Skandal Seks Meneer Montigny di Rangkasbitung

Bonnie Triyana

Penjajahan Belanda atas Indonesia memang mendatangkan beragam kisah. Mulai dari 
exploitasi sumber daya alam sampai dengan kisah perselingkuhan antara meneer 
Belanda dengan perempuan pribumi.

Pada zaman kolonial, rakyat bumiputra diposisikan sebagai warga negara terendah 
di dalam stratatifikasi sosial masyarakat Hindia Belanda. Bahkan orang 
Indonesia, menurut orang-orang Belanda waktu itu, adalah negeri para monyet, 
bangsa yang dianggap sebagai penjahat paling kejam dan tak beradab. Persepsi 
orang Belanda terhadap warga pribumi juga diceritakan oleh Pramoedya Ananta 
Toer di dalam novelnya Bumi Manusia. Seorang anak muda dari Jawa Tengah yang 
datang ke Batavia untuk belajar di sekolah kedokteran (STOVIA) dijuluki “Minke 
oleh gurunya sendiri, yang merupakan plesetan dari kata monkey (monyet). Minke 
adalah tokoh utama di dalam novel itu.

Perempuan pribumi pun dipandang sebagai perempuan rendahan, yang walau dirias 
dengan gincu, konde, kebaya plus berhiaskan gelang, cincin dan kalung bermata 
berlian tetaplah seorang inlander yang terlihat murahan di hadapan tuan-tuan 
Belanda. Sehingga pada masa itu muncul ungkapan bahasa Belanda (yang tak 
bermutu) soal pribumi, al draagt een aap een gouden ring, het us en blijft een 
leijk ding (meskipun mengenakan cincin emas, seekor monyet tetap saja mahluk 
yang buruk rupa).

Berdasarkan "doktrin" itulah Belanda menempatkan pribumi sebagai warga kelas 
bawah alias inlander. Yang kemudian mereka gunakan pula sebagai dasar untuk 
memekerjakan mereka sesuka hati, pula sebagai gundik. Orang-orang Belanda saat 
itu memandang perempuan peribumi sebagai perempuan yang berhasrat seks tinggi 
karena terbiasa menyantap makanan yang berempah-rempah.

Sejarah pergundikan di Indonesia pada masa lalu dimulai sejak kaum lelaki VOC 
datang ke kepulauan Hindia tanpa disertai istri-istri mereka. Konon, dari sini 
pula muncul bantal guling, bantal yang digunakan oleh kaum lelaki Belanda 
sebagai teman tidur mereka di Hindia. Tentu saja bantal guling tak lagi 
berfungsi sebagai teman tidur para meneer Belanda ketika tradisi memelihara 
perempuan pribumi sebagai gundik sudah dimulai. Gundik memang tak pernah 
dinikahi secara sah, namun mereka diharuskan melayani meneer Belanda itu 
sebagaimana layaknya seorang istri. 

Kebiasaan yang berlangsung di Hindia Belanda pada masa kolonial, seorang lelaki 
Belanda memelihara gundik sebelum ia memutuskan untuk menikahi seorang 
perempuan Eropa yang sederajat dengannya. Seringkali terjadi lelaki Belanda 
yang sudah memiliki istri di negerinya, menjadikan perempuan pribumi sebagai 
gundik. Manakala lelaki Belanda itu menikah resmi dengan perempuan yang 
sederajat atau istri sahnya dari negeri Belanda datang ke Hindia, maka seorang 
nyai harus rela meninggalkan statusnya bahkan melupakan “suami” dan anak yang 
pernah dilahirkannya. 

Soal esek-esek ini juga yang membuat  Muller de Montigny, asisten residen yang 
bertugas di Rangkasbitung, Lebak, Banten, sejak 6 April 1906 sampai dengan 1908 
terjungkal dari jabatannya. Rangkasbitung juga kota di mana Eduard Douwes 
Dekker yang bernama pena Multatuli pernah bertugas sebagai asisten residen. 
Kota ini pula yang menjadi setting peristiwa Lebak dalam novelnya “Max Havelaar 
atau Persekutuan Lelang Dagang Kopi Hindia”. 

Silang sengkarut kasus pergundikan yang dilakukan oleh Muller de Montigny itu 
tercatat di dalam arsip Departemen van Binenland Bestuur (BB, Departemen Dalam 
Negeri) Pemerintah Hindia Belanda. Berdasarkan laporan rahasia Residen Banten 
Overduyn tertanggal 7 November 1907 No. 234/g kepada Direktur BB yang 
ditembuskan juga kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Batavia, Muller de 
Montigny telah melakukan beberapa tindakan yang tak terpuji: hampir setiap hari 
dia meminta Ardja, seorang opas patih Lebak untuk mencarikan seorang perempuan. 
Montigny juga membebani jaro (lurah) desa Aweh (distrik Rangkasbitung) untuk 
meminta seorang perempuan pribumi bernama Nyi Munah yang dihukum karena 
perselingkuhan untuk menjadi pembantunya. Tidak hanya itu, Montigny juga 
memerintahkan Mas Mangku Sudirdja, sipir penjara negara Rangkasbitung, untuk 
mencarikan pembantu perempuan pribumi (Nyi Hadji Salatri dan Marsono).

