[ppiindia] Re: tribalisme kesukukuan, tribalisme agama dan tribalisme sepakbola

2007-04-20 Terurut Topik Akmal N. Basral

arcon,
sebaiknya baca dulu buku franklin foer itu. 
apa yang disebutkan aresto itu benar. semua grand theory tentang
primordialisme, tribalisme, dan significant others, digambarkan dengan
jelas oleh foer lewat narasi memikat yang mampu menukik ke belakang
apa yang terlihat.

karya foer ini adalah idealisasi dari kemampuan yang sejak lama
diimpikan para sosiolog: debunking. seperti clark kent, eh, superman,
yang melihat bukan pada isi lemari, tapi pada apa yang ada di belakang
lemari. risetnya dahsyat.

soal keindahan mutu jurnalisme sastrawi pada karya foer ini bisa juga
dijelaskan pada fenomena unik ini: adik franklin, jonathan safran
foer, adalah salah seorang sastrawan muda amerika paling banyak
dibicarakan saat ini, terutama dua novelnya everything's illuminated
(2003)  (sudah difilmkan dengan elijah wood sebagai bintangnya), dan
extremely loud, incredibly close (2005) yang teknik berceritanya
saya adopsi pada salah satu cerpen saya dalam antologi ada seseorang
di kepalaku yang bukan aku (2006).

dugaan saya, jika franklin menulis prosa seperti adiknya, kualitas
mereka sedikitnya setara.

salam,

~a~

--- In ppiindia@yahoogroups.com, Ari Condrowahono [EMAIL PROTECTED] wrote:

 teman teman, 
 
 sepak bola ini bukan lah anti thesis terhadap lenyapnya
nasionalisme, namun justru fenomena pelengkap, tribalisme kesukuan
atau tribalisme religion, justru sudah bergeser. lebih soft, energi
itu dibuat tidak lagi merusak, tidak lagi merasa paling digjaya.
sekarang adalah jamannya tribalisme sepak bola. sentimen sentimen itu
diekspresikan dalam bentuk dukungan thd tim sepak bola kesayangannya.
 
 ===
 

http://aresto.wordpress.com/2007/04/17/ketika-sepakbola-menjelaskan-dunia/
 
 Ketika Sepakbola Menjelaskan Dunia
 
 Buku sepakbola yang bukan tentang sepakbola. Di dalamnya kita akan
menjumpai deskripsi dari hal-hal terintim dalam sepakbola: bangku
stadion Maracana, profil komandan hooligan Chelsea, ruang ganti DC
United, sampai obrolan di klub eksekutif penggemar Inter beraliran
kiri. Tapi, kita tidak akan menemukan pembahasan tentang permainan
sepakbola itu sendiri. Buku ini juga tidak ditulis oleh pelaku
sepakbola, tapi justru oleh seorang jurnalis politik Amerika yang
melukiskan dirinya sebagai  ..karena tidak akan pernah jago bermain
bola, saya bisa melakukan hal terbaik berikutnya: memahami sepakbola
sedalam-dalamnya laiknya seorang maniak. Franklin Foer, editor
majalah politik nomor wahid New Republic, menggunakan olahraga yang
dicintainya untuk mengupas globalisasi, bidang yang dikuasainya. 
 
 
 Sebagai penggemar bola, Foer paham betul akrabnya sepakbola dengan
globalisasi. Tak percaya? Lihat saja Manchester United. Klub
terpopuler ini dimiliki pemodal Amerika, punya manajer bergelar Sir,
dipenuhi pemain top yang sangat kosmopolit, sampai digunakan namanya
oleh sebuah kafe di jalan Thamrin. Tak heran kalau Foer memutuskan
untuk mengambil cuti delapan bulan untuk mengunjungi lokus sepakbola
di penjuru dunia. Harapannya, ia ingin menunjukkan bahwa globalisasi
bisa dijelaskan dengan cara yang sederhana, menontonnya dimainkan
(atau bermain?) di ranah sepakbola. Hasilnya, sebuah buku yang
membawa kita melihat sisi-sisi sepakbola yang bukan cuma statistik
pertandingan atau model hot pacar pemain anu seperti yang biasa kita
baca di lembar olahraga.
 
 
 Oh ya, walaupun berusaha menjawab perdebatan mengenai gagalnya janji
kemakmuran globalisasi:mengapa negara tetap miskin?apakah korporasi2
multinasional adalah penjahat?, Foer tidak memakai pendekatan ekonomi
dan lebih memilih perspektif kultural. Dalam hal ini kultur sepakbola
yang dhidupkan oleh para pelakunya.
 
 
 Ternyata yang ditemukan Foer tak sesederhana yang dibayangkannya.
Pernyataan bahwa globalisasi meruntuhkan identitas negara bangsa
justru menemukan antitesa ketika Foer melihat fenomena suporter Red
Star Belgrade di Serbia. Klub-klub suporter yang militan berhasil
diorganisir dengan nasionalisme yang begitu kental menjadi sumber
rekrutmen paramiliter untuk Perang Balkan. Dari klub suporter inilah
paramiliter Tigers yang keganasannya luar biasa dalam membunuhi warga
Muslim Bosnia berasal. Di bawah pimpinan gangster legendaris Arkan,
klub ini menjelma menjadi organisasi bayangan yang tidak tersentuh
selama Perang Balkan. Bahkan, sampai saat inipun nama Arkan masih
dianggap dewa oleh orang-orang Serbia. Lebih jauh Foer melihat bahwa
ternyata budaya global tidak menyapu bersih pranata lokal. Melihat
fanatisme bonek Rangers dan Celtics di Glasgow, Foer melihat bagaimana
orang justru kembali ke identitas lama mereka yaitu agama dan
menunjukkan ekspresi2 tribalisme yang primitif dan bisa dibilang
ganas. Jika sepakbola dilihat sebagai suatu perwujudan praktis dari
gagasan yang abstrak, Foer berani menyatakan bahwa globalisasi gagal
mengikis kebencian-kebencian yang berasal dari identitas kuno.
 
 
 Di bagian kedua bukunya, Foer menelisik lebih jauh ke masalah
ekonomi. Untuk memperlihatkan dampak derasnya arus migrasi dari negara
ke dunia ketiga ke Eropa, 

Re: [ppiindia] Re: tribalisme kesukukuan, tribalisme agama dan tribalisme sepakbola

2007-04-20 Terurut Topik Ari Condrowahono
halo kang akmal,

wah, edun, dipantau di mana mana :D  udah ada nomernya kang sigit ?
ttg buku, tambahan sampean membuat saya tertarik, banget !  mau minjemin ke 
saya, bukunya ? sapa tahu bisa janjian di mana gitu.   huahaha, rumah aresto di 
depok, lumayan juga kalau harus njemput buku ke sana.  :D

salam,
Ari Condro

  - Original Message - 
  From: Akmal N. Basral 
  To: ppiindia@yahoogroups.com 
  Sent: Friday, April 20, 2007 2:51 PM
  Subject: [ppiindia] Re: tribalisme kesukukuan, tribalisme agama dan 
tribalisme sepakbola



  arcon,
  sebaiknya baca dulu buku franklin foer itu. 
  apa yang disebutkan aresto itu benar. semua grand theory tentang
  primordialisme, tribalisme, dan significant others, digambarkan dengan
  jelas oleh foer lewat narasi memikat yang mampu menukik ke belakang
  apa yang terlihat.

  karya foer ini adalah idealisasi dari kemampuan yang sejak lama
  diimpikan para sosiolog: debunking. seperti clark kent, eh, superman,
  yang melihat bukan pada isi lemari, tapi pada apa yang ada di belakang
  lemari. risetnya dahsyat.

  soal keindahan mutu jurnalisme sastrawi pada karya foer ini bisa juga
  dijelaskan pada fenomena unik ini: adik franklin, jonathan safran
  foer, adalah salah seorang sastrawan muda amerika paling banyak
  dibicarakan saat ini, terutama dua novelnya everything's illuminated
  (2003) (sudah difilmkan dengan elijah wood sebagai bintangnya), dan
  extremely loud, incredibly close (2005) yang teknik berceritanya
  saya adopsi pada salah satu cerpen saya dalam antologi ada seseorang
  di kepalaku yang bukan aku (2006).

