Hallo bung Poltak, Aku jd ikutan nambahin nih ngomongin ibu kota..:-)) Tp agak historical kali.
Menurutku ide pindahin ibu kota sih boleh2 aja.. Siapa yg takut. Dan, kalau mau berapa besar ongkosnya? Sangat gede!!! Kalau pun ada duit, pertanyaaan apa mau? Aku ambil contoh aja yang kecilan. Kelapa Gading. Daerah itu dari aku kecil (di daerah Cempaka Putih) udah langganan banjir. Maklum, katanya itu rawa. Waktu daerah itu baru mulai dieksplotasi potensi bisnisnya, ngak sedikit orang yang nolak kalau ditawarin untuk beli di daerah tsb. Aku sendiri bahkan sampai pertengahan thn 80an, ngak sadar bhw daerah tsb jadi berkembang lebih dari kawasan pemukiman. Jadi daerah bisnis jg. Aku baru sadar awal 90an waktu libur ke Jakarta bhw ada yg namanya mall Kelapa Gading. Kalau dipikir, heran bhw meski banjir makin banyak aja kawasan tsb terus berkembang. Makin banyak rumah2 gede dibangun, makin banyak pertokoan dibuat, makin banyak pedagang yang jualan. Kenapa? Karena ngak mudah untuk "membongkar" jaringan. Bukan sekedar nilai tangiblenya, tapi lebih2 lagi nilai jaringan itu. Siapa yg akan protek Kelapa Gading, bukan lagi hanya pemilik mall...tapi silently semua org yg masuk dalam jaringan. Karena semua orang merasa lebih banyak ruginya kalau tinggalin/keluar situ, daripada rugi yg datang dari banjir. Kupikir itu juga logika ini juga berlaku dlm kasus Jakarta sbg ibukota. Yg aku agak curious sekarang sebenarnya gimana Jakarta bisa jadi ibu kota dulu? Kenapa Belanda milih Jakarta dan bukan kota lain? Cheer Enda --- In AhliKeuangan-Indonesia@yahoogroups.com, "Poltak Hotradero" <[EMAIL PROTECTED]> wrote: > > Banjir itu sudah menjadi fenomena Jakarta - jauh hari sebelum kota > tersebut menjadi ibu kota Republik Indonesia. Banjir besar Jakarta > sudah terjadi sejak tahun 1918..! (dan itu sebabnya mengapa Banjir > Kanal Barat dibangun). >