yg paling terasa bedanya, kalo di KPR bank bisa aja skema pembayaran kita didahulukan u bayar bunganya... sebaiknya bertanya detail pd pihak bank dalam hal ini... nantinya kalau kita sudah mengangsur beberapa kali, saat kita mau melunasi lebih cepat KPR kita ternyata nilai pokoknya masih besar...
itu yg paling kerasa di lapangan... mprie ----- Original Message ---- From: Aman FatHa <[EMAIL PROTECTED]> To: wanita-muslimah@yahoogroups.com Sent: Tuesday, June 3, 2008 8:42:27 AM Subject: RE: [wanita-muslimah] Makna di Balik Syariah Jumpa lagi, dan langsung ikut komentar tentang Bank Syariah ini meskipun bukan ahlinya. Hingga kini, menurut pandangan saya, persoalan di Bank Syariah terletak pada paradigma awal yang sempit, yaitu soal riba dan non-riba. Memang tidak salah, karena ini adalah persoalan yang mendasar dalam sistem Islam. Namun, gara-gara ini akhirnya sulit untuk melakukan pengembangan pada tataran praktis. Padahal, banyak hal yang harus dituntaskan mengingat persoalan bank tidak semata soal pinjam-meminjam, kredit. Secara sederhana, kita bisa mulai bertanya bagaimana manajemen perbankan Syariah, bagaimana pengelolaan modal dan strateginya, apa saja jasa yang bisa ditawarkan, bagaimana format yang ideal dalam pelaksanaannya, bagaimana mengelola risiko. Ini baru dari sudut pandang intern perbankan itu sendiri. Masih banyak unsur lain yang sangat terkait: nasabah (bagaimana agar bisa dijaring untuk menggunakan jasa, pelayanan, kepuasaan, kelancaran aktivitas, dll); pihak ketiga yang menjadi partner bisnis; regulasi; lembaga penjaminan kredit; dan lain-lain. Saya pribadi optimis dengan Sistem Ekonomi Syariah meskipun apa yang berlangsung sekarang belum mencapai taraf yang diharapkan (ideal). Barangkali ini adalah alasan di balik pelaksanaan sistem Syariah yang belum menunjukkan hasil yang memuaskan, alasan kenapa banyak orang mengatakan bahwa Syariah hanya label dan tidak ada beda signifikan dengan BK. Pada sisi lain, para pendukung sistem Syariah lebih memilihnya karena faktor non-riba sebagaimana ajaran agama, terlepas dari bagaimana pelayanan dan sejauh mana manfaat yang didapatkan dari produk, jasa, dan sistemnya dibandingkan dengan apa yang ada pada BK. Mungkin juga, alasan mereka yang mengatakan hanya label bahwa pada kenyataannya sistem Syariah lebih fokus kepada bagaimana menjaring konsumen, khususnya para pendukungnya yang di negara ini sangat besar potensinya mengingat masyarakat muslim adalah mayoritas. Sebagai ilustrasi, soal non-riba saja masih dipandang sebatas layanan yang ditawarkan kepada konsumen dengan cara pendirian unit-unit Syariah oleh bank-bank konvensional. Bukankah modal yang terhimpun dan tersalurkan pada unit ini akhirnya menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari sistem utama bank itu sendiri. Sederhananya, uang halal secara syariah dan uang haram atau syubhat atau tidak jelas juga akan bercampur baur. Jika demikian, apa artinya pelabelan Syariah pada unit yang menawarkan produk-produk Syariah? Pada sisi konsep sendiri, juga ada beberapa produk yang tidak ada bedanya dengan produk bank konvensional dari segi keuntungan kecuali pada bentuk pelaksanaannya. Sebagai contoh, produk murabahah. Kasus yang disampaikan oleh Bung Donnie di sini, saya perhatikan, adalah bentuk murabahah. Bisa dilihat perbedaannya pada contoh kasus berikut ini. Donnie ingin membeli rumah seharga 200 juta. Uang Donnie hanya 50 juta. Kebutuhan modal pembelian ini adalah 150 juta. Agar bisa membeli rumah, Donnie datang ke salah satu bank untuk mendapatkan modal. (1) Pada bank syariah, produk murabahah bisa diterapkan: bank akan membeli kontan rumah tersebut seharga 150 juta dan menyerahkannya kepada Donnie dalam bentuk jual beli lagi dengan harga yang lebih besar dari 200 juta dan Donnie membayarkanya secara cicilan sebesar nominal dan dalam periode waktu yang disepakati oleh kedua belah pihak. Katakanlah harga yang ditawarkan oleh bank +12% menjadi 224 juta untuk jangka waktu 5 tahun. Artinya, margin keuntungan bank dari modal 200 juta yang dikeluarkan adalah 24 juta untuk jangka waktu 5 tahun. 224 juta / 60 = 3.735.000 ribu per bulan. Jika Donnie setuju, dilaksanakanlah sistem ini. Bagaimana bank menentukan margin ini sangat tergantung dengan kondisi ekonomi, kelancaran keuangan, cost recovery, dan faktor-faktor lain yang lebih mendalam dibahas dalam buku-buku operasional dan manajemen Bank Syariah lengkap dengan ada rumusan dan strateginya. (2) Pada bank konvensional, katakanlah Donnie pinjam 200 juta dengan bunga 12%, kira-kira apa bedanya dengan produk murabahah? Bedanya hanya terletak pada sistem interaksi antara Donnie dan pihak bank, yang pada bank syariah unsur riba tidak ada lagi karena penawaran bank adalah harga jual rumah oleh pihak bank kepada Donnie dengan menyebutkan harga asli pembelian yang akan dilakukan apabila deal dan margin keuntungan bank sendiri. Ini pun masih menjadi perdebatan ulama tentang kebolehan harga tinggi daripada harga asal karena faktor waktu (pembayaran cicil dan tunda). Oleh Ulama Kontemporer dinyatakan boleh dengan pertimbangan bahwa waktu juga bernilai uang dari segi bisnis, beda dengan pandangan banyak ulama fikih klasik. Ini baru pada bentuk produk yang digunakan. Belum lagi soal administrasi dan lain-lain memandang pelayanan dan kepuasaan juga penting. Dilihat dari contoh di atas, bisa dibayangkan bahwa untuk satu proses saja memerlukan tahapan sistem yang tidak fleksibel. Ini tantangan bagi pengembangan Ekonomi Syariah sebenarnya. Meskipun demikian, saya tidak ingin pesimis karena nyatannya Ekonomi Syariah memang tergolong baru segi konsepsi keuangan modern dan ketentuan-ketentuan hukum yang telah banyak dibahas oleh ulama fikih klasik menjadi acuan untuk pengembangan pada sisi konsep dan hukumnya. Untuk pengembangan produk, tentu saja masih sangat diperlukan berbagai terobosan. Hal yang lebih penting, sistem ekonomi Syariah harus dilihat dan dipraktikkan secara integral. Itu jauh dari mungkin dengan bentuk bank konvensional hanya membuka unit syariah. Jadi, ini memang tantangan besar bagi para penggiat, peneliti, para ahli, dan mahasiswa yang berkecimpung dalam kajian ekonomi Syariah. Tidak sebatas kepada persoalan konsep dan hukum, tetapi juga manajemen keuangan, manajemen administrasi, manajemen risiko, manajemen bisnis, dan seterusnya. Demikian komentar saya, terimagajih hehehe Wassalam Aman From: wanita-muslimah@ yahoogroups. com [mailto:wanita-muslimah@ yahoogroups. com] On Behalf Of Donnie Sent: Friday, May 30, 2008 9:27 AM To: wanita-muslimah@ yahoogroups. com Subject: Re: [wanita-muslimah] Makna di Balik Syariah apa yang aku pahami dari paparan ini adalah: Bank syariah didirikan oleh orang Islam, asal uang Bank dan kemana uang Bank diinvestasikan harus dalam bisnis yang halal, terus apabila dapat keuntungan tidak boleh berpamer-pamer. Dapat keuntungannya dari mana? kenapa banyak yang bilang kalo mau pinjam di Bank Syariah lebih berat daripada di Bank non Syariah. kemaren ada yang posting buat ngajuin kredit aja administrasinya harus dibayar dimuka... Pengalaman saya pernah mau ngajuin kredit rumah. Kebetulan developernya punya koneksi di BNI syariah. Demi kelancaran pembayaran (kalo developer kenal baik dengan banknya) dan mencoba untuk berbisnis dalam bingkai keIslaman, meluncurlah saya kesana. Hmm.. syaratnya book.. nggak fleksible sama sekali. Buat saya yang buruh tidak tetap dengan sumber penghasilan yang tidak tetap pula (meskipun kalo dipaksa-paksain bisa juga membayaran cicilan kredit), mereka sama sekali tidak bisa memfasilitasi kebutuhan saya. Harus punya gaji tetap, cicilan harus bisa dipotong langsung dari bendahara kantor.. dll Lha pindah ke bank non syariah.. eh ternyata lancar jaya.. dan cicilan bisa juga lunas sebelum waktu jatuh tempo. Moral of the story: -Bank syariah (at least yang saya kunjungi waktu itu) kehilangan pasar potensial yang lebih cair kondisi finansialnya. Dan saya rasa saat ini potensi pasar yang seperti ini sangat besar diantara profesional muda. -Apakah dengan memilih2 nasabah seperti itu bisa dibilang sesuatu yang Islami? Nasabah yang bener2 terjamin tidak akan membuat rugi Bank. Lha padahal namanya bisnis kan ada risiko ruginya.. :) Donnie On May 29, 2008, at 12:01 PM, Lina Dahlan wrote: > Makna di Balik Syariah > > Merek atau label bisnis mencerminkan nilai (value) yang ingin kita > tawarkan dari bisnis kita. Jadi, artinya ketika kita memberi > label "syariah" pada bisnis kita berarti bisnis kita harus > menjadikan nilai2 sayriah sbg penggeral dari seluruh proses bisnis > yang ada, baik dari segi system, produk, distribusi keuntungan, > hingga berbagai aspek bisnis lainnya. > > Ibarat rumah, bisnis syariah terdiri dari struktur bangunan yang > tidak boleh terpisah satu sama lainnya. Fondasinya harus syariah, > tiang2nya harus syariah, dan atapnya pun harus syariah. Kalau > struktur bangunan tidak selaras, rumah tsb tidak akan bertahan lama. > Pakar marketing, Hermawan Kartajaya mengatakan bahwa bisnis syariah > tidak akan bertahan apabila hanya citra dan identitasnya saja yang > syariah tetapi tidak disertai dengan integritasnya > > Fondasi Tiang dan Atap. > > 1) Fondasi "Tauhid (Iman)" > > Menurut Imam Ghazali, kebanyakan manusia seperti keledai yang > memutar mesin penggilingan. Agar si keledai mau memutar > penggilingan, di lehernya diikatkan kayu dan diujung kayu itu ada > makanan. Seolah-olah makanan itu siap untuk disantap. Akan tetapi, > si keledai tak mampu meraihnya. Setiapkali keledai itu bergerak, > makananyapun ikut bergerak. Dorongan untuk makan makanan yang ada > didepan mata yang memotivasi keledai bergerak. Dengan perumpamaan > ini, Imam Gazhali ingin mengingatkan kita agar memiliki tujuan utama > sebagai misi aktivitas kita. Jangan seperti keledai yang hanya > berputar-putar mengejar makanan. > > Artinya, dalam berbisnis, kita tidak boleh hanya sekedar > mengumpulkan keuntungan. Ada misi pokok yang kita harus emban > sebagai khalifah Allah di muka bumi ini. Selain itu, bisnis yang > kita bangun harus berdimensi kerahmatan bagi seluruh alam (rahmatan > lil alamiin). Bisnis yang tidak merusak lingkungan. Bisnis kita > harus menyumbangkan sesuatu kepada peradaban dunia. Di atas semua > itu, apa yang kita lakukan bermuara pada satu titik: mencari ridha > Allah. > > Kalau fondasi ini telah kita tanamkan dalam langkah bisnis, insya > Allah tidak akan pernah mengenal lelah untuk membesarkannya. > Walaupun ada halangan atau badai, badai pasti berlalu. :"Dan Ibrahim > berkata,"Sesungguhn ya aku pergi menghadap Tuhanku,d an Dia akan > memberi petunjuk kepadaku." (QS37:99). > > Dari semua kerja keras yang kita lakukan untuk membesarkan bisnis > kita, pada akhirnya adalah bekal untuk kembali menuju Allah Yang > Maha Agung. > > 2) Tiang-Tiang Syariah > > Tiang2 inilah yang akan membentuk bangunan bisnis syariah kita. > Artinya, seluruh proses bisnis dari awals ampai akhir,d ari proses > input sampai proses output, harus dilakukan berlandaskan syar'I > (AlQur'an dan As-Sunah). > > Rasulullah SAW bersabda,"Perumpama an orang beriman itu bagaikan > lebah. Ia makan yang bersih, mengeluarkan sesuatu yang bersih, > hinggap di tempat yang bersih,d an tidak merusak atau mematahkan > (yang dihinggapinya) ,: (HR Ahmad, Al-Hakim,d an Al-Bazzar). Lebah > hanya hinggap ditempat pilihan. Lebah hanya mendatangi bunga, > buah2an, atau tempat bersih lainnya yang mengandung nektar (bahan > madu). Iapun mengeluarkan sesuatu yang bersih dan bermanfaat: madu. > > Begitulah seharusnya bisnis syariah kita. Semua berasal dari yang > bersih: tidak ada modal dari korupsi, suap, penipuan, pencurian etc, > Begitu juga outputnya mendatangkan manfaat bagi banyak manusia. Juga > tidak merusak lingkungan, > > 3) Atap Penghayatan (Ihsan). > > Tiang, dinding, pintu dan jendela serta segala asesori tak akan > bertahan lama bila tak dilindungi dengan atap dari serangan panas > dan hujan. Begitupun bisnis syariah, bila tidak didukung oleh > penghayatan (merasa dekat, melihat dan dilihat Allah), niscaya akan > mudah rusak dan rapuh. Penghayaan disini akan menunjukkan kondisi > kejiwaan kita yang merasa senantiasa diawasi oleh Allah. Perasaan > ini akn melahirkan sikap hati-hati, waspada,d an terkendalinya > suasana jiwa. > > Ketika seseorang berislam, beriman, tapi tidak berihsan, saat itu ia > belum sampai apda ruh ajaran Islam. Ketika seorang Muslim naik haji > tetapimasih saja korupsi, orang tsb belum sampai pada ruh ajaran > Islam. Ketika kita sudahmenjalankan bisnis syariah dgn niat karena > Allah, menjalankan sesuai syariah, tapi tidak melakukan pengharyatan > ihsan dalam bisnis, kita belum sampai pada ruh bisnis Islam. > > Contoh sederhananya begini. Dari bisnis syariah kita mendapat > keuntungan 2 Miliar. Untuk menunjukkan status , keuntungan 2 Miliar > ini kita belikan mobil Jaguar versi terbaru. Padahal, kita sudah > punya Avanza. Ini sah-sah saja bagi kita sesuai syariah. Namun, kita > tidak merasa risih memamerkan gaya hidup bermewah-mewahan dengan > simbul status mobil berharga miliaran sementara di sisi lain banyak > masyarakat yang untuk makan saja sulit. Kalau bisnis syariah kita > mampu kita hayati, kita tidak akan membeli mobil mewah ini. "Maka, > celakalah bagi orang-orang yang mengerjakan sholat, yaitu orang2 > yang lalai shalatnya, orang2 yang berbuat riya' ". (QS107:4-6) > > Wassalam, > Lina > > Sebagai akhir episode akan dipaparkan Perbedaan Bisnis Syariah dan > Bisnis Konvensional, sbg kesimpulan. > > > [Non-text portions of this message have been removed] [Non-text portions of this message have been removed] [Non-text portions of this message have been removed]