  dugaan saya, jika franklin menulis prosa seperti adiknya, kualitas
  mereka sedikitnya setara.

  salam,

  ~a~

  --- In ppiindia@yahoogroups.com, Ari Condrowahono [EMAIL PROTECTED] wrote:
  
   teman teman, 
   
   sepak bola ini bukan lah anti thesis terhadap lenyapnya
  nasionalisme, namun justru fenomena pelengkap, tribalisme kesukuan
  atau tribalisme religion, justru sudah bergeser. lebih soft, energi
  itu dibuat tidak lagi merusak, tidak lagi merasa paling digjaya.
  sekarang adalah jamannya tribalisme sepak bola. sentimen sentimen itu
  diekspresikan dalam bentuk dukungan thd tim sepak bola kesayangannya.
   
   ===
   
  
  http://aresto.wordpress.com/2007/04/17/ketika-sepakbola-menjelaskan-dunia/
   
   Ketika Sepakbola Menjelaskan Dunia
   
   Buku sepakbola yang bukan tentang sepakbola. Di dalamnya kita akan
  menjumpai deskripsi dari hal-hal terintim dalam sepakbola: bangku
  stadion Maracana, profil komandan hooligan Chelsea, ruang ganti DC
  United, sampai obrolan di klub eksekutif penggemar Inter beraliran
  kiri. Tapi, kita tidak akan menemukan pembahasan tentang permainan
  sepakbola itu sendiri. Buku ini juga tidak ditulis oleh pelaku
  sepakbola, tapi justru oleh seorang jurnalis politik Amerika yang
  melukiskan dirinya sebagai  ..karena tidak akan pernah jago bermain
  bola, saya bisa melakukan hal terbaik berikutnya: memahami sepakbola
  sedalam-dalamnya laiknya seorang maniak. Franklin Foer, editor
  majalah politik nomor wahid New Republic, menggunakan olahraga yang
  dicintainya untuk mengupas globalisasi, bidang yang dikuasainya. 
   
   
   Sebagai penggemar bola, Foer paham betul akrabnya sepakbola dengan
  globalisasi. Tak percaya? Lihat saja Manchester United. Klub
  terpopuler ini dimiliki pemodal Amerika, punya manajer bergelar Sir,
  dipenuhi pemain top yang sangat kosmopolit, sampai digunakan namanya
  oleh sebuah kafe di jalan Thamrin. Tak heran kalau Foer memutuskan
  untuk mengambil cuti delapan bulan untuk mengunjungi lokus sepakbola
  di penjuru dunia. Harapannya, ia ingin menunjukkan bahwa globalisasi
  bisa dijelaskan dengan cara yang sederhana, menontonnya dimainkan
  (atau bermain?) di ranah sepakbola. Hasilnya, sebuah buku yang
  membawa kita melihat sisi-sisi sepakbola yang bukan cuma statistik
  pertandingan atau model hot pacar pemain anu seperti yang biasa kita
  baca di lembar olahraga.
   
   
   Oh ya, walaupun berusaha menjawab perdebatan mengenai gagalnya janji
  kemakmuran globalisasi:mengapa negara tetap miskin?apakah korporasi2
  multinasional adalah penjahat?, Foer tidak memakai pendekatan ekonomi
  dan lebih memilih perspektif kultural. Dalam hal ini kultur sepakbola
  yang dhidupkan oleh para pelakunya.
   
   
   Ternyata yang ditemukan Foer tak sesederhana yang dibayangkannya.
  Pernyataan bahwa globalisasi meruntuhkan identitas negara bangsa
  justru menemukan antitesa ketika Foer melihat fenomena suporter Red
  Star Belgrade di Serbia. Klub-klub suporter yang militan berhasil
  diorganisir dengan nasionalisme yang begitu kental menjadi sumber
  rekrutmen paramiliter untuk Perang Balkan. Dari klub suporter inilah
  paramiliter Tigers yang keganasannya luar biasa dalam membunuhi warga
  Muslim Bosnia berasal. Di bawah pimpinan gangster legendaris Arkan,
  klub ini menjelma menjadi organisasi bayangan yang tidak tersentuh
  selama Perang Balkan. Bahkan, sampai saat inipun nama

