Re: [wanita-muslimah] Re: Ukhuwah praktis ... atau teoritis alias OMDO? - mudheng
Sekedar berbagi, kalau di sini semua produk makanan dan minuman harus mencantumkan kandungan bahannya. sehingga konsumen bisa baca dan menilai sendiri, ooh makanan ini mengandung babi, minuman ini mengandung alkohol, sehingga orang muslim bisa menghindarinya. demikian juga buat orang2 lain yang vegetarian juga bisa melihat kandungan makanan, jadi dia bisa menghindari makanan yang mengandung daging. buat orang yang diet bisa menghitung jumlah kalori makanan. manfaat pencantuman kandungan makanan/minuman ini banyak beragam, serta mencerdaskan konsumen. Selain itu ada yang namanya yayasan penguji yang bekerja secara independen tidak dibayar pemerintah atau produsen. Tugas mereka menguji keamanan dan kualitas produk2, tidak sekedar makanan sih, dan secara periodik (biasanya tiap tahun/semester) mereka mengeluarkan jurnal yang berisi penilaian mereka terhadap produk2 yang dikeluarkan produsen. Ada yang dinilai baik, cukup, sedang, buruk. Penilaian mereka independen karena mereka yang aktif menilai, bukan dimintai oleh pihak produsen dan mereka juga gak minta bayaran dari produsen, sehingga lebih objektif. Produsen yang bangga terus memakai label yang diberikan oleh yayasan penguji tadi, sehingga bisa jadi iklan juga buat produk tadi. Kalau produknya gak ada label baik, mungkin jadi pertimbangan buat konsumen juga. Terus konsumen juga bisa menilai produk mana yang bagus aman, mana yang kurang bagus. salam, -- wikan http://wikan.multiply.com On 6/28/07, Achmad Chodjim [EMAIL PROTECTED] wrote: Mas Jano ko, Percuma saja ya saya mengutipkan hadis yang menyebutkan bahwa ulama itu kepercayaan Rasul selama tidak terlibat dalam kekuasaan dan kesenangan duniawi. Baca lagi, Mas. Makanya, peran ulama itu mendidik agar umat tahu halal dan haram dengan benar. Umat yang benar tinggal baca bahan-bahan yang tercantum dalam kemasan. Dan, itu kerjaan ulil amri! Bila dalam bahannya terulis mengandung babi, ya yang Islam tak perlu mengkonsumsinya. Kan begic Kalau ulama sudah terlibat kekuasaan dengan memberi label halal bagi makanan, jadinya rawan korupsi. Jangan dipelintir terus, ya... Siapa yang menjamin proyek label haram itu suci? Mosok see sampeyan tak mencium baunya. Bayangkan saja bagaimana ribuan jenis makanan harus mendapatkan label halal dengan cepat. Untuk menguji kehalalan satu jenis makanan saja, perlu waktu; apalagi puluhan ribu makanan. Bagaimana untuk cepat mendapatkan label haram? hehehe.. Makanya, saya sarankan mas Jano ko banyak tahajud dan mengaji makrifat dengan benar, supaya tidak hanya dapat kulitnya!
[wanita-muslimah] Re: Ukhuwah praktis ... atau teoritis alias OMDO? - mudheng
Boleh nimbrung ya, Ternyata pemisahan kekuasaan eksekutif dan yudikatif itu jelas ada dalam Islam, kalau bisa saya tangkap dari penjelasan Bung Chodjim: ulil amri vs ulama. Ulama itu kan ahli fikih biasanya, spt Ibnu Khaldun itu fuquha yg juga qadi. Jadi posisi ulama seharusnya ada dalam lembaga yudikatif. Kalau ada ulama yg bernafsu berkuasa dan otomatis ingin jadi ulil amri juga maka resikonya akan terjadi despotisme. Di Indonesia, karena kita sudah ada UUD maka saya kira sebaiknya MUI itu adalah sebagai dewan pertimbangan utk Mahkamah Agung dan kerjanya ikut mengawasi pengadilan agama, yg peranannya jelas bagaimana agar keputusan pengadilan agama tidak bertentangan dg UUD. Jadi bukan bagian dari kekuasaan eksekutif. Kalau begini jadi lebih jelas porsi porsinya. Tapi lembaga legislatif tetap dipegang oleh DPR, dan kalau ada ulama mau buat UU harus terpilih dulu sbg anggota DPR dan mengajukan RUU sesuai prosedur. Kita tidak lagi dapat menerima fatwa2 yg mengikat secara hukum tapi extra-konstitusional proses dan prosedurnya. --- In wanita-muslimah@yahoogroups.com, Achmad Chodjim [EMAIL PROTECTED] wrote: Mas Jano ko, Percuma saja ya saya mengutipkan hadis yang menyebutkan bahwa ulama itu kepercayaan Rasul selama tidak terlibat dalam kekuasaan dan kesenangan duniawi. Baca lagi, Mas. Makanya, peran ulama itu mendidik agar umat tahu halal dan haram dengan benar. Umat yang benar tinggal baca bahan-bahan yang tercantum dalam kemasan. Dan, itu kerjaan ulil amri! Bila dalam bahannya terulis mengandung babi, ya yang Islam tak perlu mengkonsumsinya. Kan begic Kalau ulama sudah terlibat kekuasaan dengan memberi label halal bagi makanan, jadinya rawan korupsi. Jangan dipelintir terus, ya... Siapa yang menjamin proyek label haram itu suci? Mosok see sampeyan tak mencium baunya. Bayangkan saja bagaimana ribuan jenis makanan harus mendapatkan label halal dengan cepat. Untuk menguji kehalalan satu jenis makanan saja, perlu waktu; apalagi puluhan ribu makanan. Bagaimana untuk cepat mendapatkan label haram? hehehe.. Makanya, saya sarankan mas Jano ko banyak tahajud dan mengaji makrifat dengan benar, supaya tidak hanya dapat kulitnya! Wassalam, chodjim - Original Message - From: jano ko To: wanita-muslimah@yahoogroups.com Sent: Wednesday, June 27, 2007 7:15 PM Subject: Re: [wanita-muslimah] Re: Ukhuwah praktis ... atau teoritis alias OMDO? - mudheng Pak Achmad : Lalu, di mana peran ulama? Ulama yang sebenarnya hanyalah pelita. Dengan pelita itu sebenarnya umat bisa menjumpai Rasulullah. Karena ulama itu hanya pelita, maka pro-aktif umatlah yang diperlukan. Tak ada ketaatan buat ulama. --- Janoko : Saya ulang lagi apa yang dikatakan Pak Achmad diatas. Lalu peranan MUI ( Majelis Ulama Indonesia ) itu dimana pak ? Ada beberapa produk buatan saya yang mempunyai sertifikat halal yang dikeluarkan oleh MUI, lalu njok kepiye legalitas sertifikat halal dari produk saya kalau apa yang dikatakan pak Achmad itu.. ? Masih engga mudheng Wassalam --oo0oo-- Achmad Chodjim [EMAIL PROTECTED] wrote: Nuwun sewu, Mas Jano ko supados balik sekolah malih teng SD. Mosok nggak bisa mengerti sebuah paragraf tuturan. Mana ada kalimat dari saya yang memerintah sampiyan taat kepada saya? Wassalam, chodjim - Original Message - From: jano ko To: wanita-muslimah@yahoogroups.com Sent: Wednesday, June 27, 2007 9:11 AM Subject: Re: [wanita-muslimah] Re: Ukhuwah praktis ... atau teoritis alias OMDO? - mudheng Pak Achmad : Betul, Mas Jano ko. Janganlah taati kata-kata saya bila belum mudeng. Kalau menaati sesuatu yang belum dimudengi itu namanya menaati berhala. -- Janoko : Jadi, kalau saya sudah mudheng, berarti saya bisa dan boleh taat kepada pak Achmad, begitu pak ? Wassalam --oo0oo-- Achmad Chodjim [EMAIL PROTECTED] wrote: Betul, Mas Jano ko. Janganlah taati kata-kata saya bila belum mudeng. Kalau menaati sesuatu yang belum dimudengi itu namanya menaati berhala. Makanya di Alquran tak ada satu ayat pun untuk menaati ulama. Bahkan ada kelompok yang memandang ulama-ulama dan rahib-rahibnya sebagai pengganti Tuhan atau telah dijadikan ilah selain Allah. Baca QS 9:31. Karena ulama itu sebagai pelita, bawalah pelita itu untuk menerangi jalan, dan jadikan Alquran dan Sunnah Nabi sebagai peta. jadi, lengkaplah, ada peta jalan ada lampunya. Agar tidak keliru dalam membaca peta, maka mohonlah petunjuk kepada ALLAH dan Rasul-Nya (sebagai wasilah). Wassalam, chodjim - Original Message - From: jano ko To: wanita-muslimah@yahoogroups.com Sent: Tuesday, June 26, 2007 9:59 PM Subject: Re: [wanita-muslimah] Re: Ukhuwah praktis ... atau teoritis alias OMDO? - mudheng Pak Achmad : Lalu, di mana peran ulama? Ulama yang sebenarnya hanyalah pelita
[wanita-muslimah] Re: Ukhuwah praktis ... atau teoritis alias OMDO? - ULAMA
Mas Codjim dan mas Jano, Entah apakah memang analisis Bung Dana soal beda paradigma juga berlaku di sini, tapi izinkan saya menyarankan untuk tidak terbawa emosi (maaf tapi ini terlihat dari penyampaian masing-masing) sehingga membuat tidak fokus dalam membahas. Padahal JUDUL threadnya masih UKHUWAH PRAKTIS lhooo ... ;-] Soal ULAMA. Jujur, setahu saya 'ulama' ini kan dari bhs Arab yang berbentuk jamak sehingga artinya adalah orang-orang pandai atau orang- orang yang mengetahui relatif lebih banyak hal dari rata-rata orang kebanyakan. Kalo hanya satu, jadi 'alim'. Dan kita kenal frase 'alim- ulama' sebagai sebuah kata mejemuk dalam bahasa indonesia. Istilah ilmuwan juga setali tiga uang, yaitu dari kata ilmu+(-wan). ILMU juga dari bahasa Arab yang artinya adalah suatu kumpulan data berdasar pengamatan dan pengalaman yang dapat menjelaskan suatu hal tertentu dalam kehidupan manusia. Maaf ini karangan saya, lagi ga sempat cek ke kamus. Akhiran -wan menunjukkan pelaku atau orang. Jadi membedakan ULAMA dan ILMUWAN saya kira tidak pas krn ULAMA = ILMUWAN. Tapi bisa saja kita sengaja membedakannya agar bisa 'nyambung' dengan konsep yang berasal dari bahasa (=budaya; bahasa itu cerminan budaya) asing spt Inggris. Inggris mengenal istilah scientist, scholar, intellectual, academic dan semacamnya, yang mirip maknanya tapi ada nuansa yang berbeda. Jadi jika ingin mengatakan bahwa ULAMA adalah mereka yang menguasai segala sesuatu tentang ISLAM (krn mungkin agak janggal menyandangkannya buat konteks yang sama di luar ISLAM, yang lebih lazim menggunakan istilah AGAMAWAN) sedangkan ILMUWAN adalah mereka yang menguasai segala sesuatu tentang selain ISLAM, terutama yang tidak menyangkut masalah iman/keyakinan. Dalam konteks ini kita juga punya istilah SARJANA. Nah, izinkan saya untuk melanjutkan bahasan ini dengan bertanya, posisi Rasulullah dan para shahabat, terutama yang sepeninggal Rasul itu dipilih dan menyandang gelar KHALIFAH itu apa ya, ULAMA atau ULIL AMRI? salam, satriyo --- In wanita-muslimah@yahoogroups.com, Dan [EMAIL PROTECTED] wrote: Boleh nimbrung ya, Ternyata pemisahan kekuasaan eksekutif dan yudikatif itu jelas ada dalam Islam, kalau bisa saya tangkap dari penjelasan Bung Chodjim: ulil amri vs ulama. Ulama itu kan ahli fikih biasanya, spt Ibnu Khaldun itu fuquha yg juga qadi. Jadi posisi ulama seharusnya ada dalam lembaga yudikatif. Kalau ada ulama yg bernafsu berkuasa dan otomatis ingin jadi ulil amri juga maka resikonya akan terjadi despotisme. Di Indonesia, karena kita sudah ada UUD maka saya kira sebaiknya MUI itu adalah sebagai dewan pertimbangan utk Mahkamah Agung dan kerjanya ikut mengawasi pengadilan agama, yg peranannya jelas bagaimana agar keputusan pengadilan agama tidak bertentangan dg UUD. Jadi bukan bagian dari kekuasaan eksekutif. Kalau begini jadi lebih jelas porsi porsinya. Tapi lembaga legislatif tetap dipegang oleh DPR, dan kalau ada ulama mau buat UU harus terpilih dulu sbg anggota DPR dan mengajukan RUU sesuai prosedur. Kita tidak lagi dapat menerima fatwa2 yg mengikat secara hukum tapi extra-konstitusional proses dan prosedurnya. --- In wanita-muslimah@yahoogroups.com, Achmad Chodjim chodjim@ wrote: Mas Jano ko, Percuma saja ya saya mengutipkan hadis yang menyebutkan bahwa ulama itu kepercayaan Rasul selama tidak terlibat dalam kekuasaan dan kesenangan duniawi. Baca lagi, Mas. Makanya, peran ulama itu mendidik agar umat tahu halal dan haram dengan benar. Umat yang benar tinggal baca bahan-bahan yang tercantum dalam kemasan. Dan, itu kerjaan ulil amri! Bila dalam bahannya terulis mengandung babi, ya yang Islam tak perlu mengkonsumsinya. Kan begic Kalau ulama sudah terlibat kekuasaan dengan memberi label halal bagi makanan, jadinya rawan korupsi. Jangan dipelintir terus, ya... Siapa yang menjamin proyek label haram itu suci? Mosok see sampeyan tak mencium baunya. Bayangkan saja bagaimana ribuan jenis makanan harus mendapatkan label halal dengan cepat. Untuk menguji kehalalan satu jenis makanan saja, perlu waktu; apalagi puluhan ribu makanan. Bagaimana untuk cepat mendapatkan label haram? hehehe.. Makanya, saya sarankan mas Jano ko banyak tahajud dan mengaji makrifat dengan benar, supaya tidak hanya dapat kulitnya! Wassalam, chodjim - Original Message - From: jano ko To: wanita-muslimah@yahoogroups.com Sent: Wednesday, June 27, 2007 7:15 PM Subject: Re: [wanita-muslimah] Re: Ukhuwah praktis ... atau teoritis alias OMDO? - mudheng Pak Achmad : Lalu, di mana peran ulama? Ulama yang sebenarnya hanyalah pelita. Dengan pelita itu sebenarnya umat bisa menjumpai Rasulullah. Karena ulama itu hanya pelita, maka pro-aktif umatlah yang diperlukan. Tak ada ketaatan buat ulama. --- Janoko : Saya ulang lagi apa yang dikatakan Pak Achmad diatas. Lalu peranan MUI ( Majelis
Re: [wanita-muslimah] Re: Ukhuwah praktis ... atau teoritis alias OMDO? - mudheng
Nuwun sewu, Mas Jano ko supados balik sekolah malih teng SD. Mosok nggak bisa mengerti sebuah paragraf tuturan. Mana ada kalimat dari saya yang memerintah sampiyan taat kepada saya? Wassalam, chodjim - Original Message - From: jano ko To: wanita-muslimah@yahoogroups.com Sent: Wednesday, June 27, 2007 9:11 AM Subject: Re: [wanita-muslimah] Re: Ukhuwah praktis ... atau teoritis alias OMDO? - mudheng Pak Achmad : Betul, Mas Jano ko. Janganlah taati kata-kata saya bila belum mudeng. Kalau menaati sesuatu yang belum dimudengi itu namanya menaati berhala. -- Janoko : Jadi, kalau saya sudah mudheng, berarti saya bisa dan boleh taat kepada pak Achmad, begitu pak ? Wassalam --oo0oo-- Achmad Chodjim [EMAIL PROTECTED] wrote: Betul, Mas Jano ko. Janganlah taati kata-kata saya bila belum mudeng. Kalau menaati sesuatu yang belum dimudengi itu namanya menaati berhala. Makanya di Alquran tak ada satu ayat pun untuk menaati ulama. Bahkan ada kelompok yang memandang ulama-ulama dan rahib-rahibnya sebagai pengganti Tuhan atau telah dijadikan ilah selain Allah. Baca QS 9:31. Karena ulama itu sebagai pelita, bawalah pelita itu untuk menerangi jalan, dan jadikan Alquran dan Sunnah Nabi sebagai peta. jadi, lengkaplah, ada peta jalan ada lampunya. Agar tidak keliru dalam membaca peta, maka mohonlah petunjuk kepada ALLAH dan Rasul-Nya (sebagai wasilah). Wassalam, chodjim - Original Message - From: jano ko To: wanita-muslimah@yahoogroups.com Sent: Tuesday, June 26, 2007 9:59 PM Subject: Re: [wanita-muslimah] Re: Ukhuwah praktis ... atau teoritis alias OMDO? - mudheng Pak Achmad : Lalu, di mana peran ulama? Ulama yang sebenarnya hanyalah pelita. Dengan pelita itu sebenarnya umat bisa menjumpai Rasulullah. Karena ulama itu hanya pelita, maka pro-aktif umatlah yang diperlukan. Tak ada ketaatan buat ulama. -- Janoko : Janoko belum mudeng, apakah Pak Achmad bermaksud mengatakan jangan taati kata-kata Pak Achmad ?, maaf lho, saya betul-betul engga mudheng. Punten-punten and punten. Wassalam --oo0oo-- Achmad Chodjim [EMAIL PROTECTED] wrote: Mas Wikan, Di dalam Alquran dinyatakan bahwa ketaatan itu hanya kepada Allah dan kepada Rasul-Nya. Lalu, ketaatan berikutnya kepada ulil amri --jika dan hanya jika-- ulil amri itu sendiri taat kepada Allah dan taat kepada Rasul-Nya. Pernyataan di atas dituangkan dalam QS 4:59. Sayangnya, taat kepada Allah ini dipelintir menjadi taat kepada Alquran, dan taat kepada Rasul-Nya dipelintir menjadi taat kepada al-Sunnah. Jadi, Allah Yang Maha Hidup itu sudah sejak lama tidak dianggap hidup lagi oleh umat, makanya Allah diturunkan derajatnya hanya sebagai Alquran. Padahal, kalau ditanya tentang rukun iman, ada rukun untuk mengimani Allah dan ada rukun untuk mengimani kitab-kitab-Nya (QS 2:177). Demikian juga ketaatan kepada Rasul Allah, kepada Kanjeng Nabi Muhammad, lha koq diturunkan derajatnya hanya taat kepada al-Sunnah. Kita lupa bahwa Rasul itu tetap hidup (QS 2:154, 3:169-171). Bukankah dalam tasyahud ada ucapan assalaamu 'alayka ayyuhan nabiyyu wa rahmatullahi wa barakaatuh, assalaamu 'alayna wa 'alaa ibadillaahis shaalihiin? Jadi, ucapan salam itu ditujukan kepada yang hidup dan yang disetarakan dengan orang yang mengucapkannya. Alquran itu adalah kitab tempat kita merujuk atau mengambil rujukan, jadi bukan tempat taat. Sedangkan petunjuk yaa harus kita peroleh langsung dari Tuhan, makanya ada ihdinaash shiraathal mustaqiim. Nah, kalau kita ditunjukkan oleh Tuhan, maka kita akan bisa melihat rujukannya, dan kita bisa menemukan ayatnya, lalu kita sambil mengangguk-angguk. oh ini ayatnya. Bukankah hakikat ayat-ayat Alquran itu ada di dalam dada orang-orang yang diberi ilmu? (QS 29:49). Rasulullah yang sudah tidak berbadan fisik ini tetap hidup. Jasad fisik tak mampu lagi menampung Ruh Rasullullah, makanya secara fisikal beliau hanya 63 tahun. Karena tetap hidup itu maka Rasul menjadi saksi dan tetap menerangi (QS 33:45-46). Lha, kalau Muhammad mati secara total (lahir dan batin) yaa beliau tak pernah bisa menjadi saksi, apalagi menerangi. Jadi, hanya yang hidup yang bisa menjadi saksi dan menerangi, sedangkan mayit ya tak bisa apa-apa. Lalu, di mana peran ulama? Ulama yang sebenarnya hanyalah pelita. Dengan pelita itu sebenarnya umat bisa menjumpai Rasulullah. Karena ulama itu hanya pelita, maka pro-aktif umatlah yang diperlukan. Tak ada ketaatan buat ulama. Ini sesuai dengan hadis Nabi yang menyebutkan bahwa tak ada sistem kependetaan dalam Islam. Saya perbesar TAK ADA SISTEM KEPENDETAAN DALAM ISLAM. Jadi, ulama yang mentukan ini dan itu buat umatnya tak dikenal dalam Islam. Yang mentukan ini dan itu dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat adalah ulil amri yang dalam istilah sekarang dapat disamakan dengan
Re: [wanita-muslimah] Re: Ukhuwah praktis ... atau teoritis alias OMDO?
