Re: [wanita-muslimah] Re: Ukhuwah praktis ... atau teoritis alias OMDO? - mudheng

2007-06-28 Terurut Topik Wikan Danar Sunindyo
Sekedar berbagi,
kalau di sini semua produk makanan dan minuman harus mencantumkan
kandungan bahannya. sehingga konsumen bisa baca dan menilai sendiri,
ooh makanan ini mengandung babi, minuman ini mengandung alkohol,
sehingga orang muslim bisa menghindarinya. demikian juga buat orang2
lain yang vegetarian juga bisa melihat kandungan makanan, jadi dia
bisa menghindari makanan yang mengandung daging. buat orang yang diet
bisa menghitung jumlah kalori makanan. manfaat pencantuman kandungan
makanan/minuman ini banyak  beragam, serta mencerdaskan konsumen.

Selain itu ada yang namanya yayasan penguji yang bekerja secara
independen tidak dibayar pemerintah atau produsen. Tugas mereka
menguji keamanan dan kualitas produk2, tidak sekedar makanan sih, dan
secara periodik (biasanya tiap tahun/semester) mereka mengeluarkan
jurnal yang berisi penilaian mereka terhadap produk2 yang dikeluarkan
produsen. Ada yang dinilai baik, cukup, sedang, buruk. Penilaian
mereka independen karena mereka yang aktif menilai, bukan dimintai
oleh pihak produsen dan mereka juga gak minta bayaran dari produsen,
sehingga lebih objektif. Produsen yang bangga terus memakai label yang
diberikan oleh yayasan penguji tadi, sehingga bisa jadi iklan juga
buat produk tadi. Kalau produknya gak ada label baik, mungkin jadi
pertimbangan buat konsumen juga. Terus konsumen juga bisa menilai
produk mana yang bagus  aman, mana yang kurang bagus.

salam,
--
wikan
http://wikan.multiply.com

On 6/28/07, Achmad Chodjim [EMAIL PROTECTED] wrote:

 Mas Jano ko,
  Percuma saja ya saya mengutipkan hadis yang menyebutkan bahwa ulama itu 
 kepercayaan Rasul selama tidak terlibat dalam kekuasaan dan kesenangan 
 duniawi. Baca lagi, Mas.

  Makanya, peran ulama itu mendidik agar umat tahu halal dan haram dengan 
 benar. Umat yang benar tinggal baca bahan-bahan yang tercantum dalam kemasan. 
 Dan, itu kerjaan ulil amri! Bila dalam bahannya terulis mengandung babi, ya 
 yang Islam tak perlu mengkonsumsinya. Kan begic

  Kalau ulama sudah terlibat kekuasaan dengan memberi label halal bagi 
 makanan, jadinya rawan korupsi. Jangan dipelintir terus, ya...

  Siapa yang menjamin proyek label haram itu suci? Mosok see sampeyan tak 
 mencium baunya. Bayangkan saja bagaimana ribuan jenis makanan harus 
 mendapatkan label halal dengan cepat. Untuk menguji kehalalan satu jenis 
 makanan saja, perlu waktu; apalagi puluhan ribu makanan. Bagaimana untuk 
 cepat mendapatkan label haram? hehehe..

  Makanya, saya sarankan mas Jano ko banyak tahajud dan mengaji makrifat 
 dengan benar, supaya tidak hanya dapat kulitnya!


[wanita-muslimah] Re: Ukhuwah praktis ... atau teoritis alias OMDO? - mudheng

2007-06-28 Terurut Topik Dan
Boleh nimbrung ya,

Ternyata pemisahan kekuasaan eksekutif dan yudikatif itu jelas ada
dalam Islam, kalau bisa saya tangkap dari penjelasan Bung Chodjim:
ulil amri vs ulama.

Ulama itu kan ahli fikih biasanya, spt Ibnu Khaldun itu fuquha yg juga
qadi.  Jadi posisi ulama seharusnya ada dalam lembaga yudikatif. 
Kalau ada ulama yg bernafsu berkuasa dan otomatis ingin jadi ulil amri
juga maka resikonya akan terjadi despotisme.

Di Indonesia, karena kita sudah ada UUD maka saya kira sebaiknya MUI
itu adalah sebagai dewan pertimbangan utk Mahkamah Agung dan kerjanya
ikut mengawasi pengadilan agama, yg peranannya jelas bagaimana agar
keputusan pengadilan agama tidak bertentangan dg UUD. Jadi bukan
bagian dari kekuasaan eksekutif.  Kalau begini jadi lebih jelas porsi
porsinya.

Tapi lembaga legislatif tetap dipegang oleh DPR, dan kalau ada ulama
mau buat UU harus terpilih dulu sbg anggota DPR dan mengajukan RUU
sesuai prosedur.  Kita tidak lagi dapat menerima fatwa2 yg mengikat
secara hukum tapi extra-konstitusional proses dan prosedurnya.

--- In wanita-muslimah@yahoogroups.com, Achmad Chodjim [EMAIL PROTECTED]
wrote:

 Mas Jano ko,
 Percuma saja ya saya mengutipkan hadis yang menyebutkan bahwa ulama
itu kepercayaan Rasul selama tidak terlibat dalam kekuasaan dan
kesenangan duniawi. Baca lagi, Mas.
 
 Makanya, peran ulama itu mendidik agar umat tahu halal dan haram
dengan benar. Umat yang benar tinggal baca bahan-bahan yang tercantum
dalam kemasan. Dan, itu kerjaan ulil amri! Bila dalam bahannya terulis
mengandung babi, ya yang Islam tak perlu mengkonsumsinya. Kan
begic
 
 Kalau ulama sudah terlibat kekuasaan dengan memberi label halal
bagi makanan, jadinya rawan korupsi. Jangan dipelintir terus, ya... 
 
 Siapa yang menjamin proyek label haram itu suci? Mosok see sampeyan
tak mencium baunya. Bayangkan saja bagaimana ribuan jenis makanan
harus mendapatkan label halal dengan cepat. Untuk menguji kehalalan
satu jenis makanan saja, perlu waktu; apalagi puluhan ribu makanan.
Bagaimana untuk cepat mendapatkan label haram? hehehe..
 
 Makanya, saya sarankan mas Jano ko banyak tahajud dan mengaji
makrifat dengan benar, supaya tidak hanya dapat kulitnya!
 
 Wassalam,
 chodjim 
 
 
 
   - Original Message - 
   From: jano ko 
   To: wanita-muslimah@yahoogroups.com 
   Sent: Wednesday, June 27, 2007 7:15 PM
   Subject: Re: [wanita-muslimah] Re: Ukhuwah praktis ... atau
teoritis alias OMDO? - mudheng
 
 
   Pak Achmad :
 
   Lalu, di mana peran ulama? Ulama yang sebenarnya hanyalah pelita.
Dengan pelita itu sebenarnya umat bisa menjumpai Rasulullah. Karena
ulama itu hanya pelita, maka pro-aktif umatlah yang diperlukan. Tak
ada ketaatan buat ulama. 
 
   ---
 
   Janoko :
 
   Saya ulang lagi apa yang dikatakan Pak Achmad diatas.
   Lalu peranan MUI ( Majelis Ulama Indonesia ) itu dimana pak ?
 
   Ada beberapa produk buatan saya yang mempunyai sertifikat halal
yang dikeluarkan oleh MUI, lalu njok kepiye legalitas sertifikat halal
dari produk saya kalau apa yang dikatakan pak Achmad itu.. ?
 
   Masih engga mudheng
 
   Wassalam
 
   --oo0oo--
 
   Achmad Chodjim [EMAIL PROTECTED] wrote:
   Nuwun sewu, Mas Jano ko supados balik sekolah malih teng SD. Mosok
nggak bisa mengerti sebuah paragraf tuturan. Mana ada kalimat dari
saya yang memerintah sampiyan taat kepada saya?
 
   Wassalam,
   chodjim
 
   - Original Message - 
   From: jano ko 
   To: wanita-muslimah@yahoogroups.com 
   Sent: Wednesday, June 27, 2007 9:11 AM
   Subject: Re: [wanita-muslimah] Re: Ukhuwah praktis ... atau
teoritis alias OMDO? - mudheng
 
   Pak Achmad :
 
   Betul, Mas Jano ko. Janganlah taati kata-kata saya bila belum
mudeng. Kalau menaati sesuatu yang belum dimudengi itu namanya menaati
berhala.
   --
 
   Janoko :
 
   Jadi, kalau saya sudah mudheng, berarti saya bisa dan boleh taat
kepada pak Achmad, begitu pak ?
 
   Wassalam
 
   --oo0oo--
 
   Achmad Chodjim [EMAIL PROTECTED] wrote:
   Betul, Mas Jano ko. Janganlah taati kata-kata saya bila belum
mudeng. Kalau menaati sesuatu yang belum dimudengi itu namanya menaati
berhala.
 
   Makanya di Alquran tak ada satu ayat pun untuk menaati ulama.
Bahkan ada kelompok yang memandang ulama-ulama dan rahib-rahibnya
sebagai pengganti Tuhan atau telah dijadikan ilah selain Allah. Baca
QS 9:31.
 
   Karena ulama itu sebagai pelita, bawalah pelita itu untuk
menerangi jalan, dan jadikan Alquran dan Sunnah Nabi sebagai peta.
jadi, lengkaplah, ada peta jalan ada lampunya. Agar tidak keliru dalam
membaca peta, maka mohonlah petunjuk kepada ALLAH dan Rasul-Nya
(sebagai wasilah).
 
   Wassalam,
   chodjim
 
   - Original Message - 
   From: jano ko 
   To: wanita-muslimah@yahoogroups.com 
   Sent: Tuesday, June 26, 2007 9:59 PM
   Subject: Re: [wanita-muslimah] Re: Ukhuwah praktis ... atau
teoritis alias OMDO? - mudheng
 
   Pak Achmad :
 
   Lalu, di mana peran ulama? Ulama yang sebenarnya hanyalah pelita

[wanita-muslimah] Re: Ukhuwah praktis ... atau teoritis alias OMDO? - ULAMA

2007-06-28 Terurut Topik rsa
Mas Codjim dan mas Jano,

Entah apakah memang analisis Bung Dana soal beda paradigma juga 
berlaku di sini, tapi izinkan saya menyarankan untuk tidak terbawa 
emosi (maaf tapi ini terlihat dari penyampaian masing-masing) 
sehingga membuat tidak fokus dalam membahas. Padahal JUDUL threadnya 
masih UKHUWAH PRAKTIS lhooo ... ;-]

Soal ULAMA. Jujur, setahu saya 'ulama' ini kan dari bhs Arab yang 
berbentuk jamak sehingga artinya adalah orang-orang pandai atau orang-
orang yang mengetahui relatif lebih banyak hal dari rata-rata orang 
kebanyakan. Kalo hanya satu, jadi 'alim'. Dan kita kenal frase 'alim-
ulama' sebagai sebuah kata mejemuk dalam bahasa indonesia.

Istilah ilmuwan juga setali tiga uang, yaitu dari kata ilmu+(-wan). 
ILMU juga dari bahasa Arab yang artinya adalah suatu kumpulan data 
berdasar pengamatan dan pengalaman yang dapat menjelaskan suatu hal 
tertentu dalam kehidupan manusia. Maaf ini karangan saya, lagi ga 
sempat cek ke kamus. Akhiran -wan menunjukkan pelaku atau orang.

Jadi membedakan ULAMA dan ILMUWAN saya kira tidak pas krn ULAMA = 
ILMUWAN. Tapi bisa saja kita sengaja membedakannya agar 
bisa 'nyambung' dengan konsep yang berasal dari bahasa (=budaya; 
bahasa itu cerminan budaya) asing spt Inggris. Inggris mengenal 
istilah scientist, scholar, intellectual, academic dan semacamnya, 
yang mirip maknanya tapi ada nuansa yang berbeda. Jadi jika ingin 
mengatakan bahwa ULAMA adalah mereka yang menguasai segala sesuatu 
tentang ISLAM (krn mungkin agak janggal menyandangkannya buat konteks 
yang sama di luar ISLAM, yang lebih lazim menggunakan istilah 
AGAMAWAN) sedangkan ILMUWAN adalah mereka yang menguasai segala 
sesuatu tentang selain ISLAM, terutama yang tidak menyangkut masalah 
iman/keyakinan. Dalam konteks ini kita juga punya istilah SARJANA.

Nah, izinkan saya untuk melanjutkan bahasan ini dengan bertanya, 
posisi Rasulullah dan para shahabat, terutama yang sepeninggal Rasul 
itu dipilih dan menyandang gelar KHALIFAH itu apa ya, ULAMA atau ULIL 
AMRI?

salam,
satriyo


--- In wanita-muslimah@yahoogroups.com, Dan [EMAIL PROTECTED] 
wrote:

 Boleh nimbrung ya,
 
 Ternyata pemisahan kekuasaan eksekutif dan yudikatif itu jelas ada
 dalam Islam, kalau bisa saya tangkap dari penjelasan Bung Chodjim:
 ulil amri vs ulama.
 
 Ulama itu kan ahli fikih biasanya, spt Ibnu Khaldun itu fuquha yg 
juga
 qadi.  Jadi posisi ulama seharusnya ada dalam lembaga yudikatif. 
 Kalau ada ulama yg bernafsu berkuasa dan otomatis ingin jadi ulil 
amri
 juga maka resikonya akan terjadi despotisme.
 
 Di Indonesia, karena kita sudah ada UUD maka saya kira sebaiknya MUI
 itu adalah sebagai dewan pertimbangan utk Mahkamah Agung dan 
kerjanya
 ikut mengawasi pengadilan agama, yg peranannya jelas bagaimana agar
 keputusan pengadilan agama tidak bertentangan dg UUD. Jadi bukan
 bagian dari kekuasaan eksekutif.  Kalau begini jadi lebih jelas 
porsi
 porsinya.
 
 Tapi lembaga legislatif tetap dipegang oleh DPR, dan kalau ada ulama
 mau buat UU harus terpilih dulu sbg anggota DPR dan mengajukan RUU
 sesuai prosedur.  Kita tidak lagi dapat menerima fatwa2 yg mengikat
 secara hukum tapi extra-konstitusional proses dan prosedurnya.
 
 --- In wanita-muslimah@yahoogroups.com, Achmad Chodjim chodjim@
 wrote:
 
  Mas Jano ko,
  Percuma saja ya saya mengutipkan hadis yang menyebutkan bahwa 
ulama
 itu kepercayaan Rasul selama tidak terlibat dalam kekuasaan dan
 kesenangan duniawi. Baca lagi, Mas.
  
  Makanya, peran ulama itu mendidik agar umat tahu halal dan haram
 dengan benar. Umat yang benar tinggal baca bahan-bahan yang 
tercantum
 dalam kemasan. Dan, itu kerjaan ulil amri! Bila dalam bahannya 
terulis
 mengandung babi, ya yang Islam tak perlu mengkonsumsinya. Kan
 begic
  
  Kalau ulama sudah terlibat kekuasaan dengan memberi label halal
 bagi makanan, jadinya rawan korupsi. Jangan dipelintir terus, ya... 
  
  Siapa yang menjamin proyek label haram itu suci? Mosok see 
sampeyan
 tak mencium baunya. Bayangkan saja bagaimana ribuan jenis makanan
 harus mendapatkan label halal dengan cepat. Untuk menguji 
kehalalan
 satu jenis makanan saja, perlu waktu; apalagi puluhan ribu makanan.
 Bagaimana untuk cepat mendapatkan label haram? hehehe..
  
  Makanya, saya sarankan mas Jano ko banyak tahajud dan mengaji
 makrifat dengan benar, supaya tidak hanya dapat kulitnya!
  
  Wassalam,
  chodjim 
  
  
  
- Original Message - 
From: jano ko 
To: wanita-muslimah@yahoogroups.com 
Sent: Wednesday, June 27, 2007 7:15 PM
Subject: Re: [wanita-muslimah] Re: Ukhuwah praktis ... atau
 teoritis alias OMDO? - mudheng
  
  
Pak Achmad :
  
Lalu, di mana peran ulama? Ulama yang sebenarnya hanyalah 
pelita.
 Dengan pelita itu sebenarnya umat bisa menjumpai Rasulullah. Karena
 ulama itu hanya pelita, maka pro-aktif umatlah yang diperlukan. Tak
 ada ketaatan buat ulama. 
  
---
  
Janoko :
  
Saya ulang lagi apa yang dikatakan Pak Achmad diatas.
Lalu peranan MUI ( Majelis

Re: [wanita-muslimah] Re: Ukhuwah praktis ... atau teoritis alias OMDO? - mudheng

2007-06-27 Terurut Topik Achmad Chodjim
Nuwun sewu, Mas Jano ko supados balik sekolah malih teng SD. Mosok nggak bisa 
mengerti sebuah paragraf tuturan. Mana ada kalimat dari saya yang memerintah 
sampiyan taat kepada saya?

Wassalam,
chodjim



  - Original Message - 
  From: jano ko 
  To: wanita-muslimah@yahoogroups.com 
  Sent: Wednesday, June 27, 2007 9:11 AM
  Subject: Re: [wanita-muslimah] Re: Ukhuwah praktis ... atau teoritis alias 
OMDO? - mudheng


  Pak Achmad :

  Betul, Mas Jano ko. Janganlah taati kata-kata saya bila belum mudeng. Kalau 
menaati sesuatu yang belum dimudengi itu namanya menaati berhala.
  --

  Janoko :

  Jadi, kalau saya sudah mudheng, berarti saya bisa dan boleh taat kepada pak 
Achmad, begitu pak ?

  Wassalam

  --oo0oo--


  Achmad Chodjim [EMAIL PROTECTED] wrote:
  Betul, Mas Jano ko. Janganlah taati kata-kata saya bila belum mudeng. Kalau 
menaati sesuatu yang belum dimudengi itu namanya menaati berhala.

  Makanya di Alquran tak ada satu ayat pun untuk menaati ulama. Bahkan ada 
kelompok yang memandang ulama-ulama dan rahib-rahibnya sebagai pengganti Tuhan 
atau telah dijadikan ilah selain Allah. Baca QS 9:31.

  Karena ulama itu sebagai pelita, bawalah pelita itu untuk menerangi jalan, 
dan jadikan Alquran dan Sunnah Nabi sebagai peta. jadi, lengkaplah, ada peta 
jalan ada lampunya. Agar tidak keliru dalam membaca peta, maka mohonlah 
petunjuk kepada ALLAH dan Rasul-Nya (sebagai wasilah).

  Wassalam,
  chodjim

  - Original Message - 
  From: jano ko 
  To: wanita-muslimah@yahoogroups.com 
  Sent: Tuesday, June 26, 2007 9:59 PM
  Subject: Re: [wanita-muslimah] Re: Ukhuwah praktis ... atau teoritis alias 
OMDO? - mudheng

  Pak Achmad :

  Lalu, di mana peran ulama? Ulama yang sebenarnya hanyalah pelita. Dengan 
pelita itu sebenarnya umat bisa menjumpai Rasulullah. Karena ulama itu hanya 
pelita, maka pro-aktif umatlah yang diperlukan. Tak ada ketaatan buat ulama. 

  --

  Janoko :

  Janoko belum mudeng, apakah Pak Achmad bermaksud mengatakan jangan taati 
kata-kata Pak Achmad ?, maaf lho, saya betul-betul engga mudheng.

  Punten-punten and punten.

  Wassalam

  --oo0oo--

  Achmad Chodjim [EMAIL PROTECTED] wrote:
  Mas Wikan,

  Di dalam Alquran dinyatakan bahwa ketaatan itu hanya kepada Allah dan kepada 
Rasul-Nya. Lalu, ketaatan berikutnya kepada ulil amri --jika dan hanya jika-- 
ulil amri itu sendiri taat kepada Allah dan taat kepada Rasul-Nya.

  Pernyataan di atas dituangkan dalam QS 4:59. Sayangnya, taat kepada Allah ini 
dipelintir menjadi taat kepada Alquran, dan taat kepada Rasul-Nya dipelintir 
menjadi taat kepada al-Sunnah. Jadi, Allah Yang Maha Hidup itu sudah sejak lama 
tidak dianggap hidup lagi oleh umat, makanya Allah diturunkan derajatnya hanya 
sebagai Alquran. Padahal, kalau ditanya tentang rukun iman, ada rukun untuk 
mengimani Allah dan ada rukun untuk mengimani kitab-kitab-Nya (QS 2:177).

  Demikian juga ketaatan kepada Rasul Allah, kepada Kanjeng Nabi Muhammad, lha 
koq diturunkan derajatnya hanya taat kepada al-Sunnah. Kita lupa bahwa Rasul 
itu tetap hidup (QS 2:154, 3:169-171). Bukankah dalam tasyahud ada ucapan 
assalaamu 'alayka ayyuhan nabiyyu wa rahmatullahi wa barakaatuh, assalaamu 
'alayna wa 'alaa ibadillaahis shaalihiin? Jadi, ucapan salam itu ditujukan 
kepada yang hidup dan yang disetarakan dengan orang yang mengucapkannya.

  Alquran itu adalah kitab tempat kita merujuk atau mengambil rujukan, jadi 
bukan tempat taat. Sedangkan petunjuk yaa harus kita peroleh langsung dari 
Tuhan, makanya ada ihdinaash shiraathal mustaqiim. Nah, kalau kita 
ditunjukkan oleh Tuhan, maka kita akan bisa melihat rujukannya, dan kita bisa 
menemukan ayatnya, lalu kita sambil mengangguk-angguk. oh ini ayatnya. 
Bukankah hakikat ayat-ayat Alquran itu ada di dalam dada orang-orang yang 
diberi ilmu? (QS 29:49).

  Rasulullah yang sudah tidak berbadan fisik ini tetap hidup. Jasad fisik tak 
mampu lagi menampung Ruh Rasullullah, makanya secara fisikal beliau hanya 63 
tahun. Karena tetap hidup itu maka Rasul menjadi saksi dan tetap menerangi (QS 
33:45-46). Lha, kalau Muhammad mati secara total (lahir dan batin) yaa beliau 
tak pernah bisa menjadi saksi, apalagi menerangi. Jadi, hanya yang hidup yang 
bisa menjadi saksi dan menerangi, sedangkan mayit ya tak bisa apa-apa.

  Lalu, di mana peran ulama? Ulama yang sebenarnya hanyalah pelita. Dengan 
pelita itu sebenarnya umat bisa menjumpai Rasulullah. Karena ulama itu hanya 
pelita, maka pro-aktif umatlah yang diperlukan. Tak ada ketaatan buat ulama. 
Ini sesuai dengan hadis Nabi yang menyebutkan bahwa tak ada sistem kependetaan 
dalam Islam. Saya perbesar TAK ADA SISTEM KEPENDETAAN DALAM ISLAM. Jadi, 
ulama yang mentukan ini dan itu buat umatnya tak dikenal dalam Islam. Yang 
mentukan ini dan itu dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat adalah ulil amri 
yang dalam istilah sekarang dapat disamakan dengan

Re: [wanita-muslimah] Re: Ukhuwah praktis ... atau teoritis alias OMDO?

2007-06-27 Terurut Topik Achmad Chodjim
Itu bukan definisi dari Alquran.

Dan, kita sedang tidak membicarakan jabatan rangkap. Yang dibicarakan adalah 
ketaatan kepada ulil amri.

Sekarang perhatikan hadis dari Anas ini:

Al-'ulamâ'u umanâu al-rusuli mâ lam yukhâlithu al-sulthâna wayudâkhilû 
al-dunyâ. Terjemahan: Para ulama adalah kepercayaan rasul-rasul selama mereka 
tidak bercampur gaul dengan sultan (kekuasaan) dan tidak terlibat dalam 
kesenangan dunia.

Oleh karena itu, sepanjang sejarah kebesaran agama Islam, tak ada seorang ulama 
agung pun yang mau menjadi Ulil-amri. Cobalah belajar sejarah slam lagi, lalu 
perhatikan imam-imam besar seperti Ja'far ash shadiq, Hanafi, Maliki, Syafii, 
Hanbali, Bukhari, Muslim, dan lain-lain sebagainya. Mereka bahkan rela 
dipenjara karena tak mau didudukkan di ulil amri.

Perhatikan juga Imam Ghazali, Ibnu Sina, dan yang seangkatan dengannya. Ibnu 
Sina dipenjara karena menolak diangkat menjadi dokter istana.

Siang ini cukup segini dulu, istirahat kerja.

Wassalam,
chodjim



  - Original Message - 
  From: jano ko 
  To: wanita-muslimah@yahoogroups.com 
  Sent: Wednesday, June 27, 2007 9:56 AM
  Subject: Re: [wanita-muslimah] Re: Ukhuwah praktis ... atau teoritis alias 
OMDO?


  Pak Achmad :

  Coba BACA lagi, hanya ulil amri yang taat kepada ALLAH dan Rasul-Nya yang 
diataati. Sampun mangertos, alias mudheng?
  --

  Janoko :

  Pertanyaan selanjutnya, boleh tidak pak Ulil Amri yang taat kepada Allah dan 
RAsul-Nya tersebut merangkap atau menjabat sebagai Ulama ?

  --

  Definisi

  Ulama =
  The body of mullahs (Muslim scholars trained in Islam and Islamic law) who 
are the interpreters of Islam's sciences and doctrines and laws and the chief 
guarantors of continuity in the spiritual and intellectual history of the 
Islamic community

  The learned, knowledgeble people in Islam. Plural form of alim.

  --

  Wassalam

  --oo0oo--

  Achmad Chodjim [EMAIL PROTECTED] wrote:
  Nuwun sewu, kalau membaca mbok jangan diambil sepotong. Ya saya tidak 
mengatakan Mas Jano ko nggak nyambung, tapi memang benar-benar nggak 
nyambung. Di tulisan saya sudah saya sebutkan Lalu, ketaatan berikutnya kepada 
ulil amri --jika dan hanya jika-- ulil amri itu sendiri taat kepada Allah dan 
taat kepada Rasul-Nya.

  Coba BACA lagi, hanya ulil amri yang taat kepada ALLAH dan Rasul-Nya yang 
diataati. Sampun mangertos, alias mudheng?

  malem, 

  - Original Message - 
  From: jano ko 
  To: wanita-muslimah@yahoogroups.com 
  Sent: Tuesday, June 26, 2007 10:47 PM
  Subject: Re: [wanita-muslimah] Re: Ukhuwah praktis ... atau teoritis alias 
OMDO?

  Ada berita :

  Jadi, ulama yang mentukan ini dan itu
  buat umatnya tak dikenal dalam Islam. Yang mentukan ini dan itu dalam
  kehidupan sehari-hari di masyarakat adalah ulil amri yang dalam
  istilah sekarang dapat disamakan dengan aparat pemerintahan.

  --

  Janoko :

  Pertanyaan nich, kalau aparat pemerintahnya membunuhin umat Islam piye ?

  Janoko makin engga mudheng.

  Malem

  --oo0oo--

  Dan [EMAIL PROTECTED] wrote:
  Bung Chodjim,

  Kutipan Anda:

  Lalu, di mana peran ulama? Ulama yang sebenarnya hanyalah pelita.
  Dengan pelita tu sebenarnya umat bisa menjumpai Rasulullah. Karena
  ulama itu hanya pelita, maka pro-aktif umatlah yang diperlukan. Tak
  ada ketaatan buat ulama. Ini sesuai dengan hadis Nabi yang menyebutkan
  bahwa tak ada sistem kependetaan dalam Islam. Saya perbesar TAK ADA
  SISTEM KEPENDETAAN DALAM ISLAM. Jadi, ulama yang mentukan ini dan itu
  buat umatnya tak dikenal dalam Islam. Yang mentukan ini dan itu dalam
  kehidupan sehari-hari di masyarakat adalah ulil amri yang dalam
  istilah sekarang dapat disamakan dengan aparat pemerintahan.

  Lha, al-Sunnah itu merupakan rujukan sekonder bila kita tak
  mendapatkan rujukan.

  sangat mencerahkan. 

  Saya juga ikut merasakan bahwa banyak umat Islam yg sudah secara salah
  menyikapi hadits sebagai rujukan primer bukan sekunder lagi seperti yg
  dimaksudkan. Barangkali salah satu penyebab terjadinya kesemwrawutan
  hukum dalam dunia Islam. 

  Saya pernah diceritakan pembantu saya bahwa di desa di daerah Cipanas
  sekarang ada para ulama mengutip fee utk mendoakan biar masuk surga. 
  Hehe ini kan spt jaman gereja Katolik sebelum masa Pencerahan. Ada
  fungsi pendeta yg mendoakan biar masuk surga, padahal menurut Islam
  kan tanggung jawab masing2.

  Dan MUI tidak pernah bersuara apa2 mengenai ini. 

  Mudah2an dakwah Bung Chodjim akan dapat memberi hikmah pada kita semua.

  dari Alquran.--- In wanita-muslimah@yahoogroups.com, Achmad Chodjim
  [EMAIL PROTECTED] wrote:
  
   Mas Wikan,
   
   Di dalam Alquran dinyatakan bahwa ketaatan itu hanya kepada Allah
  dan kepada Rasul-Nya. Lalu, ketaatan berikutnya kepada ulil amri
  --jika dan hanya jika-- ulil amri itu sendiri taat kepada Allah dan
  taat kepada Rasul-Nya.
   
   Pernyataan di atas dituangkan dalam QS 4:59

[wanita-muslimah] Re: Ukhuwah praktis ... atau teoritis alias OMDO?

2007-06-27 Terurut Topik Dan
--- In wanita-muslimah@yahoogroups.com, rsa [EMAIL PROTECTED] wrote:

 Bung Dan,
 
 terima kasih tanggapannya. saya berharap tanggapan anda tidak parsial 
 spt ini. maaf tapi ini yang saya lihat. saya menghindari cara 
 menaggapi spt anda saat ini karena tidak semua posting bisa disikapi 
 demikian. saya tidak membatasi hak anda menenanggapi dan cara anda 
 menanggapi, tapi hanya menegaskan bahwa cara anda itu buat postingan 
 saya tidak pas. but, again, with all due respect, you have every 
 right to do what you seem fit.

DP: Seperti juga pembahasan dg pak HMNA saya merasa debat kita adalah
debat paradigmatis.  Kita bertumpu awal pada axioma2 yg berbeda.  Jadi
memang sukar ketemu.

Anda bagi saya termasuk mereka yg yakin bahwa kebenaran absolut adalah
yg kebenaran yg perlu dianut dan kebenaran itu hanya datang dari
keabsolutan konsep Tuhan.

Bagi saya kebenaran itu relatif karena kebenaran itu adalah suatu
fungsi yg bekerja pada suatu konteks tertentu.  Begitu konteks berubah
maka definisi kebenaran itu akan berubah.  Tapi akan selalu ada
konsistensi logikal dalam konsep kebenaran ini selama bersemayam dan
bergerak dalam konteks yg terdefinisi.  Pengertian kebenaran disini
sangat tergantung pada ketegaran definisi sang konteks.

 benang merah yang saya lihat dari tanggapan anda adalah anda tidak 
 yakin akan kejayaan islam itu bisa muncul lagi dalam wujud sebuah 
 khilafah islamiyah (kekhalifahan islam) yang menurut anda tidak bisa 
 anda saksikan (sebagai bukti) saat ini.

DP: Saya tidak yakin, spt Bung Chodjim, bahwa khilafah islamiyah bisa
membawa kesejahteraan lahiriyah dan batiniyah yg saya dambakan. 
Batiniyah bisa OK tapi lahiriyah akan sangat sukar, karena metoda2nya
bagi saya tidak membawa kepada kesejahteraan yg dinginkan berdasarkan
konteks masa kini.   

 tanggapan saya:
 
 [1] mengapa anda menanyakan kejayaan spt apa yang saya maksud? anda 
 sendiri yang berulang kali dan pertama kali menunjukkan hal itu 
 ketika menyebut sosok monumental IBNU KHALDUN (otomatis juga menjawab 
 sendiri pertanyaan anda itu). atau buat anda dia tidak mencerminkan 
 kejayaan. saya kira yang anda sebut gemilang itu (lihat tanggapan 
 anda paling akhir atas posting saya, di bawah) ya setali tiga uang 
 dengan jaya. 
 **ah, lagi-lagi ko kendala bahasa. sepele tapi tidak remeh, 
 ternyata** 
 tentu saja saya melihat jadi aneh kalo anda menyamakan kejayaan 
 dengan kemenangan, terutama dalam konteks peperangan yang jelas 
 menumpahkan darah (issue ini satu paket dengan stereotip bahwa islam 
 disebarkan dengan pedang ... yang dengan apik menurut saya 
 dibahas/diulas singkat oleh mas Aman FaTha di 
 http://aman.web.id/2005/01/20/benarkah-islam-disebarkan-dengan-
 pedang/16/ dan di http://aman.web.id/2005/01/20/benarkah-islam-
 disebarkan-dengan-pedang/16/2/). 

DP: Dalam sejarah Islam yg panjang tentu ada insiden dan perioda
dimana penyebaran agama adalah melalui peperangan.  Hampir semua agama
memang demikian, karena fungsi agama dalam konteks ini ialah suatu way
of life (kaafah/dien?).  Motivasi manusianya sebagai motor sejarah
akan sangat mudah dideteksi.  Nothing wrong with historical facts.
Cuma yg dipertanyakan apakah motivasi penyebaran agama (baca pengaruh
dan manfaat ekonomi) dg senjata masih dapat dipertahankan sekarang,
itu dapat diperdebatkan.

 [2] apakah anda membatasi (define) 'kejayaan' atau keberhasilan suatu 
 bentuk pemerintahan (bisa 'negara' atau apa saja, karena konsep 
 negara sendiri masih debatable) itu pada survival? Kalo gitu ya tidak 
 ada dalam sejarah manusia ini yang berjaya atau berhasil! Atau 
 bagaimana?

DP: Kejayaan bagi saya harus dinilai secara lahiriyah dan batiniyah. 
Dunia Islam sangat menyedihkan kesejahteraan lahiriyahnya.  Oleh
karena itu kita semua mencari solusi agar dunia Islam dapat menemukan
kembali kejayaan lahiriahnya dg metoda baru karena metoda lama
terbukti gagal.  Kejayaan batiniyah dapat diperdebatkan karena masuk
dalam dunia spiritual.  Pengalaman spiritual sangat individu sukar
diukur.  Kejayaan lahiriah ada parameter2 ukurannya yg jelas.

 [3] Lalu apa kaitannya ukhuwah dan khilafah? Ukhuwah ada pada sisi 
 hubungan keimanan berdasar pada Qur'an, al-Hujurat ayat 10. Jadi 
 ukhuwah itu ya sec inherent berkonotasi 'islamiyah'. lain halnya jika 
 hanya mengacu pada 'peristilahan' Arab, akan ada juga jenis ukhuwah 
 yang macam2. Lalu, Khilafah itu ada pada sisi keimanan dengan 
 penekanan bahwa individunya, khalifah, yaitu sebuah amanah dari Allah 
 kepada Adam as dan ketuturunannya yang beriman kepada Allah. 


 Coba deh lihat QS [2:30] (Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada 
 para Malaikat: Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah 
 di muka bumi. Mereka berkata: Mengapa Engkau hendak menjadikan 
 (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan 
 menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji 
 Engkau dan mensucikan Engkau? Tuhan berfirman: Sesungguhnya Aku 
 mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.), QS 

Re: [wanita-muslimah] Re: Ukhuwah praktis ... atau teoritis alias OMDO? - mudheng

2007-06-27 Terurut Topik jano ko
Pak Achmad :

Lalu, di mana peran ulama? Ulama yang sebenarnya hanyalah pelita. Dengan pelita 
itu sebenarnya umat bisa menjumpai Rasulullah. Karena ulama itu hanya pelita, 
maka pro-aktif umatlah yang diperlukan. Tak ada ketaatan buat ulama. 

  ---
   
  Janoko :
   
  Saya ulang lagi apa yang dikatakan Pak Achmad diatas.
  Lalu peranan MUI ( Majelis Ulama Indonesia ) itu dimana pak ?
   
  Ada beberapa produk buatan saya yang mempunyai sertifikat halal yang 
dikeluarkan oleh MUI, lalu njok kepiye legalitas sertifikat halal dari produk 
saya kalau apa yang dikatakan pak Achmad itu.. ?
   
  Masih engga mudheng
   
  Wassalam
   
  --oo0oo--

Achmad Chodjim [EMAIL PROTECTED] wrote:
  Nuwun sewu, Mas Jano ko supados balik sekolah malih teng SD. Mosok 
nggak bisa mengerti sebuah paragraf tuturan. Mana ada kalimat dari saya yang 
memerintah sampiyan taat kepada saya?

Wassalam,
chodjim

- Original Message - 
From: jano ko 
To: wanita-muslimah@yahoogroups.com 
Sent: Wednesday, June 27, 2007 9:11 AM
Subject: Re: [wanita-muslimah] Re: Ukhuwah praktis ... atau teoritis alias 
OMDO? - mudheng

Pak Achmad :

Betul, Mas Jano ko. Janganlah taati kata-kata saya bila belum mudeng. Kalau 
menaati sesuatu yang belum dimudengi itu namanya menaati berhala.
--

Janoko :

Jadi, kalau saya sudah mudheng, berarti saya bisa dan boleh taat kepada pak 
Achmad, begitu pak ?

Wassalam

--oo0oo--

Achmad Chodjim [EMAIL PROTECTED] wrote:
Betul, Mas Jano ko. Janganlah taati kata-kata saya bila belum mudeng. Kalau 
menaati sesuatu yang belum dimudengi itu namanya menaati berhala.

Makanya di Alquran tak ada satu ayat pun untuk menaati ulama. Bahkan ada 
kelompok yang memandang ulama-ulama dan rahib-rahibnya sebagai pengganti Tuhan 
atau telah dijadikan ilah selain Allah. Baca QS 9:31.

Karena ulama itu sebagai pelita, bawalah pelita itu untuk menerangi jalan, dan 
jadikan Alquran dan Sunnah Nabi sebagai peta. jadi, lengkaplah, ada peta 
jalan ada lampunya. Agar tidak keliru dalam membaca peta, maka mohonlah 
petunjuk kepada ALLAH dan Rasul-Nya (sebagai wasilah).

Wassalam,
chodjim

- Original Message - 
From: jano ko 
To: wanita-muslimah@yahoogroups.com 
Sent: Tuesday, June 26, 2007 9:59 PM
Subject: Re: [wanita-muslimah] Re: Ukhuwah praktis ... atau teoritis alias 
OMDO? - mudheng

Pak Achmad :

Lalu, di mana peran ulama? Ulama yang sebenarnya hanyalah pelita. Dengan pelita 
itu sebenarnya umat bisa menjumpai Rasulullah. Karena ulama itu hanya pelita, 
maka pro-aktif umatlah yang diperlukan. Tak ada ketaatan buat ulama. 

--

Janoko :

Janoko belum mudeng, apakah Pak Achmad bermaksud mengatakan jangan taati 
kata-kata Pak Achmad ?, maaf lho, saya betul-betul engga mudheng.

Punten-punten and punten.

Wassalam

--oo0oo--

Achmad Chodjim [EMAIL PROTECTED] wrote:
Mas Wikan,

Di dalam Alquran dinyatakan bahwa ketaatan itu hanya kepada Allah dan kepada 
Rasul-Nya. Lalu, ketaatan berikutnya kepada ulil amri --jika dan hanya jika-- 
ulil amri itu sendiri taat kepada Allah dan taat kepada Rasul-Nya.

Pernyataan di atas dituangkan dalam QS 4:59. Sayangnya, taat kepada Allah ini 
dipelintir menjadi taat kepada Alquran, dan taat kepada Rasul-Nya dipelintir 
menjadi taat kepada al-Sunnah. Jadi, Allah Yang Maha Hidup itu sudah sejak lama 
tidak dianggap hidup lagi oleh umat, makanya Allah diturunkan derajatnya hanya 
sebagai Alquran. Padahal, kalau ditanya tentang rukun iman, ada rukun untuk 
mengimani Allah dan ada rukun untuk mengimani kitab-kitab-Nya (QS 2:177).

Demikian juga ketaatan kepada Rasul Allah, kepada Kanjeng Nabi Muhammad, lha 
koq diturunkan derajatnya hanya taat kepada al-Sunnah. Kita lupa bahwa Rasul 
itu tetap hidup (QS 2:154, 3:169-171). Bukankah dalam tasyahud ada ucapan 
assalaamu 'alayka ayyuhan nabiyyu wa rahmatullahi wa barakaatuh, assalaamu 
'alayna wa 'alaa ibadillaahis shaalihiin? Jadi, ucapan salam itu ditujukan 
kepada yang hidup dan yang disetarakan dengan orang yang mengucapkannya.

Alquran itu adalah kitab tempat kita merujuk atau mengambil rujukan, jadi bukan 
tempat taat. Sedangkan petunjuk yaa harus kita peroleh langsung dari Tuhan, 
makanya ada ihdinaash shiraathal mustaqiim. Nah, kalau kita ditunjukkan oleh 
Tuhan, maka kita akan bisa melihat rujukannya, dan kita bisa menemukan ayatnya, 
lalu kita sambil mengangguk-angguk. oh ini ayatnya. Bukankah hakikat 
ayat-ayat Alquran itu ada di dalam dada orang-orang yang diberi ilmu? (QS 
29:49).

Rasulullah yang sudah tidak berbadan fisik ini tetap hidup. Jasad fisik tak 
mampu lagi menampung Ruh Rasullullah, makanya secara fisikal beliau hanya 63 
tahun. Karena tetap hidup itu maka Rasul menjadi saksi dan tetap menerangi (QS 
33:45-46). Lha, kalau Muhammad mati secara total (lahir dan batin) yaa beliau 
tak pernah bisa menjadi saksi, apalagi menerangi. Jadi, hanya yang hidup yang 
bisa menjadi saksi dan menerangi

Re: [wanita-muslimah] Re: Ukhuwah praktis ... atau teoritis alias OMDO? - filsafat

2007-06-27 Terurut Topik jano ko
Mas Dana :

DP: Saya tidak yakin, spt Bung Chodjim, bahwa khilafah islamiyah bisa
 membawa kesejahteraan lahiriyah dan batiniyah yg saya dambakan. 
 Batiniyah bisa OK tapi lahiriyah akan sangat sukar, karena metoda2nya
 bagi saya tidak membawa kepada kesejahteraan yg dinginkan berdasarkan
 konteks masa kini.   

---

Janoko :

Saya hanya akan mengatakanjangan tersungging ya mas,.Kasihan, mas 
dana ini tinggal di Eropa, tapi dari apa yang anda kemukanan itu jelas 
menunjukkan bahwa anda belum membaca filsafat bangsa Eropa dan Amerika yang 
mendasari cara hidup mereka yang membuat mereka maju.

Salah satu filsafat yang dianut bangsa Eropa adalah Existentialism.
Salah satu tokoh dari Existentialism adalah Jean-Paul Sartre 
Nah Pak Jean Paul Sartre ini mengatakan begini :
In addition to Judaism, Sartre expressed interest in Islam,  writing I have no 
religion, but if I were to choose one, it would be that of  Shariati's. Ali 
Shariati was a Shiite Muslim. 

Dan perlu anda ketahui bahwa Pak Ali Shariati ini terpengaruh 
pemikiran-pemikiran dari Moulana Rumi dan Muhammad Iqbal.
(Shariati was also deeply influenced by Moulana Rumi and Muhammad Iqbal.)

Kesimpulannya, kemajuan science / sains dan filsafat dari Bangsa Eropa itu 
sangat dipengaruhi oleh Islam.

Nah mangkanya, sebaiknya mas Dana dan janoko banyak membaca sejarah, supaya 
tidak ignorance dan misconception.

Gitu dulu.

Pagi.

PS
Saya heran dengan salah satu tokoh liberal Indonesia yang teriak-teriak tentang 
filsafat exsistentialism, dia tidak menyadari dan tidak tahu bahwa tokoh 
existentialism yang digembar-gemborkan itu sangat terpengaruh ajaran Islam.