[ppiindia] Re: tribalisme kesukukuan, tribalisme agama dan tribalisme sepakbola

2007-04-20 Terurut Topik Akmal N. Basral

kang sigit sekarang nginep di rumah eka kurniawan-ratih kumala.
birds of a feather flocks together, kan? :-)
lah, bukannya lebih cepet mampir ke inibuku.com aja?
buku dikirim, diskon 15%, bayar setelah diterima lagi.

hareee geneee minjemmm hehehe...
bantulah para penerbit indonesia (edisi indonesia buku franklin foer
itu diterbitkan marjin kiri).

salam,

~a~

--- In ppiindia@yahoogroups.com, Ari Condrowahono [EMAIL PROTECTED] wrote:

 halo kang akmal,
 
 wah, edun, dipantau di mana mana :D  udah ada nomernya kang sigit ?
 ttg buku, tambahan sampean membuat saya tertarik, banget !  mau
minjemin ke saya, bukunya ? sapa tahu bisa janjian di mana gitu.  
huahaha, rumah aresto di depok, lumayan juga kalau harus njemput buku
ke sana.  :D
 
 salam,
 Ari Condro
 
   - Original Message - 
   From: Akmal N. Basral 
   To: ppiindia@yahoogroups.com 
   Sent: Friday, April 20, 2007 2:51 PM
   Subject: [ppiindia] Re: tribalisme kesukukuan, tribalisme agama
dan tribalisme sepakbola
 
 
 
   arcon,
   sebaiknya baca dulu buku franklin foer itu. 
   apa yang disebutkan aresto itu benar. semua grand theory tentang
   primordialisme, tribalisme, dan significant others, digambarkan dengan
   jelas oleh foer lewat narasi memikat yang mampu menukik ke belakang
   apa yang terlihat.
 
   karya foer ini adalah idealisasi dari kemampuan yang sejak lama
   diimpikan para sosiolog: debunking. seperti clark kent, eh, superman,
   yang melihat bukan pada isi lemari, tapi pada apa yang ada di belakang
   lemari. risetnya dahsyat.
 
   soal keindahan mutu jurnalisme sastrawi pada karya foer ini bisa juga
   dijelaskan pada fenomena unik ini: adik franklin, jonathan safran
   foer, adalah salah seorang sastrawan muda amerika paling banyak
   dibicarakan saat ini, terutama dua novelnya everything's illuminated
   (2003) (sudah difilmkan dengan elijah wood sebagai bintangnya), dan
   extremely loud, incredibly close (2005) yang teknik berceritanya
   saya adopsi pada salah satu cerpen saya dalam antologi ada seseorang
   di kepalaku yang bukan aku (2006).
 
   dugaan saya, jika franklin menulis prosa seperti adiknya, kualitas
   mereka sedikitnya setara.
 
   salam,
 
   ~a~
 
   --- In ppiindia@yahoogroups.com, Ari Condrowahono masarcon@ wrote:
   
teman teman, 

sepak bola ini bukan lah anti thesis terhadap lenyapnya
   nasionalisme, namun justru fenomena pelengkap, tribalisme kesukuan
   atau tribalisme religion, justru sudah bergeser. lebih soft, energi
   itu dibuat tidak lagi merusak, tidak lagi merasa paling digjaya.
   sekarang adalah jamannya tribalisme sepak bola. sentimen sentimen itu
   diekspresikan dalam bentuk dukungan thd tim sepak bola kesayangannya.

===

   
  
http://aresto.wordpress.com/2007/04/17/ketika-sepakbola-menjelaskan-dunia/

Ketika Sepakbola Menjelaskan Dunia

Buku sepakbola yang bukan tentang sepakbola. Di dalamnya kita akan
   menjumpai deskripsi dari hal-hal terintim dalam sepakbola: bangku
   stadion Maracana, profil komandan hooligan Chelsea, ruang ganti DC
   United, sampai obrolan di klub eksekutif penggemar Inter beraliran
   kiri. Tapi, kita tidak akan menemukan pembahasan tentang permainan
   sepakbola itu sendiri. Buku ini juga tidak ditulis oleh pelaku
   sepakbola, tapi justru oleh seorang jurnalis politik Amerika yang
   melukiskan dirinya sebagai  ..karena tidak akan pernah jago bermain
   bola, saya bisa melakukan hal terbaik berikutnya: memahami sepakbola
   sedalam-dalamnya laiknya seorang maniak. Franklin Foer, editor
   majalah politik nomor wahid New Republic, menggunakan olahraga yang
   dicintainya untuk mengupas globalisasi, bidang yang dikuasainya. 


Sebagai penggemar bola, Foer paham betul akrabnya sepakbola dengan
   globalisasi. Tak percaya? Lihat saja Manchester United. Klub
   terpopuler ini dimiliki pemodal Amerika, punya manajer bergelar Sir,
   dipenuhi pemain top yang sangat kosmopolit, sampai digunakan namanya
   oleh sebuah kafe di jalan Thamrin. Tak heran kalau Foer memutuskan
   untuk mengambil cuti delapan bulan untuk mengunjungi lokus sepakbola
   di penjuru dunia. Harapannya, ia ingin menunjukkan bahwa globalisasi
   bisa dijelaskan dengan cara yang sederhana, menontonnya dimainkan
   (atau bermain?) di ranah sepakbola. Hasilnya, sebuah buku yang
   membawa kita melihat sisi-sisi sepakbola yang bukan cuma statistik
   pertandingan atau model hot pacar pemain anu seperti yang biasa kita
   baca di lembar olahraga.


Oh ya, walaupun berusaha menjawab perdebatan mengenai gagalnya janji
   kemakmuran globalisasi:mengapa negara tetap miskin?apakah korporasi2
   multinasional adalah penjahat?, Foer tidak memakai pendekatan ekonomi
   dan lebih memilih perspektif kultural. Dalam hal ini kultur sepakbola
   yang dhidupkan oleh para pelakunya.


Ternyata yang ditemukan Foer tak sesederhana yang dibayangkannya.
   Pernyataan bahwa globalisasi meruntuhkan identitas negara bangsa
   justru

[ppiindia] Re: tribalisme kesukukuan, tribalisme agama dan tribalisme sepakbola

2007-04-19 Terurut Topik imuchtarom

  
   * buku yang kupasannya di kutip mas con di bawah
 ini nampaknya cukup menarik. Tetapi nampaknya
 kupasan ringkas tersebut belum sepenuhnya
 berhasil menjelaskan alur pokok pikiran Foer,
 pengarangnya - sehingga ada bagian-bagian ynag
 berkesan melompat-lompat dari nada pesimis
 mengenai peranan sepakbola maupun globalisasi
 ke nada optimis.
   
   * jadi dengan kata lain, kalau boleh saya tafsirkan
 inti pesan tulisan yang dikutip di bawah ini

  = orang boleh mencintai bangsa-nya, etniknya,
 kelompok agamanya, partai nya dsb.

  = boleh melakukan kegiatan-2 untuk mempromosikan
 apa yang didukung tersebut

  = tapi tidak boleh terlibat dalam

  - hooliganism bangsa
  - hooliganism agama
  - hooliganism etnik
  - hooliganism partai

--- In Ari Condrowahono [EMAIL PROTECTED] wrote:

 teman teman, 
 
 sepak bola ini bukan lah anti thesis terhadap 
 lenyapnya nasionalisme, namun justru fenomena 
 pelengkap, tribalisme kesukuan atau tribalisme 
 religion, justru sudah bergeser. lebih soft, 
 energi itu dibuat tidak lagi merusak, tidak lagi 
 merasa paling digjaya. sekarang adalah jamannya 
 tribalisme sepak bola. sentimen sentimen itu 
 diekspresikan dalam bentuk dukungan thd tim 
 sepak bola kesayangannya.
 
 ===
 

http://aresto.wordpress.com/2007/04/17/ketika-sepakbola-menjelaskan-dunia/
 
 Ketika Sepakbola Menjelaskan Dunia
 
 Buku sepakbola yang bukan tentang sepakbola. 
 Di dalamnya kita akan menjumpai deskripsi dari 
 hal-hal terintim dalam sepakbola: bangku stadion 
 Maracana, profil komandan hooligan Chelsea, ruang 
 ganti DC United, sampai obrolan di klub eksekutif 
 penggemar Inter beraliran kiri. 

