
merupakan bagian dari siklus suksesi berdarah pola
Keris Empu Gandring, bunuh membunuh dan pengkhianatan
yang sangat tidak bermoral. Wangsit atau cakrawati
restu kekuasaan dari Tuhan Yang Maha Kuasa sebetulnya
sudah mulai dicabut dari diri Soeharto ketika masa
anarkis digerakkan oleh oknum elite yang bersaing
merebut kuasa di bawah Soeharto sejak pendudukan
kantor PDI 27 Juli 1996. 

Jika seorang raja atau penguasa telah mengerahkan
sebagian aparatur negara untuk menculik, menembaki dan
melibas warga negaranya sendiri, maka menurut pakar
politik Mancur Olson, penguasa itu secara modern telah
kehilangan legitimasi dan sumber moral untuk
melanjutkan pemerintahan. 

Korban-korban 27 Juli menurut Megawati masih belum
tuntas diungkapkan. Sementara rentetan pembakaran
gereja dan insiden SARA juga mewarnai periode pra
kampanye pemilu 1997 mulai dari Situbondo,
Tasikmalaya, Rengasdengklok dan berakhir dengan
kebakaran di Banjarmasin yang nyaris menelan tumbal
Menseskab Saadilah Mursyid waktu itu. 

Pada periode Sidang Umum MPR Maret 1998, terjadi
ledakan SARA di Pantura dan Medan yang baru berhenti
setelah utusan khusus Presiden Clinton, Walter Mondale
mengancam bahwa AS akan menyetop bantuan AS bila
rekayasa huru hara SARA itu tidak segera distop.
Soeharto tersinggung dengan ultimatum Mondale, karena
itu melontarkan isu bahwa paket IMF adalah liberalisme
yang bertentangan dengan UUD 1945. Isu ini disampaikan
oleh FPP ketika mereka menghadap ke Cendana dalam
rangka pencalonan kembali Soeharto untuk ketujuh
kalinya 9 Maret 1998. Klimaks dari kekejaman dan
petualangan rezim Soeharto ialah ketika mahasiswa
Trisakti ditembaki dalam kampus pada 12 Mei dengan
kalkulasi bahwa jika mahasiswa Trisakti mati yang
secara random sebagian adalah nonpri, reaksi massa
tidak akan terlalu gegap gempita dibanding jika
mahasiswa UI yang mati ditembak. 

Tragedi biadab yang meledak pada 13 dan 14 Mei sebagai
retaliasi atas gugurnya Pahlawan Reformasi merupakan
konspirasi antara sebagian oknum pengalih sasaran
dengan kebringasan massa. Retaliasi ditujukan kepada
golongan non pribumi sebagai kambing hitam, sapi perah
tradisional pada setiap terjadinya vakum dan suksesi
kekuasaan dari satu rezim ke rezim yang lain. 

Tampaknya dendam kesumat antara golongan pri dan non
pri telah demikian dalamnya tertanam, sehingga insiden
SARA mudah sekali muncul hanya dari sengketa
perorangan soal tetek bengek, sampai teori konspirasi
mirip Kenpetai/KGB meledak menjadi huru hara dahsyat
yang memakan korban harta dan jiwa orang yang tidak
berdosa. 

Massa yang beringas tidak ingat lagi kepada agama dan
Tuhan, yang dilihat hanya penampilan fisik orang
berkulit kuning dan bermata sipit, untuk digebuki,
sebagian wanitanya diperkosa, dibakar hidup-hidup
karena tidak sempat keluar dari rumah serta dirampok
hartanya habis-habisan, sehingga tidak mempunyai
pakaian atau milik pribadi apa pun. 

Saya bisa menulis begini karena anak dan dua cucu saya
yang masih bayi (1,5 tahun dan 2 bulan) mengalami
penjarahan dan pembakaran rumahnya di Pantai Indah
Kapuk pada tragedi biadab 14 Mei tersebut. 

Sebagai pengamat politik yang telah mempelajari
tingkah laku politik rezim Soeharto saya menyatakan
bahwa tragedi 14 Mei adalah suatu konspirasi
kontra-reformasi untuk mendiskreditkan gerakan
mahasiswa yang menolak Soeharto. Saya menyesalkan
bahwa massa pribumi dengan kebencian membakar dan
menjarah milik non pri dipelopori oleh oknum-oknum
terorganisir yang mengeksplotir sentimen primordial
massa dengan motivasi Machiavelis. 

Memahami konspirasi politis di balik tragedi biadab 14
Mei, saya mendesak pemerintah dan Komnas HAM agar
menyidik aktor intelektual, penggerak dan pelopor
tragedi biadab tersebut. Para penembak mahasiswa
Trisakti yang akan diadili juga harus diusut sampai ke
atasannya, siapa di belakang instruksi atau prosedur
biadab membunuh nyawa anak bangsa yang sudah kembali
ke kampus. Amuk massa 14 Mei yang biadab, merupakan
akumulasi akibat politik Machiaveli rezim Soeharto
yang penuh intrik pilih kasih dan fitnah adu domba
yang saling mematikan calon pesaing potensial. 

Kru BBC World Service yang datang dari Belfast
meninjau reruntuhan rumah Jasmine, dengan surprise
menyatakan bahwa puing kebakaran ini mirip dengan
adegan perang gerilya kota di Bosnia. BBC menanyakan
apakah kebencian itu sekadar akibat isu dominasi
ekonomi Indonesia oleh keturunan Cina atau oleh sebab
lain yang lebih berat? Saya terus terang tidak bisa
menjawab tapi membaca wawancara Intenational Herald
Tribune 29 Mei dengan massa pribumi yang anti Cina,
kita memang harus mengakui bahwa proses pembinaan
kesatuan dan persatuan bangsa lintas SARA telah lama
terkontaminasi oleh politik adu domba Machiavelis
rezim Soeharto. 

Di zaman Bung Karno, pemerintah memberi fasilitas
kepada pengusaha istana yang hampir seluruhnya pribumi
yakni AM Dasaad, Hasyim Ning, Abdurachman Aslam, Bram
Tambunan

[ppiindia] Re: May '98 riot (5): Modern holocaust in Indonesia

2005-05-09 Terurut Topik jonathangoeij
--- In ppiindia@yahoogroups.com, Mas Bagong <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
> Siapa bilang tidak ada pemerkosaan?
> Namun apakah sampe terjadi secara masal dan terbuka di jalan-jalan
> sebagaimana dilansir oleh oleh berbagai media asing selama ini?
> Siapa sebenarnya yang rasis? Coba anda lihat kalau lowongan kerja
> untuk posisi tertentu akan ditulis...(anda tahu sendiri khan
> terusannya?) Sebenarnya yang terjadi pada jaman ORBA kita harus 
lihat
> pada tahun 1967 saat pimpinan rezim ini menentukan arah pembangunan
> republik ini... Orang cina (atawa tionghoa) diarahkan ke bidang
> ekonomi dan diisolasi dari sospolbudhankam, sampe-sampe acara
> keagamaan dan budaya pun dilarang... Nah, akhirnya yang terjadi 
adalah
> saling memanfaatkan, penguasa memanfaatkan pengusaha dan vice-
versa...
> TST man! (istilahnya).

Memang demikian, pada masa lalu dan bahkan masa sekarang 
dimasyarakat kita terjadi saling mendiskriminasi, suatu hal yg 
kelihatannya dengan sengaja dilakukan oleh pimpinan rezim. Hal 
seperti ini harus diakhiri, RUU Anti Diskriminasi yg telah sejak 
1999 diajukan harus secepatnya dibahas dan disahkan.

> Akhirnya apa? seperti pedang bermata dua akhirnya, pada satu sisi 
hal
> ini menyebabkan penumpukan kekuatan ekonomi pada segelintir orang 
dan
> kekuasaan pada segelintir orang juga. Namun efeknya adalah yang
> dilihat adalah 'kongkalikong' pengusaha-pejabat yang berujung 
semakin
> meningkatknya kecemburuan sosial... Sialnya hal ini tidak pernah
> diwaspadai, bahkan cenderung eksklusif... yang sial ya orang 
tionghoa
> alias orang cina, kenapa karena pejabat (baca;polisitis) memang 
paling
> pandai berganti kulit dan bersilat lidah, sehingga sewaktu terjadi
> huru-hara hanya pihak cina yang dijadikan sasaran...

Anda bisa melihat permasalahan dengan tepat Mas Bagong, menurut saya 
ada suatu sebab mengapa para pejabat memilih "berkongkalikong" 
dengan pengusaha Tionghoa sedangkan dari kalangan etnis yg lain juga 
cukup banyak yg dikenal mempunyai budaya dagang yg cukup tangguh. 
Komunitas Tionghoa secara politis sudah dipreteli kaki tangannya 
baik dengan stigma diragukan kesetiaannya dan pro ke Tiongkok, 
dilarangnya agama budaya dan kepercayaan bahkan bahasa-pun boleh 
dibilang dilarang secara umum, dlsb. Hal2 ini membuat komunitas 
Tionghoa secara politis tidak berbahaya dan mempunyai kecenderungan 
kuat utk menggantungkan nasibnya kepada penguasa. Hal ini 
kelihatannya menjadi dasar pemilihan pengusaha Tionghoa sebagai 
rekan "kongkalikong" karena tidak akan membahayakan pemimpin rejim 
dan bahkan tidak diragukan kesetiaannya mensupport sang pemimpin, 
siapa lagi orangnya yg bisa dijadikan gantungan. Sementara itu para 
pengusaha yg diajak "berkongkalikong" sudah tentu merasa seperti 
bertemu dewa penolong, ada tangan yg terulur dari atas mencegah 
terjun bebas kedalam sumur. Ya itulah jadinya.

Tetapi harus juga diingat betapa mereka yg "berkongkalikong" itu 
hanya beberapa gelintir orang, sedang pengusaha Tionghoa secara umum 
adalah jauh dari kongkalikong dengan penguasa. Lebih banyak terdiri 
dari orang2 yg dengan giat dan rajin buka toko dari pagi sampai 
malam, hidup irit dan hemat, keuntungannya dipakai utk tambahan 
investasi sehingga bisnisnya perlahan makin bertambah besar.

JG






 Yahoo! Groups Sponsor ~--> 
Has someone you know been affected by illness or disease?
Network for Good is THE place to support health awareness efforts!
http://us.click.yahoo.com/OCfFmA/UOnJAA/E2hLAA/BRUplB/TM
~-> 

***
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.org
***
__
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 
4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
[EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
http://docs.yahoo.com/info/terms/
 




[ppiindia] May '98 riot (9): How to be Chinese

2005-05-08 Terurut Topik jonathangoeij
How to be Chinese 
Ethnic Chinese experience a `reawakening' of their
Chinese identity

Chang-Yau Hoon 
The post-Suharto era is an exciting period for Chinese
Indonesians and other minority ethnic groups in
Indonesia. After over three decades of cultural and
political repression, Chinese Indonesians are now
being given the opportunity to express their identity.
The re-emergence of Chinese religion, language, and
press in Indonesia since the end of the New Order, has
had a significant impact on the development of ethnic
Chinese identity. 

The strongly anti-Chinese sentiment expressed in the
May 1998 riots in Jakarta and elsewhere in Indonesia,
including the looting of Chinese-owned shops and
businesses and the racially-motivated rapes,
drastically altered the position of the ethnic Chinese
in Indonesia. Psychologists from the University of
Indonesia who studied the post-trauma experience of
Indonesian Chinese have pointed to the identity crisis
they experienced in the aftermath of the riots. 

The political violence of May 1998 showed that despite
their efforts to identify themselves as Indonesians,
ethnic Chinese were unable to escape their
`Chineseness'. Yet one of the consequences of the
riots has been a resurgence of Chinese identity. In
the period since the fall of Suharto, Chinese
political parties and non-government organisations
have been formed and Chinese culture, religion,
language and press revived. Ethnic Chinese took
advantage of the democratisation process brought about
by reformasi to liberate their long-suppressed
identity and cultural heritage. 

Learning Chinese language

In September 1998, President B. J. Habibie carried out
legislative reform to end the official use of the
discriminatory labels pribumi (indigenous) and
non-pribumi, a move many saw as aimed at erasing the
distinction between `indigenous-ness' and
`foreignness'. In May 1999, Habibie issued a
presidential instruction to allow the teaching of the
Chinese language and abolished a regulation requiring
ethnic Chinese to produce certificates of citizenship
when registering for school or making official
applications.

Following this decree, Chinese language experienced a
revival in Indonesia. Among young ethnic Chinese,
learning Mandarin has become a popular pursuit,
triggering a proliferation of after-school and
after-work Mandarin courses. These courses were in
even greater demand after Abdurrahman Wahid lifted the
1978 official ban on the display of Chinese characters
and the importation of Chinese publications in
February 2001. 

The government's encouragement of the use of Chinese
language continued even after Wahid was ousted. In
2002, Megawati declared her support for Chinese
education and for Sinology departments to be
established in Indonesian universities. Since then,
many Chinese language tuition centers have sprung up
in Indonesia's major cities, Chinese language as a
subject has been included in some school curricula and
Chinese studies centres have been established in
various universities.

Despite this recent interest in Chinese language
education in Indonesia, ethnic Chinese are unlikely to
become more `Chinese' as a result. Learning Mandarin
does not necessarily mean they identify less as
`Indonesian' (and hence more `Chinese'), nor doeý it
indicate an orientation towards China. In fact, most
young ethnic Chinese learn Mandarin for economic
reasons rather than for cultural or political reasons.
Learning their ancestral language is a means of
becoming more competitive in the job market, not a way
to discover their Chinese roots. 

Cultural freedoms

Under Wahid's administration, ethnic Chinese were also
given greater freedom to assert their cultural and
religious identity. Presidential Decree No. 6/2000
annulled the discriminatory regulation (Presidential
Decree No. 14/1967) banning public displays of Chinese
beliefs, customs and traditions. In issuing this
decree, President Wahid assured the ethnic Chinese of
their right to observe their cultural practice in the
same way that other ethnic groups had enjoyed theirs. 

Following the amendment of the official cultural
policy, ethnic Chinese were able to celebrate Imlek
(Chinese New Year) publicly and without restrictions
for the first time in over three decades. In January
2001, Wahid went a step further, declaring Imlek an
optional holiday. In February 2002, Megawati declared
Imlek a national holiday beginning in the year 2003.
This edict further established the cultural rights of
the ethnic Chinese and marks a landmark decision. 

However, despite these positive signs of Chinese
cultural freedoms, racial discrimination in Indonesia
is far from over. At least 50 discriminative laws and
ordinances were still in force in 2004. For instance,
despite government declarations to the contàary and
unlike other Indonesians, ethnic Chinese are still
required to produce certificates of citizenship every
time they apply for official documents such as
identification cards and

[ppiindia] May '98 riot (8): Hati Nurani dan Rekonsiliasi

2005-05-07 Terurut Topik jonathangoeij
Hati Nurani dan Rekonsiliasi
Christianto Wibisono

HARI ini, 13 Mei 2003 pukul 21.00 malam, lima tahun
yang lalu, anak saya Jasmine Wibisono dan suaminya
Tandyo Welianto dengan mobil Kijang, meninggalkan
rumahnya di Kapuk karena massa sudah mulai mengepung
wilayah itu. Dua bayi, Christabel (15 bulan), dan
Christopher (lahir 22 Maret atau belum dua bulan)
beserta babysitter hanya membawa sejumput pakaian.
Mereka mengungsi ke rumah saya di Jalan Kartini.

Sehari sebelumnya, 12 Mei, aparat keamanan menembaki
demonstran mahasiswa Trisakti yang sudah mundur
memasuki kampus menjelang sore hari. Suatu provokasi
yang hingga hari ini tidak terungkap tuntas, siapa
intellectual actor-nya.

Besok paginya, 14 Mei, Jakarta lumpuh. Massa
direkayasa untuk membakar dan menjarah.

Dari atas kantor PDBI di Kartini 8 saya bisa
menyaksikan massa bergerak dari arah Mangga Besar
menuju Gunung Sahari. Jika massa itu belok ke Jalan
Kartini, maka barangkali daerah sekitar rumah saya
juga akan terkena penjarahan dan perusakan. Dari atas
lantai gedung itu terlihat bagaimana kelompok perusak
dengan keahlian profesional tim
demolition(penghancuran) merangsek pintu besi
pertokoan di sepanjang jalan yang akan berujung pada
rumah Liem Sioe Liong di Gunung Sahari 6 (di dekat
areal bekas Bandara Kemayoran). Tanggal 15 Mei barulah
sopir saya bisa meninjau Kapuk, ternyata rumah Jasmine
termasuk dalam 80 yang dibakar dan 500 yang dijarah
habis pada
14 Mei.

Tanggal 10 Juni 1998 saya menerima surat kaleng dari
seorang "oknum" bernama Ponidjan yang bunyinya tidak
patut diungkapkan di sini. Karena penuh dengan
caci maki SARA yang sangat tidak beradab, mensyukuri
pembakaran rumah Jasmine dan mengancam akan memenggal
kepala saya karena kritik saya terhadap Orde Baru.

Tanggal 11 Juni 1998 saya berketetapan hati untuk
mengungsikan anak dan cucu saya dari kemelut yang
sangat traumatik untuk memulihkan kondisi kejiwaan
serta reuni dengan putri kedua Astrid Wardhani di AS.



SETELAH lima tahun, bagaimana persepsi saya terhadap
situasi Tanah Air dan rencana masa depan keluarga
saya? Sebenarnya, di zaman globalisasi ini, faktor
domisili sudah teratasi dengan komunikasi real time
melalui internet. Semua yang terjadi di segala pelosok
dunia dapat segera diikuti secara simultan.

Saya juga melihat perkembangan dunia yang makin
tergantung pada satu superpower AS. Di pusat
percaturan politik global ini berlangsung lobbying
lintas nasional dalam skala dan frekuensi tinggi di
mana negara dan civil society mengusahakan dapat
mempengaruhi kebijakan pemerintah AS. Gedung
Putih, Kongres dan Senat, serta media massa,
bersama-sama menentukan agenda politik global.

Karena itu, saya memutuskan untuk berkiprah di
Washington DC dalam proses pemulihan kondisi keluarga
sekaligus membuktikan sebagai unsur civil society
dari negara Dunia Ketiga dapat berperan di pusat lobby
dunia ini. Di AS ini orang paling berpengaruh yang
mengenal Indonesia adalah mantan Duta Besar AS
Dr Paul Wolfowitz yang sekarang menjabat Deputi
Menhan. Ada lagi eselon dua di Gedung Putih, Karen
Brooks yang merupakan asisten langsung Condoleeza
Rice dan kenal baik dengan Presiden Megawati serta
fasih berbahasa Indonesia.

Di Kongres dan Senat juga terdapat Representatives
atau Senator yang berminat terhadap Indonesia. Yang
memerlukan binaan lobby atau pendekatan personal dalam
konteks multitrack diplomacy. Belum lagi belasan
think-tanks, NGO dan civil society yang setiap saat
bisa melakukan demo, aksi terhadap
kebijakan pemerintah RI atau AS yang bisa berdampak
bagi Indonesia.

Dalam kondisi seperti itu saya melihat peluang untuk
mendirikan sebuah lembaga thinktank yang bisa
memberikan pemikiran dari perspektif Dunia
Ketiga. Yang dapat mengajukan alternatif kebijakan
positif dan konstruktif dalam hubungan AS dengan dunia
pasca 11 September.

Lembaga itu bernama Center for World Conscience (CWC)
yang diluncurkan pada 6 November 2002 dengan website
. CWC sedang melakukan studi
tentang kaitan demokratisasi, liberalisasi dan amnesti
utang bersyarat sebagai salah satu langkah mengatasi
poverty gap yang dianggap merupakan
salah satu akar masalah munculnya terorisme global.

Memang tidak mudah. Untuk meluncurkan satu ide seperti
HIPC, misalnya, perlu waktu hampir 20 tahun sebelum
ide itu diterima oleh Bank Dunia dan negara
donor. CWC sedang mempersiapkan satu konferensi
tentang The Post 9/11 Geopolitics: War of Ideas
Against Terrorism.

Sementara itu Jasmine juga telah meluncurkan suatu NGO
yang bergerak di bidang kesenian bernama GRACE
Heritage. GRACE adalah singkatan dari Global
Renaissance of ASEAN American on Culture and
Entertainment. Berduet dengan Karina Sudyatmiko (putri
mantan anggota MPR/DPR Djoko Sudyatmiko), GRACE
Heritage akan menggelar 1st US ASEAN Film and
Photography Festival 29 September 2003.

Ini merupakan upaya terobosan civil society untuk
berkiprah di Washington DC dan telah didukung oleh 10
Dubes ASEAN di AS. Di tengah kemelut SARS dan
dampak bom Bali serta penandatanganan Free Trade
A

[ppiindia] May '98 riot (7): AHRC petition for Attorney General of Indonesia

2005-05-06 Terurut Topik jonathangoeij
ASIAN HUMAN RIGHTS COMMISSION - URGENT APPEALS PROGRAM


20 June 2002 
- 
UA-23-2002: Sign petition for attorney general to
bring justice to May 1998 riot victims 

INDONESIA: Denial of right to adequate remedy for
victims of systematic gross human rights violations 
- 

The Asian Human Rights Commission (AHRC) has prepared
an online petition to call on the attorney general of
Indonesia to finally act to deliver justice to the
victims of the May 1998 riot, an incident infamous
throughout the world for severe sexual violence
targeting Chinese Indonesians. You can sign this
petition, which is available in English and Bahasa
Indonesia and which already has about 300 signatories,
at the following site:
. 