Salam

--oo0oo--




Dan [EMAIL PROTECTED] wrote:  --- In 
wanita-muslimah@yahoogroups.com, rsa [EMAIL PROTECTED] wrote:
 
  Bung Dan,
  
  terima kasih tanggapannya. saya berharap tanggapan anda tidak parsial 
  spt ini. maaf tapi ini yang saya lihat. saya menghindari cara 
  menaggapi spt anda saat ini karena tidak semua posting bisa disikapi 
  demikian. saya tidak membatasi hak anda menenanggapi dan cara anda 
  menanggapi, tapi hanya menegaskan bahwa cara anda itu buat postingan 
  saya tidak pas. but, again, with all due respect, you have every 
  right to do what you seem fit.
 
 DP: Seperti juga pembahasan dg pak HMNA saya merasa debat kita adalah
 debat paradigmatis.  Kita bertumpu awal pada axioma2 yg berbeda.  Jadi
 memang sukar ketemu.
 
 Anda bagi saya termasuk mereka yg yakin bahwa kebenaran absolut adalah
 yg kebenaran yg perlu dianut dan kebenaran itu hanya datang dari
 keabsolutan konsep Tuhan.
 
 Bagi saya kebenaran itu relatif karena kebenaran itu adalah suatu
 fungsi yg bekerja pada suatu konteks tertentu.  Begitu konteks berubah
 maka definisi kebenaran itu akan berubah.  Tapi akan selalu ada
 konsistensi logikal dalam konsep kebenaran ini selama bersemayam dan
 bergerak dalam konteks yg terdefinisi.  Pengertian kebenaran disini
 sangat tergantung pada ketegaran definisi sang konteks.
 
  benang merah yang saya lihat dari tanggapan anda adalah anda tidak 
  yakin akan kejayaan islam itu bisa muncul lagi dalam wujud sebuah 
  khilafah islamiyah (kekhalifahan islam) yang menurut anda tidak bisa 
  anda saksikan (sebagai bukti) saat ini.
 
 DP: Saya tidak yakin, spt Bung Chodjim, bahwa khilafah islamiyah bisa
 membawa kesejahteraan lahiriyah dan batiniyah yg saya dambakan. 
 Batiniyah bisa OK tapi lahiriyah akan sangat sukar, karena metoda2nya
 bagi saya tidak membawa kepada kesejahteraan yg dinginkan berdasarkan
 konteks masa kini.   
 
  tanggapan saya:
  
  [1] mengapa anda menanyakan kejayaan spt apa yang saya maksud? anda 
  sendiri yang berulang kali dan pertama kali menunjukkan hal itu 
  ketika menyebut sosok monumental IBNU KHALDUN (otomatis juga menjawab 
  sendiri pertanyaan anda itu). atau buat anda dia tidak mencerminkan 
  kejayaan. saya kira yang anda sebut gemilang itu (lihat tanggapan 
  anda paling akhir atas posting saya, di bawah) ya setali tiga uang 
  dengan jaya. 
  **ah, lagi-lagi ko kendala bahasa. sepele tapi tidak remeh, 
  ternyata** 
  tentu saja saya melihat jadi aneh kalo anda menyamakan kejayaan 
  dengan kemenangan, terutama dalam konteks peperangan yang jelas 
  menumpahkan darah (issue ini satu paket dengan stereotip bahwa islam 
  disebarkan dengan pedang ... yang dengan apik menurut saya 
  dibahas/diulas singkat oleh mas Aman FaTha di 
  http://aman.web.id/2005/01/20/benarkah-islam-disebarkan-dengan-
  pedang/16/ dan di http://aman.web.id/2005/01/20/benarkah-islam-
  disebarkan-dengan-pedang/16/2/). 
 
 DP: Dalam sejarah Islam yg panjang tentu ada insiden dan perioda
 dimana penyebaran agama adalah melalui peperangan.  Hampir semua agama
 memang demikian, karena fungsi agama dalam konteks ini ialah suatu way
 of life (kaafah/dien?).  Motivasi manusianya sebagai motor sejarah
 akan sangat mudah dideteksi.  Nothing wrong with historical facts.
 Cuma yg dipertanyakan apakah motivasi 

[wanita-muslimah] Re: Ukhuwah praktis ... atau teoritis alias OMDO? - filsafat

2007-06-27 Terurut Topik Dan
Dalam ilmu pengetahuan dan wisdom manusia banyak saling pengaruh. 
Tapi pengaruh saja tidak identik dg formula keberhasilan.

Seperti juga pengalaman Anda sendiri, kan banyak rekan2 sekelas satu
alumni yg tidak sesukses Anda tapi juga ada yg lebih sukses dari Anda.
Semuanya satu almuni.  Bagaimana Anda menjelaskannya? Semua tergantung
usaha dan upaya kan?

Begitu juga keberhasilan Uni Eropa misalnya jelas ada sumbangan
pemikiran2 Islam, tetapi Uni Eropa tidak secara explisit dinyatakan
sebagai khilafah islamiyah, tidak secara explisit menggunakan
Al-Qur'an sebagai landasannya.  Uni Eropa jelas berdasarkan konsep2 HAM.

Jangan berusaha nebeng kebanggaan atas upaya orang lain, malu dong ...

--- In wanita-muslimah@yahoogroups.com, jano ko [EMAIL PROTECTED] wrote:

 Mas Dana :
 
 DP: Saya tidak yakin, spt Bung Chodjim, bahwa khilafah islamiyah bisa
  membawa kesejahteraan lahiriyah dan batiniyah yg saya dambakan. 
  Batiniyah bisa OK tapi lahiriyah akan sangat sukar, karena metoda2nya
  bagi saya tidak membawa kepada kesejahteraan yg dinginkan berdasarkan
  konteks masa kini.   
 
 ---
 
 Janoko :
 
 Saya hanya akan mengatakanjangan tersungging ya
mas,.Kasihan, mas dana ini tinggal di Eropa, tapi dari apa yang
anda kemukanan itu jelas menunjukkan bahwa anda belum membaca filsafat
bangsa Eropa dan Amerika yang mendasari cara hidup mereka yang membuat
mereka maju.
 
 Salah satu filsafat yang dianut bangsa Eropa adalah Existentialism.
 Salah satu tokoh dari Existentialism adalah Jean-Paul Sartre 
 Nah Pak Jean Paul Sartre ini mengatakan begini :
 In addition to Judaism, Sartre expressed interest in Islam,  writing
I have no religion, but if I were to choose one, it would be that of
 Shariati's. Ali Shariati was a Shiite Muslim. 
 
 Dan perlu anda ketahui bahwa Pak Ali Shariati ini terpengaruh
pemikiran-pemikiran dari Moulana Rumi dan Muhammad Iqbal.
 (Shariati was also deeply influenced by Moulana Rumi and Muhammad
Iqbal.)
 
 Kesimpulannya, kemajuan science / sains dan filsafat dari Bangsa
Eropa itu sangat dipengaruhi oleh Islam.
 
 Nah mangkanya, sebaiknya mas Dana dan janoko banyak membaca sejarah,
supaya tidak ignorance dan misconception.
 
 Gitu dulu.
 
 Pagi.
 
 PS
 Saya heran dengan salah satu tokoh liberal Indonesia yang
teriak-teriak tentang filsafat exsistentialism, dia tidak menyadari
dan tidak tahu bahwa tokoh existentialism yang digembar-gemborkan itu
sangat terpengaruh ajaran Islam.
 
 Salam
 
 --oo0oo--
 
 
 
 
 Dan [EMAIL PROTECTED] wrote:  ---
In wanita-muslimah@yahoogroups.com, rsa efikoe@ wrote:
  
   Bung Dan,
   
   terima kasih tanggapannya. saya berharap tanggapan anda tidak
parsial 
   spt ini. maaf tapi ini yang saya lihat. saya menghindari cara 
   menaggapi spt anda saat ini karena tidak semua posting bisa disikapi 
   demikian. saya tidak membatasi hak anda menenanggapi dan cara anda 
   menanggapi, tapi hanya menegaskan bahwa cara anda itu buat postingan 
   saya tidak pas. but, again, with all due respect, you have every 
   right to do what you seem fit.
  
  DP: Seperti juga pembahasan dg pak HMNA saya merasa debat kita adalah
  debat paradigmatis.  Kita bertumpu awal pada axioma2 yg berbeda.  Jadi
  memang sukar ketemu.
  
  Anda bagi saya termasuk mereka yg yakin bahwa kebenaran absolut adalah
  yg kebenaran yg perlu dianut dan kebenaran itu hanya datang dari
  keabsolutan konsep Tuhan.
  
  Bagi saya kebenaran itu relatif karena kebenaran itu adalah suatu
  fungsi yg bekerja pada suatu konteks tertentu.  Begitu konteks berubah
  maka definisi kebenaran itu akan berubah.  Tapi akan selalu ada
  konsistensi logikal dalam konsep kebenaran ini selama bersemayam dan
  bergerak dalam konteks yg terdefinisi.  Pengertian kebenaran disini
  sangat tergantung pada ketegaran definisi sang konteks.
  
   benang merah yang saya lihat dari tanggapan anda adalah anda tidak 
   yakin akan kejayaan islam itu bisa muncul lagi dalam wujud sebuah 
   khilafah islamiyah (kekhalifahan islam) yang menurut anda tidak bisa 
   anda saksikan (sebagai bukti) saat ini.
  
  DP: Saya tidak yakin, spt Bung Chodjim, bahwa khilafah islamiyah bisa
  membawa kesejahteraan lahiriyah dan batiniyah yg saya dambakan. 
  Batiniyah bisa OK tapi lahiriyah akan sangat sukar, karena metoda2nya
  bagi saya tidak membawa kepada kesejahteraan yg dinginkan berdasarkan
  konteks masa kini.   
  
   tanggapan saya:
   
   [1] mengapa anda menanyakan kejayaan spt apa yang saya maksud? anda 
   sendiri yang berulang kali dan pertama kali menunjukkan hal itu 
   ketika menyebut sosok monumental IBNU KHALDUN (otomatis juga
menjawab 
   sendiri pertanyaan anda itu). atau buat anda dia tidak mencerminkan 
   kejayaan. saya kira yang anda sebut gemilang itu (lihat tanggapan 
   anda paling akhir atas posting saya, di bawah) ya setali tiga uang 
   dengan jaya. 
   **ah, lagi-lagi ko kendala bahasa. sepele tapi tidak remeh, 
   ternyata** 
   tentu saja saya melihat jadi 

Re: [wanita-muslimah] Re: Ukhuwah praktis ... atau teoritis alias OMDO? - mudheng

2007-06-27 Terurut Topik Achmad Chodjim
Mas Jano ko,
Percuma saja ya saya mengutipkan hadis yang menyebutkan bahwa ulama itu 
kepercayaan Rasul selama tidak terlibat dalam kekuasaan dan kesenangan duniawi. 
Baca lagi, Mas.

Makanya, peran ulama itu mendidik agar umat tahu halal dan haram dengan benar. 
Umat yang benar tinggal baca bahan-bahan yang tercantum dalam kemasan. Dan, itu 
kerjaan ulil amri! Bila dalam bahannya terulis mengandung babi, ya yang Islam 
tak perlu mengkonsumsinya. Kan begic

Kalau ulama sudah terlibat kekuasaan dengan memberi label halal bagi makanan, 
jadinya rawan korupsi. Jangan dipelintir terus, ya... 

Siapa yang menjamin proyek label haram itu suci? Mosok see sampeyan tak mencium 
baunya. Bayangkan saja bagaimana ribuan jenis makanan harus mendapatkan label 
halal dengan cepat. Untuk menguji kehalalan satu jenis makanan saja, perlu 
waktu; apalagi puluhan ribu makanan. Bagaimana untuk cepat mendapatkan label 
haram? hehehe..

Makanya, saya sarankan mas Jano ko banyak tahajud dan mengaji makrifat dengan 
benar, supaya tidak hanya dapat kulitnya!

Wassalam,
chodjim 



  - Original Message - 
  From: jano ko 
  To: wanita-muslimah@yahoogroups.com 
  Sent: Wednesday, June 27, 2007 7:15 PM
  Subject: Re: [wanita-muslimah] Re: Ukhuwah praktis ... atau teoritis alias 
OMDO? - mudheng


  Pak Achmad :

  Lalu, di mana peran ulama? Ulama yang sebenarnya hanyalah pelita. Dengan 
pelita itu sebenarnya umat bisa menjumpai Rasulullah. Karena ulama itu hanya 
pelita, maka pro-aktif umatlah yang diperlukan. Tak ada ketaatan buat ulama. 

  ---

  Janoko :

  Saya ulang lagi apa yang dikatakan Pak Achmad diatas.
  Lalu peranan MUI ( Majelis Ulama Indonesia ) itu dimana pak ?

  Ada beberapa produk buatan saya yang mempunyai sertifikat halal yang 
dikeluarkan oleh MUI, lalu njok kepiye legalitas sertifikat halal dari produk 
saya kalau apa yang dikatakan pak Achmad itu.. ?

  Masih engga mudheng

  Wassalam

  --oo0oo--

  Achmad Chodjim [EMAIL PROTECTED] wrote:
  Nuwun sewu, Mas Jano ko supados balik sekolah malih teng SD. Mosok nggak bisa 
mengerti sebuah paragraf tuturan. Mana ada kalimat dari saya yang memerintah 
sampiyan taat kepada saya?

  Wassalam,
  chodjim

  - Original Message - 
  From: jano ko 
  To: wanita-muslimah@yahoogroups.com 
  Sent: Wednesday, June 27, 2007 9:11 AM
  Subject: Re: [wanita-muslimah] Re: Ukhuwah praktis ... atau teoritis alias 
OMDO? - mudheng

  Pak Achmad :

  Betul, Mas Jano ko. Janganlah taati kata-kata saya bila belum mudeng. Kalau 
menaati sesuatu yang belum dimudengi itu namanya menaati berhala.
  --

  Janoko :

  Jadi, kalau saya sudah mudheng, berarti saya bisa dan boleh taat kepada pak 
Achmad, begitu pak ?

  Wassalam

  --oo0oo--

  Achmad Chodjim [EMAIL PROTECTED] wrote:
  Betul, Mas Jano ko. Janganlah taati kata-kata saya bila belum mudeng. Kalau 
menaati sesuatu yang belum dimudengi itu namanya menaati berhala.

  Makanya di Alquran tak ada satu ayat pun untuk menaati ulama. Bahkan ada 
kelompok yang memandang ulama-ulama dan rahib-rahibnya sebagai pengganti Tuhan 
atau telah dijadikan ilah selain Allah. Baca QS 9:31.

  Karena ulama itu sebagai pelita, bawalah pelita itu untuk menerangi jalan, 
dan jadikan Alquran dan Sunnah Nabi sebagai peta. jadi, lengkaplah, ada peta 
jalan ada lampunya. Agar tidak keliru dalam membaca peta, maka mohonlah 
petunjuk kepada ALLAH dan Rasul-Nya (sebagai wasilah).

  Wassalam,
  chodjim

  - Original Message - 
  From: jano ko 
  To: wanita-muslimah@yahoogroups.com 
  Sent: Tuesday, June 26, 2007 9:59 PM
  Subject: Re: [wanita-muslimah] Re: Ukhuwah praktis ... atau teoritis alias 
OMDO? - mudheng

  Pak Achmad :

  Lalu, di mana peran ulama? Ulama yang sebenarnya hanyalah pelita. Dengan 
pelita itu sebenarnya umat bisa menjumpai Rasulullah. Karena ulama itu hanya 
pelita, maka pro-aktif umatlah yang diperlukan. Tak ada ketaatan buat ulama. 

  --

  Janoko :

  Janoko belum mudeng, apakah Pak Achmad bermaksud mengatakan jangan taati 
kata-kata Pak Achmad ?, maaf lho, saya betul-betul engga mudheng.

  Punten-punten and punten.

  Wassalam

  --oo0oo--

  Achmad Chodjim [EMAIL PROTECTED] wrote:
  Mas Wikan,

  Di dalam Alquran dinyatakan bahwa ketaatan itu hanya kepada Allah dan kepada 
Rasul-Nya. Lalu, ketaatan berikutnya kepada ulil amri --jika dan hanya jika-- 
ulil amri itu sendiri taat kepada Allah dan taat kepada Rasul-Nya.

  Pernyataan di atas dituangkan dalam QS 4:59. Sayangnya, taat kepada Allah ini 
dipelintir menjadi taat kepada Alquran, dan taat kepada Rasul-Nya dipelintir 
menjadi taat kepada al-Sunnah. Jadi, Allah Yang Maha Hidup itu sudah sejak lama 
tidak dianggap hidup lagi oleh umat, makanya Allah diturunkan derajatnya hanya 
sebagai Alquran. Padahal, kalau ditanya tentang rukun iman, ada rukun untuk 
mengimani Allah dan ada rukun untuk mengimani kitab-kitab-Nya (QS 2:177

[wanita-muslimah] Re: Ukhuwah praktis ... atau teoritis alias OMDO? - LABEL HARAM

2007-06-27 Terurut Topik rsa
Mas Chodjim,

Khusus soal labelisasi HALAL a la MUI, saya sejak lama merasa aneh 
karena kan yang halal itu justru sangat banyak daripada yang halal. 
Mengapa tidak mempermudah semua pihak saja dengan cara labelisasi 
HARAM. Ini sangat cost-effective dan tidak menimbulkan bau yang aneh 
kan, mas?

Entah juga alasan formal MUI untuk tdk menerbitkan sertifikasi HARAM. 
Kalo salah satu alasannya krn Dewan Pengawas Dunia untuk sertifikasi 
halal, wah jelas nda pas kan dewan itu sebenarnya lebih ke mengawasi 
tempat yang penduduknya minoritas muslim, spt Amerika dan Eropah. 
Buat yang jelas mayoritas muslim spt Indonesia yang cocok ya label 
HARAM daripada HALAL.

salam,
satriyo

--- In wanita-muslimah@yahoogroups.com, Achmad Chodjim 
[EMAIL PROTECTED] wrote:

 Mas Jano ko,
 Percuma saja ya saya mengutipkan hadis yang menyebutkan bahwa ulama 
itu kepercayaan Rasul selama tidak terlibat dalam kekuasaan dan 
kesenangan duniawi. Baca lagi, Mas.
 
 Makanya, peran ulama itu mendidik agar umat tahu halal dan haram 
dengan benar. Umat yang benar tinggal baca bahan-bahan yang tercantum 
dalam kemasan. Dan, itu kerjaan ulil amri! Bila dalam bahannya 
terulis mengandung babi, ya yang Islam tak perlu mengkonsumsinya. Kan 
begic
 
 Kalau ulama sudah terlibat kekuasaan dengan memberi label halal 
bagi makanan, jadinya rawan korupsi. Jangan dipelintir terus, ya... 
 
 Siapa yang menjamin proyek label haram itu suci? Mosok see sampeyan 
tak mencium baunya. Bayangkan saja bagaimana ribuan jenis makanan 
harus mendapatkan label halal dengan cepat. Untuk menguji kehalalan 
satu jenis makanan saja, perlu waktu; apalagi puluhan ribu makanan. 
Bagaimana untuk cepat mendapatkan label haram? hehehe..
 
 Makanya, saya sarankan mas Jano ko banyak tahajud dan mengaji 
makrifat dengan benar, supaya tidak hanya dapat kulitnya!
 
 Wassalam,
 chodjim 
 
 
 
   - Original Message - 
   From: jano ko 
   To: wanita-muslimah@yahoogroups.com 
   Sent: Wednesday, June 27, 2007 7:15 PM
   Subject: Re: [wanita-muslimah] Re: Ukhuwah praktis ... atau 
teoritis alias OMDO? - mudheng
 
 
   Pak Achmad :
 
   Lalu, di mana peran ulama? Ulama yang sebenarnya hanyalah pelita. 
Dengan pelita itu sebenarnya umat bisa menjumpai Rasulullah. Karena 
ulama itu hanya pelita, maka pro-aktif umatlah yang diperlukan. Tak 
ada ketaatan buat ulama. 
 
   ---
 
   Janoko :
 
   Saya ulang lagi apa yang dikatakan Pak Achmad diatas.
   Lalu peranan MUI ( Majelis Ulama Indonesia ) itu dimana pak ?
 
   Ada beberapa produk buatan saya yang mempunyai sertifikat halal 
yang dikeluarkan oleh MUI, lalu njok kepiye legalitas sertifikat 
halal dari produk saya kalau apa yang dikatakan pak Achmad itu.. ?
 
   Masih engga mudheng
 
   Wassalam
 
   --oo0oo--
 
   Achmad Chodjim [EMAIL PROTECTED] wrote:
   Nuwun sewu, Mas Jano ko supados balik sekolah malih teng SD. 
Mosok nggak bisa mengerti sebuah paragraf tuturan. Mana ada kalimat 
dari saya yang memerintah sampiyan taat kepada saya?
 
   Wassalam,
   chodjim
 
   - Original Message - 
   From: jano ko 
   To: wanita-muslimah@yahoogroups.com 
   Sent: Wednesday, June 27, 2007 9:11 AM
   Subject: Re: [wanita-muslimah] Re: Ukhuwah praktis ... atau 
teoritis alias OMDO? - mudheng
 
   Pak Achmad :
 
   Betul, Mas Jano ko. Janganlah taati kata-kata saya bila belum 
mudeng. Kalau menaati sesuatu yang belum dimudengi itu namanya 
menaati berhala.
   --
 
   Janoko :
 
   Jadi, kalau saya sudah mudheng, berarti saya bisa dan boleh taat 
kepada pak Achmad, begitu pak ?
 
   Wassalam
 
   --oo0oo--
 
   Achmad Chodjim [EMAIL PROTECTED] wrote:
   Betul, Mas Jano ko. Janganlah taati kata-kata saya bila belum 
mudeng. Kalau menaati sesuatu yang belum dimudengi itu namanya 
menaati berhala.
 
   Makanya di Alquran tak ada satu ayat pun untuk menaati ulama. 
Bahkan ada kelompok yang memandang ulama-ulama dan rahib-rahibnya 
sebagai pengganti Tuhan atau telah dijadikan ilah selain Allah. Baca 
QS 9:31.
 
