emang kalo yang ngisi laki-laki nggak "asal comot"?
;-)

sekarang itu gudang kader untuk caleg itu isinya kira-kira orang2 yang mirip2, 
... business as usual...
calon laki2 yang ada di gudang stok kader itu bejibun.
jadi kalo calon wanita di gudang stok kader masih sedikit dan diambil dari luar,
sejelek apapun caleg itu memberikan peluang terjadinya angin baru yang segar.


  ----- Original Message ----- 
  From: Tri Budi Lestyaningsih (Ning) 
  To: wanita-muslimah@yahoogroups.com 
  Sent: Thursday, November 06, 2008 7:04 AM
  Subject: RE: [wanita-muslimah] Peran Politik Caleg Perempuan




  Analisa yang bagus dari Ibu Toeti ini. Salah satu risk mempersyaratkan
  30% perempuan adalah "asal comot" tadi. Mudah-mudahan para perempuan
  Indonesia cukup cerdas untuk tidak mau dijadikan caleg pengisi kuota
  seperti yang diceritakan Ibu Toeti di bawah.

  Lagian, apa hubungannya quota untuk perempuan dengan kesejahteraan
  perempuan ? 

  -----Original Message-----
  From: wanita-muslimah@yahoogroups.com
  [mailto:[EMAIL PROTECTED] On Behalf Of Sunny
  Sent: Friday, November 07, 2008 8:02 AM
  To: Undisclosed-Recipient:;
  Subject: [wanita-muslimah] Peran Politik Caleg Perempuan

  http://www.lampungpost.com/cetak/berita.php?id=2008110601293819

  Kamis, 6 November 2008


  Peran Politik Caleg Perempuan 

  Toeti Adhitama

  Anggota Dewan Redaksi Media Group

  Mengapa perempuan menjadi warga dunia kelas dua. Wallahualam. Yang
  kita tahu, masa depan kita bergantung pada pendidikan.

  Pendidikan awal yang diterima anak bersifat lembut, akrab, dan
  manusiawi. Untuk tugas pendidikan awal itulah perempuan lebih berbakat
  karena kelembutan dan kepekaannya serta kesediaannya berkorban karena
  kasih sayangnya. Inilah yang membuat perempuan memberikan asih-asah-asuh
  sesuai dengan kebutuhan anak. Dalam proses ini, pribadi anak berkembang.

  Dari perspektif lain, bagaimana perempuan bisa menjalankan tugas
  keibuan tanpa mengabaikan bakat-bakatnya yang lain? Idealnya, masyarakat
  membangun sistem yang tidak diskriminatif. Tidak ada sikap
  membeda-bedakan gender karena ada asas kebebasan mengembangkan potensi
  masing-masing. Lacurnya, hal ini sering tidak diperhatikan, baik oleh
  perempuan sendiri maupun, dan terutama oleh laki-laki. Akibatnya,
  masyarakat terbentuk seperti adanya sekarang.

  Domestikasi perempuan dianggap wajar. Begitu pula dominasi
  laki-laki dalam kehidupan, khususnya di bidang politik. Pada gilirannya
  perempuan menjadi ketinggalan karena ragu-ragu terjun ke masyarakat.

  Caleg Pengisi Kuota

  Tentu itu tadi cerita lama. Namun, faktanya memang baru abad lalu
  hak sama untuk perempuan berangsur-angsur dilembagakan di banyak negara.
  Ini meliputi hak untuk memilih, yang perjuangannya memakan sekitar satu
  abad. Juga hak ikut dalam kegiatan politik dan hak mendapatkan
  pendidikan yang sama. Di Indonesia pun kurang lebih sama.

  Namun, sampai sekarang, jika dibanding dengan negara-negara maju,
  pendidikan perempuan Indonesia masih jauh ketinggalan. Maka ketika ada
  ketentuan partai-partai politik harus mengajukan caleg perempuan 30%,
  relatif partai-partai menghadapi kesulitan. Lagi pula tidak semua
  perempuan terdidik tertarik pada kegiatan politik. Mereka memilih karier
  di luar bidang politik yang mungkin mereka anggap lebih bermanfaat untuk
  pengembangan diri dan keluarga.

  Banyak partai terpaksa "mencomot" caleg perempuan untuk
  persyaratan 30%. Tidak terlalu dimasalahkan, apakah perempuan itu
  memenuhi kriteria menjadi MP (member of parliament). Mungkin karena
  pertimbangan tidak semua akan terpilih. Lagi pula yang menentukan
  terpilih tidaknya adalah suara terbanyak. Mekanismenya belum jelas.

  Tidak berlebihan kalau dikatakan, pada waktu ini ada asumsi caleg
  perempuan hanya dipakai sebagai pelengkap persyaratan kuota. Namun,
  sistem kuota ini toh sudah kemajuan besar mengingat sejak kita
  berparlemen, keterwakilan perempuan dalam lembaga-lembaga politik formal
  sangat minim, termasuk di legislatifnya. Antara lain ini karena sikap
  elite-elite partai yang dianggap diskriminatif terhadap perempuan.

  Jumlah keterwakilan perempuan di DPR pada awalnya (1950--1955)
  hanya 9 orang, 3,8% dari jumlah 236 anggota. Pada waktu ini (2004--2009)
  sebesar 63 orang, 11,45% dari 545 anggota. Naik menjadi 3 kali dalam
  kurun waktu sekitar 60 tahun. Persentasenya sama dengan rata-rata jumlah
  anggota legislatif perempuan di seluruh dunia. Di DPRD I dan II,
  persentasenya jauh lebih rendah.

  Bukan Pelengkap 

  Khusus untuk caleg perempuan, mereka layak mendapat perhatian
  khusus agar seandainya terpilih bukan hanya menjadi pelengkap di
  parlemen, melainkan benar-benar mampu mengutarakan pandangan-pandangan
  yang bermanfaat bagi rakyat. Seperti keadaannya sekarang, mereka
  nantinya mungkin sulit ikut mengambil keputusan bersama karena minimnya
  bekal/pengalaman yang mereka miliki, khususnya bagi yang baru-baru.

  Pemilihan perempuan dalam komisi-komisi DPR umumnya juga
  ditentukan pimpinan fraksi, kecuali kalau para anggota perempuan itu
  merasa mampu membuat pilihan lain. Esensi fungsi lembaga legislatif
  adalah menjadi perantara antara rakyat dan negara. Bagaimana bisa
  efektif menjalankan fungsi tersebut kalau mereka tidak banyak menguasai
  masalahnya. Maka inisiatif pendidikan politik rasanya harus datang dari
  para caleg sendiri. Lebih-lebih selama menjadi konstituen, kita semua
  sangat kurang mendapat pendidikan politik dari partai-partai politik.
  Pembangunan jaringan konsultasi antaranggota perempuan partai-partai
  politik maupun antarperempuan anggota parlemen pastilah sangat
  bermanfaat untuk kemajuan mereka.

  Kalau setiap partai memastikan akan menyerahkan perempuan sebanyak
  30% jumlah wakilnya untuk DPR, kita termasuk salah satu negara termaju
  di dunia dalam soal keterwakilan perempuan di parlemen; kira-kira
  sejajar dengan keterwakilan di negara-negara Skandinavia dan beberapa
  negara lain seperti Belanda, Jerman, Selandia Baru, dan Afrika Selatan.
  Jumlah keterwakilan perempuan di parlemen mereka mencapai 30% sampai 40%
  lebih. Kecenderungannya, jumlah perempuan anggota parlemen di seluruh
  dunia terus meningkat. Sebaliknya sejak 1987, jumlahnya di Indonesia
  terus turun, kecuali untuk periode terakhir 2004--2009 (11,45%) yang
  lebih tinggi daripada periode sebelumnya 1999--2004 (9%).

  Struktur dan fungsi orde politik dalam negara ditentukan
  partai-partai politik dan lembaga-lembaga politik formal. Demikian
  menurut Society Today (1972), buku studi kemasyarakatan dengan Richard
  L. Roe sebagai penerbit. Lembaga-lembaga tersebut, kata buku itu, dapat
  dianalisis seperti organisasi lain. Misalnya proses-proses politik yang
  mendasar tentang bagaimana mendapatkan kekuasaan dan menjalankannya,
  bagaimana pengambilan keputusannya, dan mobilisasi sumber-sumbernya,
  tidak beda dengan apa yang terjadi dalam rumah tangga/keluarga.

  Untuk proses-proses lain bisa dianalisis seperti organisasi formal
  lain. Misalnya bagaimana cara merekrut orang-orangnya untuk peran-peran
  tertentu, termasuk untuk anggota-anggota legislatif, eksekutif, dan
  yudikatif. Bagaimana mereka menjalankan fungsi-fungsi integrasi dengan
  sistem hukumnya, menjalankan kekuasaan dengan kekuatan negara, mediasi
  untuk mengatasi berbagai konflik antarkelompok masyarakat, dan
  mobilisasi sumber-sumber sosial yang ada.

  Pemerintahan--termasuk legislatifnya--menjadi pusat fokus untuk
  mengarahkan tuntutan-tuntutan rakyat tentang alokasi sumber-sumber
  sosial dan keuntungannya bagi rakyat. Wajarlah bahwa lembaga legislatif,
  khususnya perilaku para anggotanya, laki-laki maupun perempuan, tidak
  lepas dari sorotan tajam masyarakat, seperti yang terjadi akhir-akhir
  ini.

  Karena fungsi orde politik ditentukan partai-partai politik dan
  lembaga-lembaga politik formal, termasuk legislatif, perlu dijaga agar
  partai-partai politik dan legislatif menangkap aspirasi rakyat. Konsep
  itulah yang melahirkan ketentuan untuk menyertakan minimal 30% kandidat
  perempuan dalam daftar caleg. Ini tindakan afirmatif sebagai hasil
  evaluasi Center for Electoral Reform (Cetro) bekerja sama dengan Kaukus
  Perempuan Politik Indonesia dan Kaukus Perempuan Parlemen Indonesia,
  yang dibuat pada 2002.

  Apakah peningkatan peran politik perempuan nantinya mampu menjawab
  tuntutan demokrasi, hasilnya masih harus kita tunggu. Tentunya peran
  pendidikan politik bagi caleg perempuan atau perempuan anggota parlemen
  menjadi keharusan karena pembekalan dan pendidikan politik ikut
  menentukan


  [Non-text portions of this message have been removed]

  ------------------------------------

  =======================
  Milis Wanita Muslimah
  Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
  Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com ARSIP DISKUSI :
  http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
  Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
  Berhenti mailto:[EMAIL PROTECTED]
  Milis Keluarga Sejahtera mailto:[EMAIL PROTECTED]
  Milis Anak Muda Islam mailto:[EMAIL PROTECTED]

  This mailing list has a special spell casted to reject any attachment
  ....Yahoo! Groups Links



   


------------------------------------------------------------------------------


  Internal Virus Database is out-of-date.
  Checked by AVG. 
  Version: 7.5.549 / Virus Database: 270.8.6/1765 - Release Date: 03/11/2008 
16:59


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke