Mbak Chae, pakabar ?
Saya juga udah lama ngga "ngaji" di WM nii... 
 
Kayanya dulu udah pernah diskusi mengenai Demokrasi ini ya ?
 
Sekarang ini kan orang men-sakral-kan demokrasi. Seolah2 yang namanya
demokrasi itu pasti bener dan tidak mungkin salah. Kalau tidak
demokratis pasti jahat, arogan, dst... Wah wah wah.... sampai-sampai
kaum muslimin pun, karena merasa khoiru ummah, trus ikut2an meng-claim
bahwa Demokrasi adalah milik Islam ??
 
Mungkin balik lagi aja ke definisi awalnya. Demokrasi itu kan asalnya
dari Demos dan Kratos, yang artinya kekuasaan atau kedaulatan ada di
tangan rakyat. Ciri-cirinya, pastinya ada yang namanya fungsi
legislatif, yudikatif dan exekutif. Konsepnya sendiri kan dari Yunani
(Montesque kalau gak salah, penggagasnya ya?). Kalau dalam demokrasi itu
rakyat/manusia diberi hak untuk membuat aturan main sendiri.
 
Yang sekarang suka salah adalah menyamakan atau mengindentikkan
demokrasi dengan musyawarah. Jadi kalau ada proses musyawarah langsung
di-claim demokratis, sedangkan yang tidak demokratis (tidak suka
demokrasi), langsung dibilang tidak suka musyawarah. Itu kan salah pol!!
 
Kalau balik ke definisi awal dari demokrasi yang artinya kedaulatan di
tangan rakyat (manusia), yang artinya memberikan kekuasaan
seluas-luasnya bagi rakyat (manusia) untuk membuat aturan, maka tidak
mungkin Demokrasi itu Milik Islam. Karena Islam tidak pernah memberikan
kedaulatan/kekuasaan seluas-luasnya kepada manusia untuk membuat aturan.
Menurut Islam, aturan itu dibuat oleh Allah. Manusia boleh membuat
aturan ASALKAN di dalam kerangka (bersumber atau tidak bertentangan
dengan) aturan dari Allah SWT. Jadi menurut saya, tidak mungkin
Demokrasi adalah barang curian milik Islam... 
 
Jadi umat Islam janganlah men-claim bahwa Demokrasi adalah Barang Curian
Milik Islam. Malu, ah.. Rasul dan para sahabat memang bermusyawarah,
berdiskusi, kadang berdebat.. tapi semua tidak dalam kerangka demokrasi.
Semua itu dilakukan dalam kerangka ketaatan kepada Allah SWT.
 
Wallahua'lam bishowab.
Wassalaam,
-Ning
 
 
 
 
 

________________________________

From: wanita-muslimah@yahoogroups.com
[mailto:wanita-musli...@yahoogroups.com] On Behalf Of Chae
Sent: Monday, April 13, 2009 7:11 PM
To: wanita-muslimah@yahoogroups.com
Subject: [wanita-muslimah] Re: Demokrasi, Barang Curian Milik Islam?






Dulu di doktrin nya kan begini.." tinggalkan yang buruk dan ambil yang
baik"..jadi syah-syah saja kalau mencuri yang baik-baik..enggak usah
ribut..asal tinggalkan yang buruknya (tuker tambah):)

sorry asli enggak nyambung...niat belajar ngaji lagi di WM

Salam,

--- In wanita-muslimah@yahoogroups.com
<mailto:wanita-muslimah%40yahoogroups.com> , "Ary Setijadi Prihatmanto"
<ary.setij...@...> wrote:
>
> nggak terlalu penting siapa mencuri siapa...
> krn biasanya sangat ambigu...
> 
> setiap idea-idea besar itu dimulai oleh ide-ide sederhana yang
berkembang...
> bukan kerja satu generasi, tapi berpuluh generasi manusia...
> kebersahajaan dan rendah hati adalah sikap penting dalam mensikapinya
> 
> einstein tidak akan menghasilkan karya monumentalnya, 
> tanpa newton membuat karyanya
> 
> demokrasi tidak akan mencapai bentuknya yang sekarang,
> tanpa trial-and-error sepanjang sejarah dengan berbagai cara...
> 
> bahwa hal itu ternyata sesuai dengan islam, itu hal yang wajar...
> secara premis islam sbg. nilai-nilai universal...
> tapi toh banyak yang bilang tidak seperti itu bukan?
> tanya deh Adian Husaini dkk.
> 
> persoalan yang lebih penting adalah
> siapa yang lebih cerdas untuk mendapatkan keuntungan dari ide itu.
> 
> 
> 
> 
> ----- Original Message ----- 
> From: Sunny 
> To: Undisclosed-Recipient:; 
> Sent: Saturday, April 11, 2009 11:55 PM
> Subject: [wanita-muslimah] Demokrasi, Barang Curian Milik Islam?
> 
> 
> 
> 
> 
> Reflesi : Apa komentar Anda terhadap tulis di bawah ini? 
> 
>
http://www.hidayatullah.com/index.php?option=com_content&view=article&id
=8797:demokrasi-barang-curian-milik-islam-&catid=68:opini&Itemid=68
<http://www.hidayatullah.com/index.php?option=com_content&view=article&i
d=8797:demokrasi-barang-curian-milik-islam-&catid=68:opini&Itemid=68> 
> 
> Demokrasi, Barang Curian Milik Islam? 
> Friday, 06 March 2009 07:00 
> Realitas sejarah menunjukkan, sistem demokrasi lebih dekat kepada
Islam dibanding sistem lainnya? 
> 
> Tohir Bawazir *
> 
> Menghargai perbedaan pendapat adalah salah satu akhlak yang sangat
dianjurkan dalam Islam. Selagi perbedaan pendapat itu tidak menyangkut
hal-hal yang substansial dalam aqidah. Jika menyangkut hal yang sudah
qath'i (pasti), ummat Islam harus sudah bersepakat untuk hal itu.
Misalnya soal wajibnya sholat, puasa, zakat, haji dan berbagai hukum
yang sudah jelas dan terperinci yang sudah diatur dalam Al-Qur'an dan
Al-Hadits, maka tugas kita hanyalah menjalankan segala perintahnya dan
menjauhi segala larangannya semampu kita. Di sini ummat Islam tidak
diberi ruang untuk menyelisihi apa yang sudah diperintahkan oleh Allah
dan Rasul-Nya.
> 
> Dalam kehidupan sosial dan kemasyarakatan, banyak ruang gerak yang
diberikan oleh Allah kepada hamba-hambaNya untuk mengatur kehidupannya
berdasarkan asas manfaat dan maslahat kehidupan, sepanjang tidak
bertentangan dengan ketentuan Syariat. Kita juga yakin, kemaslahatan
kehidupan sudah pasti akan selaras dan sejalan dengan tuntunan syariat
Islam. Termasuk dalam kancah wilayah politik untuk memilih pemimpin dan
mekanisme kenegaraan.
> 
> Dalam sistem pemerintahan seperti yang kita kenal sekarang, terdiri
dari berbagai model pemerintahan, ada demokrasi, teokrasi/negara
keagamaan, diktator, kerajaan atau bisa pula ada sistem kombinasi dari
berbagai sistem. Di Negara Inggris misalnya dikenal sistem kerajaan,
namun pada saat yang sama ada sistem demokrasi dimana selain ada
raja/ratu sebagai kepala negara secara simbolis, namun pada saat yang
sama kekuasaan yang riil justru dipegang oleh perdana menteri yang
dihasilkan dalam sistem pemilu secara demokratis. Namun di Saudi Arabia
berbeda pula, mereka menggunakan sistem kerajaan mutlak. Raja lah yang
sepenuhnya berkuasa membuat merah dan putihnya negara dan rakyat.
Walaupun di sana ada dewan ulama yang memberi nasehat kepada raja, namun
aspirasi masyarakat bisa dibilang tidak terwakili. Apabila rajanya baik,
maka nasib rakyat dan bangsanya ikut kena imbas baiknya, namun jika
buruk, maka rakyat akan menanggung keburukannya. Ada pula yang tampaknya
seperti sistem demokrasi, namun hakekatnya diktator. Statusnya seorang
presiden, namun hakekat kekuasaannya dan masa berkuasanya lebih mirip
model kerajaan. Ini banyak contohnya, terutama banyak dialami oleh
negara-negara Dunia Ketiga (Negara-negara Asia, Afrika maupun
negara-negara di Amerika Latin), termasuk di Indonesia di era Orde Lama
dan Orde Baru.
> 
> Dalam tiap sistem pemerintahan, sudah barang tentu ada kebaikannya dan
keburukannya. Termasuk di dalam sistem kerajaan pun ada segi positifnya,
minimal dari segi biaya politiknya sangat murah karena tidak perlu ada
pertarungan para kandidat calon pemimpin, karena kekuasaannya sudah
diwariskan/diturunk an secara kekeluargaan, bisa dari ayah ke anak, atau
ke saudara dsb. Murah dan efisien, lebih-lebih jika rakyatnya bisa
menerima sistem ini. Namun madharatnya juga besar. Karena hak berkuasa
seolah-olah hanya milik seseorang/keluarga raja saja, rakyat tidak punya
hak memimpin, mengoreksi, atau sekedar berbeda pendapat, walau memiliki
kualitas yang mumpuni. Dalam sistem demokrasi pun ada manfaat dan
madharatnya, positif dan negatifnya. Begitu dalam sistem otoriter pun
walaupun banyak sisi negatifnya tetap saja ada sisi-sisi positifnya.
> 
> Dalam sistem demokrasi, ada kekurangan yang cukup fundamental yaitu
"one man one vote", satu orang satu suara. Tidak peduli apakah orangnya
sama moralnya, ilmunya, kedudukan maupun tingkat pendidikannya dsb.
Suara seorang ustadz disamakan dengan suara pelaku maksiat, orang kafir,
munafik dsb. Suara seorang profesor sama bobotnya dengan suara orang
yang tidak tamat SD, dsb. Sehingga pernah ada yang mengusulkan agar
rakyat yang berhak ikut pemilu (punya hak pilih) tidak cukup sekedar
sudah cukup dewasa umurnya, namun juga pendidikannya minimal lulusan
SMP, agar punya kapasitas ilmu yang lebih memadai sehingga dapat
menentukan hak pilihnya lebih baik lagi.
> 
> Sistem demokrasi juga membutuhkan biaya yang tidak sedikit, bahkan
cenderung sistem ini paling menghabiskan banyak dana masyarakat dan
negara, sedang tujuan yang ingin dicapai belum tentu diperoleh dengan
baik. Demokrasi yang kita alami di Indonesia contohnya, menyedot biaya
yang terlalu besar,energi yang terlalu banyak karena kendornya
pengawasan dan mudahnya pendirian partai politik, sehingga menimbulkan
euforia partai politik yang berlebihan.
> 
> Era khilafah
> 
> Kalau kita kembalikan ke tarikh Islam, sistem politik untuk memilih
pemimpin / khalifah, dimulai setelah junjungan kita Nabi Muhammad SAW
wafat. Ummat sempat bingung untuk menentukan siapa pengganti Rasul untuk
memimpin ummat Islam. Orang-orang Anshor (penduduk asli Madinah) sudah
akan memilih Sa'ad bin Ubadah sebagai pemimpin dari kelompok Anshor di
Saqifah (aula pertemuan) dan mempersilahkan orang-orang Muhajirin