Below we provide some background information, findings
from various commissions of inquiry, the latest news
about the inquiries and a copy of the petition itself.
We urge you to send word of this petition to others as
widely as possible so that the pain of the victims can
finally be eased. 


BACKGROUND INFORMATION 

Four years ago the thousands of victims of the May
riots of 1998 should have seen the perpetrators of the
rapes, murders and destruction of property in court.
Four years ago the new ¡°democratic¡± government
should have been consulting the victims to determine
how to provide adequate compensation and reparation
for the State's role in the devastation. Four years
ago the attorney general should have ensured that
enough evidence was gathered to bring the masterminds
of this crime to justice. 

The attorney general, however, has thus far chosen to
do nothing. In the face of such intransigence,
high-profile citizens took it upon themselves to form
a Joint Fact-Finding Team (TGPF) to investigate the
incident, and they presented their findings to the
attorney general. The attorney general though refused
to act on the findings, as they did not come with
official parliamentary sanction. Recently, however, an
official investigation (known as KPP HAM TSS, an
Indonesian acronym for the Commission to Investigate
the Human Rights Violations of the Trisakti, Semanggi
I and Semanggi II Incidents) into three incidents that
occurred about the same time affirmed that the
original findings and recommendations should be acted
on. 

Still the attorney general says he will do nothing
unless another official investigation is opened
specifically for the ¡°May riot¡± incidents. Such a
commission of inquiry is currently being established
by the National Human Rights Commission (Komnas HAM),
but this should not excuse the attorney general whose
role in bringing perpetrators to justice is vital in
establishing human rights in Indonesia. If the
attorney general does not act, no rights can be
implemented. The attorney general must accept
responsibility for not even attempting to deliver
justice to the victims of the May 1998 riots. 

FINDINGS FROM TGPF 

A highly credible, independent investigation into the
May 1998 riots, known as TGPF (Joint Fact-Finding
Team), verified the following number of deaths and
damage: 

- 1,188 people killed 
- 101 people suffered serious injuries 
- 40 shopping centres burnt 
- 2,479 houses and shops destroyed 
- 1,119 cars destroyed 
- 1,026 civil houses destroyed 
- 383 offices destroyed 
- Unknown number of rape cases 

Thorough investigations by non-governmental
organisations (NGOs) also verified at least 52 cases
of serious sexual violence in which ethnic Chinese
women were the main targets. In addition, the
following four people were kidnapped in related
incidents: 

1. Yadin Muhidin, male(23), in Senen, Central Jakarta 
2. Addun Nasir, male(33), in Lippo Karawaci, Tangerang

3. Hendra Hambali, male(19), in Glodok Plaza, Jakarta 
4. Ucok Siahaan, male(22) 

The hopes of the Indonesian people that the end of
authoritarian rule would bring justice have been
dashed by the inaction of the attorney general¡¯s
office, which has had the official government report
and recommendations since 1999 but has so far failed
to properly investigate the case nor bring any form of
justice to the thousands who suffered in this tragedy.
Credible claims that senior military and government
officials were involved in planning gross human rights
violations perpetrated during the May 1998 riots have
been ignored, making possible further atrocities and
incidents of communal violence which still rage today.


In July 2000, former Attorney General Marzuki Darusman
said, ¡°I think the final investigation can start in
one week provided that the commission submits the
report to my office.¡± Referring to the TGPF report,
he added, ¡°What¡¯s in the reports is all valid. That
is exactly what happened during the May [1998]
riots.¡± 

Now it is June 2002, and an official government
investigation, KPP HAM TSS, has presented the results
of its investigation into three incidents 

[ppiindia] May '98 riot (6): Tragedi Mei 1998 dalam Sajak Wilson Tjandinegara

2005-05-05 Terurut Topik jonathangoeij
Tragedi Mei 1998 dalam Sajak Wilson Tjandinegara
Catatan Nanang Suryadi 

"Tragedi bulan Mei 1998, telah menggemparkan dunia.
Korbannya kebanyakan dari etnis Tionghoa. Sebuah
tragedi yang meninggalkan noda hitam dalam sejarah
Indonesia. Sebagai penyair yang punya hati nurani,
pasti mengutuk peristiwa tersebut dan menyampaikan
simpatinya kepada para korban, dengan caranya seorang
penyair…."(Tjandinegara, 1999, hal.28) 

Pernyataan yang membuka tulisan ini cukup menghentak
bukan? Tulisan tersebut merupakan pengantar Wilson
Tjandinegara bagi 3 sajak dalam kumpulan sajak "Rumah
Panggung Di Kampung Halaman", untuk memberi perhatian
terhadap peristiwa kerusuhan yang terjadi di bulan Mei
1998.

Satu halaman khusus pernyataan untuk mengantarkan 3
sajak-sajak yang diilhami tragedi tersebut.
Sajak-sajak yang dimaksud adalah sebagai berikut:

KITA TAK BOLEH BERDIAM DIRI

Karena terus bersabar
kita sering jadi korban
jadi kambing hitam

Karenanya, kita tak boleh berdiam diri!

Menerima perlakuan tidak adil
menahan diri terhadap hinaan orang
ternyata ada batasnya

Karena, kita tak boleh berdiam diri!

Kita juga manusia, adalah manusia!
punya hak yang sama
betapa mungkin diinjak-injak

Karenanya, kita tak boleh berdiam diri!


Tangerang, Juni 1998


KAMBING HITAM

Sejak purbakala
yang paling banyak
di dunia ini
adalah 'kambing hitam'

Walau kulit dan bulunya hitam
namun darahnya sama merah

Para ambisius pengejar kekuasaan
politisi pengobral janji
para orang culas
lempar batu sembunyi tangan

Mereka itulah
menghitamkan kambing
jadikan kurban

Ketika dibutuhkan
mereka diperalat
ketika tak mampu kuasai situasi
dijadikan tumbal

Zaman apa pun
negara mana pun
yang paling malang nasibnya
adalah kau:
'kambing hitam'


DI MANAKAH NURANIMU!

Apakah dosanya
maka direncah kelopak bunga
dan dinodai tiada tara

Di manakah nuranimu!

Hanya hewan
bisa melakukan
perbuatan terkutuk itu!

Di manakah nuranimu!

Andai sang korban
adalah anak, istri
atau saudara perempuanmu
apakah kau terima?

Di manakah nuranimu!

Kau reguk madu perawan
kau hancurkan masa depan
insan lemah tanpa dosa
kini memeluk duka lara

Di manakah nuranimu!

Walau kali ini kau terbang bebas
takkan lolos pengadilan Tuhan!

Ya, Tuhan! Turunkan hukum keadilan
bagi pelanggar ajaranmu

Tanggerang, Mei 1998

Terhadap tragedi Mei 1998 , Ariel Haryanto (1998)
memberikan pernyataan: "…..sulit mengatakan bahwa
pemerkosa adalah massa, atau tindakan mereka bersifat
spontan. Bukan kejutan jika penelitian lebih lanjut
akan menyimpulkan kejahatan itu merupakan sebuah paket
program yang dipersiapkan dan diko-mando oleh kelompok
yang ahli dalam kekerasan dan teror. Perkosaan massal
itu merupakan bagian integral dari pembakaran aset
ekonomi nasional dan lebih dari seribu nyawa
penjarah dalam beberapa jam saja. Kelakuan immoral itu
tak mungkin dilakukan oleh rata-rata manusia
Indonesia. Moral-itas menjadi modal utama perjuangan
generasi muda Indonesia menumbangkan otoriterisme Orde
Baru. Tindakan immoral bulan Mei itu hanya mampu
dilakukan oleh mereka yang berada jauh di bawah atau
jauh di atas rata-rata manusia Indonesia."

Pada halaman lain pada buku RPDKH tersebut ada bagian
yang menuturkan pengalaman kreatif dan hal-hal yang
berhubungan dengan dirinya. Sebagai seorang yang
merasa sebagai bagian masyarakat yang dimarjinalkan,
Wilson Tjandinegara berkomentar: "Selama ini ada
anggapan yang kurang obyektif terhadap kaum keturunan
Tionghoa. Meraka dianggap pelit, egois, anasionalis,
tidak peduli pada orang lain dan hanya mencari
keuntungan".(Tjandinegara, 1999, hal.34)

Ariel Haryanto (1998) melihat persoalan itu sebagai:
"seperti korupsi atau kolusi, rasialisme anti-Cina
sudah merasuk dan melembaga dalam kehidupan sosial.
Dalam berbahasa pun rasialisme itu dihayati dan
diamalkan secara lumrah. Misalnya populernya istilah
pribumi dan nonpribumi. Fiksi ciptaan kolonialisme
Belanda ini telah dimanfaatkan secara maksimal oleh
Orde Baru. Di akhir abad 20 ini sudah tidak ada
lagi makhluk pribumi. Kita semua adalah nonpribumi:
tengok bahasa, menu, busana, perabot rumah, atau
rekreasi dan hiburan kita. Baik struktur lembaga,
cita-cita maupun istilah "Republik Indonesia"
sepenuhnya bersifat nonpribumi!"

Dalam pencariannya terhadap riwayat identitas diri,
Wilson Tjandinegara menuangkan tipikal pembauran alami
yang terjadi di sebuah tempat di daerah Tangerang yang
terkenal dengan "Cina Benteng."

BALADA SEORANG LELAKI DI NAN YANG

Sejak abad lima belas
dengan perahu Jung
mereka arungi lautan ganas
larikan diri dari bencana dan malapetaka
tinggalkan negeri leluhur
mencari tanah harapan di Nan Yang*

Perkampungan nelayan di Teluk Naga
seorang encek pembuat arak
mengubur kesendiriannya
bersama seorang pendamping setia
gadis pribumi lugu sederhana

Kikuk seperti ayam dan itik
yang satu pakai sumpit
yang satu doyan sambel
dengan bahasa isyarat
berlayar biduk antar bangsa
beranak pinak dalam kembara

Dari generasi ke generasi
warna kulit makin menyatu
jadilah generasi persatuan:
'Cina Benteng'
teladan 

[ppiindia] May '98 riot (5): Modern holocaust in Indonesia

2005-05-04 Terurut Topik jonathangoeij
Modern holocaust in Indonesia

History will always remember the Hitler and the Jewish
holocaust that killed millions of Jews. Families still
live till today and see clearly the horror of those
darkest and helpless days of their life. 

History will always remember everything that the human
race tells it to write, although consciously and
powerfully some of us try to manipulate the facts and
truths contained in it. G30S will be among the list,
where until this very day 200 millions of Indonesians
have never been told that in the incident of September
30th in 1965, when Soeharto threw over the Indonesian
Communist Party, which then also took over power from
President Soekarno, there were 1 million innocent
Indonesians slaughtered, being accused and slandered
blindly that they were communists. 

May 1998 was an intense month for politic in
Indonesia. The Asian Crisis was not getting any
gentler to the people of Indonesia. At the same time,
the elite, the political players, knew that Soeharto's
time was coming closer, and even Soeharto and his
family also understood this. The system that Soeharto
built worked just fine, therefore, the elite wanted to
keep the system, and just changed the old guards. On
the other hand, the people and the grass root,
demanded total reformation, civil society and
democratic system. People were tired being oppressed
every day and being used all the time by the very
government who were supposed to protect and serve
them, by the system that Soeharto built for 30 years. 

The following pictures provided by Tim Relawan (The
Volunteer Team for Humanitarian Causes) speak very
vividly about what took place during May 13-15
HOLOCAUST in Indonesia - Indonesian Holocaust. 

Riots were engineered and executed very professionally
and viciously. The urban poor were set to be trapped
inside buildings and then burnt to dead by these
unknown force (and yet they exist till this very day).
At the end of the day, there were 2244 burnt bodies
collected from various places in Indonesia.

Females from Ethnic Chinese descent, and those who
look alike, were raped brutally, the kind of gang
rapes that took place in Bosnia and East Timor.  
Females were raped in front of their families by
several people, some of them were killed after being
sexually abused and mutilated. Male members of the
family were forced to rape the female members of the
family. Glasses, curtain rods, metal rods were used to
mutilate the female private parts, after they were
being raped. On and on are the reports. 

People live with very little supplies these days in
Indonesia, rapes are still taking place with no effort
from government to stop this at all (should we
translate the no-real-action from the Government of
Indonesia, as their "blessing" to the most evil
humiliation to the weakest members of society).

History is writing all these stories, even the stories
of those who are very helpless and hopeless today.
Victims and families are terrorized and intimidated,
their phone lines are tab. Volunteer helpers are
harassed and intimidated, including doctors and
psychiatrists. The victims are prisoned and confined
in their own little rooms, full of trauma and
desperation, lonely and full of shame. 

History is also writing that today millions of people
around the world are not accepting this modern
holocaust in Indonesia anymore.

http://www.fica.org/prototype/may-riots/korban/thumb.html







 Yahoo! Groups Sponsor ~--> 
Give the gift of life to a sick child. 
Support St. Jude Children's Research Hospital's 'Thanks & Giving.'
http://us.click.yahoo.com/lGEjbB/6WnJAA/E2hLAA/BRUplB/TM
~-> 

***
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.org
***
__
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 
4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
[EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
http://docs.yahoo.com/info/terms/
 




[ppiindia] May '98 riot (4): Tragedi 14 Mei 1998

2005-05-03 Terurut Topik jonathangoeij
Tragedi 14 Mei 1998 


Oleh Rosihan Anwar

BERKAITAN dengan Hari Pers Nasional 9 Februari 2003,
saya sampaikan pengalaman sejumlah wartawan Indonesia
tanggal 14 Mei 1998 yang disebut dalam sejarah sebagai
Jakarta s infamous May riots.

Lima tahun lalu, sejumlah wartawan tergesa-gesa balik
dari Solo ke Jakarta, menumpang kereta api Argo Lawu,
Kamis pagi 14 Mei 1998. Mereka baru satu hari
menghadiri lokakarya pers, dan mengeluarkan Deklarasi
Wartawan yang dirumuskan Tribuana Said. Deklarasi itu
menyatakan, kemerdekaan pers berdasar hak asasi
manusia harus ditegakkan.

Ketika para wartawan berangkat dari Bandara
Soekarno-Hatta, 12 Mei menuju Solo, tak kurang 6.000
mahasiswa berdemonstrasi menuntut turunnya Presiden
Soeharto. Mereka adalah wartawan senior: Djafar
Assegaff, RH Siregar, Samuel Pardede, Sinansari Ecip,
Tarman Azzam, August Parengkuan, dan saya sendiri.
Ikut rombongan, Rani D Sutrisno, pengelola cafe Club
45, Jalan Merdeka Timur 17.

Seraya Argo Lawu melaju, mereka ingat demo mahasiswa
Universitas Trisakti Selasa 12 Mei. Pukul 17.45 empat
mahasiswa tewas tertembak peluru tajam aparat. Keempat
mahasiswa itu Hendriawan Sei (20), Elang Mulya (19),
Hafidin Royan (21), Hery Hartanto (21) dinamakan:
Pahlawan Reformasi. Saat dimakamkan 13 Mei, beberapa
tokoh yang mendukung aksi mahasiswa seperti Amien
Rais, Emil Salim, Buyung Nasution, datang di kampus
menyampaikan belasungkawa.

Mereka juga ingat pertemuan Presiden Soeharto dengan
masyarakat Indonesia di Kairo malam 12 Mei.

Soeharto berkata "Jika rakyat tidak lagi percaya pada
saya, tidak apa-apa, ya sudah. Saya tidak akan
berkuasa terus dengan kekuatan senjata. Bukan seperti
itu. Saya akan menjadi pandito, mendekatkan diri
kepada Tuhan". Harian Kompas lalu memberitakan:
Soeharto Siap Mengundurkan Diri.

Berpacu dalam Argo Lawu!

Kereta api melaju. Cirebon sudah lewat. Wartawan yang
punya HP memonitor perkembangan Jakarta. Siregar dan
saya tak punya HP, jadi menerima informasi dari tangan
kedua. Beritanya: di Jakarta, dari pagi pukul 09.00
terjadi kebakaran, dimulai kobaran asap di Grogol.
Toko-toko di daerah Kota milik Tionghoa dibakar dan
isinya digedor. Jalan Kapten Tendean dan Jalan Warung
Buncit penuh penjarah. Swalayan Golden Truly jadi
sasaran. Huru-hara merebak di DKI Jakarta.

Argo Lawu berjalan pelan saat memasuki Bekasi. Toko
Swalayan Yogya yang letaknya dekat rel kereta api
mengepulkan asap. Rakyat yang menjarah menggotong
kulkas, pesawat televisi, mebel, dan barang lain. Saya
tak melihat aparat keamanan. Tiada Polri dan TNI.
Apakah Pangdam Jaya Mayjen Syafrie Syamsuddin lalai
melakukan tugasnya?

Jendela Argo Lawu dilempari batu. Karena kacanya
tebal, hanya timbul keretakan. Plaza Central Klender
terbakar. Suasana mencekam amat terasa.

Para wartawan di Argo Lawu lewat HP sibuk cari
informasi. Di stasiun mana yang aman turun? Jatinegara
atau Gambir? Selagi kereta api masih bergerak, sebelum
sampai di Jatinegara Djafar Assegaff telah meloncat ke
bawah. Ia dijemput keluarganya. Tarman Azzam berbuat
yang sama, meloncat di Jatinegara. Tetapi Siregar,
Sinansari, August Parengkuan dan saya terus ke Gambir.

Siregar dan Sinansari pulang bersama dalam bus. August
dan saya menitipkan koper di Cafe Club 45, lalu
berjalan kaki pulang. Rani D Sutrisno pengelola kafe
juga berjalan kaki menuju Kemang. Cucu saya, Dhira
beserta temannya Ame telah menunggu dekat Patung Tani,
Menteng, tetapi karena saya mengambil jalan lain, kami
tidak saling jumpa. Dhira khawatir karena ia melihat
rakyat menjarah toko Hero, mengangkat barang jarahan
dengan trolley dan Opa tak kunjung muncul. Padahal
saya dan August berjalan pelan menyusuri rel kereta
api Gambir-Cikini.

Kami berpapasan dengan pemuda pemudi yang baru
menyaksikan huru-hara. Mereka mengenali saya, berhenti
sebentar, bercerita tentang apa yang mereka lihat. Hal
itu terjadi beberapa kali. August heran karena banyak
orang menyapa saya. Kami selamat sampai Jalan Surabaya
13. Saya ucapkan terima kasih kepada August yang setia
menjaga saya. Ia lalu naik motor ojek menuju redaksi
Kompas.

Selama hari-hari berikut saya memantau perkembangan.
Saya telepon teman-teman yang punya inside
information, saya ikuti berita media cetak dan
elektronik, dalam dan luar negeri. Memang, saya tak
punya koran lagi, karena harian Pedoman dilarang
terbit oleh Soeharto tahun 1974, tetapi naluri
wartawan belum padam. Maka, saya berusaha berada on
top of the news. Saya merasa bangsa Indonesia sedang
menghadapi suatu perubahan dalam sejarahnya. Apakah
yang terjadi selanjutnya? Beberapa catatan selayang
pandang menyusul.


PRESIDEN Soeharto kembali dari konferensi G-15 di
Kairo, Jumat pagi 15 Mei. Dari Bandara Halim
Perdanakusuma ia dikawal konvoi puluhan kendaraan. Di
tengah jalan dia melihat puing-puing kehancuran gedung
akibat huru-hara 14 Mei. Dia belum punya gambaran
tentang kasus-kasus perkosaan terhadap perempuan
keturunan Tionghoa. Setibanya di Cendana dia bicara
dengan Jenderal Wiranto, lalu dengan keempat Menko. Ia
instruksikan h

[ppiindia] May '98 riot (3): Condition of Our Shared Life

2005-05-02 Terurut Topik jonathangoeij
Condition of Our Shared Life:
The May Tragedy in Indonesia 

I. Sandyawan Sumardi, SJ

(Ed. note: Father Sandyawan, secretary of Team of
Volunteers for Humanitarian Causes, was among the
first persons to expose the organised attacks on
ethnic Chinese women in Indonesia during the May 1998
riots. Below is what he told of the tragedy in his
country at a hearing of the U.S. Congress on 28 July
1998.)  

I have come here on behalf of "Tim Relawan untuk
Kemanusiaan," the Indonesian name for the "Team of
Volunteers for Humanitarian Causes." The Team was
formed in the aftermath of the urban riots in Jakarta,
Indonesia, following the attack on the headquarters of
the Indonesian Democratic Party on 27 July 1996. As
repeatedly happened in the history of Indonesia in the
past 30 years, it was the ordinary people who bore the
burden: 5 dead, 149 injured, 136 arrested and 23
missing. The concern of the Team was to help the
victims among these ordinary people. 

Since the incident in mid-July 1996, political events
in Indonesia have been enfolding in a chaotic way,
almost all marred by unnecessary violence and
bloodshed. The political system has gone bankrupt, and
the severe monetary and economic turmoil which started
in July 1997 has intensified the magnitude of the
crisis. Again, it is the ordinary people who have to
bear the suffering. Gone is politics as a noble
vocation, for it has simply become a barbaric venture.
The word "barbaric" is to be understood literally,
that is, hundreds or thousands disappear or die from
organised violence. One of the horrors in a long
series of such barbaric politics is what happened in
May 1998. 

Due to time constraints, I would like to speak only
about the tragic event that happened in mid-May 1998.
I am speaking about this particular event because, in
terms of magnitude and methods of violence, it has
become like the most dramatic manifestation of
politics as practised by the elite in Indonesia. We
are not concerned here about politics as such, but
about the consequences of these barbaric politics on
the future of Indonesia. At your invitation, we have
come here to make an appeal for your solidarity with
and for the victims of the tragedy. 

The Horror 

The May 1998 tragedy was preceded by the
shooting-to-death of four university students on the
occasion of student demonstrations at the University
of Trisakti in Jakarta on 12 May. On that day the
political temperature rose suddenly, and sporadic
violence began to show its face. In the morning of 14
May, a series of violent incidents started to break
out, and by mid-day the city of Jakarta and its
surroundings were on fire. Thousands of commercial
buildings, business offices, supermarkets, residential
houses, public utilities, buses and private cars were
burnt down or simply ramshackle on the streets. 

Amidst the riots, widespread looting and torture took
place in an incomprehensible manner. By 9 June, the
Team of Volunteers for Humanitarian Causes had
catalogued 2,244 dead bodies (mostly burnt), 91
injured and 31 people missing. Again, most of the
victims were ordinary people. The casualties, however,
are only part of the story. It was soon discovered
that the horror also involved a series of gang-rapes
on Chinese women. As of 3 July, we found 152 women
being gang-raped, of whom 20 are dead. The following
is a random example of how these gang-rapes were
perpetrated: 

"A group of unknown persons were looting the victims'
house. By threatening to burn down the house, some of
them forced the victim's son to rape his younger
sister. They also coerced the male house-maid to rape
the mother of the family. The gang-rapes were then
continued by the group and other unknown persons. The
victims' house was burnt down, the siblings were
thrown into the burning fire and the mother threw
herself into the fire." (As told confidentially by an
eyewitness; the gang-rapes occurred in Jakarta on 13
May.) 

The Pattern 

Being shocked, we may ponder: who have planned such
barbaric acts on such a massive scale? We may suspect
that they are spontaneous acts by the mobs, the crowd
of ordinary people. The answer is "no." From our
on-going investigations, we began to see clearly that
the May tragedy involved a highly systematic and
organised plan and its execution. It was not a
"coincidence," for the coincidence-factor simply
cannot explain (a) the scale and (b) simultaneity
(simulacrum) of the tragedy in an area as vast as
Jakarta and its surroundings, (c) the similarity of
their modus operandi and (d) the systematic selection
of targets in the case of gang-rapes on Chinese women.
With regard to the similarity of modus operandi, we
have uncovered the following pattern: 

First, the looting and burning were not initiated by
people from the neighbourhood, but by groups of
strangers not known by the local people. These
strangers were transported in a bus or truck coming
from unknown places. They were the party which
incited, provoked and encouraged the lo

[ppiindia] May '98 riot (2): Mengupas Kembali Tragedi Mei `98

2005-05-01 Terurut Topik jonathangoeij
Mengupas Kembali Tragedi Mei `98 

Liputan6.com, Jakarta: Desing peluru seolah kembali
bergema. Derap sepatu serdadu berbaur teriakan
histeris terdengar lagi memantul dari aspal jalan.
Kenangan pahit 12 Mei 1998, tepatnya Selasa petang
ketika itu, menjadi sejarah kelam Indonesia. Peristiwa
di Kampus Trisakti tidaklah mudah dilupakan. Insiden
yang menelan korban enam mahasiswa itu mengawali aksi
anarkis massal dan berujung pada runtuhnya "kerajaan"
Orde Baru. Hingga enam tahun kejadian Trisakti
berlalu, sosok yang mesti bertanggung jawab atas
peristiwa tersebut tetap misteri. "Saya sudah lelah,"
kata Karsiyati Sie, ibunda Hendrawan Sie, mahasiswa
Trisakti yang tewas tertembak. 

Kelelahan memang terpancar pada raut Karsiyati ketika
berdialog dengan reporter SCTV Indiarto Priyadi di
Studio Liputan 6, Jakarta, Rabu (12/5) malam, dalam
acara Topik Minggu Ini bertajuk "Tragedi Mei 1998,
Sejarah Gelap Negeri Ini". Karsiyati mengaku jiwanya
kosong setelah ditinggal Hendrawan, putra tunggalnya.
Untuk menuntaskan rasa penasaran atas kematian
mahasiswa Fakultas Ekonomi Jurusan Manajemen, Angkatan
1996 itu, Karsiyati rela meninggalkan Kalimantan.
"Saya bekerja di koperasi Rektorat Trisakti," ungkap
dia. 

Gelisah tak hanya menyergap Karsiyati. Lasmiati, ibu
kandung Herry Hartanto (mahasiswa Fakultas Teknik
Industri Jurusan Mesin Angkatan 1995) malah terpaksa
pindah rumah. "Trauma. Tiga tahun jalan empat tahun,
saya kebayang terus. Kita tidur, kayaknya dia
[Hendrawan] dateng," kata Lasmiati. Jika rindu
menyergap, hanya sehelai jaket almamater menjadi
pengobatnya. Lasmiati mungkin agak beruntung bisa
bertemu "jagoannya". Ketika terbaring di brankar
(velbed), Herry masih segar bugar. "Jam sembilan
[21.00 WIB] saya dibawa teman-temannya, dia [Herry]
sudah di kamar mayat," tutur Lasmiati. Sementara
Karsiyati mengetahui kabar Hendrawan tewas melalui
televisi saat menanti pesawat yang akan
menerbangkannya ke Jakarta. 

Upaya hukum terus ditempuh agar pelaku penembakan
ditangkap. Mulai dari meminta bantuan hukum Tim
Gabungan Pencari Fakta Komisi Nasional Hak Asasi
Manusia (TGPF Komnas HAM), Komisi untuk Orang Hilang
dan Tindak Kekerasan (Kontras) dilakoni keluarga
korban Trisakti. Semua penyelidikan mengerucut pada
kesimpulan seperti diungkapkan Komisi Penyelidikan
Pelanggaran (KPP) HAM Kasus Trisakti dan Semanggi
I-II, bahwa telah terjadi kejahatan kemanusiaan dalam
tragedi itu [baca: KPP HAM Trisakti: Terjadi Kejahatan
Kemanusiaan]. 

Kesimpulan demikian belumlah memupus kegelisahan
keluarga korban. "Saya berharap tidak dipolitisir.
Saya tidak anti-TNI/Polri, yang penting berpihak
kepada rakyat semua," tegas Lasmiati. Proses peradilan
memang belum berhenti. Ada sembilan perwira TNI belum
tersentuh. Mereka antara lain Jenderal TNI
Purnawirawan Wiranto, eks Panglima Komando Cadangan
Strategis (TNI) Angkatan Darat (Kostrad) Letnan
Jenderal (Purn) Prabowo Subianto, mantan Kepala Badan
Intelijen ABRI Mayor Jenderal Zacky Makarim, dan
Mayjen TNI Sjafrie Sjamsoeddin. 

Upaya pemanggilan paksa oleh KPP HAM tidak membuahkan
hasil. DPR akhirnya menggelar rapat dengar pendapat
dengan Wiranto, satu tahun silam. Hasilnya: "Kami
sudah dipanggil oleh Pansus [Panitia Khusus]
Trisakti-Semanggi oleh DPR dan akhirnya diputuskan
melalui Sidang Paripurna bahwa Semanggi dan Trisakti
bukan pelanggaran HAM berat," tegas Wiranto. Dan, para
keluarga korban cuma bisa menjerit pilu. 

Kini, Wiranto dan Prabowo kembali disorot. Menjelang
Pemilihan Umum Eksekutif, Wiranto terpilih menjadi
calon presiden dari Partai Golkar. Prabowo--yang juga
mencalonkan diri--gagal dikalahkan Wiranto. Kehadiran
Wiranto berdampingan dengan Ketua Komnas HAM
Solahuddin Wahid (Gus Solah) seolah membangkitkan
mimpi buruk lagi. Padahal Wiranto sudah berusaha
menerangkan posisinya kepada khalayak seperti
dituangkan dalam buku Kesaksian di Tengah Badai [baca:
Wiranto Meluncurkan Buku Lagi]. 

Sang penulis, Aidul Fitricia Azhari, yang juga ikut
berdialog di SCTV mengatakan, buku tersebut juga
bercerita tentang rivalitas Wiranto dan Prabowo. Isu
persaingan antara kedua petinggi TNI itu terus
bergulir sejak Wiranto menjabat Panglima ABRI ada era
Soeharto, sampai menduduki jabatan Menteri Koordinator
Politik dan Keamanan di masa Presiden Bacharuddin
Jusuf Habibie. Belakangan Prabowo "unjuk gigi". Sebuah
buku bertajuk Politik Huru-Hara Mei 1998 diterbitkan
Fadli Zon, kawan dekat menantu mantan Presiden
Soeharto itu, Maret silam. "Jangan sampai anak cucu
kita membaca sejarah yang salah," kata Fadli. 

Lebih jauh Fadli menjelaskan, banyak data dan fakta
dalam buku Kesaksian di Tengah Badai tidak akurat dan
cenderung propaganda pribadi Wiranto. Misalnya kutipan
Wiranto: "...Mendengar laporan kejadian tersebut saya
benar-benar merasa sangat sedih, kesal, dan menyesal,
semuanya menggumpal menjadi satu. Bisa dibayangkan,
kejadian yang sudah diantisipasi sebelumnya dan oleh
karenanya berbagai upaya sudah dilakukan sebagai
langkah pencegahan, namun pada akhirnya juga harus
kita terima seba

[ppiindia] May '98 riot (1): Chinese diaspora - Indonesia

2005-04-30 Terurut Topik jonathangoeij
Chinese diaspora: Indonesia  
By Tim Johnston 
BBC, Jakarta  
 
Indonesia's ethnic Chinese community forms a significant part of the 
nation's patchwork of races, ethnicities and tribes. 

But living in a country where nationalism often borders on 
xenophobia, their existence has been punctuated by a series of 
explosions of violence. 

Yet the ethnic Chinese community is starting to rediscover its 
confidence, beginning to take advantage of the democratic reforms 
that have swept through the country over the past seven years. 

In some ways the rise of China has been a vital part of this 
process. 

No-one is entirely sure how many ethnic Chinese there are in 
Indonesia. 