   Karena ulama itu sebagai pelita, bawalah pelita itu untuk 
menerangi jalan, dan jadikan Alquran dan Sunnah Nabi sebagai peta. 
jadi, lengkaplah, ada peta jalan ada lampunya. Agar tidak keliru 
dalam membaca peta, maka mohonlah petunjuk kepada ALLAH dan Rasul-Nya 
(sebagai wasilah).
 
   Wassalam,
   chodjim
 
   - Original Message - 
   From: jano ko 
   To: wanita-muslimah@yahoogroups.com 
   Sent: Tuesday, June 26, 2007 9:59 PM
   Subject: Re: [wanita-muslimah] Re: Ukhuwah praktis ... atau 
teoritis alias OMDO? - mudheng
 
   Pak Achmad :
 
   Lalu, di mana peran ulama? Ulama yang sebenarnya hanyalah pelita. 
Dengan pelita itu sebenarnya umat bisa menjumpai Rasulullah. Karena 
ulama itu hanya pelita, maka pro-aktif umatlah yang diperlukan. Tak 
ada ketaatan buat ulama. 
 
   --
 
   Janoko :
 
   Janoko belum mudeng, apakah Pak Achmad bermaksud 
mengatakan jangan taati kata-kata Pak

Re: [wanita-muslimah] Re: Ukhuwah praktis ... atau teoritis alias OMDO?

2007-06-26 Terurut Topik Wikan Danar Sunindyo
menurut saya, soal politik  kenegaraan, islam tidak mengharuskan pake
hukum tertentu, tapi menggunakan yang umum berlaku saat itu
jaman Nabi, pemimpin (khalifah) dipilih secara kesukuan berdasar
kharisma dan pengaruh
dan ini berlanjut sampai khalifah yang empat
pada khalifah yang empat, tidak ada yang seragam soal bagaimana cara
pemilihan khalifah, ada yang dipilih, ada yang ditunjuk ...
setelah jaman khalifah ummayah, kepemimpinan berdasar keturunan. ini
sama dengan sistem kerajaan di mana2.
jadi, kalau banyak negara islam yang sekarang mengadopsi sistem
republik dan demokrasi menurut saya gak masalah, buktinya banyak
partai islam yang bertebaran di mana2 ini kan membuktikan bahwa banyak
juga orang islam yang berpandangan bahwa demokrasi itu tidak haram,
meskipun mungkin ada yang mengharamkan demokrasi dan menganggap bahwa
itu barang dari luar islam.

salam,
--
wikan
http://wikan.multiply.com

On 6/26/07, rsa [EMAIL PROTECTED] wrote:

  Jadi ada kerancuan referensi dan lini berpikir di sini. Mencomot ide
  non-islam (di luar tradisi islam) lalu dipaksakan untuk masuk ke
  tradisi islam. Contohnya, seputar hukum, negara, dan HAM. Di islam
  hal-hal itu pasti ada, tapi ketika kita ambil itu dari tradisi non-
  islam dan kita paksakan untuk bisa masuk ke tradisi islam, saya kira
  itu PEMAKSAAN yang jelas. Jadi, hingga tataran pemikiran pun, topik
  atau terma yang sangat banyak muncul dan ditujukan Allah kepada
  muslim, jelas islam punya tradisi yang khas. Dan ini yang Bung
  harapkan kan?


[wanita-muslimah] Re: Ukhuwah praktis ... atau teoritis alias OMDO?

2007-06-26 Terurut Topik rsa
silakan saja kalo menurut wikan demikian. semoga itu bermanfaat bagi 
wikan.
satu hal dari pernyataan pribadi wikan yang ingin saya tanggapi untuk 
minta penjelasannya, tolong tunjukan bahwa memang demokrasi itu dari 
islam, atau setidaknya spt wikan klaim spt terbaca pada tulisan wikan 
ini, ... menganggap bahwa itu barang dari luar islam..
yang jelas kalo syura atau musyawarah itu memang dari islam kan? atau 
malah dari luar islam?

salam,
satriyo

--- In wanita-muslimah@yahoogroups.com, Wikan Danar Sunindyo 
[EMAIL PROTECTED] wrote:

 menurut saya, soal politik  kenegaraan, islam tidak mengharuskan 
pake
 hukum tertentu, tapi menggunakan yang umum berlaku saat itu
 jaman Nabi, pemimpin (khalifah) dipilih secara kesukuan berdasar
 kharisma dan pengaruh
 dan ini berlanjut sampai khalifah yang empat
 pada khalifah yang empat, tidak ada yang seragam soal bagaimana cara
 pemilihan khalifah, ada yang dipilih, ada yang ditunjuk ...
 setelah jaman khalifah ummayah, kepemimpinan berdasar keturunan. ini
 sama dengan sistem kerajaan di mana2.
 jadi, kalau banyak negara islam yang sekarang mengadopsi sistem
 republik dan demokrasi menurut saya gak masalah, buktinya banyak
 partai islam yang bertebaran di mana2 ini kan membuktikan bahwa 
banyak
 juga orang islam yang berpandangan bahwa demokrasi itu tidak haram,
 meskipun mungkin ada yang mengharamkan demokrasi dan menganggap 
bahwa
 itu barang dari luar islam.
 
 salam,
 --
 wikan
 http://wikan.multiply.com
 
 On 6/26/07, rsa [EMAIL PROTECTED] wrote:
 
   Jadi ada kerancuan referensi dan lini berpikir di sini. Mencomot 
ide
   non-islam (di luar tradisi islam) lalu dipaksakan untuk masuk ke
   tradisi islam. Contohnya, seputar hukum, negara, dan HAM. Di 
islam
   hal-hal itu pasti ada, tapi ketika kita ambil itu dari tradisi 
non-
   islam dan kita paksakan untuk bisa masuk ke tradisi islam, saya 
kira
   itu PEMAKSAAN yang jelas. Jadi, hingga tataran pemikiran pun, 
topik
   atau terma yang sangat banyak muncul dan ditujukan Allah kepada
   muslim, jelas islam punya tradisi yang khas. Dan ini yang Bung
   harapkan kan?





[wanita-muslimah] Re: Ukhuwah praktis ... atau teoritis alias OMDO?

2007-06-26 Terurut Topik Mia
Sebagian besar kalau bukan 100% masyarakat Indonesia itu sudah lama 
menjalankan demokrasi. Pancasila kan bilang 'musyawarah yang...' 
Bilang sajalah demokrasi itu musyawarah, atau sebaliknya. Parlemen 
bukannya semacam syuro?

Jadi Wikan mewakili pendapat kebanyakan orang Indonesia (Muslim) 
dalam hal ini. Termasuk Aceh, Sumbar, yang kental syariat Islamnya 
menerima konsep musyawarah (demokrasi) dan syuro (parlemen) yang 
sekarang.

Setahu saya cuma HTI yang menolak musyawarah (demokrasi) dan syuro 
(parlemen).  PKS dll menerima, buktinya mereka ikut parlemen.

salam
Mia


--- In wanita-muslimah@yahoogroups.com, rsa [EMAIL PROTECTED] wrote:

 silakan saja kalo menurut wikan demikian. semoga itu bermanfaat 
bagi 
 wikan.
 satu hal dari pernyataan pribadi wikan yang ingin saya tanggapi 
untuk 
 minta penjelasannya, tolong tunjukan bahwa memang demokrasi itu 
dari 
 islam, atau setidaknya spt wikan klaim spt terbaca pada tulisan 
wikan 
 ini, ... menganggap bahwa itu barang dari luar islam..
 yang jelas kalo syura atau musyawarah itu memang dari islam kan? 
atau 
 malah dari luar islam?
 
 salam,
 satriyo
 
 --- In wanita-muslimah@yahoogroups.com, Wikan Danar Sunindyo 
 wikan.danar@ wrote:
 
  menurut saya, soal politik  kenegaraan, islam tidak 
mengharuskan 
 pake
  hukum tertentu, tapi menggunakan yang umum berlaku saat itu
  jaman Nabi, pemimpin (khalifah) dipilih secara kesukuan berdasar
  kharisma dan pengaruh
  dan ini berlanjut sampai khalifah yang empat
  pada khalifah yang empat, tidak ada yang seragam soal bagaimana 
cara
  pemilihan khalifah, ada yang dipilih, ada yang ditunjuk ...
  setelah jaman khalifah ummayah, kepemimpinan berdasar keturunan. 
ini
  sama dengan sistem kerajaan di mana2.
  jadi, kalau banyak negara islam yang sekarang mengadopsi sistem
  republik dan demokrasi menurut saya gak masalah, buktinya banyak
  partai islam yang bertebaran di mana2 ini kan membuktikan bahwa 
 banyak
  juga orang islam yang berpandangan bahwa demokrasi itu tidak 
haram,
  meskipun mungkin ada yang mengharamkan demokrasi dan menganggap 
 bahwa
  itu barang dari luar islam.
  
  salam,
  --
  wikan
  http://wikan.multiply.com
  
  On 6/26/07, rsa efikoe@ wrote:
  
Jadi ada kerancuan referensi dan lini berpikir di sini. 
Mencomot 
 ide
non-islam (di luar tradisi islam) lalu dipaksakan untuk masuk 
ke
tradisi islam. Contohnya, seputar hukum, negara, dan HAM. Di 
 islam
hal-hal itu pasti ada, tapi ketika kita ambil itu dari 
tradisi 
 non-
islam dan kita paksakan untuk bisa masuk ke tradisi islam, 
saya 
 kira
itu PEMAKSAAN yang jelas. Jadi, hingga tataran pemikiran pun, 
 topik
atau terma yang sangat banyak muncul dan ditujukan Allah 
kepada
muslim, jelas islam punya tradisi yang khas. Dan ini yang Bung
harapkan kan?
 





[wanita-muslimah] Re: Ukhuwah praktis ... atau teoritis alias OMDO?

2007-06-26 Terurut Topik Dan
--- In wanita-muslimah@yahoogroups.com, rsa [EMAIL PROTECTED] wrote:

 Wah Bung Dan maaf kalo ternyata buat anda nada saya terasa tidak 
 sejuk. Tidak ada niat saya untuk itu. Ala kulli hal, mohon maaf untuk 
 mishap itu. :(
 
 Soal keabadian, saya kira tidak berbanding lurus dengan popularitas, 
 terlebih jika kemudian terbukti hal itu salah, spt 'teori' evolusi 
 misalnya. Dan soal sedikitnya referensi, buat saya pribadi mungkin 
 krn memang pas yang kita baca itu adalah karya kontemporer yang tidak 
 menggunakan karya IK sebagai primary source. Atau memang tidak banyak 
 buku atau referesni ilmiah yang membahas topik yang dikaitkan dengan 
 karya monumental beliau.
 
 Karya IK bukanlah satu-satunya karya ilmiah monumental dalam tradisi 
 keilmuan islam Bung. Artinya, kalo kita kais dan korek perpustakaan 
 besar di negara2 Barat, pasti akan ketemu itu naskah kuno asli atau 
 saduran atau salinannya. Bahkan mungkin ada yang sudah memuatnya on-
 line. Mungkin dengan akses Bung yang relatif lebih banyak dan mudah 
 di banding di negara2 Islam termasuk di tanah air, Bung bisa segera 
 tahu hal itu. Karya lain yang diakui monumental tapi jarang dilirik 
 misalnya adalah karya Ibnu Sina/Avicenna di bidang kedokteran The 
 Qanun/Canon yang hingga abad 17 masih menjadi buku acuan di dunia 
 kedokteran Barat (Up to the year 1650, or thereabouts, the Canon was 
 still used as a textbook in the universities of Leuven and 
 Montpellier.-http://en.wikipedia.org/wiki/Avicenna#Legacy). Mengapa 
 sekarang tdk dipakai? Ya banyaklah alasannya, selain bhw dunia 
 teknologi demikian maju. Kemungkinan lain adalah karya2 yang mengutip 
 mereka itu mayoritas adalah di lingkungan akademis, padahal yang 
 paling banyak dibaca adalah buku2 populer walau tidak kurang otoritas 
 akademisnya.

DP: Untuk membahas masalah2 sosial spt dalam milis ini kan lebih
relevan dibandingkan dg hasil karya Ibnu Sinna atau Ibnu Rushdie. 
Selain itu juga banyak ilmuwan lain yg hasil karyanya merupakan tinta
emas dalam sejarah ilmu pengetahuan.

 
 Nah tidak salah kalo konstruk berpikir ini diadopsi oleh saudara-
 saudara kita dalam hidup mereka. Tapi memang tidak mudah ketika lini 
 berpikir ini berbenturan dengan yang menganggap ibadah itu ya yang 
 rukun islam saja. Dengan demikian, tidak pas menganggap bahwa urusan 
 ULAMA itu hanya spiritual (istilah asing, di luar tradisi islam) 
 sedangkan diluar itu bukan urusan ULAMA. Wah kan ada tu yang komentar 
 bahwa ORIENTALIS juga ULAMA, padahal jelas ORIENTALIS itu murni ilmu 
 yang ditekankan dan ga ada urusan sama 'spiritual islam' bahkan 
 ORIENTALIS itu inginnya membuat ISLAM itu seperti KRISTEN, terpisah 
 antara GEREJA dan NEGARA. 

DP: Ilmu yg berguna bukan cuma ilmu agama yg didalami oleh para ulama.
 Telah terbukti bahwa penggabungan negara dan agama akan berakibat
runyam.  Kan contohnya sudah ada dalam sejarah Islam.

Mana khilafah yg berukhuwah islamiyah yg masih survive?  Tidak ada
kan?  Jadi memang terbukti juga bahwa penggabungan negara dan agama
adalah secara universal akan berlaku berakibat runyam, alias akan
meruntuhkan sendiri konstruk negara.

Kalau sudah tahu dan sudah banyak buktinya koq masih juga
memperjuangkan negara agama?  Sukar saya terima dari segi logika. 
Satu2nya penjelasan ialah ini perilaku orang yg kecanduan.  Orang
kecanduan kan begitu sudah tahu bahwa narkoba itu buruk tapi masih
terus ngotot menggunakannya sampai badannya hancur sendiri.

 Jadi ada kerancuan referensi dan lini berpikir di sini. Mencomot ide 
 non-islam (di luar tradisi islam) lalu dipaksakan untuk masuk ke 
 tradisi islam. Contohnya, seputar hukum, negara, dan HAM. Di islam 
 hal-hal itu pasti ada, tapi ketika kita ambil itu dari tradisi non-
 islam dan kita paksakan untuk bisa masuk ke tradisi islam, saya kira 
 itu PEMAKSAAN yang jelas. Jadi, hingga tataran pemikiran pun, topik 
 atau terma yang sangat banyak muncul dan ditujukan Allah kepada 
 muslim, jelas islam punya tradisi yang khas. Dan ini yang Bung 
 harapkan kan?

DP: Pemaksaan itu kalau ada ancaman fisik. Tapi kalau metodologi
ilmiah diterapkan dan secara imperatif logis diterima (logically
imperative, artinya begitu masuk akalnya sehingga tidak dapat ditolak
hanya harus diterima, bukan akibat paksaan fisik melainkan paksaan
dari kekuatan logika itu sendiri) ya jangan salahkan saya.  Metodologi
ilmiah ini juga kan dikembangkan oleh peradaban Arab.

 Jadi mengukur islam dengan alat ukur di luar islam, pasti tidak 
 cocok. Yang ada adalah kesan 'carut marut' dan 'pemaksaan'. Kalo kita 
 jujur, yang namanya budaya kan pasti beda. Ilustrasi sederhana yang 
 saya ambil dari sebuah dokumenter, seorang perwira militer kerajaan 
 Inggris Raya Lieutenant Colonel Sir Francis Edward Younghusband yang 
 berhasil 'menaklukan' Tibet, ketika memasuki Lhasa ia gembira krn 
 disambut oleh penduduknya dengan tapukan tangan. Ternyata kemudia ia 
 tahu bahwa mereka bukan bertepuk tangan spt yang dia KIRA, tapi 
 bertepuk tangan sesuai tradisi Tibet 

Re: [wanita-muslimah] Re: Ukhuwah praktis ... atau teoritis alias OMDO?

2007-06-26 Terurut Topik jano ko
Mas Cimlw :
   
  ini akibat kristalisasi pemahaman 
tertentu thd teks2 agama, yah siapapun tidak bisa dipersalahkan bila punya 
interpretasi yg beda dgn pihak lain --bahkan mainstream-- namun itu baru 
bisa diperkarakan bila udah jadi aksi nyata yg merugikan orang banyak.

  
-
   
  Janoko :
   
   Ini akibat kristalisasi pemahaman tertentu terhadap teks-teks  agama
   
  Tolong dong kemukakan dasar-dasar dan alasan anda tersebut diatas. Monggo, 
salam kenal.
  
Wassalam
   
  --oo0oo--
   
  
^_^ [EMAIL PROTECTED] wrote:
  
waduh, di postingan ini mas satriyo numpahin semua hal yg dirangkum rapi. 
hmmm... jadi pingin ikutan.

soal ukhuwah, saya nggak bakal banyak komentar. istilah2 ukhuwah itu memang 
menggambarkan profil NU sebagai ormas Islam yg nasionalis. sama sekali nggak 
keliru bila gus dur memberi makna ukhuwah insaniyah (sebagai ganti ukhuwah 
basyariyah), karena tiap manusia --dlm konsep Islam-- berasal dari bapak  
ibu yg sama (baca: adam  hawa), maka tiap dari kita sejatinya adl 
bersaudara. DR. yusuf al qardhawi juga mendukung istilah ini [lihat buku 
khashaish al 'ammah li al islam, bab insaniyyah].

ttg konsep ukhuwah wathaniyah juga sah2 aja, karena memang sebagai satu 
bangsa kita disatukan dgn persaudaraan. justru buat saya pribadi, ini wacana 
bagus yg harus terus didengungkan. bangsa kita udah kehilangan ciri 
alaminya: ramah, santun smp tepo seliro. ini akibat kristalisasi pemahaman 
tertentu thd teks2 agama, yah siapapun tidak bisa dipersalahkan bila punya 
interpretasi yg beda dgn pihak lain --bahkan mainstream-- namun itu baru 
bisa diperkarakan bila udah jadi aksi nyata yg merugikan orang banyak.

soal konsep negara teologi, insya Allah di kesempatan lain ya.

wassalam
^_^

- Original Message - 
From: Dan [EMAIL PROTECTED]
To: wanita-muslimah@yahoogroups.com
Sent: Monday, June 25, 2007 3:42 PM
Subject: [wanita-muslimah] Re: Ukhuwah praktis ... atau teoritis alias OMDO?


 Walaikum salam,

 Bung Satriyo, mohon juga jika Anda dapat memberi counter-argument yg
 lebih ilmiah dan tidak hanya judgment belaka.

 Tunjukkanlah bahwa analisa Anda menggunakan metodologi keilmiahan spt
 yg juga dilakukan oleh Ibnu Khaldun dan rekan2nya.


 --- In wanita-muslimah@yahoogroups.com, rsa [EMAIL PROTECTED] wrote:

 Assalaamu alaikum,

 Isu menarik yang secara panjang mulai di bahas oleh member di milis
 ini adalah ukhuwah. Dari thread ukhuwah itu, termasuk ada cross-
 thread nya juga adalah kaitannya dengan berita soal sikap Kardinal
 Jerman, Karl Lehman, melalui ucapannya dipandang diskriminatif karena
 membela ummat kristiani di Jerman yang di matanya jauh lebih besar
 jasanya dari penganut agama 'lain' di Jerman, ternyata masuk juga ide
 dari segelintir oknum NU yang menyuarakan selain ukhuwah islamiyah,
 juga ukhuwah wathaniyah dan ukhuwah basyariah. Lalu di-update oleh
 terma ukhuwah insaniyah. 

Disclaimer: Although this message has been checked for all known viruses
using Trend Micro InterScan Messaging Security Suite, Bukopin 
accept no liability for any loss or damage arising
from the use of this E-Mail or attachments.


 

 Send instant messages to your online friends http://uk.messenger.yahoo.com 

[Non-text portions of this message have been removed]



Re: [wanita-muslimah] Re: Ukhuwah praktis ... atau teoritis alias OMDO? - mudheng

2007-06-26 Terurut Topik jano ko
Pak Achmad :

  Lalu, di mana peran ulama? Ulama yang sebenarnya hanyalah pelita. Dengan 
pelita itu sebenarnya umat bisa menjumpai Rasulullah. Karena ulama itu hanya 
pelita, maka pro-aktif umatlah yang diperlukan. Tak ada ketaatan buat ulama. 

  --
   
  Janoko :
   
  Janoko belum mudeng, apakah Pak Achmad bermaksud mengatakan jangan taati 
kata-kata Pak Achmad ?, maaf lho,  saya betul-betul engga mudheng.
   
  Punten-punten and punten.
   
  Wassalam
   
  --oo0oo--
  
Achmad Chodjim [EMAIL PROTECTED] wrote:
  Mas Wikan,

Di dalam Alquran dinyatakan bahwa ketaatan itu hanya kepada Allah dan kepada 
Rasul-Nya. Lalu, ketaatan berikutnya kepada ulil amri --jika dan hanya jika-- 
ulil amri itu sendiri taat kepada Allah dan taat kepada Rasul-Nya.

Pernyataan di atas dituangkan dalam QS 4:59. Sayangnya, taat kepada Allah ini 
dipelintir menjadi taat kepada Alquran, dan taat kepada Rasul-Nya dipelintir 
menjadi taat kepada al-Sunnah. Jadi, Allah Yang Maha Hidup itu sudah sejak lama 
tidak dianggap hidup lagi oleh umat, makanya Allah diturunkan derajatnya hanya 
sebagai Alquran. Padahal, kalau ditanya tentang rukun iman, ada rukun untuk 
mengimani Allah dan ada rukun untuk mengimani kitab-kitab-Nya (QS 2:177).

