Aduh, sambil nyabutin bulu idung, kepala tengleng gak ngarti apa yang ditulis 
oleh sodara-sodara sekalian. Begini kalo jadi orang kuper (kurang pendidikan 
reguler), jadi kagak ngarti-ngarti. Walau kuper tapi gaya lah...........make 
kacamata riben celana cutbray ala A. RAFIQ.
  Oh menarik sekali tulisan dari sodara-sodara sekalian berkaitan dengan status 
sosial masyarakat pribumi pada waktu jaman penjajahan. Yah namanya watak 
penjajah, selalu merasa paling top, dan memandang manusia pribumi (yang pada 
waktu itu memang masih dalam alam kegelapan belum mampu mengembangkan sains dan 
teknologi) sebagai warga masyarakat marginal, yang pantas dijadikan budak dan 
diperlakukan semena-mena.
  Kaum penjajah menancapkan cengkraman pengaruh dan kekuasaan terhadap manusia 
pribumi dan mengeksploitasi berbagai sumber daya alam. Memperluas dogma-dogma 
buta agar manusia pribumi tetap dalam kungkungan kebodohan.
   
  Nah sekarang zaman kuda gigit roti, kita sudah melek, bisa main internet, 
faham terhadap perangkat PC, paham terhadap berbagai aplikasi pemograman, paham 
cara membuat website, paham cara membuat weblog, dan faham berbagai 
pengetahuan-pengetahuan umum lainnya hingga paham bagaimana MEMARKUP anggaran 
agar dapat cepat dapat beli mobil baru he..he....
   
  Topik seksualitas pada masa kolonial, konteksnya dengan zaman sekarang gak 
jauh beda, dimana masih saja kita temukan kisah-kisah macam ini. Akh saya sih 
gak nuduh, cuman praduga saja, dimana banyak majikan (bos tuan rumah) yang 
memperlakukan pembantu seperti cerita jaman Belanda itu. Esek-esek.....harus 
melayani sang tuan, ketika isteri lengah..........tapi buntutnya kurang ajar, 
si sang tuan sudah melampiaskan napsu birahinya, tapi ketika si pembantu 
bunting 7 bulan, eh si sang tuan tidak mau tanggung jawab malah mengusir si 
pembantu.Lebih parahnya lagi lempar batu sembunyi tangan menuduh si pembantu 
telah berbuat aib dan mencemarkan nama baik keluarga si tuan rumah. Akh cerita 
musang berbulu domba........
   
  Ok sodara-sodara, teruskan menggali sejarah-sejarah macam itu, ini bacaan 
langka lho. 
   
   
   
    

Boni Triyana <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
          Terima kasih Bung Uus dan Kang Ucu,

Benar kata Bung Uus, mungkin seharusnya saya mencantumkan judul rangkaian novel 
itu: "Tetralogi", bukan menyebut Bumi Manusia saja. Saya terima koreksinya.

Sekali lagi, terima kasih.

Tabik,

Bonnie Triyana

ucu jauhar <[EMAIL PROTECTED]> wrote:      beNer kang Uus, Raden Tirto juga 
tercatat sebagai
pribumi yang pertama membuat koran di Endonesa. :)
Rasanya yang di Surabaya itu deMaxima nya Minke.

--- uus bustami <[EMAIL PROTECTED]> wrote:

> Pada zaman kolonial, rakyat bumiputra diposisikan
> > sebagai warga negara terendah di dalam
> > stratatifikasi sosial masyarakat Hindia Belanda.
> > Bahkan orang Indonesia, menurut orang-orang
> Belanda
> > waktu itu, adalah negeri para monyet, bangsa yang
> > dianggap sebagai penjahat paling kejam dan tak
> > beradab. Persepsi orang Belanda terhadap warga
> > pribumi juga diceritakan oleh Pramoedya Ananta
> Toer
> > di dalam novelnya Bumi Manusia. Seorang anak muda
> > dari Jawa Tengah yang datang ke Batavia untuk
> > belajar di sekolah kedokteran (STOVIA) dijuluki
> > “Minke oleh gurunya sendiri, yang merupakan
> plesetan
> > dari kata monkey (monyet). Minke adalah tokoh
> utama
> > di dalam novel itu.
> 
> tulisannya mantep kang,
> cuma sedikiiiii..it saja saya mau komentar ttg
> paragraf yang saya copy dari tulisan kang bonie :
> rasanya dalam novel "bumi manusia", pramudya tidak
> menyebutkan kota tempat MINKE belajar tapi hanya
> disebutkan inisial kotanya saja.
> seperti ditulis bahwa MINKE belajar di kota "S"
> (perkiraan saya "Surabaya"). kemudian MINKE seorang
> anak bupati yang tinggal di kota "B" yang ada di
> bagian barat kota "S" (Perkiraan saya "B" adalah
> Blitar), daerah asal Pramudya dan Raden Tirto Adi
> Suryo (seorang tokoh penulis di Indonesia yang masih
> moyangnya Pramudya dan dalam cerita itu digambarkan
> sebagai MINKE).
> salam - UUS
> 
> halim hd <[EMAIL PROTECTED]> wrote: 
> naaah, yang kayak begini bolehlah,
> boontjes, jangan
> yang cem-macem. dank u,
> hhd.
> --- Boni Triyana <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
> 
> > Skandal Seks Meneer Montigny di Rangkasbitung
> > 
> > Bonnie Triyana
> > 
> > Penjajahan Belanda atas Indonesia memang
> > mendatangkan beragam kisah. Mulai dari exploitasi
> > sumber daya alam sampai dengan kisah
> perselingkuhan
> > antara meneer Belanda dengan perempuan pribumi.
> > 
> > Pada zaman kolonial, rakyat bumiputra diposisikan
> > sebagai warga negara terendah di dalam
> > stratatifikasi sosial masyarakat Hindia Belanda.
> > Bahkan orang Indonesia, menurut orang-orang
> Belanda
> > waktu itu, adalah negeri para monyet, bangsa yang
> > dianggap sebagai penjahat paling kejam dan tak
> > beradab. Persepsi orang Belanda terhadap warga
> > pribumi juga diceritakan oleh Pramoedya Ananta
> Toer
> > di dalam novelnya Bumi Manusia. Seorang anak muda
> > dari Jawa Tengah yang datang ke Batavia untuk
> > belajar di sekolah kedokteran (STOVIA) dijuluki
> > “Minke oleh gurunya sendiri, yang merupakan
> plesetan
> > dari kata monkey (monyet). Minke adalah tokoh
> utama
> > di dalam novel itu.
> > 
> > Perempuan pribumi pun dipandang sebagai perempuan
> > rendahan, yang walau dirias dengan gincu, konde,
> > kebaya plus berhiaskan gelang, cincin dan kalung
> > bermata berlian tetaplah seorang inlander yang
> > terlihat murahan di hadapan tuan-tuan Belanda.
> > Sehingga pada masa itu muncul ungkapan bahasa
> > Belanda (yang tak bermutu) soal pribumi, al
> draagt
> > een aap een gouden ring, het us en blijft een
> leijk
> > ding (meskipun mengenakan cincin emas, seekor
> monyet
> > tetap saja mahluk yang buruk rupa).
> > 
> > Berdasarkan "doktrin" itulah Belanda menempatkan
> > pribumi sebagai warga kelas bawah alias inlander.
> > Yang kemudian mereka gunakan pula sebagai dasar
> > untuk memekerjakan mereka sesuka hati, pula
> sebagai
> > gundik. Orang-orang Belanda saat itu memandang
> > perempuan peribumi sebagai perempuan yang
> berhasrat
> > seks tinggi karena terbiasa menyantap makanan
> yang
> > berempah-rempah.
> > 
> > Sejarah pergundikan di Indonesia pada masa lalu
> > dimulai sejak kaum lelaki VOC datang ke kepulauan
> > Hindia tanpa disertai istri-istri mereka. Konon,
> > dari sini pula muncul bantal guling, bantal yang
> > digunakan oleh kaum lelaki Belanda sebagai teman
> > tidur mereka di Hindia. Tentu saja bantal guling
> tak
> > lagi berfungsi sebagai teman tidur para meneer
> > Belanda ketika tradisi memelihara perempuan
> pribumi
> > sebagai gundik sudah dimulai. Gundik memang tak
> > pernah dinikahi secara sah, namun mereka
> diharuskan
> > melayani meneer Belanda itu sebagaimana layaknya
> > seorang istri. 
> > 
> > Kebiasaan yang berlangsung di Hindia Belanda pada
> > masa kolonial, seorang lelaki Belanda memelihara
> > gundik sebelum ia memutuskan untuk menikahi
> seorang
> > perempuan Eropa yang sederajat dengannya.
> Seringkali
> > terjadi lelaki Belanda yang sudah memiliki istri
> di
> > negerinya, menjadikan perempuan pribumi sebagai
> > gundik. Manakala lelaki Belanda itu menikah resmi
> > dengan perempuan yang sederajat atau istri sahnya
> > dari negeri Belanda datang ke Hindia, maka
> seorang
> > nyai harus rela meninggalkan statusnya bahkan
> > melupakan “suami” dan anak yang pernah
> > dilahirkannya. 
> > 
> > Soal esek-esek ini juga yang membuat Muller de
> > Montigny, asisten residen yang bertugas di
> > Rangkasbitung, Lebak, Banten, sejak 6 April 1906
> > sampai dengan 1908 terjungkal dari jabatannya.
> > Rangkasbitung juga kota di mana Eduard Douwes
> Dekker
> > yang bernama pena Multatuli pernah bertugas
> sebagai
> > asisten residen. Kota ini pula yang menjadi
> setting
> > peristiwa Lebak dalam novelnya “Max Havelaar atau
> > Persekutuan Lelang Dagang Kopi Hindia”. 
> > 
> > Silang sengkarut kasus pergundikan yang dilakukan
> > oleh Muller de Montigny itu tercatat di dalam
> arsip
> > Departemen van Binenland Bestuur (BB, Departemen
> > Dalam Negeri) Pemerintah Hindia Belanda.
> Berdasarkan
> > laporan rahasia Residen Banten Overduyn
> tertanggal 7
> > November 1907 No. 234/g kepada Direktur BB yang
> > ditembuskan juga kepada Gubernur Jenderal Hindia
> > Belanda di Batavia, Muller de Montigny telah
> > melakukan beberapa tindakan yang tak terpuji:
> hampir
> > setiap hari dia meminta Ardja, seorang opas patih
> > Lebak untuk mencarikan seorang perempuan.
> Montigny
> > juga membebani jaro (lurah) desa Aweh (distrik
> > Rangkasbitung) untuk meminta seorang perempuan
> > pribumi bernama Nyi Munah yang dihukum karena
> > perselingkuhan untuk menjadi pembantunya. Tidak
> > hanya itu, Montigny juga memerintahkan Mas Mangku
> > Sudirdja, sipir penjara negara Rangkasbitung,
> untuk
> > mencarikan pembantu perempuan pribumi (Nyi Hadji
> > Salatri dan Marsono).
> > 
> > Montigny menjalankan tugas sebagai asisten
> residen
> > Lebak sendiri, tanpa didampingi seorang istri.
> Arsip
> > memang tak menjelaskan apa statusnya: perjaka,
> duda
> > atau sudah menikah. Dari keterangan yang ditulis
> > dalam surat rahasia Residen Overduyn tanggal 25
> > Maret 1908 No.92/g disebutkan bahwa Montigny
> kurang
> > memiliki sikap menjaga nafsu seksualnya, sehingga
> > berulang kali ia meminta pada opas patih untuk
> > mencari seorang perempuan pribumi untuk
> menemaninya
> > pada malam hari. 
> > 
> > Prilaku seksual Asisten Residen Muller de
> Montigny
> > dinilai keterlaluan oleh para atasannya. Selain
> > meminta Djamad, opas patih, untuk setor perempuan
> > setiap hari, ia juga memelihara seorang gundik
> yang
> > diakuinya sebagai pembantu. Seakan belum puas
> dengan
> > perempuan-perempuan “setoran” bawahannya, ia juga
> > menyuruh sipir penjara negara di Rangkasbitung
> untuk
> > menyerahkan kepadanya dua tahanan perempuan
> pribumi.
> > 
> > 
> > Tentu saja Montigny menyangkal semua tuduhan yang
> 
=== message truncated ===




  Send instant messages to your online friends http://uk.messenger.yahoo.com 

                         

 __________________________________________________
Do You Yahoo!?
Tired of spam?  Yahoo! Mail has the best spam protection around 
http://mail.yahoo.com 

Kirim email ke