In a census held in 2000, respondents were asked to describe their 
ethnic background: less than 1% of the country s 210 million 
inhabitants described themselves as ethnic Chinese. 

Many sociologists regard this as a serious underestimate: they 
believe that somewhere between six million and seven million people 
of Chinese descent are now living in Indonesia. 

They say the reluctance to describe themselves as Chinese is a 
legacy of years of discrimination. 

Tens of thousands of ethnic Chinese died in the carnage that ripped 
through Indonesia in the wake of President Suharto's coming to power 
in 1965. 

The army, backed by civilian militias, went on the rampage, 
supposedly hunting communists. 

Many Chinese were killed, victims of a simplistic equation of their 
ethnicity with the politics of communist China. 

Suharto imposed the so-called New Order regime. 

For some prominent Chinese businessmen who were friends of Suharto, 
the New Order was a bonanza: they received huge government contracts 
and became some of the richest men in Asia. 

Insecurity 

But for ordinary Chinese, the New Order was a disaster. They were 
forced to adopt Indonesian names and carry identity documents that 
identified them as Chinese. 

They were discouraged from joining the all-powerful security forces 
and banned from celebrating holidays such as the Chinese New Year or 
using Chinese characters on their shops. 

On May 14, 1998, as the Suharto regime limped to an ignominious end, 
riots erupted in areas of cities predominantly populated by ethnic 
Chinese. 

More than 1,200 people died, dozens of women were raped, and 
hundreds of shops were burned to the ground. 

"In May 1998, that was the first time in my life in this country 
that I felt insecure," says Richard Oh, a prominent businessman and 
author. 

"I looked around and thought that maybe I don't belong." 

But those riots marked the end of Suharto's so-called New Order 
regime, and Mr Oh thinks they were the final attempt by Suharto's 
most reactionary supporters to stir up trouble, rather than any 
expression of popular hatred of the Chinese. 

"It was a mistake committed by the dinosaurs, but a mistake that 
gave this country a chance at reformation," he says. 

The violence had a catalysing effect on the ethnic Chinese 
community. 

"1998 has shown that no-one is going to help them, and that they 
have to help themselves," says prominent sociologist Mely G Tan. 

"After 1998, they felt they really should assert themselves and show 
they are part of the nation." 

Pivotal change 

On 21 May 1998 Suharto was forced to resign, and shortly afterwards 
Indonesia held its first free elections in almost 50 years. 

In 2000, new president Abdurrahman Wahid announced that the Chinese 
could celebrate their New Year and use Chinese symbols on their shop 
signs. 

That pivotal change altered everything, says Mr Oh. 

The reforms have been followed by a renewal of confidence by many 
members of the ethnic Chinese community, but some people are still 
preaching caution. 

"I think they should be more prudent, especially those in the 
economy," says Dr Tan. 

She is still worried that the fissures exposed in the 1998 riots are 
still lying under the reformed polity, ready to emerge if too much 
strain is put on the relationship. 

Atmosphere of harmony 

For some, the reforms have not gone far enough. 

Frans Winarta, a lawyer and the founder of the Anti-Discrimination 
Movement in Indonesia, says many regulations promulgated by Suharto 
are still on the books. 

"These regulations can easily be repealed, but they have not been," 
he says. 

Limitations - both de jure and de facto - remain. Indonesian Chinese 
can now use their real names and celebrate New Year, but they are 
still unlikely to get a place at a state-run university, or join the 
army or police. 

Although it is no longer officially necessary, it can still cost 
between 3 million and 7 million rupiah for a person of Chinese 
descent to get the citizenship letter frequently demanded before 
they are allowed to go to school, get a passport or buy land. 

On a more personal level, marriages between the Indonesian Chinese 
community and indigenous Indonesians are still rare, with parents on 
both sides tending to discourage such relation

[ppiindia] Sedikit catatan: Jeritan Hati Warga Keturunan

2005-03-01 Terurut Topik jonathangoeij



Saya ingin memberikan sedikit catatan pada kasus ini:

Ibu Gan dan suaminya lahir di Indonesia jauh sebelum negara 
Indonesia itu ada. Berdasarkan UU Kewarganegaraan 1946 yang menganut 
paham IUS SOLI (berdasarkan tempat kelahiran) dan stetzel pasif, 
yang artinya adalah semua orang yang ada di Indonesia pada waktu 
kemerdekaan dan tidak menyatakan diri menolak kewarganegaraan 
Indonesia menurut hukum adalah WARGA NEGARA INDONESIA. Jadi Ibu Gan 
dan suaminya adalah warga negara karena kelahirannya, bukan karena 
naturalisasi.

Kekacauan kewarganegaraan terjadi pada UU Kewarganegaraan 1958 yang 
dilanjutkan dengan PP-10 1959. Mereka yang jelas-jelas adalah Warga 
Negara Indonesia secara mendadak tanpa melakukan perbuatan kejahatan 
apapun berubah menjadi Warga Negara Asing dan diwajibkan untuk 
melakukan proses 'naturalisasi' kembali. Dengan istilah KEMBALI 
menjadi Warga Negara Indonesia, artinya ybs pernah tidak menjadi WNI 
dan kemudian KEMBALI menjadi WNI, padahal jelas sekali bahwa ybs. 
sama sekali TIDAK PERNAH menjadi WNA. Hal seperti ini dialami oleh 
jutaan komunitas Tionghoa yang ditindas secara semena-mena.
Lebih parah lagi bagaimana sebuah kewarganegaraan bisa dicabut 
begitu saja secara sepihak "Tahun 1993 status kewarganegaraan saya 
dan suami dicabut tanpa proses persidangan, dengan terbitnya surat 
Departemen Kehakiman RI tanggal 15 Maret 1993 Nomor: 04-HL.01.10-106 
(copy terlampir 4)" (penulis Surat Pembaca). Tanpa ada sesuatupun 
tindak pidana yang dilanggar.

Adalah suatu kenyataan bahwa kewarganegaraan komunitas Tionghoa di 
Indonesia adalah sedemikian rentan, hanya dengan masalah 
administrasi sedikit saja suatu kewarganegaraan yang didapat dengan 
perjuangan seumur hidup dapat dicabut begitu saja. Suatu bentuk 
kesewenang-wenangan aparat dan negara tanpa mengindahkan hak asasi 
warga negara sedikitpun. 

Apakah hal seperti ini masih sebut didapat perbuatan OKNUM dan 
negara mengelak mengakui kesalahannya?

JG


--
SUARA PEMBACA

Jeritan Hati Warga Keturunan

PERKENANKAN saya menyampaikan jeritan hati. Saya dan suami awalnya 
adalah WNA yang lahir dan dibesarkan di Indonesia. Saya lahir di 
Malang, 24 Oktober 1934, suami di Tanggulangin, Sidoarjo, Maret 1932.

Tahun 1960, status kewarganegaraan suami saya berubah menjadi WNI 
dengan terbitnya Formulir III Surat Pernyataan Keterangan Melepaskan 
Kewarganegaraan Rakjat Tiongkok untuk Tetap Menjadi Warga Negara 
Republik Indonesia Nomor Urut: 3434/WNI/1960 tertanggal 30 Desember 
1960 (copy terlampir I). 

Begitu pula dengan status kewarganegaraan saya, juga telah berubah 
menjadi WNI pada tahun 1962, dengan terbitnya Formulir VI Surat 
Pernyataan Keterangan Melepaskan Kewarganegaraan Republik Rakyat 
Tiongkok untuk kembali menjadi Warganegara Republik Indonesia Nomor: 
7668/WNI/1962 tertanggal 17 Juni 1962 (copy terlampir 2), masing-
masing dikeluarkan secara sah oleh Pengadilan Negeri (PN) Surabaya 
dan telah di daftar ulang oleh PN Surabaya (copy terlampir 3).

Tahun 1993 status kewarganegaraan saya dan suami dicabut tanpa 
proses persidangan, dengan terbitnya surat Departemen Kehakiman RI 
tanggal 15 Maret 1993 Nomor: 04-HL.01.10-106 (copy terlampir 4). 

Pencabutan itu sepihak sehingga merugikan saya, sebab segala 
persyaratan sudah saya penuhi sesuai petunjuk tanpa mengada-ada. 
Apalagi berdasarkan Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor: M.01-
HL.04.02 tahun 1983 (copy terlampir 5), saya termasuk orang yang 
memenuhi syarat WNI yakni dilahirkan dan dibesarkan di Indonesia; 
dan sehari-hari hidup sebagai warga masyarakat Indonesia dan dapat 
berbahasa Indonesia maupun bahasa daerah.

Dengan demikian tidak sepatutnya status WNI saya dicabut, karena hal 
itu merupakan kesalahan administrasi belaka bukan perbuatan pidana 
yang harus saya pertanggung jawabkan.

Akibat pencabutan WNI tersebut, nasib saya dan suami terkatung-
katung tanpa status kewarganegaraan yang pasti, sampai akhirnya 
kemudian saya dan suami divonis menggunakan dokumen palsu berupa KTP 
hanya karena untuk mempertahankan hidup di Indonesia agar tidak 
dituduh sebagai warga negara gelap, karena tidak ber-KTP.

Untuk kedua kalinya saya dan suami saya kembali dituduh atas perkara 
yang sama, walaupun keadaan suami saya sakit permanen yaitu 
diabetes, jantung, hipertensi, kemunduran daya ingat alias pikun, 
yang tidak memungkinkan untuk diperiksa. 

Akan tetapi tetap dipaksakan dan saat ini persidangan digelar di PN 
Surabaya walaupun harus menggunakan kursi roda dengan membawa tabung 
oksigen dan berdasarkan Surat Keterangan Dokter Prof Dr dr K 
Tantular SpPark (copy terlampir 6).

Berdasarkan serangkaian fakta tersebut, saya dan suami tetap 
berusaha untuk menjadi WNI walaupun di usia yang sudah tua ini. 
Melalui surat ini kiranya dapat memperoleh perlindungan hukum dan 
keadilan yang didambakan oleh setiap penduduk Indonesia dalam 
observasi HAM. 


