Reflesi :   Apa komentar  Anda terhadap tulis di bawah ini? 

http://www.hidayatullah.com/index.php?option=com_content&view=article&id=8797:demokrasi-barang-curian-milik-islam-&catid=68:opini&Itemid=68


      Demokrasi, Barang Curian Milik Islam?        
      Friday, 06 March 2009 07:00  
      Realitas sejarah menunjukkan, sistem demokrasi lebih dekat kepada Islam 
dibanding sistem lainnya? 



      Tohir Bawazir *

      Menghargai perbedaan pendapat adalah salah satu akhlak yang sangat 
dianjurkan dalam Islam. Selagi perbedaan pendapat itu tidak menyangkut hal-hal 
yang  substansial dalam aqidah. Jika  menyangkut hal yang sudah qath'i (pasti), 
 ummat Islam harus sudah bersepakat untuk hal itu. Misalnya soal wajibnya 
sholat, puasa, zakat, haji dan berbagai hukum yang sudah jelas dan terperinci 
yang sudah diatur dalam Al-Qur'an dan Al-Hadits, maka tugas kita hanyalah 
menjalankan segala perintahnya dan menjauhi segala larangannya semampu kita. Di 
sini ummat Islam tidak diberi ruang untuk menyelisihi apa yang sudah 
diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya.

      Dalam kehidupan sosial dan kemasyarakatan, banyak ruang gerak yang 
diberikan oleh Allah kepada hamba-hambaNya untuk mengatur kehidupannya 
berdasarkan asas manfaat dan maslahat kehidupan, sepanjang tidak  bertentangan 
dengan ketentuan Syariat. Kita juga yakin, kemaslahatan kehidupan sudah pasti 
akan selaras dan sejalan dengan tuntunan syariat Islam. Termasuk dalam kancah 
wilayah politik untuk memilih pemimpin dan mekanisme kenegaraan.

      Dalam sistem pemerintahan seperti yang kita kenal sekarang, terdiri dari 
berbagai model pemerintahan, ada demokrasi, teokrasi/negara keagamaan, 
diktator, kerajaan atau bisa pula ada sistem kombinasi dari berbagai sistem. Di 
Negara Inggris misalnya dikenal sistem kerajaan, namun pada saat yang sama ada 
sistem demokrasi dimana selain ada raja/ratu sebagai kepala negara secara 
simbolis, namun pada saat yang sama kekuasaan yang riil justru dipegang oleh 
perdana menteri yang dihasilkan dalam sistem pemilu secara demokratis. Namun di 
Saudi Arabia berbeda pula, mereka menggunakan sistem kerajaan mutlak. Raja lah 
yang sepenuhnya berkuasa membuat merah dan putihnya negara dan rakyat. Walaupun 
di sana ada dewan ulama yang memberi nasehat kepada raja, namun aspirasi 
masyarakat bisa dibilang tidak terwakili. Apabila rajanya baik, maka nasib 
rakyat dan bangsanya ikut kena imbas baiknya, namun jika buruk, maka rakyat 
akan menanggung keburukannya.  Ada pula yang tampaknya seperti sistem 
demokrasi, namun hakekatnya diktator. Statusnya seorang presiden, namun hakekat 
kekuasaannya dan masa berkuasanya  lebih  mirip model kerajaan. Ini banyak 
contohnya, terutama banyak dialami oleh negara-negara Dunia Ketiga 
(Negara-negara Asia, Afrika maupun negara-negara di Amerika Latin), termasuk di 
Indonesia di era Orde Lama dan Orde Baru.

      Dalam tiap sistem pemerintahan, sudah barang tentu ada kebaikannya dan 
keburukannya. Termasuk di dalam sistem kerajaan pun ada segi positifnya, 
minimal dari segi biaya politiknya sangat murah karena tidak perlu ada 
pertarungan para kandidat calon pemimpin, karena kekuasaannya sudah 
diwariskan/diturunk an secara kekeluargaan, bisa dari ayah ke anak, atau ke 
saudara dsb. Murah dan efisien, lebih-lebih jika rakyatnya bisa menerima sistem 
ini. Namun madharatnya juga besar. Karena hak berkuasa seolah-olah hanya milik 
seseorang/keluarga raja saja, rakyat tidak punya hak memimpin, mengoreksi, atau 
sekedar berbeda pendapat, walau memiliki kualitas yang mumpuni. Dalam sistem 
demokrasi pun ada manfaat dan madharatnya, positif dan negatifnya. Begitu dalam 
sistem otoriter pun walaupun banyak sisi negatifnya tetap saja ada sisi-sisi 
positifnya.

