BISMILLA-HIRRAHMA-NIRRAHIYM WAHYU DAN AKAL - IMAN DAN ILMU [Kolom Tetap Harian Fajar] 623. Intelektual Muslim yang Keranjingan Hermeneutika
Istilah hermeneutika berkaitan dengan mitos dewa Yunani Kuno yang bernama Hermes, yang memiliki kebiasaan "memintal". Mitos memintal ini mengungkap dua hal dalam hermeneutika, yaitu: pertama, memastikan maksud, isi suatu kata, kalimat, dan teks, kedua, menemukan instruksi-instruksi dibalik simbol. Hermeneutika tidak terlepas dari asumsi-asumsi dan adanya purbasangka (prejudice) spekulasi intelektual. Ada asumsi spekulasi intelektual dari Fazlur Rahman, gurunya Nurcholis Madjid, yaitu bahwa Al Quran adalah "both the Word of God and the word of Muhammad". Asumsi ini bernuansa hermeneutika filosofis. Asumsi ini berpijak pada paradigma (kerangka dasar) bahwa Al Quran bukanlah teks yang turun dalam bentuk kata-kata aktual secara verbal, melainkan merupakan spirit wahyu yang disaring melalui Nabi Muhammad SAW dan sekaligus diekspresikan dalam tapal batas intelek dan kemampuan linguistiknya. Nabi Muhammad SAW sebagai penerima wahyu diposisikan sebagai "pengarang" Al Quran. Fazlur Rahman tidak faham perbedaan antara Al-Quran dengan Hadits Qudsyi. The Word of God adalah Al-Quran dan both the Word of God and the word of Muhammad adalah Hadits Qudsyi. Inilah latar belakang mengapa ada sementara kaum intelektual Muslim yang "keranjingan" hermeneutika untuk mengkaji Al Quran, dengan bertitik tolak dari sikap "meragukan" mushhaf (teks) Al Quran Rasm (ejaan) 'Utsmaniy. Dalam 24 jam, sekurang-kurangnya 17 kali ummat Islam bermohon kepada Allah: -- AHDNA ALSHRATH ALMSTQYM (S. ALFTht, 1:5), dibaca: ihdinash shira-thal mustaqi-m (s. alfa-tihah), artinya: Tunjukilah kami kepada Jalan yang Lurus. Allah SWT menjawab permohonan hambaNya itu dengan: -- A-L-M . DZLK ALKTB LA RYB FYH HDY LLMTQYN (S. ALBQRt 2:1-2), dibaca: alif, lam, mim . dza-likal kita-bu la- rayba fi-hi hudal lilmuttaqiyn (s. albaqarah), artinya: Alif, lam, mim . Itulah Al Kitab tiada keraguan di dalamnya petunjuk bagi para muttaqin. Ayat (2:1) alif-lam-mim adalah kode matematis Tabel Alif, Lam, Mim No. Nama Jumlah huruf Surah Surah Mim Lam Alif Alif,Lam,Mim 2 alBaqarah 2195 3204 4592 9991 3 Ali 'Imraan 1251 1885 2578 5714 7 alA'raaf 1165 1523 2572 5260 13 alRa'd 260 479 625 1364 29 al'Ankabuwt 347 554 784 1685 30 alRuwm 318 396 545 1259 31 Luqmaan 177 298 348 823 32 alSajadah 158 154 268 580 Jumlah 5871 8493 12312 26676 = 1404 x 19 Dalam ayat (2:2) ada tanda tiga titik (seperti titik pada huruf 'tsa' dan 'syin') terletak diatas kata "RYB" dan "FYH". Tanda tiga titik diatas dua kata tsb dalam ayat (2:2) menunjukkan mu'jizat lughawiyah, yaitu ayat (2:2) dapat bermakna dua yg keduanya mempunyai keutamaan masing-masing. Ada dua cara dalam membaca ayat (2:2) tersebut, yaitu dapat berhenti pada kata RYB, dan dapat pula berhenti pada kata FYH. Kedua cara bacaan tersebut menghasilkan penekanan dalam bobot yang berbeda, namun yang satu dengan yang lain saling bersinergi, saling mengisi. Mari kita baca ayat (2:2): Cara yang pertama, berhenti pada kata RYB: Dza-likal kita-bu la- rayba, berhenti sebentar kemudian dilanjutkan dengan fi-hi hudal lil muttaqi-n. Kalau kita membaca serupa ini maka maknanya ialah: Itulah Al Kitab tiada keraguan, pernyataan tegas dari Allah bahwa Al Kitab tiada keraguan sumbernya dari Allah SWT, kemudian dilanjutkan dengan: di dalamnya mengandung petunjuk bagi para muttaqin. Jadi cara membaca yang pertama ini bobotnya pada penegasan dari Allah SWT bahwa tiada keraguan bahwa Al Kitab bersumber dari Allah SWT. Apa itu Al Kitab ? Dalam bahasa aslinya Kitab akarnya dari Kef-Ta-Ba artinya tulis. Artinya Al Kitab itu adalah Teks. Jadi cara membaca yang pertama ini adalah penegasan dari Allah SWT bahwa tiada keraguan Teks itu bersumber dari Allah SWT. Tabulasi penjabaran ayat (2:1), yaitu alif-lam-mim sebagai al muqaththa'aat (potongan-potongan huruf) persekutuan dari 8 surah menunjukkan pula bahwa Teks itu bersumber dari Allah SWT, sebab mana mungkin Teks itu dapat dikarang oleh manusia. Alhasil paradigma bahwa Al Quran bukanlah teks yang turun dalam bentuk kata-kata aktual secara verbal, melainkan merupakan spirit wahyu yang disaring melalui Nabi Muhammad SAW yang diekspresikan dalam tapal batas intelek dan kemampuan linguistik beliau, ditolak oleh ayat (2:1-2). Maka tersungkurlah juga asumsi spekulasi intelektual dari Fazlur Rahman yang bertumpu pada paradigma itu, yaitu asumsi bahwa Al Quran adalah "both the Word of God and the word of Muhammad". Al Quran, baik makna maupun teksnya adalah dari Allah SWT. Nabi Muhammad saw hanyalah sekedar menyampaikan, dan tidak mengapresiasi atau mengolah wahyu yang diterimanya. Posisi Nabi Muhammad SAW dalam menerima dan menyampaikan wahyu adalah pasif, hanya sebagai 'penyampai' apa-apa yang diwahyukan kepada beliau. *** Cara membaca ayat (2:2) yang kedua, berhenti pada kata FYH: Dza-likal kita-bu la- rayba fi-hi, berhenti sebentar kemudian dilanjutkan dengan hudal lil muttaqi-n. Cara membaca yang kedua ini bermakna: Itulah Al Kitab tiada keraguan di dalamnya, menunjukkan bahwa tiada keraguan merupakan alat ukur bagi orang-orang taqwa dalam potongan ayat yang selanjutnya: petunjuk bagi para muttaqin. Jadi bobot cara pembacaan kedua ini ialah "tiada keraguan" adalah "alat ukur" mengenai ketaqwaan kita. Kita dapat mengukur ketaqwaan diri kita sendiri secara gradual haqqa tuqaatih (sebenar-benarnya taqwa) seberapa jauh qalbu kita istiqamah (konsisten, taat asas), setiap kita menghadapi suatu masalah, tidak terkecuali masalah "keranjingan" hermeneutika untuk mengkaji Al Quran dalam kalangan kaum intelektual Muslim, yang celakanya, bertitik tolak dari sikap "meragukan" mushhaf (teks) Al Quran Rasm 'Utsmany. WaLlahu a'lamu bisshawab. *** Makassar, 2 Mei 2004 [H.Muh.Nur Abdurrahman] ==================================== BISMILLA-HIRRAHMA-NIRRAHIYM WAHYU DAN AKAL - IMAN DAN ILMU [Kolom Tetap Harian Fajar] 729. Apa itu Binatang yang Disebut Hermeneutika Sebermula, Seri 729 ini direncanakan masih lanjutan jihad intelektual yang saya emban (execute) melawan serangan-serangan para orientalis terhadap Al-Quran, yaitu jihad lanjutan melawan serangan seorang orientalis yang lain lagi yang bernama samaran Luxenberg. Namun karena banyaknya deringan telepon yang saya terima yang menanyakan, yang salah seorang di antaranya memakai ungkapan: Apa itu "binatang" yang disebut hermeneutika," maka jihad melawan Luxenberg ini insya-Allah nanti dalam Seri 730 yang akan datang. Hermeneutika lagi bertrend terutama buat yang berpaham liberal. Istilah hermeneutika berkaitan dengan mitos dewa Hermes yang memiliki kebiasaan "memintal" (spin), yang dalam realistasnya menurut Sayyid Hussain Nasr adalah Nabi Idris AS, karena konon dewa Hermes dalam mitologi Yunani tersebut menyampaikan pula warta para dewa kepada manusia, bahkan bukan hanya sekadar menyampaikan, namun juga memberikan tambahan berupa ulasan. Mitos ini mengungkap dua hal, pertama: memastikan maksud, isi suatu kata, kalimat, teks, kedua: menemukan instruksi-instruksi dibalik simbol. Secara harfiah, kata ini pernah digunakan oleh Aristoteles (384-322) SM, dalam karyanya: Peri Hermeneias, yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dengan De Interpretatione; dan baru kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan On the Interpretation. Sebelumnya, al-Fârabi (870?-950) M, telah menterjemahkannya ke dalam bahasa Arab: Fi al-'Ibârah, dan memberi komentar karya Aristoteles tersebut. Hermeneias yang dikemukakan Aristoteles, hanya untuk membahas fungsi ungkapan dalam memahami pemikiran, serta pembahasan tentang satuan-satuan bahasa, seperti kata benda, kata kerja, kalimat, ungkapan, dan lain-lain yang berkaitan dengan tata-bahasa. Ketika membicarakan hermeneias, Aristoteles tidak mempersoalkan teks, ataupun mengkritik teks. Yang menjadi topik pembahasan Aristoteles adalah interpretasi itu sendiri, tanpa mempersoalkan teks yang diinterpretasikan. Binatang hermeneutika ini ibarat ulat bermetamorphosis menjadi kupu-kupu, dimulai sejak para theolog Yahudi dan Kristen berusaha mengembangkan metode dan aturan yang dapat memandu penafsiran dan mengevaluasi kembali teks-teks dalam Bible yang sudah hilang teks aslinya yang dalam bahasa Hebrew Kuno (Al-'Ibriyyah Al-Qadimah) untuk Perjanjian Lama dan bahasa Aram (Al-'Ibriyyah Al-Jadidah) untuk Injil(*). Kemudian selama tahun-tahun pertama abad ke sembilan belas, metode itu ibarat kupu-kupu malam(**) terbang melebar menjadi hermeneutika umum oleh filosof dan theolog Protestan, Friedrich Schleiermacher (1768-1834). Perkembangan hermeneutika sangat berkaitan dengan filologi, alegori yang juga sebagai sistem penafsiran terhadap teks. Demikianlah hermeneutika itu bermetamorphosis lebih lanjut dari konteks theologi ke dalam konteks filsafat yang telah dibidani oleh Friedrich Schleiermacher tersebut. Maka tatkala hermeneutika itu ibarat kupu-kupu malam telah terbang melebar bermetamorphosis ke filsafat, menjamurlah serba-neka aliran yang menciutkan posisi hermeneutikanya Schleiermacher menjadi hanya sebagai salah satu aliran hermeneutika yang ada. Selain hermeneutikanya Schleiermacher, ada hermeneutikanya Emilio Betti (1890-1968), seorang sarjana hukum Romawi berbangsa Itali; ada hermeneutikanya Eric D. Hirsch (1928- ?) seorang kritikus sastra berbangsa Amerika; ada hermeneutikanya Hans-Georg Gadamer (1900- ?) seorang filosof dan ahli bahasa, dan lain-lain aliran-aliran, dsb. Arkian, perkembangan hermeneutika mencapai puncaknya yang ekstrem keliwat batas, yaitu menerobos masuk wilayah epistemologis. yaitu penafsiran terhadap teks yang dibangun berdasarkan teori epistema (dari bhs Yunani Kuno episteme), yang menyangkut tentang parameter pengetahuan berupa: -- asal-usul, -- anggapan, -- karakter, -- cakupan, -- kecermatan, -- keabsahan. Hermeneutika epistemologis yang ekstrem ini digunakan oleh pengecer Mohammad Arkoun dalam Rethinking Islam, (Kayfa na'qilu l-Islama, Bagaimana kita mengakali Islam). Saya dapat menimba dalam debat saya vs Ulil Absar Abdalla di cyber space, yang panglimanya komunitas yang menamakan diri Islam Liberal, bahwa komunitas ini memakai hermeneutika epistemologis, yaitu menurut mereka ayat-ayat Makkiyah bermuatan nilai universal, namun ayat-ayat Madaniyah diciutkan posisinya oleh parameter cakupan menjadi hanya bermuatan local, dan inilah yang menjadi paradigma yang dipakai oleh meraka dalam pendekatan kontekstual. Seperti contohnya khimar (telekung) panjang menutupi dada, itu bermuatan lokal, hanya wajib untuk daerah Arab yang berpadang-pasir dan berdebu, yang secara kontekstual tidak cocok bagi negeri seperti Indonesia ini. Karena hermeneutika epistemologis cakupan muatan lokal tersebut, mereka tidak lagi mengenal ayat-ayat Qath'i. Ayat tentang wajibnya khimar panjang yang qath'i sudah menjadi relatif. -- WLYDHRBN BKHMRHN 'ALY JYWBHN (S. ALNWR, 24:31), dibaca: -- walyadhribna bikhumurihinna 'ala- juyu-bihinna (s. annu-r). WLYDHRBN - walyadhribna dalam ayat (24:31) terdapat Lam Al Amr (Lam yang menyatakan perintah), maka kata tersebut berarti: Diperintahkan kepada mereka menutupkan, sehingga ayat (24:31) terjemahannya adalah: -- Diperintahkan kepada mereka menutupkan khumur mereka ke atas dada mereka. (Khumur adalah bentuk jama' = plural dari khimar, artinya tutup kepala, yang di Indonesia ini tutup kepala yang dipanjangkan menutup dada itu disebut "jilbab", padahal dalam bahasa Al-Qur'an: jalabib, bentuk jama' dari jilbab adalah baju longgar yang panjang sampai mata-kaki yang menutupi lekuk-lekuk tubuh). Hermeneutika epistemologis dengan parameter anggapan memperanakkan paradigma tritunggal: sekularisme - liberalisme - pluralisme, yang di atas paradigma ini, komunitas yang menamakan diri Islam Liberal ini mengadakan pendekatan kontekstual bahkan mengkritisi ayat-ayat Al-Quran. Seperti disebutkan di atas itu, tidak ada lagi ayat Qath'i, ayat-ayat itu dijadikannya relatif. Jadi terjadi pergeseran nilai, yaitu ayat-ayat Al-Qur'an direlatifkan, sedangkan paradigma berupa parameter epistemologis yang ukuran akal itu, dijadikannya mutlak. Wahyu menjadi relatif, akal dimutlakkan. Penggunaan hermeneutika terhadap Al-Quran sudah merusak aqidah, karena akal sudah mengungguli wahyu. WaLlahu a'lamu bisshawab. *** Makassar, 28 Mei 2006 [H.Muh.Nur Abdurrahman] ------------------- (*) Injil = Perjanjian Baru minus Surat-surat Paulus (**) Kupu-kupu malam sayapnya senantiasa melebar, berbeda dengan kupu-kupu siang yang kalau hinggap sayapnya menguncup. ********************************************************************** ----- Original Message ----- From: "Ari Condro" <[EMAIL PROTECTED]> To: <wanita-muslimah@yahoogroups.com> Sent: Wednesday, August 09, 2006 11:47 Subject: Re: [wanita-muslimah] Re: Nikah Misyar : Praktek Perzinahan , Sex bebas , dan Prostitusi ala Harokah > Opini Arcon : > > Banyak hari belakangan ini kita mendengar ada sekelompok orang yang dihujat > karena dianggap memperkenalkan studi hermeneutika dalam melakukan tafsir > kepada Al Qur'an. Dan ini dianggap berbahaya. Nah, sebenarnya udah sampai > di tahapan mana sih, sehingga kelinci hermeneutika ini dianggap sudah > segitunya berbahaya ? > > Atau sebenarnya hanya entry point buat jual dagangannya orang orang yang > sama sama lagi usaha jualan pemikirannya ? Biasalah pasar opini, pasar > pemikiran. Lagi surplus sarjana agama dan sarjana ilmu sosial, dan kurang > orang poltek sih wakakakakak > > From: Ulil Abshar-Abdalla <[EMAIL PROTECTED]> > Date: Aug 7, 2006 10:50 PM > Subject: Re: <JIL> Hermeneutik: Sebuah komentar > To: [EMAIL PROTECTED] > > Mas Mizan Sya'roni, > Kalau kita telaah dengan cermat, apa yang disebut > sebagai fenomena penerapan hermeneutik dalam > penafsiran Qur'an yang berkembang di kalangan Muslim > "liberal" atau neo-modernis (istilah Rahman) itu masih > kabur. Saya sendiri tak tahu, ke mana kritik > teman-teman ISTAC itu diarahkan. > > Menurut saya, mereka mengkritik sesuatu yang mereka > bikin-bikin sendiri di kepala mereka. Memakai > peribahasa dalam bahasa Arab, tindakan mereka itu > seperti "ramyatun fi 'ama'", hitting in darkness. > > Mari kita telaah para pemikir Muslim modern, dan kita > lihat dengan cermat apakah betul mereka menerapkan > teori hermeneutika seperti dikenal dalam tradisi Bibel. > > Pemikir pertama yang pantas kita sebut adalah Fazlur > Rahman. Rahman memang secara eksplisit merujuk kepada > Gadamer, salah satu filsuf yang meletakkan dasar > hermenutika modern, ketika melontarkan ide tentang > gerak penafsiran ganda. Tetapi, Gadamer disebut oleh > Rahman secara sepintas. Saya tidak melihat pemikiran > Rahman dibentuk oleh filsafat Gadamer. "Training" > intelektual Rahman sendiri bukan dalam bidang filsafat > Barat modern, tetapi dalam kajian Islam. Menurut saya, > Rahman mengembangkan penafsiran atas Qur'an bukan dari > berdasarkan atas teori hermeneutika modern, tetapi > berangkat dari tradisi dalam Islam sendiri yang ia > kembangkan secara kreatif. Rahman bahkan dengan gigih > mengkritik usaha yang dilakukan oleh orang-orang > seperti John Wansbrough untuk memakai kerangka kajian > dalam Torah untuk studi Qur'an sebagaimana ia lakukan > dalam bukunya yang dikritik dengan keras oleh Rahman, > Qur'anic Studies. > > Pemikir kedua adalah Mohamad Arkoun. Mungkin tidak > salah jika saya katakan bahwa Arkoun adalah > satu-satunya pemikir Muslim modern yang paling > bersemangat menyambut segala "mode teori" terakhir > yang ada di Perancis. Saya ingin sebut dia sebagai > "fashionable thinker", pemikir yang "modis". Menurut > Ali Harb, seorang intelektual Muslim dari Lebanon, > membaca buku-buku Arkoun seperti menonton pameran > teori-teori modern yang berkembang di Barat. Arkoun > juga paling banyak menciptakan istilah-istilah baru, > "neologisme", yang kadang-kadang susah dimengerti, dan > sebetulnya setelah kita mengerti pun tidak "seru-seru > amat". > > Apakah Arkoun bisa kita katakan sebagai mempraktekkan > teori hermenutika yang berkembang dalam tradisi Bibel? > Saya kok ragu sama sekali. Teori-teori yang diadopsi > oleh Arkoun adalah teori-teori umum yang berkembang > dalam filsafat Barat mutakhir. Ambillah contoh, > Jacques Derrida, filsuf Perancis yang menurut saya > paling banyak mempengaruhi Arkoun. Derrida > mengembangkan teorinya tentang dekonstruksi dan > lain-lain di luar tradisi eksegesis dan kajian Bibel. > Dia sendiri bukan ahli tentang Alkitab. > > Filsuf lain yang teori-teorinya sering dipakai oleh > Arkoun adalah Pierre Bourdieu. Arkoun sering memakai > teorinya Bourdieu tentang "habitus" dan "field" (oleh > Hasyim Saleh, penerjemah otoritatif semua karya-karya > Arkoun ke dalam bahasa Arab, diterjemahkan sebagai > "al-fadha'"). Sebagaimana kita tahu, Bourdieu bukanlah > seorang pengkaji Bibel, dan teori-teori yang ia > kembangkan adalah bagian dari perkembangan filsafat > secara lebih luas. Bourdieu juga bukan dikenal > pertama-pertama sebagai filsuf hermeneutika. Dia > adalah filsuf, that's all. Sebagaimana filsuf-filsuf > lain di Perancis pada dekade 60-an, 70-an dan 80-an,, > Bourdieu mengembangkan perspektif filsafat baru untuk > mengkritik Marxisme. Teorinya tentang "akal praktis" > (Hasyim saleh menerjemahkannya sebagai "al-'aql > al-tathbiqi") yang juga diadopsi oleh Arkoun adalah > bagian dari kritiknya atas teori kelas dalam Marxisme. > > Paul Ricoeur, filsuf Katolik Perancis yang secara > jelas-jelas dikenal sebagai mengembangkan hermeneutika > dalam tradisi penafsiran Alkitab, malah jarang dirujuk > oleh Arkoun. > > Pemikir ketiga yang juga sering disebut sebagai > memakai hermeneutika adalah Nasr Hamid Abu Zayd, > terutama gara-gara pernyataannya bahwa Qur'an adalah > "intaj tsaqafi", produk budaya. Kalau kita telaah > seluruh buku karangan Abu Zayd, kita sama sekali tidak > atau sekurang-kurangnya sangat sangat jarang menemukan > rujukan satu pun pada teori-teori di Barat. Berbeda > dengan Arkoun yang "royal" dengan teori, Abu Zayd > sangat "pelit" dengan teori. Dia tidak pernah secara > eksplisit mengatakan teori apa yang dia pakai untuk > mengkaji Qur'an. Jika ada pemikir yang sering ia sebut > dan mendasari studi-studinya atas Qur'an justru malah > pemikir klasik Islam, Abdul Qahir al-Jurjani (m. > 1078), seorang kritikus sastra Arab klasik, yang > dikenal melalui karyanya "I'jaz al-Qur'an". Bacalah > buku Abu Zayd yang paling penting, "Mafhum al-Nass", > dan di sana kita sama sekali tak menemukan rujukan > atas teori-teori dalam tradisi hermeneutika. > > Mengatakan bahwa Qur'an adalah produk budaya sama > sekali tak mengindikasikan bahwa seseorang mengadopsi > teori hermeneutika. > > Pemikir keempat yang layak kita sebut di sini adalah > Abdulahi Ahmed An-Na'im yang sekarang mengajar di > Emory University, Atlanta, Georgia. Saya ragu sama > sekali jika An-Na'im mengadopsi teori hermenutika. > Karya utama An-Na'im adalah "Toward an Islamic > Reformation". Buku itu sama sekali tak merujuk kepada > teori hermenutika. Latar belakang pendidikan An-Na'im > adalah hukum, plus keterlibatan dia sebagai aktvis > yang membela hak asasi manusia. Gagasan-gagasan yang > ia kembangkan justru berangkat dari "ajaran" yang ia > peroleh dari gurunya yang seorang "sufi", Mahmud > Muhammad Taha. Mahmud Taha jelas tidak belajar > hermeneutika. Latar belakang pendidikan Taha adalah > "electrical engineering" dan kemudian mempraktekkan > sufisme. > > Sekarang marilah kita telaah pemikir Muslim muda yang > kini sedang naik daun, Khaled Abou El-Fadel. Khaled > bukanlah ahli filsafat. Latar belakang pendidikan dia > di University of Pennsylvania dan Princeton University > adalah murni hukum Islam dan hukum barat modern. Dia > mengajarkan mata kuliah yang berkaitan dengan fikih > dan hukum keimigrasian di AS. Karya dia yang paling > penting, "Rebellion and Violence in Islamic Law" > adalah murni studi hukum Islam atau fikih, dan tak ada > bau-bau hermeneutika sama sekali. > > Saya sengaja men-skip Muhammad 'Abid al-Jabiri, supaya > tak berkepanjangan, dan juga, pemikiran al-Jabiri > jarang berkaitan dengan re-interpretasi Qur'an. > Karya-karya dia lebih banyak berkaitan dengan upaya > memetakan sejarah pemikiran Arab dengan memakai > teori-teori Foucault. Al-Jabiri sendiri mengakui > bahwa dia tidak sedang memproduksi gagasan, tetapi > lebih konsentrasi untuk menelaah mekanisme-mekanisme > yang bekerja dalam apa yang ia sebut sebagai "akal > Arab". Dengan kata lain, Al-Jabiri ingin memeriksa > dengan kritis cara kerja akal Arab (istilah dia, > "aliyyat al-'aql al-'Arabi"). Saya juga sengaja tak > mengulas Hassan Hanafi, supaya tak berkepanjangan. > Menurut saya, dia layak dibahas sendiri secara > terpisah. > > Lima pemikir itu sengaja saya sebut sebab > gagasan-gagasan mereka sangat banyak mempengaruhi > kalangan pemikir Muslim liberal di Indonesia. > Sebagaimana telah saya tunjukka, kelima pemikir itu > sama sekali atau jarang memakai teori hermeneutika. > > Sekarang mari kita lihat pemikir-pemikir Muslim > Indonesia. Cak Nur dan Gus Dur adalah dua orang yang > layak kita sebut. Setahu saya, kedua tokoh itu sama > sekali tak menyebut teori hermenutika. Bacalah seluruh > karya Cak Nur atau Gus Dur, dan carilah rujukan pada > Gadamer, Dilthey, Roland Barthes, dan Ricoeur, pasti > anda akan putus asa. > > Sekarang kita lihat generasi setelah Cak Nur. Ada > Masdar F. Mas'udi, Kautsar Azhari Nur, Amin Abdullah, > dan Zainun Kamal. Saya tak melihat pemikiran mereka > secara jelas merujuk kepada teori-teori hermenutika. > Mungkin hanya Amin Abdullah, jika ada, yang patut kita > sebut sebagai sarjana yang mempunyai apresiasi atas > hermeneutika modern. Gagasan penting yang secara tak > langsung merupakan produk Amin Abdullah adalah buku > kecil tentang "teologi lintas agama" (saya lupa > judulnya) yang pernah didiskusikan di Majlis Tarjih > Muhammadiyah. Buku itu berisi "tafsiran baru" atas > sejumlah ayat yang berkaitan dengan hubungan > antaragama. Tetapi, jika kita telaah buku itu, kita > sama sekali tak mengendus teori hermenutika sama > sekali. Buku itu adalah kelanjutan saja dari diskusi > yang bekembang di kalangan pemikir Muslim modern > tentang pluralisme. > > Mungkin sasaran kritik teman-teman ISTAC itu adalah > JIL dan kalangan penulis-penulis muda Islam yang > sekarang sedang menjamur. Saat ini, kata "hermenutika" > sering dipakai oleh banyak penulis. Jika kita > urut-urut, sebetulnya jarang di antara penulis-penulis > muda Islam itu yang belajar sungguh-sungguh teori > hermenutika dan melaksanakannya secara serius dalam > kerja eksegesis Qur'an. Jika kata "hermeneutika" > dipakai oleh mereka, maka sebetulnya yang mereka > maksudkan adalah pengertian umum dari kata itu, yaitu > penafsiran. Jadi, hermenutika adalah tafsir, that's > it. Tak lebih, tak kurang. Karena kata tafsir sudah > biasa, maka mereka memakai kata hermeneutika, supaya > ada efek "keren". Lagi-lagi, ini bagian dari > "fashionability" yang biasa kita lihat di kalangan > kaum intelektual (saya sendiri tak lepas dari itu). > > Catatan terakhir. Sebetulnya sebagian dari kritik > teman-teman ISTAC benar. Saya kira, kita tak bisa > memakai teori-teori filsafat yang berkembang di Barat > secara serampangan untuk mengkaji Islam. Saya sendiri > tak tahu posisi sebenarnya dari teman-teman ISTAC > dalam masalah ini. Apakah mereka menolak sama sekali > filsafat Barat untuk dipakai dalam kajian Islam? > Ataukah mereka hanya ingin mengatakan bahwa kita harus > hati-hati? Kalau mereka menolak sama sekali, saya > menolak posisi itu. Jika mereka menghendaki sikap > kehati-hatian, saya setuju. > > Ilmu-ilmu Islam sudah berkembang selama berabad-abad, > dengan sejarahnya sendiri yang cukup panjang. Dalam > sejarah yang panjang itu, terjadi diskusi yang hangat > sejak dulu tentang posisi ilmu-ilmu yang datang dari > luar (oleh Prof. George Makdisi disebut sebagai > "foreign sciences"). Tidak seluruh ilmu yang datang > dari luar ditolak oleh sarjana Islam klasik. > > Kajian Islam yang telah berkembang lama itu lalu > membentuk "tradisi" yang ingin saya serupakan dengan > sebuah "badan". Sebagaimana badan manusia yang selalu > mempunyai mekanisme resistensi diri ketika ada anggota > badan baru yang dicangkokkan, begitu juga > "transplantasi metodologis" dalam kajian Islam akan > menimbulkan resistensi dari tradisi. Itu hal biasa. > Tetapi, resistensi adalah salah satu bagian saja dari > reaksi tubuh. Selain resisten, tubuh juga mempunyai > kecakapan untuk menyesuaikan dan mengadopsi hal-hal > yang baru. > > Sekian, semoga bermanfaat. > > Ulil > > --- Mizan Sya'roni <[EMAIL PROTECTED]> wrote: > > > Salam, > > Sebagai penikmat diskusi-diskusi di milis JIL, > > saya punya harapan besar bahwa suatu saat nanti ada > > kawan kita di JIL yang secara akademis benar-benar > > menguasai dan fasih berbicara tentang hermeneutik. > > Bukan apa-apa, belakangan ini banyak kawan kita di > > "seberang" sana yang mencoba mengangkat wacana > > hermeneutik untuk mengkritisi JIL. Mereka sangat > > anti kermeneutika hanya lantaran yang disebutkan > > terakhir ini merupakan tradisi penafsiran Bible dan > > berakar dari filsafat Yunani. Dan oleh karena itu, > > menurut mereka, tidak compatible diterapkan dalam > > memahami Al-Qur'an. > > > > Di antara para pengkritik JIL ini adalah sejumlah > > intelektual muda Islam asal Indonesia yang kini > > sedang berada di negeri jiran, menjadi dosen atau > > mahasiswa di ISTAC-IIUM. Paling tidak ada tiga orang > > yang selama ini cukup vocal dalam mengkritisi JIL. > > Sebut saja Triple A: Anis Malik Thaha, Adian Husaini > > dan Adnin Armas. > > > > Secara akademis sebenarnya ketiga orang ini tidak > > punya otoritas untuk berbicara tentang hermeneutik. > > Anis Malik Thoha (teman sekelas Gus Ulil waktu di > > Kajen) yang lulusan IIUI Pakistan adalah ahli > > Perbandingan Agama. Adian Husaini kini sedang > > menyelesaikan program PhD di ISTAC-IIUM. Tapi latar > > belakang pendidikannya meloncat-loncat (S1 > > Kedokteran Hewan IPB, lalu S2 Hubungan Internasional > > Universitas Jayabaya Jakarta). Yang sedikit punya > > otoritas berbicara tentang hermeneutik mungkin > > adalah Adnin Armas, karena dia punya background S2 > > di bidang Islamic Thought dari ISTAC-IIUM dan > > sekarang sedang menyelesaikan S3-nya di universitas > > yang sama. > > > > Sekali lagi, saya punya harapan ada teman dari JIL > > yang bisa memberikan pencerahan tentang hermeneutik > > untuk menjawab kritik-kritik yang dilontarkan oleh > > kawan-kawan yang berseberangan dengan JIL. > > > > Sebenarnya ada teman kita yang ahli hermeneutik. > > Namanya Sahiron Syamsuddin dari UIN Yogyakarta. > > Lulusan S3 dari Bamberg, Jerman, ini cukup produktif > > menulis di berbagai jurnal internasional. Tapi > > seorang Sahiron saja mungkin belum cukup. Masih > > diperlukan Sahiron-Sahiron yang lain untuk > > menghadapi "serangan-serangan" yang cukup intens > > dari "mafia" ISTAC ini. > > > > Mizan > > > > PS: Selain dari ISTAC yang reputasinya cukup > > diakui, pengkritik JIL juga ada yang hanya lulusan > > Fakultas Adab IAIN (sekarang UIN) Yogyakarta. > > Namanya tak asing lagi di telinga kita, yaitu > > Hartono Ahmad Jaiz. Orang ini selain sering > > menghujat juga acap menyinggung hermeneutika dalam > > buku-bukunya. Padahal saya ragu apakah dia pernah > > membaca Truth and Method -nya Gadamer atau Being and > > Time -nya Heideger. Bahkan mungkin melihat sampulnya > > pun belum pernah. > > On 8/9/06, H. M. Nur Abdurrahman <[EMAIL PROTECTED]> wrote: > > > > ArCon masuk Fajar, yang Seri 655, 656 di bawah bukan? > > Kok merasa terhina, karena kagak bisa jawab, ya ? > > > > HMNA. > > > > ***************************************************************** > > > > BISMILLA-HIRRAHMA-NIRRAHIYM > > > > WAHYU DAN AKAL - IMAN DAN ILMU > > [Kolom Tetap Harian Fajar] > > 655 Jaringan Tangan-Tangan Gurita > > > > Dalam Seri 654 ybl telah ditulis bahwa kebudayaan menyembah berhala modern > > itu ibarat gurita yang menjulurkan tangan-tangannya membentuk jaringan ke > > seluruh permukaan globa kita ini yang berwujud globalisasi. > > > > Cobalah disimak sikap berpikir penyembah berhala modern ini. Berikut > > contohnya: "Berpegang pada teks atau tidak hanya merupakan soal pilihan. > > Artinya, dengan atau tanpa teks, manusia dengan potensi dasarnya berupa > > rasionalitas dan kebebasan bisa mengatasi diri serta dunianya jika mampu > > mengembangkan akalnya seluas-luasnya. Tanpa mempercayai kemampuan manusia, > > sangat sulit mengharapkan perubahan-perubahan ke arah yang lebih beradab. > > Dengan mengembalikan fungsi rasio serta kebebasan akal, manusia akan > > kembali > > menjadi makhluk dengan kemampuan tak terduga." Demikian pernyataan Masdar > > Farid Mas'udi pengagas reka-yasa "fiqh baru" yang telah menulis "Meninjau > > Ulang Waktu Pelaksanaan Haji". > > > > Beberapa waktu lalu, juluran tangan gurita itu berwujud sebuah workshop > > bertemakan 'Kritik Wacana Agama' digelar di Jakarta. Penyelenggaranya, > > yang > > menamakan diri Jaringan Islam Liberal (JIL) dan International Center for > > Islam and Pluralism (ICIP), menghadirkan Nasr Hamid Abu Zayd sebagai > > pembicara utama. Acara tersebut dilaporkan oleh media masa seperti Suara > > Merdeka, Media Indonesia, dll. Nasr Hamid Abu Zayd ini, yang berupa pion > > yang melekat pada ujung jari gurita, adalah salah seorang gembong pemuja > > berhala modern, yang antara lain berpendapat dan mengatakan bahwa iman > > kepada perkara-perkara ghaib merupakan indikator akal yang larut dalam > > mitos. Berpendapat dan mengatakan bahwa patuh dan tunduk kepada teks-teks > > agama adalah salah satu bentuk perbudakan. > > > > Abu Zayd mengakui pengalamannya belajar di Amrik sungguh-sungguh membawa > > hasil, dan ia menyatakan sangat berhutang budi atas kesempatan yang > > diberikan kepadanya itu. Di sanalah ia terbelalak matanya bertemu ilmu > > yang > > belum pernah terlintas dalam benaknya selama ini, yaitu hermeneutika. > > Baginya, hermeneutika adalah ilmu baru yang bermanfaat dalam berolah otak. > > "My academic experience in the United States turned out to be quite > > fruitful. I did a lot of reading on my own, especially in the fields of > > philosophy and hermeneutics. Hermeneutics, the science of interpreting > > texts, opened up a brand-new world for me. I owe much of my understanding > > of > > hermeneutics to opportunities offered me during my brief sojourn in the > > United States" > > > > Seperti anak kecil yang baru dapat pistol mainan, ia segera mencari > > sasaran > > tembak di sekitarnya. Kalau pisau hermeneutika bisa dipakai untuk membedah > > Bibel, maka tentu itu dapat pula digunakan untuk mengkritisi Al Quran. > > Bukankah keduanya itu sama, sama-sama kitab suci. Demikian logika Abu Zayd > > yang memakai asas paralelisme. Itulah dia Abu Zayd yang memposisikan > > akalnya > > mengatasi wahyu, penyembah berhala modern. Maka hasil benak Abu Zayd tidak > > lain dari gagasan-gagasan 'nyleneh' yang diisapnya dari tradisi pemikiran > > dan pengalaman intelektual barat, yang menyembah berhala modern dan suka > > mengolok-olok dan mengutak-atik Islam.(*) > > > > Kegenitan mengkritisi Al Quran dan asas paralelisme ini berimbas pula > > kepada > > beberapa orang yang saya jumpai di cyber space, antara lain (cukup dua > > orang > > saja). Muh. Syafei dalam gaya bahasa gaul nyleneh: Apa iya kritik matan > > Hadits bisa dibawa ke tingkat yg lebih tinggi (Quran)? Mestinya sih bisa > > ya > > .. cuman, resistensinya itu lho .. mana tahan. Ari Condro yang berlagak > > seperti juru damai mengoceh: Kalau para penafsir Injil sudah berdamai > > dengan > > metode hermeneutika, maka para penafsir Al Quran logikanya secara legowo > > berdamai pula dengan metode hermeneutika ini. > > > > Itu dua orang dari cyber space. Berikut ini saya kemukakan yang bukan dari > > cyber space, tetapi pernah bertemu dengan saya face to face dalam forum > > mujadalah (diskusi) bulanan yang diselenggarakan oleh DPP Ikatan Masjid > > Mushalla Indonesia Muttahidah (IMMIM) di Islamic Centre pada 5 Sya'ban > > 1423 > > H / 12 Oktober 2002, namun bukan mengenai hermeneutika, tetapi tentang > > Islam > > Liberal. Yaitu Drs. Taufik Adnan Amal MA (TAA), seorang tokoh dari > > Jaringan > > Islam Liberal, dosen Institut Agama Islam Negeri Alauddin Makassar. > > > > Dalam karya otaknya dengan pisau analisis hermeneutika yang berjudul "Al > > Quran Antara Fakta dan Fiksi" TAA antara lain menulis: "Sejak pewahyuannya > > hingga kini, al-Quran telah mengarungi sejarah panjang selama empat belas > > abad lebih. Rincian perjalanan historis kitab suci ini, terutama pada > > tahapan awalnya, telah ditempa serta dijalin dengan sejumlah fiksi dan > > mitos > > yang belakangan diterima secara luas sebagai fakta sejarah. Selanjutnya, > > kiraat pra-utsmani terkadang memberikan makna yang lebih masuk akal > > dibanding kiraat dalam tradisi teks utsmani. Saya ingin mengulang kembali > > contoh yang pernah dikemukakan Luthfi (juga seorang tokoh JIL -HMNA-): > > Bacaan 'ibil' (unta, 88:17) dalam konteks 88:17-20, sangat tidak koheren > > dengan ungkapan 'al-sama'' (langit), 'al-jibal' (gunung-2), dan 'al-ardl' > > (bumi). Dalam bacaan Ibn Mas'ud, Aisyah, Ubay, kerangka grafis yang sama > > dibaca dengan mendobel 'lam', yakni 'ibill' (awan). Bacaan pra-utsmani > > ini, > > jelas lebih koheren dan memberikan makna yang lebih logis ketimbang bacaan > > mutawatir ibil. Selanjutnya pula: Bagi rata-rata sarjana Muslim, > > 'keistimewaan' rasm utsmani merupakan misteri ilahi dan karakter > > kemukjizatan al-Quran. Tetapi, pandangan ini lebih merupakan mitos > > ketimbang > > prasangka dogmatis. Manuskrip-manuskrip mushaf utsmani yang awal cenderung > > menyangkali karakter ilahiyah semacam itu. Dalam manuskrip-manuskrip ini, > > tidak terlihat adanya kesepakatan dan keseragaman dalam penyalinan teks > > al-Quran. [sumber: www.Islamlib.com]. > > > > Maka Jaringan Tangan-Tangan Gurita itu wajib hukumnya untuk dijawab, > > karena > > ini termasuk jihad intelektual. Sudilah kiranya para pembaca sabar > > menanti, > > insya-Allah akan dijawab dalam Seri 656 yad. WaLlahu a'lamu bisshawab. > > > > *** Makassar, 19 Desember 2004 > > [H.Muh.Nur Abdurrahman] > > ----------------------------------- > > (*) > > Hermenutika bertitik tolak dari asumsi sebagai postulat. Hermeneutika > > epistemologis dialektis yang diterapkan Abu Zayd mempunyai asumsi bahwa > > kenabian adalah merupakan tingkatan yang kuat dari tahap tingkatan khayal > > yang timbul dari efektifitas daya khayal manusia. Perbedaan antara para > > Nabi, sufi dan pujangga hanyalah merupakan perbedaan gradual, bukan > > perbedaan dalam jenis. Berangkat dari asumsi ini Abu Zaid mempergunakan > > tool > > hermeneutika epistemologis dialektis untuk mengkritisi Al-Quran. Menurut > > Dr. > > Emarah, Abu Zayd adalah salah seorang kader di antara para kader > > sosialis-marxis arab muda saat ini. > > > > =================================== > > > > BISMILLA-HIRRAHMA-NIRRAHIYM > > > > WAHYU DAN AKAL - IMAN DAN ILMU > > [Kolom Tetap Harian Fajar] > > 656 Menjawab Tangan-Tangan Gurita > > > > Sebermula, perlu kiranya pembaca menengok kembali Seri 655 yang baru lalu. > > Metode yang termaktub dalam Al Quran, yaitu metode yang eksak secara > > matematis, sistem keterkaitan 19, seperti yang sering dibahas dalam Serial > > ini: > > -- 'ALYHA TS'At 'ASyR, (S. ALMDTSR, 74:30), dibaca: 'alayha- tis'ata > > 'asyara, artinya: Padanya sembilan belas, lebih "sophisticated" dari > > metode > > hermeneutika. Mengapa? Karena metode hermeneutika hanya sampai > > membicarakan > > kata, akan tetapi metode Al Quran bukan hanya sampai pada kata, tetapi > > sampai kepada huruf dan bilangan, sedangkan pada Bible orang tidak bisa > > bicara huruf, dalam bahasa apa dan huruf mana dari Bible yang akan diambil > > jadi obyek pembahasan? > > > > Perkara para penafsir Injil (bukan Injil saja, melainkan Bible secara > > keseluruhan -HMNA-) sudah berdamai dengan metode hermeneutika, maka > > mengapa > > para penafsir Al Quran tidak mau legowo berdamai pula dengan metode > > hermeneutika ini, seperti dikehendaki oleh Ari Condro, maka dengan tegas > > saya jawab: Itu urusan ummat Nashrani mau berdamai dengan hermeneutika, > > tetapi para penafsir Al Quran tidak perlu dan tidak ada gunanya berdamai > > dengan hermeneutika dengan argumentasi seperti berikut: > > -- pertama, ketiadaan bahasa asal Bible dewasa ini, maka mau tidak mau, > > suka > > atau tidak suka para theolog Yahudi dan Nashrani mencari jalan dan > > metodologi untuk memahami kembali Bible melalui hermeneutika, sedangkan > > bahasa asal Al Quran tetap exist, bahkan bahasa Arab itu hidup karena > > pengaruh yang dihidupkan oleh bahasa Al Quran (bandingkan dengan nasibnya > > bahasa yang dipakai dalam Taurah, yaitu bahasa 'Ibriyyah (Hebrew) kuno > > yang > > telah mati, nasibnya bahasa yang dipakai dalam Injil, yaitu bahasa Aram > > yang > > telah mati, dan nasibnya bahasa yang dipakai dalam Veda, yaitu bahasa > > Sangsekerta yang telah mati). > > -- kedua, mau tidak mau, suka tidak suka, mereka harus berdamai, berhubung > > di dalam Bible tidak ada termaktub tentang metode yang menentang metode > > hermeneutika ini, sedangkan seperti dikemukakan di atas dalam Al Quran ada > > termaktub metode yang eksak secara matematis, yaitu metode sistem > > keterkaitan 19 untuk melawan metode hermeneutika yang antara lain berupaya > > dengan sia-sia untuk membongkar keotentikan mushhaf (teks) Al Quran Rasm > > 'Utsmaniy, seperti yang diupayakan oleh Taufik Adnan Amal MA (TAA), dalam > > karya otaknya berjudul "Al Quran Antara Fakta dan Fiksi" tersebut. > > > > Maka asas paralelisme Abu Zayd dan Ari Condro yang memparalelkan Al Quran > > dengan Bibel tersungkurlah sudah dengan kedua argumentasi di atas itu. > > > > Akan diberikan sebuah contoh di antara sekian banyak contoh yang telah > > dikemukakan dalam Kolom yang saya asuh ini. Khusus untuk menjawab bahasa > > gaulnya Muh Syafei yang nyleneh tersebut, saya ulang menulisnya: Apa iya > > kritik matan Hadits bisa dibawa ke tingkat yg lebih tinggi (Quran)? > > Mestinya > > sih bisa ya .. cuman, resistensinya itu lho .. mana tahan. Maka ini > > jawaban > > saya: Bukan mana tahan, tetapi ditahan oleh sistem keterkaitan matematis > > 19. > > Memang ada perbedaan antara Al Quran dengan Hadits, pertama dari segi > > balaghah bahasa Al Quran lebih tinggi dari bahasa yang dipakai dalam > > Hadits, > > kedua dalam hal Al Quran substansi dan redaksionalnya (teks) otentik, > > sedangkan dalam hal Hadits substansinya yang otentik, tetapi teksnya > > tidak, > > sehingga adab mengucapkan atau menuliskan Hadits dianjurkan ditambah > > dengan > > aw kamaa qaala (atau seperti yang dikatakan). Mengapa saya katakan kritik > > matan (teks) Al Quran bukan mana tahan tetapi ditahan? > > > > Mari kita kritik kata BSM (bismi) dalam BSM ALLH ALRHMN ALRHYM. > > Sebenarnya BSM harus terdiri dari 4 huruf, bukan tiga huruf, yaitu > > seharusnya BASM, oleh karena kata ini terdiri dari huruf jar B (bi) dan > > ism > > ASM (ismun), jadi dalam menuliskan BSM sebenarnya telah dicopot Alif, dari > > BASM menjadi BSM. Namun kritik ini ditahan (bukan: mana tahan) oleh alat > > kontrol sistem keterkaitan matematis 19. Coba lihat hasil kritik teks, > > yaitu > > BSM menjadi BASM, yakni BASM ALLH ALRHMN ALRHYM, silakan dihitung sendiri > > 20 jumlah huruf bukan? Dan coba hitung sendiri teks yang asli: BSM ALLH > > ALRHMN ALRHYM, 19 huruf bukan? Jadi bukan mana tahan tetapi ditahan oleh > > alat kontrol sistem keterkaitan matematis angka 19. > > > > Contoh Basmalah di atas juga untuk menjawab olah akal TAA: "Rincian > > perjalanan historis kitab suci ini, terutama pada tahapan awalnya, telah > > ditempa serta dijalin dengan sejumlah fiksi dan mitos yang belakangan > > diterima secara luas sebagai fakta sejarah. Bagi rata-rata sarjana Muslim, > > 'keistimewaan' rasm utsmani merupakan misteri ilahi dan karakter > > kemukjizatan al-Quran. Tetapi, pandangan ini lebih merupakan mitos > > ketimbang > > prasangka dogmatis." Wahai TAA, ini bukan fiksi dan mitos, melainkan fakta > > sejarah dan karakter kemu'jizatan Al Quran, karena keotentikan "teks" Rasm > > 'Utsmaniy diperkuat oleh data numerik yang eksak.(*) > > > > Yang terakhir kritik TAA atas teks "ibil" dalam Rasm 'Utsmany dengan > > pendekatan qiraah, bahwa bacaan "ibil" (unta, 88:17) dalam konteks > > 88:17-20, > > sangat tidak koheren dengan ungkapan "al-sama'" (langit), "al-jibal" > > (gunung-2), dan "al-ardl" (bumi). Dalam bacaan Ibn Mas'ud, Aisyah, Ubay, > > kerangka grafis yang sama dibaca dengan mendobel "lam", yakni "ibill" > > (awan). Bacaan pra-utsmani ini, jelas lebih koheren dan memberikan makna > > yang lebih logis ketimbang bacaan mutawatir ibil. > > > > Perkataan "ibil" (takhfif) mempunyai dua makna: pertama unta, dan yang > > kedua > > awan yang membawa hujan. Maka rasm "ibil" itu bisa memuat makna unta dan > > awan sekaligus, sedangkan rasm "ibill" (tatsqil) ia hanya memuat makna > > awan > > semata-mata. Lagi pula menurut Imam Al Qurthubi perkataan "ibil" itu > > muannats (gender perempuan), sesuai dengan pemakaian fi'il mabniy majhul > > "khuliqat", dalam ayat: > > -- AFLA YNZHRWN ALY ALABL KYF KHLQT (S. ALGHASYYt, 88:17), dibaca: afala- > > yanzhuru-na ilal ibili kayfa khuliqat (s. algha-syiyah), artinya: Tidakkah > > mereka memperhatikan ibil bagaimana (ia) diciptakan. > > > > Jadi Rasm 'Utsmaniy "ibil" yang berarti awan yang mengandung hujan dan > > unta > > lebih komprehensif ketimbang qiraah "ibill" yang hanya berarti awan, yang > > dikemukakan TAA sebagai penyambung lidah Luthfi(**) tersebut. Alih-alih > > mau > > mengkitik/meluruskan rasm "ibil" dengan qiraah "ibill", TAA dan sekaligus > > Luthfi jadinya tersungkur. > > > > Tulisan Masdar Farid Mas'udi "Meninjau Ulang Waktu Pelaksanaan Haji", > > telah > > dibahas panjang lebar dalam Seri 614, berjudul "Masalah Lempar Jamrah di > > Mina Tidak Perlu Fiqh Baru", jadi yang berminat silakan dibaca Seri 614 > > tersebut. WaLlahu a'lamu bisshawab. > > > > *** Makassar, 26 Desember 2004 > > [H.Muh.Nur Abdurrahman] > > ------------------------------ > > > > (*) > > Tabulasi jumlah huruf alif+lam+mim dalam 8 surah yang dibuka dengan 3 > > huruf > > [alif, lam, mim] setelah Basmalah yang diikat oleh bilangan interlock 19, > > itu menunjukkan: > > 1. mu'jizat Al Quran, karena tidak mungkin jalinan interlock 19 itu buatan > > manusia. > > 2. keotentikan teks Rasm 'Utsmaniy, sebab kalau tidak otentik, tentu saja > > tabulasi itu tidak dapat bertahan terhadap mengalirnya sang waktu. > > 3. teks Rasm 'Utsmaniy bukan mitos, karena siapa bilang data numerik itu > > mitos. > > 4. teks Rasm 'Utsmaniy kebal terhadap hermeneutika. > > > > Surah mim lam alif > > Al Baqarah 2195 3204 4592 > > Ali 'Imran 1251 1885 2578 > > Al A'raf 1165 1523 2572 > > Ar Ra'd 260 479 625 > > Al 'Ankabut 347 554 784 > > Ar Rum 318 396 545 > > Luqman 177 298 348 > > As Sajadah 158 154 268 > > ____________________ > > > > Jumlah 5871 + 8493+ 12312 = 26676 = 1404 x 19 > > > > *********************************************************************** > > > > > > ----- Original Message ----- > > From: "Ari Condro" <[EMAIL PROTECTED] <masarcon%40gmail.com>> > > To: <wanita-muslimah@yahoogroups.com <wanita-muslimah%40yahoogroups.com>> > > Sent: Wednesday, August 09, 2006 11:06 > > Subject: Re: [wanita-muslimah] Re: Nikah Misyar : Praktek Perzinahan , Sex > > bebas , dan Prostitusi ala Harokah > > > > > ndak ada yg lebih hebat. cuman sama sama manusia. > > > > > > justru yg jadi problem itu, ulama biasanya mereasa lebih heibat dari > > orang > > > lain. sehingga orang yg kolerik seringkali pasang nampang lebih somse > > juga, > > > biar nyamain kedudukan wakakakakak ..... > > > > > > nama saya udah penah masuk di harian fajar dimakasar, bagian yang di > > hina > > > hina ama ulama satu itu, mbak lina pernah ? > > > > > > ndak ada dendam sih, wong yang ginian juga udah sering di milis (makanya > > aya > > > juga cuek aja cerita cerita di forum). cuman sejak kejadian itu, respek > > > saya sama si boss satu itu, jadi ilang aja. turun drastis ke titik > > nadir. > > > :( > > > > > > > > > On 8/9/06, Lina Dahlan <[EMAIL PROTECTED] <linadahlan%40yahoo.com>> > > wrote: > > > > > > > > Sepertinya pak HMNA sudah memberikan komentarnya deh soal ini? > > > > Berbaik sangka sajalah, kita belajar menimba ilmu. Apa masarcon > > > > merasa sudah lebih hebat dari Qardhawi dan juga eyang HMNA? > > > > > > > > wassalam, > > > > --- In wanita-muslimah@yahoogroups.com<wanita-muslimah%40yahoogroups.com> > > <wanita-muslimah%40yahoogroups.com>, > > > > > > "Ari Condro" <[EMAIL PROTECTED]> > > > > > > > > wrote: > > > > > > > > > > yg di timur tengah gimana. qordhowi itu tinggalnya di metropolis > > > > lho. di > > > > > doha, qatar, suatu ngeri yg lagi giat membangun, perkemabngan > > > > ekonominya > > > > > pesat,. persis akayak singapore atawa hongkong. > > > > > > > > > > jadi agak aneh kalo dia menghindar. atau seperti pak hmna yang > > > > sengaja > > > > > menghindar untuk masalah kawinnya para pelaut bugis dan kasus > > > > punya istri > > > > > dimana mana ini ? > > > > > > > > > [Non-text portions of this message have been removed] > > > > ======================= > Milis Wanita Muslimah > Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat. > Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com > ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages > Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com > Berhenti mailto:[EMAIL PROTECTED] > Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com > Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com > > This mailing list has a special spell casted to reject any attachment .... > Yahoo! Groups Links > > > > > > ======================= Milis Wanita Muslimah Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat. Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com Berhenti mailto:[EMAIL PROTECTED] Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com This mailing list has a special spell casted to reject any attachment .... Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/