Gan Siok Hian

Jl KH Mas Mansyur No 12A

Surabaya


SUARA PEMBARUAN DAILY
Tanggal 28/2/2005










[ppiindia] Selamat Tahun Baru 2005

2005-01-01 Terurut Topik jonathangoeij



Dari 210 East aku beralih ke 605 South
Hujan dan kabut membuat siang hari terasa gelap
Kulihat keatas awan hitam berarak
Kuhela napas masih adakah harapan esok hari
Dari balik spion kulihat lengkung cahaya warna warni
Dari 605 South aku berbelok ke 10 East
Kulihat indah sekali pelangi membusur kekaki langit
Diujung pelangi ada terang bersinar dan awan putih

Sehabis hujan akan ada pelangi

Selamat Tahun Baru 2005
Jonathan Goeij

--
Dia buka jalan, saat tiada jalan 
Dengan cara yang ajaib, dibukanya jalanku 
Dia menuntunku dan memeluk diriku 
Dengan kasih dan kuasaNya 
Dia buka jalan 
 
Reff: 
Di belantara Dia tetap menuntunku 
Sungai di gurun aku temui 
Langit bumi 'kan lenyap tapi firmanNya tetap 
Saat ini Dia buka jalan









 Yahoo! Groups Sponsor ~--> 
Make a clean sweep of pop-up ads. Yahoo! Companion Toolbar.
Now with Pop-Up Blocker. Get it for free!
http://us.click.yahoo.com/L5YrjA/eSIIAA/yQLSAA/BRUplB/TM
~-> 

***
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.uni.cc
***
__
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 
4. Forum IT PPI-India: http://www.ppiindia.shyper.com/itforum/
5. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
6. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
7. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
[EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
http://docs.yahoo.com/info/terms/
 





[ppiindia] Presiden Baru dan Hambatan Pelaksanaan Ibadah

2004-10-28 Terurut Topik jonathangoeij



"Kalau ada komunitas agama di Indonesia, kata JUSUF KALLA 
selanjutnya, yang ingin membangun rumah ibadah menurut kemauannya 
sendiri-sendiri dan tidak mematuhi SKB yang telah mengatur tentang 
masalah ini, sebaiknya komunitas agama tersebut bertempat tinggal di 
negara lain yang tidak ada Departemen Agamanya. 

--
Presiden Baru dan Hambatan Pelaksanaan Ibadah 

Weinata Sairin

SUATU kenyataan yang tak bisa disangkal jika kita berbicara tentang 
identitas Indonesia adalah pluralitas, kemajemukan, yang bahkan 
bersifat multidimensional. Kemajemukan suku, ras, etnik, golongan 
dan agama adalah warna dasar dan napas yang membuat Indonesia 
memiliki nilai yang unik dan spesifik. Dan siapa pun mengakui hal 
itu.

Susilo Bambang Yudhoyono dalam kapasitasnya sebagai Menko Polkam 
dalam ceramah di depan Sidang MPL Persekutuan Gereja-Gereja di 
Indonesia (PGI) di Parapat, Sumatera Utara, 16 November 2001, 
menegaskan bahwa pluralisme adalah salah satu nilai dasar yang tak 
boleh dilupakan ketika kita berbicara tentang kerangka bernegara di 
negeri ini. 

Menurut SBY, Indonesia adalah negara yang majemuk. Di satu sisi 
kemajemukan merupakan kekayaan, tapi di sisi lain menjadi suatu 
kerawanan. Itulah sebabnya the founding fathers pertama-tama 
mengatakan bahwa kita berbeda-beda tapi satu (Bhinneka Tunggal Ika); 
dan itulah yang mendorong Kongres Pemuda 1928 merumuskan "satu nusa, 
satu bangsa, satu bahasa". 

Siapa pun yang memimpin di ne- geri ini, kata SBY, elite manapun, 
partai politik mana pun yang tumbuh dan berkembang di negeri ini, 
pertama-tama harus menyadari bahwa pluralisme adalah nilai dasar 
yang harus diadopsi dan diimplementasikan. 

Pernyataan SBY tiga tahun yang lalu itu amat penting dan strategis, 
justru pada saat ini ketika ia telah tampil sebagai presiden 
terpilih RI 2004-2009 bersama-sama Jusuf Kalla sebagai wakil 
presiden; dan ketika power berada di tangannya. Apakah ia akan 
konsisten melaksanakan apa yang ia ucapkan tiga tahun yang lalu itu? 

Para anggota MPL PGI yang berhimpun di Parapat, 16 November 2001, 
memberi apresiasi hangat merespons ceramah Menko Polkam; dan kini 
mereka sedang menunggu apakah isi ceramah yang sarat dengan 
pemikiran cerdas dan bernas itu mampu direalisasikan dalam tindak 
nyata oleh Sang Presiden? 


Gedung Gereja

Sikap diskriminatif dan pelecehan terhadap agama dalam berbagai 
ketentuan perundangan dan yang terwujud melalui bentuk-bentuk 
praktis seharusnyalah tidak boleh terjadi dalam sebuah Negara yang 
ber-Pancasila. Apalagi hal itu dijamin dalam Pasal 29 UUD 1945.

Namun di lapangan, kenyataan sebaliknya yang justru terjadi. Gereja-
gereja dan umat Kristiani di Indonesia acapkali mendapat perlakuan 
diskriminatif dari oknum pemerintah dan sekelompok warga bangsa. 
Dalam konteks pembangunan gedung gereja dan pelaksanaan kebaktian 
amat terasa sikap diskriminatif itu. 

Forum Komunikasi Kristiani Indonesia (FKKI) mencatat bahwa sejak 
Indonesia Merdeka hingga berakhirnya pemerintahan BJ Habibie 20 
Oktober 1999, tercatat 611 gedung gereja yang ditutup, dirusak atau 
dibakar di seluruh wilayah Indonesia.

Jumlah ini tentu akan bertambah terus setiap hari. Pada 7 Juni 2004 
lalu dilaporkan ada empat gereja dirusak massa di Pamulang, Jakarta 
Selatan, disertai penganiyaan terhadap pendeta dan warga jemaat. Hal 
yang amat tragis adalah perusakan itu terjadi tatkala warga jemaat 
sedang melakukan ibadah di gereja tersebut. 

Gangguan terhadap umat beragama yang sedang melaksanakan ibadah 
adalah wujud adanya sikap barbar, arogan dan pelecehan agama dari 
sekelompok orang yang sulit diterima bisa terjadi dalam Negara yang 
mengklaim bahwa bangsanya adalah bangsa yang religius. Realitas itu 
makin diperparah dengan penembakan yang dilakukan terhadap Pendeta 
Susianti Tinulele di Poso, 18 juli 2004 yang hingga kini belum bisa 
ditangkap penembaknya. 

Lepas dari kemungkinan adanya provokator, politisasi agama dan 
berbagai analisis lainnya tapi kondisi seperti itu sama sekali tidak 
memberi rasa aman bagi umat Kristiani pada khususnya untuk 
melaksanakan ibadah mereka. 

Pelarangan ibadah umat Katolik di Kompleks Sekolah Sang Timur - 
Tangerang belum lama ini, penutupan 12 gereja di Bandung adalah 
kasus-kasus kctual yang terjadi dan setiap saat dapat berulang 
mendera dan menyiksa kekristenan di negeri ini. Sementara tokoh-
tokoh lintas agama di tingkat nasional melakukan kunjungan muhibah 
ke luar negeri sembari mempertontonkan kerukunan, tapi pada tingkat 
grass root kerukunan itu tidak terwujud. 

Ironi seperti ini yang acap terjadi di era Orde Baru, mestinya tak 
boleh lagi terjadi di era SBY-JK. Dalam agenda presiden terpilih, 
kesukaran umat Kristiani dalam membangun rumah ibadah dan dalam 
melaksanakan ibadah harus menjadi perhatian serius, jika negeri ini 
tidak akan jatuh pada bahaya disintegrasi. 

Pemerintah tidak boleh berpihak pada salah satu kelompok agama, 
pemerintah dengan sikap kenegarawanan yang tinggi harus memberi 
jaminan dan fasilitas ag

[ppiindia] Re: GM Demokrat Laporkan Bukti KKN Yusril ke SBY

2004-10-26 Terurut Topik jonathangoeij



--- In [EMAIL PROTECTED], "Ambon" <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
> Harian Komentar
> 27 October 2004
> 
> GM Demokrat Laporkan Bukti KKN Yusril ke SBY
> 
> Salah satu menteri Kabinet Indonesia Bersatu, Yusril Ihza Mahendra 
digoyang 
> Generasi Muda (GM) Demokrat. Mantan Menteri Menkeh dan HAM di era 
Megawati 
> ini dilaporkan terkait KKN senilai 1 juta dolar AS. Kini surat dan 
> bukti-bukti dugaan kasus KKN Yusril itu telah dilaporkan GM 
Demokrat ke 
> Presiden SBY. 
> http://www.hariankomentar.com/lf001.html

Menjadi pertanyaan besar, apakah laporan mengenai korupsi Yusril ini
akan ditindak lanjuti atau menguap begitu saja?

Hal ini merupakan ujian bagi keseriusan pemerintahan SBY utk
memberantas korupsi karena sang terlapor koruptor adalah anggota
kabinetnya sendiri.

JG








 Yahoo! Groups Sponsor ~--> 
Make a clean sweep of pop-up ads. Yahoo! Companion Toolbar.
Now with Pop-Up Blocker. Get it for free!
http://us.click.yahoo.com/L5YrjA/eSIIAA/yQLSAA/BRUplB/TM
~-> 

***
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih 
Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.uni.cc
***
__
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 
4. Posting: [EMAIL PROTECTED]
5. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
6. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
7. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
[EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
http://docs.yahoo.com/info/terms/
 





[ppiindia] Gereja Tabernakel Poso Ditembaki

2004-10-22 Terurut Topik jonathangoeij



Gereja Tabernakel Poso Ditembaki 

Penemuan Bom Rakitan di Gereja Silo, Ambon, Terus Diusut



PALU - Di hari kedua alih pemerintahan baru, kondisi Poso, Sulawesi 
Tengah (Sulteng), belum juga aman. Gereja Kristen Pantekosta 
Tabernakel Poso, Kamis (21/10) sekitar pukul 21.00 Wita, diberondong 
tembakan sekelompok orang tak dikenal. 

Serangan tersebut menyebabkan Hans Laniti (25), penjaga gereja, 
terkena tembakan di bagian punggung kanan tembus punggung kiri dan 
sampai Jumat (22/10) pagi masih dirawat intensif di RSU Poso. 
Akibatnya, suasana Poso kembali menegangkan.

Keterangan yang dihimpun Pembaruan, Jumat pagi menyebutkan, gereja 
yang terletak di Jl. Pulau Kalimantan, Kelurahan Gebang Rejo, Poso 
kota tersebut diberondong senjata oleh dua orang pemuda tak dikenal. 
Seorang saksi mata mengatakan, awalnya tembakan beruntun tiga kali 
datang dari arah belakang gereja dan mengenai kaca-kaca jendela di 
bagian rumah pastori gereja hingga pecah berantakan. 

Yohana, penghuni rumah pastori gereja tersebut mengatakan, peluru 
tembakan dari arah belakang gereja itu juga sempat tembus sampai ke 
kamarnya. "Saat itu saya dan suami saya Hans Laniti sedang nonton TV 
sambil menidurkan anak kami yang masih kecil,"ujar Yohana. 

Akan tetapi ketika mendengar bunyi tembakan, Hans keluar dari 
kamarnya menuju teras depan guna mengetahui apa sebenarnya yang 
terjadi. Namun saat itu, pelaku penembakan dengan menggunakan sepeda 
motor kembali melepaskan tembakannya ke arah Hans sehingga mengenai 
punggung kanan dan tembus penggung kiri korban. 


Shogun Merah

Menurut Yohana, ia melihat kedua pemuda berboncengan dengan 
menggunakan sepeda motor bebek merek Suzuki Shogun warna merah. 

Lokasi gereja Tabernakel Poso sendiri berjarak hanya sekitar 50 
meter dari kantor Polsek dan kantor Koramil Poso. Sementara aparat 
yang diduga mendengar bunyi tembakan di gereja tersebut, baru datang 
saat pelaku sudah melarikan diri. 

Aparat polisi setempat juga berusaha mengejar pelaku yang diduga 
melarikan diri ke arah selatan, namun kehilangan jejak. Sementara 
dari hasil penyelidikan di tempat kejadian, polisi menemukan 
beberapa proyektil peluru yang diduga milik kedua pelaku. 

Wakapolres Poso Kompol Ruddy Trenggono kepada wartawan di lokasi 
kejadian menyebutkan, proyektil peluru yang ditemukan tersebut 
diduga ditembakan dari senjata jenis Revolver dan FN.

Kejadian penembakan di Poso tersebut merupakan yang kedua kalinya 
terjadi dalam sepekan terakhir, Penembakan sebelumnya terjadi Rabu 
malam lalu (13/10) di Dusun Murah, Desa Kawende, Kecamatan Poso 
Pesisir mengakibatkan satu korban tewas Ni Nengah Angendi dan dua 
lainnya Hamzah dan Sugianto alias Cinong terluka parah dan sampai 
kini masih dalam proses penyembuhan. 

Kabid Humas Polda Sulteng AKBP Rais Adam yang dihubungi Jumat pagi 
mengatakan, dengan dua kali kejadian penembakan ini, tingkat 
pengamanan di Poso akan semakin diperketat. 

Ia mengakui ribuan aparat saat ini masih berjaga di Poso dalam 
kaitan tugas operasi pemulihan keamanan Poso. Namun begitu kata 
Rais, luasnya wilayah Poso dengan kondisi geografis yang masih 
dipenuhi hutan lebat maka tidak memungkinkan bagi aparat untuk 
menjaga wilayah itu secara maksimal.


Ambon

Sementara itu, Kepala Polisi Resort (Kapolres) Pulau Ambon AKBP 
Leonidas Braksan mengatakan, bom rakitan yang ditemukan di Gereja 
Silo, Ambon, Rabu (20/8) lalu, telah diurai Tim Jihandak Polda 
Maluku.

"Hasilnya belum diketahui," katanya kepada Pembaruan di Ambon, Kamis 
(21/10).

Dikatakan, motif teror bom tersebut masih diselidiki. Bom 
berdiameter lima cm dan panjang 20 cm itu, ditemukan Polisi Pamong 
Praja di sela-sela pagar Gereja Silo dan belum sempat meledak.

Braksan memperkirakan, bom itu merupakan sisa-sisa konflik 25 April 
2004 lalu. Hingga Kamis pagi, Polres Ambon dan PP Lease telah 
memeriksa seorang warga terkait dengan penemuan bom di samping pagar 
Gereja Silo di perempatan Tugu Trikora Kota Ambon.

Lokasi ditemukannya bom itu, hanya berjarak 10 meter dari kawasan 
Tugu Trikora tempat berlangsungnya aksi demo ratusan aktifis 
mahasiswa yang tergabung dalam Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia 
(GMNI) Cabang Ambon. Para mahasiswa membagi-bagikan stiker mini yang 
disebut Trikora Maluku (Tiga Rekomendasi Rakyat Maluku) kepada SBY-
Kalla. (VL/128/N-6)

SUARA PEMBARUAN DAILY
Last modified: 22/10/04









 Yahoo! Groups Sponsor ~--> 
Make a clean sweep of pop-up ads. Yahoo! Companion Toolbar.
Now with Pop-Up Blocker. Get it for free!
http://us.click.yahoo.com/L5YrjA/eSIIAA/yQLSAA/BRUplB/TM
~-> 

***
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih 
Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.uni.cc
***

[ppiindia] Franz Magnis-Suseno SJ: Tidak Dapat Dijerat Hukum

2004-10-19 Terurut Topik jonathangoeij



Tidak Dapat Dijerat Hukum

Franz Magnis-Suseno SJ 

MINGGU (3/10/2004) pagi sekitar 150 orang yang menamakan diri 'Fron 
Pemuda Islam Karang Tengah' mulai berkumpul di depan gerbang sekolah 
Katolik Sang Timur Karang Tengah Cileduk. Mereka menuduh sudah 
dilakukan pemurtadan dan menolak penggunaan sekolah sebagai tempat 
ibadah. Demonstrasi menjadi kasar. Gerbang dirusak, dibakar ban, 
seorang pria kedengaran berteriak "Kami harus memerangi orang kafir."

Jam 9.00, di hadapan camat dan Kapolsek, pastor menandatangani surat 
pernyataan akan menghentikan peribadatan di sekolah itu. Camat yang 
namanya Syarif menyambut penandatangan itu dengan berpidato kepada 
massa, di mana ia kedengaran mengatakan antara lain "Saudara-
saudaraku, syukur alhamdulillah, perjuangan kami sudah tercapai." 

Tidak puas dengan itu, para demonstran memaksa menyegel sekolah. 
Persis di pintu masuk mereka membangun tembok setinggi 160 cm persis 
sehingga orang tidak bisa masuk lagi. Selama seminggu sekolah, 
dengan lebih dari 2.000 murid, tutup. Sekarang sekolah sudah buka 
kembali, tetapi murid dan guru harus masuk dari belakang, dengan 
jalan kaki jauh. Tembok di depan pintu masuk, resmi tetap berdiri.

Sebagai latar belakang, ruang serba guna sekolah itu sejak 1992 - 
atas dasar surat rekomendasi Nomor 192/ Pem/VII/1992 Kepala Desa 
Karang Tengah - dipakai pada hari Sabtu/ Minggu dan hari raya besar 
oleh 8.975 anggota umat Paroki Bernadet Ciledug untuk misa kudus 
karena umat belum berhasil membangun gereja.

Nah, tiga bulan lalu, tanggal 29 Juli 2004, Kantor Departemen Agama 
Kota Tangerang mengirim surat yang meminta agar kegiatan keagamaan 
dihentikan di sekolah itu. Tanggal 30 Agustus, Lurah Karang Tengah 
mencabut surat rekomentasinya dulu. Sejak itu ibadat umat Katolik 
Ciledug mulai diganggu. Usaha umat untuk berdialog, minta agar boleh 
meneruskan ibadat sementara belum ditemukan tempat alternatif, 
dikandaskan tanggal 3 Oktober lalu itu. 


Mengapa kejadian ini saya tuliskan untuk dimuat di sini? Saya sudah 
tidak tahan melihat kepicikan dan intoleransi di belakang kejadian-
kejadian seperti itu. 

Ciledug bukan kejadian satu-satunya. Dua bulan lalu Bupati Bandung 
per surat serentak menutup 12 tempat ibadat serupa di Bandung. 
Kekerasan terhadap gereja-gereja berjalan terus, de- ngan rata-rata 
satu kejadi- an per minggu. Sejak 1990 sudah lebih dari 500 gereja 
diserang. Apakah ini perkara kecil?

Alasan Kristenisasi bagi saya sangat tidak meyakinkan. Bahwa di sana 
sini ada orang masuk tidak perlu disangkal. Tetapi kalau melihat 
statistik Indonesia, maka selama 30 tahun ini, tidak ada pertambahan 
signifikan umat kristiani di negara ini. Jadi seberapa jauh 
signifikasi kasus-kasus itu?

Kebenaran adalah kebalikan. Di gereja Ciledug, dan di kebanyakan 
gereja di seantero Indonesia, sama sekali tidak dilakukan 
kristenisasi apa pun. Sama sekali tidak terjadi umat beragama lain 
di sekeliling gereja, atau sekolah, diajak masuk Kristiani. Saya 
curiga bahwa isu kristenisasi dipakai secara sengaja untuk membangun 
emosi. 

Lalu terjadi kekerasan, pemaksaan, perusakan, kadang-kadang (ratusan 
kali) penghancuran. Orang bisa melakukannya dengan impunity (tidak 
terjerat hukum), karena serangan terhadap gereja di Jawa dan di 
beberapa pulau lain di Indonesia, dibiarkan saja. Di Ciledug malah 
Kantor Depag yang menjadi perintis pencekikan ibadat salah satu 
umat! 

Saya bertanya, kita hidup di negara apa? Omongan tentang toleransi, 
tentang persatuan (ingat iklan bagus-bagus di TVRI), tentang 
Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi lelucon cemooh. Dan para pemimpin, 
kaum intelektual, para suara hati bangsa, di mana suara mereka? 
Tutup telinga, tutup mata, tutup mulut.



Undang-undang dasar kita dengan tegas menyatakan bahwa "orang bebas 
memeluk agama dan beribadat menurut agamanya" (Pasal 28E, dan lihat 
Pasal 29, 2.). Tetapi sejak puluhan tahun, umat minoritas dihalang-
halangi terus kalau minta izin mendirikan rumah ibadat, juga apabila 
jelas-jelas ada umat. Surat Keputusan Bersama 35 tahun lalu sudah 
menjadi sarana untuk mensabotase kebebasan beribadat. 

Katanya, jangan membangun rumah ibadat di tengah-tengah umat 
beragama lain. Tetapi minoritas mau membangun rumah sudah pasti di 
tengah-tengah mayoritas. Tidak mungkin di tengah hutan. Izin 
membangun gereja tidak diberikan, atau perlu waktu 20 tahun. Tetapi 
kalau sementara ini umat beribadat di tempat seadanya, ia diancam 
dan dilarang. 

Saya juga meragukan bahwa itu semua sekadar masalah masyarakat 
lokal. "Perjuangan kami sudah tercapai!", ujar Camat di depan 
gerbang sekolah Sang Timur yang baru dirusakkan. Perjuangan apa? 
Siapa punya? Siapa "kami" itu? Benarkah desas-desus bahwa ada 
jaringan orang-orang ekstrem yang sampai meresap ke administrasi 
lokal, yang sudah memutuskan untuk secara dingin mencekik kehidupan 
beragama minoritas di negara Pancasila? 

Kezaliman terhadap peribadatan minoritas sudah melampaui batas dan 
mengancam membuat percuma usaha tulus