(orang-orang Mekkah yang berhijrah ke Madinah) agar memilih pemimpinnya
sendiri. Dari sini sudah cukup jelas bahwa Rasulullah tidak mengatur
secara jelas mekanisme pemilihan khalifah/pengganti Rasul secara
baku/tetap. Kalau sudah baku sudah pasti tidak ada saling sengketa dan
perbedaan pendapat di antara mereka. Yang bisa menyelesaikan perbedaan
pendapat yang berpotensi menimbulkan perpecahan di Saqifah justru
argumen yang sangat mantap yang disampaikan oleh Shahabat Umar bin
Khaththab ra. Umar mengusulkan agar masyarakat secara aklamasi
mengangkat Abubakar Shiddiq ra sebagai khalifah pengganti Rasul karena
berbagai pertimbangan diantaranya; Beliau orang dewasa pria pertama yang
masuk Islam; Beliau pula yang oleh Rasul digelari Ash-Shiddiq; Beliau
adalah satu-satunya shahabat yang diajak berhijrah bersama-sama Rasul
dan Beliau satu-satunya yang diijinkan/disuruh oleh Rasul untuk
mengimami sholat berjamaah ketika Rasul sakit dan tidak bisa menghadiri
/mengimami sholat berjamaah di Masjid Nabawi. Mengingat kuatnya hujjah
Umar tersebut, maka masyarakat baik dari Anshor maupun Muhajirin
mengerti dan menerima sepenuhnya bahwa memang tidak ada yang lebih layak
menggantikan Rasulullah selain Shahabat Abubakar Shiddiq.
> 
> Setelah Khalifah Abubakar wafat, kepemimpinan diganti oleh Umar bin
Khaththab berdasarkan surat wasiat Khalifah Abubakar karena tidak ada
shahabat yang lebih mulia dan mengungguli Umar bin Khaththab ra dalam
berbagai aspek dan seginya, sehingga tidak ada keberatan apa pun
terhadap pengangkatan Umar walau berdasar penunjukan. Sebelum Amirul
Mukminin Umar meninggal , beliau masih sempat menunjuk dewan formatur
yang terdiri dari enam Shahabat senior untuk memutuskan siapa bakal
pengganti beliau yaitu : Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib,
Abdurrahman bin Auf, Zubair bin Awwam, Thalhah bin Zubair dan Saad bin
Abi Waqas. Empat orang menyatakan tidak bersedia untuk menjadi
Khalifah/Amirul Mukminin, hanya Usman dan Ali yang bersedia dipilih
untuk menjadi pengganti Umar.
> 
> Mengingat ada dua kandidat calon yang setara ilmu dan jasanya, setara
pula dukungannya, maka anggota formatur yang dipimpin oleh Abdurrahman
bin Auf pun masih minta masukan secara langsung ke masyarakat untuk
turut memilih satu di antara dua calon yang ada, Abdurrahman bin Auf
masih berkeliling ke masyarakat untuk dimintai tanggapannya, baik ke
para shahabat senior atau yunior, laki-laki atau perempuan dsb. maka
Usman sepakat dipilih sebagai khalifah ketiga. Dari sini jelas,
mekanisme mengatur pemimpin menjadi hak masyarakat, bukan penunjukan
dari wahyu. Ada proses seleksi, pemilihan, adu argumen, dukung-mendukung
dan partisipasi masyarakat yang lebih luas, walau dalam bentuk yang
belum baku seperti dalam sistem demokrasi modern.
> 
> Setelah era Khulafaurrasyidin berlalu, kekuasaan Islam jatuh ke tangan
Muawiyah bin Abu Sufyan sebagai khalifah pertama dari Dinasti Bani
Umayyah. Suka ataupun tidak suka, manis maupun pahit, kekuasaan Dinasti
Umayah diawali dengan hal-hal yang tidak wajar, tipu daya dan
pertumpahan darah yang mengorbankan ribuan rakyat sesama Muslim. Dalam
Perang Shiffin antara Khalifah Ali bin Abi Thalib dengan Gubernur
Muawiyah sangat kental aroma perebutan kekuasaan dari seorang gubernur
yang tidak loyal kepada khalifah/pimpinanny a. Selanjutnya
konflik/kemelut politik diselesaikan dengan upaya perdamaian/tahkim di
antara mereka yang ternyata justru memperdaya/merugika n Khalifah Ali.
Akhirnya wajah ummat dan politik Islam carut marut. Khalifah Ali dibunuh
oleh mantan pengikutnya sendiri yang tidak puas dengan upaya tahkim yang
tidak adil. Muncul pula kelompok sempalan yang bernama Syiah dan
Khawarij yang saling bertolak belakang. Luka yang diakibatkan
> 
> oleh tindakan Muawiyah yang memerangi Khalifah Ali, kemudian
menurunkan kekuasaan kepada anak dan keturunan sendiri, menimbulkan luka
di tubuh ummat Islam. Bahkan hingga sampai hari ini, luka tersebut tidak
pernah kering/sembuh.
> 
> Dalam buku "Distorsi Sejarah Islam" Dr. Yusuf Al-Qaradhawi menukil
dari tafsir Al-Manar, Syaikh Rasyid Ridho menyebutkan pernyataan seorang
ilmuwan Jerman yang berkata kepada beberapa ulama Muslim, "Semestinya
kami (kaum Kristen Eropa) harus membuat patung emas Muawiyah di Berlin!"
Ilmuwan tersebut ditanya, "Mengapa?" Dia menjawab, "Karena dialah yang
mengubah hukum Islam dari demokrasi menjadi fanatisme golongan! Kalaulah
hal itu tidak terjadi, Islam pasti akan tersebar ke seluruh dunia.
Sehingga bangsa Jerman dan Eropa lainnya akan berubah menjadi
Arab-Muslim" . Jika kita melihat sekarang Dunia Kristen Eropa
menggunakan demokrasi, sejatinya itu merupakan 'barang curian' milik
ummat Islam yang telah diadopsi dan dimodifikasi menjadi sekular ala
Barat. Demokrasi seolah berasal dari Barat padahal sejatinya milik kita.
> 
> Mengingat kekuasaan Dinasti Umayyah diawali dengan konflik,
pertumpahan darah, tipu muslihat, sehingga dalam perjalanan kekuasaannya
Dinasti Bani Umayyah selalu dirongrong oleh berbagai pemberontakan demi
pemberontakan (kecuali hanya masa keemasannya di era Khalifah Umar bin
Abdul Aziz yang sangat singkat yaitu 2,5th saja) . Kekuasaan Bani
Umayyah tidak sepenuhnya stabil dan diterima oleh ummat Islam. Hingga
akhirnya kekuasaan Dinasti Umayyah jatuh dan berakhir dengan pertumpahan
darah dan pembantaian oleh pemberontak yang dipimpin oleh Abul Abbas
As-Saffah (si penumpah darah). Kemenangan pemberontakan Abul Abbas
menimbulkan kekuasaan dinasti baru yaitu Abbasiyah. Sayangnya kekuasaan
ini diawali dengan pembantaian seluruh sisa-sisa keluarga Bani Ummayyah
sehingga banyak yang lari ke daratan Eropa (Andalusia) maupun Afrika.
> 
> Dinasti Abbasiyah memulai kekuasaannya dengan pembantaian, maka
diakhiri pula dengan pembantaian pula, yaitu melalui tangan-tangan orang
kafir Mongol yaitu Hulaqo Khan. Di mana waktu itu ibukota Baghdad
menjadi lautan darah. Sehingga masa itu menjadi masa paling kelam dari
sejarah Islam karena tidak ada kekejaman yang melebihi Khulaqo Khan
ketika membantai ummat Islam di Baghdad waktu itu.
> 
> Sejarah telah membuktikan bahwa kekuasaan yang diawali dengan tragedi
akan diakhiri dengan tragedi pula, sebagaimana telah diperlihatkan dalam
dua masa Daulah Umawiyah dan Abbasiyah. Justru munculnya Daulah
Utsmaniyah di Turki, merupakan pertolongan Allah untuk mengangkat harkat
dan martabat ummat Islam (khususnya dunia Arab) yang hancur
berkeping-keping di Baghdad. Allah munculkan pengganti penguasa Islam
dari Turki setelah ummat Islam dan Arab menanggung kekalahan dan
kehinaan dari kekuasaan Dinasti Mongol (Tartar).
> 
