On Thu, Dec 15, 2005 at 11:39:32PM +0700, Yulian Firdaus H. wrote:
> Sebelum berbicara isi atau penafsiran, lebih baik hal-hal teknisnya
> diperjelas tanggung jawabnya, karena ramenya di blog bisa dipermudah
> secara semantik, misalnya:
> * Setiap paragraf yang ditulis penulis blog adalah sepenuhnya tanggung
>   jawab penulis blog
> * Setiap kutipan adalah tanggung jawab pemilik kutipan tersebut
> * Setiap gambar/multimedia adalah tanggung jawab penulis blog, kecuali
>   disebutkan khusus atau tautan dari luar blog tsb

Gimana kalo pertanyaannya lebih mendasar lagi. Apakah bisa jikalau Terms &
Conditions (TC) memang diberikan, akan dapat dipertanggung-jawabkan
secara hukum, apalagi dengan kultur di Indonesia?

Memang, kita tidak bisa menyalahkan kultur hukum dan malah berpangku
tangan. Sebaiknya memang ada TC, meskipun kulturnya nda mendukung, yang
penting kita duluan yang ambil langkah preventif atau mungkin lebih baik
disebut langkah mendidik.

Tetapi, jika ditarik lebih jauh, kalo memang isi dari blog adalah catharsis
(and narsis) apakah perlu diberi TC?

Yah, berpulang lagi kepada pemilik blog, apakah tulisannya 'cukup
berbahaya' untuk diabaikan tanpa TC.

Untuk bahan diskusi lebih jauh, bagaimana kalau kita lihat kasus blog
dibawah ini? Perlu atau tidakkah pemilik minimsft tetap menjadikan
dirinya anonymous? Apakah bisa digeneralisasi bahwa anonymous itu
identik dengan inferiority? Kalo sudah begini, apakah masih diperlukan
TC?

Adalah http://minimsft.blogspot.com/. Blog ini disebut2 sebagai
Microsoft's Deep Throat yang banyak memberi kritikan dan frustration
terhadap perusahaan yang mengeluarkan dirinya (mereka?).  Anonymous,
ternyata iya. Karena memang hal yang seperti ini sebaiknya diberikan
anonymous melihat tingkah laku MS yang terlanjur infamous itu. 

Yang lebih aneh lagi ketika some people just don't want to take the 
pride bahwa informasi tersebut merupakan racikan bagian dirinya. Ndak
tahu deh kalo menurut mbah Maslow ini udah tingkat berapa, tetapi yang
pasti, existensi pribadi sudah lebih tidak terlihat.

Jawaban saya sederhana saja. Terkadang kita perlu mengabaikan
nara-sumber dimana informasi diberikan. Dulu saya pernah ngomong di
milis sebelah, apakah kalo saya yang ngomong jadi kurang bermakna? Padahal
informasi dan kata-kata yang diberikan sama. Lebih baik melihat makna
dari informasi tersebut daripada mencari makna dari pemilik informasi
tersebut. Saya sih "cukup Jawa" (Kata Armando) to keep the mouth shut!
Sekali lagi Ignorance is a bliss, dan ini bukan merupakan ketakutan
untuk untuk berbicara, tetapi malah sebagai ungkapan ignorance saja.

"Irrational Exuberance," kata mbah Greenspan.

thx
.dave

http://www.davidsudjiman.info

Kirim email ke