 Tapi, kita tidak akan menemukan pembahasan tentang 
 permainan sepakbola itu sendiri. Buku ini juga tidak 
 ditulis oleh pelaku sepakbola, tapi justru oleh seorang 
 jurnalis politik Amerika yang melukiskan dirinya sebagai 

  ..karena tidak akan pernah jago bermain bola, saya 
 bisa melakukan hal terbaik berikutnya: memahami sepakbola 
 sedalam-dalamnya laiknya seorang maniak. 

 Franklin Foer, editor majalah politik nomor wahid 
 New Republic, menggunakan olahraga yang dicintainya 
 untuk mengupas globalisasi, bidang yang dikuasainya. 
 
 Sebagai penggemar bola, Foer paham betul akrabnya 
 sepakbola dengan globalisasi. Tak percaya? Lihat saja 
 Manchester United. Klub terpopuler ini dimiliki pemodal 
 Amerika, punya manajer bergelar Sir, dipenuhi pemain top 
 yang sangat kosmopolit, sampai digunakan namanya oleh 
 sebuah kafe di jalan Thamrin. Tak heran kalau Foer memutuskan 
 untuk mengambil cuti delapan bulan untuk mengunjungi lokus 
 sepakbola di penjuru dunia. Harapannya, ia ingin menunjukkan 
 bahwa globalisasi bisa dijelaskan dengan cara yang sederhana,
 menontonnya dimainkan (atau bermain?) di ranah sepakbola. 

 Hasilnya, sebuah buku yang membawa kita melihat sisi-sisi 
 sepakbola yang bukan cuma statistik pertandingan atau model 
 hot pacar pemain anu seperti yang biasa kita baca di 
 lembar olahraga.
 
 Oh ya, walaupun berusaha menjawab perdebatan mengenai 
 gagalnya janji kemakmuran globalisasi: mengapa negara 
 tetap miskin? apakah korporasi2 multinasional adalah 
 penjahat?, Foer tidak memakai pendekatan ekonomi dan 
 lebih memilih perspektif kultural. Dalam hal ini 
 kultur sepakbola yang dhidupkan oleh para pelakunya.
 
 Ternyata yang ditemukan Foer tak sesederhana yang 
 dibayangkannya. Pernyataan bahwa globalisasi meruntuhkan 
 identitas negara bangsa justru menemukan antitesa 
 ketika Foer melihat fenomena suporter Red Star 
 Belgrade di Serbia. Klub-klub suporter yang militan 
 berhasil diorganisir dengan nasionalisme yang begitu 
 kental menjadi sumber rekrutmen paramiliter untuk 
 Perang Balkan. Dari klub suporter inilah paramiliter 
 Tigers yang keganasannya luar biasa dalam membunuhi 
 warga Muslim Bosnia berasal. Di bawah pimpinan gangster 
 legendaris Arkan, klub ini menjelma menjadi organisasi 
 bayangan yang tidak tersentuh selama Perang Balkan. 
 Bahkan, sampai saat inipun nama Arkan masih dianggap 
 dewa oleh orang-orang Serbia. 

 Lebih jauh Foer melihat bahwa ternyata budaya global 
 tidak menyapu bersih pranata lokal. Melihat fanatisme 
 bonek Rangers dan Celtics di Glasgow, Foer melihat 
 bagaimana orang justru kembali ke identitas lama 
 mereka yaitu agama dan menunjukkan ekspresi2 
 tribalisme yang primitif dan bisa dibilang ganas. 

 Jika sepakbola dilihat sebagai suatu perwujudan 
 praktis dari gagasan yang abstrak, Foer berani 
 menyatakan bahwa globalisasi gagal mengikis 
 kebencian-kebencian yang berasal dari identitas 
 kuno.
 
 Di bagian kedua bukunya, Foer menelisik lebih jauh 
 ke masalah ekonomi. Untuk memperlihatkan dampak 
 derasnya arus migrasi dari negara ke dunia ketiga 
 ke Eropa, Foer dengan cerdas mengajak kita menengok 
 kehidupan seorang striker Nigeria di sebuah kota 
 kecil di Ukraina. Dengan penggalan cerita itu, kita 
 diajak menyelami banyak hal