Ahli Fikih Himbau Pengecam MUI untuk Tahu Diri


www.hidayatullah.com <http://www.hidayatullah.com/> , Jumat, 02 Mei 2008



Kalangan ahli fikih (hukum Islam) meminta tokoh Islam dan pengecam fatwa
MUI harus tahu diri. "Mohon tahu dirilah kalau bukan bidangnya,"
ujar Prof Dr. Huzaemah



Hidayatullah.com—Kalangan ahli fikih dan hukum Islam beramai-ramai
meminta para intelektual untuk lebih tahu diri terhadap segala komentar
dan pernyataannya menyangkut fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI)
terhadap Ahmadiyah.



Seruan kalangan ahli fikih dan hukum Islam ini datang dari Guru Besar
Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah, Jakarta, Prof Dr Huzaemah Tahido Yanggo, pakar hukum
syariah dari Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), Dr Muinudinillah,
MA serta ahli fikih Dr. Zain an-Najah.



Ketika dihubungi oleh www.hidayatullah.com
<http://www.hidayatullah.com/>  secara terpisah, mereka meminta agar
kalangan intelektual dan tokoh Islam yang tak mengerti lebih jauh
tentang hukum Islam untuk tak memberikan pernyataan, ucapan atau
statemen yang membingungkan masyarakat, apalagi mengecam fatwa MUI
menyangkut Ahmadiyah.



Prof Dr Huzaemah yang juga Ketua MUI bidang Komisi Remaja dan Perempuan
kepada  www.hidayatullah.com <http://www.hidayatullah.com/>  mengatakan,
beberapa hari ini dirinya merasa sedih melihat media massa dan TV memuat
pernyataan para pukur hukum dan bahkan tokoh-tokoh Islam menyangkut
keputusan fatwa MUI tentang Ahmadiyah.



"Masyarakat harus tahu siapa-siapa yang berkomentar itu. Dan saya
meminta, yang tak  paham hukum Islam jangan bicara seenaknya,"
ujarnya.



Menurut ahli fikih lulusan Universitas Al-Azhar Mesir ini, dalam prinsip
hukum Islam, setelah Al-Quran dan Al-Hadits, sandaran hukum berikutnya
adalah ijma' ulama.  Sebab 'Al ulama-u waratsatu al anbiya' (ulama
adalah pewaris para Nabi), katanya.



"Kalau tidak kepada ulama, kita akan bertanya kepada siapa lagi
menyangkut masalah berkaitan dengan hukum Islam ini," ujarnya.
Karena itu, tambah Huzaimah, apa yang telah dilakukan oleh MUI dalam
kasus fatwa tentang Ahmadiyah adalah sudah benar.

Hal senada juga diungkapkan oleh Muinudinillah. Pakar hukum Syariah
lulusan Riyad ini mengatakan, jika ada perdebatan terhadap suatu masalah
dalam masyarakat, maka, yang harus dijadikan sandaran adalah orang-orang
yang lebih ahli. Baginya, sangat tidak sopan jika orang-orang diluar
ahli,  khususnya masalah yang berkaitan dengan hukum Islam tiba-tiba
memberikan pernyataan seenaknya.



"Jika saya ditanya masalah ilmu sejarah atau soal yang tak ada
kaitannya dengan hukum Islam saya juga akan tahu diri, " tambahnya.



Direktur Pascasarjana Studi Islam UMS ini mengatakan, selama ini, para
intelekual membela Ahmadiyah dengan alasan mereka `dizolimi'.
"Lantas bagaimana dengan sikap Ahmadiyah yang "mendzolimi"
akidah Islam soal kenabian Muhammad?" tambahnya.



Lebih jauh, Muinudinillah mempertanyakan sikap tokoh-tokoh Islam yang
justru mengecam fatwa MUI. "Seharusnya mereka itu ber wala'
(loyalitas) kepada Islam. Mengapa justru sebaliknya?".



Sebagaimana diketahui, menyusul pernyataan Badan Koordinasi Pengawas
Aliran Kepercayaan (Bakorpakem) yang menyatakan aliran Ahmadiyah
menyimpang dari ajaran Islam dan harus dihentikan. Majelis Ulama
Indonesia (MUI) ikut dituduh menjadi penyebab utama terjadinya aksi
kekerasan.



Yang cukup mengagetkan, komentar dan pernyataan yang bernada serangan
justru datang dari tokoh-tokoh Islam yang sesungguhnya tak punya latar
belakang hukum Islam. Termasuk diantaranya Adnan Buyung Nasution dan
Prof. Dr. Ahmad Syafii Ma'arif yang lebih dikenal pengamat sejarah.



Pelecehan Ulama



Menyangkut kecaman-kecaman terhadap fatwa MUI terhadap Ahmadiyah, Adian
Husaini dari Institute for the Study of Islamic Thought and Civilization
(INSISTS) mengatakan, sudah tepat jika MUI mengeluarkan soal fatwa
keagamaan dalam Islam. Lain halnya jika MUI mengeluarkan fatwa diluar
bidangnya.



"Sudah benar jika MUI mengeluarkan fatwa. Apalagi masalah Ahmadiyah.
Masa MUI mengeluarkan resep. Itu kan tugas dokter, " jawabnya
pandek.



Hal serupa juga dinyatakan Dr. Ahmad Zain An Najah.  Mantan Ketua
Majelis Tarjih dan Tajdid, PCIM Kairo Mesir ini mengatakan, fatwa itu
adalah hak ulama, bukan perorangan. Dan yang mengerti urusan fatwa
adalah mereka-mereka yang tahu dan mengerti secara baik hukum Islam.
Karenanya, jika ada orang meskipun dikenal tokoh Islam, tapi bukan
berlatar belakang hukum Islam atau fikih, mereka tak memiliki hak. 
Anehnya, menurut Zain, setiap ada fatwa MUI, semua media massa termasuk
TV justru meminta komentar tokoh-tokoh yang tak ahli dalam hukum Islam.



"Nah, seharusnya media massa dan televisi mengerti. Ke mana
seharusnya masalah fatwa ini ditanyakan. Tapi, kok, orang-orang yang tak
paham hukum Islam diminta pendapat dan terus-menerus mendapatkan tempat.
Ada apa ini?, "ujarnya.



Pria asal Klaten yang meraih predikat summa cumlaude dengan disertasi
Al-Qadhi Husain wa Atsaruhu Al-Fiqhiyah ini cukup heran dengan kondisi
di Indonesia.



Sekedar membandingkan, belum ada dalam sejarahnya fatwa ulama dikencam
apalagi dilecehkan orang-orang awam dan bukan ahli dibidangnya kecuali
di Indonesia. Ia mencontohkan, dalam kasus semua fatwa yang dikeluarkan
Darul Ifta' al-Mishriyyah (Lembaga Fatwa Mesir) atau Majma'ul Buhuts
al-Islamiyyah di Al-Azhar,  tak pernah masyarakat bahkan pihak
pemerintah mempertanyakan atau mengotak-atik nya.

"Umumnya, semua masarakat Mesir paham dan menghormati, bahkan
termasuk pihak pemerintah," tambahnya.  Berbeda dengan dengan di
Indonesia di mana fatwa ulama `dilecehkan' orang yang tak paham
hukum Islam.  [cha, berbagai sumber/www.hidayatullah.com
<http://www.hidayatullah.com/> ]





[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke