Nyanggakeun artikel kenging aktivis wanoja nu urang Sunda, Julia 
Suryakusuma. Artikel ieu soal sosobatanana Teh Julia sareng wanoja Sunda 
deui,  nu beda kasang tukangna jeung Teh Julia.

Celana Seksi dan Jilbab: Ketika Akal dan Jiwa Bertemu

Julia Suryakusuma

Jakarta -"Semakin banyak perubahan, semakin banyak
yang kekeh." Kalimat tersebut disampaikan pertama kali oleh orang Perancis,
tetapi juga bisa keluar dari mulut seorang Indonesia. Reformasi merupakan 
sebuah
reaksi terhadap Orde Baru tetapi dalam banyak hal ia justru menjadi
kelanjutannya - kadang lebih buruk.

Orde Baru, misalnya, terkenal karena usahanya untuk memaksakan keseragaman.
Sekarang, delapan tahun setelah mundurnya Soeharto, elit baru dalam 
pemerintahan
lokal kita kembali melakukan hal yang sama, kali ini dengan menggunakan
peraturan yang diilhami Islam untuk memaksakan keseragaman. Kali ini bukan 
lagi
keseragaman ala militer tetapi jilbab (selendang penutup kepala) dan 
"pakaian
Muslim" dengan memaksa perempuan mengenakannya. Dan seperti halnya Orde 
Baru,
walau tanpa paksaan, ada tekanan untuk mematuhinya. Apa yang katanya 
merupakan
"pakaian Muslim" telah menjadi sebuah "seragam" baru yang dipaksakan oleh
sekelompok otoriter baru.

Tragedi dari usaha pengulangan untuk menciptakan satu ukuran yang cocok bagi
seluruh rakyat Indonesia tidak sesuai dengan kenyataan sosial Indonesia, 
yang
jauh terlalu rumit untuk dikungkung dalam kotak-kotak kecil yang kaku. Itu 
sama
saja dengan mencoba memasukkan seekor gajah ke dalam lubang semut. Tak 
peduli
apa yang dilakukan oleh pihak berwenang, orang tidak ditentukan oleh apa 
yang
mereka kenakan, dan pakaian menyembunyikan sebanyak apa yang mereka buka.

Ambillah saya dan salah seorang sahabat saya sebagai contoh. Orang bingung
dengan persahabatan kami, karena dari luar kami begitu berbeda. Mulai dari
penampilan fisik. Tinggi saya 1,72 meter dan dia hanya 1,53. Ya Neng memang
mungil. Saya mengenakan perhiasan dan bersolek, sementara Neng tidak pernah
mengenakan itu semua.

Kadang suami saya Tim memanggil saya si "celana seksi" karena saya suka
berdandan dan mengenakan pakaian ketat. Neng mengenakan celana longgar yang
sederhana dan atasan, dalam warna-warna kalem.

Ia memiliki rambut pendek yang ia tutup dengan jilbab. Rambut saya panjang
hingga ke pinggang dan tak pernah ditutup. Bersama, kami sungguh-sungguh
pasangan aneh!

Neng berkata bahwa mengenakan jilbab membuatnya mudah diterima dalam 
masyarakat
Muslim ketika ia melakukan pelatihan jender bagi kalangan bawah, memberikan
seminar atau menghadiri pengajian Al Qur'an, dan kegiatan-kegiatan keagamaan
lain. Ini juga merupakan bagian dari latar kebudayaannya, karena ia berasal 
dari
wilayah benteng Islam di Labuan, Banten, dan berasal dari tradisi pesantren 
yang
kuat. Jadi ia terbiasa dan merasa nyaman mengenakannya. Seperti saya dengan 
kaos
kutang saya.

Ayah Neng adalah seorang pemilik tanah, petani, yang hanya mengenyam sekolah
dasar. Terlepas dari ini, ia adalah seorang yang tercerahkan. Sebagai 
seorang
kyai, ia sangat mementingkan pendidikan, mendirikan sekolah, bahkan sebuah
universitas di Labuan. Ia mendorong anak-anaknya untuk mengejar pendidikan
setinggi mungkin. Saat ini, empat dari lima anaknya memegang gelar pasca
sarjana. Neng sendiri meraih gelarnya dalam perbandingan agama dari 
Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah dan gelar pasca sarjananya dalam sosiologi 
dari
Universitas Indonesia.

Ironisnya, walaupun saya berasal dari latar belakang internasional, 
diplomatic,
dan kedua orang tua saya, yang juga berasal dari Jawa Barat, hidup di sebuah
dunia yang lebih sekuler, mereka tidak pernah menekankan pentingnya 
pendidikan.
Ayah saya akan tetap bahagia jika saya menjadi seorang sekretaris, 
penerjemah,
atau pramugari (betapa runyamnya jika itu terjadi!). Untungnya, kedua orang 
tua
saya berasal dari wilayah Jawa Barat yang selalu menjadi sumber 
pemberontakan -
termasuk kelompok militan Islam Darul Islam! - dan kelihatannya saya 
mewarisi
sebagian gen tersebut. Tetapi pemberontakan saya adalah memperoleh 
pendidikan
dan melakukan jihad intelektual, bukan jihad yang
mengebom-orang-yang-tidak-kita-suka.

Jadi Neng dan saya adalah dua orang Muslim Jawa Barat yang sangat berbeda. 
Kami
mungkin berbicara satu sama lain menggunakan bahasa Sunda, tetapi bukan
kebudayaan dan suku bangsa yang membuat kami dekat; melainkan hubungan
intelektual dan spiritual. Kami berbagi hasrat akan ilmu pengetahuan dan
keyakinan dalam demokrasi, yang terlepas dari segala kekurangannya, lebih 
baik
dibanding otoritarianisme, relijius maupun tidak. Dan kami saling mengagumi!

Saya mengagumi Neng karena banyak hal, termasuk pemahamannya tentang Islam, 
baik
dalam tulisan maupun praktik. Saya mengagumi kenyataan bahwa karena 
asal-usul
pedesaannya dan pencapaian akademisnya, ia dapat hidup dalam dua dunia
Indonesia, menengahi dan menerjemahkan antara yang teori dan empiris.

Saya juga mengagumi perannya sebagai salah seorang pimpinan Fatayat NU, 
sayap
perempuan Nahdlatul Ulama, yang didedikasikan untuk memberdayakan kaum 
perempuan
Muslim di perdesaan.

Terlebih-lebih, saya mengagumi Neng karena melaluinya saya pertama kali
merasakan keindahan Islam, khususnya spiritualitasnya dan kerumitannya yang
halus dalam konteks Indonesia. Ia percaya bahwa fundamentalisme Islam 
merupakan
"Islam padang pasir", dan tidak sesuai dengan Indonesia. Ia memimpikan suatu
Islam yang terbuka, bahkan bagi orang-orang dari berbagai latar belakang,
pandangan, dan jalan hidup yang berbeda. Ini sebabnya mengapa ia mengaku 
dapat
merasa dekat dengan saya. Jika orang lain melihat saya hanya sebagai seorang
intelektual dan sensualitas diri saya, ia melihat spiritualitas dan hal-hal
asketis dalam diri saya. Yang paling utama, ia mengagumi sikap saya yang
menyerahkan segalanya kepada Tuhan, yang katanya merupakan inti sari dari 
Islam.

Dapatkah orang mengetahui ini semua jika mereka melihat kami berdiri
berdampingan? Dapatkah orang menduga bahwa dua orang Indonesia yang begitu
berbeda ternyata saling mengagumi? Akankah mereka menduga kami menganut 
agama
yang sama?

Satu hal yang saya yakini adalah para lelaki berpikiran sempit dalam seragam
Islam yang merancang peraturan yang memaksakan perempuan mengenakan jilbab 
tidak
dapat menduga dan mungkin juga tidak akan peduli. Dan itu membuat mereka 
tidak
ada bedanya dengan para laki-laki berpikiran sempit dalam seragam militer 
yang
merancang peraturan yang melarang jilbab di bawah Orde Baru.

Bedanya, kini kita yang memilih mereka - dan mudah-mudahan kita juga yang 
akan
menurunkan mereka nanti!

###

* Julia Suryakusuma adalah penulis buku Sex, Power, and Nation: An Anthology 
of
Writings, 1979 - 2003 . Artikel ini disebarluaskan oleh Common Ground News
Service (CGNews) dan dapat dibaca di www.commongroundnews.org. 



Komunitas Urang Sunda --> http://www.Urang-Sunda.or.id
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/urangsunda/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/urangsunda/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    mailto:[EMAIL PROTECTED] 
    mailto:[EMAIL PROTECTED]

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 

Reply via email to