> Mengingat sejarah telah memberikan contoh kepada kita, kekuasaan itu
membutakan walaupun di masyarakat Islam sekalipun. Untuk itu kekuasaan
perlu diatur, dimanage agar kekuasaan itu dibatasi, kekuasaan harus
dikendalikan agar tidak jatuh ke tangan orang-orang yang tamak dan
dzalim. Sistem demokrasi juga salah satu bentuk mekanisme pengaturan
kekuasaan. Tidak ada jamannya lagi kekuasaan dipegang oleh segelintir
orang apalagi jika menggunakan cara-cara represif dan pemaksaan
kehendak.. Sejarah Islam pun telah menunjukkan, pada masa
Khulafaurrasyidin di masa Khalifah Utsman dan Ali yang kurang apa baik
dan lurusnya masih saja ada pemberontakan. Apalagi di masa Bani Umayyah
dan Abbasiyah, pemberontakan dan perebutan kekuasaan silih berganti.
> 
> Jadi hakekatnya sistem demokrasi lebih dekat kepada Islam dibanding
sistem lainnya. Realitas sejarah telah menunjukkan, masa
Khulafaurrasyidin sebagai panutan kita sangat mengedepankan musyawarah.
Demokrasi paling tidak sangat dekat dengan semangat musyawarah, saling
menghargai pendapat, proses seleksi dsb. Kekurangan yang ada di sistem
demokrasi karena masyarakat sangat heterogen, ada yang cerdas, ada yang
bodoh, ada yang taat kepada Allah namun banyak pula yang bermaksiat
kepada Allah, ada yang Islamnya kaffah namun banyak pula yang sekular,
ada yang jujur namun banyak pula yang berjiwa koruptor, ada yang amanah
namun banyak pula yang khianat, ada yang bercita-cita ingin menegakkan
syariat Allah namun banyak pula yang ingin menghalanginya. Namun
bukankah itu juga merupakan tanggung jawab kita bersama (bukan hanya
para politisi Muslim) untuk bersama-sama membina masyarakat agar menjadi
masyarakat yang akidahnya lurus, mencintai Islam dengan sepenuh jiwa
raganya sehingga cita-cita masyarakat dapat terwujud. Jadi perjuangan
dakwah sangatlah luas dan berkesinambungan, ada yang melalui jalur
politik, pendidikan, keluarga, budaya, ekonomi, sosial dsb.
> 
> Jangan terlalu bermimpi kalau menolak demokrasi terus keadaan akan
menjadi lebih baik. Bermimpi memiliki sistem lain dan melupakan yang
ada, seringkali menimbulkan kekecewaan dan frustasi. Seringkali kita
bermimpi mewujudkan sistem khilafah yang ideal akan segera terwujud,
padahal membentuk organisasi yang lebih kecil dan sederhana saja,
seringkali kita tidak mampu. 
> 
> Terkait dengan tuduhan bahwa demokrasi itu identik dengan sekular,
menurut hemat penulis, itu sepenuhnya tergantung siapa yang
mengendalikan. Jika yang mengatur orang-orang sekular pasti disemangati
dengan jiwa sekular. Jika di tangan orang Kristen sudah pasti dijiwai
dengan semangat Kristiani, begitu pula kalau ditangani orang-orang
Islam, sudah pasti (seharusnya) digunakan untuk kepentingan dan kebaikan
ummat Islam. Khalifah Umar mengatur pembagian kekuasaan antara umara
(penguasa) dengan qadhi (hakim), mengatur tentang hak-hak rakyat,
mengatur tentang harta negara (Baitul Mal), zakat, kebijakan tentang
peperangan, dsb. Para ulama juga berijtihad dan merumuskan kitab-kitab
fikih, padahal sudah ada Al-Quran dan Sunnah. Barangkali, hal seperti
itu pula lah pada demokrasi. Wallahu'a'lam
> 
> Penulis adalah pengamat Gerakan Dakwah
> 
> 
> [Non-text portions of this message have been removed]
> 
> 
> 
> 
> 
> [Non-text portions of this message have been removed]
>






[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke