Anu sapetos kieu mah langkung sae upami istri oge anu ngomentaran geura, da upami pameget mah sok dihubungkeun jeung masalah gender wae ku kaum feminist mah, ngan abdi mah ngadugikeun wae naon nu ku pun bojo kantos dicarioskeun, kieu saurna (tapi dimodifikasi cariosanna da versi aslina anu pas unggal kecap mah hilap deui):
"akang, abdi nganggo jilbab teh sanes pedah dipiwarang ku akang atanapi sieun teu ditampi ku masyarakat, abdi mah nganggo jilbab teh sabab Allah nu marentahkeun, aya masalah-masalah anu teu kedah dicarioskeun deui tapi kedah sami'na wa ato'na" ... kinten-kinteun kitu saur pun bojo mah.
 
Janten mangga we atuh ka para istri bade ngaraos dipaksa ku pameget ibadah teh, teu aya nilaina eta mah. Sok atuh mending uihkeun deui ka hal anu dasar (basic) kunaon aranjeun ngalakukeun hiji hal teh.
 
Salam,
Budyana

 
On 10/23/06, Waluya <[EMAIL PROTECTED]> wrote:

Nyanggakeun artikel kenging aktivis wanoja nu urang Sunda, Julia
Suryakusuma. Artikel ieu soal sosobatanana Teh Julia sareng wanoja Sunda
deui, nu beda kasang tukangna jeung Teh Julia.

Celana Seksi dan Jilbab: Ketika Akal dan Jiwa Bertemu

Julia Suryakusuma

Jakarta -"Semakin banyak perubahan, semakin banyak
yang kekeh." Kalimat tersebut disampaikan pertama kali oleh orang Perancis,
tetapi juga bisa keluar dari mulut seorang Indonesia. Reformasi merupakan
sebuah
reaksi terhadap Orde Baru tetapi dalam banyak hal ia justru menjadi
kelanjutannya - kadang lebih buruk.

Orde Baru, misalnya, terkenal karena usahanya untuk memaksakan keseragaman.
Sekarang, delapan tahun setelah mundurnya Soeharto, elit baru dalam
pemerintahan
lokal kita kembali melakukan hal yang sama, kali ini dengan menggunakan
peraturan yang diilhami Islam untuk memaksakan keseragaman. Kali ini bukan
lagi
keseragaman ala militer tetapi jilbab (selendang penutup kepala) dan
"pakaian
Muslim" dengan memaksa perempuan mengenakannya. Dan seperti halnya Orde
Baru,
walau tanpa paksaan, ada tekanan untuk mematuhinya. Apa yang katanya
merupakan
"pakaian Muslim" telah menjadi sebuah "seragam" baru yang dipaksakan oleh
sekelompok otoriter baru.

Tragedi dari usaha pengulangan untuk menciptakan satu ukuran yang cocok bagi
seluruh rakyat Indonesia tidak sesuai dengan kenyataan sosial Indonesia,
yang
jauh terlalu rumit untuk dikungkung dalam kotak-kotak kecil yang kaku. Itu
sama
saja dengan mencoba memasukkan seekor gajah ke dalam lubang semut. Tak
peduli
apa yang dilakukan oleh pihak berwenang, orang tidak ditentukan oleh apa
yang
mereka kenakan, dan pakaian menyembunyikan sebanyak apa yang mereka buka.

Ambillah saya dan salah seorang sahabat saya sebagai contoh. Orang bingung
dengan persahabatan kami, karena dari luar kami begitu berbeda. Mulai dari
penampilan fisik. Tinggi saya 1,72 meter dan dia hanya 1,53. Ya Neng memang
mungil. Saya mengenakan perhiasan dan bersolek, sementara Neng tidak pernah
mengenakan itu semua.

Kadang suami saya Tim memanggil saya si "celana seksi" karena saya suka
berdandan dan mengenakan pakaian ketat. Neng mengenakan celana longgar yang
sederhana dan atasan, dalam warna-warna kalem.

Ia memiliki rambut pendek yang ia tutup dengan jilbab. Rambut saya panjang
hingga ke pinggang dan tak pernah ditutup. Bersama, kami sungguh-sungguh
pasangan aneh!

Neng berkata bahwa mengenakan jilbab membuatnya mudah diterima dalam
masyarakat
Muslim ketika ia melakukan pelatihan jender bagi kalangan bawah, memberikan
seminar atau menghadiri pengajian Al Qur'an, dan kegiatan-kegiatan keagamaan
lain. Ini juga merupakan bagian dari latar kebudayaannya, karena ia berasal
dari
wilayah benteng Islam di Labuan, Banten, dan berasal dari tradisi pesantren
yang
kuat. Jadi ia terbiasa dan merasa nyaman mengenakannya. Seperti saya dengan
kaos
kutang saya.

Ayah Neng adalah seorang pemilik tanah, petani, yang hanya mengenyam sekolah
dasar. Terlepas dari ini, ia adalah seorang yang tercerahkan. Sebagai
seorang
kyai, ia sangat mementingkan pendidikan, mendirikan sekolah, bahkan sebuah
universitas di Labuan. Ia mendorong anak-anaknya untuk mengejar pendidikan
setinggi mungkin. Saat ini, empat dari lima anaknya memegang gelar pasca
sarjana. Neng sendiri meraih gelarnya dalam perbandingan agama dari
Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah dan gelar pasca sarjananya dalam sosiologi
dari
Universitas Indonesia.

Ironisnya, walaupun saya berasal dari latar belakang internasional,
diplomatic,
dan kedua orang tua saya, yang juga berasal dari Jawa Barat, hidup di sebuah
dunia yang lebih sekuler, mereka tidak pernah menekankan pentingnya
pendidikan.
Ayah saya akan tetap bahagia jika saya menjadi seorang sekretaris,
penerjemah,
atau pramugari (betapa runyamnya jika itu terjadi!). Untungnya, kedua orang
tua
saya berasal dari wilayah Jawa Barat yang selalu menjadi sumber
pemberontakan -
termasuk kelompok militan Islam Darul Islam! - dan kelihatannya saya
mewarisi
sebagian gen tersebut. Tetapi pemberontakan saya adalah memperoleh
pendidikan
dan melakukan jihad intelektual, bukan jihad yang
mengebom-orang-yang-tidak-kita-suka.

Jadi Neng dan saya adalah dua orang Muslim Jawa Barat yang sangat berbeda.
Kami
mungkin berbicara satu sama lain menggunakan bahasa Sunda, tetapi bukan
kebudayaan dan suku bangsa yang membuat kami dekat; melainkan hubungan
intelektual dan spiritual. Kami berbagi hasrat akan ilmu pengetahuan dan
keyakinan dalam demokrasi, yang terlepas dari segala kekurangannya, lebih
baik
dibanding otoritarianisme, relijius maupun tidak. Dan kami saling mengagumi!

Saya mengagumi Neng karena banyak hal, termasuk pemahamannya tentang Islam,
baik
dalam tulisan maupun praktik. Saya mengagumi kenyataan bahwa karena
asal-usul
pedesaannya dan pencapaian akademisnya, ia dapat hidup dalam dua dunia
Indonesia, menengahi dan menerjemahkan antara yang teori dan empiris.

Saya juga mengagumi perannya sebagai salah seorang pimpinan Fatayat NU,
sayap
perempuan Nahdlatul Ulama, yang didedikasikan untuk memberdayakan kaum
perempuan
Muslim di perdesaan.

Terlebih-lebih, saya mengagumi Neng karena melaluinya saya pertama kali
merasakan keindahan Islam, khususnya spiritualitasnya dan kerumitannya yang
halus dalam konteks Indonesia. Ia percaya bahwa fundamentalisme Islam
merupakan
"Islam padang pasir", dan tidak sesuai dengan Indonesia. Ia memimpikan suatu
Islam yang terbuka, bahkan bagi orang-orang dari berbagai latar belakang,
pandangan, dan jalan hidup yang berbeda. Ini sebabnya mengapa ia mengaku
dapat
merasa dekat dengan saya. Jika orang lain melihat saya hanya sebagai seorang
intelektual dan sensualitas diri saya, ia melihat spiritualitas dan hal-hal
asketis dalam diri saya. Yang paling utama, ia mengagumi sikap saya yang
menyerahkan segalanya kepada Tuhan, yang katanya merupakan inti sari dari
Islam.

Dapatkah orang mengetahui ini semua jika mereka melihat kami berdiri
berdampingan? Dapatkah orang menduga bahwa dua orang Indonesia yang begitu
berbeda ternyata saling mengagumi? Akankah mereka menduga kami menganut
agama
yang sama?

Satu hal yang saya yakini adalah para lelaki berpikiran sempit dalam seragam
Islam yang merancang peraturan yang memaksakan perempuan mengenakan jilbab
tidak
dapat menduga dan mungkin juga tidak akan peduli. Dan itu membuat mereka
tidak
ada bedanya dengan para laki-laki berpikiran sempit dalam seragam militer
yang
merancang peraturan yang melarang jilbab di bawah Orde Baru.

Bedanya, kini kita yang memilih mereka - dan mudah-mudahan kita juga yang
akan
menurunkan mereka nanti!

###

* Julia Suryakusuma adalah penulis buku Sex, Power, and Nation: An Anthology
of
Writings, 1979 - 2003 . Artikel ini disebarluaskan oleh Common Ground News
Service (CGNews) dan dapat dibaca di www.commongroundnews.org.


__._,_.___

Komunitas Urang Sunda --> http://www.Urang-Sunda.or.id





SPONSORED LINKS
Culture change Corporate culture Cell culture
Organization culture Tissue culture

Your email settings: Individual Email|Traditional
Change settings via the Web (Yahoo! ID required)
Change settings via email: Switch delivery to Daily Digest | Switch to Fully Featured
Visit Your Group | Yahoo! Groups Terms of Use | Unsubscribe

__,_._,___

Reply via email to