Montigny menjalankan tugas sebagai asisten residen Lebak sendiri, tanpa 
didampingi seorang istri. Arsip memang tak menjelaskan apa statusnya: perjaka, 
duda atau sudah menikah. Dari keterangan yang ditulis dalam surat rahasia 
Residen Overduyn tanggal 25 Maret 1908 No.92/g disebutkan bahwa Montigny kurang 
memiliki sikap menjaga nafsu seksualnya, sehingga berulang kali ia meminta pada 
opas patih untuk mencari seorang perempuan pribumi untuk menemaninya pada malam 
hari. 

Prilaku seksual Asisten Residen Muller de Montigny dinilai keterlaluan oleh 
para atasannya. Selain meminta Djamad, opas patih, untuk setor perempuan setiap 
hari, ia juga memelihara seorang gundik yang diakuinya sebagai pembantu. Seakan 
belum puas dengan perempuan-perempuan “setoran” bawahannya, ia juga menyuruh 
sipir penjara negara di Rangkasbitung untuk menyerahkan kepadanya dua tahanan 
perempuan pribumi. 

Tentu saja Montigny menyangkal semua tuduhan yang dilayangkan kepadanya. 
Melalui suratnya kepada Gubernur Jenderal ia menyatakan bahwa tuduhan-tuduhan 
itu tak lain karena siasat licik Patih Lebak yang menghendaki Montigny digeser 
dari posisinya sebagai asisten residen Lebak.  Ia menyangkal kesaksian Patih 
Lebak dan Jaksa Lebak yang menyudutkannya, kendati kedua pejabat pribumi 
memberikan keterangan di bawah sumpah. “Lagipula sangat bodoh dan gilanya saya 
bila mengambil perempuan untuk dijadikan gundik, apalagi yang dihukum lantaran 
selingkuh” ujar Montigny dalam surat pembelaannya. 

Selain dituduh memelihara gundik dan terlibat di dalam skandal seksual, 
Montigny juga dituduh terlibat di dalam peristiwa peracunan seorang pejabat 
pribumi. Ia pun menyangkal tuduhan itu sembari menuduh balik ada konspirasi 
yang dirancang oleh Bupati Serang untuk meracun dirinya. Belakangan hari 
terbukti bahwa racun yang disebut-sebut oleh Montigny digunakan untuk 
meracuninya ternyata hanyalah obat penyubur jenggot belaka.  

Wakil Direktur BB di dalam laporannya kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda 
tertanggap 22 April 1908 menyarakan agar Montigny dipecat secara terhormat. 
Semua pejabat mulai dari Residen Banten Overduyn hingga pejabat pribumi 
setingkat Patih dan Jaksa menganjurkan agar Montigny segera dipecat dengan 
tidak hormat dari jabatannya sebagai asisten residen Lebak. Kesemua laporan 
itu, selain menyebutkan kesalahan lain, terutama sekali menjadikan prilaku 
seksual Montigny yang keterlaluan sebagai alasan untuk memecatnya tanpa hormat. 

Bisa jadi juga persoalan ini adalah taktik untuk melumpuhkan posisi Montigny. 
Bila dibandingkan dengan peristiwa Lebak yang sebelumnya menimpa Eduard Douwes 
Dekker, peristiwa yang dialami oleh Montigny juga melibatkan beberapa pejabat 
lain, baik dari kalangan Belanda maupun pribumi. Posisi jabatan asisten residen 
biasanya diisi oleh para pemuda Belanda yang dinilai cakap. Mereka punya 
idealisme yang tinggi, seperti halnya Eduard Douwes Dekker yang memerjuangkan 
rakyat Lebak kendati akhirnya ia tersingkir. Tentu saja idealisme yang tak 
didukung oleh lingkungan sekitarnya menimbulkan benih-benih konflik karena 
pejabat senior merasa terancam oleh sepak terjang asisten residen muda penuh 
semangat. 

Namun demikian, menarik diperhatikan bahwa Wakil Direktur BB punya pendapat 
lain soal ini. Dia memandang Montigny perlu dipecat secara terhormat bukan 
karena prilaku seksualnya yang menyimpang, melainkan karena kurang bisanya dia 
menjaga relasi baik dengan rekan-rekan sejawatnya. Mungkin pandangan para 
petinggi kolonial terhadap Asisten Residen Montigny sesuai dengan jiwa zaman 
yang sedang berlaku saat itu: pergundikan adalah sebuah hal yang wajar. Dan 
memelihara nyai yang berasal dari kalangan perempuan pribumi bukanlah suatu hal 
yang dilarang. Barangkali saja Wakil Direktur Departemen Dalam Negeri 
Pemerintah Hindia Belanda itu punya opini yang sama dengan orang Belanda 
lainnya pada saat itu: “al draagt een aap een gouden ring, het us en blijft een 
leijk ding.” 


Penulis adalah sejarawan. Bekerja sebagai redaktur budaya di Koran Jurnal 
Nasional, Jakarta. 

 Send instant messages to your online friends http://uk.messenger.yahoo.com 

Kirim email ke