Perasaan nenek saya dah pakai kebaya tipis menerawang yg memperlihatkan warna 
kutang dan kain batik dengan kerudung menerawang dari dulu, ingatan saya 
terawang kembali sejak saya lahir dan bisa mengingat.

Jadi pakaian jawa yah sudah mengadopsi kerudung yg muslim sbg perlengkapan baju 
wanita jawa.  Catat, kerudung hanya dipakai kalau keluar rumah.  Ke pasar, 
undangan atau rumkit. Kalau bersih bersih di jalan depan rumah ya tidak dipakai.

Di makasar juga pakai kerudung tipis menerawang waktu jamannya istri habibi dan 
jk jaman dulu.

Kalo ane bilang sih kerudung tipis menerawang ini busana nasional, dan dulu di 
copy paste dari islam.


salam,



-----Original Message-----
From: "L.Meilany" <wpamu...@centrin.net.id>

Date: Sat, 20 Dec 2008 14:28:06 
To: <wanita-muslimah@yahoogroups.com>
Subject: Re: [wanita-muslimah] Re: Kritik Atas Jilbab


Kerudung bukan busana nasional.
Kerudung busana tradisional suku Betawi, Minang 
[ kemudian kalo acara resmi dibikin seperti tanduk, mau 
kasih lihat bahwa disana perempuan lebih be'berkuasa' :-)]
Bahkan busana tradisonal Aceh saja ndak pake kerudung.
Di Makassar aslinya baju bodo itu tipis menerawang, lengan pendek, juga nggak 
pake kerudung.

Setahu saya busana nasional perempuan Indonesia [ resmi] adalah kain kebaya.
Setelah Bu Tien meninggal banyak modifikasi, misalnya pake kain songket, 
sarung, kebayanya
model baju kurung, tanpa sanggul [ Megawati mempopulerkannya] ya mirip pakaian 
malaysia.

Komunitas Betawi yg beragama nasrani di desa apa gitu ya dekat Bekasi sana 
tetap berkerudung.

Salam, 
l.meilany
  ----- Original Message ----- 
  From: Ari Condro 
  To: Milis wm 
  Sent: Thursday, December 18, 2008 4:10 PM
  Subject: Re: [wanita-muslimah] Re: Kritik Atas Jilbab


  Gimana kalau jilbab dijadikan busana nasional ? Kan kalau kerudung sudah. 

  Jadi nanti kalau ada ibu ibu berjilbab dan berkerudung merayakan hari ibu 
atau kartinian atau acara berbau adat di gereja, ya jangan protes lagi. Kan 
sudah didomestifikasi jadi baju nasional. Bukan kristenisasi jadinya. Toh 
jilbab juga niri baju peragawati .... Eh, maksudnya jilbab juga niru baju 
biarawati. 

  :)) 

  Gimana ? Kan kupluk saja sudah nasional :)). Di padang yg kristen juga 
setengah dipaksa pakai jilbab. Tinggal dilanjut aja sampai gereja :)) 


  salam, 



  -----Original Message----- 
  From: "L.Meilany" <wpamu...@centrin.net.id> 

  Date: Thu, 18 Dec 2008 13:24:42 
  To: <wanita-muslimah@yahoogroups.com> 
  Subject: Re: [wanita-muslimah] Re: Kritik Atas Jilbab 


  Kopyah yg dipakai pejabat itu urusannya pakaian nasional. 
  Kan yg non muslim juga pake kayak ketua partai buruh sapa tuh namanya orang 
batak. 
  Kemudian juga pendeta protestan sapa tuh juga namanya pun pakai kopiah. 

  Kalo yg lebih lengkap selain berkopiah juga pakai teluk belanga 

  Salam, 
  l.meilany 
  ----- Original Message ----- 
  From: Ari Condro 
  To: wanita-muslimah@yahoogroups.com 
  Sent: Wednesday, December 17, 2008 7:59 AM 
  Subject: Re: [wanita-muslimah] Re: Kritik Atas Jilbab 


  herni, 
  kalau pejabat negara potret bersama pakai kopyah kenapa gak sekalian 
  dipertanyakan ? bukannya menjurus juga tuh, si kopyah urusannya ... :D 

  2008/12/17 h.s nurbayanti <nurbaya...@gmail.com> 

  > Kaitannya ma konstitusi, yg menarik adalah... 
  > MK cenderung merasa perda2 itu melanggar. 
  > MA sebaliknya, cenderung bilang itu tidak apa2. 
  > SBY cenderung gak mau ngutak-ngatik soal syariat. 
  > Yg diutak-atik Perda yang berkaitan dng retribusi. 
  > (baca headline republika jum'at kemarin soal ini) 
  > 
  > Kalau saya, cenderung mengusulkan fatwanya adalah... jilbab itu pilihan. 
  > Termasuk pilihan menganggapnya wajib atau tidak :-) 
  > Yg perlu diatur adalah bahwa ada ruang untuk pilihan pribadi, bahkan di 
  > ruang publik sekalipun. 
  > Tapi, dimungkinkan pembatasan di ruang publik. 
  > Gak logislah, kalau penyiar, petugas rumah sakit dll pake abaya, cadar dll. 
  > Sama gak logisnya kalau mereka pake rok mini dan tank top dng garis dada 
  > rendah yg payudaranya keliatan mau tumpah :D 
  > Pembatasan, saya rasa dimungkinkan. 
  > Hakim, misalnya. Menurut saya sih sebaiknya gak pake jilbab hehehe.. 
  > 
  > Selain itu, mikir juga soal fairness. 
  > Kalau jilbab dibolehkan, yg lain juga boleh. Kalung salib, misalnya. 
  > Jangan merasa terancam dan ngomel2 kalau ada yg pake kalung salib. 
  > Kalau anda orang muslim merasa spt itu, ya bayangkan orang non-Islam 
  > melihat 
  > jilbab. 
  > Simple aja kan tuh? 
  > 
  > 
  > 2008/12/16 Mia <al...@yahoo.com <aldiy%40yahoo.com>> 
  > 
  > > Iya, untuk Perda syariat, mesti dilihat relasi hukum, misalnya apakah 
  > > itu nggak bertentangan dengan Konstitusi sebagai payung semua? Ini 
  > > misalnya. Belum lagi soal parpol2 yang kelewat pragmatis sehingga 
  > > mengorbankan prinsip. 
  > > 
  > > Tapi, poinnya adalah kita mesti menyamakan persepsi, ke arah mana 
  > > paradigmanya? Konservatism dalam beragama nggak pernah sehat, itu 
  > > rambu2nya. Kalau kita setuju bahwa nilai yang lagi mau diusung 
  > > adalah konservatism beragama yang abusive terhadap anggota masyarakat 
  > > lain, maka kita harus mengkoreksi (mengorbankan) nilai itu dan 
  > > menggantinya dengan yang lain. Fatwa berjilbab diganti 
  > > dengan 'berjilbab itu tidak wajib', gantinya berpakaianlah sopan. 
  > > 
  > > Misalnya lagi, Ahmadiyah mesti dibubarkan (i.e kalau ada yang 
  > > menyerang ya biarkan saja). Fatwanya, tidak ada paksaan dalam 
  > > beragama (bentuk pengorbanan) Gantinya, Ahmadiyah adalah bagian dari 
  > > Islam dan Muslim. 
  > > 
  > > Ini langsung menyentuh relung emosi kita, dan itu harus dipupuk 
  > > secara baik-baik, artinya perubahan ini harus dari dalam diri kita 
  > > sendiri. 
  > > 
  > > salam 
  > > Mia 
  > > 
  > > --- In 
wanita-muslimah@yahoogroups.com<wanita-muslimah%40yahoogroups.com><wanita-muslimah%
 
  > 40yahoogroups.com>, 
  > > "h.s nurbayanti" 
  > > <nurbaya...@...> wrote: 
  > > > 
  > > > Ini menarik.. karena yg diperdebatkan bukan sekedar "konsep" spt yg 
  > > mbak mia 
  > > > bilang, tapi juga soal "kita"nya. 
  > > > Tapi kalau urusan perda syariat, saya kira gak bisa diselesaikan 
  > > dng fatwa 
  > > > jilbab gak wajib. 
  > > > Lebih ke bagaimana kita melihat relasi "moral" dan "hukum". 
  > > > Belum lagi faktor politik yg banyak berperan. Bukannya itu cuma 
  > > gimmick (eh 
  > > > bener gak sih nulisnya) aja ya? 
  > > > Pernah baca analisa mengenai hal itu. 
  > > > 
  > > > Sama halnya dng wine. Bukan soal minuman beralkoholnya, tapi soal 
  > > wine-nya. 
  > > > Yg coba dibenturkan sama pasangan yg arcon sebut kan konsepnya, 
  > > tapi gak 
  > > > menambah soal "kita"nya.. 
  > > > kecuali kalau yg disuguhkan anggur merah cap orang tua hehehehe 
  > > > atau tuak.. atau apalah.. minuman beralkohol yg tradisional :P 
  > > > 
  > > > Lagian juga, apa perlunya minum yg kaya gitu disini? 
  > > > mending orang barat dong, setidaknya mereka berangkat dari 
  > > kebutuhan. 
  > > > hehehe... 
  > > > 
  > > > 
  > > 
  > > 
  > > 
  > 
  > [Non-text portions of this message have been removed] 
  > 
  > 
  > 

  -- 
  salam, 
  Ari 

  [Non-text portions of this message have been removed] 





  [Non-text portions of this message have been removed] 



  [Non-text portions of this message have been removed]



   

[Non-text portions of this message have been removed]




[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke