Bung Heri yg baik, terus terang saja saya malah tidak begitu mengerti apa maksud dari Bung Hok An, senior member kita dari jerman ini. Dampak banjir jelas kita semua sudah tahu, lah wong banjir terjadi setiap tahun so abang becak pun tahu dampak sosialnya spt apa. No questions soal itu.
Questionnya kenapa harus ke Jonggol hehe. Thanks, Arry Heri Setiono <[EMAIL PROTECTED]> wrote: > > Bung Hok An, salut atas analisa tajam anda. > Aspek yang sangat fundamental yang sering dilupakan orang adalah dampak sesudah banjir ini. Yang sering kita lihat adalah "seremonial bakti sosial" mendatangi tempat banjir dengan memberikan sumbangan nasi bungkus, indomie, selimut dsb lengkap dengan kedatangan para selebritis dari berbagai kalangan yang diliput oleh berbagai media . Padahal dibalik itu tersembunyi potensi masalah yang tidak kalah besar yaitu lenyapnya akumulasi modal yang celakanya justru menimpa masyarakat kalangan bawah. Dengan rumah yang terendam hingga 2 sampai 4 meter bisa kita bayangkan apalagi yang tersisa. Bagaimana mereka akan melanjutkan mengisi hari-hari kedepannya. > Rumah susun bisa dibangun, tapi modal yang telah mereka akumulasi selama ini siapa yang akan mengisi? Dengan hilangnya modal yang ada, meskipun disediakan rumah susun tapi kalau masyarakat lebih mudah mencari uang (apalagi menutupi kehilangan modal) dengan tinggal di Bantaran Kali maka bisa dibayangkan apa yang terjadi kemudian.Tak heran dalam text liner di salah satu televisi memberitahukan peringatan seorang pengamat akan kemungkinan terjadinya dampak kerawanan sosial yang akan timbul pasca banjir. > Potensi masalah ini terjadi di Jakarta sebagai Ibu Kota Negara yang notabene merupakan wajah dari Republik ini yang tentunya akan berbeda jika hal ini terjadi di daerah. Image ini juga yang akan menentukan seberapa jauh pemodal mau menginvestasikan modalnya ke Indonesia. Tak heran di masa Suharto pun, sudah ada pemikiran untuk memindahkan Ibu Kota RI ke Jonggol. > > > Hok An <[EMAIL PROTECTED]> wrote: > Saya rasa designer dari Jakarta ada dua. Yang satu yang resmi dibawah > DKI konkretnya a.l. dinas tata kota. > Yang kedua tidak resmi, negara bayangan - kalau di Turki istilahnya deep > state, kita belum punya istilah yang pas - yang merupakan koalisi dari > kekuatan2 yang benar2 berkuasa di Jakarta. Sebab itu proyek2 besar > muncul melompati administrasi resmi. > Dipihak lain masyarakat memperkuat aspek ini, karena terpaksa cari jalan > pintas dan membayar administrasi resmi dibawah meja. > Pada saat diperlukan ternyata apa yang namanya administrasi negara bisa > menghilang begitu saja dan baru muncul dengan iming2 yang mahal. > > Kerusakan akibat banjir ditaksir saat ini Rp. 4 triliun. Apa tidak > terlalu rendah? Yang tinggal didaerah banjir setiap 5 tahun sekali punah > harta miliknya. Sistem ini melestarikan kemiskinan. Daerah yang kena > diduga sedikitnya 70% dari wilayah kota. Taksiran diatas apa tidak harus > dikali sepuluh? Berapa banyak barang2 budaya yang hancur? > Apa ada kota besar lain yang boros begitu? Politik banjir Jakarta, jelas > menggambarkan budaya tua yang siklis dan biasa membakar barang2 budaya > sesudah ritual selesai. Dengan kata lain sistem ini menghambat akumulasi > modal. Contoh tata kota yang berair sudah dikenal lama. Yang kurang cuma > kemauan untuk melaksanakannya, sebab dana DKI termasuk besar. Ini akan > terus begitu, kalau negara resmi belum berhasil menggusur negara gelap. > > Salam > Hok An