Demikian juga ketaatan kepada Rasul Allah, kepada Kanjeng Nabi Muhammad, lha 
koq diturunkan derajatnya hanya taat kepada al-Sunnah. Kita lupa bahwa Rasul 
itu tetap hidup (QS 2:154, 3:169-171). Bukankah dalam tasyahud ada ucapan 
assalaamu 'alayka ayyuhan nabiyyu wa rahmatullahi wa barakaatuh, assalaamu 
'alayna wa 'alaa ibadillaahis shaalihiin? Jadi, ucapan salam itu ditujukan 
kepada yang hidup dan yang disetarakan dengan orang yang mengucapkannya.

Alquran itu adalah kitab tempat kita merujuk atau mengambil rujukan, jadi bukan 
tempat taat. Sedangkan petunjuk yaa harus kita peroleh langsung dari Tuhan, 
makanya ada ihdinaash shiraathal mustaqiim. Nah, kalau kita ditunjukkan oleh 
Tuhan, maka kita akan bisa melihat rujukannya, dan kita bisa menemukan ayatnya, 
lalu kita sambil mengangguk-angguk. oh ini ayatnya. Bukankah hakikat 
ayat-ayat Alquran itu ada di dalam dada orang-orang yang diberi ilmu? (QS 
29:49).

Rasulullah yang sudah tidak berbadan fisik ini tetap hidup. Jasad fisik tak 
mampu lagi menampung Ruh Rasullullah, makanya secara fisikal beliau hanya 63 
tahun. Karena tetap hidup itu maka Rasul menjadi saksi dan tetap menerangi (QS 
33:45-46). Lha, kalau Muhammad mati secara total (lahir dan batin) yaa beliau 
tak pernah bisa menjadi saksi, apalagi menerangi. Jadi, hanya yang hidup yang 
bisa menjadi saksi dan menerangi, sedangkan mayit ya tak bisa apa-apa.

Lalu, di mana peran ulama? Ulama yang sebenarnya hanyalah pelita. Dengan pelita 
itu sebenarnya umat bisa menjumpai Rasulullah. Karena ulama itu hanya pelita, 
maka pro-aktif umatlah yang diperlukan. Tak ada ketaatan buat ulama. Ini sesuai 
dengan hadis Nabi yang menyebutkan bahwa tak ada sistem kependetaan dalam 
Islam. Saya perbesar TAK ADA SISTEM KEPENDETAAN DALAM ISLAM. Jadi, ulama 
yang mentukan ini dan itu buat umatnya tak dikenal dalam Islam. Yang mentukan 
ini dan itu dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat adalah ulil amri yang 
dalam istilah sekarang dapat disamakan dengan aparat pemerintahan. 

Lha, al-Sunnah itu merupakan rujukan sekonder bila kita tak mendapatkan rujukan 
dari Alquran.

Matur suwun,

Salam,
chodjim 

- Original Message - 
From: Wikan Danar Sunindyo 
To: wanita-muslimah@yahoogroups.com 
Sent: Monday, June 25, 2007 7:34 PM
Subject: Re: [wanita-muslimah] Re: Ukhuwah praktis ... atau teoritis alias OMDO?

nambahin Pak Dana ...
apa fenomena orang menyerahkan segala urusan kepada ulama juga
merupakan bukti kemalasan berpikir umat pada umumnya, sehingga
mereka tidak mau ambil resiko. serahkan saja pada ulama untuk
memikirkan, kalau tar ditanya di akhirat, tinggal salahin aja ulamanya
(yang mana sebenarnya tidak bisa begitu juga, karena semua orang akan
dimintai pertanggungjawaban masing2 satu persatu).

di sisi lain, kok ya ulama ini kayak yang segala tahu ya? segala macam
dibahas dan dijawab. kalau dalam dunia kedokteran orang tahu ada
spesialisasinya. dan dokter bisa bilang, tidak ... ini bukan bidang
saya, silakan tanya ke orang lain yang lebih ahli. kira-kira ada gak
ya ulama yang berkata begitu? berkata tidak pada masalah yang tidak
dikuasainya.

salam
--
wikan
http://wikan.multiply.com

On 6/25/07, Dan [EMAIL PROTECTED] wrote:
 Sebenarnya yg kita bahas di milis kebanyakan adalah permasalahan yg
 berdomisili dalam kaidah muamalah, yaitu oleh Allah sendiri dianjurkan
 utk diselesaikan secara musyawarah.

 Yg saya khawatir ialah bahwa yg sebenarnya kaidah muamalah itu
 difait-accompli sebagai kaidah ibadah sehingga ruang gerak utk
 memusyawahkannya dan mengijtihadkan jadi terbatas dan penentu akhirnya
 selalu suatu fatwa dari ulama. Dalam dinamika masyarakat modern dg
 berbagai ragam kepentingan, keahlian dan jalan hidup

Re: [wanita-muslimah] Re: Ukhuwah praktis ... atau teoritis alias OMDO?

2007-06-26 Terurut Topik jano ko
Mas Wikan :

  dan dokter bisa bilang, tidak ... ini bukan bidang
saya, silakan tanya ke orang lain yang lebih ahli. kira-kira ada gak
ya ulama yang berkata begitu? berkata tidak pada masalah yang tidak
dikuasainya.
  -
   
  janoko :
   
  Nah, itu kewajiban untuk mas Wikan untuk membuka hadis, silahkan dicari pasti 
ketemu.
   
  Wassalam
   
  --oo0oo--


Wikan Danar Sunindyo [EMAIL PROTECTED] wrote:
  nambahin Pak Dana ...
apa fenomena orang menyerahkan segala urusan kepada ulama juga
merupakan bukti kemalasan berpikir umat pada umumnya, sehingga
mereka tidak mau ambil resiko. serahkan saja pada ulama untuk
memikirkan, kalau tar ditanya di akhirat, tinggal salahin aja ulamanya
(yang mana sebenarnya tidak bisa begitu juga, karena semua orang akan
dimintai pertanggungjawaban masing2 satu persatu).

di sisi lain, kok ya ulama ini kayak yang segala tahu ya? segala macam
dibahas dan dijawab. kalau dalam dunia kedokteran orang tahu ada
spesialisasinya. dan dokter bisa bilang, tidak ... ini bukan bidang
saya, silakan tanya ke orang lain yang lebih ahli. kira-kira ada gak
ya ulama yang berkata begitu? berkata tidak pada masalah yang tidak
dikuasainya.

salam
--
wikan
http://wikan.multiply.com

On 6/25/07, Dan [EMAIL PROTECTED] wrote:
 Sebenarnya yg kita bahas di milis kebanyakan adalah permasalahan yg
 berdomisili dalam kaidah muamalah, yaitu oleh Allah sendiri dianjurkan
 utk diselesaikan secara musyawarah.

 Yg saya khawatir ialah bahwa yg sebenarnya kaidah muamalah itu
 difait-accompli sebagai kaidah ibadah sehingga ruang gerak utk
 memusyawahkannya dan mengijtihadkan jadi terbatas dan penentu akhirnya
 selalu suatu fatwa dari ulama. Dalam dinamika masyarakat modern dg
 berbagai ragam kepentingan, keahlian dan jalan hidup, saya rasa ulama
 tidak lagi berkompeten utk memberikan suatu fatwa dalam semua aspek
 kehidupan.


 

 Send instant messages to your online friends http://uk.messenger.yahoo.com 

[Non-text portions of this message have been removed]



Re: [wanita-muslimah] Re: Ukhuwah praktis ... atau teoritis alias OMDO?

2007-06-26 Terurut Topik jano ko
 25, 2007 7:34 PM
 Subject: Re: [wanita-muslimah] Re: Ukhuwah praktis ... atau
teoritis alias OMDO?
 
 
 nambahin Pak Dana ...
 apa fenomena orang menyerahkan segala urusan kepada ulama juga
 merupakan bukti kemalasan berpikir umat pada umumnya, sehingga
 mereka tidak mau ambil resiko. serahkan saja pada ulama untuk
 memikirkan, kalau tar ditanya di akhirat, tinggal salahin aja ulamanya
 (yang mana sebenarnya tidak bisa begitu juga, karena semua orang akan
 dimintai pertanggungjawaban masing2 satu persatu).
 
 di sisi lain, kok ya ulama ini kayak yang segala tahu ya? segala macam
 dibahas dan dijawab. kalau dalam dunia kedokteran orang tahu ada
 spesialisasinya. dan dokter bisa bilang, tidak ... ini bukan bidang
 saya, silakan tanya ke orang lain yang lebih ahli. kira-kira ada gak
 ya ulama yang berkata begitu? berkata tidak pada masalah yang tidak
 dikuasainya.
 
 salam
 --
 wikan
 http://wikan.multiply.com
 
 On 6/25/07, Dan [EMAIL PROTECTED] wrote:
  Sebenarnya yg kita bahas di milis kebanyakan adalah permasalahan yg
  berdomisili dalam kaidah muamalah, yaitu oleh Allah sendiri
dianjurkan
  utk diselesaikan secara musyawarah.
 
  Yg saya khawatir ialah bahwa yg sebenarnya kaidah muamalah itu
  difait-accompli sebagai kaidah ibadah sehingga ruang gerak utk
  memusyawahkannya dan mengijtihadkan jadi terbatas dan penentu
akhirnya
  selalu suatu fatwa dari ulama. Dalam dinamika masyarakat modern dg
  berbagai ragam kepentingan, keahlian dan jalan hidup, saya rasa
ulama
  tidak lagi berkompeten utk memberikan suatu fatwa dalam semua aspek
  kehidupan.
 
 
 
 
 [Non-text portions of this message have been removed]




 

 Send instant messages to your online friends http://uk.messenger.yahoo.com 

[Non-text portions of this message have been removed]



Re: [wanita-muslimah] Re: Ukhuwah praktis ... atau teoritis alias OMDO? - mudheng

2007-06-26 Terurut Topik Achmad Chodjim
Betul, Mas Jano ko. Janganlah taati kata-kata saya bila belum mudeng. Kalau 
menaati sesuatu yang belum dimudengi itu namanya menaati berhala.

Makanya di Alquran tak ada satu ayat pun untuk menaati ulama. Bahkan ada 
kelompok yang memandang ulama-ulama dan rahib-rahibnya sebagai pengganti Tuhan 
atau telah dijadikan ilah selain Allah. Baca QS 9:31.

Karena ulama itu sebagai pelita, bawalah pelita itu untuk menerangi jalan, dan 
jadikan Alquran dan Sunnah Nabi sebagai peta. jadi, lengkaplah, ada peta 
jalan ada lampunya. Agar tidak keliru dalam membaca peta, maka mohonlah 
petunjuk kepada ALLAH dan Rasul-Nya (sebagai wasilah).

Wassalam,
chodjim



  - Original Message - 
  From: jano ko 
  To: wanita-muslimah@yahoogroups.com 
  Sent: Tuesday, June 26, 2007 9:59 PM
  Subject: Re: [wanita-muslimah] Re: Ukhuwah praktis ... atau teoritis alias 
OMDO? - mudheng


  Pak Achmad :

  Lalu, di mana peran ulama? Ulama yang sebenarnya hanyalah pelita. Dengan 
pelita itu sebenarnya umat bisa menjumpai Rasulullah. Karena ulama itu hanya 
pelita, maka pro-aktif umatlah yang diperlukan. Tak ada ketaatan buat ulama. 

  --

  Janoko :

  Janoko belum mudeng, apakah Pak Achmad bermaksud mengatakan jangan taati 
kata-kata Pak Achmad ?, maaf lho, saya betul-betul engga mudheng.

  Punten-punten and punten.

  Wassalam

  --oo0oo--

  Achmad Chodjim [EMAIL PROTECTED] wrote:
  Mas Wikan,

  Di dalam Alquran dinyatakan bahwa ketaatan itu hanya kepada Allah dan kepada 
Rasul-Nya. Lalu, ketaatan berikutnya kepada ulil amri --jika dan hanya jika-- 
ulil amri itu sendiri taat kepada Allah dan taat kepada Rasul-Nya.

  Pernyataan di atas dituangkan dalam QS 4:59. Sayangnya, taat kepada Allah ini 
dipelintir menjadi taat kepada Alquran, dan taat kepada Rasul-Nya dipelintir 
menjadi taat kepada al-Sunnah. Jadi, Allah Yang Maha Hidup itu sudah sejak lama 
tidak dianggap hidup lagi oleh umat, makanya Allah diturunkan derajatnya hanya 
sebagai Alquran. Padahal, kalau ditanya tentang rukun iman, ada rukun untuk 
mengimani Allah dan ada rukun untuk mengimani kitab-kitab-Nya (QS 2:177).

  Demikian juga ketaatan kepada Rasul Allah, kepada Kanjeng Nabi Muhammad, lha 
koq diturunkan derajatnya hanya taat kepada al-Sunnah. Kita lupa bahwa Rasul 
itu tetap hidup (QS 2:154, 3:169-171). Bukankah dalam tasyahud ada ucapan 
assalaamu 'alayka ayyuhan nabiyyu wa rahmatullahi wa barakaatuh, assalaamu 
'alayna wa 'alaa ibadillaahis shaalihiin? Jadi, ucapan salam itu ditujukan 
kepada yang hidup dan yang disetarakan dengan orang yang mengucapkannya.

  Alquran itu adalah kitab tempat kita merujuk atau mengambil rujukan, jadi 
bukan tempat taat. Sedangkan petunjuk yaa harus kita peroleh langsung dari 
Tuhan, makanya ada ihdinaash shiraathal mustaqiim. Nah, kalau kita 
ditunjukkan oleh Tuhan, maka kita akan bisa melihat rujukannya, dan kita bisa 
menemukan ayatnya, lalu kita sambil mengangguk-angguk. oh ini ayatnya. 
Bukankah hakikat ayat-ayat Alquran itu ada di dalam dada orang-orang yang 
diberi ilmu? (QS 29:49).

  Rasulullah yang sudah tidak berbadan fisik ini tetap hidup. Jasad fisik tak 
mampu lagi menampung Ruh Rasullullah, makanya secara fisikal beliau hanya 63 
tahun. Karena tetap hidup itu maka Rasul menjadi saksi dan tetap menerangi (QS 
33:45-46). Lha, kalau Muhammad mati secara total (lahir dan batin) yaa beliau 
tak pernah bisa menjadi saksi, apalagi menerangi. Jadi, hanya yang hidup yang 
bisa menjadi saksi dan menerangi, sedangkan mayit ya tak bisa apa-apa.

  Lalu, di mana peran ulama? Ulama yang sebenarnya hanyalah pelita. Dengan 
pelita itu sebenarnya umat bisa menjumpai Rasulullah. Karena ulama itu hanya 
pelita, maka pro-aktif umatlah yang diperlukan. Tak ada ketaatan buat ulama. 
Ini sesuai dengan hadis Nabi yang menyebutkan bahwa tak ada sistem kependetaan 
dalam Islam. Saya perbesar TAK ADA SISTEM KEPENDETAAN DALAM ISLAM. Jadi, 
ulama yang mentukan ini dan itu buat umatnya tak dikenal dalam Islam. Yang 
mentukan ini dan itu dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat adalah ulil amri 
yang dalam istilah sekarang dapat disamakan dengan aparat pemerintahan. 

  Lha, al-Sunnah itu merupakan rujukan sekonder bila kita tak mendapatkan 
rujukan dari Alquran.

  Matur suwun,

  Salam,
  chodjim 

  - Original Message - 
  From: Wikan Danar Sunindyo 
  To: wanita-muslimah@yahoogroups.com 
  Sent: Monday, June 25, 2007 7:34 PM
  Subject: Re: [wanita-muslimah] Re: Ukhuwah praktis ... atau teoritis alias 
OMDO?

  nambahin Pak Dana ...
  apa fenomena orang menyerahkan segala urusan kepada ulama juga
  merupakan bukti kemalasan berpikir umat pada umumnya, sehingga
  mereka tidak mau ambil resiko. serahkan saja pada ulama untuk
  memikirkan, kalau tar ditanya di akhirat, tinggal salahin aja ulamanya
  (yang mana sebenarnya tidak bisa begitu juga, karena semua orang akan
  dimintai pertanggungjawaban masing2 satu persatu).

  di sisi lain, kok ya ulama ini kayak yang

Re: [wanita-muslimah] Re: Ukhuwah praktis ... atau teoritis alias OMDO?

2007-06-26 Terurut Topik Achmad Chodjim
Nuwun sewu, kalau membaca mbok jangan diambil sepotong. Ya saya tidak 
mengatakan Mas Jano ko nggak nyambung, tapi memang benar-benar nggak 
nyambung. Di tulisan saya sudah saya sebutkan Lalu, ketaatan berikutnya kepada 
ulil amri --jika dan hanya jika-- ulil amri itu sendiri taat kepada Allah dan 
taat kepada Rasul-Nya.

Coba BACA lagi, hanya ulil amri yang taat kepada ALLAH dan Rasul-Nya yang 
diataati. Sampun mangertos, alias mudheng?

malem, 

 


  - Original Message - 
  From: jano ko 
  To: wanita-muslimah@yahoogroups.com 
  Sent: Tuesday, June 26, 2007 10:47 PM
  Subject: Re: [wanita-muslimah] Re: Ukhuwah praktis ... atau teoritis alias 
OMDO?


  Ada berita :

  Jadi, ulama yang mentukan ini dan itu
  buat umatnya tak dikenal dalam Islam. Yang mentukan ini dan itu dalam
  kehidupan sehari-hari di masyarakat adalah ulil amri yang dalam
  istilah sekarang dapat disamakan dengan aparat pemerintahan.

  --

  Janoko :

  Pertanyaan nich, kalau aparat pemerintahnya membunuhin umat Islam piye ?

  Janoko makin engga mudheng.

  Malem

  --oo0oo--

  Dan [EMAIL PROTECTED] wrote:
  Bung Chodjim,

  Kutipan Anda:

  Lalu, di mana peran ulama? Ulama yang sebenarnya hanyalah pelita.
  Dengan pelita tu sebenarnya umat bisa menjumpai Rasulullah. Karena
  ulama itu hanya pelita, maka pro-aktif umatlah yang diperlukan. Tak
  ada ketaatan buat ulama. Ini sesuai dengan hadis Nabi yang menyebutkan
  bahwa tak ada sistem kependetaan dalam Islam. Saya perbesar TAK ADA
  SISTEM KEPENDETAAN DALAM ISLAM. Jadi, ulama yang mentukan ini dan itu
  buat umatnya tak dikenal dalam Islam. Yang mentukan ini dan itu dalam
  kehidupan sehari-hari di masyarakat adalah ulil amri yang dalam
  istilah sekarang dapat disamakan dengan aparat pemerintahan.

  Lha, al-Sunnah itu merupakan rujukan sekonder bila kita tak
  mendapatkan rujukan.

  sangat mencerahkan. 

  Saya juga ikut merasakan bahwa banyak umat Islam yg sudah secara salah
  menyikapi hadits sebagai rujukan primer bukan sekunder lagi seperti yg
  dimaksudkan. Barangkali salah satu penyebab terjadinya kesemwrawutan
  hukum dalam dunia Islam. 

  Saya pernah diceritakan pembantu saya bahwa di desa di daerah Cipanas
  sekarang ada para ulama mengutip fee utk mendoakan biar masuk surga. 
  Hehe ini kan spt jaman gereja Katolik sebelum masa Pencerahan. Ada
  fungsi pendeta yg mendoakan biar masuk surga, padahal menurut Islam
  kan tanggung jawab masing2.

  Dan MUI tidak pernah bersuara apa2 mengenai ini. 

  Mudah2an dakwah Bung Chodjim akan dapat memberi hikmah pada kita semua.

  dari Alquran.--- In wanita-muslimah@yahoogroups.com, Achmad Chodjim
  [EMAIL PROTECTED] wrote:
  
   Mas Wikan,
   
   Di dalam Alquran dinyatakan bahwa ketaatan itu hanya kepada Allah
  dan kepada Rasul-Nya. Lalu, ketaatan berikutnya kepada ulil amri
  --jika dan hanya jika-- ulil amri itu sendiri taat kepada Allah dan
  taat kepada Rasul-Nya.
   
   Pernyataan di atas dituangkan dalam QS 4:59. Sayangnya, taat kepada
  Allah ini dipelintir menjadi taat kepada Alquran, dan taat kepada
  Rasul-Nya dipelintir menjadi taat kepada al-Sunnah. Jadi, Allah Yang
  Maha Hidup itu sudah sejak lama tidak dianggap hidup lagi oleh umat,
  makanya Allah diturunkan derajatnya hanya sebagai Alquran. Padahal,
  kalau ditanya tentang rukun iman, ada rukun untuk mengimani Allah dan
  ada rukun untuk mengimani kitab-kitab-Nya (QS 2:177).
   
   Demikian juga ketaatan kepada Rasul Allah, kepada Kanjeng Nabi
  Muhammad, lha koq diturunkan derajatnya hanya taat kepada al-Sunnah.
  Kita lupa bahwa Rasul itu tetap hidup (QS 2:154, 3:169-171). Bukankah
  dalam tasyahud ada ucapan assalaamu 'alayka ayyuhan nabiyyu wa
  rahmatullahi wa barakaatuh, assalaamu 'alayna wa 'alaa ibadillaahis
  shaalihiin? Jadi, ucapan salam itu ditujukan kepada yang hidup dan
  yang disetarakan dengan orang yang mengucapkannya.
   
   Alquran itu adalah kitab tempat kita merujuk atau mengambil rujukan,
  jadi bukan tempat taat. Sedangkan petunjuk yaa harus kita peroleh
  langsung dari Tuhan, makanya ada ihdinaash shiraathal mustaqiim.
  Nah, kalau kita ditunjukkan oleh Tuhan, maka kita akan bisa melihat
  rujukannya, dan kita bisa menemukan ayatnya, lalu kita sambil
  mengangguk-angguk. oh ini ayatnya. Bukankah hakikat ayat-ayat
  Alquran itu ada di dalam dada orang-orang yang diberi ilmu? (QS 29:49).
   
   Rasulullah yang sudah tidak berbadan fisik ini tetap hidup. Jasad
  fisik tak mampu lagi menampung Ruh Rasullullah, makanya secara fisikal
  beliau hanya 63 tahun. Karena tetap hidup itu maka Rasul menjadi saksi
  dan tetap menerangi (QS 33:45-46). Lha, kalau Muhammad mati secara
  total (lahir dan batin) yaa beliau tak pernah bisa menjadi saksi,
  apalagi menerangi. Jadi, hanya yang hidup yang bisa menjadi saksi dan
  menerangi, sedangkan mayit ya tak bisa apa-apa.
   
   Lalu, di mana peran ulama? Ulama yang sebenarnya hanyalah pelita.
  Dengan pelita itu sebenarnya umat bisa

Re: [wanita-muslimah] Re: Ukhuwah praktis ... atau teoritis alias OMDO?

2007-06-26 Terurut Topik Wikan Danar Sunindyo
wah, gak ketemu je, mas jano ...
apa haditsnya gak komplit ya?

salam,
--
wikan
http://wikan.multiply.com

On 6/26/07, jano ko [EMAIL PROTECTED] wrote:
 Mas Wikan :

  dan dokter bisa bilang, tidak ... ini bukan bidang
  saya, silakan tanya ke orang lain yang lebih ahli. kira-kira ada gak
  ya ulama yang berkata begitu? berkata tidak pada masalah yang tidak
  dikuasainya.
-

janoko :

Nah, itu kewajiban untuk mas Wikan untuk membuka hadis, silahkan dicari 
 pasti ketemu.


Re: [wanita-muslimah] Re: Ukhuwah praktis ... atau teoritis alias OMDO? - mudheng

2007-06-26 Terurut Topik jano ko
Pak Achmad :

  Betul, Mas Jano ko. Janganlah taati kata-kata saya bila belum mudeng. Kalau 
menaati sesuatu yang belum dimudengi itu namanya menaati berhala.

   
  Janoko :
   
  Jadi, kalau saya sudah mudheng, berarti saya bisa dan boleh taat kepada pak 
Achmad, begitu pak ?
   
  Wassalam
   
  --oo0oo--
  

Achmad Chodjim [EMAIL PROTECTED] wrote:
  Betul, Mas Jano ko. Janganlah taati kata-kata saya bila belum mudeng. 
Kalau menaati sesuatu yang belum dimudengi itu namanya menaati berhala.

Makanya di Alquran tak ada satu ayat pun untuk menaati ulama. Bahkan ada 
kelompok yang memandang ulama-ulama dan rahib-rahibnya sebagai pengganti Tuhan 
atau telah dijadikan ilah selain Allah. Baca QS 9:31.

Karena ulama itu sebagai pelita, bawalah pelita itu untuk menerangi jalan, dan 
jadikan Alquran dan Sunnah Nabi sebagai peta. jadi, lengkaplah, ada peta 
jalan ada lampunya. Agar tidak keliru dalam membaca peta, maka mohonlah 
petunjuk kepada ALLAH dan Rasul-Nya (sebagai wasilah).

Wassalam,
chodjim

- Original Message - 
From: jano ko 
To: wanita-muslimah@yahoogroups.com 
Sent: Tuesday, June 26, 2007 9:59 PM
Subject: Re: [wanita-muslimah] Re: Ukhuwah praktis ... atau teoritis alias 
OMDO? - mudheng

Pak Achmad :

Lalu, di mana peran ulama? Ulama yang sebenarnya hanyalah pelita. Dengan pelita 
itu sebenarnya umat bisa menjumpai Rasulullah. Karena ulama itu hanya pelita, 
maka pro-aktif umatlah yang diperlukan. Tak ada ketaatan buat ulama. 

--

Janoko :

Janoko belum mudeng, apakah Pak Achmad bermaksud mengatakan jangan taati 
kata-kata Pak Achmad ?, maaf lho, saya betul-betul engga mudheng.

Punten-punten and punten.

Wassalam

--oo0oo--

Achmad Chodjim [EMAIL PROTECTED] wrote:
Mas Wikan,

Di dalam Alquran dinyatakan bahwa ketaatan itu hanya kepada Allah dan kepada 
Rasul-Nya. Lalu, ketaatan berikutnya kepada ulil amri --jika dan hanya jika-- 
ulil amri itu sendiri taat kepada Allah dan taat kepada Rasul-Nya.

Pernyataan di atas dituangkan dalam QS 4:59. Sayangnya, taat kepada Allah ini 
dipelintir menjadi taat kepada Alquran, dan taat kepada Rasul-Nya dipelintir 
menjadi taat kepada al-Sunnah. Jadi, Allah Yang Maha Hidup itu sudah sejak lama 
tidak dianggap hidup lagi oleh umat, makanya Allah diturunkan derajatnya hanya 
sebagai Alquran. Padahal, kalau ditanya tentang rukun iman, ada rukun untuk 
mengimani Allah dan ada rukun untuk mengimani kitab-kitab-Nya (QS 2:177).

Demikian juga ketaatan kepada Rasul Allah, kepada Kanjeng Nabi Muhammad, lha 
koq diturunkan derajatnya hanya taat kepada al-Sunnah. Kita lupa bahwa Rasul 
itu tetap hidup (QS 2:154, 3:169-171). Bukankah dalam tasyahud ada ucapan 
assalaamu 'alayka ayyuhan nabiyyu wa rahmatullahi wa barakaatuh, assalaamu 
'alayna wa 'alaa ibadillaahis shaalihiin? Jadi, ucapan salam itu ditujukan 
kepada yang hidup dan yang disetarakan dengan orang yang mengucapkannya.

Alquran itu adalah kitab tempat kita merujuk atau mengambil rujukan, jadi bukan 
tempat taat. Sedangkan petunjuk yaa harus kita peroleh langsung dari Tuhan, 
makanya ada ihdinaash shiraathal mustaqiim. Nah, kalau kita ditunjukkan oleh 
Tuhan, maka kita akan bisa melihat rujukannya, dan kita bisa menemukan ayatnya, 
lalu kita sambil mengangguk-angguk. oh ini ayatnya. Bukankah hakikat 
ayat-ayat Alquran itu ada di dalam dada orang-orang yang diberi ilmu? (QS 
29:49).

Rasulullah yang sudah tidak berbadan fisik ini tetap hidup. Jasad fisik tak 
mampu lagi menampung Ruh Rasullullah, makanya secara fisikal beliau hanya 63 
tahun. Karena tetap hidup itu maka Rasul menjadi saksi dan tetap menerangi (QS 
33:45-46). Lha, kalau Muhammad mati secara total (lahir dan batin) yaa beliau 
tak pernah bisa menjadi saksi, apalagi menerangi. Jadi, hanya yang hidup yang 
bisa menjadi saksi dan menerangi, sedangkan mayit ya tak bisa apa-apa.

Lalu, di mana peran ulama? Ulama yang sebenarnya hanyalah pelita. Dengan pelita 
itu sebenarnya umat bisa menjumpai Rasulullah. Karena ulama itu hanya pelita, 
maka pro-aktif umatlah yang diperlukan. Tak ada ketaatan buat ulama. Ini sesuai 
dengan hadis Nabi yang menyebutkan bahwa tak ada sistem kependetaan dalam 
Islam. Saya perbesar TAK ADA SISTEM KEPENDETAAN DALAM ISLAM. Jadi, ulama 
yang mentukan ini dan itu buat umatnya tak dikenal dalam Islam. Yang mentukan 
ini dan itu dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat adalah ulil amri yang 
dalam istilah sekarang dapat disamakan dengan aparat pemerintahan. 

Lha, al-Sunnah itu merupakan rujukan sekonder bila kita tak mendapatkan rujukan 
dari Alquran.

Matur suwun,

Salam,
chodjim 

- Original Message - 
From: Wikan Danar Sunindyo 
To: wanita-muslimah@yahoogroups.com 
Sent: Monday, June 25, 2007 7:34 PM
Subject: Re: [wanita-muslimah] Re: Ukhuwah praktis ... atau teoritis alias OMDO?

nambahin Pak Dana ...
apa fenomena orang menyerahkan segala

Re: [wanita-muslimah] Re: Ukhuwah praktis ... atau teoritis alias OMDO?

2007-06-26 Terurut Topik jano ko
Pak Achmad :
   
  Coba BACA lagi, hanya ulil amri yang taat kepada ALLAH dan Rasul-Nya yang 
diataati. Sampun mangertos, alias mudheng?
---
   
  Janoko :
   
  Pertanyaan selanjutnya, boleh tidak pak Ulil Amri yang taat kepada Allah dan 
RAsul-Nya tersebut merangkap atau menjabat sebagai Ulama ?
   
  --
   
  Definisi
   
  Ulama =
  The body of mullahs (Muslim scholars trained in Islam and Islamic law) who 
are the interpreters of Islam's sciences and doctrines and laws and the chief 
guarantors of continuity in the spiritual and intellectual history of the 
Islamic community
   
  The learned, knowledgeble people in Islam. Plural form of alim.
   
  --
   
  Wassalam
   
  --oo0oo--

Achmad Chodjim [EMAIL PROTECTED] wrote:
  Nuwun sewu, kalau membaca mbok jangan diambil sepotong. Ya saya tidak 
mengatakan Mas Jano ko nggak nyambung, tapi memang benar-benar nggak 
nyambung. Di tulisan saya sudah saya sebutkan Lalu, ketaatan berikutnya kepada 
ulil amri --jika dan hanya jika-- ulil amri itu sendiri taat kepada Allah dan 
taat kepada Rasul-Nya.

Coba BACA lagi, hanya ulil amri yang taat kepada ALLAH dan Rasul-Nya yang 
diataati. Sampun mangertos, alias mudheng?

malem, 

- Original Message - 
From: jano ko 
To: wanita-muslimah@yahoogroups.com 
Sent: Tuesday, June 26, 2007 10:47 PM
Subject: Re: [wanita-muslimah] Re: Ukhuwah praktis ... atau teoritis alias OMDO?

Ada berita :

Jadi, ulama yang mentukan ini dan itu
buat umatnya tak dikenal dalam Islam. Yang mentukan ini dan itu dalam
kehidupan sehari-hari di masyarakat adalah ulil amri yang dalam
istilah sekarang dapat disamakan dengan aparat pemerintahan.

--

Janoko :

Pertanyaan nich, kalau aparat pemerintahnya membunuhin umat Islam piye ?

Janoko makin engga mudheng.

Malem

--oo0oo--

Dan [EMAIL PROTECTED] wrote:
Bung Chodjim,

Kutipan Anda:

Lalu, di mana peran ulama? Ulama yang sebenarnya hanyalah pelita.
Dengan pelita tu sebenarnya umat bisa menjumpai Rasulullah. Karena
ulama itu hanya pelita, maka pro-aktif umatlah yang diperlukan. Tak
ada ketaatan buat ulama. Ini sesuai dengan hadis Nabi yang menyebutkan
bahwa tak ada sistem kependetaan dalam Islam. Saya perbesar TAK ADA
SISTEM KEPENDETAAN DALAM ISLAM. Jadi, ulama yang mentukan ini dan itu
buat umatnya tak dikenal dalam Islam. Yang mentukan ini dan itu dalam
kehidupan sehari-hari di masyarakat adalah ulil amri yang dalam
istilah sekarang dapat disamakan dengan aparat pemerintahan.

Lha, al-Sunnah itu merupakan rujukan sekonder bila kita tak
mendapatkan rujukan.

sangat mencerahkan. 

Saya juga ikut merasakan bahwa banyak umat Islam yg sudah secara salah
menyikapi hadits sebagai rujukan primer bukan sekunder lagi seperti yg
dimaksudkan. Barangkali salah satu penyebab terjadinya kesemwrawutan
hukum dalam dunia Islam. 

Saya pernah diceritakan pembantu saya bahwa di desa di daerah Cipanas
sekarang ada para ulama mengutip fee utk mendoakan biar masuk surga. 
Hehe ini kan spt jaman gereja Katolik sebelum masa Pencerahan. Ada
fungsi pendeta yg mendoakan biar masuk surga, padahal menurut Islam
kan tanggung jawab masing2.

Dan MUI tidak pernah bersuara apa2 mengenai ini. 

Mudah2an dakwah Bung Chodjim akan dapat memberi hikmah pada kita semua.

dari Alquran.--- In wanita-muslimah@yahoogroups.com, Achmad Chodjim
[EMAIL PROTECTED] wrote:

 Mas Wikan,
 
 Di dalam Alquran dinyatakan bahwa ketaatan itu hanya kepada Allah
dan kepada Rasul-Nya. Lalu, ketaatan berikutnya kepada ulil amri
--jika dan hanya jika-- ulil amri itu sendiri taat kepada Allah dan
taat kepada Rasul-Nya.
 
 Pernyataan di atas dituangkan dalam QS 4:59. Sayangnya, taat kepada
Allah ini dipelintir menjadi taat kepada Alquran, dan taat kepada
Rasul-Nya dipelintir menjadi taat kepada al-Sunnah. Jadi, Allah Yang
Maha Hidup itu sudah sejak lama tidak dianggap hidup lagi oleh umat,
makanya Allah diturunkan derajatnya hanya sebagai Alquran. Padahal,
kalau ditanya tentang rukun iman, ada rukun untuk mengimani Allah dan
ada rukun untuk mengimani kitab-kitab-Nya (QS 2:177).
 
 Demikian juga ketaatan kepada Rasul Allah, kepada Kanjeng Nabi
Muhammad, lha koq diturunkan derajatnya hanya taat kepada al-Sunnah.
Kita lupa bahwa Rasul itu tetap hidup (QS 2:154, 3:169-171). Bukankah
dalam tasyahud ada ucapan assalaamu 'alayka ayyuhan nabiyyu wa
rahmatullahi wa barakaatuh, assalaamu 'alayna wa 'alaa ibadillaahis
shaalihiin? Jadi, ucapan salam itu ditujukan kepada yang hidup dan
yang disetarakan dengan orang yang mengucapkannya.
 
 Alquran itu adalah kitab tempat kita merujuk atau mengambil rujukan,
jadi bukan tempat taat. Sedangkan petunjuk yaa harus kita peroleh
langsung dari Tuhan, makanya ada ihdinaash shiraathal mustaqiim.
Nah, kalau kita ditunjukkan oleh Tuhan, maka kita akan bisa melihat
rujukannya, dan kita bisa menemukan ayatnya, lalu kita sambil
mengangguk-angguk. oh ini ayatnya. Bukankah hakikat ayat-ayat
Alquran itu

[wanita-muslimah] Re: Ukhuwah praktis ... atau teoritis alias OMDO?

2007-06-26 Terurut Topik rsa
Bung Dan,

terima kasih tanggapannya. saya berharap tanggapan anda tidak parsial 
spt ini. maaf tapi ini yang saya lihat. saya menghindari cara 
menaggapi spt anda saat ini karena tidak semua posting bisa disikapi 
demikian. saya tidak membatasi hak anda menenanggapi dan cara anda 
menanggapi, tapi hanya menegaskan bahwa cara anda itu buat postingan 
saya tidak pas. but, again, with all due respect, you have every 
right to do what you seem fit.

benang merah yang saya lihat dari tanggapan anda adalah anda tidak 
yakin akan kejayaan islam itu bisa muncul lagi dalam wujud sebuah 
khilafah islamiyah (kekhalifahan islam) yang menurut anda tidak bisa 
anda saksikan (sebagai bukti) saat ini.

tanggapan saya:

[1] mengapa anda menanyakan kejayaan spt apa yang saya maksud? anda 
sendiri yang berulang kali dan pertama kali menunjukkan hal itu 
ketika menyebut sosok monumental IBNU KHALDUN (otomatis juga menjawab 
sendiri pertanyaan anda itu). atau buat anda dia tidak mencerminkan 
kejayaan. saya kira yang anda sebut gemilang itu (lihat tanggapan 
anda paling akhir atas posting saya, di bawah) ya setali tiga uang 
dengan jaya. 
**ah, lagi-lagi ko kendala bahasa. sepele tapi tidak remeh, 
ternyata** 
tentu saja saya melihat jadi aneh kalo anda menyamakan kejayaan 
dengan kemenangan, terutama dalam konteks peperangan yang jelas 
menumpahkan darah (issue ini satu paket dengan stereotip bahwa islam 
disebarkan dengan pedang ... yang dengan apik menurut saya 
dibahas/diulas singkat oleh mas Aman FaTha di 
http://aman.web.id/2005/01/20/benarkah-islam-disebarkan-dengan-
pedang/16/ dan di http://aman.web.id/2005/01/20/benarkah-islam-
disebarkan-dengan-pedang/16/2/). 

[2] apakah anda membatasi (define) 'kejayaan' atau keberhasilan suatu 
bentuk pemerintahan (bisa 'negara' atau apa saja, karena konsep 
negara sendiri masih debatable) itu pada survival? Kalo gitu ya tidak 
ada dalam sejarah manusia ini yang berjaya atau berhasil! Atau 
bagaimana?

[3] Lalu apa kaitannya ukhuwah dan khilafah? Ukhuwah ada pada sisi 
hubungan keimanan berdasar pada Qur'an, al-Hujurat ayat 10. Jadi 
ukhuwah itu ya sec inherent berkonotasi 'islamiyah'. lain halnya jika 
hanya mengacu pada 'peristilahan' Arab, akan ada juga jenis ukhuwah 
yang macam2. Lalu, Khilafah itu ada pada sisi keimanan dengan 
penekanan bahwa individunya, khalifah, yaitu sebuah amanah dari Allah 
kepada Adam as dan ketuturunannya yang beriman kepada Allah. 

Coba deh lihat QS [2:30] (Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada 
para Malaikat: Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah 
di muka bumi. Mereka berkata: Mengapa Engkau hendak menjadikan 
(khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan 
menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji 
Engkau dan mensucikan Engkau? Tuhan berfirman: Sesungguhnya Aku 
mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.), QS 7:129 (Kaum Musa 
berkata: Kami telah ditindas (oleh Fir'aun) sebelum kamu datang 
kepada kami dan sesudah kamu datang. Musa menjawab: Mudah-mudahan 
Allah membinasakan musuhmu dan menjadikan kamu khalifah di bumi(Nya), 
maka Allah akan melihat bagaimana perbuatanmu.), QS 27:62 (Atau 
siapakah yang memperkenankan (do'a) orang yang dalam kesulitan 
apabila ia berdo'a kepada-Nya, dan yang menghilangkan kesusahan dan 
yang menjadikan kamu (manusia) sebagai khalifah di bumi? Apakah 
disamping Allah ada tuhan (yang lain)? Amat sedikitlah kamu mengingati
(Nya).), QS 35:39 (Dia-lah yang menjadikan kamu khalifah-khalifah di 
muka bumi. Barangsiapa yang kafir, maka (akibat) kekafirannya menimpa 
dirinya sendiri. Dan kekafiran orang-orang yang kafir itu tidak lain 
hanyalah akan menambah kemurkaan pada sisi Tuhannya dan kekafiran 
orang-orang yang kafir itu tidak lain hanyalah akan menambah kerugian 
mereka belaka.), dan QS 38:26 (Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan 
kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan 
(perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti 
hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. 
Sesungguhnya orang-orang yang sesat darin jalan Allah akan mendapat 
azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.) 

Semua ayat di atas menyebut 'khalifah' dan semua konteksnya adalah 
amanah dari Allah (QS 2:30), dan khalifah (otomatis juga 
khilafah/kekhalifahannya) itu harus bercirikan [a] tidak zalim 
(menindas pihak lain) (QS 7:129), [b] tidak menimpakan kesusahan (QS 
27:62), [c] beriman, tidak kafir (QS 35:39), dan di QS 38:26, yaitu 
[d] adil dan [e] tidak menuruti hawa nafsu. Jadi Khilafah itu 'yang 
semestinya' sudah inklusif berwatak ukhuwah (berdasar Qur'an, bukan 
berdasar argumen logika belaka, yang memunculkan beragam 'jenis' 
ukhuwah). in light of this, yang ideal adalah masa Rasul (khilafah 
rasul) dan khilafah empat (khulafaa-u arrasyidun) atau disebut juga 
khilafah ala minhajin nubuwah (khilafah sesuai panduan nabi).

Jika kemudian terlihat bahwa setelah masa khilafah ideal itu (krn 
berlaku sistem 

[wanita-muslimah] Re: Ukhuwah praktis ... atau teoritis alias OMDO?

2007-06-25 Terurut Topik Dan
Walaikum salam,

Bung Satriyo, mohon juga jika Anda dapat memberi counter-argument yg
lebih ilmiah dan tidak hanya judgment belaka. 

Tunjukkanlah bahwa analisa Anda menggunakan metodologi keilmiahan spt
yg juga dilakukan oleh Ibnu Khaldun dan rekan2nya.


--- In wanita-muslimah@yahoogroups.com, rsa [EMAIL PROTECTED] wrote:

 Assalaamu alaikum,
 
 Isu menarik yang secara panjang mulai di bahas oleh member di milis 
 ini adalah ukhuwah. Dari thread ukhuwah itu, termasuk ada cross-
 thread nya juga adalah kaitannya dengan berita soal sikap Kardinal 
 Jerman, Karl Lehman, melalui ucapannya dipandang diskriminatif karena 
 membela ummat kristiani di Jerman yang di matanya jauh lebih besar 
 jasanya dari penganut agama 'lain' di Jerman, ternyata masuk juga ide 
 dari segelintir oknum NU yang menyuarakan selain ukhuwah islamiyah, 
 juga ukhuwah wathaniyah dan ukhuwah basyariah. Lalu di-update oleh 
 terma ukhuwah insaniyah.
 
 Hmm,... apa di sebagai muslim dan mukmin kita jumpai semua hal itu 
 dalam Al-Qur'an? Ada member yang yakin bahwa hal itu ADA dalam 
 kalamullah. Jadi dari sudut pandangnya muncullah terma baru yaitu 
 ukhuwah globaliyah, yang ia akui itu istilah made in pribadi. No 
 matter lah. Makin menyemarakkan jagad istilah.
 
 Bicara soal ukhuwah, tidak lepas saya kira dengan thread lain yang 
 berisi hadis yang berasal dari 2 sumber riwayat berisi penghalaln 
 darah orang yang menghina Rasul, dan sempat ramai. Saya kaitkan hal 
 ini karena ada member milis yang mempertanyakan ko bisa ada muslim 
 yang halal darahnya? Padahal saya sempat ajukan contoh seorang 
 mujahidah muslimah asal Aceh, yang dengan sigap 'menghalalkan darah' 
 sesama dengan alasan si muslimah lain yang halal darahnya itu adalah 
 pengkhianat. Belum lagi para wali sembilan yang memancung kepala 
 seorang sufi mbeling yang tidak mau tahu dampak ucapannya bg khalayak 
 yang belum sampai ilmunya, ibarat anak kuliahan yang asal bunyi di 
 depan anak TK. Begitu tamsil dari seorang member lain soal level 
 pemahman yang pas buat alasan penghalalan darah si sufi mbeling itu.
 
 Lalu, hal lain yang saya kira berkaitan dg ukhuwah adalah sikap 
 sebagian saudara kita. Di satu sisi A merasa B sok tahu dan sok 
 benar. Tapi di sisi lain, B menimpali sikap A dengan pernyataan yang 
 sebenarnya menunjukkan B itu setali tiga uang, menganggap diri paling 
 tahu dan paling benar.
 
 Misalnya soal negara Islam. Ini memang konsep yang kontroversial, 
 mengingat dalam Islam hanya dikenal sistem kemasyarakatan berupa 
 khilafah sbg dicontohkan dengan ideal di masa empat khafilah yang 
 lurus, khulafaa-u ar-Rasyiduun, tidak khilafah setelahnya yang hanya 
 namanya saja tapi isinya adalah praktek feodalisme, kerajaan, 
 kroniisme dan nepotisme bukan meritokrasi. Tapi sungguh disayangkan, 
 dengan pemahaman yang mungkin belum utuh, sudah berani mencap bahwa 
 upaya sebagaian saudara seiman yang lain itu, betapapun cacat 
 (namanya juga usaha) tetap adalah sebuh ikhtiar dan ijtihad yand ada 
 nilainya di mata Allah, sejelek apapun di mata manusia.
 
 Atau dengan pemahaman dan pengetahuan yang seadanya, bisa menegaskan 
 bahwa kalo yang namanya mencontoh Rasul itu ya semuanya, leterlek. 
 Halahh ... Polos bener. Tapi kalo memang bisa begitu so what? Apa 
 yang salah? Apakah pola pikir katak dalam tempurung itu bisa 
 diterima? Saya katakan katak dalam tempurung, karena tidak semua yang 
 ada di hidup kita ini berlaku di seluruh dunia. Coba saja ke 
 pedalaman di negeri ini, tidak usah jauh2 ke negeri lain. Apakah 
 semuah masjid di pedalaman negeri ini memakai 'speaker'?
 
 Tentu jika ada yang menyatakan ingin mencontoh Rasul dalam menegakkan 
 hukum Islam, yang mungkin termasuk mendirikan negera Islam (jadi 
 mirip menerapkan perda syariah nih!), tentu bukan foto-kopi, tapi 
 mencontoh esensi pemerintahan di masa Rasul dan khulafaaurrasyidun. 
 Gitu aja ko ya ga nyambung toh? Shalat kalo mau ikut Rasul yang ga 
 pake peci, kupluk haji, baju koko, mukenah, sajadah, sarung atau yang 
 sekarang kita kenal. Dulu itu dahi ya langsung ke tanah. Jorok? 
 Kotor? Tidak juga, kan padang pasir. Nah sejalan penyebaran islam, 
 tentu perlu ada penyesuaian. Itu berlaku buat semua hal selain yang 
 pokok macam tauhid, atau ritual ibadah, termasuk menutup aurat.
 
 Yang sempat membuat saya heran jg adalah beraninya menuduh ada 
 pria yang sangat sok melindungi dan mendukung aktifitas perempuan, 
 namun ujung-ujungnya tanpa sadar lalu dengan emosi/tidak 
 menuliskankan pemikirannya bahwa perempuan itu kurang berharga di 
 banding laki-laki:), bahwa perempuan itu hanya leyeh-leyeh :), atau 
 juga yang bilang bahwa perempuan pekerja = ternak :)) tanpa sadar 
 bahwa ada juga perempuan yang tidak bisa baca dengan benar suatu 
 pernyataan dan melulu emosional (khas pere gitu loh) dan mengikuti 
 nafsunya itu. Buktinya apa tuduhan itu? Tidak ada! Membaca saja tidak 
 beres mau kasih opini. Halahhh ... cape jadi tapee ... jauh 
 bene ...
 
 Kaya perempuan yang teriak2 sok 

[wanita-muslimah] Re: Ukhuwah praktis ... atau teoritis alias OMDO?

2007-06-25 Terurut Topik rsa
Bung Dan, terima kasih buat support dan encouragement anda dalam 
disksi ini. Pertanyaan dari saya buat anda, apakah sejauh ini anda 
juga menerapkan hal ini, counter-argument ilmiah dan tidak hanya 
judgement belaka? Judgement yang anda maksud yang bagaimana?

Buat komentar anda selanjutnya, saya sangat tersanjung dan sejauh ini 
hanya bisa meng-amin-i karena terus terang untuk bisa spt ibnu 
Khaldun yang karya magnum opus-nya, Muqaddimah, diakui dunia sebagai 
karya yang sulit ditandingi baik sec masa di kala dia hidup, maupun 
kontemporer. Tapi kalo maksud anda sekadar se-ilmuah ibnu Khaldun 
(tetap saja  belum jelas, ilmiah yang bagaimana, apakah mengacu hanya 
pada metode--yang spt apa--atau juga dikaitkan pada outcom-nya) 
mungkin, ... saya ulang, mungkin dengan izin Allah, dengan 
keterbatasan yang ada, bisa saya ikhtiarkan.

Mungkin teman2 di berbagai pusat keilmuan yang memang memiliki 
kesamaan bidang dengan ibnu Khaldun lah yang saya kira paling mungkin 
mendekati kadar keilmiahan ibnu Khaldun. allaahu a'lam



--- In wanita-muslimah@yahoogroups.com, Dan [EMAIL PROTECTED] 
wrote:

 Walaikum salam,
 
 Bung Satriyo, mohon juga jika Anda dapat memberi counter-argument yg
 lebih ilmiah dan tidak hanya judgment belaka. 
 
 Tunjukkanlah bahwa analisa Anda menggunakan metodologi keilmiahan 
spt
 yg juga dilakukan oleh Ibnu Khaldun dan rekan2nya.
 
 
 --- In wanita-muslimah@yahoogroups.com, rsa efikoe@ wrote:
 
  Assalaamu alaikum,
  
  Isu menarik yang secara panjang mulai di bahas oleh member di 
milis 
  ini adalah ukhuwah. Dari thread ukhuwah itu, termasuk ada cross-
  thread nya juga adalah kaitannya dengan berita soal sikap 
Kardinal 
  Jerman, Karl Lehman, melalui ucapannya dipandang diskriminatif 
karena 
  membela ummat kristiani di Jerman yang di matanya jauh lebih 
besar 
  jasanya dari penganut agama 'lain' di Jerman, ternyata masuk juga 
ide 
  dari segelintir oknum NU yang menyuarakan selain ukhuwah 
islamiyah, 
  juga ukhuwah wathaniyah dan ukhuwah basyariah. Lalu di-update 
oleh 
  terma ukhuwah insaniyah.
  
  Hmm,... apa di sebagai muslim dan mukmin kita jumpai semua hal 
itu 
  dalam Al-Qur'an? Ada member yang yakin bahwa hal itu ADA dalam 
  kalamullah. Jadi dari sudut pandangnya muncullah terma baru yaitu 
  ukhuwah globaliyah, yang ia akui itu istilah made in pribadi. No 
  matter lah. Makin menyemarakkan jagad istilah.
  
  Bicara soal ukhuwah, tidak lepas saya kira dengan thread lain 
yang 
  berisi hadis yang berasal dari 2 sumber riwayat berisi penghalaln 
  darah orang yang menghina Rasul, dan sempat ramai. Saya kaitkan 
hal 
  ini karena ada member milis yang mempertanyakan ko bisa ada 
muslim 
  yang halal darahnya? Padahal saya sempat ajukan contoh seorang 
  mujahidah muslimah asal Aceh, yang dengan sigap 'menghalalkan 
darah' 
  sesama dengan alasan si muslimah lain yang halal darahnya itu 
adalah 
  pengkhianat. Belum lagi para wali sembilan yang memancung kepala 
  seorang sufi mbeling yang tidak mau tahu dampak ucapannya bg 
khalayak 
  yang belum sampai ilmunya, ibarat anak kuliahan yang asal bunyi 
di 
  depan anak TK. Begitu tamsil dari seorang member lain soal level 
  pemahman yang pas buat alasan penghalalan darah si sufi mbeling 
itu.
  
  Lalu, hal lain yang saya kira berkaitan dg ukhuwah adalah sikap 
  sebagian saudara kita. Di satu sisi A merasa B sok tahu dan sok 
  benar. Tapi di sisi lain, B menimpali sikap A dengan pernyataan 
yang 
  sebenarnya menunjukkan B itu setali tiga uang, menganggap diri 
paling 
  tahu dan paling benar.
  
  Misalnya soal negara Islam. Ini memang konsep yang kontroversial, 
  mengingat dalam Islam hanya dikenal sistem kemasyarakatan berupa 
  khilafah sbg dicontohkan dengan ideal di masa empat khafilah yang 
  lurus, khulafaa-u ar-Rasyiduun, tidak khilafah setelahnya yang 
hanya 
  namanya saja tapi isinya adalah praktek feodalisme, kerajaan, 
  kroniisme dan nepotisme bukan meritokrasi. Tapi sungguh 
disayangkan, 
  dengan pemahaman yang mungkin belum utuh, sudah berani mencap 
bahwa 
  upaya sebagaian saudara seiman yang lain itu, betapapun cacat 
  (namanya juga usaha) tetap adalah sebuh ikhtiar dan ijtihad yand 
ada 
  nilainya di mata Allah, sejelek apapun di mata manusia.
  
  Atau dengan pemahaman dan pengetahuan yang seadanya, bisa 
menegaskan 
  bahwa kalo yang namanya mencontoh Rasul itu ya semuanya, 
leterlek. 
  Halahh ... Polos bener. Tapi kalo memang bisa begitu so what? Apa 
  yang salah? Apakah pola pikir katak dalam tempurung itu bisa 
  diterima? Saya katakan katak dalam tempurung, karena tidak semua 
yang 
  ada di hidup kita ini berlaku di seluruh dunia. Coba saja ke 
  pedalaman di negeri ini, tidak usah jauh2 ke negeri lain. Apakah 
  semuah masjid di pedalaman negeri ini memakai 'speaker'?
  
  Tentu jika ada yang menyatakan ingin mencontoh Rasul dalam 
menegakkan 
  hukum Islam, yang mungkin termasuk mendirikan negera Islam (jadi 
  mirip menerapkan perda syariah nih!), tentu bukan foto-kopi, tapi 
  

Re: [wanita-muslimah] Re: Ukhuwah praktis ... atau teoritis alias OMDO?

2007-06-25 Terurut Topik ^_^

waduh, di postingan ini mas satriyo numpahin semua hal yg dirangkum rapi. 
hmmm... jadi pingin ikutan.

soal ukhuwah, saya nggak bakal banyak komentar. istilah2 ukhuwah itu memang 
menggambarkan profil NU sebagai ormas Islam yg nasionalis. sama sekali nggak 
keliru bila gus dur memberi makna ukhuwah insaniyah (sebagai ganti ukhuwah 
basyariyah), karena tiap manusia --dlm konsep Islam-- berasal dari bapak  
ibu yg sama (baca: adam  hawa), maka tiap dari kita sejatinya adl 
bersaudara. DR. yusuf al qardhawi juga mendukung istilah ini [lihat buku 
khashaish al 'ammah li al islam, bab insaniyyah].

ttg konsep ukhuwah wathaniyah juga sah2 aja, karena memang sebagai satu 
bangsa kita disatukan dgn persaudaraan. justru buat saya pribadi, ini wacana 
bagus yg harus terus didengungkan. bangsa kita udah kehilangan ciri 
alaminya: ramah, santun smp tepo seliro. ini akibat kristalisasi pemahaman 
tertentu thd teks2 agama, yah siapapun tidak bisa dipersalahkan bila punya 
interpretasi yg beda dgn pihak lain --bahkan mainstream-- namun itu baru 
bisa diperkarakan bila udah jadi aksi nyata yg merugikan orang banyak.

soal konsep negara teologi, insya Allah di kesempatan lain ya.

wassalam
^_^



- Original Message - 
From: Dan [EMAIL PROTECTED]
To: wanita-muslimah@yahoogroups.com
Sent: Monday, June 25, 2007 3:42 PM
Subject: [wanita-muslimah] Re: Ukhuwah praktis ... atau teoritis alias OMDO?



 Walaikum salam,

 Bung Satriyo, mohon juga jika Anda dapat memberi counter-argument yg
 lebih ilmiah dan tidak hanya judgment belaka.

 Tunjukkanlah bahwa analisa Anda menggunakan metodologi keilmiahan spt
 yg juga dilakukan oleh Ibnu Khaldun dan rekan2nya.


 --- In wanita-muslimah@yahoogroups.com, rsa [EMAIL PROTECTED] wrote:

 Assalaamu alaikum,

 Isu menarik yang secara panjang mulai di bahas oleh member di milis
 ini adalah ukhuwah. Dari thread ukhuwah itu, termasuk ada cross-
 thread nya juga adalah kaitannya dengan berita soal sikap Kardinal
 Jerman, Karl Lehman, melalui ucapannya dipandang diskriminatif karena
 membela ummat kristiani di Jerman yang di matanya jauh lebih besar
 jasanya dari penganut agama 'lain' di Jerman, ternyata masuk juga ide
 dari segelintir oknum NU yang menyuarakan selain ukhuwah islamiyah,
 juga ukhuwah wathaniyah dan ukhuwah basyariah. Lalu di-update oleh
 terma ukhuwah insaniyah. 







Disclaimer: Although this message has been checked for all known viruses
 using Trend Micro InterScan Messaging Security Suite, Bukopin 
   accept no liability for any loss or damage arising
   from the use of this E-Mail or attachments.


[wanita-muslimah] Re: Ukhuwah praktis ... atau teoritis alias OMDO?

2007-06-25 Terurut Topik Dan
Kita tidak bisa lepas dari perpektif individu dan kultural dalam
memandang sesuatu fenomena sosial.  Memang akan ada elemen judgment
dalam pembahasan kita.  Sebenarnya itu lazim saja, cuma dalam tulisan
Anda yg terakhir nadanya tidak sejuk sehingga saya melihatnya sebagai
suatu kumpulan tuduhan2.

Tapi yg penting ialah kita sama2 mengagumi Ibnu Khaldun. Dan saya
sering heran koq jarang sekali saya melihat referensi dari karya
agungnya dalam membahas masyarakat Islam? Padahal menurut saya tidak
banyak buku yg lebih lugas dalam menganalisa masyarakat Islam selain
karyanya spt yg Anda katakan sejak dulu dan sekarang.   Seorang jenius
akan selalu abadi karyanya.

Pendekatan yg saya sering lebih lihat ialah pendekatan literalis yg
sangat out-of-context sehingga terkesan carut marut.  Comot sini comot
sana utk ditempelkan pada berbagai situasi sesuka sendiri.  End
resultnya adalah pembenaran utk hal yg sebenarnya tidak dapat diterima
sebagai kebenaran.

Apakah pendekatan ala Ibnu Khaldun itu sudah mulai ditinggalkan? 
Kalau ya memang berarti pendekatan ilmiah tradisi Islam sudah mulai
ditinggalkan juga?  Suatu tradisi agung yg telah membawa peradaban
Islam menuju jaman keemasan ini kalau ditinggalkan ya memang berarti
kita ada dalam keterpurukan bikinan sendiri.

Sebenarnya yg kita bahas di milis kebanyakan adalah permasalahan yg
berdomisili dalam kaidah muamalah, yaitu oleh Allah sendiri dianjurkan
utk diselesaikan secara musyawarah.

Yg saya khawatir ialah bahwa yg sebenarnya kaidah muamalah itu
difait-accompli sebagai kaidah ibadah sehingga ruang gerak utk
memusyawahkannya dan mengijtihadkan jadi terbatas dan penentu akhirnya
selalu suatu fatwa dari ulama. Dalam dinamika masyarakat modern dg
berbagai ragam kepentingan, keahlian dan jalan hidup, saya rasa ulama
tidak lagi berkompeten utk memberikan suatu fatwa dalam semua aspek
kehidupan. 

--- In wanita-muslimah@yahoogroups.com, rsa [EMAIL PROTECTED] wrote:

 Bung Dan, terima kasih buat support dan encouragement anda dalam 
 disksi ini. Pertanyaan dari saya buat anda, apakah sejauh ini anda 
 juga menerapkan hal ini, counter-argument ilmiah dan tidak hanya 
 judgement belaka? Judgement yang anda maksud yang bagaimana?
 
 Buat komentar anda selanjutnya, saya sangat tersanjung dan sejauh ini 
 hanya bisa meng-amin-i karena terus terang untuk bisa spt ibnu 
 Khaldun yang karya magnum opus-nya, Muqaddimah, diakui dunia sebagai 
 karya yang sulit ditandingi baik sec masa di kala dia hidup, maupun 
 kontemporer. Tapi kalo maksud anda sekadar se-ilmuah ibnu Khaldun 
 (tetap saja  belum jelas, ilmiah yang bagaimana, apakah mengacu hanya 
 pada metode--yang spt apa--atau juga dikaitkan pada outcom-nya) 
 mungkin, ... saya ulang, mungkin dengan izin Allah, dengan 
 keterbatasan yang ada, bisa saya ikhtiarkan.
 
 Mungkin teman2 di berbagai pusat keilmuan yang memang memiliki 
 kesamaan bidang dengan ibnu Khaldun lah yang saya kira paling mungkin 
 mendekati kadar keilmiahan ibnu Khaldun. allaahu a'lam
 
 
 
 --- In wanita-muslimah@yahoogroups.com, Dan dana.pamilih@ 
 wrote:
 
  Walaikum salam,
  
  Bung Satriyo, mohon juga jika Anda dapat memberi counter-argument yg
  lebih ilmiah dan tidak hanya judgment belaka. 
  
  Tunjukkanlah bahwa analisa Anda menggunakan metodologi keilmiahan 
 spt
  yg juga dilakukan oleh Ibnu Khaldun dan rekan2nya.
  
  
  --- In wanita-muslimah@yahoogroups.com, rsa efikoe@ wrote:
  
   Assalaamu alaikum,
   
   Isu menarik yang secara panjang mulai di bahas oleh member di 
 milis 
   ini adalah ukhuwah. Dari thread ukhuwah itu, termasuk ada cross-
   thread nya juga adalah kaitannya dengan berita soal sikap 
 Kardinal 
   Jerman, Karl Lehman, melalui ucapannya dipandang diskriminatif 
 karena 
   membela ummat kristiani di Jerman yang di matanya jauh lebih 
 besar 
   jasanya dari penganut agama 'lain' di Jerman, ternyata masuk juga 
 ide 
   dari segelintir oknum NU yang menyuarakan selain ukhuwah 
 islamiyah, 
   juga ukhuwah wathaniyah dan ukhuwah basyariah. Lalu di-update 
 oleh 
   terma ukhuwah insaniyah.
   
   Hmm,... apa di sebagai muslim dan mukmin kita jumpai semua hal 
 itu 
   dalam Al-Qur'an? Ada member yang yakin bahwa hal itu ADA dalam 
   kalamullah. Jadi dari sudut pandangnya muncullah terma baru yaitu 
   ukhuwah globaliyah, yang ia akui itu istilah made in pribadi. No 
   matter lah. Makin menyemarakkan jagad istilah.
   
   Bicara soal ukhuwah, tidak lepas saya kira dengan thread lain 
 yang 
   berisi hadis yang berasal dari 2 sumber riwayat berisi penghalaln 
   darah orang yang menghina Rasul, dan sempat ramai. Saya kaitkan 
 hal 
   ini karena ada member milis yang mempertanyakan ko bisa ada 
 muslim 
   yang halal darahnya? Padahal saya sempat ajukan contoh seorang 
   mujahidah muslimah asal Aceh, yang dengan sigap 'menghalalkan 
 darah' 
   sesama dengan alasan si muslimah lain yang halal darahnya itu 
 adalah 
   pengkhianat. Belum lagi para wali sembilan yang memancung kepala 
   seorang sufi mbeling yang tidak 

Re: [wanita-muslimah] Re: Ukhuwah praktis ... atau teoritis alias OMDO?

2007-06-25 Terurut Topik Wikan Danar Sunindyo
nambahin Pak Dana ...
apa fenomena orang menyerahkan segala urusan kepada ulama juga
merupakan bukti kemalasan berpikir umat pada umumnya, sehingga
mereka tidak mau ambil resiko. serahkan saja pada ulama untuk
memikirkan, kalau tar ditanya di akhirat, tinggal salahin aja ulamanya
(yang mana sebenarnya tidak bisa begitu juga, karena semua orang akan
dimintai pertanggungjawaban masing2 satu persatu).

di sisi lain, kok ya ulama ini kayak yang segala tahu ya? segala macam
dibahas dan dijawab. kalau dalam dunia kedokteran orang tahu ada
spesialisasinya. dan dokter bisa bilang, tidak ... ini bukan bidang
saya, silakan tanya ke orang lain yang lebih ahli. kira-kira ada gak
ya ulama yang berkata begitu? berkata tidak pada masalah yang tidak
dikuasainya.

salam
--
wikan
http://wikan.multiply.com

On 6/25/07, Dan [EMAIL PROTECTED] wrote:
  Sebenarnya yg kita bahas di milis kebanyakan adalah permasalahan yg
  berdomisili dalam kaidah muamalah, yaitu oleh Allah sendiri dianjurkan
  utk diselesaikan secara musyawarah.

  Yg saya khawatir ialah bahwa yg sebenarnya kaidah muamalah itu
  difait-accompli sebagai kaidah ibadah sehingga ruang gerak utk
  memusyawahkannya dan mengijtihadkan jadi terbatas dan penentu akhirnya
  selalu suatu fatwa dari ulama. Dalam dinamika masyarakat modern dg
  berbagai ragam kepentingan, keahlian dan jalan hidup, saya rasa ulama
  tidak lagi berkompeten utk memberikan suatu fatwa dalam semua aspek
  kehidupan.


[wanita-muslimah] Re: Ukhuwah praktis ... atau teoritis alias OMDO?

2007-06-25 Terurut Topik Dan
Itulah yg saya pertanyakan mengenai tidak dibedakannya politik dari
agama menurut Islam, menurut interpretasi tertentu.  Ini ciri
teokrasi.  Apakah Islam suatu teokrasi? Menurut Gus Dur dan alm. Cak
Nur bukan.

Menurut pemahaman awam saya politik itu urusannya dg kesejahteraan
lahiriyah dan agama adalah batiniyah. Kebijakan politik menentukan
pilihan kebijakan ekonomi dlsb.

Saya tidak keberatan jika para ulama mengurus yg berkenaan dg yg
batiniyah. Emang itu urusannya.

Tapi yg politik?  Apa kompetensinya? 

Kalau dilihat dari pembahasan para ulama di sini tidak terasa keahlian
ilmu politiknya.  Mungkin saya belum bertemu saja.

--- In wanita-muslimah@yahoogroups.com, Wikan Danar Sunindyo
[EMAIL PROTECTED] wrote:

 nambahin Pak Dana ...
 apa fenomena orang menyerahkan segala urusan kepada ulama juga
 merupakan bukti kemalasan berpikir umat pada umumnya, sehingga
 mereka tidak mau ambil resiko. serahkan saja pada ulama untuk
 memikirkan, kalau tar ditanya di akhirat, tinggal salahin aja ulamanya
 (yang mana sebenarnya tidak bisa begitu juga, karena semua orang akan
 dimintai pertanggungjawaban masing2 satu persatu).
 
 di sisi lain, kok ya ulama ini kayak yang segala tahu ya? segala macam
 dibahas dan dijawab. kalau dalam dunia kedokteran orang tahu ada
 spesialisasinya. dan dokter bisa bilang, tidak ... ini bukan bidang
 saya, silakan tanya ke orang lain yang lebih ahli. kira-kira ada gak
 ya ulama yang berkata begitu? berkata tidak pada masalah yang tidak
 dikuasainya.
 
 salam
 --
 wikan
 http://wikan.multiply.com
 
 On 6/25/07, Dan [EMAIL PROTECTED] wrote:
   Sebenarnya yg kita bahas di milis kebanyakan adalah permasalahan yg
   berdomisili dalam kaidah muamalah, yaitu oleh Allah sendiri
dianjurkan
   utk diselesaikan secara musyawarah.
 
   Yg saya khawatir ialah bahwa yg sebenarnya kaidah muamalah itu
   difait-accompli sebagai kaidah ibadah sehingga ruang gerak utk
   memusyawahkannya dan mengijtihadkan jadi terbatas dan penentu
akhirnya
   selalu suatu fatwa dari ulama. Dalam dinamika masyarakat modern dg
   berbagai ragam kepentingan, keahlian dan jalan hidup, saya rasa ulama
   tidak lagi berkompeten utk memberikan suatu fatwa dalam semua aspek
   kehidupan.





Re: [wanita-muslimah] Re: Ukhuwah praktis ... atau teoritis alias OMDO?

2007-06-25 Terurut Topik Achmad Chodjim
Mas Wikan,

Di dalam Alquran dinyatakan bahwa ketaatan itu hanya kepada Allah dan kepada 
Rasul-Nya. Lalu, ketaatan berikutnya kepada ulil amri --jika dan hanya jika-- 
ulil amri itu sendiri taat kepada Allah dan taat kepada Rasul-Nya.

Pernyataan di atas dituangkan dalam QS 4:59. Sayangnya, taat kepada Allah ini 
dipelintir menjadi taat kepada Alquran, dan taat kepada Rasul-Nya dipelintir 
menjadi taat kepada al-Sunnah. Jadi, Allah Yang Maha Hidup itu sudah sejak lama 
tidak dianggap hidup lagi oleh umat, makanya Allah diturunkan derajatnya hanya 
sebagai Alquran. Padahal, kalau ditanya tentang rukun iman, ada rukun untuk 
mengimani Allah dan ada rukun untuk mengimani kitab-kitab-Nya (QS 2:177).

Demikian juga ketaatan kepada Rasul Allah, kepada Kanjeng Nabi Muhammad, lha 
koq diturunkan derajatnya hanya taat kepada al-Sunnah. Kita lupa bahwa Rasul 
itu tetap hidup (QS 2:154, 3:169-171). Bukankah dalam tasyahud ada ucapan 
assalaamu 'alayka ayyuhan nabiyyu wa rahmatullahi wa barakaatuh, assalaamu 
'alayna wa 'alaa ibadillaahis shaalihiin? Jadi, ucapan salam itu ditujukan 
kepada yang hidup dan yang disetarakan dengan orang yang mengucapkannya.

Alquran itu adalah kitab tempat kita merujuk atau mengambil rujukan, jadi bukan 
tempat taat. Sedangkan petunjuk yaa harus kita peroleh langsung dari Tuhan, 
makanya ada ihdinaash shiraathal mustaqiim. Nah, kalau kita ditunjukkan oleh 
Tuhan, maka kita akan bisa melihat rujukannya, dan kita bisa menemukan ayatnya, 
lalu kita sambil mengangguk-angguk. oh ini ayatnya. Bukankah hakikat 
ayat-ayat Alquran itu ada di dalam dada orang-orang yang diberi ilmu? (QS 
29:49).

Rasulullah yang sudah tidak berbadan fisik ini tetap hidup. Jasad fisik tak 
mampu lagi menampung Ruh Rasullullah, makanya secara fisikal beliau hanya 63 
tahun. Karena tetap hidup itu maka Rasul menjadi saksi dan tetap menerangi (QS 
33:45-46). Lha, kalau Muhammad mati secara total (lahir dan batin) yaa beliau 
tak pernah bisa menjadi saksi, apalagi menerangi. Jadi, hanya yang hidup yang 
bisa menjadi saksi dan menerangi, sedangkan mayit ya tak bisa apa-apa.

Lalu, di mana peran ulama? Ulama yang sebenarnya hanyalah pelita. Dengan pelita 
itu sebenarnya umat bisa menjumpai Rasulullah. Karena ulama itu hanya pelita, 
maka pro-aktif umatlah yang diperlukan. Tak ada ketaatan buat ulama. Ini sesuai 
dengan hadis Nabi yang menyebutkan bahwa tak ada sistem kependetaan dalam 
Islam. Saya perbesar TAK ADA SISTEM KEPENDETAAN DALAM ISLAM. Jadi, ulama 
yang mentukan ini dan itu buat umatnya tak dikenal dalam Islam. Yang mentukan 
ini dan itu dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat adalah ulil amri yang 
dalam istilah sekarang dapat disamakan dengan aparat pemerintahan. 

Lha, al-Sunnah itu merupakan rujukan sekonder bila kita tak mendapatkan rujukan 
dari Alquran.

Matur suwun,

Salam,
chodjim 



  - Original Message - 
  From: Wikan Danar Sunindyo 
  To: wanita-muslimah@yahoogroups.com 
  Sent: Monday, June 25, 2007 7:34 PM
  Subject: Re: [wanita-muslimah] Re: Ukhuwah praktis ... atau teoritis alias 
OMDO?


  nambahin Pak Dana ...
  apa fenomena orang menyerahkan segala urusan kepada ulama juga
  merupakan bukti kemalasan berpikir umat pada umumnya, sehingga
  mereka tidak mau ambil resiko. serahkan saja pada ulama untuk
  memikirkan, kalau tar ditanya di akhirat, tinggal salahin aja ulamanya
  (yang mana sebenarnya tidak bisa begitu juga, karena semua orang akan
  dimintai pertanggungjawaban masing2 satu persatu).

  di sisi lain, kok ya ulama ini kayak yang segala tahu ya? segala macam
  dibahas dan dijawab. kalau dalam dunia kedokteran orang tahu ada
  spesialisasinya. dan dokter bisa bilang, tidak ... ini bukan bidang
  saya, silakan tanya ke orang lain yang lebih ahli. kira-kira ada gak
  ya ulama yang berkata begitu? berkata tidak pada masalah yang tidak
  dikuasainya.

  salam
  --
  wikan
  http://wikan.multiply.com

  On 6/25/07, Dan [EMAIL PROTECTED] wrote:
   Sebenarnya yg kita bahas di milis kebanyakan adalah permasalahan yg
   berdomisili dalam kaidah muamalah, yaitu oleh Allah sendiri dianjurkan
   utk diselesaikan secara musyawarah.
  
   Yg saya khawatir ialah bahwa yg sebenarnya kaidah muamalah itu
   difait-accompli sebagai kaidah ibadah sehingga ruang gerak utk
   memusyawahkannya dan mengijtihadkan jadi terbatas dan penentu akhirnya
   selalu suatu fatwa dari ulama. Dalam dinamika masyarakat modern dg
   berbagai ragam kepentingan, keahlian dan jalan hidup, saya rasa ulama
   tidak lagi berkompeten utk memberikan suatu fatwa dalam semua aspek
   kehidupan.


   

[Non-text portions of this message have been removed]



[wanita-muslimah] Re: Ukhuwah praktis ... atau teoritis alias OMDO?

2007-06-25 Terurut Topik Dan
Bung Chodjim,

Kutipan Anda:

Lalu, di mana peran ulama? Ulama yang sebenarnya hanyalah pelita.
Dengan pelita tu sebenarnya umat bisa menjumpai Rasulullah. Karena
ulama itu hanya pelita, maka pro-aktif umatlah yang diperlukan. Tak
ada ketaatan buat ulama. Ini sesuai dengan hadis Nabi yang menyebutkan
bahwa tak ada sistem kependetaan dalam Islam. Saya perbesar TAK ADA
SISTEM KEPENDETAAN DALAM ISLAM. Jadi, ulama yang mentukan ini dan itu
buat umatnya tak dikenal dalam Islam. Yang mentukan ini dan itu dalam
kehidupan sehari-hari di masyarakat adalah ulil amri yang dalam
istilah sekarang dapat disamakan dengan aparat pemerintahan.

Lha, al-Sunnah itu merupakan rujukan sekonder bila kita tak
mendapatkan rujukan.

sangat mencerahkan.  

Saya juga ikut merasakan bahwa banyak umat Islam yg sudah secara salah
menyikapi hadits sebagai rujukan primer bukan sekunder lagi seperti yg
dimaksudkan.  Barangkali salah satu penyebab terjadinya kesemwrawutan
hukum dalam dunia Islam. 

Saya pernah diceritakan pembantu saya bahwa di desa di daerah Cipanas
sekarang ada para ulama mengutip fee utk mendoakan biar masuk surga. 
Hehe ini kan spt jaman gereja Katolik sebelum masa Pencerahan.  Ada
fungsi pendeta yg mendoakan biar masuk surga, padahal menurut Islam
kan tanggung jawab masing2.

Dan MUI tidak pernah bersuara apa2 mengenai ini. 

Mudah2an dakwah Bung Chodjim akan dapat memberi hikmah pada kita semua.

dari Alquran.--- In wanita-muslimah@yahoogroups.com, Achmad Chodjim
[EMAIL PROTECTED] wrote:

 Mas Wikan,
 
 Di dalam Alquran dinyatakan bahwa ketaatan itu hanya kepada Allah
dan kepada Rasul-Nya. Lalu, ketaatan berikutnya kepada ulil amri
--jika dan hanya jika-- ulil amri itu sendiri taat kepada Allah dan
taat kepada Rasul-Nya.
 
 Pernyataan di atas dituangkan dalam QS 4:59. Sayangnya, taat kepada
Allah ini dipelintir menjadi taat kepada Alquran, dan taat kepada
Rasul-Nya dipelintir menjadi taat kepada al-Sunnah. Jadi, Allah Yang
Maha Hidup itu sudah sejak lama tidak dianggap hidup lagi oleh umat,
makanya Allah diturunkan derajatnya hanya sebagai Alquran. Padahal,
kalau ditanya tentang rukun iman, ada rukun untuk mengimani Allah dan
ada rukun untuk mengimani kitab-kitab-Nya (QS 2:177).
 
 Demikian juga ketaatan kepada Rasul Allah, kepada Kanjeng Nabi
Muhammad, lha koq diturunkan derajatnya hanya taat kepada al-Sunnah.
Kita lupa bahwa Rasul itu tetap hidup (QS 2:154, 3:169-171). Bukankah
dalam tasyahud ada ucapan assalaamu 'alayka ayyuhan nabiyyu wa
rahmatullahi wa barakaatuh, assalaamu 'alayna wa 'alaa ibadillaahis
shaalihiin? Jadi, ucapan salam itu ditujukan kepada yang hidup dan
yang disetarakan dengan orang yang mengucapkannya.
 
 Alquran itu adalah kitab tempat kita merujuk atau mengambil rujukan,
jadi bukan tempat taat. Sedangkan petunjuk yaa harus kita peroleh
langsung dari Tuhan, makanya ada ihdinaash shiraathal mustaqiim.
Nah, kalau kita ditunjukkan oleh Tuhan, maka kita akan bisa melihat
rujukannya, dan kita bisa menemukan ayatnya, lalu kita sambil
mengangguk-angguk. oh ini ayatnya. Bukankah hakikat ayat-ayat
Alquran itu ada di dalam dada orang-orang yang diberi ilmu? (QS 29:49).
 
 Rasulullah yang sudah tidak berbadan fisik ini tetap hidup. Jasad
fisik tak mampu lagi menampung Ruh Rasullullah, makanya secara fisikal
beliau hanya 63 tahun. Karena tetap hidup itu maka Rasul menjadi saksi
dan tetap menerangi (QS 33:45-46). Lha, kalau Muhammad mati secara
total (lahir dan batin) yaa beliau tak pernah bisa menjadi saksi,
apalagi menerangi. Jadi, hanya yang hidup yang bisa menjadi saksi dan
menerangi, sedangkan mayit ya tak bisa apa-apa.
 
 Lalu, di mana peran ulama? Ulama yang sebenarnya hanyalah pelita.
Dengan pelita itu sebenarnya umat bisa menjumpai Rasulullah. Karena
ulama itu hanya pelita, maka pro-aktif umatlah yang diperlukan. Tak
ada ketaatan buat ulama. Ini sesuai dengan hadis Nabi yang menyebutkan
bahwa tak ada sistem kependetaan dalam Islam. Saya perbesar TAK ADA
SISTEM KEPENDETAAN DALAM ISLAM. Jadi, ulama yang mentukan ini dan itu
buat umatnya tak dikenal dalam Islam. Yang mentukan ini dan itu dalam
kehidupan sehari-hari di masyarakat adalah ulil amri yang dalam
istilah sekarang dapat disamakan dengan aparat pemerintahan. 
 
 Lha, al-Sunnah itu merupakan rujukan sekonder bila kita tak
mendapatkan rujukan dari Alquran.
 
 Matur suwun,
 
 Salam,
 chodjim 
 
 
 
   - Original Message - 
   From: Wikan Danar Sunindyo 
   To: wanita-muslimah@yahoogroups.com 
   Sent: Monday, June 25, 2007 7:34 PM
   Subject: Re: [wanita-muslimah] Re: Ukhuwah praktis ... atau
teoritis alias OMDO?
 
 
   nambahin Pak Dana ...
   apa fenomena orang menyerahkan segala urusan kepada ulama juga
   merupakan bukti kemalasan berpikir umat pada umumnya, sehingga
   mereka tidak mau ambil resiko. serahkan saja pada ulama untuk
   memikirkan, kalau tar ditanya di akhirat, tinggal salahin aja ulamanya
   (yang mana sebenarnya tidak bisa begitu juga, karena semua orang akan
   dimintai pertanggungjawaban masing2 satu persatu

[wanita-muslimah] Re: Ukhuwah praktis ... atau teoritis alias OMDO?

2007-06-25 Terurut Topik rsa
Wah Bung Dan maaf kalo ternyata buat anda nada saya terasa tidak 
sejuk. Tidak ada niat saya untuk itu. Ala kulli hal, mohon maaf untuk 
mishap itu. :(

Soal keabadian, saya kira tidak berbanding lurus dengan popularitas, 
terlebih jika kemudian terbukti hal itu salah, spt 'teori' evolusi 
misalnya. Dan soal sedikitnya referensi, buat saya pribadi mungkin 
krn memang pas yang kita baca itu adalah karya kontemporer yang tidak 
menggunakan karya IK sebagai primary source. Atau memang tidak banyak 
buku atau referesni ilmiah yang membahas topik yang dikaitkan dengan 
karya monumental beliau.

Karya IK bukanlah satu-satunya karya ilmiah monumental dalam tradisi 
keilmuan islam Bung. Artinya, kalo kita kais dan korek perpustakaan 
besar di negara2 Barat, pasti akan ketemu itu naskah kuno asli atau 
saduran atau salinannya. Bahkan mungkin ada yang sudah memuatnya on-
line. Mungkin dengan akses Bung yang relatif lebih banyak dan mudah 
di banding di negara2 Islam termasuk di tanah air, Bung bisa segera 
tahu hal itu. Karya lain yang diakui monumental tapi jarang dilirik 
misalnya adalah karya Ibnu Sina/Avicenna di bidang kedokteran The 
Qanun/Canon yang hingga abad 17 masih menjadi buku acuan di dunia 
kedokteran Barat (Up to the year 1650, or thereabouts, the Canon was 
still used as a textbook in the universities of Leuven and 
Montpellier.-http://en.wikipedia.org/wiki/Avicenna#Legacy). Mengapa 
sekarang tdk dipakai? Ya banyaklah alasannya, selain bhw dunia 
teknologi demikian maju. Kemungkinan lain adalah karya2 yang mengutip 
mereka itu mayoritas adalah di lingkungan akademis, padahal yang 
paling banyak dibaca adalah buku2 populer walau tidak kurang otoritas 
akademisnya.

Ibadah dalam Islam kan memang luas Bung, ada yang khusus/spesifik, 
atau ibadah mahdhah (ritual, rites) spt Shalat dll, ada juga yang 
umum, yaitu semua kegiatan kita di luar yang khusus itu. Bukankah ada 
prinsip bahwa hidup muslim itu, dari membuka mata menjelang fajar 
hingga tidur kembali adalah ibadah? Kaitannya juga dengan panggilan 
kita oleh Allah yaitu 'abid' tau 'abd' yang artinya orang(2) yang 
beribadah. Tdk mungkin hanya karena ritual saja lalu kita disapa 
demikian oleh Allah. Ibarat peninju dan petinju, yang satu orang yang 
melakukan sesuatu, yang lain orang yang hidupnya memang bertinju.

Nah tidak salah kalo konstruk berpikir ini diadopsi oleh saudara-
saudara kita dalam hidup mereka. Tapi memang tidak mudah ketika lini 
berpikir ini berbenturan dengan yang menganggap ibadah itu ya yang 
rukun islam saja. Dengan demikian, tidak pas menganggap bahwa urusan 
ULAMA itu hanya spiritual (istilah asing, di luar tradisi islam) 
sedangkan diluar itu bukan urusan ULAMA. Wah kan ada tu yang komentar 
bahwa ORIENTALIS juga ULAMA, padahal jelas ORIENTALIS itu murni ilmu 
yang ditekankan dan ga ada urusan sama 'spiritual islam' bahkan 
ORIENTALIS itu inginnya membuat ISLAM itu seperti KRISTEN, terpisah 
antara GEREJA dan NEGARA. 

Jadi ada kerancuan referensi dan lini berpikir di sini. Mencomot ide 
non-islam (di luar tradisi islam) lalu dipaksakan untuk masuk ke 
tradisi islam. Contohnya, seputar hukum, negara, dan HAM. Di islam 
hal-hal itu pasti ada, tapi ketika kita ambil itu dari tradisi non-
islam dan kita paksakan untuk bisa masuk ke tradisi islam, saya kira 
itu PEMAKSAAN yang jelas. Jadi, hingga tataran pemikiran pun, topik 
atau terma yang sangat banyak muncul dan ditujukan Allah kepada 
muslim, jelas islam punya tradisi yang khas. Dan ini yang Bung 
harapkan kan?

Jadi mengukur islam dengan alat ukur di luar islam, pasti tidak 
cocok. Yang ada adalah kesan 'carut marut' dan 'pemaksaan'. Kalo kita 
jujur, yang namanya budaya kan pasti beda. Ilustrasi sederhana yang 
saya ambil dari sebuah dokumenter, seorang perwira militer kerajaan 
Inggris Raya Lieutenant Colonel Sir Francis Edward Younghusband yang 
berhasil 'menaklukan' Tibet, ketika memasuki Lhasa ia gembira krn 
disambut oleh penduduknya dengan tapukan tangan. Ternyata kemudia ia 
tahu bahwa mereka bukan bertepuk tangan spt yang dia KIRA, tapi 
bertepuk tangan sesuai tradisi Tibet ketika mengusir ROH JAHAT. Ini 
juga mirip salam suku MAORI (cmiiw) yang menjulurkan lidah, yang buat 
tradisi lain sama dengan menghina.

Jadi, sebagaimana yang sedang saya pelajari, bahwa Islam adalah 
bangunan utuh yang tidak akan lekang. Adapun muslim yang adalah 
manusia dengan sejumlah kelemahan yang di tengahnya adalah hawa 
nafsu, pasti lekang oleh ujian duniawi. Nah sejarah sejauh ini 
membuktikan bahwa hilangnya kejayaan Islam bukan karena hilangnya 
tradisi islam, tapi hilangnya lini pemikiran islam dalam paradigma 
muslim akibat pengaruh asing yang tidak dicermati.

Singkat kata, sebenarnya segala keraguan Bung soal kejayaan Islam 
bisa dimengerti akan tetapi bukan berarti keraguan Bung itu sesuatu 
yang 'semestinya' tapi sesuatu yang 'pada prakteknya'. Jadi untuk 
bisa membuktikan kejayaan Islam, tentu kita mulai melakukan 
introspeksi berupa SWOT analysis, minimal. Dan sekarang