Itu bukan definisi dari Alquran. Dan, kita sedang tidak membicarakan jabatan rangkap. Yang dibicarakan adalah ketaatan kepada ulil amri. Sekarang perhatikan hadis dari Anas ini: Al-'ulamâ'u umanâu al-rusuli mâ lam yukhâlithu al-sulthâna wayudâkhilû al-dunyâ. Terjemahan: Para ulama adalah kepercayaan rasul-rasul selama mereka tidak bercampur gaul dengan sultan (kekuasaan) dan tidak terlibat dalam kesenangan dunia. Oleh karena itu, sepanjang sejarah kebesaran agama Islam, tak ada seorang ulama agung pun yang mau menjadi Ulil-amri. Cobalah belajar sejarah slam lagi, lalu perhatikan imam-imam besar seperti Ja'far ash shadiq, Hanafi, Maliki, Syafii, Hanbali, Bukhari, Muslim, dan lain-lain sebagainya. Mereka bahkan rela dipenjara karena tak mau didudukkan di ulil amri. Perhatikan juga Imam Ghazali, Ibnu Sina, dan yang seangkatan dengannya. Ibnu Sina dipenjara karena menolak diangkat menjadi dokter istana. Siang ini cukup segini dulu, istirahat kerja. Wassalam, chodjim - Original Message - From: jano ko To: wanita-muslimah@yahoogroups.com Sent: Wednesday, June 27, 2007 9:56 AM Subject: Re: [wanita-muslimah] Re: Ukhuwah praktis ... atau teoritis alias OMDO? Pak Achmad : Coba BACA lagi, hanya ulil amri yang taat kepada ALLAH dan Rasul-Nya yang diataati. Sampun mangertos, alias mudheng? -- Janoko : Pertanyaan selanjutnya, boleh tidak pak Ulil Amri yang taat kepada Allah dan RAsul-Nya tersebut merangkap atau menjabat sebagai Ulama ? -- Definisi Ulama = The body of mullahs (Muslim scholars trained in Islam and Islamic law) who are the interpreters of Islam's sciences and doctrines and laws and the chief guarantors of continuity in the spiritual and intellectual history of the Islamic community The learned, knowledgeble people in Islam. Plural form of alim. -- Wassalam --oo0oo-- Achmad Chodjim [EMAIL PROTECTED] wrote: Nuwun sewu, kalau membaca mbok jangan diambil sepotong. Ya saya tidak mengatakan Mas Jano ko nggak nyambung, tapi memang benar-benar nggak nyambung. Di tulisan saya sudah saya sebutkan Lalu, ketaatan berikutnya kepada ulil amri --jika dan hanya jika-- ulil amri itu sendiri taat kepada Allah dan taat kepada Rasul-Nya. Coba BACA lagi, hanya ulil amri yang taat kepada ALLAH dan Rasul-Nya yang diataati. Sampun mangertos, alias mudheng? malem, - Original Message - From: jano ko To: wanita-muslimah@yahoogroups.com Sent: Tuesday, June 26, 2007 10:47 PM Subject: Re: [wanita-muslimah] Re: Ukhuwah praktis ... atau teoritis alias OMDO? Ada berita : Jadi, ulama yang mentukan ini dan itu buat umatnya tak dikenal dalam Islam. Yang mentukan ini dan itu dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat adalah ulil amri yang dalam istilah sekarang dapat disamakan dengan aparat pemerintahan. -- Janoko : Pertanyaan nich, kalau aparat pemerintahnya membunuhin umat Islam piye ? Janoko makin engga mudheng. Malem --oo0oo-- Dan [EMAIL PROTECTED] wrote: Bung Chodjim, Kutipan Anda: Lalu, di mana peran ulama? Ulama yang sebenarnya hanyalah pelita. Dengan pelita tu sebenarnya umat bisa menjumpai Rasulullah. Karena ulama itu hanya pelita, maka pro-aktif umatlah yang diperlukan. Tak ada ketaatan buat ulama. Ini sesuai dengan hadis Nabi yang menyebutkan bahwa tak ada sistem kependetaan dalam Islam. Saya perbesar TAK ADA SISTEM KEPENDETAAN DALAM ISLAM. Jadi, ulama yang mentukan ini dan itu buat umatnya tak dikenal dalam Islam. Yang mentukan ini dan itu dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat adalah ulil amri yang dalam istilah sekarang dapat disamakan dengan aparat pemerintahan. Lha, al-Sunnah itu merupakan rujukan sekonder bila kita tak mendapatkan rujukan. sangat mencerahkan. Saya juga ikut merasakan bahwa banyak umat Islam yg sudah secara salah menyikapi hadits sebagai rujukan primer bukan sekunder lagi seperti yg dimaksudkan. Barangkali salah satu penyebab terjadinya kesemwrawutan hukum dalam dunia Islam. Saya pernah diceritakan pembantu saya bahwa di desa di daerah Cipanas sekarang ada para ulama mengutip fee utk mendoakan biar masuk surga. Hehe ini kan spt jaman gereja Katolik sebelum masa Pencerahan. Ada fungsi pendeta yg mendoakan biar masuk surga, padahal menurut Islam kan tanggung jawab masing2. Dan MUI tidak pernah bersuara apa2 mengenai ini. Mudah2an dakwah Bung Chodjim akan dapat memberi hikmah pada kita semua. dari Alquran.--- In wanita-muslimah@yahoogroups.com, Achmad Chodjim [EMAIL PROTECTED] wrote: Mas Wikan, Di dalam Alquran dinyatakan bahwa ketaatan itu hanya kepada Allah dan kepada Rasul-Nya. Lalu, ketaatan berikutnya kepada ulil amri --jika dan hanya jika-- ulil amri itu sendiri taat kepada Allah dan taat kepada Rasul-Nya. Pernyataan di atas dituangkan dalam QS 4:59
[wanita-muslimah] Re: Ukhuwah praktis ... atau teoritis alias OMDO?
--- In wanita-muslimah@yahoogroups.com, rsa [EMAIL PROTECTED] wrote: Bung Dan, terima kasih tanggapannya. saya berharap tanggapan anda tidak parsial spt ini. maaf tapi ini yang saya lihat. saya menghindari cara menaggapi spt anda saat ini karena tidak semua posting bisa disikapi demikian. saya tidak membatasi hak anda menenanggapi dan cara anda menanggapi, tapi hanya menegaskan bahwa cara anda itu buat postingan saya tidak pas. but, again, with all due respect, you have every right to do what you seem fit. DP: Seperti juga pembahasan dg pak HMNA saya merasa debat kita adalah debat paradigmatis. Kita bertumpu awal pada axioma2 yg berbeda. Jadi memang sukar ketemu. Anda bagi saya termasuk mereka yg yakin bahwa kebenaran absolut adalah yg kebenaran yg perlu dianut dan kebenaran itu hanya datang dari keabsolutan konsep Tuhan. Bagi saya kebenaran itu relatif karena kebenaran itu adalah suatu fungsi yg bekerja pada suatu konteks tertentu. Begitu konteks berubah maka definisi kebenaran itu akan berubah. Tapi akan selalu ada konsistensi logikal dalam konsep kebenaran ini selama bersemayam dan bergerak dalam konteks yg terdefinisi. Pengertian kebenaran disini sangat tergantung pada ketegaran definisi sang konteks. benang merah yang saya lihat dari tanggapan anda adalah anda tidak yakin akan kejayaan islam itu bisa muncul lagi dalam wujud sebuah khilafah islamiyah (kekhalifahan islam) yang menurut anda tidak bisa anda saksikan (sebagai bukti) saat ini. DP: Saya tidak yakin, spt Bung Chodjim, bahwa khilafah islamiyah bisa membawa kesejahteraan lahiriyah dan batiniyah yg saya dambakan. Batiniyah bisa OK tapi lahiriyah akan sangat sukar, karena metoda2nya bagi saya tidak membawa kepada kesejahteraan yg dinginkan berdasarkan konteks masa kini. tanggapan saya: [1] mengapa anda menanyakan kejayaan spt apa yang saya maksud? anda sendiri yang berulang kali dan pertama kali menunjukkan hal itu ketika menyebut sosok monumental IBNU KHALDUN (otomatis juga menjawab sendiri pertanyaan anda itu). atau buat anda dia tidak mencerminkan kejayaan. saya kira yang anda sebut gemilang itu (lihat tanggapan anda paling akhir atas posting saya, di bawah) ya setali tiga uang dengan jaya. **ah, lagi-lagi ko kendala bahasa. sepele tapi tidak remeh, ternyata** tentu saja saya melihat jadi aneh kalo anda menyamakan kejayaan dengan kemenangan, terutama dalam konteks peperangan yang jelas menumpahkan darah (issue ini satu paket dengan stereotip bahwa islam disebarkan dengan pedang ... yang dengan apik menurut saya dibahas/diulas singkat oleh mas Aman FaTha di http://aman.web.id/2005/01/20/benarkah-islam-disebarkan-dengan- pedang/16/ dan di http://aman.web.id/2005/01/20/benarkah-islam- disebarkan-dengan-pedang/16/2/). DP: Dalam sejarah Islam yg panjang tentu ada insiden dan perioda dimana penyebaran agama adalah melalui peperangan. Hampir semua agama memang demikian, karena fungsi agama dalam konteks ini ialah suatu way of life (kaafah/dien?). Motivasi manusianya sebagai motor sejarah akan sangat mudah dideteksi. Nothing wrong with historical facts. Cuma yg dipertanyakan apakah motivasi penyebaran agama (baca pengaruh dan manfaat ekonomi) dg senjata masih dapat dipertahankan sekarang, itu dapat diperdebatkan. [2] apakah anda membatasi (define) 'kejayaan' atau keberhasilan suatu bentuk pemerintahan (bisa 'negara' atau apa saja, karena konsep negara sendiri masih debatable) itu pada survival? Kalo gitu ya tidak ada dalam sejarah manusia ini yang berjaya atau berhasil! Atau bagaimana? DP: Kejayaan bagi saya harus dinilai secara lahiriyah dan batiniyah. Dunia Islam sangat menyedihkan kesejahteraan lahiriyahnya. Oleh karena itu kita semua mencari solusi agar dunia Islam dapat menemukan kembali kejayaan lahiriahnya dg metoda baru karena metoda lama terbukti gagal. Kejayaan batiniyah dapat diperdebatkan karena masuk dalam dunia spiritual. Pengalaman spiritual sangat individu sukar diukur. Kejayaan lahiriah ada parameter2 ukurannya yg jelas. [3] Lalu apa kaitannya ukhuwah dan khilafah? Ukhuwah ada pada sisi hubungan keimanan berdasar pada Qur'an, al-Hujurat ayat 10. Jadi ukhuwah itu ya sec inherent berkonotasi 'islamiyah'. lain halnya jika hanya mengacu pada 'peristilahan' Arab, akan ada juga jenis ukhuwah yang macam2. Lalu, Khilafah itu ada pada sisi keimanan dengan penekanan bahwa individunya, khalifah, yaitu sebuah amanah dari Allah kepada Adam as dan ketuturunannya yang beriman kepada Allah. Coba deh lihat QS [2:30] (Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi. Mereka berkata: Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau? Tuhan berfirman: Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.), QS
Re: [wanita-muslimah] Re: Ukhuwah praktis ... atau teoritis alias OMDO? - mudheng
Pak Achmad : Lalu, di mana peran ulama? Ulama yang sebenarnya hanyalah pelita. Dengan pelita itu sebenarnya umat bisa menjumpai Rasulullah. Karena ulama itu hanya pelita, maka pro-aktif umatlah yang diperlukan. Tak ada ketaatan buat ulama. --- Janoko : Saya ulang lagi apa yang dikatakan Pak Achmad diatas. Lalu peranan MUI ( Majelis Ulama Indonesia ) itu dimana pak ? Ada beberapa produk buatan saya yang mempunyai sertifikat halal yang dikeluarkan oleh MUI, lalu njok kepiye legalitas sertifikat halal dari produk saya kalau apa yang dikatakan pak Achmad itu.. ? Masih engga mudheng Wassalam --oo0oo-- Achmad Chodjim [EMAIL PROTECTED] wrote: Nuwun sewu, Mas Jano ko supados balik sekolah malih teng SD. Mosok nggak bisa mengerti sebuah paragraf tuturan. Mana ada kalimat dari saya yang memerintah sampiyan taat kepada saya? Wassalam, chodjim - Original Message - From: jano ko To: wanita-muslimah@yahoogroups.com Sent: Wednesday, June 27, 2007 9:11 AM Subject: Re: [wanita-muslimah] Re: Ukhuwah praktis ... atau teoritis alias OMDO? - mudheng Pak Achmad : Betul, Mas Jano ko. Janganlah taati kata-kata saya bila belum mudeng. Kalau menaati sesuatu yang belum dimudengi itu namanya menaati berhala. -- Janoko : Jadi, kalau saya sudah mudheng, berarti saya bisa dan boleh taat kepada pak Achmad, begitu pak ? Wassalam --oo0oo-- Achmad Chodjim [EMAIL PROTECTED] wrote: Betul, Mas Jano ko. Janganlah taati kata-kata saya bila belum mudeng. Kalau menaati sesuatu yang belum dimudengi itu namanya menaati berhala. Makanya di Alquran tak ada satu ayat pun untuk menaati ulama. Bahkan ada kelompok yang memandang ulama-ulama dan rahib-rahibnya sebagai pengganti Tuhan atau telah dijadikan ilah selain Allah. Baca QS 9:31. Karena ulama itu sebagai pelita, bawalah pelita itu untuk menerangi jalan, dan jadikan Alquran dan Sunnah Nabi sebagai peta. jadi, lengkaplah, ada peta jalan ada lampunya. Agar tidak keliru dalam membaca peta, maka mohonlah petunjuk kepada ALLAH dan Rasul-Nya (sebagai wasilah). Wassalam, chodjim - Original Message - From: jano ko To: wanita-muslimah@yahoogroups.com Sent: Tuesday, June 26, 2007 9:59 PM Subject: Re: [wanita-muslimah] Re: Ukhuwah praktis ... atau teoritis alias OMDO? - mudheng Pak Achmad : Lalu, di mana peran ulama? Ulama yang sebenarnya hanyalah pelita. Dengan pelita itu sebenarnya umat bisa menjumpai Rasulullah. Karena ulama itu hanya pelita, maka pro-aktif umatlah yang diperlukan. Tak ada ketaatan buat ulama. -- Janoko : Janoko belum mudeng, apakah Pak Achmad bermaksud mengatakan jangan taati kata-kata Pak Achmad ?, maaf lho, saya betul-betul engga mudheng. Punten-punten and punten. Wassalam --oo0oo-- Achmad Chodjim [EMAIL PROTECTED] wrote: Mas Wikan, Di dalam Alquran dinyatakan bahwa ketaatan itu hanya kepada Allah dan kepada Rasul-Nya. Lalu, ketaatan berikutnya kepada ulil amri --jika dan hanya jika-- ulil amri itu sendiri taat kepada Allah dan taat kepada Rasul-Nya. Pernyataan di atas dituangkan dalam QS 4:59. Sayangnya, taat kepada Allah ini dipelintir menjadi taat kepada Alquran, dan taat kepada Rasul-Nya dipelintir menjadi taat kepada al-Sunnah. Jadi, Allah Yang Maha Hidup itu sudah sejak lama tidak dianggap hidup lagi oleh umat, makanya Allah diturunkan derajatnya hanya sebagai Alquran. Padahal, kalau ditanya tentang rukun iman, ada rukun untuk mengimani Allah dan ada rukun untuk mengimani kitab-kitab-Nya (QS 2:177). Demikian juga ketaatan kepada Rasul Allah, kepada Kanjeng Nabi Muhammad, lha koq diturunkan derajatnya hanya taat kepada al-Sunnah. Kita lupa bahwa Rasul itu tetap hidup (QS 2:154, 3:169-171). Bukankah dalam tasyahud ada ucapan assalaamu 'alayka ayyuhan nabiyyu wa rahmatullahi wa barakaatuh, assalaamu 'alayna wa 'alaa ibadillaahis shaalihiin? Jadi, ucapan salam itu ditujukan kepada yang hidup dan yang disetarakan dengan orang yang mengucapkannya. Alquran itu adalah kitab tempat kita merujuk atau mengambil rujukan, jadi bukan tempat taat. Sedangkan petunjuk yaa harus kita peroleh langsung dari Tuhan, makanya ada ihdinaash shiraathal mustaqiim. Nah, kalau kita ditunjukkan oleh Tuhan, maka kita akan bisa melihat rujukannya, dan kita bisa menemukan ayatnya, lalu kita sambil mengangguk-angguk. oh ini ayatnya. Bukankah hakikat ayat-ayat Alquran itu ada di dalam dada orang-orang yang diberi ilmu? (QS 29:49). Rasulullah yang sudah tidak berbadan fisik ini tetap hidup. Jasad fisik tak mampu lagi menampung Ruh Rasullullah, makanya secara fisikal beliau hanya 63 tahun. Karena tetap hidup itu maka Rasul menjadi saksi dan tetap menerangi (QS 33:45-46). Lha, kalau Muhammad mati secara total (lahir dan batin) yaa beliau tak pernah bisa menjadi saksi, apalagi menerangi. Jadi, hanya yang hidup yang bisa menjadi saksi dan menerangi
Re: [wanita-muslimah] Re: Ukhuwah praktis ... atau teoritis alias OMDO? - filsafat
Mas Dana : DP: Saya tidak yakin, spt Bung Chodjim, bahwa khilafah islamiyah bisa membawa kesejahteraan lahiriyah dan batiniyah yg saya dambakan. Batiniyah bisa OK tapi lahiriyah akan sangat sukar, karena metoda2nya bagi saya tidak membawa kepada kesejahteraan yg dinginkan berdasarkan konteks masa kini. --- Janoko : Saya hanya akan mengatakanjangan tersungging ya mas,.Kasihan, mas dana ini tinggal di Eropa, tapi dari apa yang anda kemukanan itu jelas menunjukkan bahwa anda belum membaca filsafat bangsa Eropa dan Amerika yang mendasari cara hidup mereka yang membuat mereka maju. Salah satu filsafat yang dianut bangsa Eropa adalah Existentialism. Salah satu tokoh dari Existentialism adalah Jean-Paul Sartre Nah Pak Jean Paul Sartre ini mengatakan begini : In addition to Judaism, Sartre expressed interest in Islam, writing I have no religion, but if I were to choose one, it would be that of Shariati's. Ali Shariati was a Shiite Muslim. Dan perlu anda ketahui bahwa Pak Ali Shariati ini terpengaruh pemikiran-pemikiran dari Moulana Rumi dan Muhammad Iqbal. (Shariati was also deeply influenced by Moulana Rumi and Muhammad Iqbal.) Kesimpulannya, kemajuan science / sains dan filsafat dari Bangsa Eropa itu sangat dipengaruhi oleh Islam. Nah mangkanya, sebaiknya mas Dana dan janoko banyak membaca sejarah, supaya tidak ignorance dan misconception. Gitu dulu. Pagi. PS Saya heran dengan salah satu tokoh liberal Indonesia yang teriak-teriak tentang filsafat exsistentialism, dia tidak menyadari dan tidak tahu bahwa tokoh existentialism yang digembar-gemborkan itu sangat terpengaruh ajaran Islam. Salam --oo0oo-- Dan [EMAIL PROTECTED] wrote: --- In wanita-muslimah@yahoogroups.com, rsa [EMAIL PROTECTED] wrote: Bung Dan, terima kasih tanggapannya. saya berharap tanggapan anda tidak parsial spt ini. maaf tapi ini yang saya lihat. saya menghindari cara menaggapi spt anda saat ini karena tidak semua posting bisa disikapi demikian. saya tidak membatasi hak anda menenanggapi dan cara anda menanggapi, tapi hanya menegaskan bahwa cara anda itu buat postingan saya tidak pas. but, again, with all due respect, you have every right to do what you seem fit. DP: Seperti juga pembahasan dg pak HMNA saya merasa debat kita adalah debat paradigmatis. Kita bertumpu awal pada axioma2 yg berbeda. Jadi memang sukar ketemu. Anda bagi saya termasuk mereka yg yakin bahwa kebenaran absolut adalah yg kebenaran yg perlu dianut dan kebenaran itu hanya datang dari keabsolutan konsep Tuhan. Bagi saya kebenaran itu relatif karena kebenaran itu adalah suatu fungsi yg bekerja pada suatu konteks tertentu. Begitu konteks berubah maka definisi kebenaran itu akan berubah. Tapi akan selalu ada konsistensi logikal dalam konsep kebenaran ini selama bersemayam dan bergerak dalam konteks yg terdefinisi. Pengertian kebenaran disini sangat tergantung pada ketegaran definisi sang konteks. benang merah yang saya lihat dari tanggapan anda adalah anda tidak yakin akan kejayaan islam itu bisa muncul lagi dalam wujud sebuah khilafah islamiyah (kekhalifahan islam) yang menurut anda tidak bisa anda saksikan (sebagai bukti) saat ini. DP: Saya tidak yakin, spt Bung Chodjim, bahwa khilafah islamiyah bisa membawa kesejahteraan lahiriyah dan batiniyah yg saya dambakan. Batiniyah bisa OK tapi lahiriyah akan sangat sukar, karena metoda2nya bagi saya tidak membawa kepada kesejahteraan yg dinginkan berdasarkan konteks masa kini. tanggapan saya: [1] mengapa anda menanyakan kejayaan spt apa yang saya maksud? anda sendiri yang berulang kali dan pertama kali menunjukkan hal itu ketika menyebut sosok monumental IBNU KHALDUN (otomatis juga menjawab sendiri pertanyaan anda itu). atau buat anda dia tidak mencerminkan kejayaan. saya kira yang anda sebut gemilang itu (lihat tanggapan anda paling akhir atas posting saya, di bawah) ya setali tiga uang dengan jaya. **ah, lagi-lagi ko kendala bahasa. sepele tapi tidak remeh, ternyata** tentu saja saya melihat jadi aneh kalo anda menyamakan kejayaan dengan kemenangan, terutama dalam konteks peperangan yang jelas menumpahkan darah (issue ini satu paket dengan stereotip bahwa islam disebarkan dengan pedang ... yang dengan apik menurut saya dibahas/diulas singkat oleh mas Aman FaTha di http://aman.web.id/2005/01/20/benarkah-islam-disebarkan-dengan- pedang/16/ dan di http://aman.web.id/2005/01/20/benarkah-islam- disebarkan-dengan-pedang/16/2/). DP: Dalam sejarah Islam yg panjang tentu ada insiden dan perioda dimana penyebaran agama adalah melalui peperangan. Hampir semua agama memang demikian, karena fungsi agama dalam konteks ini ialah suatu way of life (kaafah/dien?). Motivasi manusianya sebagai motor sejarah akan sangat mudah dideteksi. Nothing wrong with historical facts. Cuma yg dipertanyakan apakah motivasi
[wanita-muslimah] Re: Ukhuwah praktis ... atau teoritis alias OMDO? - filsafat
Dalam ilmu pengetahuan dan wisdom manusia banyak saling pengaruh. Tapi pengaruh saja tidak identik dg formula keberhasilan. Seperti juga pengalaman Anda sendiri, kan banyak rekan2 sekelas satu alumni yg tidak sesukses Anda tapi juga ada yg lebih sukses dari Anda. Semuanya satu almuni. Bagaimana Anda menjelaskannya? Semua tergantung usaha dan upaya kan? Begitu juga keberhasilan Uni Eropa misalnya jelas ada sumbangan pemikiran2 Islam, tetapi Uni Eropa tidak secara explisit dinyatakan sebagai khilafah islamiyah, tidak secara explisit menggunakan Al-Qur'an sebagai landasannya. Uni Eropa jelas berdasarkan konsep2 HAM. Jangan berusaha nebeng kebanggaan atas upaya orang lain, malu dong ... --- In wanita-muslimah@yahoogroups.com, jano ko [EMAIL PROTECTED] wrote: Mas Dana : DP: Saya tidak yakin, spt Bung Chodjim, bahwa khilafah islamiyah bisa membawa kesejahteraan lahiriyah dan batiniyah yg saya dambakan. Batiniyah bisa OK tapi lahiriyah akan sangat sukar, karena metoda2nya bagi saya tidak membawa kepada kesejahteraan yg dinginkan berdasarkan konteks masa kini. --- Janoko : Saya hanya akan mengatakanjangan tersungging ya mas,.Kasihan, mas dana ini tinggal di Eropa, tapi dari apa yang anda kemukanan itu jelas menunjukkan bahwa anda belum membaca filsafat bangsa Eropa dan Amerika yang mendasari cara hidup mereka yang membuat mereka maju. Salah satu filsafat yang dianut bangsa Eropa adalah Existentialism. Salah satu tokoh dari Existentialism adalah Jean-Paul Sartre Nah Pak Jean Paul Sartre ini mengatakan begini : In addition to Judaism, Sartre expressed interest in Islam, writing I have no religion, but if I were to choose one, it would be that of Shariati's. Ali Shariati was a Shiite Muslim. Dan perlu anda ketahui bahwa Pak Ali Shariati ini terpengaruh pemikiran-pemikiran dari Moulana Rumi dan Muhammad Iqbal. (Shariati was also deeply influenced by Moulana Rumi and Muhammad Iqbal.) Kesimpulannya, kemajuan science / sains dan filsafat dari Bangsa Eropa itu sangat dipengaruhi oleh Islam. Nah mangkanya, sebaiknya mas Dana dan janoko banyak membaca sejarah, supaya tidak ignorance dan misconception. Gitu dulu. Pagi. PS Saya heran dengan salah satu tokoh liberal Indonesia yang teriak-teriak tentang filsafat exsistentialism, dia tidak menyadari dan tidak tahu bahwa tokoh existentialism yang digembar-gemborkan itu sangat terpengaruh ajaran Islam. Salam --oo0oo-- Dan [EMAIL PROTECTED] wrote: --- In wanita-muslimah@yahoogroups.com, rsa efikoe@ wrote: Bung Dan, terima kasih tanggapannya. saya berharap tanggapan anda tidak parsial spt ini. maaf tapi ini yang saya lihat. saya menghindari cara menaggapi spt anda saat ini karena tidak semua posting bisa disikapi demikian. saya tidak membatasi hak anda menenanggapi dan cara anda menanggapi, tapi hanya menegaskan bahwa cara anda itu buat postingan saya tidak pas. but, again, with all due respect, you have every right to do what you seem fit. DP: Seperti juga pembahasan dg pak HMNA saya merasa debat kita adalah debat paradigmatis. Kita bertumpu awal pada axioma2 yg berbeda. Jadi memang sukar ketemu. Anda bagi saya termasuk mereka yg yakin bahwa kebenaran absolut adalah yg kebenaran yg perlu dianut dan kebenaran itu hanya datang dari keabsolutan konsep Tuhan. Bagi saya kebenaran itu relatif karena kebenaran itu adalah suatu fungsi yg bekerja pada suatu konteks tertentu. Begitu konteks berubah maka definisi kebenaran itu akan berubah. Tapi akan selalu ada konsistensi logikal dalam konsep kebenaran ini selama bersemayam dan bergerak dalam konteks yg terdefinisi. Pengertian kebenaran disini sangat tergantung pada ketegaran definisi sang konteks. benang merah yang saya lihat dari tanggapan anda adalah anda tidak yakin akan kejayaan islam itu bisa muncul lagi dalam wujud sebuah khilafah islamiyah (kekhalifahan islam) yang menurut anda tidak bisa anda saksikan (sebagai bukti) saat ini. DP: Saya tidak yakin, spt Bung Chodjim, bahwa khilafah islamiyah bisa membawa kesejahteraan lahiriyah dan batiniyah yg saya dambakan. Batiniyah bisa OK tapi lahiriyah akan sangat sukar, karena metoda2nya bagi saya tidak membawa kepada kesejahteraan yg dinginkan berdasarkan konteks masa kini. tanggapan saya: [1] mengapa anda menanyakan kejayaan spt apa yang saya maksud? anda sendiri yang berulang kali dan pertama kali menunjukkan hal itu ketika menyebut sosok monumental IBNU KHALDUN (otomatis juga menjawab sendiri pertanyaan anda itu). atau buat anda dia tidak mencerminkan kejayaan. saya kira yang anda sebut gemilang itu (lihat tanggapan anda paling akhir atas posting saya, di bawah) ya setali tiga uang dengan jaya. **ah, lagi-lagi ko kendala bahasa. sepele tapi tidak remeh, ternyata** tentu saja saya melihat jadi
Re: [wanita-muslimah] Re: Ukhuwah praktis ... atau teoritis alias OMDO? - mudheng
Mas Jano ko, Percuma saja ya saya mengutipkan hadis yang menyebutkan bahwa ulama itu kepercayaan Rasul selama tidak terlibat dalam kekuasaan dan kesenangan duniawi. Baca lagi, Mas. Makanya, peran ulama itu mendidik agar umat tahu halal dan haram dengan benar. Umat yang benar tinggal baca bahan-bahan yang tercantum dalam kemasan. Dan, itu kerjaan ulil amri! Bila dalam bahannya terulis mengandung babi, ya yang Islam tak perlu mengkonsumsinya. Kan begic Kalau ulama sudah terlibat kekuasaan dengan memberi label halal bagi makanan, jadinya rawan korupsi. Jangan dipelintir terus, ya... Siapa yang menjamin proyek label haram itu suci? Mosok see sampeyan tak mencium baunya. Bayangkan saja bagaimana ribuan jenis makanan harus mendapatkan label halal dengan cepat. Untuk menguji kehalalan satu jenis makanan saja, perlu waktu; apalagi puluhan ribu makanan. Bagaimana untuk cepat mendapatkan label haram? hehehe.. Makanya, saya sarankan mas Jano ko banyak tahajud dan mengaji makrifat dengan benar, supaya tidak hanya dapat kulitnya! Wassalam, chodjim - Original Message - From: jano ko To: wanita-muslimah@yahoogroups.com Sent: Wednesday, June 27, 2007 7:15 PM Subject: Re: [wanita-muslimah] Re: Ukhuwah praktis ... atau teoritis alias OMDO? - mudheng Pak Achmad : Lalu, di mana peran ulama? Ulama yang sebenarnya hanyalah pelita. Dengan pelita itu sebenarnya umat bisa menjumpai Rasulullah. Karena ulama itu hanya pelita, maka pro-aktif umatlah yang diperlukan. Tak ada ketaatan buat ulama. --- Janoko : Saya ulang lagi apa yang dikatakan Pak Achmad diatas. Lalu peranan MUI ( Majelis Ulama Indonesia ) itu dimana pak ? Ada beberapa produk buatan saya yang mempunyai sertifikat halal yang dikeluarkan oleh MUI, lalu njok kepiye legalitas sertifikat halal dari produk saya kalau apa yang dikatakan pak Achmad itu.. ? Masih engga mudheng Wassalam --oo0oo-- Achmad Chodjim [EMAIL PROTECTED] wrote: Nuwun sewu, Mas Jano ko supados balik sekolah malih teng SD. Mosok nggak bisa mengerti sebuah paragraf tuturan. Mana ada kalimat dari saya yang memerintah sampiyan taat kepada saya? Wassalam, chodjim - Original Message - From: jano ko To: wanita-muslimah@yahoogroups.com Sent: Wednesday, June 27, 2007 9:11 AM Subject: Re: [wanita-muslimah] Re: Ukhuwah praktis ... atau teoritis alias OMDO? - mudheng Pak Achmad : Betul, Mas Jano ko. Janganlah taati kata-kata saya bila belum mudeng. Kalau menaati sesuatu yang belum dimudengi itu namanya menaati berhala. -- Janoko : Jadi, kalau saya sudah mudheng, berarti saya bisa dan boleh taat kepada pak Achmad, begitu pak ? Wassalam --oo0oo-- Achmad Chodjim [EMAIL PROTECTED] wrote: Betul, Mas Jano ko. Janganlah taati kata-kata saya bila belum mudeng. Kalau menaati sesuatu yang belum dimudengi itu namanya menaati berhala. Makanya di Alquran tak ada satu ayat pun untuk menaati ulama. Bahkan ada kelompok yang memandang ulama-ulama dan rahib-rahibnya sebagai pengganti Tuhan atau telah dijadikan ilah selain Allah. Baca QS 9:31. Karena ulama itu sebagai pelita, bawalah pelita itu untuk menerangi jalan, dan jadikan Alquran dan Sunnah Nabi sebagai peta. jadi, lengkaplah, ada peta jalan ada lampunya. Agar tidak keliru dalam membaca peta, maka mohonlah petunjuk kepada ALLAH dan Rasul-Nya (sebagai wasilah). Wassalam, chodjim - Original Message - From: jano ko To: wanita-muslimah@yahoogroups.com Sent: Tuesday, June 26, 2007 9:59 PM Subject: Re: [wanita-muslimah] Re: Ukhuwah praktis ... atau teoritis alias OMDO? - mudheng Pak Achmad : Lalu, di mana peran ulama? Ulama yang sebenarnya hanyalah pelita. Dengan pelita itu sebenarnya umat bisa menjumpai Rasulullah. Karena ulama itu hanya pelita, maka pro-aktif umatlah yang diperlukan. Tak ada ketaatan buat ulama. -- Janoko : Janoko belum mudeng, apakah Pak Achmad bermaksud mengatakan jangan taati kata-kata Pak Achmad ?, maaf lho, saya betul-betul engga mudheng. Punten-punten and punten. Wassalam --oo0oo-- Achmad Chodjim [EMAIL PROTECTED] wrote: Mas Wikan, Di dalam Alquran dinyatakan bahwa ketaatan itu hanya kepada Allah dan kepada Rasul-Nya. Lalu, ketaatan berikutnya kepada ulil amri --jika dan hanya jika-- ulil amri itu sendiri taat kepada Allah dan taat kepada Rasul-Nya. Pernyataan di atas dituangkan dalam QS 4:59. Sayangnya, taat kepada Allah ini dipelintir menjadi taat kepada Alquran, dan taat kepada Rasul-Nya dipelintir menjadi taat kepada al-Sunnah. Jadi, Allah Yang Maha Hidup itu sudah sejak lama tidak dianggap hidup lagi oleh umat, makanya Allah diturunkan derajatnya hanya sebagai Alquran. Padahal, kalau ditanya tentang rukun iman, ada rukun untuk mengimani Allah dan ada rukun untuk mengimani kitab-kitab-Nya (QS 2:177
[wanita-muslimah] Re: Ukhuwah praktis ... atau teoritis alias OMDO? - LABEL HARAM
Mas Chodjim, Khusus soal labelisasi HALAL a la MUI, saya sejak lama merasa aneh karena kan yang halal itu justru sangat banyak daripada yang halal. Mengapa tidak mempermudah semua pihak saja dengan cara labelisasi HARAM. Ini sangat cost-effective dan tidak menimbulkan bau yang aneh kan, mas? Entah juga alasan formal MUI untuk tdk menerbitkan sertifikasi HARAM. Kalo salah satu alasannya krn Dewan Pengawas Dunia untuk sertifikasi halal, wah jelas nda pas kan dewan itu sebenarnya lebih ke mengawasi tempat yang penduduknya minoritas muslim, spt Amerika dan Eropah. Buat yang jelas mayoritas muslim spt Indonesia yang cocok ya label HARAM daripada HALAL. salam, satriyo --- In wanita-muslimah@yahoogroups.com, Achmad Chodjim [EMAIL PROTECTED] wrote: Mas Jano ko, Percuma saja ya saya mengutipkan hadis yang menyebutkan bahwa ulama itu kepercayaan Rasul selama tidak terlibat dalam kekuasaan dan kesenangan duniawi. Baca lagi, Mas. Makanya, peran ulama itu mendidik agar umat tahu halal dan haram dengan benar. Umat yang benar tinggal baca bahan-bahan yang tercantum dalam kemasan. Dan, itu kerjaan ulil amri! Bila dalam bahannya terulis mengandung babi, ya yang Islam tak perlu mengkonsumsinya. Kan begic Kalau ulama sudah terlibat kekuasaan dengan memberi label halal bagi makanan, jadinya rawan korupsi. Jangan dipelintir terus, ya... Siapa yang menjamin proyek label haram itu suci? Mosok see sampeyan tak mencium baunya. Bayangkan saja bagaimana ribuan jenis makanan harus mendapatkan label halal dengan cepat. Untuk menguji kehalalan satu jenis makanan saja, perlu waktu; apalagi puluhan ribu makanan. Bagaimana untuk cepat mendapatkan label haram? hehehe.. Makanya, saya sarankan mas Jano ko banyak tahajud dan mengaji makrifat dengan benar, supaya tidak hanya dapat kulitnya! Wassalam, chodjim - Original Message - From: jano ko To: wanita-muslimah@yahoogroups.com Sent: Wednesday, June 27, 2007 7:15 PM Subject: Re: [wanita-muslimah] Re: Ukhuwah praktis ... atau teoritis alias OMDO? - mudheng Pak Achmad : Lalu, di mana peran ulama? Ulama yang sebenarnya hanyalah pelita. Dengan pelita itu sebenarnya umat bisa menjumpai Rasulullah. Karena ulama itu hanya pelita, maka pro-aktif umatlah yang diperlukan. Tak ada ketaatan buat ulama. --- Janoko : Saya ulang lagi apa yang dikatakan Pak Achmad diatas. Lalu peranan MUI ( Majelis Ulama Indonesia ) itu dimana pak ? Ada beberapa produk buatan saya yang mempunyai sertifikat halal yang dikeluarkan oleh MUI, lalu njok kepiye legalitas sertifikat halal dari produk saya kalau apa yang dikatakan pak Achmad itu.. ? Masih engga mudheng Wassalam --oo0oo-- Achmad Chodjim [EMAIL PROTECTED] wrote: Nuwun sewu, Mas Jano ko supados balik sekolah malih teng SD. Mosok nggak bisa mengerti sebuah paragraf tuturan. Mana ada kalimat dari saya yang memerintah sampiyan taat kepada saya? Wassalam, chodjim - Original Message - From: jano ko To: wanita-muslimah@yahoogroups.com Sent: Wednesday, June 27, 2007 9:11 AM Subject: Re: [wanita-muslimah] Re: Ukhuwah praktis ... atau teoritis alias OMDO? - mudheng Pak Achmad : Betul, Mas Jano ko. Janganlah taati kata-kata saya bila belum mudeng. Kalau menaati sesuatu yang belum dimudengi itu namanya menaati berhala. -- Janoko : Jadi, kalau saya sudah mudheng, berarti saya bisa dan boleh taat kepada pak Achmad, begitu pak ? Wassalam --oo0oo-- Achmad Chodjim [EMAIL PROTECTED] wrote: Betul, Mas Jano ko. Janganlah taati kata-kata saya bila belum mudeng. Kalau menaati sesuatu yang belum dimudengi itu namanya menaati berhala. Makanya di Alquran tak ada satu ayat pun untuk menaati ulama. Bahkan ada kelompok yang memandang ulama-ulama dan rahib-rahibnya sebagai pengganti Tuhan atau telah dijadikan ilah selain Allah. Baca QS 9:31. Karena ulama itu sebagai pelita, bawalah pelita itu untuk menerangi jalan, dan jadikan Alquran dan Sunnah Nabi sebagai peta. jadi, lengkaplah, ada peta jalan ada lampunya. Agar tidak keliru dalam membaca peta, maka mohonlah petunjuk kepada ALLAH dan Rasul-Nya (sebagai wasilah). Wassalam, chodjim - Original Message - From: jano ko To: wanita-muslimah@yahoogroups.com Sent: Tuesday, June 26, 2007 9:59 PM Subject: Re: [wanita-muslimah] Re: Ukhuwah praktis ... atau teoritis alias OMDO? - mudheng Pak Achmad : Lalu, di mana peran ulama? Ulama yang sebenarnya hanyalah pelita. Dengan pelita itu sebenarnya umat bisa menjumpai Rasulullah. Karena ulama itu hanya pelita, maka pro-aktif umatlah yang diperlukan. Tak ada ketaatan buat ulama. -- Janoko : Janoko belum mudeng, apakah Pak Achmad bermaksud mengatakan jangan taati kata-kata Pak
Re: [wanita-muslimah] Re: Ukhuwah praktis ... atau teoritis alias OMDO?
menurut saya, soal politik kenegaraan, islam tidak mengharuskan pake hukum tertentu, tapi menggunakan yang umum berlaku saat itu jaman Nabi, pemimpin (khalifah) dipilih secara kesukuan berdasar kharisma dan pengaruh dan ini berlanjut sampai khalifah yang empat pada khalifah yang empat, tidak ada yang seragam soal bagaimana cara pemilihan khalifah, ada yang dipilih, ada yang ditunjuk ... setelah jaman khalifah ummayah, kepemimpinan berdasar keturunan. ini sama dengan sistem kerajaan di mana2. jadi, kalau banyak negara islam yang sekarang mengadopsi sistem republik dan demokrasi menurut saya gak masalah, buktinya banyak partai islam yang bertebaran di mana2 ini kan membuktikan bahwa banyak juga orang islam yang berpandangan bahwa demokrasi itu tidak haram, meskipun mungkin ada yang mengharamkan demokrasi dan menganggap bahwa itu barang dari luar islam. salam, -- wikan http://wikan.multiply.com On 6/26/07, rsa [EMAIL PROTECTED] wrote: Jadi ada kerancuan referensi dan lini berpikir di sini. Mencomot ide non-islam (di luar tradisi islam) lalu dipaksakan untuk masuk ke tradisi islam. Contohnya, seputar hukum, negara, dan HAM. Di islam hal-hal itu pasti ada, tapi ketika kita ambil itu dari tradisi non- islam dan kita paksakan untuk bisa masuk ke tradisi islam, saya kira itu PEMAKSAAN yang jelas. Jadi, hingga tataran pemikiran pun, topik atau terma yang sangat banyak muncul dan ditujukan Allah kepada muslim, jelas islam punya tradisi yang khas. Dan ini yang Bung harapkan kan?
[wanita-muslimah] Re: Ukhuwah praktis ... atau teoritis alias OMDO?
silakan saja kalo menurut wikan demikian. semoga itu bermanfaat bagi wikan. satu hal dari pernyataan pribadi wikan yang ingin saya tanggapi untuk minta penjelasannya, tolong tunjukan bahwa memang demokrasi itu dari islam, atau setidaknya spt wikan klaim spt terbaca pada tulisan wikan ini, ... menganggap bahwa itu barang dari luar islam.. yang jelas kalo syura atau musyawarah itu memang dari islam kan? atau malah dari luar islam? salam, satriyo --- In wanita-muslimah@yahoogroups.com, Wikan Danar Sunindyo [EMAIL PROTECTED] wrote: menurut saya, soal politik kenegaraan, islam tidak mengharuskan pake hukum tertentu, tapi menggunakan yang umum berlaku saat itu jaman Nabi, pemimpin (khalifah) dipilih secara kesukuan berdasar kharisma dan pengaruh dan ini berlanjut sampai khalifah yang empat pada khalifah yang empat, tidak ada yang seragam soal bagaimana cara pemilihan khalifah, ada yang dipilih, ada yang ditunjuk ... setelah jaman khalifah ummayah, kepemimpinan berdasar keturunan. ini sama dengan sistem kerajaan di mana2. jadi, kalau banyak negara islam yang sekarang mengadopsi sistem republik dan demokrasi menurut saya gak masalah, buktinya banyak partai islam yang bertebaran di mana2 ini kan membuktikan bahwa banyak juga orang islam yang berpandangan bahwa demokrasi itu tidak haram, meskipun mungkin ada yang mengharamkan demokrasi dan menganggap bahwa itu barang dari luar islam. salam, -- wikan http://wikan.multiply.com On 6/26/07, rsa [EMAIL PROTECTED] wrote: Jadi ada kerancuan referensi dan lini berpikir di sini. Mencomot ide non-islam (di luar tradisi islam) lalu dipaksakan untuk masuk ke tradisi islam. Contohnya, seputar hukum, negara, dan HAM. Di islam hal-hal itu pasti ada, tapi ketika kita ambil itu dari tradisi non- islam dan kita paksakan untuk bisa masuk ke tradisi islam, saya kira itu PEMAKSAAN yang jelas. Jadi, hingga tataran pemikiran pun, topik atau terma yang sangat banyak muncul dan ditujukan Allah kepada muslim, jelas islam punya tradisi yang khas. Dan ini yang Bung harapkan kan?
[wanita-muslimah] Re: Ukhuwah praktis ... atau teoritis alias OMDO?
Sebagian besar kalau bukan 100% masyarakat Indonesia itu sudah lama menjalankan demokrasi. Pancasila kan bilang 'musyawarah yang...' Bilang sajalah demokrasi itu musyawarah, atau sebaliknya. Parlemen bukannya semacam syuro? Jadi Wikan mewakili pendapat kebanyakan orang Indonesia (Muslim) dalam hal ini. Termasuk Aceh, Sumbar, yang kental syariat Islamnya menerima konsep musyawarah (demokrasi) dan syuro (parlemen) yang sekarang. Setahu saya cuma HTI yang menolak musyawarah (demokrasi) dan syuro (parlemen). PKS dll menerima, buktinya mereka ikut parlemen. salam Mia --- In wanita-muslimah@yahoogroups.com, rsa [EMAIL PROTECTED] wrote: silakan saja kalo menurut wikan demikian. semoga itu bermanfaat bagi wikan. satu hal dari pernyataan pribadi wikan yang ingin saya tanggapi untuk minta penjelasannya, tolong tunjukan bahwa memang demokrasi itu dari islam, atau setidaknya spt wikan klaim spt terbaca pada tulisan wikan ini, ... menganggap bahwa itu barang dari luar islam.. yang jelas kalo syura atau musyawarah itu memang dari islam kan? atau malah dari luar islam? salam, satriyo --- In wanita-muslimah@yahoogroups.com, Wikan Danar Sunindyo wikan.danar@ wrote: menurut saya, soal politik kenegaraan, islam tidak mengharuskan pake hukum tertentu, tapi menggunakan yang umum berlaku saat itu jaman Nabi, pemimpin (khalifah) dipilih secara kesukuan berdasar kharisma dan pengaruh dan ini berlanjut sampai khalifah yang empat pada khalifah yang empat, tidak ada yang seragam soal bagaimana cara pemilihan khalifah, ada yang dipilih, ada yang ditunjuk ... setelah jaman khalifah ummayah, kepemimpinan berdasar keturunan. ini sama dengan sistem kerajaan di mana2. jadi, kalau banyak negara islam yang sekarang mengadopsi sistem republik dan demokrasi menurut saya gak masalah, buktinya banyak partai islam yang bertebaran di mana2 ini kan membuktikan bahwa banyak juga orang islam yang berpandangan bahwa demokrasi itu tidak haram, meskipun mungkin ada yang mengharamkan demokrasi dan menganggap bahwa itu barang dari luar islam. salam, -- wikan http://wikan.multiply.com On 6/26/07, rsa efikoe@ wrote: Jadi ada kerancuan referensi dan lini berpikir di sini. Mencomot ide non-islam (di luar tradisi islam) lalu dipaksakan untuk masuk ke tradisi islam. Contohnya, seputar hukum, negara, dan HAM. Di islam hal-hal itu pasti ada, tapi ketika kita ambil itu dari tradisi non- islam dan kita paksakan untuk bisa masuk ke tradisi islam, saya kira itu PEMAKSAAN yang jelas. Jadi, hingga tataran pemikiran pun, topik atau terma yang sangat banyak muncul dan ditujukan Allah kepada muslim, jelas islam punya tradisi yang khas. Dan ini yang Bung harapkan kan?
[wanita-muslimah] Re: Ukhuwah praktis ... atau teoritis alias OMDO?
--- In wanita-muslimah@yahoogroups.com, rsa [EMAIL PROTECTED] wrote: Wah Bung Dan maaf kalo ternyata buat anda nada saya terasa tidak sejuk. Tidak ada niat saya untuk itu. Ala kulli hal, mohon maaf untuk mishap itu. :( Soal keabadian, saya kira tidak berbanding lurus dengan popularitas, terlebih jika kemudian terbukti hal itu salah, spt 'teori' evolusi misalnya. Dan soal sedikitnya referensi, buat saya pribadi mungkin krn memang pas yang kita baca itu adalah karya kontemporer yang tidak menggunakan karya IK sebagai primary source. Atau memang tidak banyak buku atau referesni ilmiah yang membahas topik yang dikaitkan dengan karya monumental beliau. Karya IK bukanlah satu-satunya karya ilmiah monumental dalam tradisi keilmuan islam Bung. Artinya, kalo kita kais dan korek perpustakaan besar di negara2 Barat, pasti akan ketemu itu naskah kuno asli atau saduran atau salinannya. Bahkan mungkin ada yang sudah memuatnya on- line. Mungkin dengan akses Bung yang relatif lebih banyak dan mudah di banding di negara2 Islam termasuk di tanah air, Bung bisa segera tahu hal itu. Karya lain yang diakui monumental tapi jarang dilirik misalnya adalah karya Ibnu Sina/Avicenna di bidang kedokteran The Qanun/Canon yang hingga abad 17 masih menjadi buku acuan di dunia kedokteran Barat (Up to the year 1650, or thereabouts, the Canon was still used as a textbook in the universities of Leuven and Montpellier.-http://en.wikipedia.org/wiki/Avicenna#Legacy). Mengapa sekarang tdk dipakai? Ya banyaklah alasannya, selain bhw dunia teknologi demikian maju. Kemungkinan lain adalah karya2 yang mengutip mereka itu mayoritas adalah di lingkungan akademis, padahal yang paling banyak dibaca adalah buku2 populer walau tidak kurang otoritas akademisnya. DP: Untuk membahas masalah2 sosial spt dalam milis ini kan lebih relevan dibandingkan dg hasil karya Ibnu Sinna atau Ibnu Rushdie. Selain itu juga banyak ilmuwan lain yg hasil karyanya merupakan tinta emas dalam sejarah ilmu pengetahuan. Nah tidak salah kalo konstruk berpikir ini diadopsi oleh saudara- saudara kita dalam hidup mereka. Tapi memang tidak mudah ketika lini berpikir ini berbenturan dengan yang menganggap ibadah itu ya yang rukun islam saja. Dengan demikian, tidak pas menganggap bahwa urusan ULAMA itu hanya spiritual (istilah asing, di luar tradisi islam) sedangkan diluar itu bukan urusan ULAMA. Wah kan ada tu yang komentar bahwa ORIENTALIS juga ULAMA, padahal jelas ORIENTALIS itu murni ilmu yang ditekankan dan ga ada urusan sama 'spiritual islam' bahkan ORIENTALIS itu inginnya membuat ISLAM itu seperti KRISTEN, terpisah antara GEREJA dan NEGARA. DP: Ilmu yg berguna bukan cuma ilmu agama yg didalami oleh para ulama. Telah terbukti bahwa penggabungan negara dan agama akan berakibat runyam. Kan contohnya sudah ada dalam sejarah Islam. Mana khilafah yg berukhuwah islamiyah yg masih survive? Tidak ada kan? Jadi memang terbukti juga bahwa penggabungan negara dan agama adalah secara universal akan berlaku berakibat runyam, alias akan meruntuhkan sendiri konstruk negara. Kalau sudah tahu dan sudah banyak buktinya koq masih juga memperjuangkan negara agama? Sukar saya terima dari segi logika. Satu2nya penjelasan ialah ini perilaku orang yg kecanduan. Orang kecanduan kan begitu sudah tahu bahwa narkoba itu buruk tapi masih terus ngotot menggunakannya sampai badannya hancur sendiri. Jadi ada kerancuan referensi dan lini berpikir di sini. Mencomot ide non-islam (di luar tradisi islam) lalu dipaksakan untuk masuk ke tradisi islam. Contohnya, seputar hukum, negara, dan HAM. Di islam hal-hal itu pasti ada, tapi ketika kita ambil itu dari tradisi non- islam dan kita paksakan untuk bisa masuk ke tradisi islam, saya kira itu PEMAKSAAN yang jelas. Jadi, hingga tataran pemikiran pun, topik atau terma yang sangat banyak muncul dan ditujukan Allah kepada muslim, jelas islam punya tradisi yang khas. Dan ini yang Bung harapkan kan? DP: Pemaksaan itu kalau ada ancaman fisik. Tapi kalau metodologi ilmiah diterapkan dan secara imperatif logis diterima (logically imperative, artinya begitu masuk akalnya sehingga tidak dapat ditolak hanya harus diterima, bukan akibat paksaan fisik melainkan paksaan dari kekuatan logika itu sendiri) ya jangan salahkan saya. Metodologi ilmiah ini juga kan dikembangkan oleh peradaban Arab. Jadi mengukur islam dengan alat ukur di luar islam, pasti tidak cocok. Yang ada adalah kesan 'carut marut' dan 'pemaksaan'. Kalo kita jujur, yang namanya budaya kan pasti beda. Ilustrasi sederhana yang saya ambil dari sebuah dokumenter, seorang perwira militer kerajaan Inggris Raya Lieutenant Colonel Sir Francis Edward Younghusband yang berhasil 'menaklukan' Tibet, ketika memasuki Lhasa ia gembira krn disambut oleh penduduknya dengan tapukan tangan. Ternyata kemudia ia tahu bahwa mereka bukan bertepuk tangan spt yang dia KIRA, tapi bertepuk tangan sesuai tradisi Tibet
Re: [wanita-muslimah] Re: Ukhuwah praktis ... atau teoritis alias OMDO?
Mas Cimlw : ini akibat kristalisasi pemahaman tertentu thd teks2 agama, yah siapapun tidak bisa dipersalahkan bila punya interpretasi yg beda dgn pihak lain --bahkan mainstream-- namun itu baru bisa diperkarakan bila udah jadi aksi nyata yg merugikan orang banyak. - Janoko : Ini akibat kristalisasi pemahaman tertentu terhadap teks-teks agama Tolong dong kemukakan dasar-dasar dan alasan anda tersebut diatas. Monggo, salam kenal. Wassalam --oo0oo-- ^_^ [EMAIL PROTECTED] wrote: waduh, di postingan ini mas satriyo numpahin semua hal yg dirangkum rapi. hmmm... jadi pingin ikutan. soal ukhuwah, saya nggak bakal banyak komentar. istilah2 ukhuwah itu memang menggambarkan profil NU sebagai ormas Islam yg nasionalis. sama sekali nggak keliru bila gus dur memberi makna ukhuwah insaniyah (sebagai ganti ukhuwah basyariyah), karena tiap manusia --dlm konsep Islam-- berasal dari bapak ibu yg sama (baca: adam hawa), maka tiap dari kita sejatinya adl bersaudara. DR. yusuf al qardhawi juga mendukung istilah ini [lihat buku khashaish al 'ammah li al islam, bab insaniyyah]. ttg konsep ukhuwah wathaniyah juga sah2 aja, karena memang sebagai satu bangsa kita disatukan dgn persaudaraan. justru buat saya pribadi, ini wacana bagus yg harus terus didengungkan. bangsa kita udah kehilangan ciri alaminya: ramah, santun smp tepo seliro. ini akibat kristalisasi pemahaman tertentu thd teks2 agama, yah siapapun tidak bisa dipersalahkan bila punya interpretasi yg beda dgn pihak lain --bahkan mainstream-- namun itu baru bisa diperkarakan bila udah jadi aksi nyata yg merugikan orang banyak. soal konsep negara teologi, insya Allah di kesempatan lain ya. wassalam ^_^ - Original Message - From: Dan [EMAIL PROTECTED] To: wanita-muslimah@yahoogroups.com Sent: Monday, June 25, 2007 3:42 PM Subject: [wanita-muslimah] Re: Ukhuwah praktis ... atau teoritis alias OMDO? Walaikum salam, Bung Satriyo, mohon juga jika Anda dapat memberi counter-argument yg lebih ilmiah dan tidak hanya judgment belaka. Tunjukkanlah bahwa analisa Anda menggunakan metodologi keilmiahan spt yg juga dilakukan oleh Ibnu Khaldun dan rekan2nya. --- In wanita-muslimah@yahoogroups.com, rsa [EMAIL PROTECTED] wrote: Assalaamu alaikum, Isu menarik yang secara panjang mulai di bahas oleh member di milis ini adalah ukhuwah. Dari thread ukhuwah itu, termasuk ada cross- thread nya juga adalah kaitannya dengan berita soal sikap Kardinal Jerman, Karl Lehman, melalui ucapannya dipandang diskriminatif karena membela ummat kristiani di Jerman yang di matanya jauh lebih besar jasanya dari penganut agama 'lain' di Jerman, ternyata masuk juga ide dari segelintir oknum NU yang menyuarakan selain ukhuwah islamiyah, juga ukhuwah wathaniyah dan ukhuwah basyariah. Lalu di-update oleh terma ukhuwah insaniyah. Disclaimer: Although this message has been checked for all known viruses using Trend Micro InterScan Messaging Security Suite, Bukopin accept no liability for any loss or damage arising from the use of this E-Mail or attachments. Send instant messages to your online friends http://uk.messenger.yahoo.com [Non-text portions of this message have been removed]
Re: [wanita-muslimah] Re: Ukhuwah praktis ... atau teoritis alias OMDO? - mudheng
Pak Achmad : Lalu, di mana peran ulama? Ulama yang sebenarnya hanyalah pelita. Dengan pelita itu sebenarnya umat bisa menjumpai Rasulullah. Karena ulama itu hanya pelita, maka pro-aktif umatlah yang diperlukan. Tak ada ketaatan buat ulama. -- Janoko : Janoko belum mudeng, apakah Pak Achmad bermaksud mengatakan jangan taati kata-kata Pak Achmad ?, maaf lho, saya betul-betul engga mudheng. Punten-punten and punten. Wassalam --oo0oo-- Achmad Chodjim [EMAIL PROTECTED] wrote: Mas Wikan, Di dalam Alquran dinyatakan bahwa ketaatan itu hanya kepada Allah dan kepada Rasul-Nya. Lalu, ketaatan berikutnya kepada ulil amri --jika dan hanya jika-- ulil amri itu sendiri taat kepada Allah dan taat kepada Rasul-Nya. Pernyataan di atas dituangkan dalam QS 4:59. Sayangnya, taat kepada Allah ini dipelintir menjadi taat kepada Alquran, dan taat kepada Rasul-Nya dipelintir menjadi taat kepada al-Sunnah. Jadi, Allah Yang Maha Hidup itu sudah sejak lama tidak dianggap hidup lagi oleh umat, makanya Allah diturunkan derajatnya hanya sebagai Alquran. Padahal, kalau ditanya tentang rukun iman, ada rukun untuk mengimani Allah dan ada rukun untuk mengimani kitab-kitab-Nya (QS 2:177). Demikian juga ketaatan kepada Rasul Allah, kepada Kanjeng Nabi Muhammad, lha koq diturunkan derajatnya hanya taat kepada al-Sunnah. Kita lupa bahwa Rasul itu tetap hidup (QS 2:154, 3:169-171). Bukankah dalam tasyahud ada ucapan assalaamu 'alayka ayyuhan nabiyyu wa rahmatullahi wa barakaatuh, assalaamu 'alayna wa 'alaa ibadillaahis shaalihiin? Jadi, ucapan salam itu ditujukan kepada yang hidup dan yang disetarakan dengan orang yang mengucapkannya. Alquran itu adalah kitab tempat kita merujuk atau mengambil rujukan, jadi bukan tempat taat. Sedangkan petunjuk yaa harus kita peroleh langsung dari Tuhan, makanya ada ihdinaash shiraathal mustaqiim. Nah, kalau kita ditunjukkan oleh Tuhan, maka kita akan bisa melihat rujukannya, dan kita bisa menemukan ayatnya, lalu kita sambil mengangguk-angguk. oh ini ayatnya. Bukankah hakikat ayat-ayat Alquran itu ada di dalam dada orang-orang yang diberi ilmu? (QS 29:49). Rasulullah yang sudah tidak berbadan fisik ini tetap hidup. Jasad fisik tak mampu lagi menampung Ruh Rasullullah, makanya secara fisikal beliau hanya 63 tahun. Karena tetap hidup itu maka Rasul menjadi saksi dan tetap menerangi (QS 33:45-46). Lha, kalau Muhammad mati secara total (lahir dan batin) yaa beliau tak pernah bisa menjadi saksi, apalagi menerangi. Jadi, hanya yang hidup yang bisa menjadi saksi dan menerangi, sedangkan mayit ya tak bisa apa-apa. Lalu, di mana peran ulama? Ulama yang sebenarnya hanyalah pelita. Dengan pelita itu sebenarnya umat bisa menjumpai Rasulullah. Karena ulama itu hanya pelita, maka pro-aktif umatlah yang diperlukan. Tak ada ketaatan buat ulama. Ini sesuai dengan hadis Nabi yang menyebutkan bahwa tak ada sistem kependetaan dalam Islam. Saya perbesar TAK ADA SISTEM KEPENDETAAN DALAM ISLAM. Jadi, ulama yang mentukan ini dan itu buat umatnya tak dikenal dalam Islam. Yang mentukan ini dan itu dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat adalah ulil amri yang dalam istilah sekarang dapat disamakan dengan aparat pemerintahan. Lha, al-Sunnah itu merupakan rujukan sekonder bila kita tak mendapatkan rujukan dari Alquran. Matur suwun, Salam, chodjim - Original Message - From: Wikan Danar Sunindyo To: wanita-muslimah@yahoogroups.com Sent: Monday, June 25, 2007 7:34 PM Subject: Re: [wanita-muslimah] Re: Ukhuwah praktis ... atau teoritis alias OMDO? nambahin Pak Dana ... apa fenomena orang menyerahkan segala urusan kepada ulama juga merupakan bukti kemalasan berpikir umat pada umumnya, sehingga mereka tidak mau ambil resiko. serahkan saja pada ulama untuk memikirkan, kalau tar ditanya di akhirat, tinggal salahin aja ulamanya (yang mana sebenarnya tidak bisa begitu juga, karena semua orang akan dimintai pertanggungjawaban masing2 satu persatu). di sisi lain, kok ya ulama ini kayak yang segala tahu ya? segala macam dibahas dan dijawab. kalau dalam dunia kedokteran orang tahu ada spesialisasinya. dan dokter bisa bilang, tidak ... ini bukan bidang saya, silakan tanya ke orang lain yang lebih ahli. kira-kira ada gak ya ulama yang berkata begitu? berkata tidak pada masalah yang tidak dikuasainya. salam -- wikan http://wikan.multiply.com On 6/25/07, Dan [EMAIL PROTECTED] wrote: Sebenarnya yg kita bahas di milis kebanyakan adalah permasalahan yg berdomisili dalam kaidah muamalah, yaitu oleh Allah sendiri dianjurkan utk diselesaikan secara musyawarah. Yg saya khawatir ialah bahwa yg sebenarnya kaidah muamalah itu difait-accompli sebagai kaidah ibadah sehingga ruang gerak utk memusyawahkannya dan mengijtihadkan jadi terbatas dan penentu akhirnya selalu suatu fatwa dari ulama. Dalam dinamika masyarakat modern dg berbagai ragam kepentingan, keahlian dan jalan hidup
Re: [wanita-muslimah] Re: Ukhuwah praktis ... atau teoritis alias OMDO?
Mas Wikan : dan dokter bisa bilang, tidak ... ini bukan bidang saya, silakan tanya ke orang lain yang lebih ahli. kira-kira ada gak ya ulama yang berkata begitu? berkata tidak pada masalah yang tidak dikuasainya. - janoko : Nah, itu kewajiban untuk mas Wikan untuk membuka hadis, silahkan dicari pasti ketemu. Wassalam --oo0oo-- Wikan Danar Sunindyo [EMAIL PROTECTED] wrote: nambahin Pak Dana ... apa fenomena orang menyerahkan segala urusan kepada ulama juga merupakan bukti kemalasan berpikir umat pada umumnya, sehingga mereka tidak mau ambil resiko. serahkan saja pada ulama untuk memikirkan, kalau tar ditanya di akhirat, tinggal salahin aja ulamanya (yang mana sebenarnya tidak bisa begitu juga, karena semua orang akan dimintai pertanggungjawaban masing2 satu persatu). di sisi lain, kok ya ulama ini kayak yang segala tahu ya? segala macam dibahas dan dijawab. kalau dalam dunia kedokteran orang tahu ada spesialisasinya. dan dokter bisa bilang, tidak ... ini bukan bidang saya, silakan tanya ke orang lain yang lebih ahli. kira-kira ada gak ya ulama yang berkata begitu? berkata tidak pada masalah yang tidak dikuasainya. salam -- wikan http://wikan.multiply.com On 6/25/07, Dan [EMAIL PROTECTED] wrote: Sebenarnya yg kita bahas di milis kebanyakan adalah permasalahan yg berdomisili dalam kaidah muamalah, yaitu oleh Allah sendiri dianjurkan utk diselesaikan secara musyawarah. Yg saya khawatir ialah bahwa yg sebenarnya kaidah muamalah itu difait-accompli sebagai kaidah ibadah sehingga ruang gerak utk memusyawahkannya dan mengijtihadkan jadi terbatas dan penentu akhirnya selalu suatu fatwa dari ulama. Dalam dinamika masyarakat modern dg berbagai ragam kepentingan, keahlian dan jalan hidup, saya rasa ulama tidak lagi berkompeten utk memberikan suatu fatwa dalam semua aspek kehidupan. Send instant messages to your online friends http://uk.messenger.yahoo.com [Non-text portions of this message have been removed]
Re: [wanita-muslimah] Re: Ukhuwah praktis ... atau teoritis alias OMDO?
25, 2007 7:34 PM Subject: Re: [wanita-muslimah] Re: Ukhuwah praktis ... atau teoritis alias OMDO? nambahin Pak Dana ... apa fenomena orang menyerahkan segala urusan kepada ulama juga merupakan bukti kemalasan berpikir umat pada umumnya, sehingga mereka tidak mau ambil resiko. serahkan saja pada ulama untuk memikirkan, kalau tar ditanya di akhirat, tinggal salahin aja ulamanya (yang mana sebenarnya tidak bisa begitu juga, karena semua orang akan dimintai pertanggungjawaban masing2 satu persatu). di sisi lain, kok ya ulama ini kayak yang segala tahu ya? segala macam dibahas dan dijawab. kalau dalam dunia kedokteran orang tahu ada spesialisasinya. dan dokter bisa bilang, tidak ... ini bukan bidang saya, silakan tanya ke orang lain yang lebih ahli. kira-kira ada gak ya ulama yang berkata begitu? berkata tidak pada masalah yang tidak dikuasainya. salam -- wikan http://wikan.multiply.com On 6/25/07, Dan [EMAIL PROTECTED] wrote: Sebenarnya yg kita bahas di milis kebanyakan adalah permasalahan yg berdomisili dalam kaidah muamalah, yaitu oleh Allah sendiri dianjurkan utk diselesaikan secara musyawarah. Yg saya khawatir ialah bahwa yg sebenarnya kaidah muamalah itu difait-accompli sebagai kaidah ibadah sehingga ruang gerak utk memusyawahkannya dan mengijtihadkan jadi terbatas dan penentu akhirnya selalu suatu fatwa dari ulama. Dalam dinamika masyarakat modern dg berbagai ragam kepentingan, keahlian dan jalan hidup, saya rasa ulama tidak lagi berkompeten utk memberikan suatu fatwa dalam semua aspek kehidupan. [Non-text portions of this message have been removed] Send instant messages to your online friends http://uk.messenger.yahoo.com [Non-text portions of this message have been removed]
Re: [wanita-muslimah] Re: Ukhuwah praktis ... atau teoritis alias OMDO? - mudheng
Betul, Mas Jano ko. Janganlah taati kata-kata saya bila belum mudeng. Kalau menaati sesuatu yang belum dimudengi itu namanya menaati berhala. Makanya di Alquran tak ada satu ayat pun untuk menaati ulama. Bahkan ada kelompok yang memandang ulama-ulama dan rahib-rahibnya sebagai pengganti Tuhan atau telah dijadikan ilah selain Allah. Baca QS 9:31. Karena ulama itu sebagai pelita, bawalah pelita itu untuk menerangi jalan, dan jadikan Alquran dan Sunnah Nabi sebagai peta. jadi, lengkaplah, ada peta jalan ada lampunya. Agar tidak keliru dalam membaca peta, maka mohonlah petunjuk kepada ALLAH dan Rasul-Nya (sebagai wasilah). Wassalam, chodjim - Original Message - From: jano ko To: wanita-muslimah@yahoogroups.com Sent: Tuesday, June 26, 2007 9:59 PM Subject: Re: [wanita-muslimah] Re: Ukhuwah praktis ... atau teoritis alias OMDO? - mudheng Pak Achmad : Lalu, di mana peran ulama? Ulama yang sebenarnya hanyalah pelita. Dengan pelita itu sebenarnya umat bisa menjumpai Rasulullah. Karena ulama itu hanya pelita, maka pro-aktif umatlah yang diperlukan. Tak ada ketaatan buat ulama. -- Janoko : Janoko belum mudeng, apakah Pak Achmad bermaksud mengatakan jangan taati kata-kata Pak Achmad ?, maaf lho, saya betul-betul engga mudheng. Punten-punten and punten. Wassalam --oo0oo-- Achmad Chodjim [EMAIL PROTECTED] wrote: Mas Wikan, Di dalam Alquran dinyatakan bahwa ketaatan itu hanya kepada Allah dan kepada Rasul-Nya. Lalu, ketaatan berikutnya kepada ulil amri --jika dan hanya jika-- ulil amri itu sendiri taat kepada Allah dan taat kepada Rasul-Nya. Pernyataan di atas dituangkan dalam QS 4:59. Sayangnya, taat kepada Allah ini dipelintir menjadi taat kepada Alquran, dan taat kepada Rasul-Nya dipelintir menjadi taat kepada al-Sunnah. Jadi, Allah Yang Maha Hidup itu sudah sejak lama tidak dianggap hidup lagi oleh umat, makanya Allah diturunkan derajatnya hanya sebagai Alquran. Padahal, kalau ditanya tentang rukun iman, ada rukun untuk mengimani Allah dan ada rukun untuk mengimani kitab-kitab-Nya (QS 2:177). Demikian juga ketaatan kepada Rasul Allah, kepada Kanjeng Nabi Muhammad, lha koq diturunkan derajatnya hanya taat kepada al-Sunnah. Kita lupa bahwa Rasul itu tetap hidup (QS 2:154, 3:169-171). Bukankah dalam tasyahud ada ucapan assalaamu 'alayka ayyuhan nabiyyu wa rahmatullahi wa barakaatuh, assalaamu 'alayna wa 'alaa ibadillaahis shaalihiin? Jadi, ucapan salam itu ditujukan kepada yang hidup dan yang disetarakan dengan orang yang mengucapkannya. Alquran itu adalah kitab tempat kita merujuk atau mengambil rujukan, jadi bukan tempat taat. Sedangkan petunjuk yaa harus kita peroleh langsung dari Tuhan, makanya ada ihdinaash shiraathal mustaqiim. Nah, kalau kita ditunjukkan oleh Tuhan, maka kita akan bisa melihat rujukannya, dan kita bisa menemukan ayatnya, lalu kita sambil mengangguk-angguk. oh ini ayatnya. Bukankah hakikat ayat-ayat Alquran itu ada di dalam dada orang-orang yang diberi ilmu? (QS 29:49). Rasulullah yang sudah tidak berbadan fisik ini tetap hidup. Jasad fisik tak mampu lagi menampung Ruh Rasullullah, makanya secara fisikal beliau hanya 63 tahun. Karena tetap hidup itu maka Rasul menjadi saksi dan tetap menerangi (QS 33:45-46). Lha, kalau Muhammad mati secara total (lahir dan batin) yaa beliau tak pernah bisa menjadi saksi, apalagi menerangi. Jadi, hanya yang hidup yang bisa menjadi saksi dan menerangi, sedangkan mayit ya tak bisa apa-apa. Lalu, di mana peran ulama? Ulama yang sebenarnya hanyalah pelita. Dengan pelita itu sebenarnya umat bisa menjumpai Rasulullah. Karena ulama itu hanya pelita, maka pro-aktif umatlah yang diperlukan. Tak ada ketaatan buat ulama. Ini sesuai dengan hadis Nabi yang menyebutkan bahwa tak ada sistem kependetaan dalam Islam. Saya perbesar TAK ADA SISTEM KEPENDETAAN DALAM ISLAM. Jadi, ulama yang mentukan ini dan itu buat umatnya tak dikenal dalam Islam. Yang mentukan ini dan itu dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat adalah ulil amri yang dalam istilah sekarang dapat disamakan dengan aparat pemerintahan. Lha, al-Sunnah itu merupakan rujukan sekonder bila kita tak mendapatkan rujukan dari Alquran. Matur suwun, Salam, chodjim - Original Message - From: Wikan Danar Sunindyo To: wanita-muslimah@yahoogroups.com Sent: Monday, June 25, 2007 7:34 PM Subject: Re: [wanita-muslimah] Re: Ukhuwah praktis ... atau teoritis alias OMDO? nambahin Pak Dana ... apa fenomena orang menyerahkan segala urusan kepada ulama juga merupakan bukti kemalasan berpikir umat pada umumnya, sehingga mereka tidak mau ambil resiko. serahkan saja pada ulama untuk memikirkan, kalau tar ditanya di akhirat, tinggal salahin aja ulamanya (yang mana sebenarnya tidak bisa begitu juga, karena semua orang akan dimintai pertanggungjawaban masing2 satu persatu). di sisi lain, kok ya ulama ini kayak yang
Re: [wanita-muslimah] Re: Ukhuwah praktis ... atau teoritis alias OMDO?
Nuwun sewu, kalau membaca mbok jangan diambil sepotong. Ya saya tidak mengatakan Mas Jano ko nggak nyambung, tapi memang benar-benar nggak nyambung. Di tulisan saya sudah saya sebutkan Lalu, ketaatan berikutnya kepada ulil amri --jika dan hanya jika-- ulil amri itu sendiri taat kepada Allah dan taat kepada Rasul-Nya. Coba BACA lagi, hanya ulil amri yang taat kepada ALLAH dan Rasul-Nya yang diataati. Sampun mangertos, alias mudheng? malem, - Original Message - From: jano ko To: wanita-muslimah@yahoogroups.com Sent: Tuesday, June 26, 2007 10:47 PM Subject: Re: [wanita-muslimah] Re: Ukhuwah praktis ... atau teoritis alias OMDO? Ada berita : Jadi, ulama yang mentukan ini dan itu buat umatnya tak dikenal dalam Islam. Yang mentukan ini dan itu dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat adalah ulil amri yang dalam istilah sekarang dapat disamakan dengan aparat pemerintahan. -- Janoko : Pertanyaan nich, kalau aparat pemerintahnya membunuhin umat Islam piye ? Janoko makin engga mudheng. Malem --oo0oo-- Dan [EMAIL PROTECTED] wrote: Bung Chodjim, Kutipan Anda: Lalu, di mana peran ulama? Ulama yang sebenarnya hanyalah pelita. Dengan pelita tu sebenarnya umat bisa menjumpai Rasulullah. Karena ulama itu hanya pelita, maka pro-aktif umatlah yang diperlukan. Tak ada ketaatan buat ulama. Ini sesuai dengan hadis Nabi yang menyebutkan bahwa tak ada sistem kependetaan dalam Islam. Saya perbesar TAK ADA SISTEM KEPENDETAAN DALAM ISLAM. Jadi, ulama yang mentukan ini dan itu buat umatnya tak dikenal dalam Islam. Yang mentukan ini dan itu dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat adalah ulil amri yang dalam istilah sekarang dapat disamakan dengan aparat pemerintahan. Lha, al-Sunnah itu merupakan rujukan sekonder bila kita tak mendapatkan rujukan. sangat mencerahkan. Saya juga ikut merasakan bahwa banyak umat Islam yg sudah secara salah menyikapi hadits sebagai rujukan primer bukan sekunder lagi seperti yg dimaksudkan. Barangkali salah satu penyebab terjadinya kesemwrawutan hukum dalam dunia Islam. Saya pernah diceritakan pembantu saya bahwa di desa di daerah Cipanas sekarang ada para ulama mengutip fee utk mendoakan biar masuk surga. Hehe ini kan spt jaman gereja Katolik sebelum masa Pencerahan. Ada fungsi pendeta yg mendoakan biar masuk surga, padahal menurut Islam kan tanggung jawab masing2. Dan MUI tidak pernah bersuara apa2 mengenai ini. Mudah2an dakwah Bung Chodjim akan dapat memberi hikmah pada kita semua. dari Alquran.--- In wanita-muslimah@yahoogroups.com, Achmad Chodjim [EMAIL PROTECTED] wrote: Mas Wikan, Di dalam Alquran dinyatakan bahwa ketaatan itu hanya kepada Allah dan kepada Rasul-Nya. Lalu, ketaatan berikutnya kepada ulil amri --jika dan hanya jika-- ulil amri itu sendiri taat kepada Allah dan taat kepada Rasul-Nya. Pernyataan di atas dituangkan dalam QS 4:59. Sayangnya, taat kepada Allah ini dipelintir menjadi taat kepada Alquran, dan taat kepada Rasul-Nya dipelintir menjadi taat kepada al-Sunnah. Jadi, Allah Yang Maha Hidup itu sudah sejak lama tidak dianggap hidup lagi oleh umat, makanya Allah diturunkan derajatnya hanya sebagai Alquran. Padahal, kalau ditanya tentang rukun iman, ada rukun untuk mengimani Allah dan ada rukun untuk mengimani kitab-kitab-Nya (QS 2:177). Demikian juga ketaatan kepada Rasul Allah, kepada Kanjeng Nabi Muhammad, lha koq diturunkan derajatnya hanya taat kepada al-Sunnah. Kita lupa bahwa Rasul itu tetap hidup (QS 2:154, 3:169-171). Bukankah dalam tasyahud ada ucapan assalaamu 'alayka ayyuhan nabiyyu wa rahmatullahi wa barakaatuh, assalaamu 'alayna wa 'alaa ibadillaahis shaalihiin? Jadi, ucapan salam itu ditujukan kepada yang hidup dan yang disetarakan dengan orang yang mengucapkannya. Alquran itu adalah kitab tempat kita merujuk atau mengambil rujukan, jadi bukan tempat taat. Sedangkan petunjuk yaa harus kita peroleh langsung dari Tuhan, makanya ada ihdinaash shiraathal mustaqiim. Nah, kalau kita ditunjukkan oleh Tuhan, maka kita akan bisa melihat rujukannya, dan kita bisa menemukan ayatnya, lalu kita sambil mengangguk-angguk. oh ini ayatnya. Bukankah hakikat ayat-ayat Alquran itu ada di dalam dada orang-orang yang diberi ilmu? (QS 29:49). Rasulullah yang sudah tidak berbadan fisik ini tetap hidup. Jasad fisik tak mampu lagi menampung Ruh Rasullullah, makanya secara fisikal beliau hanya 63 tahun. Karena tetap hidup itu maka Rasul menjadi saksi dan tetap menerangi (QS 33:45-46). Lha, kalau Muhammad mati secara total (lahir dan batin) yaa beliau tak pernah bisa menjadi saksi, apalagi menerangi. Jadi, hanya yang hidup yang bisa menjadi saksi dan menerangi, sedangkan mayit ya tak bisa apa-apa. Lalu, di mana peran ulama? Ulama yang sebenarnya hanyalah pelita. Dengan pelita itu sebenarnya umat bisa
Re: [wanita-muslimah] Re: Ukhuwah praktis ... atau teoritis alias OMDO?
wah, gak ketemu je, mas jano ... apa haditsnya gak komplit ya? salam, -- wikan http://wikan.multiply.com On 6/26/07, jano ko [EMAIL PROTECTED] wrote: Mas Wikan : dan dokter bisa bilang, tidak ... ini bukan bidang saya, silakan tanya ke orang lain yang lebih ahli. kira-kira ada gak ya ulama yang berkata begitu? berkata tidak pada masalah yang tidak dikuasainya. - janoko : Nah, itu kewajiban untuk mas Wikan untuk membuka hadis, silahkan dicari pasti ketemu.
Re: [wanita-muslimah] Re: Ukhuwah praktis ... atau teoritis alias OMDO? - mudheng
Pak Achmad : Betul, Mas Jano ko. Janganlah taati kata-kata saya bila belum mudeng. Kalau menaati sesuatu yang belum dimudengi itu namanya menaati berhala. Janoko : Jadi, kalau saya sudah mudheng, berarti saya bisa dan boleh taat kepada pak Achmad, begitu pak ? Wassalam --oo0oo-- Achmad Chodjim [EMAIL PROTECTED] wrote: Betul, Mas Jano ko. Janganlah taati kata-kata saya bila belum mudeng. Kalau menaati sesuatu yang belum dimudengi itu namanya menaati berhala. Makanya di Alquran tak ada satu ayat pun untuk menaati ulama. Bahkan ada kelompok yang memandang ulama-ulama dan rahib-rahibnya sebagai pengganti Tuhan atau telah dijadikan ilah selain Allah. Baca QS 9:31. Karena ulama itu sebagai pelita, bawalah pelita itu untuk menerangi jalan, dan jadikan Alquran dan Sunnah Nabi sebagai peta. jadi, lengkaplah, ada peta jalan ada lampunya. Agar tidak keliru dalam membaca peta, maka mohonlah petunjuk kepada ALLAH dan Rasul-Nya (sebagai wasilah). Wassalam, chodjim - Original Message - From: jano ko To: wanita-muslimah@yahoogroups.com Sent: Tuesday, June 26, 2007 9:59 PM Subject: Re: [wanita-muslimah] Re: Ukhuwah praktis ... atau teoritis alias OMDO? - mudheng Pak Achmad : Lalu, di mana peran ulama? Ulama yang sebenarnya hanyalah pelita. Dengan pelita itu sebenarnya umat bisa menjumpai Rasulullah. Karena ulama itu hanya pelita, maka pro-aktif umatlah yang diperlukan. Tak ada ketaatan buat ulama. -- Janoko : Janoko belum mudeng, apakah Pak Achmad bermaksud mengatakan jangan taati kata-kata Pak Achmad ?, maaf lho, saya betul-betul engga mudheng. Punten-punten and punten. Wassalam --oo0oo-- Achmad Chodjim [EMAIL PROTECTED] wrote: Mas Wikan, Di dalam Alquran dinyatakan bahwa ketaatan itu hanya kepada Allah dan kepada Rasul-Nya. Lalu, ketaatan berikutnya kepada ulil amri --jika dan hanya jika-- ulil amri itu sendiri taat kepada Allah dan taat kepada Rasul-Nya. Pernyataan di atas dituangkan dalam QS 4:59. Sayangnya, taat kepada Allah ini dipelintir menjadi taat kepada Alquran, dan taat kepada Rasul-Nya dipelintir menjadi taat kepada al-Sunnah. Jadi, Allah Yang Maha Hidup itu sudah sejak lama tidak dianggap hidup lagi oleh umat, makanya Allah diturunkan derajatnya hanya sebagai Alquran. Padahal, kalau ditanya tentang rukun iman, ada rukun untuk mengimani Allah dan ada rukun untuk mengimani kitab-kitab-Nya (QS 2:177). Demikian juga ketaatan kepada Rasul Allah, kepada Kanjeng Nabi Muhammad, lha koq diturunkan derajatnya hanya taat kepada al-Sunnah. Kita lupa bahwa Rasul itu tetap hidup (QS 2:154, 3:169-171). Bukankah dalam tasyahud ada ucapan assalaamu 'alayka ayyuhan nabiyyu wa rahmatullahi wa barakaatuh, assalaamu 'alayna wa 'alaa ibadillaahis shaalihiin? Jadi, ucapan salam itu ditujukan kepada yang hidup dan yang disetarakan dengan orang yang mengucapkannya. Alquran itu adalah kitab tempat kita merujuk atau mengambil rujukan, jadi bukan tempat taat. Sedangkan petunjuk yaa harus kita peroleh langsung dari Tuhan, makanya ada ihdinaash shiraathal mustaqiim. Nah, kalau kita ditunjukkan oleh Tuhan, maka kita akan bisa melihat rujukannya, dan kita bisa menemukan ayatnya, lalu kita sambil mengangguk-angguk. oh ini ayatnya. Bukankah hakikat ayat-ayat Alquran itu ada di dalam dada orang-orang yang diberi ilmu? (QS 29:49). Rasulullah yang sudah tidak berbadan fisik ini tetap hidup. Jasad fisik tak mampu lagi menampung Ruh Rasullullah, makanya secara fisikal beliau hanya 63 tahun. Karena tetap hidup itu maka Rasul menjadi saksi dan tetap menerangi (QS 33:45-46). Lha, kalau Muhammad mati secara total (lahir dan batin) yaa beliau tak pernah bisa menjadi saksi, apalagi menerangi. Jadi, hanya yang hidup yang bisa menjadi saksi dan menerangi, sedangkan mayit ya tak bisa apa-apa. Lalu, di mana peran ulama? Ulama yang sebenarnya hanyalah pelita. Dengan pelita itu sebenarnya umat bisa menjumpai Rasulullah. Karena ulama itu hanya pelita, maka pro-aktif umatlah yang diperlukan. Tak ada ketaatan buat ulama. Ini sesuai dengan hadis Nabi yang menyebutkan bahwa tak ada sistem kependetaan dalam Islam. Saya perbesar TAK ADA SISTEM KEPENDETAAN DALAM ISLAM. Jadi, ulama yang mentukan ini dan itu buat umatnya tak dikenal dalam Islam. Yang mentukan ini dan itu dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat adalah ulil amri yang dalam istilah sekarang dapat disamakan dengan aparat pemerintahan. Lha, al-Sunnah itu merupakan rujukan sekonder bila kita tak mendapatkan rujukan dari Alquran. Matur suwun, Salam, chodjim - Original Message - From: Wikan Danar Sunindyo To: wanita-muslimah@yahoogroups.com Sent: Monday, June 25, 2007 7:34 PM Subject: Re: [wanita-muslimah] Re: Ukhuwah praktis ... atau teoritis alias OMDO? nambahin Pak Dana ... apa fenomena orang menyerahkan segala
Re: [wanita-muslimah] Re: Ukhuwah praktis ... atau teoritis alias OMDO?
Pak Achmad : Coba BACA lagi, hanya ulil amri yang taat kepada ALLAH dan Rasul-Nya yang diataati. Sampun mangertos, alias mudheng? --- Janoko : Pertanyaan selanjutnya, boleh tidak pak Ulil Amri yang taat kepada Allah dan RAsul-Nya tersebut merangkap atau menjabat sebagai Ulama ? -- Definisi Ulama = The body of mullahs (Muslim scholars trained in Islam and Islamic law) who are the interpreters of Islam's sciences and doctrines and laws and the chief guarantors of continuity in the spiritual and intellectual history of the Islamic community The learned, knowledgeble people in Islam. Plural form of alim. -- Wassalam --oo0oo-- Achmad Chodjim [EMAIL PROTECTED] wrote: Nuwun sewu, kalau membaca mbok jangan diambil sepotong. Ya saya tidak mengatakan Mas Jano ko nggak nyambung, tapi memang benar-benar nggak nyambung. Di tulisan saya sudah saya sebutkan Lalu, ketaatan berikutnya kepada ulil amri --jika dan hanya jika-- ulil amri itu sendiri taat kepada Allah dan taat kepada Rasul-Nya. Coba BACA lagi, hanya ulil amri yang taat kepada ALLAH dan Rasul-Nya yang diataati. Sampun mangertos, alias mudheng? malem, - Original Message - From: jano ko To: wanita-muslimah@yahoogroups.com Sent: Tuesday, June 26, 2007 10:47 PM Subject: Re: [wanita-muslimah] Re: Ukhuwah praktis ... atau teoritis alias OMDO? Ada berita : Jadi, ulama yang mentukan ini dan itu buat umatnya tak dikenal dalam Islam. Yang mentukan ini dan itu dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat adalah ulil amri yang dalam istilah sekarang dapat disamakan dengan aparat pemerintahan. -- Janoko : Pertanyaan nich, kalau aparat pemerintahnya membunuhin umat Islam piye ? Janoko makin engga mudheng. Malem --oo0oo-- Dan [EMAIL PROTECTED] wrote: Bung Chodjim, Kutipan Anda: Lalu, di mana peran ulama? Ulama yang sebenarnya hanyalah pelita. Dengan pelita tu sebenarnya umat bisa menjumpai Rasulullah. Karena ulama itu hanya pelita, maka pro-aktif umatlah yang diperlukan. Tak ada ketaatan buat ulama. Ini sesuai dengan hadis Nabi yang menyebutkan bahwa tak ada sistem kependetaan dalam Islam. Saya perbesar TAK ADA SISTEM KEPENDETAAN DALAM ISLAM. Jadi, ulama yang mentukan ini dan itu buat umatnya tak dikenal dalam Islam. Yang mentukan ini dan itu dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat adalah ulil amri yang dalam istilah sekarang dapat disamakan dengan aparat pemerintahan. Lha, al-Sunnah itu merupakan rujukan sekonder bila kita tak mendapatkan rujukan. sangat mencerahkan. Saya juga ikut merasakan bahwa banyak umat Islam yg sudah secara salah menyikapi hadits sebagai rujukan primer bukan sekunder lagi seperti yg dimaksudkan. Barangkali salah satu penyebab terjadinya kesemwrawutan hukum dalam dunia Islam. Saya pernah diceritakan pembantu saya bahwa di desa di daerah Cipanas sekarang ada para ulama mengutip fee utk mendoakan biar masuk surga. Hehe ini kan spt jaman gereja Katolik sebelum masa Pencerahan. Ada fungsi pendeta yg mendoakan biar masuk surga, padahal menurut Islam kan tanggung jawab masing2. Dan MUI tidak pernah bersuara apa2 mengenai ini. Mudah2an dakwah Bung Chodjim akan dapat memberi hikmah pada kita semua. dari Alquran.--- In wanita-muslimah@yahoogroups.com, Achmad Chodjim [EMAIL PROTECTED] wrote: Mas Wikan, Di dalam Alquran dinyatakan bahwa ketaatan itu hanya kepada Allah dan kepada Rasul-Nya. Lalu, ketaatan berikutnya kepada ulil amri --jika dan hanya jika-- ulil amri itu sendiri taat kepada Allah dan taat kepada Rasul-Nya. Pernyataan di atas dituangkan dalam QS 4:59. Sayangnya, taat kepada Allah ini dipelintir menjadi taat kepada Alquran, dan taat kepada Rasul-Nya dipelintir menjadi taat kepada al-Sunnah. Jadi, Allah Yang Maha Hidup itu sudah sejak lama tidak dianggap hidup lagi oleh umat, makanya Allah diturunkan derajatnya hanya sebagai Alquran. Padahal, kalau ditanya tentang rukun iman, ada rukun untuk mengimani Allah dan ada rukun untuk mengimani kitab-kitab-Nya (QS 2:177). Demikian juga ketaatan kepada Rasul Allah, kepada Kanjeng Nabi Muhammad, lha koq diturunkan derajatnya hanya taat kepada al-Sunnah. Kita lupa bahwa Rasul itu tetap hidup (QS 2:154, 3:169-171). Bukankah dalam tasyahud ada ucapan assalaamu 'alayka ayyuhan nabiyyu wa rahmatullahi wa barakaatuh, assalaamu 'alayna wa 'alaa ibadillaahis shaalihiin? Jadi, ucapan salam itu ditujukan kepada yang hidup dan yang disetarakan dengan orang yang mengucapkannya. Alquran itu adalah kitab tempat kita merujuk atau mengambil rujukan, jadi bukan tempat taat. Sedangkan petunjuk yaa harus kita peroleh langsung dari Tuhan, makanya ada ihdinaash shiraathal mustaqiim. Nah, kalau kita ditunjukkan oleh Tuhan, maka kita akan bisa melihat rujukannya, dan kita bisa menemukan ayatnya, lalu kita sambil mengangguk-angguk. oh ini ayatnya. Bukankah hakikat ayat-ayat Alquran itu
[wanita-muslimah] Re: Ukhuwah praktis ... atau teoritis alias OMDO?
Bung Dan, terima kasih tanggapannya. saya berharap tanggapan anda tidak parsial spt ini. maaf tapi ini yang saya lihat. saya menghindari cara menaggapi spt anda saat ini karena tidak semua posting bisa disikapi demikian. saya tidak membatasi hak anda menenanggapi dan cara anda menanggapi, tapi hanya menegaskan bahwa cara anda itu buat postingan saya tidak pas. but, again, with all due respect, you have every right to do what you seem fit. benang merah yang saya lihat dari tanggapan anda adalah anda tidak yakin akan kejayaan islam itu bisa muncul lagi dalam wujud sebuah khilafah islamiyah (kekhalifahan islam) yang menurut anda tidak bisa anda saksikan (sebagai bukti) saat ini. tanggapan saya: [1] mengapa anda menanyakan kejayaan spt apa yang saya maksud? anda sendiri yang berulang kali dan pertama kali menunjukkan hal itu ketika menyebut sosok monumental IBNU KHALDUN (otomatis juga menjawab sendiri pertanyaan anda itu). atau buat anda dia tidak mencerminkan kejayaan. saya kira yang anda sebut gemilang itu (lihat tanggapan anda paling akhir atas posting saya, di bawah) ya setali tiga uang dengan jaya. **ah, lagi-lagi ko kendala bahasa. sepele tapi tidak remeh, ternyata** tentu saja saya melihat jadi aneh kalo anda menyamakan kejayaan dengan kemenangan, terutama dalam konteks peperangan yang jelas menumpahkan darah (issue ini satu paket dengan stereotip bahwa islam disebarkan dengan pedang ... yang dengan apik menurut saya dibahas/diulas singkat oleh mas Aman FaTha di http://aman.web.id/2005/01/20/benarkah-islam-disebarkan-dengan- pedang/16/ dan di http://aman.web.id/2005/01/20/benarkah-islam- disebarkan-dengan-pedang/16/2/). [2] apakah anda membatasi (define) 'kejayaan' atau keberhasilan suatu bentuk pemerintahan (bisa 'negara' atau apa saja, karena konsep negara sendiri masih debatable) itu pada survival? Kalo gitu ya tidak ada dalam sejarah manusia ini yang berjaya atau berhasil! Atau bagaimana? [3] Lalu apa kaitannya ukhuwah dan khilafah? Ukhuwah ada pada sisi hubungan keimanan berdasar pada Qur'an, al-Hujurat ayat 10. Jadi ukhuwah itu ya sec inherent berkonotasi 'islamiyah'. lain halnya jika hanya mengacu pada 'peristilahan' Arab, akan ada juga jenis ukhuwah yang macam2. Lalu, Khilafah itu ada pada sisi keimanan dengan penekanan bahwa individunya, khalifah, yaitu sebuah amanah dari Allah kepada Adam as dan ketuturunannya yang beriman kepada Allah. Coba deh lihat QS [2:30] (Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi. Mereka berkata: Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau? Tuhan berfirman: Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.), QS 7:129 (Kaum Musa berkata: Kami telah ditindas (oleh Fir'aun) sebelum kamu datang kepada kami dan sesudah kamu datang. Musa menjawab: Mudah-mudahan Allah membinasakan musuhmu dan menjadikan kamu khalifah di bumi(Nya), maka Allah akan melihat bagaimana perbuatanmu.), QS 27:62 (Atau siapakah yang memperkenankan (do'a) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdo'a kepada-Nya, dan yang menghilangkan kesusahan dan yang menjadikan kamu (manusia) sebagai khalifah di bumi? Apakah disamping Allah ada tuhan (yang lain)? Amat sedikitlah kamu mengingati (Nya).), QS 35:39 (Dia-lah yang menjadikan kamu khalifah-khalifah di muka bumi. Barangsiapa yang kafir, maka (akibat) kekafirannya menimpa dirinya sendiri. Dan kekafiran orang-orang yang kafir itu tidak lain hanyalah akan menambah kemurkaan pada sisi Tuhannya dan kekafiran orang-orang yang kafir itu tidak lain hanyalah akan menambah kerugian mereka belaka.), dan QS 38:26 (Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat darin jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.) Semua ayat di atas menyebut 'khalifah' dan semua konteksnya adalah amanah dari Allah (QS 2:30), dan khalifah (otomatis juga khilafah/kekhalifahannya) itu harus bercirikan [a] tidak zalim (menindas pihak lain) (QS 7:129), [b] tidak menimpakan kesusahan (QS 27:62), [c] beriman, tidak kafir (QS 35:39), dan di QS 38:26, yaitu [d] adil dan [e] tidak menuruti hawa nafsu. Jadi Khilafah itu 'yang semestinya' sudah inklusif berwatak ukhuwah (berdasar Qur'an, bukan berdasar argumen logika belaka, yang memunculkan beragam 'jenis' ukhuwah). in light of this, yang ideal adalah masa Rasul (khilafah rasul) dan khilafah empat (khulafaa-u arrasyidun) atau disebut juga khilafah ala minhajin nubuwah (khilafah sesuai panduan nabi). Jika kemudian terlihat bahwa setelah masa khilafah ideal itu (krn berlaku sistem
[wanita-muslimah] Re: Ukhuwah praktis ... atau teoritis alias OMDO?
Walaikum salam, Bung Satriyo, mohon juga jika Anda dapat memberi counter-argument yg lebih ilmiah dan tidak hanya judgment belaka. Tunjukkanlah bahwa analisa Anda menggunakan metodologi keilmiahan spt yg juga dilakukan oleh Ibnu Khaldun dan rekan2nya. --- In wanita-muslimah@yahoogroups.com, rsa [EMAIL PROTECTED] wrote: Assalaamu alaikum, Isu menarik yang secara panjang mulai di bahas oleh member di milis ini adalah ukhuwah. Dari thread ukhuwah itu, termasuk ada cross- thread nya juga adalah kaitannya dengan berita soal sikap Kardinal Jerman, Karl Lehman, melalui ucapannya dipandang diskriminatif karena membela ummat kristiani di Jerman yang di matanya jauh lebih besar jasanya dari penganut agama 'lain' di Jerman, ternyata masuk juga ide dari segelintir oknum NU yang menyuarakan selain ukhuwah islamiyah, juga ukhuwah wathaniyah dan ukhuwah basyariah. Lalu di-update oleh terma ukhuwah insaniyah. Hmm,... apa di sebagai muslim dan mukmin kita jumpai semua hal itu dalam Al-Qur'an? Ada member yang yakin bahwa hal itu ADA dalam kalamullah. Jadi dari sudut pandangnya muncullah terma baru yaitu ukhuwah globaliyah, yang ia akui itu istilah made in pribadi. No matter lah. Makin menyemarakkan jagad istilah. Bicara soal ukhuwah, tidak lepas saya kira dengan thread lain yang berisi hadis yang berasal dari 2 sumber riwayat berisi penghalaln darah orang yang menghina Rasul, dan sempat ramai. Saya kaitkan hal ini karena ada member milis yang mempertanyakan ko bisa ada muslim yang halal darahnya? Padahal saya sempat ajukan contoh seorang mujahidah muslimah asal Aceh, yang dengan sigap 'menghalalkan darah' sesama dengan alasan si muslimah lain yang halal darahnya itu adalah pengkhianat. Belum lagi para wali sembilan yang memancung kepala seorang sufi mbeling yang tidak mau tahu dampak ucapannya bg khalayak yang belum sampai ilmunya, ibarat anak kuliahan yang asal bunyi di depan anak TK. Begitu tamsil dari seorang member lain soal level pemahman yang pas buat alasan penghalalan darah si sufi mbeling itu. Lalu, hal lain yang saya kira berkaitan dg ukhuwah adalah sikap sebagian saudara kita. Di satu sisi A merasa B sok tahu dan sok benar. Tapi di sisi lain, B menimpali sikap A dengan pernyataan yang sebenarnya menunjukkan B itu setali tiga uang, menganggap diri paling tahu dan paling benar. Misalnya soal negara Islam. Ini memang konsep yang kontroversial, mengingat dalam Islam hanya dikenal sistem kemasyarakatan berupa khilafah sbg dicontohkan dengan ideal di masa empat khafilah yang lurus, khulafaa-u ar-Rasyiduun, tidak khilafah setelahnya yang hanya namanya saja tapi isinya adalah praktek feodalisme, kerajaan, kroniisme dan nepotisme bukan meritokrasi. Tapi sungguh disayangkan, dengan pemahaman yang mungkin belum utuh, sudah berani mencap bahwa upaya sebagaian saudara seiman yang lain itu, betapapun cacat (namanya juga usaha) tetap adalah sebuh ikhtiar dan ijtihad yand ada nilainya di mata Allah, sejelek apapun di mata manusia. Atau dengan pemahaman dan pengetahuan yang seadanya, bisa menegaskan bahwa kalo yang namanya mencontoh Rasul itu ya semuanya, leterlek. Halahh ... Polos bener. Tapi kalo memang bisa begitu so what? Apa yang salah? Apakah pola pikir katak dalam tempurung itu bisa diterima? Saya katakan katak dalam tempurung, karena tidak semua yang ada di hidup kita ini berlaku di seluruh dunia. Coba saja ke pedalaman di negeri ini, tidak usah jauh2 ke negeri lain. Apakah semuah masjid di pedalaman negeri ini memakai 'speaker'? Tentu jika ada yang menyatakan ingin mencontoh Rasul dalam menegakkan hukum Islam, yang mungkin termasuk mendirikan negera Islam (jadi mirip menerapkan perda syariah nih!), tentu bukan foto-kopi, tapi mencontoh esensi pemerintahan di masa Rasul dan khulafaaurrasyidun. Gitu aja ko ya ga nyambung toh? Shalat kalo mau ikut Rasul yang ga pake peci, kupluk haji, baju koko, mukenah, sajadah, sarung atau yang sekarang kita kenal. Dulu itu dahi ya langsung ke tanah. Jorok? Kotor? Tidak juga, kan padang pasir. Nah sejalan penyebaran islam, tentu perlu ada penyesuaian. Itu berlaku buat semua hal selain yang pokok macam tauhid, atau ritual ibadah, termasuk menutup aurat. Yang sempat membuat saya heran jg adalah beraninya menuduh ada pria yang sangat sok melindungi dan mendukung aktifitas perempuan, namun ujung-ujungnya tanpa sadar lalu dengan emosi/tidak menuliskankan pemikirannya bahwa perempuan itu kurang berharga di banding laki-laki:), bahwa perempuan itu hanya leyeh-leyeh :), atau juga yang bilang bahwa perempuan pekerja = ternak :)) tanpa sadar bahwa ada juga perempuan yang tidak bisa baca dengan benar suatu pernyataan dan melulu emosional (khas pere gitu loh) dan mengikuti nafsunya itu. Buktinya apa tuduhan itu? Tidak ada! Membaca saja tidak beres mau kasih opini. Halahhh ... cape jadi tapee ... jauh bene ... Kaya perempuan yang teriak2 sok
[wanita-muslimah] Re: Ukhuwah praktis ... atau teoritis alias OMDO?
Bung Dan, terima kasih buat support dan encouragement anda dalam disksi ini. Pertanyaan dari saya buat anda, apakah sejauh ini anda juga menerapkan hal ini, counter-argument ilmiah dan tidak hanya judgement belaka? Judgement yang anda maksud yang bagaimana? Buat komentar anda selanjutnya, saya sangat tersanjung dan sejauh ini hanya bisa meng-amin-i karena terus terang untuk bisa spt ibnu Khaldun yang karya magnum opus-nya, Muqaddimah, diakui dunia sebagai karya yang sulit ditandingi baik sec masa di kala dia hidup, maupun kontemporer. Tapi kalo maksud anda sekadar se-ilmuah ibnu Khaldun (tetap saja belum jelas, ilmiah yang bagaimana, apakah mengacu hanya pada metode--yang spt apa--atau juga dikaitkan pada outcom-nya) mungkin, ... saya ulang, mungkin dengan izin Allah, dengan keterbatasan yang ada, bisa saya ikhtiarkan. Mungkin teman2 di berbagai pusat keilmuan yang memang memiliki kesamaan bidang dengan ibnu Khaldun lah yang saya kira paling mungkin mendekati kadar keilmiahan ibnu Khaldun. allaahu a'lam --- In wanita-muslimah@yahoogroups.com, Dan [EMAIL PROTECTED] wrote: Walaikum salam, Bung Satriyo, mohon juga jika Anda dapat memberi counter-argument yg lebih ilmiah dan tidak hanya judgment belaka. Tunjukkanlah bahwa analisa Anda menggunakan metodologi keilmiahan spt yg juga dilakukan oleh Ibnu Khaldun dan rekan2nya. --- In wanita-muslimah@yahoogroups.com, rsa efikoe@ wrote: Assalaamu alaikum, Isu menarik yang secara panjang mulai di bahas oleh member di milis ini adalah ukhuwah. Dari thread ukhuwah itu, termasuk ada cross- thread nya juga adalah kaitannya dengan berita soal sikap Kardinal Jerman, Karl Lehman, melalui ucapannya dipandang diskriminatif karena membela ummat kristiani di Jerman yang di matanya jauh lebih besar jasanya dari penganut agama 'lain' di Jerman, ternyata masuk juga ide dari segelintir oknum NU yang menyuarakan selain ukhuwah islamiyah, juga ukhuwah wathaniyah dan ukhuwah basyariah. Lalu di-update oleh terma ukhuwah insaniyah. Hmm,... apa di sebagai muslim dan mukmin kita jumpai semua hal itu dalam Al-Qur'an? Ada member yang yakin bahwa hal itu ADA dalam kalamullah. Jadi dari sudut pandangnya muncullah terma baru yaitu ukhuwah globaliyah, yang ia akui itu istilah made in pribadi. No matter lah. Makin menyemarakkan jagad istilah. Bicara soal ukhuwah, tidak lepas saya kira dengan thread lain yang berisi hadis yang berasal dari 2 sumber riwayat berisi penghalaln darah orang yang menghina Rasul, dan sempat ramai. Saya kaitkan hal ini karena ada member milis yang mempertanyakan ko bisa ada muslim yang halal darahnya? Padahal saya sempat ajukan contoh seorang mujahidah muslimah asal Aceh, yang dengan sigap 'menghalalkan darah' sesama dengan alasan si muslimah lain yang halal darahnya itu adalah pengkhianat. Belum lagi para wali sembilan yang memancung kepala seorang sufi mbeling yang tidak mau tahu dampak ucapannya bg khalayak yang belum sampai ilmunya, ibarat anak kuliahan yang asal bunyi di depan anak TK. Begitu tamsil dari seorang member lain soal level pemahman yang pas buat alasan penghalalan darah si sufi mbeling itu. Lalu, hal lain yang saya kira berkaitan dg ukhuwah adalah sikap sebagian saudara kita. Di satu sisi A merasa B sok tahu dan sok benar. Tapi di sisi lain, B menimpali sikap A dengan pernyataan yang sebenarnya menunjukkan B itu setali tiga uang, menganggap diri paling tahu dan paling benar. Misalnya soal negara Islam. Ini memang konsep yang kontroversial, mengingat dalam Islam hanya dikenal sistem kemasyarakatan berupa khilafah sbg dicontohkan dengan ideal di masa empat khafilah yang lurus, khulafaa-u ar-Rasyiduun, tidak khilafah setelahnya yang hanya namanya saja tapi isinya adalah praktek feodalisme, kerajaan, kroniisme dan nepotisme bukan meritokrasi. Tapi sungguh disayangkan, dengan pemahaman yang mungkin belum utuh, sudah berani mencap bahwa upaya sebagaian saudara seiman yang lain itu, betapapun cacat (namanya juga usaha) tetap adalah sebuh ikhtiar dan ijtihad yand ada nilainya di mata Allah, sejelek apapun di mata manusia. Atau dengan pemahaman dan pengetahuan yang seadanya, bisa menegaskan bahwa kalo yang namanya mencontoh Rasul itu ya semuanya, leterlek. Halahh ... Polos bener. Tapi kalo memang bisa begitu so what? Apa yang salah? Apakah pola pikir katak dalam tempurung itu bisa diterima? Saya katakan katak dalam tempurung, karena tidak semua yang ada di hidup kita ini berlaku di seluruh dunia. Coba saja ke pedalaman di negeri ini, tidak usah jauh2 ke negeri lain. Apakah semuah masjid di pedalaman negeri ini memakai 'speaker'? Tentu jika ada yang menyatakan ingin mencontoh Rasul dalam menegakkan hukum Islam, yang mungkin termasuk mendirikan negera Islam (jadi mirip menerapkan perda syariah nih!), tentu bukan foto-kopi, tapi
Re: [wanita-muslimah] Re: Ukhuwah praktis ... atau teoritis alias OMDO?
waduh, di postingan ini mas satriyo numpahin semua hal yg dirangkum rapi. hmmm... jadi pingin ikutan. soal ukhuwah, saya nggak bakal banyak komentar. istilah2 ukhuwah itu memang menggambarkan profil NU sebagai ormas Islam yg nasionalis. sama sekali nggak keliru bila gus dur memberi makna ukhuwah insaniyah (sebagai ganti ukhuwah basyariyah), karena tiap manusia --dlm konsep Islam-- berasal dari bapak ibu yg sama (baca: adam hawa), maka tiap dari kita sejatinya adl bersaudara. DR. yusuf al qardhawi juga mendukung istilah ini [lihat buku khashaish al 'ammah li al islam, bab insaniyyah]. ttg konsep ukhuwah wathaniyah juga sah2 aja, karena memang sebagai satu bangsa kita disatukan dgn persaudaraan. justru buat saya pribadi, ini wacana bagus yg harus terus didengungkan. bangsa kita udah kehilangan ciri alaminya: ramah, santun smp tepo seliro. ini akibat kristalisasi pemahaman tertentu thd teks2 agama, yah siapapun tidak bisa dipersalahkan bila punya interpretasi yg beda dgn pihak lain --bahkan mainstream-- namun itu baru bisa diperkarakan bila udah jadi aksi nyata yg merugikan orang banyak. soal konsep negara teologi, insya Allah di kesempatan lain ya. wassalam ^_^ - Original Message - From: Dan [EMAIL PROTECTED] To: wanita-muslimah@yahoogroups.com Sent: Monday, June 25, 2007 3:42 PM Subject: [wanita-muslimah] Re: Ukhuwah praktis ... atau teoritis alias OMDO? Walaikum salam, Bung Satriyo, mohon juga jika Anda dapat memberi counter-argument yg lebih ilmiah dan tidak hanya judgment belaka. Tunjukkanlah bahwa analisa Anda menggunakan metodologi keilmiahan spt yg juga dilakukan oleh Ibnu Khaldun dan rekan2nya. --- In wanita-muslimah@yahoogroups.com, rsa [EMAIL PROTECTED] wrote: Assalaamu alaikum, Isu menarik yang secara panjang mulai di bahas oleh member di milis ini adalah ukhuwah. Dari thread ukhuwah itu, termasuk ada cross- thread nya juga adalah kaitannya dengan berita soal sikap Kardinal Jerman, Karl Lehman, melalui ucapannya dipandang diskriminatif karena membela ummat kristiani di Jerman yang di matanya jauh lebih besar jasanya dari penganut agama 'lain' di Jerman, ternyata masuk juga ide dari segelintir oknum NU yang menyuarakan selain ukhuwah islamiyah, juga ukhuwah wathaniyah dan ukhuwah basyariah. Lalu di-update oleh terma ukhuwah insaniyah. Disclaimer: Although this message has been checked for all known viruses using Trend Micro InterScan Messaging Security Suite, Bukopin accept no liability for any loss or damage arising from the use of this E-Mail or attachments.
[wanita-muslimah] Re: Ukhuwah praktis ... atau teoritis alias OMDO?
Kita tidak bisa lepas dari perpektif individu dan kultural dalam memandang sesuatu fenomena sosial. Memang akan ada elemen judgment dalam pembahasan kita. Sebenarnya itu lazim saja, cuma dalam tulisan Anda yg terakhir nadanya tidak sejuk sehingga saya melihatnya sebagai suatu kumpulan tuduhan2. Tapi yg penting ialah kita sama2 mengagumi Ibnu Khaldun. Dan saya sering heran koq jarang sekali saya melihat referensi dari karya agungnya dalam membahas masyarakat Islam? Padahal menurut saya tidak banyak buku yg lebih lugas dalam menganalisa masyarakat Islam selain karyanya spt yg Anda katakan sejak dulu dan sekarang. Seorang jenius akan selalu abadi karyanya. Pendekatan yg saya sering lebih lihat ialah pendekatan literalis yg sangat out-of-context sehingga terkesan carut marut. Comot sini comot sana utk ditempelkan pada berbagai situasi sesuka sendiri. End resultnya adalah pembenaran utk hal yg sebenarnya tidak dapat diterima sebagai kebenaran. Apakah pendekatan ala Ibnu Khaldun itu sudah mulai ditinggalkan? Kalau ya memang berarti pendekatan ilmiah tradisi Islam sudah mulai ditinggalkan juga? Suatu tradisi agung yg telah membawa peradaban Islam menuju jaman keemasan ini kalau ditinggalkan ya memang berarti kita ada dalam keterpurukan bikinan sendiri. Sebenarnya yg kita bahas di milis kebanyakan adalah permasalahan yg berdomisili dalam kaidah muamalah, yaitu oleh Allah sendiri dianjurkan utk diselesaikan secara musyawarah. Yg saya khawatir ialah bahwa yg sebenarnya kaidah muamalah itu difait-accompli sebagai kaidah ibadah sehingga ruang gerak utk memusyawahkannya dan mengijtihadkan jadi terbatas dan penentu akhirnya selalu suatu fatwa dari ulama. Dalam dinamika masyarakat modern dg berbagai ragam kepentingan, keahlian dan jalan hidup, saya rasa ulama tidak lagi berkompeten utk memberikan suatu fatwa dalam semua aspek kehidupan. --- In wanita-muslimah@yahoogroups.com, rsa [EMAIL PROTECTED] wrote: Bung Dan, terima kasih buat support dan encouragement anda dalam disksi ini. Pertanyaan dari saya buat anda, apakah sejauh ini anda juga menerapkan hal ini, counter-argument ilmiah dan tidak hanya judgement belaka? Judgement yang anda maksud yang bagaimana? Buat komentar anda selanjutnya, saya sangat tersanjung dan sejauh ini hanya bisa meng-amin-i karena terus terang untuk bisa spt ibnu Khaldun yang karya magnum opus-nya, Muqaddimah, diakui dunia sebagai karya yang sulit ditandingi baik sec masa di kala dia hidup, maupun kontemporer. Tapi kalo maksud anda sekadar se-ilmuah ibnu Khaldun (tetap saja belum jelas, ilmiah yang bagaimana, apakah mengacu hanya pada metode--yang spt apa--atau juga dikaitkan pada outcom-nya) mungkin, ... saya ulang, mungkin dengan izin Allah, dengan keterbatasan yang ada, bisa saya ikhtiarkan. Mungkin teman2 di berbagai pusat keilmuan yang memang memiliki kesamaan bidang dengan ibnu Khaldun lah yang saya kira paling mungkin mendekati kadar keilmiahan ibnu Khaldun. allaahu a'lam --- In wanita-muslimah@yahoogroups.com, Dan dana.pamilih@ wrote: Walaikum salam, Bung Satriyo, mohon juga jika Anda dapat memberi counter-argument yg lebih ilmiah dan tidak hanya judgment belaka. Tunjukkanlah bahwa analisa Anda menggunakan metodologi keilmiahan spt yg juga dilakukan oleh Ibnu Khaldun dan rekan2nya. --- In wanita-muslimah@yahoogroups.com, rsa efikoe@ wrote: Assalaamu alaikum, Isu menarik yang secara panjang mulai di bahas oleh member di milis ini adalah ukhuwah. Dari thread ukhuwah itu, termasuk ada cross- thread nya juga adalah kaitannya dengan berita soal sikap Kardinal Jerman, Karl Lehman, melalui ucapannya dipandang diskriminatif karena membela ummat kristiani di Jerman yang di matanya jauh lebih besar jasanya dari penganut agama 'lain' di Jerman, ternyata masuk juga ide dari segelintir oknum NU yang menyuarakan selain ukhuwah islamiyah, juga ukhuwah wathaniyah dan ukhuwah basyariah. Lalu di-update oleh terma ukhuwah insaniyah. Hmm,... apa di sebagai muslim dan mukmin kita jumpai semua hal itu dalam Al-Qur'an? Ada member yang yakin bahwa hal itu ADA dalam kalamullah. Jadi dari sudut pandangnya muncullah terma baru yaitu ukhuwah globaliyah, yang ia akui itu istilah made in pribadi. No matter lah. Makin menyemarakkan jagad istilah. Bicara soal ukhuwah, tidak lepas saya kira dengan thread lain yang berisi hadis yang berasal dari 2 sumber riwayat berisi penghalaln darah orang yang menghina Rasul, dan sempat ramai. Saya kaitkan hal ini karena ada member milis yang mempertanyakan ko bisa ada muslim yang halal darahnya? Padahal saya sempat ajukan contoh seorang mujahidah muslimah asal Aceh, yang dengan sigap 'menghalalkan darah' sesama dengan alasan si muslimah lain yang halal darahnya itu adalah pengkhianat. Belum lagi para wali sembilan yang memancung kepala seorang sufi mbeling yang tidak
Re: [wanita-muslimah] Re: Ukhuwah praktis ... atau teoritis alias OMDO?
nambahin Pak Dana ... apa fenomena orang menyerahkan segala urusan kepada ulama juga merupakan bukti kemalasan berpikir umat pada umumnya, sehingga mereka tidak mau ambil resiko. serahkan saja pada ulama untuk memikirkan, kalau tar ditanya di akhirat, tinggal salahin aja ulamanya (yang mana sebenarnya tidak bisa begitu juga, karena semua orang akan dimintai pertanggungjawaban masing2 satu persatu). di sisi lain, kok ya ulama ini kayak yang segala tahu ya? segala macam dibahas dan dijawab. kalau dalam dunia kedokteran orang tahu ada spesialisasinya. dan dokter bisa bilang, tidak ... ini bukan bidang saya, silakan tanya ke orang lain yang lebih ahli. kira-kira ada gak ya ulama yang berkata begitu? berkata tidak pada masalah yang tidak dikuasainya. salam -- wikan http://wikan.multiply.com On 6/25/07, Dan [EMAIL PROTECTED] wrote: Sebenarnya yg kita bahas di milis kebanyakan adalah permasalahan yg berdomisili dalam kaidah muamalah, yaitu oleh Allah sendiri dianjurkan utk diselesaikan secara musyawarah. Yg saya khawatir ialah bahwa yg sebenarnya kaidah muamalah itu difait-accompli sebagai kaidah ibadah sehingga ruang gerak utk memusyawahkannya dan mengijtihadkan jadi terbatas dan penentu akhirnya selalu suatu fatwa dari ulama. Dalam dinamika masyarakat modern dg berbagai ragam kepentingan, keahlian dan jalan hidup, saya rasa ulama tidak lagi berkompeten utk memberikan suatu fatwa dalam semua aspek kehidupan.
[wanita-muslimah] Re: Ukhuwah praktis ... atau teoritis alias OMDO?
Itulah yg saya pertanyakan mengenai tidak dibedakannya politik dari agama menurut Islam, menurut interpretasi tertentu. Ini ciri teokrasi. Apakah Islam suatu teokrasi? Menurut Gus Dur dan alm. Cak Nur bukan. Menurut pemahaman awam saya politik itu urusannya dg kesejahteraan lahiriyah dan agama adalah batiniyah. Kebijakan politik menentukan pilihan kebijakan ekonomi dlsb. Saya tidak keberatan jika para ulama mengurus yg berkenaan dg yg batiniyah. Emang itu urusannya. Tapi yg politik? Apa kompetensinya? Kalau dilihat dari pembahasan para ulama di sini tidak terasa keahlian ilmu politiknya. Mungkin saya belum bertemu saja. --- In wanita-muslimah@yahoogroups.com, Wikan Danar Sunindyo [EMAIL PROTECTED] wrote: nambahin Pak Dana ... apa fenomena orang menyerahkan segala urusan kepada ulama juga merupakan bukti kemalasan berpikir umat pada umumnya, sehingga mereka tidak mau ambil resiko. serahkan saja pada ulama untuk memikirkan, kalau tar ditanya di akhirat, tinggal salahin aja ulamanya (yang mana sebenarnya tidak bisa begitu juga, karena semua orang akan dimintai pertanggungjawaban masing2 satu persatu). di sisi lain, kok ya ulama ini kayak yang segala tahu ya? segala macam dibahas dan dijawab. kalau dalam dunia kedokteran orang tahu ada spesialisasinya. dan dokter bisa bilang, tidak ... ini bukan bidang saya, silakan tanya ke orang lain yang lebih ahli. kira-kira ada gak ya ulama yang berkata begitu? berkata tidak pada masalah yang tidak dikuasainya. salam -- wikan http://wikan.multiply.com On 6/25/07, Dan [EMAIL PROTECTED] wrote: Sebenarnya yg kita bahas di milis kebanyakan adalah permasalahan yg berdomisili dalam kaidah muamalah, yaitu oleh Allah sendiri dianjurkan utk diselesaikan secara musyawarah. Yg saya khawatir ialah bahwa yg sebenarnya kaidah muamalah itu difait-accompli sebagai kaidah ibadah sehingga ruang gerak utk memusyawahkannya dan mengijtihadkan jadi terbatas dan penentu akhirnya selalu suatu fatwa dari ulama. Dalam dinamika masyarakat modern dg berbagai ragam kepentingan, keahlian dan jalan hidup, saya rasa ulama tidak lagi berkompeten utk memberikan suatu fatwa dalam semua aspek kehidupan.
Re: [wanita-muslimah] Re: Ukhuwah praktis ... atau teoritis alias OMDO?
Mas Wikan, Di dalam Alquran dinyatakan bahwa ketaatan itu hanya kepada Allah dan kepada Rasul-Nya. Lalu, ketaatan berikutnya kepada ulil amri --jika dan hanya jika-- ulil amri itu sendiri taat kepada Allah dan taat kepada Rasul-Nya. Pernyataan di atas dituangkan dalam QS 4:59. Sayangnya, taat kepada Allah ini dipelintir menjadi taat kepada Alquran, dan taat kepada Rasul-Nya dipelintir menjadi taat kepada al-Sunnah. Jadi, Allah Yang Maha Hidup itu sudah sejak lama tidak dianggap hidup lagi oleh umat, makanya Allah diturunkan derajatnya hanya sebagai Alquran. Padahal, kalau ditanya tentang rukun iman, ada rukun untuk mengimani Allah dan ada rukun untuk mengimani kitab-kitab-Nya (QS 2:177). Demikian juga ketaatan kepada Rasul Allah, kepada Kanjeng Nabi Muhammad, lha koq diturunkan derajatnya hanya taat kepada al-Sunnah. Kita lupa bahwa Rasul itu tetap hidup (QS 2:154, 3:169-171). Bukankah dalam tasyahud ada ucapan assalaamu 'alayka ayyuhan nabiyyu wa rahmatullahi wa barakaatuh, assalaamu 'alayna wa 'alaa ibadillaahis shaalihiin? Jadi, ucapan salam itu ditujukan kepada yang hidup dan yang disetarakan dengan orang yang mengucapkannya. Alquran itu adalah kitab tempat kita merujuk atau mengambil rujukan, jadi bukan tempat taat. Sedangkan petunjuk yaa harus kita peroleh langsung dari Tuhan, makanya ada ihdinaash shiraathal mustaqiim. Nah, kalau kita ditunjukkan oleh Tuhan, maka kita akan bisa melihat rujukannya, dan kita bisa menemukan ayatnya, lalu kita sambil mengangguk-angguk. oh ini ayatnya. Bukankah hakikat ayat-ayat Alquran itu ada di dalam dada orang-orang yang diberi ilmu? (QS 29:49). Rasulullah yang sudah tidak berbadan fisik ini tetap hidup. Jasad fisik tak mampu lagi menampung Ruh Rasullullah, makanya secara fisikal beliau hanya 63 tahun. Karena tetap hidup itu maka Rasul menjadi saksi dan tetap menerangi (QS 33:45-46). Lha, kalau Muhammad mati secara total (lahir dan batin) yaa beliau tak pernah bisa menjadi saksi, apalagi menerangi. Jadi, hanya yang hidup yang bisa menjadi saksi dan menerangi, sedangkan mayit ya tak bisa apa-apa. Lalu, di mana peran ulama? Ulama yang sebenarnya hanyalah pelita. Dengan pelita itu sebenarnya umat bisa menjumpai Rasulullah. Karena ulama itu hanya pelita, maka pro-aktif umatlah yang diperlukan. Tak ada ketaatan buat ulama. Ini sesuai dengan hadis Nabi yang menyebutkan bahwa tak ada sistem kependetaan dalam Islam. Saya perbesar TAK ADA SISTEM KEPENDETAAN DALAM ISLAM. Jadi, ulama yang mentukan ini dan itu buat umatnya tak dikenal dalam Islam. Yang mentukan ini dan itu dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat adalah ulil amri yang dalam istilah sekarang dapat disamakan dengan aparat pemerintahan. Lha, al-Sunnah itu merupakan rujukan sekonder bila kita tak mendapatkan rujukan dari Alquran. Matur suwun, Salam, chodjim - Original Message - From: Wikan Danar Sunindyo To: wanita-muslimah@yahoogroups.com Sent: Monday, June 25, 2007 7:34 PM Subject: Re: [wanita-muslimah] Re: Ukhuwah praktis ... atau teoritis alias OMDO? nambahin Pak Dana ... apa fenomena orang menyerahkan segala urusan kepada ulama juga merupakan bukti kemalasan berpikir umat pada umumnya, sehingga mereka tidak mau ambil resiko. serahkan saja pada ulama untuk memikirkan, kalau tar ditanya di akhirat, tinggal salahin aja ulamanya (yang mana sebenarnya tidak bisa begitu juga, karena semua orang akan dimintai pertanggungjawaban masing2 satu persatu). di sisi lain, kok ya ulama ini kayak yang segala tahu ya? segala macam dibahas dan dijawab. kalau dalam dunia kedokteran orang tahu ada spesialisasinya. dan dokter bisa bilang, tidak ... ini bukan bidang saya, silakan tanya ke orang lain yang lebih ahli. kira-kira ada gak ya ulama yang berkata begitu? berkata tidak pada masalah yang tidak dikuasainya. salam -- wikan http://wikan.multiply.com On 6/25/07, Dan [EMAIL PROTECTED] wrote: Sebenarnya yg kita bahas di milis kebanyakan adalah permasalahan yg berdomisili dalam kaidah muamalah, yaitu oleh Allah sendiri dianjurkan utk diselesaikan secara musyawarah. Yg saya khawatir ialah bahwa yg sebenarnya kaidah muamalah itu difait-accompli sebagai kaidah ibadah sehingga ruang gerak utk memusyawahkannya dan mengijtihadkan jadi terbatas dan penentu akhirnya selalu suatu fatwa dari ulama. Dalam dinamika masyarakat modern dg berbagai ragam kepentingan, keahlian dan jalan hidup, saya rasa ulama tidak lagi berkompeten utk memberikan suatu fatwa dalam semua aspek kehidupan. [Non-text portions of this message have been removed]
[wanita-muslimah] Re: Ukhuwah praktis ... atau teoritis alias OMDO?
Bung Chodjim, Kutipan Anda: Lalu, di mana peran ulama? Ulama yang sebenarnya hanyalah pelita. Dengan pelita tu sebenarnya umat bisa menjumpai Rasulullah. Karena ulama itu hanya pelita, maka pro-aktif umatlah yang diperlukan. Tak ada ketaatan buat ulama. Ini sesuai dengan hadis Nabi yang menyebutkan bahwa tak ada sistem kependetaan dalam Islam. Saya perbesar TAK ADA SISTEM KEPENDETAAN DALAM ISLAM. Jadi, ulama yang mentukan ini dan itu buat umatnya tak dikenal dalam Islam. Yang mentukan ini dan itu dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat adalah ulil amri yang dalam istilah sekarang dapat disamakan dengan aparat pemerintahan. Lha, al-Sunnah itu merupakan rujukan sekonder bila kita tak mendapatkan rujukan. sangat mencerahkan. Saya juga ikut merasakan bahwa banyak umat Islam yg sudah secara salah menyikapi hadits sebagai rujukan primer bukan sekunder lagi seperti yg dimaksudkan. Barangkali salah satu penyebab terjadinya kesemwrawutan hukum dalam dunia Islam. Saya pernah diceritakan pembantu saya bahwa di desa di daerah Cipanas sekarang ada para ulama mengutip fee utk mendoakan biar masuk surga. Hehe ini kan spt jaman gereja Katolik sebelum masa Pencerahan. Ada fungsi pendeta yg mendoakan biar masuk surga, padahal menurut Islam kan tanggung jawab masing2. Dan MUI tidak pernah bersuara apa2 mengenai ini. Mudah2an dakwah Bung Chodjim akan dapat memberi hikmah pada kita semua. dari Alquran.--- In wanita-muslimah@yahoogroups.com, Achmad Chodjim [EMAIL PROTECTED] wrote: Mas Wikan, Di dalam Alquran dinyatakan bahwa ketaatan itu hanya kepada Allah dan kepada Rasul-Nya. Lalu, ketaatan berikutnya kepada ulil amri --jika dan hanya jika-- ulil amri itu sendiri taat kepada Allah dan taat kepada Rasul-Nya. Pernyataan di atas dituangkan dalam QS 4:59. Sayangnya, taat kepada Allah ini dipelintir menjadi taat kepada Alquran, dan taat kepada Rasul-Nya dipelintir menjadi taat kepada al-Sunnah. Jadi, Allah Yang Maha Hidup itu sudah sejak lama tidak dianggap hidup lagi oleh umat, makanya Allah diturunkan derajatnya hanya sebagai Alquran. Padahal, kalau ditanya tentang rukun iman, ada rukun untuk mengimani Allah dan ada rukun untuk mengimani kitab-kitab-Nya (QS 2:177). Demikian juga ketaatan kepada Rasul Allah, kepada Kanjeng Nabi Muhammad, lha koq diturunkan derajatnya hanya taat kepada al-Sunnah. Kita lupa bahwa Rasul itu tetap hidup (QS 2:154, 3:169-171). Bukankah dalam tasyahud ada ucapan assalaamu 'alayka ayyuhan nabiyyu wa rahmatullahi wa barakaatuh, assalaamu 'alayna wa 'alaa ibadillaahis shaalihiin? Jadi, ucapan salam itu ditujukan kepada yang hidup dan yang disetarakan dengan orang yang mengucapkannya. Alquran itu adalah kitab tempat kita merujuk atau mengambil rujukan, jadi bukan tempat taat. Sedangkan petunjuk yaa harus kita peroleh langsung dari Tuhan, makanya ada ihdinaash shiraathal mustaqiim. Nah, kalau kita ditunjukkan oleh Tuhan, maka kita akan bisa melihat rujukannya, dan kita bisa menemukan ayatnya, lalu kita sambil mengangguk-angguk. oh ini ayatnya. Bukankah hakikat ayat-ayat Alquran itu ada di dalam dada orang-orang yang diberi ilmu? (QS 29:49). Rasulullah yang sudah tidak berbadan fisik ini tetap hidup. Jasad fisik tak mampu lagi menampung Ruh Rasullullah, makanya secara fisikal beliau hanya 63 tahun. Karena tetap hidup itu maka Rasul menjadi saksi dan tetap menerangi (QS 33:45-46). Lha, kalau Muhammad mati secara total (lahir dan batin) yaa beliau tak pernah bisa menjadi saksi, apalagi menerangi. Jadi, hanya yang hidup yang bisa menjadi saksi dan menerangi, sedangkan mayit ya tak bisa apa-apa. Lalu, di mana peran ulama? Ulama yang sebenarnya hanyalah pelita. Dengan pelita itu sebenarnya umat bisa menjumpai Rasulullah. Karena ulama itu hanya pelita, maka pro-aktif umatlah yang diperlukan. Tak ada ketaatan buat ulama. Ini sesuai dengan hadis Nabi yang menyebutkan bahwa tak ada sistem kependetaan dalam Islam. Saya perbesar TAK ADA SISTEM KEPENDETAAN DALAM ISLAM. Jadi, ulama yang mentukan ini dan itu buat umatnya tak dikenal dalam Islam. Yang mentukan ini dan itu dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat adalah ulil amri yang dalam istilah sekarang dapat disamakan dengan aparat pemerintahan. Lha, al-Sunnah itu merupakan rujukan sekonder bila kita tak mendapatkan rujukan dari Alquran. Matur suwun, Salam, chodjim - Original Message - From: Wikan Danar Sunindyo To: wanita-muslimah@yahoogroups.com Sent: Monday, June 25, 2007 7:34 PM Subject: Re: [wanita-muslimah] Re: Ukhuwah praktis ... atau teoritis alias OMDO? nambahin Pak Dana ... apa fenomena orang menyerahkan segala urusan kepada ulama juga merupakan bukti kemalasan berpikir umat pada umumnya, sehingga mereka tidak mau ambil resiko. serahkan saja pada ulama untuk memikirkan, kalau tar ditanya di akhirat, tinggal salahin aja ulamanya (yang mana sebenarnya tidak bisa begitu juga, karena semua orang akan dimintai pertanggungjawaban masing2 satu persatu
[wanita-muslimah] Re: Ukhuwah praktis ... atau teoritis alias OMDO?
Wah Bung Dan maaf kalo ternyata buat anda nada saya terasa tidak sejuk. Tidak ada niat saya untuk itu. Ala kulli hal, mohon maaf untuk mishap itu. :( Soal keabadian, saya kira tidak berbanding lurus dengan popularitas, terlebih jika kemudian terbukti hal itu salah, spt 'teori' evolusi misalnya. Dan soal sedikitnya referensi, buat saya pribadi mungkin krn memang pas yang kita baca itu adalah karya kontemporer yang tidak menggunakan karya IK sebagai primary source. Atau memang tidak banyak buku atau referesni ilmiah yang membahas topik yang dikaitkan dengan karya monumental beliau. Karya IK bukanlah satu-satunya karya ilmiah monumental dalam tradisi keilmuan islam Bung. Artinya, kalo kita kais dan korek perpustakaan besar di negara2 Barat, pasti akan ketemu itu naskah kuno asli atau saduran atau salinannya. Bahkan mungkin ada yang sudah memuatnya on- line. Mungkin dengan akses Bung yang relatif lebih banyak dan mudah di banding di negara2 Islam termasuk di tanah air, Bung bisa segera tahu hal itu. Karya lain yang diakui monumental tapi jarang dilirik misalnya adalah karya Ibnu Sina/Avicenna di bidang kedokteran The Qanun/Canon yang hingga abad 17 masih menjadi buku acuan di dunia kedokteran Barat (Up to the year 1650, or thereabouts, the Canon was still used as a textbook in the universities of Leuven and Montpellier.-http://en.wikipedia.org/wiki/Avicenna#Legacy). Mengapa sekarang tdk dipakai? Ya banyaklah alasannya, selain bhw dunia teknologi demikian maju. Kemungkinan lain adalah karya2 yang mengutip mereka itu mayoritas adalah di lingkungan akademis, padahal yang paling banyak dibaca adalah buku2 populer walau tidak kurang otoritas akademisnya. Ibadah dalam Islam kan memang luas Bung, ada yang khusus/spesifik, atau ibadah mahdhah (ritual, rites) spt Shalat dll, ada juga yang umum, yaitu semua kegiatan kita di luar yang khusus itu. Bukankah ada prinsip bahwa hidup muslim itu, dari membuka mata menjelang fajar hingga tidur kembali adalah ibadah? Kaitannya juga dengan panggilan kita oleh Allah yaitu 'abid' tau 'abd' yang artinya orang(2) yang beribadah. Tdk mungkin hanya karena ritual saja lalu kita disapa demikian oleh Allah. Ibarat peninju dan petinju, yang satu orang yang melakukan sesuatu, yang lain orang yang hidupnya memang bertinju. Nah tidak salah kalo konstruk berpikir ini diadopsi oleh saudara- saudara kita dalam hidup mereka. Tapi memang tidak mudah ketika lini berpikir ini berbenturan dengan yang menganggap ibadah itu ya yang rukun islam saja. Dengan demikian, tidak pas menganggap bahwa urusan ULAMA itu hanya spiritual (istilah asing, di luar tradisi islam) sedangkan diluar itu bukan urusan ULAMA. Wah kan ada tu yang komentar bahwa ORIENTALIS juga ULAMA, padahal jelas ORIENTALIS itu murni ilmu yang ditekankan dan ga ada urusan sama 'spiritual islam' bahkan ORIENTALIS itu inginnya membuat ISLAM itu seperti KRISTEN, terpisah antara GEREJA dan NEGARA. Jadi ada kerancuan referensi dan lini berpikir di sini. Mencomot ide non-islam (di luar tradisi islam) lalu dipaksakan untuk masuk ke tradisi islam. Contohnya, seputar hukum, negara, dan HAM. Di islam hal-hal itu pasti ada, tapi ketika kita ambil itu dari tradisi non- islam dan kita paksakan untuk bisa masuk ke tradisi islam, saya kira itu PEMAKSAAN yang jelas. Jadi, hingga tataran pemikiran pun, topik atau terma yang sangat banyak muncul dan ditujukan Allah kepada muslim, jelas islam punya tradisi yang khas. Dan ini yang Bung harapkan kan? Jadi mengukur islam dengan alat ukur di luar islam, pasti tidak cocok. Yang ada adalah kesan 'carut marut' dan 'pemaksaan'. Kalo kita jujur, yang namanya budaya kan pasti beda. Ilustrasi sederhana yang saya ambil dari sebuah dokumenter, seorang perwira militer kerajaan Inggris Raya Lieutenant Colonel Sir Francis Edward Younghusband yang berhasil 'menaklukan' Tibet, ketika memasuki Lhasa ia gembira krn disambut oleh penduduknya dengan tapukan tangan. Ternyata kemudia ia tahu bahwa mereka bukan bertepuk tangan spt yang dia KIRA, tapi bertepuk tangan sesuai tradisi Tibet ketika mengusir ROH JAHAT. Ini juga mirip salam suku MAORI (cmiiw) yang menjulurkan lidah, yang buat tradisi lain sama dengan menghina. Jadi, sebagaimana yang sedang saya pelajari, bahwa Islam adalah bangunan utuh yang tidak akan lekang. Adapun muslim yang adalah manusia dengan sejumlah kelemahan yang di tengahnya adalah hawa nafsu, pasti lekang oleh ujian duniawi. Nah sejarah sejauh ini membuktikan bahwa hilangnya kejayaan Islam bukan karena hilangnya tradisi islam, tapi hilangnya lini pemikiran islam dalam paradigma muslim akibat pengaruh asing yang tidak dicermati. Singkat kata, sebenarnya segala keraguan Bung soal kejayaan Islam bisa dimengerti akan tetapi bukan berarti keraguan Bung itu sesuatu yang 'semestinya' tapi sesuatu yang 'pada prakteknya'. Jadi untuk bisa membuktikan kejayaan Islam, tentu kita mulai melakukan introspeksi berupa SWOT analysis, minimal. Dan sekarang