      Dalam sistem demokrasi, ada kekurangan yang cukup fundamental yaitu "one 
man one vote", satu orang satu suara.  Tidak peduli apakah orangnya sama 
moralnya, ilmunya, kedudukan  maupun tingkat pendidikannya dsb.  Suara seorang 
ustadz disamakan dengan suara pelaku maksiat, orang kafir, munafik dsb. Suara 
seorang profesor sama bobotnya dengan suara orang yang tidak tamat SD, dsb. 
Sehingga pernah ada yang mengusulkan agar rakyat yang berhak ikut pemilu (punya 
hak pilih) tidak cukup sekedar sudah cukup dewasa umurnya, namun juga 
pendidikannya minimal lulusan SMP, agar punya kapasitas ilmu yang lebih memadai 
sehingga dapat menentukan hak pilihnya lebih baik lagi.

      Sistem demokrasi juga membutuhkan biaya yang tidak sedikit, bahkan 
cenderung sistem ini paling menghabiskan banyak dana masyarakat dan negara, 
sedang tujuan yang ingin dicapai belum tentu diperoleh dengan baik. Demokrasi 
yang kita alami di Indonesia contohnya, menyedot biaya yang terlalu 
besar,energi yang terlalu banyak karena kendornya pengawasan dan mudahnya 
pendirian partai politik, sehingga menimbulkan euforia partai politik yang 
berlebihan.

      Era khilafah

      Kalau kita kembalikan ke tarikh Islam, sistem politik untuk memilih 
pemimpin / khalifah, dimulai setelah junjungan kita Nabi Muhammad SAW wafat. 
Ummat sempat bingung untuk menentukan siapa pengganti Rasul untuk memimpin 
ummat Islam. Orang-orang Anshor (penduduk asli Madinah) sudah akan memilih 
Sa'ad bin Ubadah sebagai pemimpin dari kelompok Anshor di Saqifah (aula 
pertemuan) dan mempersilahkan orang-orang Muhajirin (orang-orang Mekkah yang 
berhijrah ke Madinah) agar memilih pemimpinnya sendiri. Dari sini sudah cukup 
jelas bahwa Rasulullah tidak mengatur secara jelas mekanisme pemilihan 
khalifah/pengganti Rasul secara baku/tetap. Kalau sudah baku sudah pasti tidak 
ada saling sengketa dan perbedaan pendapat di antara mereka. Yang bisa 
menyelesaikan perbedaan pendapat yang berpotensi menimbulkan perpecahan di 
Saqifah justru argumen yang sangat mantap yang disampaikan oleh Shahabat Umar 
bin Khaththab ra. Umar mengusulkan agar masyarakat secara aklamasi mengangkat 
Abubakar Shiddiq ra sebagai khalifah pengganti Rasul karena berbagai 
pertimbangan diantaranya; Beliau  orang dewasa  pria pertama yang masuk Islam; 
Beliau pula yang oleh Rasul digelari Ash-Shiddiq; Beliau adalah satu-satunya 
shahabat yang diajak berhijrah bersama-sama Rasul dan Beliau satu-satunya yang  
diijinkan/disuruh oleh Rasul untuk mengimami sholat berjamaah ketika Rasul 
sakit dan tidak bisa menghadiri /mengimami sholat berjamaah di Masjid Nabawi. 
Mengingat kuatnya hujjah Umar tersebut, maka masyarakat baik dari Anshor maupun 
Muhajirin mengerti  dan menerima sepenuhnya bahwa memang tidak ada yang lebih 
layak menggantikan Rasulullah selain Shahabat Abubakar Shiddiq.

      Setelah Khalifah Abubakar wafat, kepemimpinan diganti oleh Umar bin 
Khaththab berdasarkan surat wasiat Khalifah Abubakar karena tidak ada shahabat 
yang lebih mulia dan mengungguli Umar bin Khaththab ra dalam berbagai aspek dan 
seginya, sehingga tidak ada keberatan apa pun terhadap pengangkatan Umar walau 
berdasar penunjukan.  Sebelum Amirul Mukminin  Umar meninggal ,  beliau masih 
sempat menunjuk dewan  formatur yang terdiri dari enam Shahabat senior untuk 
memutuskan siapa bakal pengganti beliau yaitu : Usman bin Affan, Ali bin Abi 
Thalib, Abdurrahman bin Auf, Zubair bin Awwam, Thalhah bin Zubair dan Saad bin 
Abi Waqas. Empat orang menyatakan tidak bersedia untuk menjadi Khalifah/Amirul 
Mukminin, hanya Usman dan Ali yang bersedia dipilih untuk menjadi pengganti 
Umar.

      Mengingat ada dua kandidat calon yang setara ilmu dan jasanya, setara 
pula dukungannya, maka  anggota formatur yang dipimpin oleh Abdurrahman bin Auf 
pun masih minta masukan secara langsung ke masyarakat untuk turut memilih satu 
di antara dua calon yang ada, Abdurrahman bin Auf masih berkeliling ke 
masyarakat untuk dimintai tanggapannya, baik ke para shahabat senior atau 
yunior, laki-laki atau perempuan dsb. maka Usman sepakat dipilih sebagai 
khalifah ketiga. Dari sini jelas, mekanisme mengatur pemimpin menjadi hak 
masyarakat, bukan penunjukan dari wahyu. Ada proses seleksi, pemilihan,   adu 
argumen, dukung-mendukung dan partisipasi masyarakat yang lebih luas, walau 
dalam bentuk yang belum baku seperti dalam sistem demokrasi modern.

      Setelah era Khulafaurrasyidin berlalu, kekuasaan Islam jatuh ke tangan 
Muawiyah bin Abu Sufyan sebagai khalifah pertama dari Dinasti Bani Umayyah. 
Suka ataupun tidak suka, manis maupun pahit, kekuasaan Dinasti Umayah diawali 
dengan hal-hal yang tidak wajar,  tipu daya dan pertumpahan darah yang 
mengorbankan ribuan rakyat sesama Muslim.  Dalam Perang Shiffin antara Khalifah 
  Ali bin Abi Thalib dengan Gubernur Muawiyah sangat kental aroma perebutan 
kekuasaan dari seorang gubernur yang tidak loyal kepada khalifah/pimpinanny a. 
Selanjutnya konflik/kemelut politik diselesaikan dengan upaya  
perdamaian/tahkim di antara mereka yang ternyata justru memperdaya/merugika n 
Khalifah Ali. Akhirnya wajah ummat  dan politik Islam carut marut. Khalifah Ali 
dibunuh oleh mantan pengikutnya sendiri yang tidak puas dengan upaya tahkim 
yang tidak adil. Muncul  pula kelompok sempalan yang bernama Syiah dan Khawarij 
yang saling bertolak belakang. Luka yang diakibatkan

      oleh tindakan Muawiyah yang memerangi Khalifah Ali, kemudian menurunkan 
kekuasaan kepada anak dan keturunan sendiri, menimbulkan luka di tubuh ummat 
Islam. Bahkan hingga sampai hari ini, luka tersebut tidak pernah kering/sembuh.

      Dalam buku "Distorsi Sejarah Islam" Dr. Yusuf Al-Qaradhawi menukil dari  
tafsir Al-Manar, Syaikh Rasyid Ridho menyebutkan pernyataan seorang ilmuwan 
Jerman yang berkata kepada beberapa ulama Muslim, "Semestinya kami (kaum 
Kristen Eropa) harus membuat patung emas Muawiyah di Berlin!" Ilmuwan tersebut 
ditanya, "Mengapa?" Dia menjawab, "Karena dialah yang mengubah hukum Islam dari 
demokrasi menjadi fanatisme golongan! Kalaulah hal itu tidak terjadi, Islam 
pasti akan tersebar ke seluruh dunia. Sehingga bangsa Jerman dan Eropa lainnya 
akan berubah menjadi Arab-Muslim" . Jika kita melihat sekarang Dunia Kristen 
Eropa menggunakan demokrasi, sejatinya itu merupakan 'barang curian' milik 
ummat Islam yang telah diadopsi dan dimodifikasi menjadi sekular ala Barat. 
Demokrasi seolah berasal dari Barat padahal sejatinya milik kita.

      Mengingat kekuasaan Dinasti Umayyah diawali dengan konflik, pertumpahan 
darah, tipu muslihat, sehingga dalam perjalanan kekuasaannya Dinasti Bani 
Umayyah selalu dirongrong oleh berbagai pemberontakan demi pemberontakan 
(kecuali hanya masa keemasannya di era Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang sangat 
singkat yaitu 2,5th saja) . Kekuasaan Bani Umayyah tidak sepenuhnya  stabil dan 
diterima oleh ummat Islam. Hingga akhirnya kekuasaan Dinasti Umayyah jatuh dan 
berakhir dengan pertumpahan darah dan pembantaian oleh pemberontak yang 
dipimpin oleh Abul Abbas As-Saffah (si penumpah darah). Kemenangan 
pemberontakan Abul Abbas menimbulkan kekuasaan dinasti baru yaitu Abbasiyah.  
Sayangnya kekuasaan ini diawali dengan pembantaian seluruh sisa-sisa keluarga 
Bani Ummayyah sehingga banyak yang lari ke daratan Eropa (Andalusia) maupun 
Afrika.

      Dinasti Abbasiyah memulai kekuasaannya dengan pembantaian, maka diakhiri 
pula dengan pembantaian pula, yaitu melalui tangan-tangan orang kafir Mongol 
yaitu Hulaqo Khan. Di mana waktu itu ibukota Baghdad menjadi lautan darah. 
Sehingga masa itu menjadi masa paling kelam dari sejarah Islam karena tidak ada 
kekejaman yang melebihi Khulaqo Khan ketika membantai ummat Islam di Baghdad 
waktu itu.

      Sejarah telah membuktikan bahwa kekuasaan yang diawali dengan tragedi 
akan diakhiri dengan tragedi pula, sebagaimana telah diperlihatkan dalam dua 
masa Daulah Umawiyah dan Abbasiyah. Justru munculnya Daulah Utsmaniyah di 
Turki, merupakan pertolongan Allah untuk mengangkat harkat dan martabat ummat 
Islam (khususnya dunia Arab) yang hancur berkeping-keping di Baghdad. Allah 
munculkan pengganti penguasa Islam dari Turki setelah ummat Islam dan Arab 
menanggung kekalahan dan kehinaan dari kekuasaan Dinasti Mongol (Tartar).

      Mengingat sejarah telah memberikan contoh kepada kita, kekuasaan itu 
membutakan walaupun di masyarakat Islam sekalipun. Untuk itu kekuasaan perlu 
diatur, dimanage agar kekuasaan itu dibatasi, kekuasaan harus dikendalikan agar 
tidak jatuh ke tangan orang-orang yang tamak dan dzalim. Sistem demokrasi juga 
salah satu bentuk mekanisme pengaturan kekuasaan. Tidak ada jamannya lagi 
kekuasaan dipegang oleh segelintir orang apalagi jika menggunakan cara-cara 
represif dan pemaksaan kehendak.. Sejarah Islam pun telah menunjukkan, pada 
masa Khulafaurrasyidin di masa Khalifah Utsman dan Ali yang kurang apa baik dan 
lurusnya masih saja ada pemberontakan. Apalagi di masa Bani Umayyah dan 
Abbasiyah, pemberontakan dan perebutan kekuasaan silih berganti.

      Jadi hakekatnya sistem demokrasi lebih dekat kepada Islam dibanding 
sistem lainnya. Realitas sejarah telah menunjukkan, masa Khulafaurrasyidin 
sebagai panutan kita sangat mengedepankan musyawarah. Demokrasi paling tidak 
sangat dekat dengan semangat musyawarah, saling menghargai pendapat, proses 
seleksi dsb. Kekurangan yang ada di sistem demokrasi karena masyarakat sangat 
heterogen, ada yang cerdas, ada yang bodoh, ada yang taat kepada Allah namun 
banyak pula yang bermaksiat kepada Allah, ada yang Islamnya kaffah namun banyak 
pula yang sekular, ada yang jujur namun banyak pula yang berjiwa koruptor, ada 
yang amanah namun banyak pula yang khianat, ada yang bercita-cita ingin 
menegakkan  syariat Allah namun banyak pula yang ingin menghalanginya. Namun 
bukankah itu juga merupakan tanggung jawab kita bersama (bukan hanya para 
politisi Muslim) untuk bersama-sama membina masyarakat agar menjadi masyarakat 
yang akidahnya lurus, mencintai Islam dengan sepenuh jiwa raganya sehingga 
cita-cita masyarakat dapat terwujud. Jadi perjuangan dakwah sangatlah luas dan 
berkesinambungan, ada yang melalui jalur politik, pendidikan, keluarga, budaya, 
ekonomi, sosial dsb.

      Jangan terlalu bermimpi kalau menolak demokrasi terus keadaan akan 
menjadi lebih baik. Bermimpi memiliki sistem lain dan melupakan yang ada, 
seringkali menimbulkan kekecewaan dan frustasi. Seringkali kita bermimpi 
mewujudkan sistem khilafah yang ideal akan segera terwujud, padahal membentuk 
organisasi yang lebih kecil dan sederhana saja, seringkali kita tidak mampu.  

      Terkait dengan tuduhan bahwa demokrasi itu identik dengan sekular, 
menurut hemat penulis, itu sepenuhnya tergantung siapa yang mengendalikan. Jika 
yang mengatur orang-orang sekular pasti disemangati dengan jiwa sekular. Jika 
di tangan orang Kristen sudah pasti dijiwai dengan semangat Kristiani, begitu 
pula kalau ditangani orang-orang Islam, sudah pasti (seharusnya) digunakan 
untuk kepentingan dan kebaikan ummat Islam.  Khalifah Umar  mengatur pembagian 
kekuasaan antara umara (penguasa) dengan qadhi (hakim), mengatur tentang 
hak-hak rakyat, mengatur tentang harta negara (Baitul Mal), zakat, kebijakan 
tentang peperangan, dsb. Para ulama juga berijtihad dan merumuskan kitab-kitab 
fikih, padahal sudah ada Al-Quran dan Sunnah. Barangkali, hal seperti itu pula 
lah pada demokrasi. Wallahu'a'lam

      Penulis adalah pengamat Gerakan Dakwah
     


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke