Secara ingin juga sharing pendapat, berikut ada sebuah tulisan yang sangat nyambung dengan topik Perda pelarangan memberi santunan kepada pengemis dan aktifitas mengemis itu sendiri. Judulnya mungkin tidak 'nyambung' -- mungkin ust Chodjim bakal protes ni -- tapi spirit isinya menurut saya pas banget. Semoga bisa menambah masukan diskusi ... amin.
salam, satriyo *Mencermati Respon Umat Terhadap Al-Qur'an dan Al-Hadits<http://akmal.multiply.com/journal/item/604/Mencermati_Respon_Umat_Terhadap_Al-Quran_dan_Al-Hadits> * *Sep 13, '07 * Telah kita pahami bersama bahwasanya otoritas Al-Qur'an dan As-Sunnah tidak lagi dipertanyakan (kecuali bagi para orientalis dan orang-orang yang mengikutinya). Sebagian besar umat Islam, taat maupun tidak, sepakat bahwa Al-Qur'an dan As-Sunnah adalah pegangan yang benar dalam menghadapi segala cobaan hidup. Kondisi aktual umat Islam yang jauh dari predikat '*khairu ummah*' kini mengundang sebuah pertanyaan yang sebenarnya telah diajukan berabad-abad lamanya: *what went wrong? *(apa yang salah?). Al-Qur'an dan As-Sunnah ada di tengah-tengah kita dalam kondisi yang bahkan lebih teratur (baca: sudah dibukukan) dan mudah diakses oleh siapa pun, namun keadaan umat nyaris seratus delapan puluh derajat dari kondisi generasi para sahabat Rasulullah saw. dahulu. Saking prihatinnya, ada pula sebagian orang yang mengatakan bahwa umat Islam kini nyaris menyamai kaum *jahiliah* pada jaman Rasulullah saw. dulu. Sayangnya, yang sama justru dalam hal ke-*jahil*-annya. *What went wrong?* Komunikasi adalah suatu kegiatan dua arah. Kedua belah pihak baru dinyatakan telah berkomunikasi dengan baik jika keduanya bisa menyampaikan maksudnya dan masing-masing bisa memahami (paling tidak sebagian) dari maksud yang disampaikan itu. Salah satu mukjizat Al-Qur'an yang diyakini oleh umat Islam (dan pembuktiannya masih terus berlangsung) adalah bagaimana Allah SWT 'mengantisipasi' setiap kesulitan hidup manusia melalui Al-Qur'an. Ketika manusia datang mengadukan permasalahannya kepada Allah SWT, maka tidak mesti sekonyong-konyong turun wahyu melalui Jibril, karena kunci permasalahannya pasti ada di dalam Al-Qur'an. Untuk lebih memahaminya, kita masih dibantu pula dengan keberadaan Al-Hadits. Sekarang, agenda pokoknya bukan lagi bagaimana menyampaikan pertanyaan kepada Allah SWT, melainkan justru bagaimana mencarikan jawabannya di dalam Al-Qur'an dan Al-Hadits. Allah SWT sudah pasti mendengar rintihan manusia yang dihimpit kesulitan. Hanya saja, kadang-kadang manusialah yang tak mampu melihat jawaban dari permasalahannya, meskipun sudah tersaji di depan mata. Respon terhadap ayat-ayat Al-Qur'an dan sunnah Rasulullah saw. adalah salah satu kunci permasalahannya. Meskipun Al-Qur'an dan As-Sunnah tetap demikian adanya, namun jika responnya berbeda, maka hasilnya pun berbeda. Ini sama saja dengan guru yang memberi hukuman kepada dua siswanya, namun ditanggapi berbeda oleh mereka. Yang satu menganggapnya sebagai pelajaran yang pahit, namun yang satu lagi malah memendam dendam dan bahkan bertekad untuk lebih nakal lagi. Dalam konsep Islam, hanya ada dua cara yang tepat bagaimana menyikapi hidup, yaitu: sabar dan syukur. Jadi segalanya tergantung bagaimana cara kita meresponnya. Demikian pula halnya dengan Al-Qur'an dan As-Sunnah. Sebagai contoh, lihat ayat berikut: *(Yaitu) orang-orang yang beriman kepada yang ghaib, mendirikan shalat, dan sebagian rizki yang didapatnya dinafkahkan.* *(Q.S. Al-Baqarah [2]: 3)* Ayat ini berbicara tentang ciri-ciri orang bertaqwa, sesuai dengan konteksnya yang dijelaskan pada ayat sebelumnya. Bagian yang saya garisbawahi adalah masalah yang akan kita cermati secara lebih mendalam. Bagaimana respon umat terhadap masalah yang dikemukakan di akhir ayat ini? Berbagai macam pemikiran bisa muncul dalam benak seorang Muslim. Karena umumnya orang-orang mengasosiasikan (menghubungkan) sedekah dengan kecukupan harta, maka banyak yang berpendapat bahwa ayat ini menjelaskan kewajiban untuk bersedekah bagi orang-orang yang sudah berkecukupan, itu pun kalau mau mencapai derajat taqwa, tentu saja. Pertanyaannya: benarkah harus serba berkecukupan dahulu, baru serius bersedekah? Kalau melihat ayatnya secara objektif, jelas tidak ada kriteria semacam itu. Kalau dilihat kenyataannya, para sahabat Rasulullah saw. dahulu pun tidak menunggu dirinya menjadi kaya sebelum bersedekah dalam jumlah yang cukup signifikan. Kita dapat dengan mudah menemukan bukti-bukti bahwa para sahabat benar-benar serius dalam menanggapi perintah bersedekah, sehingga mereka benar-benar berkompetisi dalam sedekah. Tidak ada yang menunggu makmur dahulu baru mulai bersedekah. Istilahnya, "jangan mengisi gelas sampai tumpah, lalu tumpahannya diberikan pada orang lain". Respon yang lebih parah bisa jadi muncul dari hati sebagian Muslim yang 'kerdil dan terkerdilkan'. Karena kesulitan hidup, bisa jadi ada yang menanggapi ayat-ayat yang berisikan anjuran sedekah ini sebagai sebuah 'jalan keluar'. Dengan bersenjatakan ayat-ayat, maka kegiatan meminta-minta pun jadi 'lebih Islami'. Berkat ayat ini, mereka punya pembenaran untuk menengadahkan tangan di hadapan orang-orang kaya. Ini juga respon yang amat disayangkan, karena meskipun sahabat Rasulullah saw. banyak yang miskin, tidak ada satupun yang menjadi pengemis. Respon menyimpang semacam ini membuat sebagian umat Islam tidak lagi malu-malu untuk mengemis. Respon yang baik terhadap ayat ini, menurut saya, adalah mengkondisikan diri dalam sebuah kompetisi yang amat ketat. Pasalnya, konteks yang digunakan di sini adalah bagaimana mencapai derajat taqwa. Kalau menginginkan predikat ini, maka yang harus dilakukan salah satunya adalah bersedekah. Karena itu, segala upaya harus dikerahkan *agar bisa bersedekah*. Kita tidak mungkin memberikan apa yang kita tidak miliki. Karena itu, mencari harta pun hendaknya diwarnai dengan semangat sosial: saya mencari harta agar bisa berbagi! On 9/11/07, Irawati <[EMAIL PROTECTED]> wrote: > > > > Assalamualaikum, > > Membaca headline salahsatu surat kabar hari ini yang berisi tentang > Pemberlakuan Perda tentang Penyelenggaraan Ketertiban umum yang disahkan > dalam Rapat Paripurna DPRD DKI, Senin (10/9/07) yang berisi larangan > memberi sedekah kepada pengemis, maupun melakukan aktivitas > mengemis,mengamen,mengasongkan dagangan & mengelap mobil di tempat umum, > akan didenda Rp 20 juta atau penjara paling lama 60 hari. > > Saya jadi ingin membuka topik ini ke dalam forum dan ingin tahu > bagaimana tanggapan rekan-rekan mengenai hal ini? Terimakasih > > Wassalam, > > -Ira- > > [Non-text portions of this message have been removed] > . > > > -- Sesungguhnya, hanya dengan mengingat Allah, hati akan tenang [Non-text portions of this message have been removed]